Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Daripada Pulang Jadi PENELITI, Mending Jadi BUZZER

saat Erick Thohir berbincang dengan peneliti asal Indonesia di Oxford


Erick Thohir, Menteri BUMN, memanggil pulang peneliti Indonesia di Universitas Oxford, Inggris, yang punya andil dalam pengembangan AstraZenecca. Namun Erick tidak tahu bahwa di negeri yang tunduk pada investasi asing ini, menjadi buzzer dan tim sukses lebih menjanjikan masa depan ketimbang jadi peneliti. 

Di dunia riset, Anda harus meniti karier dari level paling bawah, dimulai dari posisi peneliti junior yang mengerjakan semua hal, termasuk mengambil sampel ke daerah terjauh. Sementara di dunia buzzer dan tim sukses, Anda hanya perlu ikut-ikut tim pemenangan seorang kepala daerah atau calon presiden, setelah itu cukup baca “Bismillah”, langsung dapat posisi Komisaris.

Bayangkan, ada seorang peneliti yang bertahun-tahun kerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagalistrikan di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kariernya bermula dari manjat tiang listrik hingga bertahun-tahun kemudian mulai jadi peneliti senior. 

Kira-kira, apa responnya saat baca berita tentang Eko Sulistyo, salah seorang tim sukses Jokowi, diangkat sebagai Komisaris PLN. Padahal, belum tentu Eko tahu banyak tentang dunia PLN. Pengetahuan peneliti itu jauh di atas Eko. Bedanya, Eko adalah tim sukses Jokowi. Dia dekat kekuasaan. Ada pula timses Jokowi jadi Komisaris BUMN, yang modalnya hanya memuji Jokowi dan mengolok Prabowo di Twitter.

Bukan hanya di pusat, di level pemerintah daerah juga setali tiga uang. Seorang gubernur bisa saja membentuk TGUPP yang gajinya selangit, jauh di atas peneliti di balitbang milik pemda. Bahkan TGUPP bisa mengendalikan kepala dinas. Siapa yang diangkat jadi TGUPP? Ya tim sukses. Bisa jadi penyusun konsep, jubir di media, angkat-angkat tas, atau barangkali berperan untuk mendatangkan massa saat kampanye.

Di satu daerah di Sulawesi, anggota TGUPP rata-rata bergelar profesor doktor. Para ilmuwan bergelar profesor, yang seharusnya menjadi sumber daya terbaik untuk pendidikan dan riset, tiba-tiba harus mengurusi birokrasi dan anggaran perjalanan dinas di pemda. Ironis.

BACA: Ayo, Dukung Rektor Jadi Komisaris

 

Lihatlah di sekitar kita. Ada banyak jejak digital di media-media tentang tim sukses yang tadinya hidup pas-pasan, lalu naik kelas begitu calonnya menang. Risetnya Michael Buehler, pengajar di University of London,  mengungkap ada banyak tim sukses yang mendapatkan permen berupa proyek begitu kandidatnya menang. Di situ, berlaku hukum take and give. Anda diberi posisi, Anda juga harus menyetor. Ada uang, ada cashback.

Lantas, Erick Thohir mau meminta anak muda yang sedang sekolah di Inggris itu untuk pulang lalu jadi peneliti di tanah air dengan standar hidup pas-pasan, sementara ada kelompok yang hanya kerja sedikit langsung dapat posisi tinggi? 

Erick Thohir, yang berlatar pengusaha ini, tidak tahu iklim riset di tanah air kita. Posisi peneliti hanya menempati posisi pinggiran di segala ranah. Di berbagai kantor pemerintah, posisi peneliti di Balitbang, bukanlah posisi yang bagus, sehebat apa pun karya Anda. 

Rekomendasi peneliti tidak didengar dalam perumusan kebijakan. Kertas kerjanya hanya berserakan di laci para pejabat. Tulisannya di jurnal hanya dibaca sedikit orang yang tertarik, itu pun hanya kalangan nerd di kampus-kampus yang berteman dengan buku.

Saat badai pandemi Covid-19 datang menyerang, banyak peneliti, ahli-ahli dan epidemolog memberikan jalan keluar. Tapi, rekomendasi mereka kalah nyaring dengan suara seorang pebisnis kakap. Suara peneliti bisa dengan mudah diabaikan saat seorang investor menjelaskan kalkulasi kerugian jika saran peneliti itu dituruti.

Kita tak punya ekosistem riset yang bagus. Idealnya, ada interaksi yang intens antara pengambil kebijakan (dalam hal ini pemerintah), peneliti di perguruan tinggi, serta dunia industri.  Ekosistem ini tidak terbentuk, apalagi Kementerian Riset Dikti yang seharusnya jadi perekat ketiganya malah dibubarkan.

Berkat pandemi, kita jadi tahu betapa rapuhnya dunia riset kita. Terlalu jauh jika kita bandingkan dunia riset kita dengan Inggris dan Amerika Serikat. Di Asean saja, kita tertinggal jauh. 

Rasio jumlah peneliti dengan jumlah penduduk di Singapura adalah lebih dari tujuh ribu peneliti per satu juta penduduk. Sedangkan di Malaysia sebanyak 2.590 peneliti per satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, rasionya hanya sebesar 1.071 peneliti per satu juta penduduk. Angka rasio ini pun sudah termasuk dosen di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Jika sains adalah senjata, dan peneliti adalah pasukannya, maka jelas kita tak berdaya dalam menghadapi situasi darurat yang membutuhkan kerja-kerja peneliti. Kita tak mungkin setangguh Inggris.

Dalam buku Vaxxers: The Inside Story of The Oxford Vaccine and The Race Aigainst Virus, Profesor Sarah Gilbert bercerita tentang proses riset menahun yang telah dibuat Jenner Institut, Oxford University, sebelum membuat vaksin Oxford AstraZeneca. Dia mengibaratkan prosesnya seperti membuat kue, di mana adonannya sudah lama ada dan siap, sehingga proses berikutnya tinggal meletakkan pewarna di atas kue.

Sejak lama, mereka meneliti berbagai varian virus, mulai Ebola, sampai Mers. Mereka sudah lama membuat template, sehingga ketika ada satu virus menyerang, mereka tahu bagaimana menyiapkan vaksinnya. Vaksin AstraZeneca kelar dalam waktu 12 bulan, sementara peneliti kita entah kapan bisa keluar.

Tapi riset di Oxford itu butuh bertahun-tahun dan selalu dibiayai negara. Pemerintah menyediakan anggaran untuk proses riset yang panjang di perguruan tinggi, yakni Universitas Oxford, kemudian ada dukungan kuat dari dunia industri yakni AstraZeneca. Hebatnya, para peneliti ini menolak mamatenkan vaksinnya agar bisa terjangkau warga dunia.

BACA: Peneliti yang Jadi Berkah bagi Semesta

 

Namun cerita-cerita hebat begini akan sulit kita temukan di tanah air kita. Rasanya sulit kita mendapati tim peneliti yang bekerja bertahun-tahun kembangkan riset dengan dukungan dana yang kuat dari negara. 

Kerja peneliti tidak dihargai, apalagi jika penelitian itu tidak ada kaitannya dengan mendatangkan investasi, serta industri 4.0. Anggaran riset kita amat minimalis. Pemerintah kita ingin sesuatu yang jangka pendek, dan mudah terlihat. Pemerintah tidak tertarik dengan program jangka panjang, yang hasilnya belum tentu terlihat dalam satu periode. Di sisi lain, peneliti hidup dengan gaji pas-pasan. 

Tengoklah pengalaman Burhanuddin Muhtadi yang dibagikannya di Twitter. Lulus dari program doktor di Australian National University (ANU), dia kembali kerja di kampus sebagai akademisi dan peneliti. Gajinya hanya sekitar tiga juta rupiah. 

Gajinya lebih rendah dari besaran gaji UMR untuk buruh di Jakarta. Gaji segitu sama dengan seorang buruh pabrik sepatu di Bogor, yang pendidikannya hanya sekolah dasar. Dia banting stir kerja di lembaga survei, konsultan, pengamat politik, hingga menjadi narasumber. 

Makanya, mending anak muda di Oxford, yang dipanggil Erick Thohir itu, tidak pulang. Lebih baik dia bekerja di Inggris yang punya keberpihakan pada riset. Lebih baik bekerja di ekosistem di mana fasilitas laboratorium sangat lengkap sehingga potensinya bisa terus berkembang dan membuat banyak hal yang menyelamatkan dunia.

Namun jika dia memaksakan untuk pulang tak apa. Selain jadi peneliti, dia bisa nyambi sebagai buzzer, biar kelak dia bisa masuk ring satu kebijakan, dan mendorong agar ada perhatian pada dunia riset. Riset jalan, tapi cuan juga datang.  Siapa tahu bisa jadi “Bismillah Komisaris.”



Membaca Kabar dari Timur


Di sela-sela kesibukan menyelesaikan satu pekerjaan, saya membaca buku Kabar dari Timur yang ditulis anak muda asal Padang, Fatris MF. Dia menulis dengan gaya bertutur. Dia menulis perjalanan mengunjungi banyak daerah di timur Indonesia, mulai dari Flores, Sumba, Timor, hingga Alor. Dia pun datang ke Ambon, lalu Pulau Buru.
 
Sebagian besar tempat yang dia gambarkan, sudah pernah saya kunjungi. Namun, begitu banyak hal yang luput dari pantauan. Wajarlah, saya ke lokasi itu karena ada pekerjaan. Saya tidak sempat berkeliling, berjumpa banyak orang, dan mencatat kesan-kesan.
 
Saya sangat menikmati catatan perjalanan ini. Kita seakan meminjam panca indra penulisnya untuk merasakan kehadiran tempat-tempat menarik ini. Tak sekadar tempat, ada kisah tentang perjumpaan dengan banyak orang di perjalanan. Mereka menjadi senyawa penting yang menghidupkan satu kawasan.
 
Di buku ini, bagian yang paling saya sukai adalah kisah mengenai legiun pemburu ikan paus di Lamalera. Penulisnya menggambarkannya dengan gaya yang dramatis. Ada doa-doa yang dirapal ke langit, kemudian lelaki pemberani dengan kulit legam karena terbakar matahari mengayuh dayung ke tengah Laut Sawu. Para perempuan menunggu di tepi pantai.
 
Namun ada juga kisah getir tentang anggota legiun pemburu paus itu yang tewas, kehilangan anggota tubuh.
 
Saya juga suka catatannya tentang Timor Leste, negara baru yang dulu bagian dari kita. Penulisnya bercerita dengan jujur tentang sisi lain tentang tanah airnya yang dipandang berbeda di sana. Butuh satu wisdom atau kebijaksanaan untuk melihat semua peristiwa, dengan jernih, di luar batas-batas nasionalisme.
 
Berkat catatan Fatris, kita bisa melihat warna-warni di banyak tempat. Dia serupa etnografer yang merekam apa yang disaksikan, sekaligus mendialogkannya dengan dirinya. Dalam proses dialog itu, dia bisa saja mengutip pustaka, mengingat adegan film, atau mengisahkan pengalamannya.
 
Saya pikir inilah kekuatan narasi yang dibuat Fatris. Dia tetap menjadi orang Minang, yang dengan rendah hati mau belajar pada kebudayaan lain. Dia tidak menghakimi, tetapi berusaha memahami apa yang dilihatnya dengan cara deskripsi yang kuat.
 
Saya rasa pustaka tentang Indonesia timur harus diperbanyak. Sepertinya kita lebih mengenal negara-negara lain, ketimbang tanah air kita. Kita lebih tahu pulau-pulau di Jepang, ketimbang pulau-pulau di Nusa Tenggara.
 
Saya ingat beberapa tahun lalu, saya membaca Melawat ke Timur yang ditulis Roem Topatimasang. Selama ini timur identik dengan ketertinggalan. Timur berada di sisi yang jauh. Banyak orang di barat yang tidak tahu tentang timur. Mereka mendefinisikan timur dengan sesukanya.
 
Padahal, orang timur justru sangat mengenal barat. Orang timur tahu kota-kota di Indonesia barat. Semuanya tahu Aceh, Padang, Jakarta, Surabaya, hingga Malang. Tapi coba tanya orang di Indonesia barat, apa mereka tahu di mana letak Morowali, Baubau, Taliabu, Tual, hingga Kaimana?
 
Satu saja kritikan tentang buku ini, yakni terlalu sedikit. Ibarat minuman, rasa haus belum terpuaskan. Dia hanya mengunjungi Nusa Tenggara, kemudian ke Kepulauan Maluku. Padahal timur itu amatlah luas. Saya paham, tidak mungkin petualangan ke timur bisa tuntas dalam beberapa kali perjalanan. Timur itu terlalu luas. Butuh banyak perjalanan dan perjumpaan.
 
Tapi setidaknya, buku ini sudah memulai. Kita jadi tahu sekeping dari bingkai besar lukisan indah bernama Indonesia. Kita jadi tahu, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan di sana. Kita pun tahu ada banyak orang baik yang sekali kamu sapa dan menganggapmu teman, dia akan siap menyabung nyawa untukmu.
 
Bukan lantas memerangi dan menganggap mereka sebagai musuh dari kekuasaan yang letaknya di barat.
 

Peneliti yang Menjadi Berkah bagi Semesta

sampul buku Vaxxers

Ada orang yang setiap hari menyebut dirinya membawa berkah dan rahmat bagi semesta. Tapi setiap hari yang dilakukannya hanya menyebar kebencian dan energi negatif. 

Ada orang yang diam-diam bekerja untuk kemanusiaan. Berkat kerjanya, banyak orang yang selamat, terhindar dari kematian. Dia menyelamatkan jutaan warga bumi, tanpa bertanya apa kebangsaan, ras, suku bangsa, atau warna kulit.  Dia adalah Profesor Sarah Gilbert.

Saya membaca buku terbarunya berjudul Vaxxers, yang ditulisnya bersama Dr Catherine Green, koleganya di Universitas Oxford yang sama-sama menemukan vaksin AstraZeneca. Saya membeli buku ini via Amazon, dengan harga yang cukup mahal  (sekitar 15 dollar), tapi isinya sangat bergizi. Buku ini sama bagusnya dengan buku The Emperror of All Maladies: Biography of Cancer, karya Siddharta Mukherjee yang meraih Pulitzer.

Buku Vaxxers ini sangat menarik. Kita seakan diajak tur untuk melihat laboratorium tempat peneliti bekerja keras menyelamatkan umat manusia. Saya ingat meme di Twitter, definisi superhero di abad ini sudah bergeser. Bukan lagi para jagoan dan pendekar. Mereka adalah para peneliti yang bekerja di laboratorium. Mereka mencari jalan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan. 

BACA Saat Corona Menyerang Homo Deus


Buku ini mengisahkan suka duka dan perjalanan untuk menemukan vaksin. Kisahnya paling epik dalam sejarah manusia di abad ke-21, yang disebut banyak media lebih dramatis dari pendaratan manusia di bulan, sama hebatnya dengan penemuan DNA, serta lebih menegangkan dari perjalanan manusia ke puncak Everest. 

Ini adalah kisah orang biasa yang melawan pandemi dengan senjata sains. Mereka menjalani momen yang mendebarkan di tengah badai. Mereka memisahkan fakta dari fiksi. Mereka bekerja untuk membuat vaksin dalam waktu singkat. Dunia menyaksikan kerja mereka, yang memberi nyala harapan bagi masa depan.

Sarah Gilbert mengibaratkan dirinya seolah masuk dalam 'a race against virus' atau balapan melawan virus yang memiliki kecepatan tinggi. Dia berpacu melawan virus yang dengan cepat menyebar. Setiap hari ada jutaan warga dunia meninggal. Setiap hari, dia tertekan oleh pemerintah dan media yang tidak sabar menunggu hasil kerjanya.  Dia berkejaran dengan waktu dan memeras semua energinya untuk menemukan vaksin Covid. 

Dia memulai kisahnya sejak 1 Januari 2020. Saat itu, dia membaca artikel tentang empat orang di Cina yang menderita pneumonia aneh. Dia beruntung karena ilmuwan Cina sudah memetakan urutan genetik virus Corona. Berbekal peta genom itu, Gilbert mulai menyiapkan rancangan vaksin. 

Pusat riset di Jenner Institut, Oxford University telah memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai varian virus, mulai dari ebola hingga Mers. Pusat riset ini telah merancang sistem yang dapat diadaptasi untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai virus sebelum munculnya Covid . 

Kendaraan mereka adalah adenovirus – tidak terkait dengan virus corona yang bertanggung jawab atas Covid – yang menyebabkan gejala seperti pilek ringan pada simpanse tetapi biasanya tidak menginfeksi manusia. Itu direkayasa secara genetik untuk mencegah replikasi dalam tubuh manusia.

Dalam adenovirus ini ditambahkan satu set gen yang menginstruksikan sel untuk membuat protein "antigen" dan menghasilkan respons perlindungan terbaik dalam sistem kekebalan manusia. 

Dua peneliti Oxford: Dr Catherina Green dan Prof Sarah Gilbert

Saya suka cara Sarah Gilbert menjelaskan proses pembuatan vaksin. Prosesnya serupa pembuatan kue ulang tahun, tanpa tahu untuk siapa dibuat. Kataya, Anda bisa mempercepat proses pembuatan kue dengan cara menyiapkan adonan dan memanggang kue terlebih dahulu. Setelah tahu siapa yang berulang tahun, Anda cukup mengoleskan icing dengan pesan tersebut, yaitu protein lonjakan.

Saat Melawan Hoax

Saya menyukai bagian ketika mereka berusaha meyakinkan masyarakat agar tidak terjebak hoax. Rupanya, hoax bukan hanya terjadi di tanah air kita, tapi juga marak di negara-negara lain. 

Catherine Green bercerita bagaimana pertemuannya dengan seorang ibu saat liburan. Ibu itu menuduh ada merkuri dan bahan berbahaya dalam vaksin. Dia takut bis tertular bahkan meninggal sesuai divaksin.

“Saya khawatir kita tidak tahu apa yang mereka masukkan ke dalam vaksin ini: merkuri dan bahan kimia beracun lainnya. Saya tidak mempercayai mereka,” kata wanita itu kepada Green. 

Green menjelaskan dengan tepat bagaimana tim Oxford membuat vaksinnya, termasuk daftar bahan lengkap, tanpa merkuri. “Ini adalah saat saya tahu bahwa kami, para Vaxxers , harus keluar dari lab kami dan menjelaskan diri kami sendiri,” tulisnya.

Sarah Gilbert dan Catherine Green akhirnya menyadari betapa pentingnya komunikasi sains. Meskipun peneliti bekerja di laboratorium, mereka sesekali harus turun ke masyarakat untuk menjelaskan apa yang terjadi, sehingga publik bisa tercerahkan.

"Kami telah menempuh perjalanan panjang untuk mengalahkan virus ini. Saya ingin orang-orang tahu bagaimana kami benar-benar sampai di sini dan apa yang terjadi selanjutnya: bagaimana kami keluar dari kekacauan ini dan bagaimana kami bersiap untuk hal berikutnya yang tak terhindarkan.” 

Buku ini menjadi ikhtiar mereka untuk menjelaskan kepada publik tentang betapa banyaknya manfaat dari vaksin daripada risikonya. Mereka meyakinkan semua pihak, tidak ada risiko dalam vaksin yang mereka buat.

Daftar Isi

Bagian paling mengharukan adalah kisah-kisah personal yang mereka hadapi sebagai peneliti. Mereka menghabiskan waktu di laboratorium, sehingga harus meninggalkan keluarga. 

Sarah Gilbert punya tiga anak usia sekolah menengah, yang harus rela kehilangan ibunya sementara waktu. Dia sering kali meratapi beban kerja yang intens, sehingga membuatnya kehilangan waktu bersama keluarga. 

Green menulis dengan menyentuh tentang persimpangan yang sulit antara pekerjaan dan kehidupan rumah. Dia adalah ibu tunggal dari Ellie yang berusia sembilan tahun. Sebagai ibu, batinnya berontak saat harus lebih banyak di laboratorium.

Namun kerja-kerja mereka untuk kemanusiaan membuahkan hasil. Dalam waktu 12 bulan atau setahun, mereka telah memproduksi vaksin AstraZeneca yang kemudian menyelamatkan jutaan warga dunia, tanpa peduli latar belakangnya.  Mereka menolak mempatenkan vaksin itu, dan menghibahkannya untuk umat manusia.

Dalam sunyi, mereka bekerja untuk kemanusiaan. Namun publik tidak diam. Nama meeka terpatri dalam ruang batin banyak orang, khususnya mereka yang mendapatkan manfaat dari kerja-kerja mereka untuk manusia lain.

Saat Sarah Gilbert menghadiri turnamen tenis Wimbledon, dia diminta duduk di Royak Box, kursi kehormatan yang biasanya ditempati keluarga Kerajaan Inggris. Sebelum tenis digelar, pembawa acara memperkenalkan siapa Sarah Gilbert. 

BACA: Akankah Bendera Putih Berkibar?


Saat itulah, semua orang berdiri, memberikan standing ovation, serta terus bertepuk tangan. Sarah Gilbert mengalami momen emosional yang mengharukan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan manfaat dan berkah dari tangan dinginnya. Dia menjadi figur yang mengembalikan kegembiraan dari mereka yang tertular virus. Dia menjadi manusia yang memberi berkah bagi jutaan manusia lain. Dia menjadi rahmatan lil alamin.

Perang melawan pandemi itu memang belum selesai. “The ending has not been written,” kata Gilbert. “Saya ingin semua orang tahu, kami tetap berdiri di sini, di garis untuk menyelamatkan yang lain,” katanya.

Namun Sarah Gilbert dan timnya telah memberikan amunisi penting bagi para nakes dan dokter untuk bertempur dan mengalahkan virus. Pertempuran itu masih berlangsung di ruang ICU, ruang gawat darurat, ruang perawatan, hingga ruang operasi di berbagai rumah sakit, seluruh dunia.

Bisa saja virus itu terus melakukan mutasi, namun dengan kehadiran manusia penuh dedikasi seperti Sarah Gilbert, kita bisa sedikit lega dan tersenyum.

Dunia akan semakin indah berkat kehadiran mereka, yang sekali standing ovation saja rasanya tak cukup untuk membalas kebaikan dan kemurahan hati sebesar itu. 

Mereka pahlawan abad ini.



Kisah Perempuan Blogger

 


Di Netflix, film A Perfect Fit tengah tayang. Judulnya bahasa Inggris, tapi ini film Indonesia. Lokasi syutingnya di Pulau Bali. Kisahnya seru. Pemainnya keren. Film ini berkisah mengenai seorang perempuan cantik bernama Saski (diperankan Nadya Arina) yang jatuh cinta pada pembuat sepatu bernama Rio (Refal Hady).
 
Anda tahu apa profesi Saski di film itu? Dia seorang fashion blogger. Hah? Saya sempat terkejut saat tahu dia seorang blogger. Ini profesi yang tidak ditemukan dalam film2 Indonesia romantis hingga 2000-an.
 
Dulunya, profesi perempuan dalam film Indonesia selalu karyawan, sekretaris, atau SPG. Makanya, saya kaget juga mengetahui dalam film Indonesia terbaru, tokoh utamanya adalah blogger. Ini profesi kekinian.
 
Tahun-tahun mendatang, saya menduga akan makin banyak profesi kekinian dalam film kita. Selain blogger, mungkin akan ada profesi digital marketer, data analyst, graphic designer, youtuber, kreator konten, selebgram, selebtwit, digital activist, dan berbagai profesi lain, yang terdengar aneh di telinga sebagian besar orang Indonesia.
 
Dunia blog memang berkembang pesat. Tahun 2000-an, saya ikut pesta blogger di Jakarta, yang didukung penuh oleh Kedubes Amerika Serikat. Bahkan Dubes Amerika ikut membuka acara. Saat itu, saya tidak menyangka komunitasnya kian tumbuh dan membesar.
 
Dunianya para blogger adalah dunia yang lintas generasi. Mereka tidak hanya anak muda milenial, tapi banyak pula emak-emak, pekerja kantoran, hingga pekerja lepas. Dunia blog menjadi ruang yang mempertemukan mereka. Dunia kreatif mendekatkan mereka.
 
Tak hanya di Jakarta, bahkan di kota-kota kecil pun, para blogger bermunculan. Para blogger amat sering merangkap sebagai youtuber, selebgram, graphic designer, fesbuker, aktivis digital, juga menggerakkan komunitas. Mulai dari komunitas kuliner, komunitas jalan-jalan, hingga komunitas pengembang aplikasi di android.
 
Belakangan ini, para blogger kian membentuk banyak komunitas. Ada travel blogger, beauty blogger, fashion blogger, kuliner blogger, tech blogger. Bahkan ada juga komunitas membaca, yang anggotanya mulai dari ABG sampai profesor doktor. Banyak yang sudah jadi blogger berbayar. Sekali review atau endorse, bisa meraup duit, yang jumlahnya sama atau lebih dari gaji pe en es.
 
Mereka juga saling menyebar informasi, khususnya produk yang perlu di-endorse dan berbayar.
Jangan kaget, para buzzer yang selalu meramaikan pilpres itu adalah para blogger. Mereka saling tengkar di dunia maya, tapi selalu kumpul bareng di dunia nyata. Mereka berpedang di internet, tapi saat jumpa bisa saling olok-olok.
 
Saya menikmati buah pertemanan dengan para blogger di banyak lokasi. Kami bertukar kabar, saling sapa saat berbagi tulisan, juga saling membantu. Saya ingat saat berjumpa para blogger di Lombok, seseorang bertanya: “Bang Yos masuk kategori blogger apa?”
 
Saya spontan menjawab: “Saya masuk kategori blogger tampan.”

Ayo, Dukung Rektor Jadi Komisaris

ilustrasi: Plato bersama muridnya di Taman Akademos


Tak perlu analisis canggih-canggih untuk mengetahui kondisi perguruan tinggi kita. Lihat saja dari bangunan paling utama dan paling megah di dalam kampus. Di kampus luar negeri, bangunan paling megah adalah perpustakaan. Tapi di tanah air kita, bangunan paling megah adalah kantor rektorat. 

Mulai dari kampus besar sampai kecil, dari barat hingga timur, dari negeri hingga swasta, semuanya menjadikan rektorat sebagai gedung paling megah. Rektor ibarat raja yang berkantor di menara dan melihat rakyatnya, para civitas academica, dari ketinggian. 

Dari situ saja kita sudah melihat ada relasi kuasa. Di kampus-kampus kita, rektor punya kuasa untuk mengubah aturan. Nama dan wajah rektor tidak akan Anda temukan di banyak publikasi bermutu dan bergengsi. Wajah rektor lebih mudah ditemukan di baliho-baliho sekitar kampus, bersaing dengan baliho bergambar wajah kepala daerah.

Jangan berharap rektor akan memimpin majelis ilmu di dalam kampus. Dia penguasa, yang kerjanya adalah pidato-pidato sambutan, tanda tangan ijazah, gunting pita untuk peresmian gedung baru, bagi anggaran ke fakultas, jalan-jalan ke luar negeri dengan label studi banding, atau tampil di televisi sebagai pengamat politik, yang entah mana karya akademisnya.

Di tanah air kita, semua kampus bermimpi jadi world class university. Tapi, kegiatan-kegiatan seminar internasional menjadi seremoni yang penuh sambutan-sambutan pejabat. Begitu selesai sambutan, acara seakan bubar. Presentasi periset tidak penting. Palingan dihadiri mahasiswa yang terpaksa hadir karena diabsen oleh panitianya, yang kebetulan dosen mata kuliah.

BACA: Kisah Haru Mahasiswa yang Menghilang Selama 15 Tahun 


Kegiatan seminar yang menghadirkan peraih Nobel sains adalah kegiatan yang teramat sangat jarang terdengar dari kampus kita. Jauh lebih mudah menemukan acara pemberian gelar doktor hingga profesor honoris causa kepada petinggi partai politik atau pejabat berkuasa. 

Jangan sedih, kampus kita sudah lama menjadi pabrik gelar. Mahasiswa digiring untuk cepat lulus. Aturan akademik bisa dibuat lebih fleksibel. Dulu, kampus negeri adalah harapan bagi anak bangsa yang pandai, tapi tidak punya cukup uang. Kini, baik negeri dan swasta berlari di jalur yang sama, yakni bagaimana meraup kapital sebanyak-banyaknya dari mahasiswa. 

Jika Anda miskin, jangan harap bisa sekolah di situ. Kampus hanya milik mereka yang bisa membayar mahal. Bahkan jika Anda berhasil masuk dan jadi mahasiswa pintar sekali pun, jangan harap bisa meniti karier dengan mudah sebagai akademisi. 

Biar pun punya banyak publikasi, Anda akan kalah bersaing dengan rekan Anda yang meniti karier dari angkat-angkat tas seorang guru besar. Kecerdasan Anda tak akan bisa jadi tiket jadi akademisi, ketika ada memo dan titipan dari atas, mulai dari rektor hingga kepala daerah.

Dulu, filsuf Plato bersama murid-muridnya punya angan-angan tentang Taman Akademos di mana semua orang sama-sama mencari pengetahuan. Mereka membayangkan taman itu dipenuhi pencinta ilmu yang sama-sama mengajukan pertanyaan-pertanyaan, lalu berusaha menemukan jawaban-jawaban.

Hari ini, kampus kita punya banyak akademisi, yang tidak semuanya tekun mengajar, sebab sibuk jadi konsultan, nyambi jadi pejabat, atau mungkin sedang mengerjakan proyek pesanan. Banyak guru besar, yang gelarnya hanya casing, serupa gelar haji yang disematkan politisi saat pilkada. Gelar itu bukan tolok ukur pengetahuan, tapi serupa gelar bangsawan yang bisa bikin minder orang lain.

BACA: Terlalu Kecil Gelar Profesor untuk Mega


Mereka jarang di kampus, namun akan berbondong-bodong masuk saat ada momen pemilihan rektor. Para penghuni “taman akademos” ini akan berkubu-kubuan demi mengusung kandidat tertentu. 

Di satu kampus negeri di wilayah antah-berantah, calon rektor tidak pernah sibuk membangun gagasan-gagasan jika kelak terpilih. Yang dilakukan tiap hari adalah membuat pengajian yang dihadiri para akademisi pendukungnya. 

Di situlah, calon rektor akan melobi pendukungnya dengan iming-iming studi banding ke luar negeri, anggaran penelitian, hingga posisi-posisi, mulai dari direktur, dekan dan wakil dekan, hingga ketua jurusan. Kadang, kubu ini akan menebar kekhawatiran pada kubu lain: “Jika kami menang, jangan harap bisa pegang posisi.”

Setelah itu, dia akan datang ke Jakarta untuk melobi menteri, lalu presiden. Di negeri kita yang aneh ini, Menteri Pendidikan punya 35 persen suara yang bisa mengubah peta pemilihan. Jika tak pandai mengambil hati pemerintah pusat, jangan harap menjadi rektor.

Belum lama ini Tempo menulis tentang para rektor yang punya track-record sebagai plagiator. Mereka melakukan copy-paste karya orang lain. Sebab mereka terpilih melalui ajang pemilihan yang serupa pilkada. Mereka mesti melakukan bargaining dengan banyak pihak, mulai internal kampus hingga pemerintah pusat. 

Mereka yang terpilih tidak selalu sosok paling cemerlang, paling bijaksana, dan paling cerdas, melainkan sosok yang paling jago melobi. Bahkan plagiator, yang jelas-jelas mengkhianati keluhuran nilai taman akademos, bisa terpilih jadi pemimpin taman ilmu pengetahuan bernama universitas.

Jangan terkejut jika hari ini seorang rektor bisa merangkap sebagai komisaris di beberapa perusahaan. Itulah hasil dari simbiosis mutualisme yang dilakukan antara kampus dan pemerintah. 

Pemerintah memberi tiket untuk seseorang terpilih sebagai rektor. Selanjutnya, rektor memberi stempel persetujuan pada semua agenda pemerintah, termasuk membungkam mahasiswanya. 

Anda jangan cemburu jika rektor punya jabatan komisaris dengan gaji selangit. Malah ada yang memegang lebih dari satu jabatan komisaris. Bisa jadi, dia dulu tim sukses calon presiden, atau mengemban misi tertentu dari pemerintah, termasuk menjadikan kampusnya sebagai basis pendukung rezim berkuasa. 

Tentu saja, ini bukan hal baru. Silakan cek di semua daerah, banyak rektor hingga guru besar yang nyambi sebagai rekanan pemerintah dan perusahaan asing, termasuk menyediakan basis akademis untuk mendukung proses kuasa dan menjadikan sains sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan pihak berkuasa.

Anehnya, banyak orang kampus yang malah bangga jika rektornya jadi komisaris. atau diangkat jadi pejabat. Mereka pikir itu adalah pertanda kampusnya disegani. Namanya kian mentereng. Banyak yang berkata, itu adalah kontribusi kampus bagi bangsa. Malah ada yang sibuk melobi untuk diangkat jadi komisaris. Mereka berkampanye: Ayo dukung jadi komisaris. 

Seorang akademisi di satu kota pernah membuat simpulan riset tentang munculnya predator intelektual di daerah-daerah. Mereka adalah orang kampus yang melegitimasi semua regulasi negara dengan cara membuat naskah akademik.  Mereka memperlancar kebijakan sehingga proyek mengalir. 

Pemerintah membalas jasa mereka dengan memberikan jabatan atau kursi komisaris di banyak perusahaan, baik milik pemerintah maupun swasta. Mereka jadi bagian dari kerja sama yang menguntungkan. Mereka merasa sukses dan kian kaya. Kampus bangga karena warganya jadi pejabat dan komisaris. Semuanya bernyanyi: “Gaudeamus igitur.” Mari bersenang-senang.

Di titik ini, kita paham jika Mahatma Gandhi pernah menulis tentang tujuh dosa sosial. Dua di antaranya adalah “Pengetahuan tanpa karakter” dan “Ilmu tanpa kemanusiaan.” Kita melihat dosa sosial itu di depan mata kita, di kampus-kampus kita, di rumah kebangsaan kita.



Ding Jia Xi

 


Perempuan muda heroik itu bernama Ding Jia Xi atau Ma Kyal SIn, sering juga disebut Angel. Usianya baru 19 tahun, usia yang tengah yang mekar-mekarnya. Dia seorang anak tunggal, yang diharapkan orang tuanya agar kelak menjadi sosok yang mandiri.
 
Di Myanmar, dia memilih bergabung dengan barisan demonstran. Nalurinya terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi negerinya. Dia tidak berniat untuk sekadar gagah-gagahan lalu berpose alay atau bikin postingan tiktok tentang aksi.
 
Dia memang mempersiapkan semua kemungkinan terburuk. Dia memakai kaos hitam bertuliskan ”Everything will be OK” Dia juga mengantongi pengenal, yang di belakangnya ada informasi golongan darah, jika kelak dia tertembak dan butuh transfusi.
 
Dia memang tertembak. Saat aparat menembakkan gas air mata, dia menerobos asap gas untuk membuka keran air yang dipakai para demonstran untuk membasuh mata yang perih. Saat itulah, sebutir peluru bundar menembus kepalanya.
 
Orang-orang merubung. Semua merinding. Di tanda pengenalnya, dia telah menulis pesan kematian. "Jika saya terluka dan tak dapat kembali ke kondisi yg baik, tolong jangan selamatkan saya. Saya akan memberikan bagian tubuh saya yang berguna pada seseorang yang membutuhkannya."
 
Di negeri itu, sudah ada 40 orang demonstran yang tewas demi melawan rezim militer. Para aktivis Myanmar menampilkan perlawanan dengan cara yang mengagumkan. Mereka menggunakan semua kanal media. Mereka terjun ke jalan-jalan dan menjadi perisai bagi para demonstran.
 
Melihat potret gadis muda yang ditangisi banyak orang itu, saya terkenang puisi Toto Sudarto Bachtiar tentang anak muda yang tewas di Surabaya, pada 10 November.
.
“Hari itu hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda”
.
.
.
.
Catatan: Saat dibagikan di FB, tulisan ini mencetak rekor. Disukai lebih 6.000 orang, dibagikan lebih 6.000 orang.


Dia yang Memuliakan Tanaman


Banyak orang mengaku pencinta lingkungan, tetapi saat bertemu lingkungan, ekspresinya biasa saja. Namun Oday Kadariyah berbeda. Saat melihat tanaman, apalagi tanaman obat, dirinya sontak kegirangan. Wajahnya memancarkan bahagia.

Di Ciwidey, Bandung, ibu berusia 67 tahun itu mengajak saya mengunjungi bukit lokasi Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam yang dia kelola. Dia mengajak saya memasuki herbarium serta green house untuk melihat tanaman-tanaman obat.

Dia menyapa tanaman-tanaman. “Hallo, apa kabar? Senang lihat kamu sehat dan subur,” katanya sembari mencium daun tanaman. Dia hirup aromanya sembari matanya tertutup. Dia resapi semua bau, lalu sejurus kemudian, dia tersenyum. Dia belai dan sentuh tanaman itu. Rona gembira dan bahagia memancar di wajahnya.

Saya jarang menemukan ekspresi seperti ini. Dia melihat tanaman seperti manusia, bukan komoditas. Tanaman dilihatnya sebagai entitas biologis. Tanaman punya jiwa, punya nyawa, sebagaimana manusia.

Mungkin ini yang menjelaskan mengapa tanaman bisa mengeluarkan semua saripati terbaik untuk Ibu Oday. Beberapa tahun silam, dia terkena kanker serviks ganas. Dokter sudah angkat tangan. Saking banyaknya, obat-obatan berbahan kimia sudah tidak bisa lagi masuk di tubuh Oday. 




Saat itu, suami Oday bertemu seorang kerabat dari Sumatera yang memberikan tanaman bawang dayak (eleutherine bulbosa). Suaminya merebus bawang dayak itu, kemudian meminta Oday meminum airnya. Di situlah, keajaiban terjadi. Perlahan dia membaik.

Momen sembuh dari sakit itu jadi titik balik dalam hidupnya. Dia mencintai semua tanaman obat lalu perlahan menanam. Kini, di Ciwidey, dia punya satu bukit seluas 21 hektar yang kini ditumbuhi 900 varietas tanaman obat. Oday pun membantu banyak orang untuk sembuh. Dia mendapat Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan.

Cinta telah merekatkan Oday dengan semua tanaman. Berkat cinta pula, tanaman memberikan keajaiban berupa mukjizat kesembuhan. Tanaman menjadi penyembuh, penyedia pangan, penyedia oksigen, dan penyedia semua ekosistem yang membuat Oday lebih bahagia.

Saya pun bahagia bertemu Oday. Saat meninggalkan kebun itu, dia memberi hadiah tanaman obat yang sudah diolah jadi ramuan. Dia memberikan satu botol berisi cairan warna gelap yang disebutnya Super-Imun. “Ini adalah saripati tumbuhan. Sudah ada beberapa orang terkena Covid minum ramuan ini. Semuanya sembuh,” katanya.

Saya pun berbinar bahagia.



Menonton DISTOPIA


Sejak angka korban pandemi kian meninggi, saya kurangi update informasi di media. Ada banyak sedih setiap mengintip timeline media sosial. Ada pula banyak kesal melihat pandemi tidak bisa dikendalikan. 

Sejak pandemi pula, saya semakin menjadi pemalas yang lebih banyak di rumah. Saya ikuti kata komika Ernest Prakasa, saat ini kita jangan berpikir tentang produktivitas dulu. Jangan berpikir kekayaan dulu. Target kita adalah bagaimana bisa bertahan, bagaimana bisa tetap sehat walafiat saat pandemi berlalu. 

Jika spesies manusia tengah mengalami kepunahan akibat Corona, maka kita harus menjadi bagian dari spesies yang survive untuk melanjutkan kehidupan di bumi. Kita punya tanggung jawab untuk membangun bumi dari situasi yang porak-poranda. 

Makanya, patuhi semua prokes. Jangan merasa pintar dan kebal lalu abai kesehatan. Jangan merasa jago, tidak bermasker, petantang-petenteng, setelah itu terkapar di ICU rumah sakit dan merepotkan keluarga yang harus mencari oksigen. Segeralah vaksin, dan lebih banyak di rumah. 

Kata Darwin, mereka yang survive, bukanlah mereka yang paling kuat, paling hebat, dan paling pintar. Tapi mereka yang paling kreatif dan tahu bagaimana strategi bertahan. 

Selain urus kucing yang baru saja melahirkan, aktivitas saya di rumah hanya ada dua: membaca dan menonton. Entah kenapa, sejak pandemi, saya sangat suka mengikuti topik mengenai distopia. 

Saya suka membaca dan menonton film tentang bencana besar, kepunahan manusia, dunia yang muram, serangan wabah atau virus, serbuan alien, time travel, hingga konflik antar manusia pasca bencana.

Saya membaca ulang beberapa buku mengenai distopia, yang semakin bikin pesimis lihat tingkah manusia di bumi. Di antaranya 1984 dari George Orwell, Sixth Extinction dari Elizabeth Kolbert, Brave New World dari Aldous Huxley, The Uninhabitable Earth dari David Wallace Wells, Homo Deus dari Yuval Noah Harari. Saya masih mencari novel IQ84 dari Haruki Murakami.

Bahkan saya juga membaca novel populer Tere Liye berjudul Hujan yang mengisahkan bencana besar di bumi tahun 2049, manusia merekayasa cuaca sehingga memicu kepunahan, kemudian ada ilmuwan membuat pesawat untuk menampung ribuan manusia pindah ke langit.

Di Netflix, semua film dan serial tentang distopia sudah saya tamatkan. Yang paling membekas adalah beberapa serial, di antaranya adalah Black Mirror, The 100, The Sweet Tooth, Tribes of Europa, Ragnarok, Social Dilemma, dan film dokumenternya David Attenborough. Film terakhir ini sempat bikin gak bisa tidur.

Kemarin, saya lihat postingan seorang kawan mengenai film The Tomorrow War. Saya tertarik karena genrenya adalah mengenai distopia dan time travel. Saya lihat tayang di Amazon Prime. Langsung saya langganan Amazon Prime karena saya tidak puas nonton di situs bajakan. Sering buram, ngadat, dan diselingi iklan

The Tomorrow War adalah film baru, tahun 2021 yang diperankan Chris Pratt (pemeran Star Lord dalam Guardian of Galaxy dan Avengers: Endgame). 

Cerita film ini dimulai adegan pertandingan Piala Dunia 2022 di Qatar, di mana Brazil sedang bertanding. Saat itu, di tengah lapangan yang ditonton ribuan orang, portal waktu terbuka. Ada prajurit masa depan yang datang dan meminta bantuan manusia. Rupanya, di masa depan, populasi manusia akan punah karena serbuan alien. Manusia masa kini dibawa ke masa depan untuk bertempur.

Saya pikir situasinya persis dengan apa yang kita hadapi sekarang. Saat kita dihantam pandemi, kita butuh pesan dari masa depan yang mengingatkan kita untuk tidak lengah. Film The Tomorrow War ini bukan jenis film yang memenangkan penghargaan, namun sangat menghibur. Saya cukup menikmatinya.

Selesai nonton film ini, saya lihat ada banyak serial bertemakan distopia di Amazon Prime. Hmm., Sepertinya, saya akan kembali begadang untuk menghabiskan serial sembari menunggu jadwal final Euro. Saya berharap Inggris yang menang, tapi sepertinya kali ini milik Italia. 

Gimana menurut Anda?


Akankah Bendera Putih Berkibar?

ilustrasi


Di Malaysia, rakyat mengibarkan bendera putih di depan rumah sebagai tanda permintaan bantuan di tengah kian merebaknya pandemi Covid-19. Di tanah air kita, para netizen bertanya, kapan Jokowi beserta Airlangga, Luhut, dan Erick Thohir mengibarkan bendera putih?

Negara-negara komunis dan kapitalis perlahan mulai keluar dari pandemi. Tapi kenapa negara kita yang memilih haluan Pancasila ini justru kian parah? Apa yang salah dengan kita?

Marilah kita jujur-jujuran. Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ibu pertiwi sedang bersusah hati menyaksikan anak-anaknya gugur satu demi satu karena serangan pandemi. Ibu pertiwi kian bersusah hati melihat para nakes yang berjibaku di garis depan serangan. Mereka ikut menjadi korban. Satu demi satu.

Di sisi lain, kita menyaksikan kerja-kerja pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang kian tak tentu arah. Saat seorang menteri berkata, lonjakan kasus ini tidak diprediksi sebelumnya, maka segera terasa betapa abainya pemerintah kita pada sains. Jika ikuti jalan sains, semua kemungkinan sudah bisa diduga, sehingga antisipasi akan disiapkan. 

BACA: Saat Corona Menyerang Homo Deus


Para ahli telah memprediksi adanya lonjakan begitu varian delta mulai mengganas di India. Jika pemerintah waspada, tentunya, saat itu akan segera bersiap. Oksigen mulai dipersiapkan di semua daerah. Rumah sakit darurat segera disiagakan. Tak boleh ada anak bangsa yang ditolak rumah sakit dan meninggal dengan tragis di rumah saat isolasi mandiri.

Sepertinya, lebih mudah menyalahkan masyarakat yang tidak patuh prokes, tidak melaksanakan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan. Tapi, kita juga harus mengakui kalau pemerintah pun lalai menjalankan kewajibannya yakni 3T yakni test, tracing, dan treatment. Rupanya, 3M dan 3T itu sama-sama tidak jalan. Sama-sama timpang.

Jalan yang kita pilih adalah sinergi ekonomi dan kesehatan. Energi kita separuh untuk kesehatan, separuhnya untuk ekonomi. Rumus ini tidak berlaku saat varian delta datang, dan berkembang lebih cepat. Pergerakan ekonomi ibarat memantik api di atas bensin. Ekonomi tumbuh pelan, tapi kasus penularan kian tak terkendali.

Padahal, di negara-negara lain, baik haluannya kapitalis maupun komunis, ekonomi dan kesehatan tak mungkin jalan seiring. Kesehatan adalah prioritas utama, setelah itu barulah ekonomi. Selamatkan rakyat dahulu, barulah kita bisa bicara tentang pemulihan. Jalan ini dipilih oleh semua negara. Kita ingin tampak beda. Makanya pilih solusi keseimbangan.

Sayangnya, keseimbangan itu hanya ilusi. Negara-negara yang menyatakan perang total, kini mulai membangun ekonomi dengan lebih dahsyat. Di Eropa, pemerintahnya mulai menyilakan warga untuk beraktivitas tanpa masker, setelah setahun sebelumnya perang total. Lihat saja di ajang Piala Eropa, warga memenuhi stadion, tanpa masker.

Yang membedakan kita dengan mereka adalah kualitas leadership dan sense of crisis. Jika leadership adalah kemampuan untuk menggerakkan semua pihak, maka kita benar-benar sedang mengalami krisis. 

Perintah dari seorang presiden tidak selalu ditaati di level bawah. Banyak gubernur dan bupati  kepala daerah bisa saja punya kebijakan berbeda. Sementara, perintah seorang gubernur dan bupati juga bisa ditolak oleh seorang warga biasa, yang ilmu medisnya hanya didapat dari WhatsApp. 

Baik pemerintah pusat maupun daerah, semua setali tiga uang. Semua punya andil pada kian naiknya jumlah penderita. Semua punya saham pada memburuknya situasi. 

Situasi sekarang mengingatkan pada masa kolonial, saat flu spanyol menjadi wabah di negeri ini. Sebagaimana dicatat Ravando dalam buku Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, relasi antara pemerintah pusat dan daerah juga tidak berjalan harmonis. Kita bisa berkilah, itu di zaman kolonial, zaman penjajahan.

BACA: Virus yang Membuka Aib Sosial Kita


Namun, setelah puluhan tahun republik ini berdiri, daya tahannya melawan virus masih sama dengan birokrasi pemerintahan di masa kolonial. Tak ada transformasi. Dari dulu hingga sekarang, pemerintah tidak punya koordinasi yang efektif. 

Tak hanya situasi birokrasi. Jumlah kematian dulu dan sekarang juga sama-sama tinggi. Belajar dari flu spanyol, angka kematian kian meninggi saat memasuki gelombang kedua. Sejarawan Colin Brown yang meneliti flu spanyol di Hindia Belanda (Indonesia) menyebut angka kematian yakni 1,5 juta jiwa. Angka ini masuk dalam laporan pemerintah kolonial.

Pernyataan ini dibantah sejarawan Profesor Siddhart Chandra dari Michigan State University, yang juga meneliti flu spanyol di Indonesia pada arsip-arsip laporan tahunan Departemen Kesehatan Pemerintahan Hindia Belanda (BGD). Siddhart menyebut penduduk yang tewas akibat flu spanyol berkisar 4,26 juta hingga 4,37 juta jiwa. Jumlah terbesar ada di Jawa dan Madura.


Dari era kolonial hingga era republik, problem kita satu; selalu melangkah di lubang yang sama. Kita gagal membangun satu sistem pelayanan kesehatan yang tangguh menghadapi pandemi. Kita belum menjadikan ilmu pengetahuan sebagai fundasi membangun sistem. Pendekatan kita serupa pemadam kebakaran. Saat ada api, barulah bergerak. Kita tidak menata bangunan sistem sosial kita untuk menghadapi banyak wabah.

Jika kita tak ingin mengalami dampak seperti flu spanyol, apa yang harus dilakukan?

Pertama, benahi tata kelola pemerintahan. Perbaiki hubungan antar pemerintah pusat dan daerah, juga hubungan antar lembaga negara. Semua harus bertempur di sisi yang sama, yakni melawan Covid. Bukan masanya mencari siapa salah dan siapa benar, siapa kalah dan siapa menang, siapa bodoh dan siapa pintar. Semua energi terbaik dikerahkan agar kita segera keluar dari krisis pandemi. 

Pemerintah harus menemukan solusi. Aparat negara harus bergerak seiring untuk memutus mata rantai penyebaran wabah, sembari tetap menjaga nyala optimisme semua anak bangsa. Negara harus hadir bersama rakyatnya

Kedua, semua anak bangsa tidak berniat jadi pahlawan di momentum krisis ini. Pilpres tahun 2024 masih jauh. Ketimbang sibuk menyalahkan organ pemerintah lainnya, lebih baik segera bekerja dan menyisir apa yang perlu dilakukan. 

Lihat saja, semua mau cari panggung. Mulai dari menteri yang sibuk promosi obat cacing, menteri yang sibuk nonton sinetron di tengah pandemi, menteri yang malah sibuk ke luar negeri, hingga kepala daerah yang datang ke kuburan. Padahal, publik butuh harapan di tengah situasi yang kian mengkhawatirkan. Publik butuh peta jalan ke mana bahtera republik akan bergerak.

Kerjalah dengan ikhlas demi ibu pertiwi yang sehat. Perkuat tracing, perbanyak vaksin, benahi penyaluran bansos. Jika kerja Anda bagus, Ibu Pertiwi pasti akan mencatatnya. Jika buruk, tak perlu sibuk menyalahkan yang lain. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan.

BACA: Mendayung di Antara Dua Karang Covid


Kegagalan kita mengelola pandemi selalu berpangkal pada banyaknya orang di sekitar kita yang ingin tampil dan disorot publik. Informasi dan pencitraan terus mengalir sehingga publik mengira semuanya sudah diatasi. Padahal, semuanya ibarat karpet yang menutupi lantai yang penuh lubang.

Ketiga, perlunya memperkuat kembali solidaritas warga. Selama ribuan tahun tanah air berdiri. Silih berganti namanya, mulai dari kerajaan hingga NKRI, satu hal yang selalu ada dan melekat pada bangsa ini adalah ketangguhan masyarakat. 

Kita punya solidaritas kuat terhadap manusia lain di sekitar kita. Saatnya membangkitkan semua solidaritas itu agar bangsa ini tidak jatuh. Saatnya bekerja bersama, saling membantu, dan saling membentengi diri dan komunitas agar covid segera berlalu. 

Tentunya, kita tak perlu kibarkan bendera putih sebagai tanda kalah. Kita harus terus bertempur demi menjaga anak bangsa kita agar terhindar berbagai bencana. Kita ingin memperkuat Ibu Pertiwi agar tidak bersusah hati, agar air matanya tidak berlinang. Kita ingin sama bernyanyi:


Kulihat ibu pertiwi

Kami datang berbakti

Lihatlah, putra-putrimu

Menggembirakan ibu


Ibu, kami tetap cinta

Putramu yang setia

Menjaga harta pusaka

Untuk nusa dan bangsa



Daeng Baco di XL Awards


Setelah menang lomba esai ekonomi yang diadakan Sekretariat Kabinet RI, hasrat saya ikut lomba menulis yang berhadiah besar belum padam. Bagi saya, ikut lomba menulis adalah aktivitas yang cocok untuk orang pemalas seperti saya. Cukup kirim tiga lembar, hadiahnya bisa untuk hidup beberapa bulan.

Hari itu, kompasianer asal Bandung, Maria G Soemitro, memberi tautan tentang lomba menulis yang diadakan operator seluler XL. Lomba menulis yang tajuknya XL Awards 2014 itu hadiahnya cukup besar, yakni 30 juta rupiah. Lomba ini ditujukan untuk kategori umum, jurnalis, dan fotografer. Tanpa banyak menimbang, saya memutuskan untuk ikut.

BACA: Motor Jokowi


Saya lihat komposisi jurinya adalah para influencer senior. Sebagaimana di tulisan sebelumnya, jangan menulis sesuatu mengenai Jakarta atau tema-tema yang sering diangkat di televisi. Juri lomba, yang kebanyakan domisili di Jakarta, pasti jenuh dengan topik itu. 

Carilah topik mengenai kampung, atau hal menarik di titik yang jauh dari kota. Indonesia ini amat luas. Di setiap tempat, ada banyak hal menarik. Ada banyak kisah petualangan, kisah inspiratif, ataupun kisah-kisah perjalanan. 

Saya pun melihat penyelenggaranya adalah operator seluler. Saya pikir ketika korporasi mensponsori lomba, pasti mereka punya kepentingan. Bisa jadi, mereka ingin diapresiasi, tapi malu-malu mengungkapkannya. Sebagai peserta, kita penuhi keinginan diam-diam itu, sembari tetap menjaga kualitas. Kita memelihara peluang besar.

Sebagaimana saya katakan sebelumnya, ketika menang lomba bukan berarti tulisanmu yang terbaik, melainkan tulisan yang paling pas dengan selera para juri dan penyelenggara lomba.

Dalam setiap lomba, pemenangnya adalah tulisan yang vibranya positif. Jangan penuh teori dan bahasa tinggi. Bikin tulisan yang memuji, tapi dalam takaran yang pas. Sebab kelebihan memuji juga bisa overdosis. Orang2 gak suka.

Kebetulan sekali, ketika menyiapkan tulisan untuk lomba, saya nyambi kerja sebagai Konsultan Media and Knowledge Management di Destructive Fishing Watch (DFW). Ini lembaga keren yang diisi anak muda peduli kelautan. Berkat lembaga ini, saya beberapa kali turun lapangan ke pulau-pulau demi bertemu nelayan dan menemani fasilitator lapangan.

Hari itu, ketika berkunjung di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, saya menemukan kisah tentang anak muda yang berprofesi sebagai nelayan, namun menerapkan teknologi yakni fish-finder. Teknologi menentukan posisi ikan, kemudian anak muda itu tinggal datang untuk menangkapnya.

BACA: Setelah Motor Jokowi


Saya temui anak muda itu kemudian berbincang-bincang. Dulu Daeng Baco, demikian dia disapa, sering membom ikan, namun beralih menjadi nelayan muda yang memaksimalkan teknologi. Sayang, saya lupa tanya apakah dia memakai XL ataukah tidak. Namun, saat saya datang ke lokasi, saya mengetes sinyal XL ternyata cukup kencang.

Saya ramu semua bahan-bahan itu menjadi tulisan. Ada beberapa bagian yang didramatisasi biar nampak wow. Ini kan bukan laporan jurnalistik yang faktanya harus tepat. Saya juga tidak yakin para juri akan melakukan verifikasi di lapangan.



Saya lihat di media kalau XL lagi promosi program yang namanya Internet Ngebut. Saya gambarkan, nelayan muda itu tertarik dengan promosi di internet, lalu menerapkannya untuk aplikasi fish-finder. Saya kemas jadi cerita yang menarik dan bernas. Saya beri judul: Kisah Ajaib Mantan Pembom Ikan.

Saya kirim tulisan itu, lalu lupakan. Dengan cara begitu, saya tidak banyak berharap. Eh, dua minggu berikutnya, keluar pengumuman kalau saya jadi pemenang. Pengumuman itu dipasang di banyak media-media besar. Selain nama saya, ada nama Maria G Soemitro sebagai pemenang favorit.

Pihak XL menyiapkan tiket agar saya ke Bandung menghadiri penyerahan hadiah. Semua tiket ditanggung. Sayang, saat itu saya tak bisa datang. Saya hanya bisa memantau beritanya di media online.

Jika ada netizen bertanya, apa bisa mobil dengan menang beberapa lomba itu? Jawabannya iya. Sayang, saya cukupkan cerita mengenai lomba menulis. Tiga seri tulisan di FB rasanya cukup untuk sekadar narsis. 

Tujuan saya adalah semua orang bisa belajar dari kiat ikut lomba serta bisa menerapkannya untuk menghasilkan tulisan yang bergizi. Yang terpenting dari menulis adalah bisa menjadi jalan silaturahmi dengan siapa pun, di mana pun berada. 

Soal menang lomba, itu hanya bonus. Tapi, penting juga sih. Hehehe.




Setelah Motor Jokowi


Tak sampai sebulan, hadiah lomba menulis yang diadakan relawan capres udah habis. Sebagian besar hadiah sudah dipake beli motor, yang dinamakan Motor Jokowi. Untungnya, royalti menulis buku di sebuah penerbit ternama datang pula. Sayang, jumlahnya hanya sekitar 12 juta. Kok kecil?

Bagi saya, jumlah itu sangat kecil setelah buku dipajang di Gramedia selama setahun. “Ah itu udah lumayan. Novel saya lebih kecil royaltinya,” kata sahabat, seorang sastrawan muda pemenang sayembara novel di Dewan Kesenian Jakarta, yang karyanya juga dijual di Gramedia.

Seorang teman penulis puisi menyebut angka di bawahnya. Teman lain yang meraih gelar PhD dari luar negeri lebih apes lagi. Dia tak menerima royalti, malah harus nombok ke penerbit. Wajar sih. Saya lihat judul bukunya saja sudah pusing, yakni Statistik Multivariat. Buku lainnya adalah Strukturasi dan Kerentanan Sistem Sosial Kita. Saya yakin, dikasih hadiah motor pun, orang awam gak mau baca.

Mari kita hitung pendapatan penulis. Anggaplah pendapatan royati selama setahun adalah 12 juta. Setahun bukunya dipampang di toko buku. Setahun juga dipromosikan sampai muntah. Artinya, dalam sebulan seorang penulis hanya menerima 1 juta rupiah. Padahal proses menulisnya bisa enam bulan sampai setahun. Benar kata Puthut EA, pekerjaan macam apa itu? 

BACA: Motor JOKOWI


Masih mending jadi buruh pabrik sepatu di Cibinong, yang dalam sebulan bisa bawa pulang uang 4 juta rupiah. Yah, mau ginama lagi. Itulah nasib mereka yang memilih jalan pedang sebagai penulis.

Saat itu, saya melihat linimasa Twitter. Ada lomba menulis esai ekonomi yang diadakan Sekretariat Kabinet RI. Esainya pendek, cukup 3 halaman lebih. Hadiahnya 25 juta rupiah. Wow. 

Bagi saya, menang lomba menulis ibarat menang lotere. Bukan berarti tulisanmu terbaik, tapi tulisanmu yang paling memenuhi selera juri serta panitia lomba.

Nah, tema lomba itu adalah Kredit Usaha Rakyat. Saya tidak punya pengetahuan apa-apa tentang tema ini. Tapi saya ingin pelajari, lalu ikut lomba itu. Batas lombanya adalah sebulan kemudian.

Saya mengulang kembali strategi yang diterapkan selama ini. Jangan ambil tema yang lagi ramai di media. Cari kisah-kisah dari kampung. Temukan tema yang unik dan tidak biasa. Jangan penuh kata-kata canggih dan teori-teori. Bikin tulisan yang sederhana, langsung pada sasaran.

Saya lihat ketua tim juri adalah Profesor Firmanzah, Rektor Paramadina. Selama beberapa hari saya cek di yutub apa saja komentar-komentarnya. Saya catat tema-tema yang sering dia bahas. Saya baca buku-bukunya, lalu bikin daftar keyword atau kata-kata kunci yang sering dia ulang-ulang.

Sebagai peneliti di kampus besar, yang punya akses pada perpustakaan, saya mulai dengan membaca. Saya kumpulkan buku-buku. Saya unduh banyak riset tentang kredit rakyat. 

Seminggu membaca bahan, saya diminta ibu pulang kampung ke Pulau Buton. Saya lupa urusan apa. Saat itu, saya mengisi waktu dengan keliling kampung nelayan dan berbincang dengan mereka. Saya ketemu banyak paman dan keluarga yang berprofesi sebagai nelayan.

Saya ngobrol banyak. Dalam riset, ini adalah proses wawancara mendalam. Saya mendapat banyak data penting. Di antaranya nelayan enggan ke bank. Sebab bank identik dengan kantor yang bersih, harum, karyawannya cantik2. Mereka ingin kantor yang suasananya ala pasar. Mereka bisa pede datang dengan bau laut, tidak harus mandi dan rapi.

Saya ketemu kawan semasa kecil yang mengelola koperasi. Dia lama merantau di Ambon, lalu pulang dan bikin koperasi nelayan. Saya ngobrol sambil memandang senja di ufuk sana. Eh, dia mengajak saya menikmati olahan ikan parende yang segar.

Saya juga baca publikasi mengenai Muhammad Yunus di Bangladesh. Saya tertarik dengan kisahnya. Saya kombinasikan dengan pengalaman kawan saya untuk meramu tulisan yang akan diikutkan lomba.

Hanya butuh beberapa hari, saya selesaikan tulisan. Saya gabungkan pengalaman kawan saya dengan apa yang terjadi belahan bumi lain. Saya masukkan juga beberapa data. 

Setelah kirim tulisan, saya merasa plong. Memang dan kalah sudah bukan lagi tujuan. Saya senang dengan kerja-kerja mempersiapkan tulisan itu. 

Dua minggu berikutnya, datang telepon dari Jakarta. Penelepon menyebut namanya Prof Firmanzah. Dia bilang saya adalah pemenang lomba. Dia juga bilang, “Apa saya bisa ketemu dengan nelayan yang Anda tulis?” 

Saya tidak lagi mendengar apa kalimat selanjutnya. Saya seolah tidak berpijak di bumi. Uang hadiah seakan sudah di tangan. Dibelikan apa yaa? Mau beli mobil, jelas tak cukup. Sembari ngobrol, saya lihat ada lomba yang hadiahnya lebih besar.

Nanti saya ceritakan. Ingatkan saja.


Artificial Intelligence yang Perlahan Menyingkirkan Manusia


Sejak direkomendasikan Bill Gates, bersama buku karya Steven Pinker dan Yuval Noah Harari, saya sudah memasukkan buku Life 3.0 karya Max Tegmark ini dalam list buku yang wajib dibaca.

Buku Life 3.0 membahas tentang material ciptaan manusia, yang kemudian berkembang menjadi lebih cerdas dari manusia sendiri. Buku ini membahas seluk-beluk Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), yang kini menjadi jantung dari teknologi hari ini.

Hal paling mengagumkan dari rentang panjang 13,8 miliar tahun sejak terciptanya alam semesta yakni adanya benda mati yang tidak memiliki jiwa atau pikiran, namun akhirnya memiliki kecerdasan. Itulah kisah AI.

BACA: Tarung BIG DATA di Balik Laga Jerman Versus Inggris


Berkat AI, manusia bukan hanya bisa mengendalikan bumi dan merancang kehidupan yang lebih mudah, tetapi perlahan merambah ke jagat raya, menjelajah tata surya pada bidang yang tak bertepi.

Tadinya, AI ibarat mainan yang diciptakan manusia untuk membantu beberapa pekerjaan menghitung dan komputasi. Siapa sangka, AI berkembang pesat hingga mengalahkan manusia. Tentunya, kita semua mengingat bagaimana Gary Kasparov dikalahkan komputer Deep Blue yang berbasis AI.

Sebagai mesin, AI terus bisa meningkatkan kecerdasannya. Semakin banyak input data, maka dia semakin cerdas dalam menganalisis berbagai pola. Tidak mengejutkan, jika AI menjadi jantung dari modernitas hari ini. AI bersama Big Data menjadi benda paling bernilai di zaman kini, mengalahkan emas dan minyak bumi di abad-abad lalu.

Bahkan perlahan, kita melihat banyak manusia yang tersingkir dari pekerjaannya karena AI bisa menggantikannya dengan lebih efektif dan efisien. Jika Anda menonton film dokumenter American Factory, bagian akhirnya cukup menyedihkan. 

Ratusan warga Amerika, buruh pabrik di perusahaan kaca mobil asal Cina berlokasi di Amerika, yang dikit-dikit demonstrasi, makin tak berdaya ketika melihat pekerjaannya diganti dengan lengan-lengan robot yang lebih efektif, efisien, patuh, dan tak mengenal demonstrasi.

BACA: Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus


Di buku ini, saya menemukan banyak cerita menarik tentang peran besar yang kini dimainkan AI. Mulai dari mobil cerdas, internet of things, dunia medis, hukum, militer, hingga penerbangan antariksa. AI menjadi kecerdasan yang mengendalikan dunia.

AI membentuk wajah dunia hari ini dan masa mendatang. Bahkan di masa mendatang, AI diperkirakan akan menjadi musuh manusia, persis apa yang kita saksikan dalam film-film bertema distopia dan science fiction. Dalam buku Homo Deus, terdapat uraian panjang tentang bagaimana AI mulai merambah bidang seni dan kreativitas manusia, sesuatu yang tadinya dianggap tidak akan bisa dikerjakan mesin.

Saya ingat, di dunia jurnalisme sedang berkembang jurnalisme robot. Media-media besar di luar negeri, mulai menggunakan AI untuk menghasilkan liputan straight news. Beberapa berita, mulai ekonomi dan olahraga, mulai dikerjakan robot, bukan lagi manusia. Cara kerjanya adalah menyiapkan template, tinggal mengisi skor dan angka-angka.

Life 3.0, yang masih merupakan terminologi baru di era teknologi saat ini. Sejak awal kehidupan, secara garis besar, kehidupan yang berlangsung di dunia ini terbagi dalam tiga tahapan besar, yaitu tahap evolusi biologis (life 1.0), evolusi budaya (life 2.0), serta evolusi teknologi (life 3.0).

Di era Life 3.0, teknologi akan mampu mengubah atau menyempurnakan bentuk fisik manusia agar lebih mampu menghadapi tantangan perubahan lingkungan. Teknologi pun akan mengubah lanskap kehidupan.

Penulisnya Max Tegmark adalah profesor fisika di MIT, yang bersahabat dekat dengan Elon Musk dan para pendiri Google yakni Larry Page dan Sergey Brink. Dia menulis topik yang lama digelutinya, sehingga terasa kedalaman dan keluasan pembahasannya.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital


Sebagai orang yang tidak intens belajar fisika, saya agak kesulitan ketika membaca buku ini dalam bahasa Inggris. Untunglah, saat keluar versi bahasa Indonesia pun, yang diterbitkan Elex Media Komputindo, saya bisa sedikit memahami. Saya bisa menangkap poin penting yang sedang didiskusikan.

Dari sisi bahasa, saya menganggap masih jauh lebih renyah Carl Sagan dalam membahas fisika, khususnya mengenai astronomi dan kosmologi. Carl Sagan adalah maestro yang bisa mengubah fisika semenarik sastra, sains bisa semenarik dongeng, dan matematika seindah melukis. 

Namun kedua fisikawan ini menggarap dua tema yang berbeda. Tema yang dibahas Max Tegmark sangat spesifik. Dia membicarakan tentang benda mati ciptaan manusia dalam ratusan lembar, mendiskusikan kode dan logika, juga membahas implikasinya bagi kehidupan manusia. Dia membahas komputer dengan runtut, mulai dari Alan Turing hingga era Googe dan Microsoft.

Karena ditulis fisikawan, sejak awal kita sudah berkenal dengan nama-nama fisikawan, seperti Ernest Rutherford dan Stephen Hawking. 


Buku ini memberikan pencerahan kepada saya bahwa semua teknologi yang berkembang hari ini dan masa depan, semuanya dimulai dari imajinasi dan angan-angan para fisikawan. 

Para fisikawan tidak selalu satu suara. Mereka berdebat dalam berbagai forum akademik. Terhadap AI, mereka tidak satu suara. Ada yang skeptis, ada pula yang optimis. Berkat perdebatan itu, kita bisa melihat banyak lompatan teknologi dan kemajuan hari ini.

Seusai membaca buku, saya termenung, betapa jauhnya bangsa kita dalam penguasaan dunia sains dan teknologi. Bangsa-bangsa lain sudah menciptakan robot dengan AI yang tinggi dalam skema internet of things. 

Tapi setidaknya, kita punya alibi atas ketidakmampuan. Kita memang kalah dalam teknologi. Namun kita menang dalam perlombaan menuju surga. Buktinya, ada banyak rumah ibadah bertebaran di negeri kita. Ada banyak penghafal kitab. Banyak pula orang yang mengklaim Covid akan kalah oleh mantra, doa, dan sihir.

Kata seorang menteri, “Ntar juga sembuh sendiri kok.”