|
seorang anak di Panti Asuhan |
DAHULU, di daerah ini hanya ada satu
panti asuhan. Kini, sudah ada beberapa panti asuhan yang semakin banyak
menampung anak-anak yatim piatu. Saya selalu bertanya dalam hati, apakah ini pertanda lemahnya kesetiakawanan warga kampung sehingga seorang anak dititipkan ke
panti? Ataukah ini juga cerminan dari semakin tingginya tingkat kemiskinan
sehingga jumlah panti asuhan bertambah?
***
ANAK kecil itu beberapa kali tersenyum
saat melihat kamera. Di saat teman-temannya menghindar untuk disorot kamera,
anak itu malah menghadap kamera. Rona keceriaan tak pernah lepas dari wajahnya.
Ia tertawa gembira ketika melihat wajahnya di layar kamera. Tanpa canggung, ia
datang melihat hasil jepretan saya di tempat itu.
Saya bertemu anak itu di Panti Asuhan
Madin Al Ikhlas di Sorawolio, Baubau. Ia adalah satu dari sekitar 40 anak yatim
piatu yang tinggal di panti tersebut. Saya datang bersama sahabat-sahabat yang
tergabung di Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Baubau. Kami
mengadakan sosialisasi internet sehat, sekaligus berbagi pengalaman dengan
anak-anak panti asuhan.
Anak kecil itu tak menjawab ketika saya
sapa. Ia hanya cengengesan kemudian melenggang pergi. Menurut salah seorang
ustad yang duduk tak jauh dari situ, anak itu berasal dari Wawonii, sebuah
tempat yang cukup jauh. Seseorang datang menitipkannya ke situ dengan harapan
agar anak itu bisa bersekolah. Sayangnya, di panti asuhan itu hanya ada
pendidikan di level madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar.
Panti asuhan ini baru berusia sekitar
setahun. Panti ini terletak tak jauh dari kota Baubau. Saya berkendara sekitar
setengah jam, dan sebelumnya sempat nyasar ke dua panti asuhan lainnya.
Perjalanan menuju panti ini membuat saya paham bahwa di kampung kami, telah
berdiri beberapa panti asuhan. Jika satu panti menampung 40 anak, maka ada
sekitar 250 orang anak yang ditampung di Panti Asuhan.
Saya melihat bahwa rata-rata anak yang
tinggal di situ berusia antara lima hingga 14 tahun. Saya tiba-tiba saja membayangkan,
ketika mereka lulus sekolah dasar, apakah panti asuhan itu kelak akan membangun
pendidikan untuk sekolah lanjutan? Nampaknya tidak. Kemungkinan besar,
anak-anak itu mesti berusaha sendiri untuk lanjut sekolah.
Pendidikan adalah senjata yang amat
perkasa untuk melakukan perubahan sosial. Demikian kata Nelson Mandela, sang
pemimpin Afrika Selatan. Siapa sangka jika kalimat itu sangat tepat untuk menjelaskan visi lelaki
bernama Jamali. Meski pendidikannya tak sampai level doktor, ia tetap berniat untuk membangun sekolah sekaligus Panti Asuhan ini.
Seorang ustad di Panti Asuhan itu
menuturkan bahwa Jamali menyadari benar pentingnya pendidikan. Pria asal
Siompu, pulau kecil di dekat Pulau Buton, mendirikan panti asuhan sekaligus
tempat belajar bagi anak-anak yang tidak mampu. Ia menimba pengalaman di
Pesantren Hidayatullah, Baubau, yang kemudian memberikan inspirasi baginya
untuk membangun sekolah. Sayangnya, kemampuan panti asuan ini hanya menyediakan
pendidikan di level sekolah dasar.
“Tadinya kami ingin membangun pesantren.
Akan tetapi, sumberdaya di sini sangat terbatas. Kami tak punya banyak ustad.
Kami hanya mampu mendirikan Madrasah Diniyah. Untuk sekolah lanjutan, kami
belum ada rencana,“ kata ustad yang menolak menyebutkan nama.
“Lantas, bagaimana jika anak-anak itu
hendak lanjut sekolah?” saya lanjut bertanya.
“Kami belum memikirkan ketika anak-anak
ini lulus,”
Saya tak hendak banyak bertanya. Kondisi
Panti Asuhan itu masih amat sederhana dengan anggaran yang sangat minim. Saya
melihat bilik-bilik ruangan yang terbuat dari papan serta rapuh. Satu-satunya
bangunan tembok di panti asuhan itu adalah masjid. Seorang donatur di Kendari
membangun masjid yang agak besar demi menyaingi sebuah gereja yang berdiri
kokoh di seberang jalan. Mungkin, sebagai penghormatan pada donatur, nama sang
donatur diabadikan sebagai nama masjid yakni Al Yusran (kok sama dengan nama
saya yaa). Entah, apakah itu sebuah penghrmatan, ataukah permintaan sang
donatur.
|
plang Panti Asuhan |
|
relawan TIK bersama anak Panti Asuhan (foto: La Ode Syahiddin) |
Ketika melihat langsung kehidupan di
panti, ada banyak hal lain yang mengganjal di benak saya. Daerah ini bukanlah sebuah
kota besar yang kompleks dengan berbagai permasalahan sosial. Ini hanyalah
daerah kecil yang sedang tumbuh menjadi sebuah kota. Buhul dan ikatan
kekerabatan sosial serta kesetiakawanan masih amat kuat di masyarakat.
Satu hal yang sebelumya tak saya duga,
kemiskinan laksana jamur yang tumbuh dan menyebar ke mana-mana. Banyak keluarga
yang tak mampu menyekolahkan anaknya. Banyak yang kemudian tak mampu sekadar
untuk mencari sesuap nasi. Maka, Panti Asuhan menjadi satu oase bagi anak-anak
yang tak mampu.
Saya juga memikirkan kesetiakawanan sosial
yang rapuh. Saya teringat saat ikut dalam tim riset tentang panti jompo di
Sulawesi Selatan. Mayoritas masyarakat merasa sangat keberatan jika menitipkan
orangtuanya ke Panti Jompo. Anak yang melakukan itu akan dianggap anak yang
durhaka. Sama halnya dengan Panti Asuhan.
Dahulu, seorang anak adalah milik
komunitas. Ketika ada anak yang orangtuanya meninggal, maka keluarga anak itu
akan mengambilalih pengasuhan. Anak itu akan tinggal bersama kerabatnya yang
lain, dan menerima fasilitas yang sama dengan anak kerabat itu. Inlah kekuatan
jaringan sosial dan kekerabatan di kampung-kampung.
Jika hari ini banyak anak yang dititipkan
di panti asuhan, maka boleh jadi, nilai-nilai sosial telah bergeser. Kita bisa
pula berkesimpulan bahwa kemiskinan menjadi biang keladi yang kemudian membuat
satu keluarga secara sukarela menitipkan pengasuhan anaknya ke sebuah Panti
Asuhan.
“Om! Ayo foto lagi,” tiba-tiba anak yang
tadi datang dan menyapa. Ia kini tak lagi canggung. Setelah memotret beberapa
kali, saya memperlihatkan gambarnya. Ia kembali tersenyum-senyum lalu tertawa
gembira. Saat itu saya lalu bertanya, “Kalau besar mau jadi apa?”
Tadinya saya pikir anak itu akan menjawab
mau jadi dokter atau pilot, sebagaimana jawaban standar yang diberikan anak
kecil ketika ditanya cita-cita. Ternyata, anak itu sempat tersenyum getir,
kemudian terdiam lalu menundukkan kepala. Mungkin awalnya ia hendak menjawab
dokter atau pilot, akan tetapi mulutnya tiba-tiba terkunci saat menyadari
keadaannya. Mungkin pula ia tak tahu hendak menjawab apa, sebab cita-cita hanya
milik segelintir anak yang orangtuanya dari kalangan keluarga mampu.
Tiba-tiba saya merasa bersalah karena
menanyakan itu.
Baubau, 26 Juli 2013