Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Membaca Pangeran dari Timur




Di saat banyak warga Jakarta tengah dilanda banjir, saya menerima paket buku berjudul Pangeran dari Timur. Buku ini adalah novel sejarah mengenai Raden Saleh, salah satu pelukis paling hebat di masa kolonial.

Sebagai penggemar fiksi sejarah, saya telah lama menunggu buku ini. Apalagi, saya juga seorang pelukis, meskipun yang menikmati karya saya hanya anak saya di rumah. Setelah membaca tetralogi Pulau Buru dan beberapa karya lain dari Pramoedya Ananta Toer, saya selalu berharap ada yang rutin menulis tentang masa silam, dari sisi yang tidak biasa.

Beruntung, saya bisa berinteraksi dengan karya-karya Iksaka Banu. Mulanya, saya mengoleksi bukunya Semua untuk Hindia. Selanjutnya saya membaca Sang Raja, terakhir Teh dan Pengkhianat. Iksaka adalah penulis yang dua kali mendapatkan Khatulistiwa Literary Award.

Lebih beruntung lagi, karena saya bisa berinteraksi dengannya di media sosial. Kami saling menyapa dan sesekali bercanda. Sayang, kami belum pernah bertemu. Dia bilang, saya sibuk. Padahal, saya cuma pura-pura sibuk. Setiap hari, saya hanya di rumah mengintip Facebook, sesekali kumpul bersama kawan untuk main domino.

Bagi saya, Iksaka Banu itu unik. Dia melihat sejarah tidak secara hitam putih. Dalam dua bukunya, dia mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Dia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapa pun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.



Dia membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan.

Kolonialisme dan rasisme memang tengik. Tapi keduanya bukan sesuatu yang bisa dilihat hitam putih. Keduanya tersimpan sebagai endapan pikiran dalam diri seseorang. Siapa pun bisa kolonialis dan rasis sepanjang hanya mengakui eksistensi dirinya, tanpa membuka ruang untuk mereka yang posisinya berbeda.

Atas dasar itu, saya tak henti mengagumi Mandela. Saat dia terpilih sebagai Presiden Afrika, setelah menjalani penahanan selama 27 tahun di Pulau Robben, Mandela tak lantas memusuhi, juga tidak membalas dendam pada orang kulit putih. Ia menawarkan permaafan, rekonsiliasi, dan menatap masa depan yang lebih cerah.

Ia mengatakan, "Yang kita lawan bukanlah kulit putih, melainkan sikap rasisme yang bisa bersarang di kepala siapa pun. Apa pun warna kulitnya.”

Yang dilawannya adalah sesuatu yang tumbuh bak parasit di kepala orang yang merasa memonopoli kebenaran. Ia menegaskan bahwa supremasi dan sikap merasa benar bisa tumbuh di mana-mana, dan menjangkiti siapa pun.

Saya pun terkenang Pramoedya. Kemerdekaan bukanlah hasil tempur di medan laga dengan senapan menyalak. Kemerdekaan bermula dari ide-ide kebebasan yang berkecambah pada pikiran yang terbuka dan peka dengan situasi terjajah. Kemerdekaan adalah akumulasi dari kerja banyak pihak, termasuk sejumlah kulit berwarna, kulit kuning, dan juga kulit putih yang menyemai ide-ide progresif.

Kini, di depan saya ada novel Pangeran dari Timur yang ditulis Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Saya membayangkan betapa menariknya menelusuri kisah Raden Saleh, seorang pelukis di masa kolonial yang karya-karyanya telah membius Eropa.



Saya membaui rasa sejarah yang kuat di novel ini, serta kisah seorang pelukis yang meletakkan banyak kode-kode nasionalisme serta pesan tersembunyi dalam lukisannya.

Bagian favorit saya adalah lembar pertama, di mana Iksana Banu menulis sesuatu dengan tulisan tangan. “Untuk rekan Yusran Darmawan. Sejarah adalah lukisan penuh warna.”

Setuju.

Sesobek Refleksi di Rumah BUNG HATTA




Bapak itu menatap saya lekat-lekat. Dia tersenyum saat melihat saya mengeluarkan kamera dan memotret di depan rumah Bung Hatta, di Bukittinggi. Dia menyilakan saya untuk masuk ke dalam, kemudian menemani saya berkeliling.

Di pintu depan, dia menunjukkan buku Alam Pikiran Yunani yang ditulis Bung Hatta. Saya mengambil buku itu dan memuka lembaran-lembarannya. Saya pernah membacanya beberapa tahun silam. Saya butuh mengingat-ingat beberapa bagian.

Dalam hati saya menggumam, Indonesia yang begini luas dan indah hanya akan menjadi imajinasi jika saja tidak ada generasi seperti Bung Hatta. Dia telah memberikan persembahan yang amat berharga yakni tanah air dan bumi Indonesia.

Bukittinggi menjadi saksi sejarah kelahiran Hatta. Rumah lama Hatta yang dibuat tahun 1860 telah lama rubuh. Rumah itu kemudian dibangun ulang dengan konstruksi yang sama persis. Di situ, kita bisa merasakan suasana batin Hatta saat mulai bertunas, tumbuh dalam keluarga Minang yang kental dengan tradisi, lalu mulai belajar. Di situ, kita bisa merasakan bagaimana pikiran Hatta mulai memikirkan Indonesia.

Saya kembali memandang buku yang pernah dijadikan sebagai mahar kawin saat Hatta untuk menikah dengan Rahmi. Saya membayangkan Hatta yang sedang ditahan di Digul, Papua. Di situ, dia bekerja di satu ruangan lebih 10 jam sehari. Dia menulis filsafat Yunani sebagai jalan terang bagi seluruh anak bangsa.

Dia menghabiskan lembar demi lembar demi menuliskan ulang semua aliran filsafat --yang memusingkan itu-- ke dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat kebanyakan. Dia menyiapkan buku ini sebagai pengantar ke jalan filsafat, jalan yang disebutnya meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran.

“Filosofi berguna untuk penerangkan pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu. Dalam pergaulan hidup, yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada,” tulisnya.

Batin saya bergetar saat membaca catatannya. Dalam huru-hara pergerakan dan pekik revolusi yang menggema di seluruh negeri serta terisolasi di tengah belukar pengasingannya, Hatta menuliskan bait demi bait kalimat yang terang-benderang.

rumah tampak depan
salah satu ruangan
Belukar Digul menjadi saksi dari pergulatan gagasan-gagasan dan pemikiran yang tertoreh di sepanjang kisah-kisah besar peradaban manusia. Hatta melakukan sintesis dan refleksi secara aktif atas semua gagasan itu. Sebagai jalan terang, filsafat bisa digunakan untuk menukik ke dalam jantung sebuah bangsa dan masyarakat, menemukan ide lalu memantik proses yang menggerakkan masyarakat untuk beringsut ke arah yang lebih baik.

Dia tidak menulis di antara ribuan referensi yang bertabur. Dia tidak menghabiskan waktu untuk studi literatur dan menyiapkan bahan-bahan yang memadai seperti para pemimpin di masa kini yang hendak menempuh ujian doktor.

Sebagaimana halnya Pramoedya Ananta Toer yang menulis karya besarnya di tengah tahanan Pulau Buru dalam kondisi serba memprihatinkan, Hatta juga menuliskan gagasannya dalam keterbatasan, namun tetap jernih dan benderang.

Masa itu adalah masa gemilang dalam sejarah pertumbuhan intelektualitas negeri ini. Para pemimpin bangsa dan aktivis pergerakan adalah sosok-sosok yang menemukan pencerahan melalui perjalanan intelektual, lalu menuliskan lembar-lembar pemikiran demi mencerdaskan rakyat.

Intelektualitas menjelma menjadi pergerakan sosial. Sungguh mencengangkan sebab pada masa yang memprihatinkan ini, Sukarno sanggup menulis studi tentang Islam dan modernisasi di Ende, Flores, Sjahrir yang menulis tesis tentang demokrasi kita, serta si jenius Tan Malaka yang mempersiapkan naskah Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) sebagai suluh penerang bagi rakyat.

kamar Bung Hatta
Melalui karya-karya itu, kita bisa menyelami semangat masing-masing, merasakan pergulatan pemikiran serta kerikil-kerikil yang meresahkan mereka.

Membaca karya Hatta kita tidak menemukan sebuah semangat menyala-nyala atau permainan yang tak terduga-duga. Hatta bukanlah seorang Sukarno yang tulisan-tulisannya menggugah dan menggelorakan semangat.

Tulisan Hatta serupa air mengalir tenang dan jernih, penuh dengan perhitungan yang hati-hati dan efisien. Tulisan Hatta ibarat permainan bola yang sabar dan tidak tergesa-gesa untuk mencetak kemenangan. Kita tidak banyak menemui kejutan-kejutan, namun permainan yang efektif dan terjaga ke jantung pertahanan musuh.

Hatta serba taat asas, penuh disiplin dalam mengemukakan gagasan. Hatta adalah sosok yang dingin, tipe seorang intelektual yang menarik diri dari satu realitas sosial, demi menuliskan realitas itu secara jujur dan obyektif.

Akan tetapi, lebih dari sekedar intelektual yang berumah di atas angin, ia tetap menceburkan dirinya dalam aktivitas pergerakan, menyelami langsung pergolakan dan diplomasi atas nama bangsa, mengikhlaskan dirinya sebagai pendamping Sukarno yang setia mengiringi proses menuju kemerdekaan. Dia adalah manusia luar biasa yang pernah dilahirkan dari rahim republik ini.

Jalan Sunyi Hatta

Buku Alam Pikiran Yunani juga menyingkap jalan sunyi yang dijalani Hatta. Dalam buku itu, dia banyak menyinggung dua sosok yang amat berpengaruh yakni filsuf Heraclitus dan Socrates.

Heraclitus tersohor dengan pemikirannya tentang penta rei yakni segala sesuatu senantiasa berubah. Hatta pun selalu menginginkan perubahan dalam segala aspek kehidupan. Terlahir dari sebuah keluarga Minangkabau yang taat beragama, Hatta menginginkan pembebasan dari tatanan feodal dan memasuki abad modern sebagai bangsa yang merdeka.



Lepas dari pendidikan agama di Sumatra, ia melanglangbuana ke Belanda demi mereguk pengetahuan pada khasanah perpustakaan dunia, mengambil saripati pengetahuan, dan melakukan sintesa gagasan dengan soal kebangsaan.

Ia adalah titik tengah tengah atau hasil dari pendidikan keislaman di alam Minangkabau, dan pendidikan modern yang didapatnya di Eropa. Ia juga titik tengah dari keinginan menjadi sufi yang mendalami agama Islam, serta panggilan untuk menjadi patriot buat bangsanya.

Pantas saja, sebagaimana pernah dikatakan Ignas Kleden, kisah Hatta adalah kisah pergulatan dua pemikiran serta pengambilan posisi yang senantiasa berada di tengah dari dua kutub pemikiran.

Di tengah kutub tersebut, ia lalu menyusun syair tentang kemerdekaan, syair pembebasan sebuah bangsa. Pribadinya adalah kombinasi dua hal yang dianggap banyak orang bertentangan; di satu sisi sebagai sufi yang kesunyian, dan di sisi lain sebagai pemimpin bangsa yang hiruk-pikuk. Dua peran itu bisa dijalaninya dengan baik selama bertahun-tahun.

Di saat banyak intelektual memilih posisi menghamba pada kolonialisme, ia menginginkan perubahan, sebagaimana Heraclitus. Bahkan pada tahun 1928, saat diseret dalam satu pengadilan di Den Haag, Belanda, ia mengucapkan satu pleidoi yang menggugah, serupa belati yang mengiris di jantung kolonial. “Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa suatu saat bangsa Indonesia akan merdeka.”

Demi garis perubahan itu, ia memilih jalan sebagaimana filsuf idolanya Socrates yang rela melepaskan nyawa demi kebenaran. Hatta memilih jalan Socrates sebagai jalan sunyi kaum intelektual yang bergegas ke arah perubahan.

Dari filsuf Yunani itu, ia belajar bagaimana keteguhan dalam mempertahankan sesuatu yang diyakininya sebagai kebenaran. Ia memilih jalan ketenangan, penderitaan dan kesengsaraan sebagaimana yang pernah dialami para nabi dan rasul sekian abad silam. Pada titik ini ia adalah kombinasi yang tepat untuk Sukarno demi bangsa. Keduanya adalah perpaduan antara karisma dan rasionalitas. Mereka ibarat dua sisi mata koin yang saling melengkapi.

Jika Sukarno memaknai perubahan sebagai revolusi menjebol dan membangun, maka Hatta melihat revolusi dari manusianya. Maka seorang pemimpin adalah seseorang yang punya keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit.

"Tanda revolusioner, bukan bermata gelap, melainkan beriman, berani menanggung siksa dengan sabar hati, sambil tidak melupakan asas dan tujuan sekejap mata juga,” kata Hatta.

Jika Socrates mempertaruhkan kebenaran dengan meminum racun di atas altar, Hatta pun mempertaruhkan kebenaran dengan menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin pergerakan yang mengisi lembaran hidupnya dari penjara ke penjara.

Bahkan di saat Indonesia merdeka dan menduduki tampuk wakil presiden, ia juga setia dengan prinsipnya di jalur kebenaran dan mengkritik para sahabat yang dinilainya menyimpang dari tujuan revolusi.

Ia mengkritik Bung Karno yang mulai menunjukkan karakter sebagai pemimpin yang dominan dalam banyak hal. Pandangan hidup sebagai sufi serta daya tahan dalam penderitaan telah mengusik nuraninya untuk tidak berlama-lama di kursi kekuasaan ketika kekuasaan menjadi panglima yang langgeng.

Hingga akhirnya, ia memilih mundur dari jalur politik karena keteguhan memegang teguh prinsip dan etika moral yang diyakininya.

Seperti halnya Socrates yang meminum racun, Hatta memilih jalan sunyi sebagai seorang warga negara biasa yang menuliskan semua kontribusinya dalam buku teks berharga, buku-buku yang pernah dicatat Tempo sebagai karya terbaik yang pernah dilahirkan seorang anak bangsa.

*** 

“Nak, di sini Hatta selalu tidur. Kita bisa lihat sepedanya,” kata bapak itu yang seketika menghentikan lamunan saya. Dia tahu kalau saya sesaat merenung, entah memikirkan apa.

Saya tersenyum lalu mengikuti langkah kakinya. Di luar sana, angin sepoi-sepoi sedang berhembus.



Jurnalisme Kita, Jurnalisme Burung Nazar


ilustrasi

Sitti Hikmawatty memang seorang pejabat publik. Dia menempati posisi yang mentereng yakni komisioner KPAI. Dia menerima undangan wawancara dari satu media. Dia berbicara secara lepas, dengan segala kengawurannya. Setelah itu dia menerima bully dan olok-olok dari seluruh negeri.

Pernyataannya memang ngawur. Dia memang keliru. Tapi, dia tidak bisa dituding seorang diri. Media yang memberitakan harusnya bisa memilah informasi sejak awal. Jika memang kalimat itu keliru sejak awal, harusnya media bisa melakukan filter informasi dan menganggapnya tidak relevan.

Pernyataan itu memang muncul dari satu wawancara. Harusnya yang dilakukan media adalah terus mencecar Sitti tentang rujukan dan sumber informasi yang disampaikannya. Jika tak ada rujukan, maka jurnalis bisa kritis mendiskusikannya sejak awal dengan narasumber.

BACA: Matinya Tabloid Bola, Matinya Kreativitas

Di era ini, jurnalisme kita tidak lagi sekadar mencari sesuatu yang penting dan menarik. Juga tidak mencari seberapa relevan satu informasi dengan topik besar yang hendak ditulis. Dahulu, substansi adalah sesuatu yang dikejar seorang jurnalis melalui wawancara dan olah data, kemudian menyajikannya ke publik.

Kini, substansi itu tidak lagi menjadi sesuatu yang dikejar. Saat proses wawancara dan tiba-tiba ada keseleo lidah serta informasi ngawur, substansi dari wawancara itu akan dilupakan. Secuplik keseleo lidah itu akan segera menjadi berita besar yang mengundang klik dan respon pembaca.

Lihat saja kasus Sitti Hikmawaty. Sejatinya wawancara itu mengenai fenomena aborsi di kalangan remaja. Hanya karena setitik kengawurannya, maka rusaklah sebelanga informasi yang hendak disampaikannya. Tak ada lagi yang bahas fenomena aborsi.

Dia menjadi bahan olok-olok di seluruh negeri. Dia menjadi bahan meme kreatif dari para netizen. Satu negeri heboh dan membicarakan kengawurannya. Padahal, tak perlu sekolah tinggi untuk tahu kalau pernyataannya memang ngawur. Cukup dengar, kemudian abaikan. Substansi harus tetap dikedepankan demi mencerahkan publik.

Kita abai pada kompetensi. Jika Sitty diwawancarai dalam konteks regulasi terhadap perlindungan anak, dia memang kompeten. Tapi saat dia sudah membahas mengenai penyebab kehamilan, maka dia jelas tidak kompeten. Itu jauh dari bidang yang dia dalami selama ini.

Harusnya sejak awal jurnalis tidak membiarkan dia bicara hal-hal yang bukan kompetensinya. Jurnalis harus setegas Najwa Shihab yang berani memotong informasi yang tidak relevan dengan apa yang sedang disajikan. Tak perlu melebarkan topik. Fokuslah pada apa yang hendak ditelusuri.

Apa daya, kita hidup di era di mana semua yang ngawur dan aneh adalah berita besar. Jurnalis kita berniat wawancara, tetapi dia menyiapkan jerat dan perangkap jika wawancara itu berpotensi akan dilihat secara berbeda oleh publik dan netizen yang maha benar.

Tidak mengejutkan jika Kepala BPIP menjadi bulan-bulanan. Rizieq Shihab sering dilaporkan. Jokowi sering jadi bahan olok-olok. Bahkan Ahok pun harus menerima demi berjilid-jilid karena kelepasan bicara yang memicu reaksi publik. Prabowo benar ketika selalu curiga dengan jurnalis. Bahkan dia pernah bilang “Pasti kalian nunggu saya salah ngomong kan?”

Kita kehilangan tradisi berbicara dengan santai, sembari tetap fokus pada substansi yang hendak dibahas. Pejabat publik dituntut untuk seperti malaikat yang harus selalu benar dan tidak boleh ngawur.

Jurnalisme kita ibarat burung nazar yang menunggu seorang narasumber salah bicara, kemudian mewartakan salah bicara itu secara luas. Jurnalisme kita mengintip-intip seorang tokoh publik, menunggu hingga mereka ngomong lepas dan ngawur, setelah itu menerkam, menyebarkan kesalahan itu hingga viral, kemudian memprovokasi publik agar mencaci dan mengolok-olok.

Jurnalisme kita tidak lagi menyajikan informasi yang bernas dan penting, tetapi mencari dan menyediakan banyak bahan untuk bully agar publik menyerapah secara berjamaah dan bersahut-sahutan di media sosial. Semua orang secara koor mengatai “goblok,” lalu kehilangan sikap kritis untuk menyikapi semua informasi dengan bijak.

BACA: Jurnalisme yang Terhempas dan Terputus

Apa boleh buat. Di era ketika page view dan jumlah klik menjadi panglima, maka segala yang heboh harus selalu dibuat. Jika tak ada, ciptakan kehebohan itu. Maka kamera dan tape recorder seorang jurnalis bukan lagi corong publik untuk tahu informasi, tetapi bisa menjadi jerat dan perangkap yang menyebarkan ketololan Anda ke berbagai kanal media sosial.

Tapi, tak elok juga menyalahkan para pewarta. Akuilah kita adalah bangsa yang suka mencaci dan mengolok. Kita suka menertawakan dan mengatai orang lain bodoh, sementara kita lupa untuk refleksi kalau kita pun sering melakukan kesalahan yang manusiawi itu. Kita pun bertindak serupa Dewa yang merasa selalu benar dan suka mengolok kesalahan.

Permintaan maaf dari komisioner KPAI itu pun menjadi angin lalu di tengah massifnya hujatan dan olok-olok. Dia sudah dihakimi publik yang telanjur memberi label padanya. Dia tak lagi bisa bersuara. Dia harus tunduk pada label yang sudah dipasang publik. Saya bayangkan dia akan sulit tidur saat tagar yang memintanya mundur jadi trending topic.

Saya terkenang pada Fanni Ammidania, sosok yang disebut sebagai Ratu Agung Sejagad. Dia dan pasangannya Totok Santoso pernah dihadirkan secara live di tayangan ILC untuk ditanyai soal klaim mengenai Keraton Ratu Agung Sejagad yang memimpin dunia. Saya menduga, dia diwawancarai untuk diolok dan ditertawakan.

Tapi dia justru menjadi pihak paling waras di acara itu. Fanni yang terisak dan memakai baju tahanan menolak wawancara. Dia menjawab singkat: “Apa pun yang saya katakan tidak penting lagi. Sebab saya terlanjur dihakimi publik dan menjadi bulan-bulanan pihak berwenang. Saya memilih diam saja.”


Catatan Sebelum ke Mekkah




“Hah” Kamu mau diberangkatkan ke Mekkah?”

Di ujung telepon, Mama saya masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Baginya, perjalanan ke tanah Arab adalah sesuatu yang dipikirkan sejak jauh hari. Dulu, dia bertahun-tahun menabung gajinya hanya untuk melihat tanah suci.

Di kampung kami, banyak orang yang habis-habisan demi melihat tanah itu. Banyak orang menjual semua harta benda demi ke sana. Petani menjual kebun. Nelayan menjual kapal. Itu pun tak semua berangkat. Banyak yang tertipu agen perjalanan.

Berangkat ke tanah suci membutuhkan persiapan matang, serta perencanaan yang lama. Orang2 mesti bekerja keras dan menyisihkan rupiah demi bisa ke sana. Mereka yang berhasil berangkat adalah mereka yang mendapat panggilan Tuhan, sebagai buah dari ketekunan, kerja keras, juga keikhlasan.

Betapa terkejutnya Mama ketika mendengar anak lelakinya yang bengal dan sering mengaku ganteng ini akan ke sana. Gratis pula. “La Yos, kok bisa yaa. Tiada angin tiada hujan kamu ke sana?”

Mama tidak tahu kalau di jaman ini, perjalanan ke tanah suci bukan lagi sesuatu yang mahal. Setiap kepala daerah yang menang pilkada selalu membawa timnya untuk plesiran ke sana. Bahkan para jurnalis sering diajak ke sana untuk meliput.

Saya tidak bisa membayangkan reaksinya jika tahu kalau saya berangkat ke tanah suci karena postingan di media sosial yang saya buat. Kok bisa?

Inilah yang disebut Personal Branding. Setiap orang memiliki citra diri yang selalu dipancarkan dalam beragam interaksi, termasuk di media sosial.

Ada orang yang setiap hari menghujat dan membenci, maka citra dirinya adalah seorang pemarah dan pembenci. Buahnya adalah dia dihindari dan dijauhi banyak orang.

Ada orang yang setiap hari berbagi keluh kesah dan ketidakpuasan, maka citra diri yang terbangun adalah figur yang suka mengeluh. Banyak orang tak nyaman dan tak suka bertemu.

Namun ada orang yang pernah berbagi postingan positif. Pada satu titik postingan itu menyentuh hati seseorang, meninggalkan jejak dalam benak, perlahan membentuk citra diri yang kuat.

Saya mengalaminya. Pernah saya menulis sesuatu dan membagikannya di medsos. Seseorang membaca postingan itu lalu tertanam kuat di benaknya. Suatu hari dia bertugas di Saudi Arabia.

Saat kantornya hendak menggelar pelatihan jurnalistik, dia menerima daftar pemateri. Di benaknya hanya ada satu nama yang akan diundangnya. Dia pun hanya merekomendasikan nama saya. Malah, dia meminta saya mencarikan nama lain.

Beberapa minggu jelang keberangkatan pun saya masih bingung, postingan mana yang pernah dibacanya. Saya menduga, dia membaca postingan yang saya buat tentang orang Bugis yang hendak naik haji. Tapi saya yakin dia membaca banyak postingan.

Dia menjadi bagian dari semesta yang bekerja secara misterius dan mewujudkan sesuatu yang pernah saya sampaikan secara terbuka. Dia menjadi satu unsur semesta yang secara ajaib telah memeluk dan menggenapkan sesuatu yang pernah diikrarkan.

Benar kata seseorang dalam buku The Secret. Semesta selalu punya hukum tarik-menarik yang akan membawa seseorang pada satu titik yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan. Kita menyebutnya panggilan semesta. Ada pula yang menyebutnya sebagai buah dari kerja. Ada yang bilang "Hasil tak pernah mengkhianati proses."

“La Yos, bisanya dii. Mama masih tidak percaya. Tapi Tuhan telah mengetuk hatimu untuk ke sana,” kata sosok di telepon yang setiap intonasi suaranya serupa air jernih yang membasuh hati saya yang beku.


Cerita AGAM (2) - Pengantin Menanam




Dua sejoli itu datang ke kantor camat. Mereka sedang nengurus izin pernikahan. Tapi mereka tidak membawa berkas apapun. Mereka membawa enam bibit pohon.

Jangan terkejut. Di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, syarat untuk menikah adalah setiap calon pengantin mesti menanam enam bibit pohon, kemudian melapor ke pihak kecamatan. Program ini disebut Catin Menanam. Catin adalah singkatan dari Calon Pengantin.

Program ini lahir dari prakarsa Camat Tanjung Raya, Handria Asmi. Dia mewajibkan semua calon pengantin untuk menanam. "Ini adalah bagian dari program Agam Menyemai yang dicetuskan Bupati Indra Catri," katanya.

Saya bertemu Handria di satu sudut Kota Lubuk Basung di Agam. Andaikan dia tidak mengaku sebagai camat, saya mungkin akan mengira dia personel band. Alumnus IPDN ini tampak muda dan keren. Dia pun inspiratif.

Pertemuan dengannya membuat saya harus merevisi beberapa anggapan sebelumnya yang ternyata keliru. Dulu saya beranggapan bahwa camat adalah posisi yang serba tidak jelas. Kecamatan harus dibubarkan sebab posisinya tanggung. Tidak punya kewenangan.

Namun di Agam, seorang camat begitu berwibawa. Seorang camat berperan untuk memfasilitasi semua wali nagari, melakukan pembinaan, dan menyiapkan bantuan teknis. Seorang camat bisa berinovasi.

Program Catin Menanam adalah turunan dari Agam Menyemai. Bupati Agam Indra Catri menyiapkan bibit untuk semua kecamatan dan nagari yang bisa diambil kapan saja untuk ditanam warga. Handria lalu membuat inovasi agar program ini bisa dilaksanakan semua lapisan masyarakat di kecamatannya.

Selain itu, Handria membuat arisan Wali Nagari. Secara periodik, dia bertemu semua Wali Nagari atau kepala desa demi mendiskusikan apa saja kendala di wilayahnya. Dia meminta semua Wali Nagari untuk membuat buletin yang disebutnya Taropong Nagari atau teropong untuk melihat Nahari. Buletin ini berisikan semua perkembangan selama sebulan di setiap nagari.

"Taropong Nagari dibagikan di masjid setiap awal bulan. Tujuannya agar semua masyarakat bisa tahu perkembangan dan penggunaan dana nagari," katanya.

Tak cukup di situ, buletin harus diupload di media sosial agar dilihat semua warga perantauan. Sebab warga perantauan punya andil mengirimkan dana untuk pembangunan nagari. "Kami ingin melibatkan semua pihak untuk membangun nagari," katanya.

Handria juga punya inovasi lain. Demi mendukung program Save Maninjau, dia membuat program Gerhawiyata Maninjau Lestari yang ditujukan kalangan milenial. Tujuannya agar anak milenial tahu kualitas air danau sehingga bisa menjaganya agar tidak tercemar.

Camat muda dan ganteng ini memang tak pernah kehabisan ide. Tak heran jika di tahun 2018, dia memenangkan penghargaan sebagai Camat Teladan di tingkat provinsi Sumatera Barat. Dia menjadi sosok inspiratif yang bisa menularkan inovasi dan kreativitas ke camat lain.

Saat hendak berpisah, dia mengundang ke kantornya. "Warga saya banyak yang sedang panen durian. Kamu bebas mau makan berapa pun. Datang yaa?" katanya.

Hmm. Tawaran yang sukar untuk ditolak.


Cerita Agam (1): Kisah Nazaruddin




Dia disapa Pak Wali. Mulanya saya pikir Wali Kota. Ternyata di Agam, panggilan Pak Wali ditujukan untuk Wali Nagari, setara dengan posisi Kepala Desa di daerah lain. Lelaki itu bernama Nazaruddin.

Saya menemuinya di Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat. Dia tampak sangat bersahaja. Seorang kawan memberi tahu kalau dia bukan pria sembarangan. Dia adalah kepala desa yang menerima Kalpataru dan penghargaan Wahana Lestari dari Pemerintah Pusat. Apa yang dia lakukan?

Di tahun 2011 dia dilantik sebagai Wali Nagari. Dia diberi amanah memimpin Nagari Koto Malintang di dekat Danau Maninjau. Nagarinya indah permai, namun letaknya ibarat di cekungan dari bukit-bukit. Ibaratnya di tengah kuali. Setiap saat bencana longsor bisa terjadi.

Baru pertama dilantik, dia bertemu Bupati Agam, Indra Catri, yang memberinya bibit tanaman sebanyak satu truk. Saat itu, Agam sedang giat-giatnya menjalankan Gerakan Agam Menyemai, yang salah satu programnya adalah menyemai bibit sebanyak mungkin demi mengatasi bencana, sekaligus menjaga ketahanan pangan.

Dia lalu menyemai bibit itu bersama warga Nagari. Dia menanam berbagai bibit, mulai dari pala, nangka, cengkeh, hingga berbagai tanaman lain. Hanya dalam tempo dua tahun, tanaman itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Lembah Koto Malintang jauh lebih hijau.

"Bagi saya, menyemai bibit bukan sekadar arahan bupati. Tapi ini adalah arahan dari nenek moyang kami untuk terus menanam," katanya dalam dialek Minang yang kental.

Dia menjelmakan semua arahan itu ke dalam satu gerakan yang dampaknya menyebar luas. Warga tidak hanya menanam bibit tanaman, tetapi juga menyemai bibit ikan di kolam-kolam, embung, serta selokan. Juga membuat minapadi, kolam ikan di tengah sawah-sawah.

Gerakannya bersinergi dengan Pemkab Agam yang sedang berkampanye Save Maninjau agar kondisi ekologis danau itu tetap lestari. Dia juga berkolaborasi dengan nagari lain untuk sama-sama menyemai. Berkat pasokan bibit yang merata dari Pemkab Agam, gerakan itu terus membesar hingga nagari-nagari lain, menjadi gelombang positif yang terus merambah ke mana-mana.

"Saya tersentuh apa kata Bupati Indra Catri. Bahwa Agam Menyemai itu bukan hanya menebar bibit, tetapi juga menebar kebaikan ke mana-mana. Sebab semua yang disemai, kelak akan tumbuh dan menjadi sesuatu yang mengakar di hati," katanya.

Di Koto Malintang, dia menorehkan jejak keteladanan yang membuahkan penghargaan dan apresiasi dari mana-mana. Tapi dia tetap rendah hati dan menyebut kerja-kerjanya belum selesai.

"Kebaikan bukan sesuatu yang sekali ditebar, kenudian berhenti. Kebaikan harus menjadi gerakan yang tak henti. Terus-menerus. Selagi napas dikandung badan," katanya.

Pada Wali Nagari ini, saya temukan embun keteladanan yang lama hilang di kalangan politisi dan mereka yang sering hadir di layar kaca kita. Anda tak perlu sibuk mengklaim diri sebagai orang baik. Tapi tindakan dan perilaku Andalah yang akan memberitahu sebarapa baik diri Anda.

Pada lelaki ini, saya merasakan sejuknya embun kebaikan


Mereka yang Lebih HMI dari HMI


ilustrasi

Dulu, sahabat itu adalah seorang mahasiswa tipe kupu-kupu, maksudnya kuliah pulang lalu kuliah pulang. Yang dia pikirkan hanya menyelesaikan kuliah secepat-cepatnya. Yang dia pikirkan hanya menyelesaikan tugas dari dosennya. Memang sih, dia cukup pintar.

Pernah, dia menyahuti ajakan seorang kawan untuk ikut pengkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi sebatas basic training. Itu pun dia tidak ikut semua materi. Baru tiga hari, dia sudah balik. Dia tak ingin ada hal-hal yang mengganggu dunia perkuliahan.

Sekian tahun berlalu, dia muncul di media sosial sebagai seorang politisi dan juga pengamat sosial. Dia pun dengan gagahnya memakai jas hijau yang tertera tulisan Korps Alumni HMI (KAHMI). Dia menuliskan nama HMI dengan agak tebal di berbagai CV yang dia bagikan. Bahkan, dia paling aktif di kegiatan-kegiatan KAHMI.

Beberapa dekade setelah Lafran Pane mendirikan HMI, kini lembaga itu berkembang, bahkan jauh lebih besar dari apa yang dia bayangkan. Dahulu, Lafran membayangkan ada himpunan yang bertujuan untuk “terbinanya insan akademis yang bernapaskan Islam.” (alumni HMI pasti tahu kelanjutannya)

Lafran tidak membayangkan kalau alumni HMI terus berjejaring, menguasai satu demi satu kekuatan politik hingga mulai mengaum di pentas nasional. Di berbagai partai politik, HMI membangun gerbong baru. Bahkan di kampus dan perguruan tinggi, para alumni HMI bisa berhimpun untuk menaikkan alumninya jadi rektor.

BACA: Bukan Hanya Lafran Pane

HMI menjadi satu kategori untuk berhimpun lalu berjuang untuk posisi politik dan kuasa. Jika tak punya sertifikat HMI, Anda tak punya password untuk bergabung dengan mereka. Bahkan biarpun Anda punya pemahaman Islam yang penuh nuansa kemodernan dan keindonesiaan ala Cak Nur, Anda juga bisa ditolak bergabung.

Kalau Anda masih ngotot untuk gabung, akan muncul pertanyaan: “Tahun berapa Anda bastra?” Tak ada yang bertanya, sejauh mana Islam bisa dipahami sampai sumsum tulang-belulangnya, sejauh mana cahaya agama merasuk dan menembus semua relung-relung dan lorong di hatimu. Tak ada yang bertanya, apa yang Anda ketahui tentang upaya membumikan Islam di semua lini perjuangan.

Hari ini, HMI menjadi satu penanda dan kelas sosial baru. Orang-orang yang mau menjadi komisioner berbagai lembaga di bawah pemerintah akan sibuk gerilya dengan label HMI. Mereka yang tidak pernah ber-HMI akan menyesal lalu mencari banyak celah biar menjadi alumni HMI. Bukan sekali dua kali saya mendengar ada politisi dan calon kepala daerah yang tiba-tiba saja mengaku HMI, entah bagaimana asal-muasalnya.

Bagi sebagian alumni HMI, tak penting juga asal-muasal itu Selagi Anda bisa berkontribusi, maka Anda bisa saja diklaim sebagai HMI.

Sekian dekade sejak Lafran mendirikan HMI, atau sekian tahun setelah berpulangnya Profesor Nurcholish Madjid, HMI tak lagi sendirian. Dulu, HMI adalah organisasi mahasiswa. Kini, para mahasiswa abadi dan para alumni yang paling sibuk ber-HMI.

Telah lahir satu organisasi baru bernama KAHMI yang lebih HMI dari HMI. Organisasi ini berisikan sejumlah alumni HMI yang gagal move on dari himpunan itu, serta punya kegiatan yang bersentuhan dengan politik. KAHMI menjadi organ baru yang lebih superior ketimbang HMI.

Dulu Lafran hanya membayangkan ada organisasi mahasiswa, sekali lagi mahasiswa, yang mengembangkan Islam melalui kajian-kajian mutakhir, serta menjadikannya spirit dalam semua aktivitas dan ruh perjuangan.

Kini, HMI hanya berisikan sejumlah anak muda yang masih hijau dan setia mengikuti arahan para senior KAHMI. Anggota HMI berada di bawah bayang-bayang para senior yang punya kekuatan kapital serta jejaring di lingkar kekuasaan.

Peta HMI sebelum dan pasca reformasi sungguh berbeda. Dahulu, HMI hanya berisikan sejumlah mahasiswa kampus yang kritis dan mengembangkan pemikiran Islam yang lebih modern dan mengindonesia melalui pengkaderan.

Di masa itu, organisasi berwarna hijau hitam itu bagai kerakap di atas batu. Amat susah menemukan donator dan sponsor yang mau membiayai kegiatan-kegiatan akademik di kampus dan luar kampus. Susah menemukan orang yang mau mengaku sebagai senior HMI sebab khawatir akan dimintai proposal kegiatan.

Kini, pasca-reformasi dan ruang-ruang politik mulai terbuka serta desentralisasi menjadi mantra baru yang mengubah lanskap politik lokal, HMI tiba-tiba saja kebanjiran senior.

Di mana-mana berdiri Graha Insan Cita serta sekretariat cabang. Di mana-mana Intermediate Training (LK 2 HMI) diadakan, dan selalu banjir duit karena disponsori pemerintah daerah. Tidak lengkap seorang politisi jika tidak mengaku HMI. Pernah saya mendengar petinggi militer, pebisnis sukses, juga orang super kaya yang diklaim sebagai warga HMI kehormatan.

BACA: "Pettite Historie" HMI Cabang Makassar Timur

Jika ditanya apa kontribusi para alumni ini berhimpun, kita bingung bagaimana menjawabnya. Yang terekam di memori adalah jalan santai, pembangunan sekretariat, juga kumpul-kumpul demi membicarakan semua kepala daerah yang akan diusung.

Padahal yang perlu didiskusikan adalah peran sejarah serta kontribusi HMI bagi peradaban. Sebab HMI bukan organisasi yang menjadi rental gerakan bagi para alumninya. Bukan pula organisasi yang identik dengan aksi-aksi jalanan. Bahkan bukan pula organisasi yang memberi akses bagi alumni muda untuk melingkar ke Bang Akbar, Bang Anies, Bang Mahfud, atau Bang Jokowi.

HMI harus menjadi kekuatan perubahan yang berdiri di tengah rakyat yang tertindas dan menjadi korban kebijakan pembangunan. HMI harus kembali berdiri di garis yang pernah dilalui Munir, mantan Ketua HMI Cabang Malang, yang berani menggugat negara dan menelanjangi perilaku korup dan kekerasan para elite-nya.

HMI harus menjawab panggilan sejarah untuk tetap berada di garis perjuangan dan membumikan Islam yang inklusif, berkemajuan, serta me-Nusantara. HMI harus tetap di jalur kultural, menjadi suara mahasiswa yang rindu perubahan, serta menjadi kerikil di sepatu penguasa korup.

“Ah, gak penting itu. Yang kita lakukan adalah berhimpun lalu merebut semua kekuatan politik. Kalau semua sudah kelar, baru kita masuk ke tema-tema itu Kubiayai kau!” kata sahabat itu sembari merapikan kerah jas KAHMI yang sempat terlipat. Dia bergegas menuju acara perayaan ulang tahun HMI.

Saya hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dalam hati saya menggumam: "Yakin Usaha Sampai."


Lelaki Bugis di Posisi CEO




Di tahun 1999, Timor Timur tengah bergolak. Lelaki itu, Asmawi Syam, baru saja menerima surat keputusan (SK) sebagai pemimpin BRI yang membawahi empat provinsi yakni Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur.

Saat semua karyawan BRI Denpasar hendak membuat pesta penyambutan, dia menolak untuk datang. Dia ingin langsung datang ke Timor Timur. Wilayah itu laksana medan perang. Milisi pro kemerdekaan dan pro integrasi saling baku tembak. Korban banyak berjatuhan.

Seorang karyawan BRI di Timor Timur dilaporkan ditebas parang. Dia dirampok ketika mengawal uang tunai dari kantor cabang BRI ke kantor unit. Suasananya sungguh mencekam. Tapi Asmawi Syam tak patah arang. Dia tetap ingin datang ke Timor Timur. Dia ingin memastikan kantor tetap dalam keadaan aman di tengah proses transisi.

Dia tak peduli ketika tak ada satu pun staf yang bersedia menemaninya. Dia ngotot datang. Akhirnya, salah seorang bersedia ikut. Setiba di Timor Timur, tak ada satu pun hotel yang buka. Mereka menginap di rumah warga yang kosong karena mengungsi.

Kehadirannya menaikkan moral semua karyawan yang dalam situasi sulit. Dia ingin memastikan BRI tetap berjalan sebab bank itu menjadi harapan bagi ABRI dan Polri untuk membayar gaji.

Warga lokal yang menjadi karyawan BRI dalam situasi dilematis. Mereka didatangi dua kubu yang meminta bergabung. Jika mengiyakan satu kubu, maka mereka akan segera diteror. Sedangkan warga pendatang tidak sabar untuk segera meninggalkan Timor Timur.

Asmawi mengambil secarik kertas. Dia meminta semua yang ingin pindah segera menuliskan namanya di situ. Kertas itu menjadi SK bagi mereka. “Apakah ini bisa berlaku?” tanya seorang karyawan. Asmawi langsung mengiyakan.

Dia lalu menelepon Dirut BRI untuk meminta mandat. Dirut yang saat itu dijabat Djokosantoso Moeljono, langsung memberikan mandat. “Asmawi, dalam keadaan darurat seperti itu, kamu bisa bertindak atas nama dirut,” katanya.

BACA: Jusuf Kalla yang Mendayung di Antara Dua Presiden

Kata Djokosantoso, itulah yang disebut fire fighting decision, yakni keputusan yang diambil saat darurat. Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan strategis dalam situasi genting. Itulah yang dilakukan Asmawi.

Dalam situasi sulit, Asmawi tetap menjaga BRI. Dia memastikan eksodus semua karyawan berjalan lancar ke kota-kota terdekat.  Dia mengawal pemindahan aset BRI, termasuk uang senilai 526 juta rupiah yang diselamatkan dari brankas.

Atas semua dedikasinya, Asmawi mendapatkan penghargaan khusus dari BRI sebagai pemimpin yang bisa mengambil keputusan strategis.

*** 

Kisah di atas hanyalah sekeping dari begitu banyak kisah inspirasi Asmawi Syam sebagai seorang bankir. Kisah itu bisa dibaca pada buku Leadership in Practice yang ditulis bersama Profesor Rhenald Kasali.

Saya tertarik karena Asmawi adalah alumnus Fakultas Ekonomi Unhas yang sukses meniti karier hingga menjadi seorang Chief Executive Oficer. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Ekonomi Unhas ini menjadi Dirut BRI yang fenomenal. Di masanya, banyak inovasi BRI, di antaranya adalah peluncuran satelit BRI, membiayai alutsista d PT Pindad, mengucurkan dana untuk transformasi PT KAI, membiayai PT Dirgantara Indobesia (DI), inovasi kapal BRI untuk melayani nasabah di pulau, serta membawa BRI memasuki era digital

Namun, buku ini fokus menyoroti sisi manajemen serta filosofi kepemimpinan. Kita tak hanya disuguhkan hidangan berupa kisah-kisah inspirasi di balik meja seorang CEO, tetapi juga menemukan perspektif Asmawi dalam menyikapi banyak hal.

Jusuf Kalla diapit Asmawi dan Rhenald

Konsep buku ini adalah dialog. Asmawi bercerita pengalamannya, kemudian diperkaya dengan landasan teori oleh Rhenald Kasali. Bagi saya, kisah-kisah Asmawi lebih menarik sebab lebih orisinal ketimbang teori-teori yang bisa jadi kita temukan di buku lain. Saya selalu men-skip catatan dari Rhenald.

Di bagian awal, saya menyukai cerita bagaimana Asmawi memahami karyawannya yang sering protes. Dia melihat ada tipe karyawan yang merupakan kuda jinak, dalam artian selalu ikut aturan dan patuh. Tapi ada juga tipe kuda liar yang selalu ingin memberontak.

Yang menarik, dia justru sering memanggil tipe kuda liar itu kemudian diajak berbicara. Biasanya, dia akan mendengar berbagai protes serta ketidakpuasan. Saat Asmawi memberi masukan, sering kali karyawan itu malah menjawab itu sudah dilakukan, tapi menemui kendala.

Asmawi tak lantas baper. Dia mendengarkan semua celoteh karyawan yang disebutnya kuda liar itu. Dia paham kenapa tipe kuda liar itu sering di-nonjob-kan sebab bisa jadi punya ide-ide yang melampaui semua keteraturan. Malah Asmawi mengembalikan jabatannya, kemudian memberi tantangan. Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk mewujudkan ide-idenya.

BACA: Ulama Bugis di Kampung Buton

Kesan saya, Asmawi adalah tipe pemimpin yang bisa memaksimalkan talenta semua anak buahnya. Dia juga tipe pemimpin yang berani mengambil risiko. Saya menemukan itu dalam kisah mengenai penempatannya di BRI Singaparna. Pada masa itu, tak ada yang berani menjabat sebagai Kepala BRI di situ sebab sedang banyak masalah yang membelit.

Di antaranya adalah seorang jawara yang selalu membawa pengawal dan menekan bank untuk memberikan kredit. Asmawi malah meladeni jawara itu. Semakin dia dilawan, maka semakin timbul keberaniannya.

Dia hadapi jawara itu dengan tenang. Bahkan saat diancam, dia siap meladeni. Dia bilang, “Kalau Anda nekat, saya juga bisa nekat. Risikonya bukan hanya di saya tetapi juga di Anda.” Jawara itu keder.

Dia tak serta-merta berani. Sejak masa kuliah, dia sudah berprestasi di cabang olahraga karate. Malah, dia pemegang sabuk hitam dan berposisi sebagai Dan IV. Dia pun menjadi pelatih serta berada di kepengurusan induk olahraga karate.

Bisa dikatakan, buku ini adalah intisari pengalaman, serta inspirasi yang didapatkan selama meniti karier sebagai bankir yang sukses hingga posisi puncak. Pengalaman ini menjadi berharga sebab tak semua orang bisa meniti karier hingga level CEO.

Dia menempa dirinya sebagai figur yang selalu memberi nilai tambah pada apapun yang disentuhnya. Dia pun menunjukkan dedikasi luar biasa pada pekerjaannya. Di beberapa bagian, saya temukan kisah bagaimana dirinya rajin memantau meja kerja semua karyawannya. Bahkan dia pernah datang malam-malam ke kantor hanya untuk memastikan apakah security bekerja dengan baik ataukah tidak.

*** 

Satu hal yang saya rasakan hilang di buku ini adalah tidak ada uraian tentang bagaimana budaya menjadi nilai-nilai yang membentuk seorang Asmawi. Saya tak menemukan cerita bagaimana Asmawi tumbuh menjadi seorang bankir. Saya berpandangan bahwa semua orang hebat selalu tumbuh dari rumah yang membekali seseorang dengan nilai-nilai untuk menjadi hebat.

Dalam buku ini, saya hanya temukan sekilas cerita bahwa orang tuanya adalah pengusaha hotel kelas melati. Asmawi memberi contoh bedanya hotel bintang lima dan hotel kelas melati, di mana keluarga sebagai pemilik harus turun tangan untuk membersihkan seprai dan selimut.



Saya penasaran untuk tahu bagaimana orang tua serta lingkungan menjadi lahan gembur yang menumbuhkan potensi Asmawi. Saya yakin proses belajar sesungguhnya dimulai dari tempaan keluarga hingga dukungan yang diberikan lingkungannya.

Dalam beberapa hal saya temukan ada banyak kemiripan dengan kisah Jusuf Kalla. Sebagai editor yang pernah mengedit buku tentang Jusuf Kalla, saya tidak asing dengan cerita keberanian, kejelian menemukan solusi di tengah situasi sulit, hingga loyalitas dan dedikasi pada pekerjaan.

Bagi saya, kemiripan ini bukan sesuatu yang kebetulan. Keduanya tumbuh dan besar dari rahim budaya Bugis yang memberi bekal nilai-nilai yang kemudian menjadi pedoman dalam hidup. Justru pada nilai budaya, kita bisa menemukan karakter seorang individu, serta daya juangnya dalam menempuh berbagai medan kehidupan.

Seusai membaca buku ini, saya membayangkan satu perahu phinisi yang berlayar di tengah hempasan gelombang samudera. Yang menyelamatkan phinisi itu adalah kecakapan seorang nakhoda yang berani menempuh risiko sehingga setiap kalimatnya didengar oleh semua anak buahnya.

Orang Bugis Makassar percaya bahwa nakhoda ulung tidak lahir dari lautan yang tenang. Dia lahir dari lautan yang terus bergejolak dan menempa semua kecakapan dan kemahirannya di laut. Dia tidak lantas pasrah dan menyerah pada nasib, tetapi dia terus berjuang agar kapal bisa kembali menepi.

Jika phinisi itu ibarat perusahaan atau lembaga, maka nakhoda ulung itu adalah Asmawi Syam.