Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Jembatan Kasih ANTONIUS di Dua Negara


Antonius Anton (foto: Mancious)

Di tengah prasangka antar negara di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, lelaki bernama Antonius Anton, itu tetap setia bergerak di lintas batas. Dia merawat silaturahmi dan hubungan antara dua warga negara melalui kuliner yang dihasilkannya.

Dia mengolah rasa yang kemudian meninggalkan jejak di lidah banyak orang di dua negara. Melalui rasa, dia merawat perdamaian.

***

Siapa bilang memasak adalah aktivitas perempuan? 

Kalimat itu meluncur dari bibir Anton, demikian dia bisa disapa, saat saya menemuinya di kantor Yayasan Mitra Tani Mandiri (MTM) di Kefa, Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat berbicara, kalimatnya pelan dan tertata. Tuturnya lembut. Dia seorang bapak dengan lima anak yang tak saja jago masak, tapi juga mengemasnya menjadi produk yang dijual.

Anton adalah warga Desa Napan, salah satu titik yang berbatasan langsung dengan Oesilo di Repubik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dia dikenal memiliki tangan dingin. Segala hal bisa dikemasnya menjadi makanan dan minuman, kemudian dijual.

Dia membuat minuman yakni anggur jahe dan anggur kulit pisang yang laris manis. Popularitas anggur buatannya ini bergema hingga Timor Leste. Pelanggannya di mana-mana. Padahal anggur hanyalah satu dari banyak produk yang dihasilkannya. Dia juga membuat kripik labu, sambal, permen asam, hingga berbagai jenis jamu.

Baca: Perempuan Timor Leste yang Mengubur Dendam

“Di antara semuanya, yang paling laris adalah anggur kulit pisang dan anggur jahe. Setelah itu, minyak kemiri, permen asam, jamu temu lawak. Pelanggan saya tersebar hingga Timor Leste,” katanya.

Anton kerap melintasi perbatasan demi memasarkan anggur dan berbagai produk kuliner. Di Desa Napan, dia menjual anggur itu dengan harga 15 ribu rupiah per botol. Tapi saat dijual di luar desanya, harganya naik jadi 25 ribu rupiah sebab botol itu akan disegel, diberi cap, dan disterilisasi.

“Tapi kalau di Timor Leste, anggur ini dijual sampai 2 dolar 50 sen. Kalau ditukar dengan rupiah, maka bisa dapat 35 ribu rupiah,” katanya. 

Mata uang yang dipakai di Timor Leste adalah dolar Amerika Serikat. Makanya harga-harga menjadi lebih mahal dibandingkan desa-desa perbatasan di Indonesia. Itu juga menjadi sebab mengapa banyak penyelundupan terjadi. Harga BBM di Timor Leste adalah 3 dolar atau sekitar 35.000 rupiah, sementara di Indonesia harganya sedikit di atas 10 ribu rupiah.

Tapi, Anton menjaga pasokan barang di Timor Leste. Dia hanya menitipkan dagangannya ke mitra-mitranya di sana. Dia tak ingin terlibat konflik dengan pedagang lokal di sana. Kini, beberapa pelanggannya datang ke Napan untuk membeli langsung di warungnya.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Kemampuan Anton tak didapatkan secara otodidak. Dia belajar cara membuat anggur dari pelatihan yang sering dikutinya. Dia pernah mengikuti pelatihan yang diadakan sejumlah NGO, Pemerintah Provinsi NTT, hingga pelatihan yang diadakan lembaga internasional, seperti UNDP. 

Dia juga mengajarkan warga desa lain bagaimana membuat anggur kulit pisang. Menurutnya, semua pisang bisa diolah jadi anggur, tapi rasanya beda-beda. Terbaik adalah pisang ambon. “Sebab kulitnya mudah patah, cairan minyaknya mudah keluar. Itu paling bagus di antara semua pisang,” katanya.

Selanjutnya, kulit pisang dibersihkan, diambil, terus dicincang. Setelah itu direbus dan diambil sarinya, kemudian dicampur sari kecambah kacang ijo yang bisa dibeli di pasar. Setelah itu, dicampur lagi dengan gula pasir, ragi roti, dan asam nitrat. “Tahapan berikutnya adalah fermentasi,” ujarnya.

*** 

SUARANYA mendadak pelan dan parau saat membahas kerusuhan dan konflik di Timor Leste pada tahun 1999. Dia sudah mulai berdagang sejak tahun 1992 sehingga mengenal banyak orang di sana. Dia menjadi saksi dari banyaknya orang tewas hingga warga desa yang eksodus besar-besaran ke wilayah Indonesia.

“Saat itu saya menampung 50 orang pengungsi. Bayangkan, rumah saya yang sempit itu ditinggali banyak orang,” katanya menerawang.

Anton tidak melihat ada perbedaan antara warga Napan dan Oesilo. Mereka punya satu budaya, berkeluarga, serta sama-sama berbahasa Dawan. Yang membedakan mereka hanyalah pilihan politik dari para pemimpinnya. 

“Waktu lari, mereka tidak bawa apa-apa. Hanya pakaian di badan. Seminggu setelah keadaan aman, baru mereka balik. Yang bertahan ikut saya ada empat keluarga. Mereka tinggal di rumah saya sampai dua tahun,” ujarnya.

Setelah beberapa waktu, dua kepala keluarga kembali ke Oesilo, wilayah Timor Leste. Dua keluarga lainnya tetap di sini. “Saya kasih tanah, mereka buat rumah. Pengungsi lain di sini pindah ke pengungsian di kilo enam,” lanjutnya. 

Kata Anton, tak mudah bagi warga Oesilo untuk bertahan di Napan. Di sana, penghasilan warganya kebanyakan dari membuat sopi, sejenis arak. Mereka juga beternak sapi. Sementara di Napan, kebanyakan orang berladang.

Baca: PETRUS POT yang Merawat Damai

Saya terkenang pada Jose Benu, seorang bapak asal Oesilo yang dulunya datang sebagai pengungsi. Dia juga kesulitan beradaptasi dengan kebiasaan berladang orang Napan. Tapi seiring waktu dan bantuan dari banyak lembaga, kini dia bisa sukses mengelola kebun sayuran di tengah embung bersama puluhan keluarga lainnya.

Anton mengajak para pengungsi itu untuk berladang bersama warga desa lainnya. Dia membentuk kelompok tani bernama Suka Maju. Jumlah anggotanya adalah 20 orang. Mereka lalu berkebun dan menanam sayuran, kemudian hasilnya dipasarkan. 

Seusai bercerita, dia memperlihatkan setoples sambal yang dijualnya seharga 25 ribu rupiah. “Semua bahan-bahannya diambil dari kebun sendiri. Kami menanam, memanen, kemudian menjualnya lagi dalam berbagai produk,” katanya. 

Dia juga memperlihatkan madu yang dipasarkan oleh kelompok taninya. Bahkan dia juga memperlihatkan kain tenun yang dibuat istrinya. Dia bercerita dengan penuh kebanggaan kalau semua bahan tenun itu diambil dari alam sehingga tidak luntur.

Saya menatap Anton dengan penuh kekaguman. Dia sosok yang penuh talenta dan produktif melahirkan banyak hal. Idenya tak habis-habis. Dia bisa mengolah hal sederhana menjadi luar biasa. Dia adalah aset penting yang menopang ekonomi desa, menginspirasi orang lain untuk berbuat lebih.

Kontribusinya mungkin tak seberapa jika dilihat dalam skala ekonomi. Tapi inisiatif dan motivasi yang diberikannya adalah sesuatu yang tak ternilai di tengah masyarakat yang sering tidak peduli pada sesamanya. Dia mengolah rasa nikmat yang bisa lintas negara, menjadikannya identitas bersama, serta membuat banyak orang terhubung.

Baca: JOSE BENU, Petani yang Selalu Bergerak

Perjalanan saya ke desa perbatasan ini menjadi perjalanan penuh inspirasi. Pada diri Anton, saya temukan pelajaran penting bahwa tak perlu sekadar deklarasi untuk menyatakan damai demi keluar dari konflik. Tapi perlu satu tindakan kecil yang dilakukan bersama, dan bisa memberi efek pada komunitas. 

Perlu ada individu-individu dengan hati yang bening dan visi terentang ke masa depan, mengubah konflik menjadi sesuatu yang produktif, sesuatu yang baik, dan sesuatu yang memberdayakan.





Langkah JOKOWI di Tengah Tarian Prabowo, Mega, dan Paloh


ilustrasi (koleksi: Karya adalah Doa)

Pertemuan itu serupa pertemuan kakak dan adik yang lama terpisah. Megawati Sukarnoputri dan Prabowo Subianto dahulu adalah dua sejoli yang sama-sama maju ke arena pemilihan presiden tahun 2009. Setelah itu, keduanya terpisah dan menempuh haluan berbeda.

Sejatinya, keduanya tak jauh berpisah. Keduanya sama-sama memimpin partai besar yang berhaluan nasionalis. Kalaupun belakangan Prabowo sangat dekat dengan para pengusung agama, maka tetap saja tidak mengingkari haluan nasionalisnya.

Keduanya bertemu saat politik mulai mendingin. Pilpres telah usai dan hasilnya telah dikukuhkan MK. Prabowo resmi dinyatakan kalah. Di sisi lain, Megawati memimpin partai koalisi pemerintah, apalagi seorang kadernya terpilih menjadi Presiden RI.

Di atas kertas, PDIP memang memimpin koalisi pemerintahan. Tapi dalam praktik, tindakan itu tidak semulus yang dibayangkan. Tidak semua partai koalisi seiring sejalan dengan PDIP. Semua partai membawa kepentingan masing-masing. Partai Islam ingin kursi menteri. Partai lain ingin posisi Ketua MPR. PDIP sendiri ingin persiapkan Puan Maharani sebagai pemimpin pasca-Jokowi.

Bukan rahasia lagi, arus bawah PDIP ingin agar pemimpin partai dan presiden dipimpin oleh orang yang mewarisi darah biru Bung Karno. Sorry to say, dalam banyak hal, Jokowi hanya dilihat sebagai “petugas partai.” Sayangnya, keinginan PDIP ini tak mendapat respon partai lain.

Baca: PRABOWO yang Dicekam Sepi

Perbedaan pandangan serta target jangka panjang ini pelan-pelan meretakkan koalisi. PDIP selalu kesuitan memimpin koalisi partai. Lihat saja tahun 2014, saat Jokowi menang pilpres, tapi kendali parlemen sepenuhnya di tangan Prabowo. PDIP gagal memainkan ritme dan tarian di parlemen.

Kini, PDIP tak ingin mengulang kegagalan yang sama. Namun, PDIP masih saja menjadi saudara tua yang gagal mengatur adik-adiknya. Saat komunikasi dengan partai koalisi lainnya seakan buntu, berpalinglah partai ini ke Gerindra. 

Partai Gerindra menimbang pilihan strategis. Bahwa untuk menang pilpres mendatang, koalisi dengan PDIP adalah pilihan strategis. Mesin politik keduanya akan lebih kencang mengaum dan menggetarkan jagad politik. Kalau keduanya mengusung Prabowo-Puan, tentunya itu akan jadi kekuatan besar.

Kedua partai ini sama-sama tak seiring dengan Demokrat di bawah pimpinan SBY. Prabowo menganggap langkah Demokrat ibarat menggunting dalam lipatan. Sementara Megawati masih memendam perasaan kesal pada SBY yang terus dibawanya sampai kapan pun. 

Makin kesal Mega ketika Demokrat langsung “serahkan leher” ke Jokowi seusai pilpres. Koalisi dua partai merah itu bisa menghambat langkah taktis SBY yang menyiapkan AHY sebagai menteri, dan kelak calon presiden. 

Partai-partai lain di koalisi pemerintah jelas tak sepakat. Mereka menyadari tidak punya mesin partai yang segarang PDIP dan Gerindra. Surya Paloh mengumpulkan semua petinggi partai koalisi demi mengirimkan pesan kalau koalisi ini sudah cukup. Dia mengingatkan suka-duka saat mengawal Jokowi. Dia tak ingin koalisi menambah anggota baru.

Saat Surya Paloh mendatangi Anies Baswedan, dia mengirim satu pesan politik yang menunjukkan kian tingginya friksi atau perpecahan dengan PDIP. Partai lain seperti Golkar, PPP, PKB, dan Demokrat akan membentuk poros baru bersama Nasdem. Poros ini akan berhadap-hadapan dengan poros baru yang dibentuk PDIP dan Gerindra.

Tapi situasi akan makin seru jika Golkar bermanuver. Partai ini diisi para politisi kawakan yang paham ke mana biduk politik bergerak. Mereka bisa saja bergabung dengan PDIP dan Gerindra sebab di situ adalah kolam besar juga lebih kuat. Partai Golkar akan selalu mencari keseimbangan, apalagi partai ini sedang menggelar munas.

Bagaimana dengan PKS? Partai ini akan kesepian di tengah dinamika politik. Partai ini jelas tak mungkin bersatu dengan kubu PDIP. Bersatu dengan koalisi Nasdem juga tak ada chemistry. Malah, PKS terancam kian terbelah jika Garbi pimpinan Anis Matta semakin eksis.

Namun pihak yang paling kesepian adalah PA 212, FPI, dan para relawan yang menginginkan khilafah atau NKRI bersyariah. Mereka hanya menjadi dinamo penggerak mesin Prabowo, yang setelah diisap gulanya, sepahnya dibuang. Kelompok ini ibarat layang-layang putus yang sedang mencari tambatan baru setelah merasa ditinggalkan Prabowo.

Sekarang ini, figur yang lagi didekati adalah Anies Baswedan sebab dianggap bisa merepresentasikan suara umat. Tapi, pertemuan dengan Surya Paloh membuat banyak anggota kelompok ini kecewa berat. Mereka masih berharap agar Anies tidak menyambut ajakan itu. Tapi, ini adalah domain politik di mana kompromi dan penyatuan kepentingan akan selalu terjadi.



Siapa yang pang diuntungkan dari dinamika ini? Tentu saja Jokowi. Dalam banyak soal politik, Jokowi seperti Pak Harto yang selalu berada di tengah dinamika dan pergulatan kepentingan. Dia belajar pada Pak Harto bagaimana membuat dua kubu bersaing, sementara dirinya duduk nyaman di tengah.

Kali ini, semua kubu yang bersaing sama-sama menunggu restu Jokowi demi masa depan pilpres. Semuanya tahu bahwa dengan segala sumber daya dan kekuatan politik yang dimilikinya, Jokowi adalah pengendali utama dari semua kekuatan politik. Dia ibarat tubuh gurita yang mengendalikan semua tentakel kepentingan.

Semua tahu kalau ujung dari konfik partai ada pada Jokowi. Saat Jokowi tak nyaman dengan langkah PDIP, dia bisa saja diam-diam “main mata” dengan partai koalisi lain, termasuk menggerakkan Surya Paloh yang notabene adalah pendukung garis keras Jokowi. 

Anies belum tentu akan dicalonkan Nasdem. Proses politik itu masih panjang. Tapi sinyal dan pesan politik telah tersebar kalau PDIP tak bisa seenaknya menata koalisi sebab semua bisa berpaling. Jika situasinya tetap demikian, Anies bisa jadi jago baru yang dielus partai lain.

Baca: Mencari YUSUF di Istana Wapres

Meskipun banyak yang nyinyir, dunia politik kita hari ini ada di bawah kendali Jokowi. Dia sudah melumpuhkan lalu memisahkan Prabowo dari para penumpang gelap yang menjadi pembisik. Kisruh antar sesama anggota koalisi dan bersatunya dengan oposisi hanya akan melemahkan kekuatan masing-masing, dan di saat bersamaan Jokowi bisa makin melenggang dan membuat sejarah baru melalui pertumbuhan infrastruktur dengan skala massif, serta menggapai banyak target-target pembangunan.

Presiden yang plonga-plongo itu adalah pengendali sesungguhnya dari dinamika dan arus politik yang seperti pasang surut. Ada saat semua menyatu, ada saat semua memisah. Dia tetap berdiri tegak di atas semua kekuatan sembari mengamati dengan senyum lebar. 

Dia tetap berjalan terus menjalani periode kedua sambil menimbang-nimbang siapa yang akan didorong untuk menggantikan dirinya. 




PRABOWO yang Dicekam Sepi




DI media arus utama beredar informasi Prabowo Subianto akan bertemu dengan Megawati Sukarnoputri. Jika pertemuan ini terjadi sebelum pilpres, maka pertemuan itu akan heboh. Para analis akan mengeluarkan berbagai spekulasi. Para netizen akan menjadi pengamat dadakan dan melihatnya dari banyak sisi.

Tapi pertemuan itu terasa sepi. Para netizen malas berbincang tentang pertemuan itu. Seiring waktu, nama Prabowo lenyap perlahan-lahan. Dia bukan lagi Prabowo yang menjadi simbol perlawanan atas kekuasaan. Dia bukan lagi tumpuan harapan akan Indonesia yang jauh lebih hebat.

Tak ada lagi orang-orang berdebat sampai urat kata menonjol. Tak ada lagi orang yang mengaku sebagai die hard Prabowo dan rela berdebat hingga tetes kata penghabisan. Bahkan seorang senior yang setiap hari bisa lima kali sehari membagikan info-info mengenai kehebatan Prabowo dan kejelekan Jokowi, kini lebih banyak diam. Dia pindah mengurusi politik lokal. 

Fenomena menarik untuk dicatat adalah setelah Prabowo tenggelam, kini nama Anies Baswedan mencuat. Setiap pergerakannya akan dipuji setinggi langit.

Baca: Perempuan TIMOR LESTE yang Mengubur Dendam

Sejujurnya, saya agak malas membahas Anies. Saya pikir pilpres masih lima tahun lagi. Biarkan dia bekerja dulu. Malah, Anies belum tentu bisa terpilih di periode kedua Gubernur DKI. Politik kita ibarat air yang selalu bergerak dan mencari celah baru. Politisi kita lebih cepat move on. Beda dengan netizen yang masih memendam luka.

Pertanyaannya, ada apa dengan Prabowo? Mengapa dia tenggelam begitu mudah dan hilang dari percakapan publik?

Sejak pilpres berakhir, hingga sidang MK, dan puncaknya adalah ucapan selamat kepada Jokowi, bintang Prabowo perlahan meredup.

Banyak orang menganggap dirinya tidak konsisten. Dia tidak melawan Jokowi hingga tetes darah penghabisan. Surat wasiat yang tadinya disiapkan ternyata hilang dengan sendirinya. Anggaplah dia menerima tekanan, tapi mengakui kekuatan lawan sama dengan menyerahkan leher untuk disembelih.

Seorang kawan di tim Prabowo-Sandi bercerita bahwa sebulan ini semua spin doctor dan buzzer Prabowo sudah berakhir masa kerjanya. Mereka tidak lagi membuat berbagai konten berisi serangan ataupun bertahan. Kontrak mereka berakhir sebab tak ada lagi yang mengucurkan dana untuk membela Prabowo. 

Pantas saja kita sudah jarang menemukan meme, karikatur, dan editan foto yang memojokkan pemerintah. Kita tak lagi temukan  artikel-artikel yang ditulis Nasrudin Joha, Ziang Wei Jin, dan berbagai penulis anonim lainnya. Kita pun kehilangan cuitan Fadli Zon dan Fahri Hamzah.

Markas besar yang mengelola informasi itu sudah tutup. Tak ada lagi aliran informasi yang kemudian disebar para buzzer. Tidak ada lagi aliran informasi yang bisa diviralkan dengan cepat oleh para buzzer dan relawan medsos.

Dunia politik kita ibarat dunia yang penuh pertempuran wacana. Setiap politisi memerlukan seorang jenderal lapangan yang bisa mengendalikan semua arus informasi, sekaligus menggempur lawan dengan berbagai informasi tersebut. 

Para “jenderal” ini membangun benteng informasi yang mengolah semua data lalu meng-counter semua isu. Jika diperlukan, mereka sesekali melempar wacana tentang politisi atau partai lain. Dalam ranah akademis, mereka kerap disebut Spin Doctor.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Dahulu, Spin Doctor hanya menjelajah semua media massa, memiliki jejaring dan klik untuk mengatur wacana. Kini, arenanya menjadi lebih lebar dan lebih menantang. 

Mereka beroperasi di media sosial yang amat luas dan tak bertepi, mengatur ritme kapan mengalihkan informasi, menata saat tepat untuk menyetel pencitraan seseorang, sembari mengumpulkan data dan fakta kalau-kalau ada serangan dari pihak lain. Belakangan ini, semua Spin Doctor memiliki sehimpunan arsenal persenjataan yang setiap saat bisa menggempur media sosial dan media massa.

Ketika para spin doctor itu mundur, maka yang tersisa adalah jejak-jejak pertempuran. Kita sesekali masih akan menyaksikan beberapa meme ataupun karikatur lama yang diposting ulang. Tak ada lagi serangan informasi yang viral dan saling debat di media sosial.

Bagi para politisi dan pekerja politik, the game is totally over. Pertarungan ini sudah selesai. Para Spin Doctor sudah mundur. Pencinta Prabowo sudah mengalihkan dukungan ke Anies Baswedan. 

Prabowo ibarat Lion King yang kesepian. Aumannya tak lagi menggetarkan semua hewan di hutan. Kita menanti-nanti kisah dan peristiwa apa yang dialaminya hingga tiba pada keputusan untuk meninggalkan pencintanya.

Rasanya tak mungkin dia begitu mudah berpaling karena godaan kekuasaan. Bisa jadi dia melihat sesuatu yang lebih strategis untuk menyelamatkan partai dan gerbongnya. Dia memilih menjadi martir. Atau bisa jadi, dia memang sudah dalam posisi benar-benar tak berdaya sehingga pasrah mengikuti apa pun skenario pemenang duel..

Kita pun menjadi saksi dari proses politik yang berjalan. Kedepannya ada beberapa tantangan yang muncul. 

Pertama, siapa yang akan merawat para pencinta Prabowo yang kini ibarat layang-layang putus. Apakah Anies? Ataukah sosok lain? 

Kedua, gerakan 212 akan kian melemah seiring hengkangnya para pemodal. Kita tak akan lagi menyaksikan aksi-aksi demonstran yang dengan bebasnya mengecam pemerintah.

Ketiga, konfigurasi politik pun pasti akan terpecah. Saat partai merapat ke Jokowi, maka peran-peran opisisi menjadi terpinggirkan.

Keempat, relawan-relawan Jokowi dan partai politik pengusung akan saling cakar-cakaran demi memperebutkan gula yang kini digenggam Jokowi. Banyak yang akan minta jatah. Jika tak dapat, pasti akan keluar lingkaran dan bergabung dengan barisan tidak puas lainnya.

Kelima, politik menjadi makin transaksional. Semua partai politik akan saling berebut pengaruh di lingkaran Jokowi yang kian di atas angin. Semuanya berharap mendapat banyak posisi dan sumberdaya demi amunisi untuk pertarungan selanjutnya.

Politik kita ibarat lakon sandiwara. Hari ini satu lakon ditutup, besok lakon lain akan dibuka. Di semua tahapan itu, nikmati saja. Jangan baper. Jangan sensi. Cepat move on.



Perempuan Timor Leste yang Mengubur Dendam


Crispina Taena atau Mama Krista

DI Pasar Tono, Distrik Oekusi, Timor Leste, hampir semua orang mengenalnya. Ketika dia datang, pasar kecil itu mendadak ramai. Saat dia menyapa seseorang, suaranya menggaung hingga seantero pasar.  

Perempuan bernama Crispina Taena itu adalah salah satu pedagang sayuran di pasar itu. Semua orang mengenalnya sebagai sosok yang ceria. Dia mengajak para perempuan untuk membentuk kelompok lalu sama-sama menanam sayuran organik di kebun sendiri, lalu menjualnya di pasar itu.

Sesuai berjualan, saya bertemu Mama Krista, demikian ia disapa. Dia pribadi yang hangat dan mudah bergaul dengan siapa saja. Mulanya, semua pembicaraan diiringi gelak tawa dan canda. Saat pembicaraan mengarah ke kerusuhan dan huru-hara di tahun 1999, dia tiba-tiba saja terdiam. Dia langsung dikepung sedih. Suasana mendadak hening.

Di balik suaranya yang menggelegar itu, Mama Krista memendam kisah pilu selama bertahun-tahun. Dia menutup rapat-rapat kisah tentang anak kecilnya bernama Riki.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Hari itu di tahun 1999, saat warga Timor Leste menilih merdeka, suara tembakan terdengar di mana-mana. Rumah-rumah terbakar. Orang-orang berlarian. Dia dicekam ketakutan. Anaknya Riki, yang saat itu berusia lima tahun, juga ketakutan hingga kondisinya drop. 

Dengan menggendong anaknya yang sakit, Mama Krista keluar rumah dan berlarian. Dia mencari pertolongan ke sana-sini. Dia tidak menyadari kalau anaknya kian kritis hingga akhirnya meninggal dunia dalam usahanya mencari pertolongan.

Dia ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Tapi dia tak bisa melakukannya. Dalam situasi yang begitu mencekam, dia hanya bisa menahan tangis kemudian berlari menyelamatkan diri. Riki pergi di tengah situasi kritis. Dia kehilangan selembar nyawanya saat Mama Krista juga sedang berjuang menyelamatkan miliknya.

Bersama warga lainnya, Mama Krista berlari sekencang-kencangnya. Dia menembus hutan bersama warga lain. Dia menerobos lintas batas demi bergabung dengan tenda-tenda pengungsi di Desa Napan.

Bulan-bulan pertama dilaluinya dengan kesedihan. Kehilangan anak adalah kehilangan segala-galanya. Selama ini aktivitasnya hanya untuk anaknya. 

Baca: PETRUS POT yang Merawat Damai

Dia memulai hari saat melihat senyum anaknya. Dia pun mengakhiri semua kegiatan bersama-sama anaknya. Senyum anaknya adalah kompas kehidupan yang membuatnya kuat melalui semua tantangan seberat apapun. Ketika kompas kehidupan itu pergi, dia merasa hampa. Dia kehilangan segalanya.

Selama sebulan, hidupnya bergantung pada uluran kasih berbagai lembaga internasional termasuk UNHCR dan World Food Program (WFP). Semuanya terasa berat baginya. Pada satu titik ketika air matanya mengering, dia mulai bangkit. 

Tak ada guna tenggelam dalam kesedihan. Dia bisa kehilangan masa lalu, tapi dia tak boleh kehilangan masa kini dan masa depan. Dia tak ingin tenggelam dalam sedih. Dia bergerak. “Kalau saya sedih terus, bagaimana saya bisa hidup? Riki memang sudah pergi. Tapi saya masih hidup. Saya harus rawat kehidupan,” katanya.

Dia mulai berjualan. Warga Desa Napan mengulurkan bantuan baginya. Semua menyadari bahwa ini bukan konflik antar warga. Konflik ini didesain oleh sejumlah orang yang tak rela melihat situasi politik berubah. Saat situasi aman, dia kembali ke Oesilo dan memulai semuanya dari nol.

Mama Krista seorang pejuang tangguh. Berbekal bibit tanaman dari satu lembaga internasional, dia mulai menanam. Dia tahu bahwa hanya dia yang menanam, yang kelak akan memanen. Dia menggerakkan ibu-ibu lainnya untuk menanam lalu memanen, kemudian menjualnya ke pasar terdekat.

Tak cuma menanam. Dia juga menenun. Dia membentuk kelompok yang beranggotakan lima perempuan untuk menenun di rumahnya. Dia menenun berbagai kain-kain khas Timor yang indah. Beberapa pewarna menggunakan pewarna alam. Bahkan benangnya menggunakan kulit kayu.

Dia tak pernah malu dan tak pernah merasa tua untuk belajar. Ketika salah satu lembaga PBB yakni UNDP menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan bertani, dia amat gembira. Dia penuh antusias saat mendapat kesempatan untuk belajar pada petani di Desa Napan, Indonesia. Dia belajar pada petani lain, dia pun bagikan pengetahuannya.

Baca: JOSE BENU, Petani yang Selalu Bergerak

Mama Krista mengubur semua dendam. Dia tidak melampiaskan dengan kebencian dan sikap memusuhi satu orang atau satu komunitas. Dia melepaskan dendam itu dengan menjalani aktivitas menanam dan menenun. Dia membakar semua belukar dendam itu dengan embun kasih dan kecintaan pada manusia lainnya.

Mama Krista mengubah bara dendam menjadi embun kasih sayang. Dia mengasihi alam dan mengasihi manusia. Dia melihat masa lalu dengan pikiran terang. Dia membingkai masa kini dengan kebaikan dan cinta. 

Dia menatap masa depan dengan penuh optimis. Penuh bahagia. Penuh ceria. Penuh damai.




MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan




Matanya tiba-tiba sembab saat bercerita. Bulir-bulir air matanya perlahan menetes saat dirinya bercerita tentang peristiwa di tahun 1999. Perempuan itu, Yasinta Colo, terbata-bata mengisahkan pengalamannya saat berlari di tengah desingan peluru.

“Saya lari sambil gendong anak. Laki-laki lari di tempat lain karena biasanya mereka yang diincar. Tapi Bapak kecil ikut sama saya. Begitu masuk hutan, dia yang kena tembak,” kata warga Aldeasaden di distrik Oekusi, Timor Leste ini, sembari terisak. Bapak kecil adalah sebutan bagi paman, atau saudara dari ayah.

Tak ada waktu bagi perempuan yang kini disapa Mama Sinta ini untuk mengangkat jenazah. Dengan berat hati, dia hanya mengingat-ngingat tebing di mana jenazah itu bersemayam. Dia kembali berlari sekuat-kuatnya, sejauh-jauhnya ke hutan.

Dia tidak bisa menyebutkan dengan detail siapa yang mengejarnya. Tapi beberapa laporan menyebutkan saat itu terjadi pertempuran antara militer Indonesia dan gerilyawan lokal yang bergabung dalam milisi-milisi perlawanan. 

Mama Sinta terus berlari dengan membawa semua kepedihan. Keluar dari hutan, dia tinggal bersama keluarganya di Desa Napan, Kabupaten Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Indonesia. Ratusan warga desa lainnya menjadi pengungsi di situ. 

Warga Napan menyambut hangat sebab mereka memang bersaudara. Mereka sama budaya dan bahasa. Yang memisahkan adalah garis politik.

Mulanya semua terasa berat. Hampir setiap hari dirinya masih trauma dengan peristiwa itu. Bahkan ketika mendengar suara keras di malam hari, dia akan terkejut, terbangun, dan tak bisa tidur.

Dalam suasana sedih itu, lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR dan World Food Program (WFP) turun tangan. Lembaga-lembaga itu menyediakan kebutuhan pangan baginya dan pengungsi lainnya. 

Sebulan berlalu, Mama Sinta perlahan bangkit dari kesedihan. Baginya, tak ada gunanya jika dirinya terus-terus bersedih. Dia memikirkan masa kini dan masa depan. Dia mulai menyusun rencana-rencana. “Kalau saya tidak kerja, mau makan apa?” katanya.

Beruntung, Kepala Desa Napan memberikan dukungan kepadanya. Kepala Desa menyediakan sembilan bahan pokok (sembako) yang kemudian dipakai Mama Sinta untuk berdagang di perbatasan. Dia membawa sendiri beras, kacang, sayuran, untuk dijajakan ke sana ke mari.

Pada masa belum ada saluran komunikasi, dia mendekati perbatasan yang dijaga ketat militer. Dia memberi kode kepada warga di Timor Leste kalau dirinya datang membawa barang untuk dijual. Dia membenturkan dua batu sehingga berbunyi nyaring, yang kemudian dijawab dengan suara batu dari sebelah.

Beberapa waktu kemudian dia kembali ke kampung halamannya di Oekussi. Meskipun lahir di Desa Napan, dia memilih jadi warga negara Timor Leste. Dia mengikuti suaminya yang lahir dan besar di Oekusi.

Mama Sinta mulai bangkit. Dia tetap melintasi perbatasan demi membeli sayuran dan sembako di Indonesia, kemudian dijual di Timor Leste. Dia lebih tangguh dari suaminya yang masih memendam trauma dan takut melintasi perbatasan.

Demi menyembuhkan trauma, Mama Sinta bergabung dengan sejumlah perempuan korban kekerasan dan sama-sama menenun. Dia melepaskan semua kesedihan dan duka melalui aktivitas menenun. Mereka menjadi perempuan tangguh. "Lebih baik kami pikir masa depan," katanya.

Saya ingat studi tentang perempuan Kolombia yang melepaskan trauma kekerasan melalui aktivitas membuat boneka. Sayangnya, saya tidak sempat bertanya padanya, apakah motif tenunan yang dibuat Mama Sinta ada kaitan dengan peristiwa yang dialaminya.

Saat menenun itulah, Mama Sinta teringat pada jenazah bapak kecil. Bersama warga desa lainnya, dia datang ke tebing itu demi menemukan jenazah bapak kecil. Saat ditemukan tulang-belulang, tangis Mama Sinta pecah. Dia kembali membayangkan saat-saat harus berlari di tengah desingan peluru.

Saya yang menyaksikan dirinya bercerita ikut terbawa haru. Rekan saya, Chelsea, peneliti asal Norwegia, ikut terguncang. Kami baru saja mendengar satu fragmen kisah mengharukan, serta kekuatan untuk bangkit dari situasi sesulit apapun. Dia seperti burung phoenix, yang selalu terlahir kembali saat terbakar.

Saya membatin, dunia akan jauh lebih indah jika tak ada perang, tak ada yang mengatasnamakan negara, tak ada yang mengatasnamakan kebenaran. Saya teringat musisi jenius asal Liverpool, John Lennon yang bernyanyi:

“Imagine there’s no heaven
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace”



Kopi Ternikmat




Ada yang merasakan nikmat kopi di kafe-kafe mahal. Ada juga yang merasakan lezatnya kopi saat diracik barista2 kenamaan yang bersertifikat.

Saya justru menikmati lezatnya kopi saat diracik seorang ibu peladang di perbatasan Timor Leste - Indonesia, ditemani gadis keturunan Portugis.

Saat memandang sawit dan kol yang mulai mekar, bersama kehangatan ibu dan bapak berbahasa Dawan, tiba2 rasa kopi membuat semuanya terasa indah.



PETRUS POT yang Merawat Damai




Dia seorang pengajar Katolik, tapi dia juga seorang tetua adat. Petrus Pot menjalankan dua peran itu saat bersamaan. Dia memimpin banyak ritual di Umenekas, rumah adat yang di dalamnya terdapat tanduk kerbau dan kelewang. Dia mengabdikan hidupnya untuk melayani warga di gereja.

Pria yang setiap hari bisa mengunyah sirih hingga berkali-kali ini lahir di Oekusi, Timor Leste. Tapi dia memilih untuk menjadi warga Napan. Baginya, Oekusi dan Napan adalah sama. Semua orang berbahasa lokal yakni Dawan. Budayanya sama. Pakaian tradisional sama. Yang membedakan hanya garis politik bernama batas negara.

Di Desa Napan, ritual adat menjadi jantung dari semua aktivitas. Saat seorang warga meninggal, maka semua orang akan meninggalkan aktivitasnya dan berdatangan. Demikian pula saat ada yang menikah. Pun saat ada ritual di hutan-hutan adat. Semua orang akan berdatangan.

Petrus menjadi tempat bertanya segala hal mengenai adat. Dia menjadi semacam konsultan atas banyak ritual. Mulai dari persembahan dari laki-laki pada keluarga perempuan agar bisa menikah sampai pada kapan memberi berkat atas hasil panen.

Dia pun siap setiap saat jika dipanggil untuk memimpin ritual. Tidak hanya di Desa Napan dan sekitarnya, dia juga sering dipanggil ke Oekusi, Timor Leste. Dia melihat semua warga adalah keluarga. Mereka saling kenal sejak lama. Budaya telah lama memeluk mereka sebagai satu kesatuan.

“Di sini, semua orang menjaga solidaritas. Kamu bisa saja tidak datang, tapi ketika suatu saat kamu punya hajatan, maka tak akan ada yang mendatangi hajatanmu,” kata Petrus saat saya temui di Napan, Timor Tengah Utara.

Petrus merinci begitu banyak pesta adat. Saya tak bisa mencatat satu per satu secara detail. Mulai dari berkat atas hasil panen, minta hujan, hingga ritual-ritual mengenai kelahiran, perwakinan, dan kematian. Yang saya tangkap, di semua ritual adat itu selalu ada makan bersama.

Petrus mencontohkan ritual di hutan adat, yang disebut Fuaton. Warga akan berdatangan sembari membawa daging babi, kambing, nasi, dan jagung. Setelah berdoa, semua warga akan makan bersama-sama. Semua akan menikmati hidangan yang dibawa.

Kepada siapa pesan doa disampaikan? “Kepada leluhur dan mereka yang telah mendahului kami. Kami ingin mereka tetap memberi berkat pada tanah ini,” katanya.

Dia tiba-tiba terdiam saat membahas masa-masa rusuh dan suara tembakan bersahut-sahutan di Timor Leste. Dia dua kali menjadi saksi sejarah, yakni tahun 1975 saat Timor Leste bergabung dengan Indonesia, serta tahun 1999 saat negara itu merdeka.

Dia pun menampung warga Oekussi saat menjadi pengungsi di Indonesia. Dia membuka aula gereja, serta tenda-tenda pengungsian. Dia ikut bersedih saat melihat orang lain bersedih.

Bahkan dia ikut menggelar ritual adat untuk perdamaian demi menyatukan semua pihak yang bertikai. Dia akan membacakan doa dalam bahasa Dawan dengan suara yang dikeraskan agar semua orang bisa mendengarnya.

Salah satu bait doa yang dibacanya adalah: “Hemnakat i haisan mapuutu man malal mes mamikian man oeteu.” Dia mengartikannya: “Semoga makanan ini jangan menjadi panas, tapi menjadi dingin.”

Saya terdiam mendengar maknanya. Mungkin makanan adalah simbol dari hati manusia yang tengah dibakar oleh amarah dan konfik. Dia berdoa agar hati yang panas itu ditetesi embun cinta kasih, disentuh menjadi dingin, sehingga manusia melihat sesamanya sebagai keluarga.

Sebelum pisah, dia menatap mata saya kemudian menggumam: “Iman akan memeluk kita semua dalam pancaran kasih dan sayang.”



JOSE BENU, Petani yang Selalu Bergerak




Di tahun 1999, dia menyaksikan kerusuhan dan amarah memenuhi udara. Dia melihat kekerasan saat sejumlah orang meneriakkan merdeka. Tapi, bapak bernama Jose Benu ini tak ingin tenggelam dalam kesedihan. Dia ingin move on. Dia merajut kenangan baru. Kehidupan harus terus bergerak.

Di Desa Napan, salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, dia mulai menata hari. Bapak yang dahulu adalah pengungsi Timor Timur ini merasa lebih aman di desa itu sehingga dirinya bisa bekerja dengan tenang.

Mulanya dia bekerja serabutan. Suatu hari, bapak yang mulutnya selalu merah karena mengunyah sirih ini melihat tanah kosong. Dia memberanikan diri untuk menemui pemilik tanah yakni Edmundo Lase. Dia diizinkan untuk mengelola tanah kosong itu. Dia mengajak rekan-rekannya yang bergabung dalam kelompok tani Tafe’u untuk mengelolanya.

Dia menjelaskan makna Tafe’u dalam bahasa Dawan, bahasa yang dipakai semua warga Napa serta warga desa di wilayah Timor Leste. Tafe’u bermakna selalu memperbarui. Apa yang diperbarui? “Semua hal bisa diperbaharui. Termasuk anggota kelompok tani itu,” katanya.

Saya rasa maknanya sangat filosofis. Saya ingat filsuf Heraclitus yang menyebut penta rei, yakni segala hal dalam hidup ini selalu berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Kehidupan ini selalu bergerak.

embung yang menyediakan sumber air
bedeng-bedeng yang ditanami sayuran


Jose beruntung, pada era Presiden Jokowi, pemerintah membangun embung di tanah itu. Telaga kecil terhampar di tengah pegunungan tandus itu. Telaga itu menjadi awal kolaborasi banyak pihak. Pemerintah Desa memperluasnya. Lembaga internasional yakni UNDP mengadakan pelatihan budidaya hortikultura kepada warga lokal. Bahkan UNDP menyiapkan bibit sayuran organik kepada warga.

Jose mulai melihat secercah harapan. Dia menerapkannya di bukit itu. Mulanya dia kumpulkan kotoran sapi dan kambing. Kotoran itu lalu disebar di bedeng-bedeng yang dibuatnya di sekitar embung. Setelah itu dia menyiraminya, sehingga siap ditanam.

Dia juga mengajak rekannya untuk membuat bedeng-bedeng yang berbentuk terassiring, lalu menanaminya. Siapa pun yang membuat bedeng dan menanam, berhak untuk memanen. Bersama rekan-rekannya di Tafe’u, mereka menanam sayur kangkung, sawi, bawang merah, pici, dan kol. Semuanya organik.

Dia tak pernah kesulitan menjual semua sayuran itu. Bahkan sayurannya tidak sempat menjangkau pasar di Timor Leste, atau pasar rakyat di Kefa, ibukota Timor Tengah Utara, sebab langsung dibeli.

“Waktu panen, saya tidak pernah kesulitan jual ini sayuran. Sebelum sampai pasar, selalu terjual duluan. Malah banyak orang datang cari sayur di sini,” katanya.

Di embung itu, dia pun memelihara ikan. Rumput-rumput tumbuh di sekitar embung yang kemudian dikonsumsi ternak. Ke depannya, Jose membayangkan tidak hanya melihat sayuran hijau, tapi juga kolam ikan, serta peternakan di situ.

Saya memberinya masukan untuk membuat dangau-dangau yang menyediakan kopi lokal. Tempat itu bisa dikelola jadi wisata ekologis. Saya membayangkan, betapa nikmatnya duduk di satu lapak sambil melihat tumbuhan hijau menghampar. Saya bisa melahirkan banyak puisi di situ.

Pegunungan tandus itu perlahan menghijau. Lahan-lahan di situ ibarat kanvas yang dilukis hijau oleh Jonas bersama rekan-rekannya. Saya serasa melihat oase di tengah bukit-bukit yang gundul, ada bukit hijau dan telaga jernih yang menghampar. Serasa melihat noktah kehidupan yang kecil namun perlahan terus membesar.

Ketika berkunjung ke situ, saya terkesan melihat banyak orang bekerja di situ. Malah, lebih banyak mama-mama yang bekerja. Saya melihat banyak anak-anak ikut terlibat. Mereka bermain dengan riang di sela-sela rerimbunan sayuran.

Ketika saya duduk dan berbincang dengan Jose, semua mama-mama itu itu terlibat. Mereka spontan mengoreksi pernyataan Jose jika dirasanya keliru.

Jose Benu
Perempuan-perempuan di Napan ini bisa membuat stres para penulis buku gender yang masih masih beranggapan perempuan ditindas laki-laki. Di sini, semua orang sejajar, sama-sama menanam, sama-sama memanen, dan sama-sama bisa berbicara.

Jose menatap hamparan hijau itu dengan tersenyum. Dulu dia memendam ingatan traumatik karena konflik yang membunuh. Kini dia menyaksikan hamparan hijau yang menghidupkan. Kini dia menata masa kini dan masa depan. Jejaknya bisa dilihat pada bukit-bukit yang dulu gundul, kini penuh tanaman hijau.

Pada Jose, saya melihat banyak pelajaran.


Sepekan Bersama Chelsea Nguyen




Entah apa yang di benak petinggi lembaga internasional di bawah payung PBB ketika meminta saya untuk jadi konsultan ahli di perbatasan Timor Leste. Dia pikir saya punya skill riset dan menulis, serta analisis yang bagus. Padahal, keahlian saya adalah membual dan melatih kucing.

Biar sudah menolak, saya tetap diajak ke sana. Saya pikir palingan cuma jalan-jalan dan menulis. Saat di pesawat, barulah saya diberitahu kalau ada tugas tambahan lain yakni menjadi mentor bagi peneliti asal Norwegia yang akan ikut turun ke lapangan. Lebih terkejut lagi ketika mendengar dia tak bisa bahasa Indonesia. Matilah saya.

Peneliti itu bernama Chelsea Nguyen. Ketika dia berbicara, saya serasa berada di film Harry Potter yang semua pemain beraksen British. Tapi saya masih bisa menangkap jelas semua kalimatnya. Biarpun bahasa Inggris saya sudah campur dengan aksen Buton Bugis Makassar, dia bisa paham. 

Ayahnya berdarah Vietnam yang sudah jadi warga negara Norwegia. Ketika bertemu dengannya di Kefa, dia memperkenalkan diri sebagai ekonom yang memegang gelar master bidang ekonomi politik di London School of Economic (LSE) di Inggris. Bahkan dia kenal Anthony Giddens dan pernah diskusi. Hah?

Demi menutup rasa minder, saya bertanya mengapa namanya Chelsea, mengapa bukan Arsenal, klub yang meskipun jarang menang tapi saya idolakan. Mengapa pula namanya bukan Tottenham yang berhasil menembus final Champion League. Katanya, bapaknya adalah fans Chelsea, khususnya pemain Frank Lampard.

Kami berbincang tentang buku-buku. Bacaannya sangat berkelas. Dia seperti perpustakaan berjalan. Dia bisa menjelaskan banyak nama besar di bidang ekonomi politik. Saat saya menyebut buku White Man’s Burden, dengan cepat dia menyebut William Easterly penulis buku itu.

Menurut satu staf lembaga PBB, dia seorang pemikir dan penulis handal. Blognya berisi ratusan artikel dalam berbagai topik, khususnya ekonomi politik. Saya sempat mengintip blognya, tapi tak kuat baca. Semuanya berbahasa Inggris.

BACA: Cerita tentang Nahad Baunsele

Pengetahuan sebanyak itu bukan jaminan kalau dirinya menguasai banyak hal. Dia curhat kalau dirinya adalah tipe periset yang lebih banyak bekerja di belakang meja. Dia bisa memahami bagaimana data-data ekonomi bekerja, tapi dia akan sangat kesulitan ketika diminta mengeksplor kisah-kisah manusia. 

“Yos bagaimana cara memulai wawancara? Bagaimana caramu melakukannya” dia bertanya. Saya bingung bagaimana menjawabnya. Selama ini saya tak pernah merasa melakukan wawancara. Malah saya menghindari kesan wawancara. Saya merasa sedang ngobrol lepas, banyak mendengar, kemudian banyak bertanya. Sesederhana itu.

Saat kami di lapangan, dia mengikuti ke manapun saya bergerak. Rasanya kikuk juga jika diikuti seseorang. Dia memosisikan dirinya seperti Anakin Skywalker yang mengikuti Master Obi Wan Kenobi. Dia menjadi padawan atau murid yang memperhatikan, menyimak, dan belajar.

Kendala saya hanya satu yakni harus kerja dua kali. Saya harus menerjemahkan semua kalimat informan ke dalam bahasa Inggris agar dia juga paham. Saya pun harus menerjemahkan pertanyannya ke informan. Saya menjalani dua peran, sebagai peneliti, sekaligus penerjemah. 

Saya paham mengapa para peneliti asing seperti Ben Anderson mesti menguasai bahasa Indonesia dulu sebelum turun kapangan. Penguasaan bahasa membuat mereka fleksibel bergerak dan cepat memahami kalimat informan. Bahasa adalah gerbang budaya yang membuat seseorang bisa memahami ekspresi, mimik, hingga keyakinan yang diekspresikan dalam diksi atau pilihan kata.

Tapi saya kagum karena Chelsea adalah tipe yang sangat cepat belajar. Saat saya beritahu tentang kerja-kerja peneliti yang tak sekadar bilang “I’ve been there” tapi juga memahami realitas sesuai dengan pikiran warga lokal, dia cepat menyerap.

Saat di lapangan, dia tak ada rasa canggung ketika bertemu petani, makan bersama petani di ladang, hingga ikut mendaki bukit-bukti demi ke ladang petani di Timor Leste. Saya juga kagum, dia cukup cepat mengambil hati pemuka adat saat mencoba sirih yang selalu dibawa-bawa pemuka adat itu. Dia melakukan observasi partisipatoris dengan baik.

Pada saat kami bertemu korban kekerasan, saya bisa melihat dia terguncang ketika mendengar subyek bercerita. Dia beberapa kali tertegun saat mendengar tuturan mereka. Ini adalah pengalaman baru yang berkesan baginya. Dia belum pernah mendengar kenyataan semenggetarkan ini di negerinya.

Seusai wawancara, dia terharu. Dia memeluk semua ibu yang menjadi koban itu. Dia berbisik, ini adalah pengalaman luar biasa baginya. Baginya, pengalaman ini jauh lebih berkesan dari pengalaman berurusan dengan angka-angka. Dia menemukan keindahan riset humaniora sebagai jembatan hati yang membuat manusia saling memahami satu sama lain.

Saat senja mulai nampak di ufuk bumi loro sae, dia menemui saya kemudian berbisik: “Thanks for everything.” Saya terheran-heran. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Dia tetap tersenyum riang. Saya fokus memperhatikan pipinya yang kemerahan. Hmm.. Dia cantik.




Cerita tentang Nahad Baunsele




Saat dia berangkat ke luar negeri, orang-orang mengira dirinya akan bersenang-senang dan berkelana di negeri asing. Padahal, dirinya sedang bekerja keras demi melawan semua tantangan.

Lelaki itu Nahad Baunsele, datang dari kampung di So’e, Timor Tengah Selatan. Berkat beasiswa IFP, dia diundang belajar ke Tulane University, salah satu universitas dengan tradisi epidemologi dan public health terbaik di Amerika Serikat.

Kampusnya terletak di New Orleans, yang dikenal sebagai kota penuh pesta, jazz, dan punya populasi kulit hitam yang besar. Nahad ke sana hanya bermodal nekad. Betapa tidak, skor Toefl-nya hanya 430. Bahasa Inggrisnya pas-pasan.

Jangankan untuk belajar, untuk sekadar berkomunikasi dengan orang lain pun dia kesulitan. Setelah empat bulan belajar bahasa di New Orleans University, Nahad mulai kuliah di Tulane.

Dia menuturkan, pada semester pertama, dia seperti makhluk bumi yang tersesat di negeri alien. Dia ketinggalan di semua kuliah. Bahkan dia terancam dipulangkan kalau tidak bisa mengikuti ritme perkuliahan.

Nahad tak ingin kembali ke So’e dengan membawa kegagalan. Dengan kemampuan terbatas, dia menemui satu per satu dosennya. Dia ceritakan masalah kemampuan bahasa yang terbatas itu.

Dia hadapi masalah itu dengan cara mengakuinya, kemudian mengajak orang lain untuk membantunya. Gayung bersambut. Dosen-dosennya tersentuh. Semuanya sepakat bahwa perjalanan menyusuri separuh bumi demi belajar itu membutuhkan keberanian besar.

Mulailah Nahad mendapatkan bantuan. Saat Nahad membuat paper, dosen akan membantunya untuk membaca ulang dan mencari ide-ide orisinal di situ. Nahad merasakan betapa baiknya orang-orang yang selalu melihat sisi terbaiknya, bukan sisi terlemah seseorang.

Di New Orleans, di kota yang surganya penyuka pesta dan para penenggak brandy setiap saat, Nahad menemukan setitik cahaya. Dia mulai menemukan semangat belajar. Dia membayangkan akan membawa banyak pengetahuan demi So’e, kampung halamannya.

Kisah Nahad di New Orleans adalah kisah perjuangan menghadapi keterbatasan. Jika saja dia menyerah, maka dia akan pulang dengan membawa cerita kegagalan. Namun dia punya tekad kuat untuk menentukan takdirnya di masa depan.

Setelah dua tahun lebih delapan bulan, dia pulang membawa keberhasilan. Kini, dia berada di So’e dan menghadapi dunia yang ingin diubahnya. Dia kembali berurusan dengan penyakit menular, dunia puskesmas, serta tantangan yang tidak mudah.

Tapi semangat baja yang ditempa di New Orleans itu menjadi kompas kehidupan baginya. Dia tetap menunjukkan determinasi dan kemampuan menemukan solusi di tengah masalah. Dia pun tak ingin meninggalkan So’e sebab itulah medan pengabdiannya.

Saat saya bertemu dengannya di So’e, wilayah yang sedingin Puncak di Bogor, Nahad dengan riang bercerita pengalamannya. Dia bercerita perjuangannya menyediakan fasilitas kesehatan bagi rakyat yang terpinggirkan.

Dia baru saja membangun 12 Puskesmas dengan fasilitas paling lengkap, mulai dari ruang rawat inap hingga perumahan dokter. Saya suka ceritanya tentang perjuangan membantu masyarakat nelayan yang tidak memiliki KTP sebab suka berpindah-pindah. "Pada saat itu, negara harus hadir membantu warganya," katanya.

Saya lebih banyak mendengar. Saya begitu kagum dengan dirinya. Saya melihat Nahad yang terus bertransformasi. Mulanya saya melihat dirinya di Jakarta sebagai seorang penerima beasiswa. Setelah itu dirinya datang ke luar negeri dengan membawa keterbatasan.

Kini dirinya menjadi sosok penuh ide-ide perubahan di kampung halamannya. Dia membawa kembang ilmu untuk menjadi persembahan bagi So’e, kampung halamannya.

Sambil mendengar dirinya bercerita, sayup-sayup saya mendengar lagu dari Louis Amstrong, penyanyi jazz bersuara serak di New Orleans:

"I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself what a wonderful world"


Menonton "The Dude in Me"




Yang saya suka dari film Korea adalah ceritanya selalu sederhana, tapi dikemas dengan menarik. Film Korea selalu menyimpan kejutan di bagian akhir yang meninggalkan jejak di hati penonton. Film Korea suka menghadirkan ending yang menyengat.

Semalam saya menonton film berjudul “The Dude in Me” yang pernah tayang di bioskop kita pada bulan Februari 2019. Kisahnya sangat menghibur.

Cerita film ini tidak orisinil2 amat. Ceritanya mengingatkan saya pada dua film Korea yakni Luck Key, mengenai seorang gangster serta seorang anak remaja yang bertukar peran, dan film Miss Granny tentang seorang nenek yang kembali jadi muda lalu mengejar mimpinya. Saya juga ingat filmnya Stephen Chow berjudul Fight Back to School.

Ceritanya, seorang gangster kaya berdiri di dekat gedung tinggi. Dia kejatuhan seorang anak SMA yang berusaha mengambil sepatu di atas gedung. Gangster itu koma. Entah bagaimana ceritanya, dirinya terbangun dalam tubuh siswa SMA itu.

Cerita bergulir menarik. Siswa SMA itu dulu pecundang di sekolah dan sering di-bully, tiba2 jadi jagoan. Dia juga mengenal seorang anak perempuan yang sering di-bully. Ibu anak perempuan itu ternyata mantan pacarnya. Dia juga akhirnya tahu kalau anak perempuan itu adalah anak kandungnya sendiri.

Di pertengahan film saya sudah bisa menebak lanjutannya. Tapi saya tetap ikuti sebab kemasannya menarik. Menonton film ini serasa mengemut permen nano-nano, ada rasa manis, pahit, dan asam. Di film ini, ada unsur komedi, action, dan drama cinta. Ketiganya membentuk satu adonan film yang lezat.

Belakangan ini saya suka nonton film Korea yang tayang di TvN. Di mata saya, orang Korea memang pandai membuat film yang sederhana tapi asyik. Mereka bisa meramu bahan-bahan sehari-hari menjadi cerita yang renyah dikunyah, serta bikin kita terkenang-kenang.

Yang saya gak suka dari film The Dude in Me adalah tampang Jinyoung, personel B1A4, yang menurutku khas para boyband Korea. Terlalu cantik untuk peran macho. Aneh juga sebab kadang kalau lihat Jinyoung, saya serasa bercermin. Saking miripnya.



Mencari YUSUF di Istana WAPRES


tiga alumni Unhas berpose di acara halal bihalal IKA Unhas

Sabtu lalu, halal bihalal IKA Unhas diadakan di Kantor Wapres. Tapi tak semua yang datang berniat untuk halal bihalal. Banyak yang datang karena menyadari inilah kesempatan terakhir menghadiri halal bihalal bersama Jusuf Kalla di istana.

Banyak yang berpikir bahwa butuh waktu lama lagi melihat ada orang Bugis Makassar, atau orang Indonesia Timur, menjadi presiden ataupun wakil presiden. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, posisi wapres dijabat seorang kiai dari tanah Banten.

Saya pun ikut hadir demi merasakan momen penting itu. Jusuf Kalla memberikan pesan yang tak biasa. Bukan sekadar sambutan, tapi memberikan masukan strategi bagi anak muda di timur untuk bisa meniti karier sebagaimana dirinya.

Dia mulai dengan mengenang semua kariernya di pentas politik. Mulai dari menteri, menteri koordinator, hingga wakil presiden. Semuanya tak didapatkan dengan mudah. Fundasi dari semua posisi itu dibangunnya di daerah.

Dia memang memulai semuanya di daerah. Sejak kuliah, dia sudah memegang posisi penting di banyak organisasi. Mulai dari organisasi mahasiswa Bone, Senat Mahasiswa Ekonomi Unhas, hingga HMI Cabang Ujung Pandang.

Setelah itu, dia berkarier dari posisi karyawan hingga direktur utama. Meskipun itu perusahaan keluarga, dia memulainya dari nol. Dia bekerja keras hingga menjadi direktur utama. Dia pun memimpin banyak organisasi sosial.

Saat elite Jakarta mencari sosok inspiratif di daerah, namanya akan berada di baris paling atas. “Pesanku kepada kalian semua, mulailah dari daerah. Gabung di semua organisasi sosial. Bangun reputasi dan kompetensi. Yakinlah, orang Jakarta akan mencari kalian,” katanya.

BACA: Elegi Esok Makassar

Saya menyimak petuahnya. Dia bukan sekadar ikon Bugis Makassar di pentas politik nasional. Tapi dia juga wajah Indonesia timur, wilayah amat luas di tanah air, namun sering terabaikan karena penduduknya sedikit. Itu pun tersebar di banyak pulau kecil.

Saya memandang Jusuf Kalla yang sedang berpidato. Sekonyong-konyong, saya teringat tuturan Wahyudin Halim, seorang cendekiawan yang saya kagumi di Makassar. Dalam satu diskusi beberapa tahun silam, dia pernah mengutip ucapan raja bernama Arung Matoa Matinrowa Rikannana di abad 17 mengenai filosofi sulappa eppa atau empat nilai utama bagi lelaki Bugis Makassar.

Menurutnya, lelaki Bugis Makassar memiliki empat sifat paling utama. Pertama, to panrita atau bijaksana. Kedua, to warani atau berani. Ketiga, to acca atau pintar. Keempat, to sugi atau kaya raya.

Dalam sejarah, jarang ditemukan satu sosok yang punya semua kombinasi sifat unggul itu. Biasanya, masing-masing sifat ada pada satu orang. “Ada empat orang bernama Yusuf yang bisa menjadi representasi atau gambaran sifat itu,” kata Wahyudin. Siapakah?

Pertama, sifat to panrita atau bijaksana ada pada diri Syekh Yusuf al Makassari (1626-1699). Dia adalah ulama besar yang kemudian dibuang pemerintah kolonial ke Afrika Selatan. Dia menginspirasi Nelson Mandela, pejuang kemanusiaan terbesar di abad ini.

Kedua, sifat to warani atau berani bisa dilihat pada sosok Jenderal M Jusuf (1928-2004). Pria asal Kajuara, Bone, menjadi sosok penting di era Orde Baru. Dia seorang Panglima ABRI yang dikenal berani dan rela memasang badan untuk republik. Dia salah satu tokoh di balik lahirnya Supersemar.

Ketiga, to acca atau cerdas ada pada sosok Jusuf Habibie. Selama beberapa dekade dia menjadi menteri riset dan teknologi, setelah itu menjadi wapres. Terakhir jadi presiden. Memang, ayah Habibie dari Gorontalo. Ibunya pun dari Yogyakarta. Tapi dia lahir dan besar di Pare-pare, di tanah Bugis.

Keempat, to sugi atau orang kaya ada pada sosok Jusuf Kalla. Dia seorang pebisnis handal, aktivis organisasi, serta manajer hebat. Dia tipe praktisi, yang bisa menyerap hikmah dari pengalaman, kemudian diterapkannya dalam kerja-kerja.

Sejarah mencatat, empat Yusuf telah berkiprah di posisi penting. Kedepan, mesti ada sosok lain yang menggantikan mereka di berbagai posisi penting. Dia bisa bernama Yusuf, bisa bernama La Baco, bisa bernama La Mellong.

Yang pasti, dia punya jejak dan prestasi bagus sehingga kelak menjadi kembang-kembang yang selalu didatangi lebah, kemudian menghasilkan madu. Dia juga punya reputasi hebat sehingga kelak semesta akan melejitkan namanya. Siapakah Yusuf berikutnya? 

Sebagai penyaksi, kita akan segera menemukan jawabannya.



Undangan Ngopi di UNDP

Terhadap ajakan ngopi, saya tak pernah menolak. Apalagi jika yang ngajak seorang perempuan cantik. Lokasinya pun keren yakni kantor UNDP, di Menara Thamrin, Jakarta.

Maka datanglah saya. Ternyata UNDP berada di lantai yang sama dengan lembaga PBB lainnya. Penjagaannya super ketat. Ada pemeriksaan tas, melewati pemeriksaan sekuriti, hingga akhirnya menunggu di lantai tujuh.



Saya akhirnya bertemu Mareska Mantik, perempuan asal Manado yang lulus kuliah di Boston. Dia sudah lama bekerja di lembaga PBB, bahkan sudah beberapa kali tugas di negara lain. Saya mengenalnya sebagai sesama penerima beasiswa IFP. Dia mengajak saya untuk meeting dulu di lantai 9.

Kami rapat bertiga. Kami bahas pemberdayaan masyarakat dan pembangunan. Diskusi kemudian mengalir ke point utama yakni perbatasan Timor Leste. Saya baru tahu kalau ada wilayah Timor Leste yang berada di tengah2 daratan Indonesia. 

Dia bercerita tentang perempuan2 yang dulunya korban konflik, tapi kini menenun perdamaian. Saya membatin, andaikan diminta menulis tentang perempuan itu, saya akan sangat gembira. Saya suka menjelajah, suka bertemu orang2 dengan budaya berbeda, suka mencatat hal2 kecil di perjalanan.

Sedang asyik menyimak, dia bertanya:

"Apa kamu bersedia diajak ke Timor Leste?"
"Kapan?" tanyaku.
"Senin depan" katanya.
"Hah?"

Elegi Esok MAKASSAR


Sosok Karaeng Pattingalloang pada atlas Joan Blaeau tahun 1664

Di Makassar, orang-orang sedang bicara tentang pemilihan Walikota Makassar. Gemanya terasa hingga ke mana-mana. Semilir anging mammiri telah membawa perbincangan itu hingga ke banyak sudut kota Jakarta, khususnya di warkop yang sering didatangi orang Makassar.

Saya percaya Makassar adalah mercu suar yang memberi cahaya bagi daerah-daerah sekitarnya. Sejak dulu, kota ini adalah pusat dagang, sekaligus pusat pengetahuan. Makassar ibarat kakak yang menuntun banyak adiknya di timur untuk berlari mengejar kemajuan.

Pada pilkada lalu, publik tanah air terkejut. Seorang calon walikota, yang merupakan keluarga dari salah satu grup bisnis paling kuat, bisa kalah melawan kotak kosong. Ini sejarah menarik. Bahwa jaringan besar serta kuat dan ternama bisa kalah melawan kotak kosong. Tentu ada banyak cerita di balik itu yang hanya bisa diketahui oleh orang Makassar sendiri.

Pilkada akan kembali digelar tahun depan. Banyak orang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon. Beberapa orang disebut-sebut mewakili klan atau keluarga tertentu. Seorang kawan menyebut dana miliaran yang siap digelontorkan beberapa orang.

Tadinya saya agak malas untuk tahu banyak hal tentang perhelatan politik di sana. Namun keseringan ke warung kopi untuk mencari partner tanding domino lambat laun membuat saya ikut mendengar diskusi alot tentang peta politik di sana. 

Semalam, saat tengah asyik-asyiknya main domino, seorang calon walikota datang ke warkop. Dia bercerita tentang rencana-rencananya yang ingin membenahi Makassar. Tapi ditanya secara detail apa yang mau dibenahi, jawabannya ngambang. Dia sendiri belum tahu hendak mulai dari mana.

Satu hal yang selalu mengganjal saya dalam berbagai diskusi informal itu adalah hilangnya ide-ide besar ke mana wilayah itu hendak dibawa. Saya belum menemukan satu gagasan besar apa yang hendak diterapkan. Kebanyakan hanya masuk pada isu-isu populis yang menurut saya justru tidak menarik.

Harus diakui, Makassar kian besar. Tapi juga kian semrawut. Dulu, melintas dari PLTU Tello menuju kawasan Tamalanrea hingga Daya serasa melalui jalan tol bebas hambatan yang mulus dan sepi. Kiri kanan hanya rawa dan alang-alang. Kini, jalanan itu laksana pasar yang tumpah. Kiri kanan adalah ruko dan mal, juga pedagang yang berhamburan.

Di saat sibuk, Jalan Pettarani, Mappanyukki, dan Hertasning akan macet parah dengan kadar yang lebih tinggi dari kemacetan di Jakarta. Makassar penuh dengan ruko dan perbelanjaan yang mengepung, serta jalan-jalan sempit. Kota ini tak lagi punya banyak pohon-pohon hijau yang bisa membuat kita sejenak tersenyum dan menikmati pemandangan.

Yang lebih terasa hilang adalah ide-ide besar ke mana kota ini hendak dilayarkan. Di abad ke-17, Makassar adalah kota dunia yang menjadi rujukan bagi pengembangan sains, bisnis, dan tata kota. 

Sejarawan Anthony Reid mencatat, Makassar sebagai kota paling ambisius dalam sains. Dahulu, transliterasi atas buku-buku berbahasa asing paling banyak terjadi di sini. Kitab pembuatan mesiu dari Andreas Moyona diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar. Satu dari tiga teleskop Galileo Galilei didatangkan ke Makassar dan disimpan di Maccini Sombala (tempat melihat bintang).

Pada satu masa, Makassar menyimpan banyak kisah heroik dan keberanian, juga kecintaan pada ilmu pengetahuan, serta peradaban yang menjadi matahari di Nusantara. Sombaopu dulu adalah bandar paling sibuk di mana smeua bangsa pernah berniaga sebab menganut konsep mare liberum, kebebasan di laut. 

Sultan Alauddin, Raja Gowa yang memimpin Makassar itu, punya kalimat yang masyhur: “Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Tanah dibagi-bagikan di antara manusia, tetapi samudra diperuntukkan bagi semuanya. Tak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang, atau bagi satu kaum”

Tapi hari ini, level para calon pemimpin di Kota Makassar adalah hanya ingin membenahi kesemrawutan kota, mengatasi banjir, sembari beramah-ramah dan tersenyum manja pada para pengembang dan pebisnis kakap yang telah merenggut kenikmatan melihat matahari senja di Pantai Losari.

Jangankan merengkuh dunia dan langit, Makassar sudah lama menjadi bola yang digelindingkan para kapitalis, mulai dari yang merampas nikmat senja di Losari, merenggut Karebosi dari warga, menutup akses nelayan Mariso dari lautan, merampas sawah-sawah dan suara burung di Hertasning Baru, hingga memaksa publik untuk melihat kesemrawutan baliho dan kekacauan visual di jalan-jalan.

Saat membayangkan tengah berjalan-jalan di Makassar, saya terkenang dengan esai dari Ishak Ngeljaratan, seorang guru di sana, mengenai ada banyak hal yang hilang di tengah kita. Di antaranya adalah senyum ramah, keteduhan kota, dan juga nutrisi jiwa. 

Ishak benar. Ada banyak hal yang hilang.



Kisah Orang Super Kaya




Dalam satu konferensi berlatar ilmu sosial, saya pernah berkomentar mengapa kita selalu mengkaji orang-orang biasa yang marginal dan selalu menjadi obyek kebijakan? Mengapa kita sesekali tidak membahas orang-orang super kaya, militer yang jadi beking, serta pejabat negara yang melahirkan kebijakan itu?

Saat itu, konferensi membahas topik-topik seperti penggusuran, marginalisasi, kemiskinan, serta penyingkiran masyarakat adat dari lahan-lahan tambang. Para ilmuwan di konferensi itu seakan bersepakat kalau semuanya bermuara pada hasrat atas uang, serta kongkalikong pejabat, pengusaha kaya, dan militer. 

Tapi, saat itu, saya tak melihat ada satu kajian yang khusus membahas bagaimana etnografi orang-orang super kaya, bagaimana mereka membangun relasi dengan pejabat, apa nilai-nilai yang diyakini, serta bagaimana mereka melihat manusia lainnya. 

Bagi peneliti sosial, problemnya adalah akses pada orang marginal jauh lebih mudah. Menembus orang super kaya sulitnya bukan main. Anda harus melalui barisan sekuriti, staf, karyawan, hingga sekretaris yang menyusun jadwal. Anda harus bisa melalui anjing penjaga, yang mungkin anda anggap najis.

Padahal, sebagaimana halnya masyarakat marginal, kehidupan orang kaya adalah area misterius yang tak diketahui orang. Mereka memang sering mendapat publisitas. Tapi hanya pada sisi kesuksesan dan ekspansi yang mereka lakukan. 

Tak banyak yang bercerita tentang siapa mereka, seperti apa kepahitan hidup mereka, bagaimana mereka memulai karier dari nol, bagaimana mereka mendaki tangga-tangga kehidupan. Tak ada cerita bagaimana mereka menghabiskan waktu setiap hari, apakah memantau karyawan, ataukah sibuk cari arena bisnis yang baru.

Saat ini saya membaca dua buku mengenai dua orang super kaya Indonesia, yakni Ciputra dan Dato’ Sri Tahir. Kedua buku ini ditulis oleh Alberthiene Endah. Saya tertarik membaca titik balik atau the turning point, bagaimana tokoh ini yang tadinya orang biasa menjadi sosok luar biasa.

Saya baru menghabiskan satu buku, yakni mengenai Ciputra. Ceritanya menarik. Dia terlahir dengan nama Tjien Hoan di Parigi, Sulawesi Tengah. Bapaknya hanya pedagang kelontong yang kemudian ditangkap polisi Jepang dan tewas di tahanan. 

Dia menjalani masa kecil dengan trauma. Dia lalu bersekolah di Gorontalo, kemudian Manado. Dia malah pernah jadi atlet lomba lari yang mewakili Sulawesi Utara di ajang PON di Jakarta.

Kariernya bermula ketika dirinya lulus ITB. Dia membuka jasa konsultan arsitektur di garasi rumah. Sayang, bisnis itu jalan di tempat. Dia hanya dapat proyek kecil2. Dia tetap miskin. Itupun harus bersaing dengan mandor yang tidak belajar arsitektur. Di zaman itu, orang mengira untuk bangun rumah tak perlu arsitek. Cukup mandor.

Titik balik hidupnya bermula saat pindah ke Jakarta. Dia setiap hari mencari jalan untuk bertemu Gubernur DKI, Soemarno. Hingga suatu saat dia berhasil bertemu, kemudian ditantang untuk menata ulang kawasan Senen. 

Tantangan itu diterimanya. Dia sukses memimpin satu tim besar untuk menata ulang Senen, setelah sebelumnya banyak menggusur warga. Proyek Senen menjadi proyek monumental yang melejitkan namanya.

Dia lalu menjawab tantangan lain. Dia membenahi kawasan rawa-rawa di Ancol menjadi taman hiburan kelas dunia. Setelah itu dia membangun banyak perumahan dan gedung-gedung tinggi di Jalan Sudirman dan Thamrin. 

Dia juga membangun kota mandiri yakni Bintaro, kemudian kawasan Pondok Indah, yang dulu namanya Pondok Pinang. Dia juga membangun Bumi Serpong Damai (BSD) bersama Liem Sio Liong. Bahkan dia masuk negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Kesan saya adalah dirinya sosok yang tak pernah berhenti ketika sudah memulai. Masa lalunya yang miskin menjadi pelecut baginya untuk berbuat lebih. Kekuatannya adalah bisa membangun aliansi dengan pejabat pemerintah, berkoalisi dengan pengusaha lainnya, juga kemampuan mengendus mana yang bisa jadi ladang uang.

Sayang, tak ada cerita mengenai bagaimana caranya mengelola hubungan dengan pemerintah. Saya tak percaya jika hubungan itu hanya atas dasar profesionalitas. Saya rasa ada banyak permainan dan sisi gelap yang tak dibahas di sini, termasuk apa yang ditawarkannya hingga mendapat semua konsesi besar di atas tanah negara, yang berujung pada peminggiran masyarakat.

Saya mungkin berharap banyak pada buku ini. Padahal ini bukan buku tentang ekonomi politik, juga bukan riset sosial dengan perspektif kritis. Tapi setidaknya, saya bisa tahu filosofi hidupnya, motivasi serta kehebatannya dalam mengendus mana lahan yang bisa jadi uang. Saya bisa merasakan ambisi serta hasrat untuk sekaya-kayanya dan semakmur-makmurnya.

Seusai membaca buku ini, saya teringat artikel mengenai Chairil Anwar yang dahulu sering mangkal di Senen. Saya bayangkan betapa banyak manusia yang hilir-mudik dan lalu lalang di situ., mulai dari seniman hingga buaya darat. Tapi sejak Ciputra mengambil alih Senen, segala hal berubah di sana. 

Inilah harga kemajuan. Banyak yang tercerai-berai, tapi banyak yang datang dan menjadi tatanan baru. Pada kisah Ciputra, kita bisa merasakan bagaimana kota terus berevolusi di tengah dengus napas masyarakat kota yang selalu tak puas. 

Entah, apa kita sepakat atau tidak dengan perkembangan itu.