Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kisah Merry Riana dan Avatar Aang


Chelsea Islan dalam film Merry Riana


Niat awal cuma iseng. Saat benar-benar gak ada kerjaan, saya menonton film secara acak. Di antaranya adalah film Merry Riana. Dia dahulu mahasiswa di Singapura, yang kemudian bekerja di perusahaan asuransi, lalu mulai tertarik jual beli saham.

Dalam cerita-cerita sukses, saya selalu tertarik untuk tahu bagaimana awalnya. Sering kali kesuksesan itu bermula dari hal-hal sederhana di sekitar kita, yang selama ini terabaikan. Demikian pula kisah Merry Riana.

Dia punya spirit pekerja asuransi yang gigih mendatangi klien. Dia pantang menyerah. Memang tidak mudah meyakinkan orang Singapura untuk membeli polis asuransi sebab mereka cukup makmur dan mayoritas sudah punya asuransi.

Dia datang dari Indonesia hanya dengan satu koper di tahun 1998. Dia mengungsi karena ada kerusuhan etnis di tanah air. Keluarganya yang keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Toko kecil bapaknya dibakar. 

Dia pun mendaftar di satu kampus di Singapura. Dia mengambil skema student loan atau pinjaman sebesar 40 ribu dollar. Karena bapaknya sedang terpuruk dan tidak bisa mengirim uang bulanan, dia pun harus bekerja serabutan mulai dari janitor, pembersih kaca, hingga jadi sales asuransi. 

Setiap hari dia menyusun daftar siapa saja yang mau ditemui. Dia lebih banyak gagal. Dia nyaris putus asa. Saat lelah, dia ke pinggir laut untuk beristirahat. Di situlah dia beberapa kali bertemu dengan seorang ibu keturunan Melayu yang suka berbincang dengannya.

Suatu hari, saat dirinya lelah menemui 36 calon klien dan kakinya bengkak karena lelah berjalan, dia kembali bertemu ibu itu di tepi laut. Ibu itu kerepotan saat tasnya terjatuh. Banyak buah yang berserakan. Merry Riana membantu memungut buah, kemudian mengantar pulang.

Ternyata ibu yang penampilannya biasa itu adalah sosok yang kaya raya. Rumahnya seperti istana. Dia menghidangkan segelas teh ke Mery Riana. Ibu itu melihat buku catatan Merry yang  penuh nama-nama dan dicoreti.

Merry pun bercerita apa adanya tentang kegiatannya. Dia sudah menemui 36 orang dan gagal meyakinkan. Tak disangka ibu itu berkata, “Saya orang ke-37. Saya akan beli polis asuransimu. Besok datang lagi yaa.”

Merry Riana setengah percaya. Setiap hari bertemu ibu itu, dia tak pernah berniat untuk prospek. Dia hanya menjalin persahabatan, tanpa tahu latar belakang ibu itu. Rupanya, iIbu itu adalah klien potensial.

Besoknya dia datang lagi. Tak disangka, ibu itu bersedia untuk berinvestasi 100 ribu dolar. Merry Riana tak percaya. Ibu yang sering ditemuinya itu, dan tampil biasa-biasa, ternyata justru menjadi jalan pembuka rezeki baginya.

“Sebenarnya saya tak punya niat investasi. Saya sudah cukup banyak berinvestasi. Sekarang sudah ada 30 polis. Tapi saya tertarik dengan kepribadianmu,” kata ibu itu.

Kisah kekayaan Merry Riana berawal dari sikap ramahnya yang selalu meladeni ibu itu saat berbincang. Justru pada hal-hal sederhana yang dilakukannya, dia bisa membuka gerbang kekayaan dan kesuksesan. Justru pada saat dia sebenar-benarnya terpuruk, dia membuka pintu sukses.

Ketika menonton film ini, saya ingat ucapan  Avatar Aang dalam serial kartun Avatar The Last Airbender: “When we hit our lowest point, we are open to the greatest change.” Ketika kita menyentuh titik paling rendah, maka kita sedang membuka pintu perubahan terbesar dalam hidup. Belakangan saya tahu kalau Avatar Aang mengutip filsuf Lao Tze.  

Kisah Merry Riana mengingatkan saya pada Marketing 4.0 yang disusun Hermawan Kartajaya. Di era kekinian, pemasaran bukan lagi dengan cara mengetuk pintu lalu kiri kanan memaksa orang untuk membeli. 

Pemasaran akan bekerja lebih efektif ketika seseorang menjadi sahabat dekat semua orang, selalu  memberi nilai tambah, serta selalu berkhidmat pada orang lain. 

Biarpun Hermawan seorang Katolik, dia menganjurkan para pemasar agar meniru akhlak Muhammad SAW yang di masanya terkenal sebagai sosok jujur dan bisa dipercaya sehingga mendapat gelar Al Amin. Pada momen trust yang sedemikian tinggi, apa pun ide dan produk yang dibawa pasti akan cepat diterima oleh siapa saja.

Meskipun bukan pemasar, saya belajar banyak dari film ini. Poin penting adalah selain sikap pantang menyerah, amat penting menjaga silaturahmi, sering membantu orang lain, sering menyapa, juga selalu menjaga relasi. 

Kadang, pada hal-hal kecil seperti tersenyum dan menyapa orang lain, justru terletak pintu sukses buat kita. Kata Avatar Aang: “We are open the greatest change.”


Salah Kaprah Kampanye Digital

Ilustrasi

Di satu kafe di Jatinangor Bandung, saya bertemu dengan lelaki itu. Dia menjadi kandidat kepala daerah di Kabupaten Bandung. Dia bercerita tentang ruang gerak kampanye yang terbatas di masa Covid. Dia pun kini merambah media sosial.

Saya memintanya menunjukkan aset digital yang dia miliki. Dia memperlihatkan akun media sosial yang dia kelola bersama tim. Baru melihat 10 postingan, saya sudah bisa memastikan kalau akunnya sepi dari pantauan netizen. Dia lemah di media sosial.

Dia cukup produktif. Tapi postingannya tidak cukup mengenai sasaran. Ibaratnya dia melempar produk, namun tidak mendapat respon memadai. Dia melangkah dalam sepi di tengah hingar-bingar massa yang berjejalan di semua kanal digital.

Dulu, pertarungan ide berlangsung di mimbar-mimbar kampanye, rapat terbuka, pengerahan massa, roadshow keliling daerah, baliho dan spanduk, serta aksi-aksi lapangan. Kini, teritori pertarungan akan banyak bergeser di internet, khususnya media sosial. 

BACA: Laskar Digital untuk Menang Pilkada


Generasi milenial tidak mau didikte di kampanye terbuka yang menghadirkan artis dangdut. Generasi ini lebih suka duduk di rumah atau warung kopi, dengan laptop dan gadget di tangan. Mereka suka berselancar di media sosial dan memantau apa yang terjadi di situ. Ketika mereka menyukai satu figur di situ, maka mereka akan tetap memilih figur itu di dunia nyata.

Eric Schmidt, salah seorang bos Google, telah meramalkan fenomena ini. Katanya, dunia sekarang terbagi dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Masing-masing dunia punya warga yang beraktivitas. 

Kata Eric, ada kecenderungan semua pemilik rumah di dunia nyata ingin membangun rumah di dunia maya yang luas dan tak bertepi. Jika Anda tak punya website, rumah, avatar, atau akun di media sosial, maka Anda tidak eksis. Anda tidak dikenal. 

Yang menarik, kata Eric Schmidt, semua perilaku di dunia nyata akan dipengaruhi oleh dinamika wacana di dunia maya. Dalam konteks politik, apa saja yang menjadi wacana di media sosial, pasti akan mempengaruhi wacana di dunia nyata. Itu sudah terjadi di banyak momen politik di tanah air. 

Banyak politisi yang masih bertahan dengan pandangan lama. Mereka tidak membuka mata kalau media sosial bisa membawa pengaruh. Kini, saat Covid menyerang dan interaksi serba terbatas, mau tak mau mereka harus merambah media sosial. Mereka laksana orang yang baru berjalan dan tertatih-tatih di dunia baru ini.

Beberapa tim medsos hanya merekrut mantan jurnalis, tanpa membekali tim itu dengan kemampuan riset, membaca trending topic, serta strategi menyiapkan konten. Yang terjadi, akun-akun digital itu produktif, tetapi minim engagement atau interaksi dengan publik.

Strategi Kampanye Digital


Sejauh yang saya amati, ada banyak salah kaprah di kalangan politisi yang baru memasuki media sosial.

Pertama, banyak yang mengira dunia medsos akan sama dengan dunia nyata. Jika di dunia nyata dirinya seorang tokoh di mana semua orang akan sopan dan hormat, maka dia berharap hal yang sama akan berlaku juga di dunia maya.

Pernah saya bertemu seorang politisi yang amat benci dengan media sosial. Dia kesal karena apa yang dibagikannya tidak ditanggapi orang lain, sementara orang biasa lainnya malah justru bisa jadi seleb medsos. Politisi ini kesal karena orang-orang menyapa dan memberi komentar yang dianggapnya merendahkan. Dia tak suka dipanggil Om atau Bro. Dianggapnya itu merendahkan. 

Di media sosial, orang memang tak boleh baper. Kalau gampang marah, maka sebaiknya jangan masuk rimba media sosial. Di situ, semua orang bebas bicara dan komentar apa saja sepanjang itu masih dalam batasan etika netizen. 

BACA:  Perang Robot untuk PILKADA


Politisi ini tidak paham kalau di media sosial, semua orang berposisi sama. Tak ada identitas yang pasti di situ. Tak ada istilah usia dan status sosial. Malah orang bisa memilih berbagai foto dan avatar, kemudian menyebut itu dirinya. 

Orang bisa saja mengaku laki-laki atau perempuan. Semua orang punya ruang yang sama untuk saling sapa dan berinteraksi. Siapa yang paham interaksi medsos, akan lebih disukai banyak orang.

Jangan juga mengira popularitas Anda di dunia nyata akan berlaku sama di media sosial. Itu sih keliru besar. Di media sosial, semua orang sama. 

Yang disukai adalah pihak yang bisa mencerahkan, memberi inspirasi, dan memperlakukan semua orang lain secara wajar dan berinteraksi. Anda tak bisa menuntut orang lain untuk menanggapi semua postingan Anda hanya karena Anda orang hebat di dunia nyata. 

Kedua, banyak orang yang mengira media sosial gampang dikuasai. Dipikirnya, cukup rajin posting, maka dirinya akan populer. Biarpun Anda bikin postingan sampai lebih dari sepuluh dalam satu hari, tidak ada jaminan Anda akan populer. 

Belum tentu orang akan menyukai apa pun yang Anda bagikan. Di media sosial, semakin sering postingan Anda disukai dan dibagikan, maka popularitas Anda akan semakin besar. Demikian algoritma media sosial bekerja.

BACA: Digital Storytelling untuk Pilkada


Jangan juga kaget melihat seorang “anak kemarin sore” tiba-tiba jadi seleb di media sosial. Padahal, postingannya biasa-biasa saja. Palingan hanya kegiatan sehari-hari. Kok bisa populer? Sebab anak kemarin sore itu tahu siapa pengikutnya di media sosial. 

Dia kenali siapa pasarnya dan bisa menyediakan konten yang sesuai dengan kebutuhan pasarnya itu. Dia bisa membaca pasar, lalu menampilkan karakter dirinya sesuai dengan yang dibutuhkan pasar. Dia tahu cara memenangkan wacana di media sosial.

Setahu saya, tak ada cara instan di media ini. Bahkan ketika kita membayar untuk sponsor dan iklan facebook, tetap saja tak ada jaminan apa yang kita tulis akan disukai dan dibagikan, jika kontennya memang tidak menarik. Artinya, hal terpenting untuk dikelola adalah konten. Semakin menarik, maka semakin besar potensi untuk disukai dan dibagikan.

Popularitas di media sosial tidak diukur dari berapa banyak posting. Bukan juga dari berapa banyak biaya yang kita keluarkan. Popularitas selalu terkait dengan seberapa jauh kita bisa menyentuh hati orang lain, seberapa dalam kita membuka wawasan, serta meninggalkan jejak di hati orang lain. Langkah ini jelas tidak mudah. Orang-orang butuh proses yang perlahan-lahan hingga akhirnya menjadi tetes air yang bisa menembus batu.

Ketiga, banyak politisi yang menjadikan media sosial hanya sebagai ruang untuk pencitraan saja. Sebenarnya, tak ada masalah dengan pencitraan sebab semua orang melakukannya. Pada titik tertentu, pencitraan akan positif jika menyentuh hati publik.

Tapi pencitraan akan jadi negatif ketika dilakukan terlalu sering sehingga menimbulkan kebosanan publik. Contoh yang bisa diangkat di sini adalah iklan kampanye Aburizal Bakrie yang begitu massif di stasiun televisi. Pada satu waktu, iklan ini tidak mengundang simpati, tetapi antipati sebab terlalu sering tampil sehingga publik bosan.

Pencitraan itu juga memosisikan seseorang seperti malaikat. Sejauh yang saya amati di media sosial, orang-orang lebih suka figur yang otentik dan apa adanya. Anda tak perlu menampilkan hal hebat. Cukup ide-ide atau gagasan biasa, tapi itu menggambarkan apa yang menjadi keresahan banyak orang. 

Anda bisa menyederhanakan semua yang rumit-rumi sehingga dipahami orang, sehingga banyak orang yang tercerahkan. Sekali Anda mencerahkan orang lain, maka dia akan menjadi pengikut setia atas semua yang kamu bagikan.

Menurut riset yang dilakukan Alvara, generasi milenial dan pengguna media sosial tertarik pada beberapa hal. (1) Mereka peduli dengan masalah sosial, makanya muncul petisi online dan situs berbagi. (2) Generasi ini suka berbagi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan lainnya. Makanya, mereka suka dengan berbagai informasi mengenai tutorial. Banyak di antara mereka yang jadi referensi bagi rekannya. (3) mereka punya solidaritas yang tinggi pada follower (pengikut). Mereka suka mengabarkan apa pun. Mereka suka saling sapa dan memberitahu apa yang telah dan sedang dilakukan.

Digital Marketing Services


Keempat, banyak politisi yang menjadikan media sosial hanya sebagai pemantul dari berbagai isu-isu negatif mengenai calon presiden atau politisi Jakarta. Artinya, politisi ini menjadikan media sosial hanya sebagai arena tempur di mana dirinya adalah prajurit. 

Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan seorang politisi yang sibuk menyebar berita yang isinya kejelekan atau fakta keburukan seorang calon presiden. Saya senyum-senyum sendiri saat melihatnya. Dia tidak berpikir strategis. 

Harusnya dia menyadari bahwa pemilih di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar. Harusnya dia berkampanye bahwa siapa pun presidennya, maka caleg yang dipilih adalah dirinya sendiri.

Lagian, ketika dia hanya sibuk menjelekkan satu calon, maka sudah pasti dia akan kehilangan suara dari pendukung kubu yang dijelek-jelekkannya itu. Belum tentu juga pencinta capresnya akan mendukung dirinya. Sebab tindakan menjelekkan orang lain tidak selalu mengundang simpati.  Lantas, apa yang harus dilakukan?

Kata Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, maka ratusan pertempuran akan kamu menangkan.” Belajar dari Sun Tzu, seorang pakar strategi perang, jauh lebih baik jika kita mengenali kekuatan kita, apa saja yang kita miliki, kemudian mengenali musuh dan mengenali medan perang. Daripada fokus dengan medan perang orang lain, lebih baik kita fokus pada kekuatan apa yang kita miliki.

Jika saya dimintai masukan sama caleg itu, saya akan bilang padanya kalau arena pilpres bukanlah arena pertarungannya. Jika dia punya ide yang sama dengan capres, bolehlah ide itu memperkuat skema pemenangannya. Lebih baik dia fokus pada medan perang yang akan dia hadapi. Temukan di mana letak kekuatan, kemudian rencanakan strategi yang tepat untuk memaksimalkan semua kekuatan itu. 

Daripada sibuk memikirkan arena tempur orang lain, lebih baik memikirkan arena tempur yang akan kita hadapi. Sebab orang lain menang, belum tentu kita kecipratan. Tapi jika diri kita yang menang, maka sudah pasti banyak hal yang bisa kita lakukan. Iya khan?

*** 

NAH, itu hanya segelintir hal yang saya amati. Menurut saya, setiap politisi harus melihat media sosial sebagai arena yang harus dimenangkan dengan citra yang positif. Tak ada guna menjadikannya sebagai arena perang dan menebar musuh di mana-mana. Lebih baik serap energi positif sehingga orang-orang akan merasakan gelombang dan manfaat yang sama.

Kalaupun politisi itu tidak punya waktu dan tidak tahu bagaimana memanfaatkannya, maka dia bisa bekerja dengan satu tim media sosial yang punya kecakapan sebagai intelligence assistant.  Dalam buku Thomas L Friedman yang judulnya Thank You for Being Late, ada bab menarik mengenai bagaimana mengubah Artificial Intelligence (AI) menjadi Intelligence Assistant (IA)

BACA: Sepuluh Konten Juara untuk Menang Pilkada


Maksudnya, bagaimana mengubah kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi asisten cerdas (intelligence assistant). Di masa depan, profesi sebagai intelligence assistant akan makin marak. Di era kecerdasan buatan, seseorang butuh teman-teman atau asisten untuk berdiskusi yang bisa menopang sisi intelektual, memahami bahasa media sosial, dan mengembangkan aplikasi untuk merespon semua isu. 

Dibutuhkan pemahaman mengenai bagaimana media sosial demi bisa memaksimalkannya untuk kemenangan, baik di ranah bisnis maupun politik. Dibutuhkan satu strategi sehingga popularitas akan tinggi sehingga membawa dampak pada elektabilitas. Kita sudah menyaksikan strategi itu berjalan di beberapa pemilihan kepala daerah.

Seorang teman politisi pernah bercerita bahwa di pilkada barusan, strategi jangka pendek seperti bagi-bagi sembako dan proyek malah gagal di banyak tempat. Kerja politik menjadi kerja jangka panjang, dengan menguatkan karakter yang dilakukan secara konsisten di media sosial. “Sekali seseorang suka sama satu orang, akan sulit mengubah pilihannya,” kata teman itu.

Dia benar.



Mencari SUPERNOVA di Belantara UMKM


Mulanya saya tak percaya. Dee atau Dewi Lestari, penulis dan sastrawan idola banyak anak muda, diberitakan menulis non-fiksi. Bukan jenis non-fiksi mengenai perjalanan atau sains. Bisa dibilang, yang ditulis adalah “buku proyek”, tentang pengusaha UMKM di bawah binaan Yayasan Dana Bhakti Astra (YDBA).

Saya penasaran untuk membacanya. Bagi saya, kekuatan Dewi adalah bisa menuturkan sesuatu dengan sederhana dan sangat memikat. Diksinya khas. Dia bisa bikin pembacanya deg-degan dan tidak berhenti membaca bukunya hingga lembaran terakhir. Wajar saja jika dia diidolakan banyak orang. 

Sebelum jadi penulis, dia lebih dulu populer sebagai penyanyi bersuara merdu. Cantik pula, makanya dia sempat disebut pelopor sastra wangi. Dia juga penulis skenario film yang diambil dari novelnya Perahu Kertas.

Di dunia menulis, dia adalah sosok yang tidak mungkin dipenjarakan dalam satu genre atau kategori. Ibarat kuliner, Dewi menyajikan menu dan rasa yang selalu berbeda. Dia beda dengan Andrea Hirata yang hanya menulis tema-tema masa kecilnya di Belitung. 

Dewi suka mencoba hal baru. Dia menulis berbagai genre, mulai dari science fiction hingga kisah cinta yang romantis. 

Sayang, dia tak lagi menjadi blogger yang produktif. Padahal, saya menyenangi catatan-catatan ringannya di blog. Dia melihat sesuatu dari cara pandang yang berbeda.  Saya ingat, dia pernah mengkritik kelas menulis yang hanya berisi panduan menulis. 

Padahal kata Dewi, ada satu sumur menulis di mana semua orang bisa menimba airnya. Yang dibutuhkan hanya timba dan tali panjang. Yang dibutuhkan bukan teknik, tapi bagaimana mengeluarkan air ide-ide lalu menyalurkannya dalam wadah yang tepat. 

dapat tanda tangan di halaman awal


Buku terbarunya Rantai Tak Putus: Ilmu Mumpuni Merawat UMKM Indonesia (terbitan Bentang Pustaka) adalah karya non-fiksi mengenai para pengusaha usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) yang sukses di bawah binaan YDBA.

Di halaman 8-9, Dewi bercerita dengan jujur awal keterlibatannya dalam penulisan buku ini. Mulanya, dia bertemu pengurus YDBA yang menjelaskan visi misi lembaga, serta nilai-nilai yang ditransfer ke para pengusaha. YDBA menggelar diklat, membuat Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB), dan melakukan pendampingan.

Pihak YDBA berharap agar kisah-kisah pendampingan yang mereka lakukan tidak hanya berakhir menjadi laporan, melainkan bisa dikonsumsi oleh publik. Mereka ingin kisah itu menyebar ke mana-mana. Mereka butuh satu figur publik yang punya pembaca banyak sehingga kisah-kisah itu bisa viral. Dewi adalah orang yang dianggap tepat untuk itu.

Sayang sekali, karena Dewi tidak terbuka berapa bayarannya. Andai dia sebutkan, pasti banyak penulis yang akan iri. Hehehe. 

Yang menarik, dia diberi kebebasan untuk mengembangkan bahan menjadi tulisan. Saya yakin inilah hal yang membuatnya bersedia menulis. Dia tidak didikte dan diarahkan, tetapi bebas menentukan desain buku itu. 

Dia memilih dari tepian. Bukan dari perspektif pengurus YDBA, tetapi dari sisi pengusaha yang mendapatkan manfaat dari program itu. “Urgensi cerita tidak bisa dipaksakan. Ia harus hadir secara organik, tidak disematkan atau dijejalkan,” katanya.

Dia mulai dari kisah manusia sebagai subyek, bukan sebagai sasaran program. Dia mendatangi bengkel, warung, dan toko. Dia berinteraksi dengan para pengusaha kecil, membangun kedekatan, setelah itu mulai menulis kisah-kisah itu. Dia mencatat personal history dari setiap pengusaha. Dia merekam detail-detail, mulai dari dekorasi, suasana, hingga deskripsi tentang tempat usaha.

Ketika membuka buku ini, saya suka dengan judul-judul yang menggoda. Misalnya “Metalurgi Cita, “Seniman Besi”, Setangguh Baja Selembut Merpati”, “Mendayung Bersama”, hingga “Rantai Tak Putus.” Isinya juga menarik sebab mengisahkan perjalanan seorang pengusaha, from zero to hero. Kisahnya serupa tokoh-tokoh dalam Supernova yang berjuang untuk membangun UMKM dari nol.

daftar isi


Di beberapa bagian, saya temukan pembuka tulisan berupa kisah-kisah dalam mitologi setempat. Misalnya pada bab mengenai Semangat Iban, dia memulai dengan mitologi Iban, kemudian masuk ke cerita masa kini.

Mengapa judulnya Rantai Tak Putus? Untuk menggambarkan bagaimana ilmu atau pengetahuan menjadi penggerak dari satu mata rantai kerja. Rantai Tak Putus menggambarkan kerja-kerja yang tak berkesudahan. 

Yang menggerakkan program bukanlah dana, yang ketika dihentikan maka rantai akan putus. Tapi pengetahuan, pendampingan, dan niat untuk tumbuh dan maju berkembang bersama. Untuk itulah, kerja-kerja melakukan fasilitasi dan pendampingan menjadi penting sebab menjawab apa yang dibutuhkan oleh pengusaha kecil.

Bagi sebagian orang, pendekatan Dewi ketika menulis buku ini mungkin dianggap baru. Namun bagi yang terbiasa dengan dunia riset sosial, khususnya dalam tradisi riset kualitatif, pendekatan ini sudah lama dilakukan. 

Bahkan bagi mereka yang melakukan riset etnografis, sekadar perjumpaan tidak cukup. Anda mesti tinggal lebih lama di satu lokasi demi merasakan langsung denyut nadi kehidupan di satu tempat, mengumpulkan data dari sebanyak mungkin orang, melakukan pengamatan mendalam sebagai partisipan, lalu melakukan wawancara mendalam (depth interview).

Pendekatan serupa banyak dilakukan para jurnalis yang menekankan pada turun lapangan sebagai kegiatan news gathering (mengumpulkan berita), investigasi, lalu memperkaya fakta lapangan menjadi liputan yang menarik. Kalau sering baca National Geographic, kita lihat bagaimana realitas dirangkum dan dibingkai dengan menarik.

Yang dilakukan Dewi di buku ini baru sebatas perjumpaan sejenak, kemudian mencatat semua kesaksian. Di beberapa bagian, saya merasa terlalu fiksi. Kurang membumi. Andaikan dia tinggal lebih lama, kita akan temukan nuansa yang lebih kaya. Bukan semata kisah keberhasilan, tetapi juga kisah kegagalan, serta kritik pada pengelola program yang sering kali memosisikan partisipan sebagai sasaran atau output kegiatan.

BACA: Sehari Bersama Dewi Lestari


Sebab yang namanya pengamatan, kan tidak selalu hal yang baik-baik saja. Justru sering kali kita temukan hal-hal pahit yang membuat kita lebih bijaksana dan membuat rekomendasi perbaikan-perbaikan di masa mendatang. Kita tak mungkin menolaknya, tetapi bagaimana memperlakukannya sebagai tantangan untuk diatasi.

Para pengelola program pemberdayaan dan pendampingan selalu dituntut untuk berpikir fleksibel. Formula pada satu komunitas belum tentu efektif pada komunitas lain. Makanya, mereka selalu berusaha menyerap semua kenyataan dengan jernih, menerima sisi baik dan sisi buruk setiap program, lalu merancang program yang lebih berdaya di masa depan.

saat jumpa Dewi di Solo, beberapa waktu lalu

Dalam pandangan saya, buku ini adalah perjumpaan awal yang isinya keterkejutan atau ketakjuban seorang pendatang (outsider) saat bertemu dengan subyek atau informan yang hendak diamatinya. Makanya, hal-hal sederhana bersama informan bisa tampak luar biasa. 

Namun, tentu saja buku ini punya banyak sisi baik. Di antaranya adalah kita bisa mengetahui bagaimana perjumpaan dengan semua pengusaha kecil, yang dalam banyak kebijakan pemerintah sering hanya disebut berupa angka statistik. 

Kita bisa merasakan apa yang mereka hadapi, serta rintangan untuk tumbuh dan berkembang. Dalam setiap kisah-kisah itu ada banyak pembelajaran dan hikmah yang membuat kita menatap kenyataan lebih jernih.

Bahwa menjadi pengusaha tidak semudah Aladdin mengusap lampu dan make a wish, tetapi ada proses yang tidak mudah, kerja-kerja kreatif, juga keberanian untuk menerobos tantangan. Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Saya kira demikian. Tabik!



Mencari Hikmah dari Kencan yang Berakhir Mutilasi



Dari mana datangnya cinta? 

Dari mata turun ke hati

Dari mata datangnya nafsu?

Dari online turun ke offline

Pantun itu tepat benar menggambarkan peristiwa heboh tentang temuan tubuh yang dimutilasi di Kalibata City. Bermula dari perkenalan di situs Tinder, lanjut ke kencan di satu apartemen di Pasar Baru. 

Lelaki itu bukan orang sembarangan. Dia bekerja sebagai HRD satu perusahaan. Dia terbilang mapan. Di usia muda, sudah punya karier hebat. Pergaulannya internasional. Bahkan, alumnus satu kampus di Jepang ini pernah menikah dengan orang Jepang. 

Dia bisa mendapatkan apa saja yang dia mau. Kalau mau, dia bisa saja memilih hendak pacaran dengan siapa. Namun di kota sebesar Jakarta yang warganya serba terbatas dalam interaksi, dia merasa lebih aman dengan gerilya di situs kencan online. Di dunia online yang acak, ada banyak kejutan-kejutan.

Bertemulah dia dengan perempuan alumnus Universitas Indonesia (UI) itu. Mereka nyambung. Klik. Saya membayangkan dialog mereka bukan cuma bahas BO, short time, dan berbagai teknik melakukan penetrasi. Percakapan mereka tingkat tinggi. Mereka sama-sama punya wawasan. Bisa bahas global hingga lokal.

BACA: Perempuan Vietnam di Sudut MANGGA BESAR


Lelaki itu Youtuber, sedangkan perempuan itu blogger yang menulis tema-tema filosofis. Membaca blog perempuan itu, terasa benar kalau dia cerdas. Catatannya di blog membahas tema-tema tidak biasa. Ketika kasus itu merebak, banyak orang mengutip kalimat-kalimatnya yang lugas dan bertenaga di blog pribadinya.

Puncaknya mereka ingin bertemu. Lelaki itu membayar apartemen di Pasar Baru yang ditempati perempuan itu selama seminggu. Di hari H, lelaki itu datang. Dia membayangkan pertempuran yang lebih berkelas, sesuai dengan topik yang mereka diskusikan.

Apa daya, pertemuan mereka tak sesederhana para petualang di dunia perlendiran online. Ada skenario lain yang disiapkan perempuan cerdas itu. Kekasihnya menunggu di kamar mandi. Saat dua tubuh telanjang menyatu di sela-sela dengus napas menembus dinding tembok, kekasih perempuan itu keluar dari kamar mandi, kemudian melabrak.


Dia hantamkan bata tujuh kali. Lelaki kaya dan cerdas itu ditusuk sampai tujuh kali. Dia tewas di tempat. Dompetnya digeledah, ATM-nya diambil. Kemudian pasangan kekasih itu mulai memutilasi tubuh lelaki itu, lalu dibawa ke Kalibata. Rencananya hendak dikubur di rumah kontrakan di Depok. 

Skenario itu bubar saat polisi mengendus apa yang terjadi. Mereka ditangkap. Dunia media sosial sontak heboh. Penangkapan itu ibarat membuka kotak pandora yang mengungkap banyak hal.

Jejak digital keduanya ditelusuri. Pasangan kekasih yang memutilasi ini dulu menghebohkan dunia maya. Perempuan cerdas itu punya jejak digital sebagai pelakor. Setahun silam, dia merebut seorang suami dari pelukan istrinya dengan begitu pongah. Dia pelakor yang tidak merasa bersalah, malah berani menantang istri sah lelaki yang direbutnya itu. 

Mungkin saja dia membaca mazhab berpikir yang melihat cinta adalah soal kesepakatan. Saat hati berubah, kesepakatan bisa berubah. Lelaki yang direbutnya itu tunduk patuh pada keinginannya. Hingga skenario pembunuhan itu pun dirancang. Korban ditemukan melalui aplikasi kencan online.

Kita seakan tak percaya. Kisah secanggih ini rasanya cuma ada di sinetron atau drama seri Criminal Mind. Sedari kecil kita dijejali cerita kalau kejahatan dilakukan oleh orang tidak sekolah yang gelap mata saat tak punya uang. 

Kasus di Kalibata itu memberikan banyak pelajaran berharga buat kita semua:

Pertama, tindak kriminal bisa dilakukan oleh siapa saja. Biar pun tingkat pendidikan seseorang tinggi dan punya wawasan cerdas, bukan berarti akan menjalani peran yang baik-baik di masyarakat kita. Kata Bang Napi, “Kejahatan bisa terjadi di mana saja dan dilakukan siapa saja Waspadalah! Waspadalah!

BACA: Siasat Perlawanan: Dari Seks Hingga Lipstick


Kedua, kita harus memperbaiki cara pandang kita. Jangan melihat casing, lihat isi. Biar orang itu alumni perguruan tinggi bonafid bukanlah pertanda niat yang setulus merpati. Biar orang itu tampak baik-baik, tetap saja, kita harus melihatnya seimbang. Semua orang berpotensi jadi jahat, sepanjang ada kesempatan dan keinginan yang dikejar.

Ketiga, jejak digital selalu penting. Jejak digital adalah saksi dari apa yang pernah kita pikirkan dan lakukan di satu masa. Sekali kita lancung, maka seumur hidup jejak digital akan diungkap dan menjadi fakta-fakta tentang siapa kita. 

Media dan netizen kita kejam. Mereka akan memandang seseorang bukan hanya dari satu tindakan, tetapi segala hal akan ditelusuri dan dikuliti. Di medsos, masa lalu perempuan itu dibahas. Teman-teman kuliahnya bersaksi. Hanya menunggu waktu, keluarga perempuan cerdas itu akan dibahas media. Dia seakan sudah divonis.

ilustrasi jejak digital

Keempat, berhati-hatilah menggunakan situs kencan online. Kata seorang petualang lendir yang wara-wiri di dunia hiburan malam, jauh lebih aman jika menggunakan jalur resmi. Datang ke panti pijat atau sauna. Lakukan transaksi. Cash and carry.

Di dunia digital, orang bisa berperan sebagai apa saja. Seseorang berwawasan yang paham bagaimana psikologi digital adalah penembak jitu yang bisa menjadikan Anda sebagai domba tak berdaya dan terseret mengikuti telunjuk. Kita semua adalah korban dari permainan wacana dan kalimat yang membuat kita sesaat kehilangan nalar.

Banyak orang yang tertipu di situs kencan digital. Seorang teman kenalan dengan perempuan yang fotonya sekelas Luna Maya dengan barisan pose menantang. Dia mentransfer duit, setelah itu gigit jari ketika diblokir. Tak mungkin lapor polisi sebab itu sama dengan membuka aib.

Kelima, ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja di masa pandemi ini. Meningkatnya kasus kriminalitas adalah alarm kalau semua program jaringan pengaman sosial sedang tidak bekerja. Pemerintah terlalu sibuk dengan retorika bantuan sosial, sementara masyarakat kita tidak tahu bagaimana menyambung hidup.

Kita melihat sistem sosial kita kian jauh dari kata seimbang. Banyak orang hanya modal air ludah, bisa jadi kesayangan pemerintah lalu duduk di kursi direktur, pejabat, staf ahli, komisaris, hingga mengendalikan lalu lintas modal. 

Sementara pekerja profesional harus banting tulang, lalu mencari tambahan penghasilan di situs kencan online. Kita melihat betapa ekonomi hanya menguntungkan sejumlah kaum yang dekat kuasa, lalu meminggirkan mereka yang bekerja siang malam.

Keenam, tangan lembut negara harus hadir untuk memeluk warganya yang sedang kesusahan. Negara jangan melihat rakyat sebagai suara yang diperebutkan, tetapi harus dijaga dan dipertahankan hingga hayat di kandung badan.

Tangan lembut negara hanya menyentuh kelompok yang itu-itu saja. Mereka yang bekerja di dunia hiburan malam bukanlah mereka yang mendapat jaminan sosial. Mereka terabaikan dan tak berdaya. Mereka bukan cuma para pekerja seks, tetapi juga para waria, pemijat, mucikari, calo, dan pekerja salon plus yang selama ini menempati ruang abu-abu. Mereka ada tetapi eksistensi dan pekerjaannya tidak diakui.

Saatnya mengubah kebijakan. Tidak hanya menolong para bankir dan para eksportir, tetapi sentuhlah mereka yang mencari nafkah di jalan-jalan, juga mereka yang hidup di keremangan malam. Buatkan banyak skema padat karya agar banyak pihak bisa ikut menikmati indahnya kemerdekaan.

BACA: Gadis Karaoke Kota Kendari


Ketujuh, apa yang terjadi Kalibata adalah cermin dunia sosial kita. Setiap tindakan kriminal adalah puncak dari tidak bekerjanya dunia sosial kita sebagai rumah nyaman yang membelai seorang warganya.

Itu adalah cermin dari spiritualitas kita yang hanya berhenti di slogan dan dakwah, tidak merasuk pada solidaritas kita untuk bergotong-royong membantu ekonomi semua orang. Kita gagal membantu orang lain yang ekonominya sedang kepepet lalu mengincar sesama kita untuk menjadi korban. Kita hanya menyalahkan, tanpa membantu mencari jalan.

Ada butiran hikmah dari peristiwa di Kalibata. Kita harus cari dan temukan. Bukan untuk kita, tetapi untuk bangsa.



Membaca The Real Marketing


Saya bukan marketer atau pemasar. Tapi setiap kali ada buku baru yang dibuat para marketer, saya selalu tidak sabar untuk membacanya. Di antara nama-nama penulis yang saya tunggu2 adalah Rhenald Kasali dan Kermawan Kartajaya.

Ada beberapa alasan mengapa saya suka membaca tulisan orang marketing. 

Pertama, mereka selalu menulis sesuatu dengan cara yang sesederhana mungkin. Mereka tidak suka memusingkan pembacanya. Beda dengan para ilmuwan sosial dan politik yang suka jlimet. Kalaupun memakai kata dalam bahasa Inggris, biasanya kata-kata yang mudah dipahami dan pasaran.

Kedua, mereka suka menulis berdasarkan pengalaman sendiri. Saya suka membaca catatan, yang penulisnya memakai kata “saya.” Sebab di situ ada unsur personal, serta perjalanan seseorang memahami sesuatu. Kita diajak masuk ke dalam pikiran seseorang untuk menelusuri pesan dan makna.

Ketiga, mereka peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Saat membaca buku yang ditulis Hermawan Kertajaya, dia suka mengambil contoh apa yang ada di sekitarnya. Di buku terbarunya ini, dia menjelaskan tentang game, film The Rings, konten Youtube, dan K-Pop. Dia selalu update dengan informasi terbaru, bahkan apa saja yang tengah happening di kalangan anak2 jaman now.

Dalam buku terbarunya yakni The Real Marketing, terbit tahun 2020, dia menjelaskan perjalanan konsep pemasaran yang dikembangkannya, sehingga dirinya menjadi satu dari 50 orang yang mengubah marketing dunia.

Bagian yang saya sukai adalah dia menjelaskan perjalanan kariernya. Mulanya dia menulis di Jawa Pos, kemudian mulai mengisi seminar. Suatu hari dia disentil muridnya peserta training yang menyebut dirinya fasih membahas semua konsep, tapi tidak pnya konsep sendiri. 

Perjalanan untuk menjadi ilmuwan level dunia dimulai dari pertanyaan itu, hingga kelak dirinya bisa berkolaborasi dengan para guru marketing yakni Al Ries, Jack Trout dan Kehnichi Ohmae, serta Philip Kottler yang disebut sebagai the father of modern marketing. Kini, Hermawan telah mendunia.

Buku ini sudah beredar. Tapi belum ada di toko Gramedia. Mungkin karena pandemi. Versi e-book bisa dibeli di Gramedia online, juga Google PLaybook. Tapi saya beruntung karena ada orang baik yang mengirimkan pdf-nya, sehingga saya bisa mencetaknya dengan kualitas baik. 

Anda ingin baca? Cari dong.


Selamat Jalan Jakob Oetama


Saya masih ingat persis ketika pertama tugas sebagai jurnalis di satu kantor media di Jalan Palmerah, Jakarta. Saya diminta menghadiri acara di Bentara Budaya Jakarta. Pak Jakob Oetama (JO) akan memberikan sambutan. 

Saya membayangkan Pak JO seperti pejabat yang membaca sambutan di atas selembar kertas. Saat dia bicara, saya terkesima. Dia seseorang berusia sepuh yang kenyang asam garam kehidupan. Kalimatnya pelan, tapi sangat bertenaga, dan mengiang-ngiang di pikiran.

Waktu itu, gempa baru saja terjadi Yogya. Bencana itu mengejutkan sebab semua orang tidak menyangka akan terjadi. Semua orang malah fokus ke Merapi yang sebelumnya batuk-batuk.

Pak JO berbicara singkat. “Saat semua orang fokus pada ketinggian, ternyata yang datang adalah gempa di Bantul sana. Itulah kehidupan. Kita hanya fokus pada apa yang ramai dan diperbincangkan. Kita melihat ketinggian, tapi lupa dengan bumi, laut dan lembah,” katanya.

Saya melihat Pak JO seperti begawan yang tenang dan penuh pengetahuan. Dia adalah sosok yang tidak tergesa-gesa. Dia telaga yang tenang. Dia bukan tipe yang menggedor dan menghantam kiri kanan. 

Jurnalisme yang dikembangkannya adalah jurnalisme damai yang merangkum semua masukan dengan santun. Jurnalisme yang diperkenalkannya pernah dikritik sebagai jurnalisme kepiting.

Saat ada bahaya di depan, dia memilih mundur. Dia memikirkan nasib perusahaan yang menjadi ladang hidup ribuan karyawan dan keluarganya.

Di titik ini, dia berbeda dengan PK Ojong, pendiri Kompas lainnya yang serupa Soe Hok Gie berani melawan pemerintah. Tahun 1978, pemerintahan rezim Soeharto meminta media itu untuk tanda tangan persetujuan untuk tidak mengkritik pemerintah. PK Ojong menolak. Pers tidak boleh diintervensi. Kritik adalah bagian dari kemerdekaan.

Tapi JO justru tanda tangan. Dia memilih untuk menyelamatkan perusahaan dan ribuan karyawannya. Tidak boleh mengkritik bukan berarti tidak ada jalan. Justru, JO leluasa bergerilya dalam rimba raya kata-kata, bermain dengan maksud dan makna, serupa penari ronggeng yang mencolek dan menyentil, lalu kembali menari dengan anggun.

Ini pula yang menjelaskan mengapa Kompas tetap bertahan dan menjadi raksasa media. Sepeninggal PK Ojong, dia tetap setia di jalur jurnalisme makna yang cerdas dan melihat sisi terdalam setiap peristiwa.

Hari ini, Kompas menjadi raksasa perusahaan media. Kantor dengan menara berbentuk pena berdiri di Palmerah, tampak gagah dilihat dari Senayan. Kompas bukan lagi sekadar menjadi raksasa media, tetapi juga masuk ke lini usaha toko buku, penerbitan, perhotelan, hingga televisi. Semuanya adalah warisan Pak JO.

Hari ini saya mendengar kabar kepergiannya. Manusia bisa fana, tetapi warisannya dalam berbagai lembar-lembar aksara dan media akan selalu mengabadikan dirinya. Dia menjadi ingatan yang abadi dan akan selalu dikenang.

Selamat jalan Pak JO.


Inspirasi AGAM Menyemai


salah satu spot cantik di Agam, Sumatera Barat

Sumatera Barat bukan hanya kisah tentang Pancasila dan sentilan seorang petinggi partai. Sumatera Barat punya banyak cerita, inspirasi, serta best practice. Di bulan Februari 2020, saya diundang Pemerintah Kabupaten Agam untuk berkunjung dan mencatat banyak hal.

Di antara topik yang saya dalami di sana adalah mengenai pertanian. Saya terkesima dengan gerakan Agam Menyemai yang dijalankan pemerintah kabupaten hingga nagari. Saya melihat bagaimana pertanian dibumikan menjadi satu gerakan sosial yang melibatkan semua kalangan.

Sebagai periset lapangan, saya mewawancarai banyak orang terkait Agam Menyemai. Mulai dari Bupati Agam, Kepala Bappeda, Camat, Wali Nagari, hingga petani di negeri. Berikut catatan perjalanan saya tentang Agam Menyemai, yang menjadi satu bab dalam buku Agam Outlook yang saya tulis mengenai Agam.

***

Sejauh mata memandang, pohon-pohon hijau seakan membentuk permadani yang sangat indah. Nagari Koto Malintang di Kecamatan Tanjung Raya, Agam, laksana sepihan zamrud di atas bumi. Hutan luas, yang di tengahnya terdapat Danau Maninjau, menghadirkan keindahan dan kesegaran bagi siapa pun yang menyaksikannya.

Lelaki itu, Nazaruddin Dt Palimo berdiri memandang semua pohon-pohon itu dengan senyum tersungging di bibirnya. Nazaruddin yang menjabat sebagai Wali Nagari Koto Malintang ini adalah sosok yang dianggap berhasil menggerakkan semua warga untuk mengembalikan hijaunya kawasan ini.

“Dahulu, kawasan ini tidak begitu hijau. Dulu, hutan tidak selebat sekarang. Dulu, kami adalah langganan banjir dan longsor,” katanya. Kini, wilayah itu sedikit bernapas lega. Berkat upaya penghijauan serta gerakan menanam, kawasan itu menjadi hijau dengan pepohonan rindang. Banjir dan bencana alam lainnya bisa dihindarkan.

Posisi Nagari Koto Malintang berada di dekat Danau Maninjau. Posisinya dikitari perbukitan sehingga menjadi sasaran empuk dari banjir dan longsor. Berada di tengah lembah, Nagari Koto Malintang harus siaga dengan bencana.

“Wilayah kami itu seperti kuali. Kami di tengah-tengah pegunungan yang setiap tahun selalu jadi langganan bencana longsor,” katanya. Tinggal di “kuali” memang harus siap berhadapan dengan risiko. Bencana tidak hanya menyebabkan kerugian material, tetapi juga menyebabkan hilangnya nyawa.

Saat Nazaruddin dilantik sebagai Wali Nagari di tahun 2011, dia segera bergerak. Dia ingin mengembalikan lingkungan sebagai pilar utama yang menyangga kehidupan. Dia ingin bergerak bersama warga demi mengembalikan keseimbangan ekologis. Dia ingin menjalankan arahan Bupati Agam Indra Catri Datuak Malako Nan Putiah untuk segera menanami semua lahan-lahan tidur yang selama ini diabaikan warga.

Dia mengenang seminggu setelah dilantik, Indra Catri memberikan hadiah berupa bibit yang ditampung dalam satu mobil besar. Bupati yang alumnus ITB ini memberikan bibit pala dan nangka, disertai pesan untuk segera menanamnya bersama warganya. Bibit itu harus menjadi tanaman yang kelak akan membuat wilayahnya penuh dengan pepohonan rindang, yang kelak akan menyelamatkan semua warganya dari bencana banjir.

“Hampir setiap tahun longsor dan banjir terjadi di wilayah kami. Makanya Pak Bupati minta kami menanam,” katanya.

Indra Catri yang dilantik sejak tahun 2010 telah mencanangkan gerakan Agam Menyemai. Gerakan yang melibatkan semua anggota masyarakat ini bertujuan untuk menanami semua lahan dengan tanaman sehingga kelak bisa menjadi sumber pangan yang sehat bagi warga. Tanaman itu juga bisa meminimalkan dampak bencana, menjaga keseimbangan ekologis, serta menjadi arena rekreasi.

Agam Menyemai bukanlah program yang dijalankan setiap tahun dan mendapatkan anggaran khusus. Bukan pula rutinitas di satu daerah demi menghabiskan anggaran daerah. Agam Menyemai adalah gerakan sosial yang melibatkan banyak orang dan dilakukan secara kontinu.

Beberapa kalangan menganggap program dan gerakan adalah dua konsep yang tidak sama. Perbedaan mendasarnya terletak pada kepemilikan atas masalah. Dalam program, masalah hanya dianggap milik pelaku program. Masyarakat hanya menjadi obyek yang tidak berkewajiban untuk melanjutkan program yang telah dirancang dan dijalankan. Sedangkan gerakan menempatkan semua pihak sebagai subyek yang akan menjalankannya.

Filosofi Indra Catri tentang gerakan ini dipahami benar oleh Handria Asmi, Camat Tanjung Raya. Dia menjelaskan mengapa Agam Menyemai disebut gerakan, bukan program. “Pak Bupati bilang, Agam Menyemai adalah gerakan, bukan program. Kalau program bisa jadi hanya dilakukan satu kali. Tapi kalau gerakan, dia tidak pernah putus dan terus berulang,” katanya.

Kata Handria Asmi, Bupati bisa memberikan bibit lebih 10 sampai 12 kali ke nagari-nagari dalam sebulan. Tindakannya diikuti semua staf dan anak buahnya. Semua kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga camat berkewajiban untuk melanjutkan gerakan itu hingga tujuannya tercapai.

Agam Menyemai membangun dan memotivasi masyarakat melalui agar memanfaatkan lahan pekarangan, lahan perkantoran, lahan mesjid, lahan tidur dan lahan yang tidak produktif lainnya. Masyarakat bisa menanam tanaman buah-buahan, sayur-sayuran, palawija dan tanaman hias.

Selain itu, masyarakat dimotivasi untuk mengisi kolam-kolam yang tidak dimanfaatkan selama ini dengan ikan. Semua yang disemai diharapkan dapat memberi manfaat dan pendapatan ekonomi, baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat di lingkungannya.

Agam Menyemai juga memupuk budaya menanam bagi setiap individu, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Menanam pohon ditujukan sebagai “amal jariah” sehingga masyarakat termotivasi untuk sadar terhadap  arti penting pohon bagi kehidupan.

Program ini telah dilaksanakan dalam jangka waktu yang cukup lama, dari awal kepemimpinan Indra Catri menjadi Bupati Agam hingga 2 periode. Hasilnya telah terbukti, Agam menjadi asri dan lestari. Agam pun panen banyak penghargaan di level nasional.

Indra Catri bersama seorang petani

Semenjak Agam Menyemai bergulir, Pemerintah Kabupaten Agam sudah melakukan penanaman dan pembagian bibit tanaman pepohonan dan buah-buah kepada masyarakat yang tersebar pada 82 nagari. Bibit yang dibagikan telah mencapai puluhan juta bibit.

Sebanyak puluhan juta bibit ikan telah dibagikan kepada masyarakat. Pemkab Agam menargetkan setiap tahunnya mampu mendistribusikan minimal 2 juta bibit tanaman dan buah-buahan serta 2 juta benih bibit ikan kepada masyarakat.

Penanaman kembali berbagai jenis tanaman dan penyebaran benih bibit ikan merupakan salah satu alternatif solusi yang efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pelestarian lingkungan hidup serta ilmu tentang kesehatan.

Posisi pemerintah adalah memberikan stimulasi kepada semua warga untuk menerjemahkan gerakan itu dalam berbagai rencana aksi. Agam Menyemai ibarat payung besar yang menaungi banyak program-program lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan kemandirian, serta memperkuat sumber daya manusia (SDM) Agam.

Di Koto Malintang, Agam Menyemai dijabarkan dalam rencana aksi bertajuk Gerakan Pembangunan dan Penyelamatan Salingka Danau Maninjau (Gerbang Pensi Maninjau). Gerakan ini merupakan bagian dari Agam Menyemai yang dicanangkan pemerintah Agam.

Wali Nagari Koto Malintang, Nazaruddin, bercerita panjang. Sesuai menerima bibit dari Indra Catri, dia mengumpulkan warganya. Dia mengajak semua orang untuk bersama-sama menanami bibit itu sembari berharap agar kelak bibit itu bisa tumbuh menjadi pohon rindang. Semua orang membangun komitmen untuk menanam, serta merawatnya.

“Waktu dikasih bibit, saya sosialisasikan kepada masyarakat agar kami sama-sama menanamnya. Ini niatan Pak Bupati yang sangat bagus. Kami ingin melestarikan lingkungan, serta menyelamatkan alam melalui gerakan menanam,” katanya lagi.

Tak sekadar menanam, berbagai program pun digelar. Penduduk Koto Malintang menjaga hutan rakyat dari penebangan hutan. Melalui sistem parak atau pengelolaan hutan, masyarakat setempat menjaga hutan seluas 327 hektar.

Jika ada masyarakat yang membutuhkan kayu untuk kebutuhan keluarga, maka penebangan hanya boleh sesuai kebutuhan rumah tersebut dan harus disetujui keluarga dan ninik mamak hingga ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan wali nagari. Itu pun harus ditanam penggantinya.

"Setiap pengantin baru wajib menanam pohon sebelum proses administrasi nikah diberikan," kata Nazaruddin.

Masyarakat memperoleh banyak manfaat lainnya. Di antaranya adalah sumber air yang ada dalam hutan diolah menjadi sumber air pam simas masyarakat. Bahkan saat nagari lain mengalami bencana banjir, Koto Malintang malah terhindar.

Gerakannya bersinergi dengan Pemkab Agam yang sedang berkampanye Save Maninjau agar kondisi ekologis danau itu tetap lestari. Dia juga berkolaborasi dengan nagari lain untuk sama-sama menyemai. Berkat pasokan bibit yang merata dari Pemkab Agam, gerakan itu terus membesar hingga nagari-nagari lain, menjadi gelombang positif yang terus merambah ke mana-mana.

"Saya tersentuh apa kata Bupati Indra Catri. Agam Menyemai itu bukan hanya menebar bibit, tetapi juga menebar kebaikan ke mana-mana. Sebab semua yang disemai, kelak akan tumbuh dan menjadi sesuatu yang mengakar di hati," katanya.

Terbukti dari apa yang dilakukan masyarakat Nagari Koto Malintang secara turun temurun puluhan tahun terakhir, telah mulai menjaga hutan sebagai sumber kehidupan. Menjaga lingkungan hutan dan menyemai tanaman adalah bagian dari kearifan kultural orang Minangkabau sejak dulu.

Kerja keras itu akhirnya berbuah. Tahun 2013, Nazaruddin menerima anugerah kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk kategori penyelamat lingkungan hidup. Penghargaan itu diserahkan di Istana Negara pada tanggal 10 Juni 2013, saat perayaan hari lingkungan hidup.

Pemerintah melihat komitmen untuk menjaga lingkungan, dengan cara tidak menebang pohon di hutan sekitar pemukiman masyarakat. Jika masyarakat menebang pohon, maka harus minta surat izin kepada pemilik tanah, ninik mamak, jorong, kerapatan adat nagari dan wali nagari. Dengan cara itu, pohon di hutan tersebut besar-besar dengan diameter 1 sampai 3,6 meter.

saat kalpataru disambut di Nagari Koto Malintang

Selain kalpataru, Agam mendapatkan penghargaan lain yakni Adiwiyata Mandiri diraih SMAN 2 Lubuk Basung. Adiwiyata Mandiri adalah penghargaan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup kepada sekolah-sekolah yang dianggap memiliki kepedulian serta berbudaya lingkungan. Sebagaimana Kalpataru, penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada daerah-daerah yang dianggap layak.

Berkah Agam Menyemai juga dirasakan Camat Tanjung Raya, Handria Asmi. Demi memperkuat Agam Menyemai, dia membuat beberapa inovasi yang mengantarkannya sebagai penerima penghargaan sebagai Camat Terbaik se-Sumatera Barat. Inovasi yang diluncurkannya bisa memberikan dampak positif bagi perkembangan wilayah itu.

Mulai dari pelayanan media informasi publik, pembangunan (teropong nagari), menciptakan generasi perubahan (gerha wiyata Maninjau lestari), program Calon Pengantin (Catin) menanam dan upaya-upaya penyelamatan danau Maninjau yakni Save Maninjau. Pelayanan “One Touch One Service". Program yang diluncurkannya tersebut sekaligus mengantarkannya sebagai sebagai Camat terbaik I tingkat Sumbar tahun 2018.

Tak hanya itu, program Agam Menyemai juga membawa manfaat bagi nagari yang lain. Kecamatan Tilatang Kamang mendapatkan skor tertinggi dalam hal inovasi, melalui program Satu Pelayanan Dua Bibit Tanaman (Sedunia).

Sebagai tindak lanjut dan perkembangan dari gerakan Agam Menyemai yang telah dicanangkan sejak tahun 2011, Sedunia memberikan masyarakat dua bibit tanaman setiap menerima pelayanan administrasi dari kantor camat. Bibit ini bisa ditanam di pekarangan rumah dan lahan tidak produktif lainnya, dan mendatangkan manfaat bagi penerima.

Melihat kian banyaknya penghargaan yang diterima pemerintah dan masyarakat Agam, muncul sebersit pertanyaan, bagaimanakah lahirnya kebijakan Agam Menyemai, apa yang menjadi target dan manfaat program, siapa yang akan menikmati benih yang akan ditanam di Agam?

***

Kisah Agam Menyemai dimulai sejak tahun 2010 ketika Indra Catri resmi dilantik sebagai Bupati Agam. Dia memulai masa kepemimpinannya dengan ujian berupa bencana di Melala dan Maninjau. Dia mendatangi lokasi bencana demi memimpin proses tanggap darurat. Infrastruktur rusak. Pemerintah tidak punya kas untuk melakukan rehabilitasi.

Dia juga melihat para pegawai negeri yang berkantor di Lubuk Basung hanya sampai jam dua. Setelah jam kerja usai, mereka langsung ke Padang, ada juga yang ke Bukittinggi sebab mereka berumah di dua kota ini. Lubuk Basung menjadi kota mati yang sepi. Dia sadar, tugasnya tidak mudah untuk membangkitkan semangat semua orang.

Indra bukan tipe pemimpin yang hanya ingin duduk nyaman di singgasana kekuasaan. Dia ingin bergerak dan berbuat sesuatu bagi rakyatnya. Prioritas pertama adalah mengatasi bencana dan rehabilitasi.

Dia lalu melobi pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk turun tangan dan melakukan rehabilitasi, juga rekonstruksi. Misinya berhasil. Bantuan pemerintah mulai mengalir ke Agam.

Belum lama menjabat, dia menghadiri pertemuan para bupati dan wali kota se-Sumatera Barat. Dia terkejut saat dipaparkan kenyataan ada sekitar 5 persen rakyat Agam yang tidak pernah makan daging dalam setahun. Kenyataan ini dirasanya ironis sebab setiap tahun ada pembagian daging kurban.

Namun, dia berhadapan dengan kondisi yang tidak memungkinkan. Saat itu, inflasi tinggi. Government expenditure rendah. Kas daerah sangat terbatas. Dia lalu merumuskan satu gerakan yang efektif dan bermanfaat untuk masyarakat, serta bisa menggerakkan semua kalangan.

 Dia ingin gerakan yang punya dampak jangka panjang.  Dia percaya, hanya yang menanam, yang kelak akan menyemai. Dia mulai merancang gerakan Agam Menyemai. Dia menulis syair lagu:


Tanamlah bungo di halaman, 
sayua mayua jo tabek ikan. 
Nan di laman untuk dimakan, 
nan di parak baok ka pakan 

Tanamlah bunga di halaman,
sayur-mayur dan kolam ikan.
Yang di pekarangan untuk dimakan,
yang di kebun dijual ke pasar


Lewat syair, dia menitip banyak pesan ke masyarakat. Jika masyarakat menanam sendiri kebutuhannya, maka di masa depan akan bisa memutus ketergantungan pada berbagai komoditas yang lebih banyak didatangkan dari luar.

Agam ibarat rumah bagi kebanyakan kuliner Minang. Masyarakat Agam punya kebutuhan yang sangat tinggi pada berbagai komoditas yang menjadi bahan baku kuliner. Namun, tidak semua komoditas itu diproduksi sendiri. Banyak yang didatangkan dari luar Agam sehingga menimbulkan ketergantungan.

Jika masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, maka mereka bisa lebih mandiri. Mereka bisa memanfaatkan pekarangan untuk menyediakan semua kebutuhannya. Jika ada kelebihan, maka bisa dijual sehingga menopang ekonomi keluarga.



Kalaupun masyarakat belum bisa menjual, maka setidaknya mereka tidak perlu membeli lagi. Pekarangan bisa memasok semua kebutuhan itu. Jika dilakukan secara konsisten dan kontinu, maka bisa tercapai kemandirian dan kedaulatan pangan.

“Kami bersama masyarakat merevitalisasi kolam-kolam, membuat kolam baru, dan menyebar benih ikan. Walaupun masyarakat belum mampu menjual ikan, tapi dia bisa mengonsumsi ikan yang cukup. Apa gunanya? Untuk kecerdasan dan kualitas sumber daya, untuk meningkatkan status gizi dan tingkat kesehatan.  Jadi ikan tidak lagi harus mereka beli. Mereka juga bisa memproduksi ikan,” kata Indra.

Kepala Bappeda Agam, Welfizar, menjelaskan tentang esensi Agam Menyemai. Gerakan ini lahir karena dua faktor.

Pertama, tingkat ketergantungan pangan yang tinggi menyebabkan pola perekonomian masyarakat nagari cenderung bersifat consumption driven economy. Kondisi ini selayaknya dimaknai secara positif, artinya jika masyarakat nagari berhenti belanja maka perekonomian nagari berpotensi besar akan collaps.

Kedua, dalam jangka panjang kebiasaan consumption driven economy ini secara bertahap digeser ke arah perekonomian yang didorong oleh peningkatan produksi dari masyarakat (production driven economy). 

“Melalui gerakan Agam Menyemai pemerintah daerah mendorong peningkatan produktivitas anak nagari melalui optimalisasi pemanfaatan lahan untuk ditanami padi, jagung, kelapa, petai, jengkol, dan lain sebagainya. Makanya, semua pihak harus berpartisipasi dalam gerakan ini. Bahkan pemerintah nagari menjadi kekuatan utama,” kata Welfizar.

Demi menyukseskan Agam Menyemai, Indra Catri tidak segan-segan langsung turun ke lapangan. Dia sesekali ikut membantu masyarakat membuka lahan pertanian baru. Dia akan mendatangi masyarakat, dan bertanya apa kebutuhan. Dia pun datang membawa bibit untuk dibagi-bagikan.

Alumnus ITB ini percaya, seorang manusia Agam harus memiliki empat hal penting, yakni “utaknyo cadiak, badannyo sehat, imannyo taguah dan pitiahnyo banyak”. Yang dimaksudkannya adalah otak cerdas, badan sehat, iman teguh, dan uang banyak.

Otak cerdas hanya bisa dicapai jika mendapat asupan gizi dan pangan yang cukup. Demikian pula badan sehat hanya akan dicapai dengan pangan serta lingkungan yang juga sehat. Uang banyak bisa didapatkan jika kegiatan ekonomi berjalan lancar. Sedangkan iman teguh adalah pertanda terpenuhinya semua kebutuhan material sehingga spiritualitas bisa diperkuat.

Indra sangat yakin mimpi itu dicapai jika semua lahan bisa dimaksimalkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2010, saat dia baru mulai menjabat, luas penggunaan lahan untuk budi daya hanya 144.622 hektar. Jumlah ini tidak bertambah sejak tahun 2005. Jika saja lahan bisa ditambah, maka ekonomi masyarakat akan bangkit.

”Saya berkesimpulan, itu persoalan yang harus segera diatasi. Dengan mengajak masyarakat Agam yang dominan petani untuk memanfaatkan lahan tidur, dampaknya akan sangat terasa bagi perekonomian masyarakat,” ungkapnya.

Indra memilih medium lagu untuk menyampaikan pada masyarakat tentang ajakannya untuk menyemai. Di semua lokasi yang dikunjungi, dia akan menyampaikan ajakan menyemai itu melalui lagu yang dengan cepat bisa diterima masyarakat.

Pendekatan kultural melalui lagu masih sangat efektif untuk mengajak orang-orang agar berpartisipasi. Masyarakat dengan cepat memahami apa pesan yang disampaikannya. Lagu agam Menyemai bergema di banyak titik, dari kota-kota hingga ke desa-desa. Lagu ini menemani masyarakat yang ikut dalam gerakan menanam.

Mereka yang sering mengawal Indra Catri sering terkejut saat mengetahui dirinya membawa banyak bibit di mobil. Biasanya, kepala daerah berkeliling bersama staf untuk memberikan sambutan dan pengarahan. Indra hanya membawa sedikit orang, itu pun mobilnya dipenuhi dengan berbagai bibit tanaman. Saat bertemu rakyat, dia membagikan bibit sebanyak mungkin agar orang-orang menyemai dan menebarkannya ke mana-mana.

“Ke mana pun pergi, di mobil saya selalu ada bibit pepaya, sirsak, dan tanaman lain. Saya juga membawa bibit ikan untuk dibagikan kepada masyarakat,” katanya. Dia bupati yang tidak biasa. Dia inspiratif.


Menyemai Nilai-Nilai Kebaikan

Salah seorang stafnya, Misran, mengungkapkan tidak ada anggaran khusus di APBD untuk membiayai Agam Menyemai. Bibit diusahakan secara swadaya dan dibeli dengan murah untuk dibagikan kepada masyarakat.

Meskipun dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki Kabupaten Agam, Indra tidak menjadikan itu sebagai sebuah masalah. Indra Catri justru melakukan berbagai inovasi untuk mendapat peluang-peluang yang bisa memajukan Kabupaten Agam. Pemerintah daerah mencoba keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama dan mendorong masyarakat agar lebih produktif.

Benar saja, dengan jumlah APBD yang tidak seberapa dibanding daerah-daerah lain, Indra Catri mampu menyinergikan program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Indra Catri terus mengembangkan inovasi untuk mengubah Lubuk Basung menjadi kota yang tertata dan maju.

Sebagaimana pepatah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, setiap Indra bergerak, maka dia melaksanakan beberapa program sekaligus. Saat singgah ke nagari, dia akan mengecek kebersihan masjid, kebersihan WC, serta membagikan banyak bibit tanaman.

Dia jarang membeli bibit tanaman. Kebanyakan bibit yang dibagikannya diusahakan secara swadaya. Selain memiliki kebun pembibitan, beliau kadang mengumpulkan bibit di sepanjang jalan, kemudian membagikannya.

“Jadi cara beliau itu mungkin berbeda dengan yang lain. Kalau kepala daerah yang lain ketika disuruh menanam itu, ya mungkin di APBD-nya dianggarkan khusus untuk membeli bibit-bibit ini, tapi di sini tidak. Jadi caranya mungkin agak nyeleneh gitu. Contohnya saya diajak keluar daerah. Ada daerah yang unik, misalnya Duren. Beli duren, bijinya dibawa pulang. Pokoknya apa yang bisa diambil. Jadi pola itulah yang beliau coba terapkan,” kata Misran yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Catatan Sipil Agam ini.

Kalaupun dianggarkan, biasanya jumlahnya tidak banyak. “Palingan yang disuruh beli hanya polybag atau tanah humus saja. Bibit banyak di mana-mana. Jengkol pun kurang lebih seperti itu. Beli jengkol yang ada di masyarakat, kemudian kita semai sendiri. Nah kemudian itu dilepas di masyarakat,” lanjutnya.

Gerakan Agam Menyemai telah berjalan cukup lama. Sejak awal Indra Catri memimpin Agam, sampai di periode keduanya. Hasilnya, terbukti Kabupaten Agam menjadi asri dan lestari. Lewat gerakan ini, masyarakat di dorong memanfaatkan pekarangan rumah untuk berkebun.

“Prinsip kegiatan Agam Menyemai adalah perlunya partisipasi masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan yang dilakukan secara terencana dan terus menerus serta komprehensif. Sebab, pada intinya kita telah melakukan penyemaian terhadap nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat kita sendiri,” kata Indra.

Berkat keberhasilannya menghidupkan produktivitas masyarakat lewat gerakan Agam Menyemai, Mei 2016 lalu Indra Catri mendapat apresiasi langsung dari Kementerian Pertanian dalam hal Ketahanan Pangan pada kegiatan Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Nasional di Surabaya.

Kiprahnya diakui hingga pemerintah pusat. Agam menjadi wilayah yang sering menjadi rujukan dalam hal ketahanan pangan. Gerakan Agam Menyemai dinilai berhasil dan memberi dampak bagi kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan kaum ibu dalam rumah tangga mulai tercukupi dan mampu menekan pengeluarannya untuk berbelanja sehari-hari. Sebab, setiap ibu rumah tangga dapat memanfaatkan hasil kebun seperti sayur-sayuran, ikan dan buah yang dipanen di halaman rumah mereka.

Untuk mencapai kehidupan yang serba mencukupi, masyarakat Agam kini lebih banyak menjual daripada membeli. Untuk bisa menjual dan mendapat penghasilan dari program tersebut, masyarakat harus memilik produk. Seperti halnya para pengrajin, mereka harus bisa meningkatkan hasil kerajinan agar mampu menjawab permintaan dan tantangan pasar. Begitu juga petani yang harus bisa memanfaatkan lahan yang mereka miliki.

“Di kebun, tanamlah apa yang dibutuhkan pasar. Pilihlah tanaman yang hasilnya bernilai jual tinggi. Tanaman bernilai jual tinggi pasti tanaman yang berkualitas bagus,” ujar Indra.

Sebagai bupati, Indra selalu mencurahkan perhatiannya kepada petani-petani di wilayah Kabupaten Agam agar dapat mengelola keuangan rumah tangga mereka dengan baik. Dia juga mengingatkan agar masyarakat memiliki usaha produktif, dengan penghasilan (income) bisa lebih besar dari pengeluaran.

Usaha yang dimiliki bisa dalam bentuk kerajinan, hasil pertanian dan perkebunan, perikanan, ataupun perkebunan. Untuk itu, perlunya peningkatan usaha sekaligus peningkatan kualitas produksi. Ketika usaha dan kualitas produksi bagus, pasti nilai jualnya tinggi.

“Agam Menyemai merupakan gerakan yang mencoba membangun dan memotivasi masyarakat melalui suatu gerakan moral ‘Penyemaian Nilai-Nilai Kebaikan’ masyarakat Kabupaten Agam. Terutama dalam memanfaatkan lahan pekarangan, lahan perkantoran, lahan masjid, lahan tidur dan lahan yang tidak produktif lainnya, dengan menanam tanaman buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias. Selain itu, masyarakat di motivasi untuk memanfaatkan kolam ikan agar bisa bernilai ekonomi,” katanya.

Nilai kebaikan bisa dilihat pada gerakan untuk sama-sama bangkit dan berdiri di atas kaki sendiri, tanpa harus menunggu bantuan orang lain. Agam Menyemai mendidik orang-orang untuk percaya pada kemampuan sendiri, sehingga memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tanpa harus membeli.

Nilai-nilai kebaikan terlihat pada tindakan semua pihak, termasuk pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, untuk membagikan berbagai bibit tanaman dan bibit ikan kepada masyarakat.

Indra mendorong masyarakat untuk menebar bibit ikan di kolam air tenang, kolam air deras, lubuk larangan milik masjid dan pemuda. Dengan penebaran bibit ikan itu, lubuk larangan sudah berisi ikan, sungai menjadi bersih dan menambah pendapatan masjid dan pemuda untuk pembangunan tempat ibadah dan sarana lainnya.

Perlahan, dampaknya dirasakan semua masyarakat. Pemerintah membagikan bibit tanaman jenis manggis, durian, belimbing, jambu madu, dan jambu air. Kini, tanaman itu sudah mulai bisa dipanen warga dan meningkatkan kemandirian.

Tidak hanya rumah tangga, pemerintah melalui Agam Menyemai juga membagikan bibit untuk disalurkan kepada jamaah masjid. Bibit itu ditanam di perkarangan rumah dan kebun warga. Pemerintah juga membagikan jutaan bibit jengkol, petai, pokat, kelapa, lengkeng dan lainnya.

Di sektor perikanan, Indra juga melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan produksi ikan. Di antaranya, perbaikan kolam-kolam telantar di seluruh kecamatan dan menyalurkan bibit ikan gratis kepada masyarakat. Selain itu, memberikan bantuan peralatan untuk pembenihan ikan dan bantuan permodalan kelompok tani.

Hanya dalam kurun waktu dua tahun, pembudidaya ikan berkembang pesat. Dari 9.364 orang bertambah menjadi 13.356 orang. Sedangkan pengolah ikan meningkat dari 361 orang menjadi 907 orang.

Selain itu, produksi benih ikan juga mengalami peningkatan. Jenis nila dan mas dari 90.500.500 ekor menjadi 200.900.150 ekor. Untuk produksi ikan air tawar, dari 40.021,52 ton per tahun menjadi 61.245,22 ton per tahun.

Untuk terus memaksimalkan Agam menyemai di sektor perikanan, Pemkab Agam terus menambah fasilitas pendukung dengan membangun pasar, pembangunan jalan produksi perikanan, dan fasilitas lainnya.

Gerakan ini membawa kebaikan kepada semua pihak. Panen melimpah. Masyarakat bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui pekarangan, kebutuhan daging terpenuhi berkat kolam dan lubuk larangan, serta nilai gizi masyarakat terus meningkat. Agam Menyemai membawa banyak kebaikan.

Di tahun 2020, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Indonesia (Kementan), mengeluarkan buku Indeks Ketahanan Pangan (IKP) tahun 2019. Buku ini menampilkan peringkat dan skors IKP 2018 dari 416 kabupaten dan 98 kota di Indonesia.

Hasil perhitungan IKP 2018 itu, Agam menjadi kabupaten terbaik di Sumbar dengan skors 81.00. Untuk nasional, Agam berada di peringkat 40. Posisi pertama dihuni Kabupaten Tabanan.

Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan (DPKP) Agam Ermanto mengatakan, peringkat tersebut menandakan Kabupaten Agam  merupakan daerah yang memiliki ketahanan pangan yang sangat baik. Skors yang didapatkan Agam melebihi batas skors IKP sebesar 75,68.

"Laporan buku IKP 2019 ini dirilis Kementan pada Januari 2020. Ini hasil dari perhitungan IKP 2018. Untuk perhitungan IKP 2019 akan keluar tahun depan," katanya sebagaimana dimuat media.

Menurut Ermanto, IKP disusun berdasarkan tiga aspek ketahanan pangan  yaitu aspek ketersediaan, aspek keterjangkauan dan aspek konsumsi pangan.

Dijelaskan, IKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peta ketahanan pangan dan kerentanan pangan. Ada sembilan indikator yang digunakan dalam penyusunan IKP. Di antaranya, rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran.

Kemudian, persentase rumah tangga tanpa akses listrik, rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih.

Selanjutnya, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting) dan angka harapan hidup pada saat lahir.

"Semuanya tidak lepas dari inovasi yang diluncurkan Bupati Agam yakni Agam Menyemai. Dalam gerakan itu, tidak boleh ada lahan yang menganggur dan terlantar, serta kolam ikan yang kosong," ujarnya.


Sederhana, Tapi Revolusioner

Langkah Indra Catri ini tampak sederhana, tetapi bisa dikatakan revolusioner. Dekade terakhir, dunia mulai mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan pangan warga. Indonesia tercatat masih menjadi negara dengan tingkat konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia, yaitu sekitar 139 kg per kapita setiap tahun.

Wacana tentang pentingnya pekarangan sebagai sumber pangan keluarga (family farms) menjadi marak belakangan ini. Pekarangan, sebagaimana bisa disaksikan di Agam, dianggap sebagai penyedia pangan keluarga yang bisa bertahan dari terpaan krisis.

Secara global, Family Farms ini mengisi 90% dari total keseluruhan pertanian (FAO, 2018).  Dalam laporan terbarunya, Food Agricultural Organization (FAO), lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pangan, mencatat:

“Family farming offers a unique opportunity to ensure food security, improve livelihoods, better manage natural resources, protect the environment and achieve sustainable development, particularly in rural areas.”

Pertanian keluarga menawarkan peluang unik untuk memastikan keamanan pangan, meningkatkan mata pencaharian, mengelola sumber daya alam dengan lebih baik, melindungi lingkungan dan mencapai pembangunan berkelanjutan, khususnya di daerah pedesaan.

Pertanian Keluarga menjadi bahan kajian yang menarik beberapa waktu terakhir. Terutama dalam kapasitas mereka yang diperkirakan memproduksi 80% dari keseluruhan produksi makanan dunia. Selain itu pertanian keluarga menjadi pilihan satu-satunya bagi 80% keluarga miskin dan rawan pangan di seluruh dunia.

FAO menyusun program dengan tema ‘Working for Zero Hunger’ guna mengajak berbagai pihak terkait untuk berkontribusi dalam melestarikan family farming. Di Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia, FAO menginisiasi negara anggotanya untuk meningkatkan ketahanan produsen makanan skala kecil terhadap iklim, gejala alam dan tekanan sosio-ekonomi.



Di Indonesia, wacana pemanfaatan pekarangan ini timbul tenggelam. Tahun 2014, Menteri Pertanian Suswono menawarkan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), yang oleh organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agricultural Organizational/FAO) diadopsi dengan nama Family Farming, sebagai satu model solusi bagi upaya dunia mengurangi kemiskinan.

Berbicara dalam forum konsultasi tingkat menteri negara FAO Asia Pasifik, Suswono mengatakan KRPL yang diinisiasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 berhasil menjadi model pengembangan ketahanan pangan berbasis keluarga di Indonesia.

Awalnya, KRPL dikembangkan untuk mengatasi krisis cabai. Dalam perjalanannya, KRPL memberi sedikitnya tiga manfaat. Pertama meningkatkan skor pola pangan harapan. Kedua, mengurangi pengeluaran belanja harian rumah tangga. Ketiga, meningkatkan harmonisasi masyarakat melalui kerja sama antar keluarga dalam memanfaatkan lahan pekarangan.

Berkat KRPL, Indonesia bisa mengatasi krisis cabai dan pangan pokok, stabilitas harga kebutuhan pokok keluarga stabil, dan pada saat bersamaan dapat menurunkan tingkat kerawanan pangan dan gizi, seiring dengan meningkatnya skor pola pangan harapan.

Sayangnya, setelah itu, konsep family farming ini jarang dibahas.  Namun di tahun 2020, saat pandemi covid-19 mulai menyebar ke mana-mana, konsep family farming ini kembali marak. Kementerian Pertanian mendorong upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga melalui optimalisasi  pemanfaatan lahan pekarangan.

Menteri  Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pihaknya akan memberikan bantuan berupa sarana produksi pertanian yang diharapkan mampu mendorong petani untuk berproduksi, termasuk pemanfaatan pekarangan. Langkah ini  mampu mendukung kehidupan keluarga petani di tengah pandemi covid-19.

"Tentunya ini juga masuk ke family farming atau tanaman pada lahan usaha dan  pekarangan di sekitar rumah dan menyasar orang-orang yang memang butuh. Misalnya petani miskin yang selama ini hidup di luar, kemudian kembali ke desa dan ternyata terkena dampak covid," ujar Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam rlis yang dibagikan pada 23 Mei 2020.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi mengungkapkan melalui kegiatan Pekarangan Pangan Lestari (P2L), tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga, namun dapat juga mengurangi pengeluaran bahkan  meningkatkan pendapatan rumah tangga jika dikelola secara maksimal.

Hingga kini, tidak kurang dari 20 ribu kelompok wanita tani yang telah terlibat dalam kegiatan P2L. Dia berharap setiap rumah tangga mampu memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber pangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, pemanfaatan, serta pendapatannya.

Family Farming dilihat sebagai program yang strategis tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, tetapi juga bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga, terlebih pada kondisi pandemi.

Yang menarik, Agam sudah mengampanyekan konsep pemanfaatan pekarangan atau family farming itu sejak tahun 2010, ketika Indra Catri dilantik sebagai bupati. Agam sudah memulai menjadikan gerakan menyemai dan menanam ini sebagai gerakan sosial yang melibatkan semua kalangan.

Indra Catri berpikir selangkah lebih maju ke depan. Dia bisa membaca realitas di sekitarnya dan memproyeksi Agam di masa mendatang. Untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, maka masyarakat Agam harus punya kemandirian untuk mewujudkannya. Mereka tak boleh hanya bergantung pada pasokan luar, namun harus mengupayakannya sendiri, mengusahakannya dari pekarangan.

Indra sudah melihat kemandirian pangan akan terbentuk ketika semua orang bisa menjadikan pekarangan dan kebun-kebun serta lahan-lahan sebagai sumber daya yang bisa dimaksimalkan. Untuk itu, dia menginisiasi gerakan Agam Menyemai.

“Prinsip kegiatan Agam menyemai adalah perlunya partisipasi masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan yang dilakukan secara terencana dan terus menerus serta komprehensif. Sebab, pada intinya kita telah melakukan penyemaian terhadap nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat kita sendiri,” katanya.

Indra Catri mengakui konsep Agam Menyemai ini bukan sesuatu yang baru. Menurutnya, nenek moyang orang Minang sejak dahulu sudah mengajarkan pada anak cucunya tentang betapa pentingnya menanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami hanya menjalankan apa yang sudah dijalankan oleh nenek moyang kami,” katanya.

Secara kultural, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat pertanian. Itu terlihat dari ujaran: “ketika ke rimba berbunga kayu, air tergenang dijadikan kolam ikan, tanah tanah ditanamkan benih, tanah keras dibikin ladang, sawah bertumpak di tanah yang datar, ladang berbidang di lahan yang lereng.”

Sejak dulu, orang Minang bertani sesuai dengan musim. Itu terlihat pada pepatah: ”Ka ladang di hulu tahun, ka sawah di pangka musim, hasia banyak nkarano jariah, hasia buliah karano pandai”.  Ke ladang di awal tahun, ke sawah di pangkal musim, hasil banyak karena jerih payah, hasil boleh karena pandai.

Dalam pepatah ini terdapat pernyataan tentang tradisi berladang dan bersawah, selain itu ada pula pengetahuan tentang pola tanam. Tumbuh dalam kultur agraris, masyarakat Minang sangat menghargai kerja keras. Mereka meyakini tidak ada sesuatu yang mustahil jika diusahakan dengan sungguh-sungguh.

Semangat itu terlihat pada kalimat:  “lawik dalam buliah diajuak, bumi laweh dapek digali, bukik dapek diruntuah, asa bajariah bausaho. Lawik ditimbo lai ka kariang, gunuang di runtuah mungkin data, sadang dek samuik runtuah tabiang, apolagi dek manusia nan baraka”.  

Mereka pun percaya, apa saja yang ditanam, pasti akan tumbuh. “Apo ditanam namuah tumbuah, bijo ditanam ka babuah, batang ditanam kabarisi, batanam nan bapucuak, mamaliharo nan banyao.” Apa yang ditanam bisa tumbuh, biji ditanam akan berbuah, batang ditanam akan berisi, menanam yang berpucuk, memelihara yang bernyawa.


Membangun Mindset

Agam Menyemai menekankan pada perubahan mindset tentang menanam dan menyemai. Bahwa kegiatan menanam bukan soal proyek. Bukan pula program. Melainkan bagaimana memaksimalkan semua lahan-lahan tidur untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan jika ada kelebihan maka bisa dijual ke pasar-pasar.

Indra Catri hendak memperkuat konsep komoditas unggulan. Melalui Gerakan Agam Menyemai, semua nagari bisa mengidentifikasi apa komoditas yang paling diandalkan sehingga menjadi identitas yang bisa merambah pasar. Sebab jika semua menghasilkan produk yang sama maka dampak ekonominya tidak akan begitu besar.

Sebelum menjadi Camat Tanjung Raya, Handria Asmi bertugas sebagai camat di Sungai Puah. Dia bercerita tentang jenis tanaman berbeda yang diberikan bupati di dua daerah yang pernah dipimpinnya.

“Semuanya tergantung pada karakter wilayah. Beda karakter wilayah, beda jenis pohon yang kita tanam. Nah kalau Sungai Puah itu lebih kepada bibit pertanian. Kalau di Tanjung Raya, beda lagi. Karena wilayahnya yang kayak kuali itu, nah bibitnya pohon-pohon. Ada mahoni, ada jengkol, ada nangka, ada cengkeh, ada pala. Itu yang selalu diberikan pimpinan untuk kita sukseskan di lapangan,” katanya.

Bahkan saat bulan Ramadhan, Indra akan membawa bibit saat datang ke masjid dan surau. Dia bilang, kitab Al Quran sudah banyak di masjid. Banyak yang tidak terbaca. Dia dengan tim Ramadan membawa bibit itu, satu truk bibit dibawa untuk jamaah. Dia sudah tahu apa yang hendak dibawa. Kalau untuk kecamatan A, maka dibawanya jengkol.

“Dia bilang sama OPD, besok kita bawa jengkol. Kalau besok kita Ramadhan lagi ke kecamatan A, di sana cocoknya bukan petai. Jadi kita siap-siap saja, kalau bapak minta petai, maka petai harus ada,” kata Misran.

Hal senada juga dikatakan Nazaruddin selaku Wali Nagari Koto Malintang. Menurutnya, Instansi di bawah Pemkab Agam tidak membagikan bibit yang sama. Semuanya memberikan bibit berbeda, sesuai dengan misi masing-masing instansi.

“Kami menerima bibit yang beda. Dinas Lingkungan Hidup biasanya akan memberi bibit terkait dengan bunga. Tujuannya agar kami menanam bunga. Bibit itu sebagai stimulant biar kami bekerja. Kalau pertanian beda lagi. Lebih mengarah ke produk-produk pertanian. Misalnya padi yang berkualitas. Kalau kehutanan beda lagi, pohon-pohon yang baik. Jadi, tidak ada rasanya program itu saling bertabrakan satu sama lain,” kata Nazaruddin.

Bupati Indra Catri memimpin rapat setiap bulan. Sekali sebulan, selalu digelar rapat koordinasi yang dihadiri semua kepala dinas, camat, hingga wali nagari. Semua wajib hadir dalam rapat evaluasi. Bupati akan bertanya segala hal, mulai bibit, menanam, hingga menyemai. Jika ada masalah,  langsung dicarikan solusi. Dengan demikian, semua masalah akan segera ditangani bersama-sama.

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah melalui Kementerian Desa dan Kementerian Koperasi serta UMKM sedang menggalakkan perlunya satu komoditas di satu desa. Setiap desa didorong untuk menemukan dan mengembangkan satu produk unggulan yang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan produk dari desa lainnya.

Konsep one village one product (OVOP) sendiri bukan konsep yang baru. Konsep ini pernah sukses diterapkan di Jepang dengan istilah Isson Ippin Undo. OVOP pertama kali diinisiasi oleh Dr. Morihiko Hiramatsu di Provinsi Oita pada tahun 1979.

Dalam konsep OVOP, masyarakat diberikan pemahaman untuk dapat menghasilkan barang-barang terpilih dengan nilai tambah yang tinggi. Satu desa diharapkan mampu menghasilkan satu produk utama yang kompetitif dan mampu bersaing ditingkat global namun tetap memiliki ciri khas keunikan karakteristik dari daerah tersebut.

Produk yang dihasilkan adalah produk yang memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia. Menurut Dr. Morihiko, OVOP memiliki tiga prinsip utama.

Pertama, local yet global yang bermakna menghasilkan produk atau jasa yang bernilai lokal dan dapat diterima secara global, dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas produk melalui proses pelatihan teknis peningkatan mutu produksi dan desain.

Kedua, self reliance and creativity yang bermakna memanfaatkan potensi yang dimiliki secara kreatif dengan usaha-usaha yang mandiri.

Ketiga, human resource development memiliki makna mengembangkan kapasitas dan kompetensi masyarakat agar memiliki semangat untuk kreatif dan mampu menghadapi berbagai tantangan perkembangan zaman.

Kisah kesuksesan program ini di Jepang menarik minat banyak negara untuk mengadopsinya, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2006 konsep ini mulai dipelajari dan diadopsi oleh berbagai negara, khususnya di Asia. Konsep ini juga mulai dipelajari oleh negara-negara di Afrika terutama sebagai salah satu solusi bagi daerah-daerah miskin yang masih sangat bergantung pada pemerintah pusatnya. Hingga saat ini sudah ada 57 negara yang sudah mengadopsinya.


Dari Ketahanan Pangan Hingga Peradaban

Di tahun 2012, terdapat 26 anak yang menderita gizi buruk di Agam. Anak-anak ini tidak mendapatkan pasokan pangan yang cukup sehingga menderita gizi buruk. Pihak Dinas Kesehatan Agam mengungkapkan, 26 penderita gizi buruk itu tersebar di 16 kecamatan yang umumnya ada di pedalaman sehingga jauh dari akses pelayanan kesehatan.

Langkah-langkah strategis untuk mengatasinya segara dilakukan. Pemkab Agam memberikan pelayanan makanan tambahan kepada semua anak penderita gizi buruk. Puskesmas rutin melakukan pengecekan kesehatan sehingga status gizi semua anak itu terpantau.

Pengontrolan dilakukan selama tiga bulan berturut-turut dengan harapan penderita kembali sehat seperti semula. Untuk mengatasi gizi buruk ini, para orang tua juga diminta untuk membawa anak usia bawah lima tahun (balita) ke Posyandu, karena mereka akan mendapatkan tambahan vitamin dan makanan bergizi.

Data yang diperoleh, sebanyak 70 persen dari 6.899 orang jumlah balita di Kabupaten Agam yang rutin ke Posyandu. Tiga puluh persen anak yang tidak ikut Posyandu berisiko mendapatkan gizi buruk.

Gizi buruk memang mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani, bisa menimbulkan stunting. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami balita atau anak-anak. Kondisi ini ditandai panjang atau tinggi badan yang kurang dibandingkan anak sebayanya.

Stunting bisa disebabkan oleh gizi yang buruk sejak dari masa kehamilan, infeksi berulang, serta stimulasi psiko-sosial yang tidak memadai atau lingkungan yang tidak sehat.

Namun di tahun 2020, suasananya sangat berbeda. Di bulan Januari, berita gembira dibagikan Dinas Kesehatan Agam. Jumlah kasus stunting turun hingga 16 persen, dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 28 persen.

Pemerintah Agam tidak mengendurkan upaya penanggulangan. Salah satu langkah yang dilakukan pihaknya adalah penyuluhan tentang stunting terhadap ibu hamil, bagaimana mengatur pola makan yang sehat dan bergizi. Pola makan tersebut, tidak hanya dimulai saat bayi namun sejak dalam kandungan ibu. Selain itu, sang ibu harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi.

Salah satu faktor yang dinilai sukses menurunkan stunting adalah keberhasilan gerakan Agam Menyemai yang dicanangkan Bupati Aga Indra Catri sejak pertama dilantik. Berkat gerakan Agam Menyemai, masyarakat memiliki ketahanan pangan sehingga bisa terhindar dari gejala kekurangan pangan. Selagi masyarakat bersedia mengisi pekarangan dengan tanaman, maka kebutuhan pangannya pasti terpenuhi.

Dalam banyak kesempatan, Indra Catri selalu memberikan penekanan tentang pentingnya Agam Menyemai untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Selain itu, dia juga mengharapkan agar nagari menjadi rumah pertama yang bisa mengatasi berbagai maslah yang dihadapi masyarakat, termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan.

Saat pelantikan Wali Nagari pada 26 Desember 2019, Indra meminta nagari untuk memfokuskan pengelolaan dana nagari pada masalah gizi dan kesehatan anak. Pemkab Agam siap memberikan dukungan pada alokasi dana nagari untuk perbaikan kualitas hidup masyarakatnya.

"Di Agam ini setidaknya ada sekitar 26 persen penderita stunting, hal itu disebabkan kurangnya asupan gizi yang dimakan sejak mengandung hingga masa pertumbuhan. Yang terpenting masalah gizi, pendidikan dan Agam Madani harga mati," kata Indra.

Dia berharap nagari bisa menjadi pelindung masyarakatnya sehingga tidak ada lagi anak yang menderita kurang gizi. Setiap nagari dibekali dengan kebijakan fiskal yang sangat fantastis, yaitu dana nagari yang bersumber dari APBN dan alokasi dana nagari dari APBD.

Saat menggelar rapat koordinasi dengan Dewan Ketahanan Pangan di Agam, Indra Catri juga meminta semua organisasi perangkat daerah (OPD) agar fokus mengatasi gizi buruk, sebab ini sesuai dengan jargonnya saat kampanye yakni “tidak ada perut tidak berisi, punggung tidak tertutup.”

”Beberapa tahun lalu kita melahirkan inovasi Agam Menyemai, dengan jargonnya nan di laman untuak dimakan nan di parak baok ka pakan. Ini sebagai upaya untuk menciptakan gizi di mana-mana,” katanya.

Agam Menyemai tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan status gizi keluarga. Gerakan ini juga sangat bermanfaat saat terjadi bencana alam. Sebagai wilayah yang menjadi outlet dari banyak bencana alam, masyarakat Agam mesti mempersiapkan kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana.

Ketika bencana terjadi, masyarakat tidak harus bergantung pada pasokan makanan dari luar, yang kebanyakan di antaranya adalah mie instan. Masyarakat bisa mengandalkan pekarangan, serta kebun untuk menyuplai makanan. Mereka tidak perku khawatir akan kehabisan bahan makanan sebab di sekelilingnya terdapat banyak sumber makanan.

Aspek kenaikan harga barang (inflasi) di Kabupaten Agam relatif stabil. Berdasarkan Laporan Bank Indonesia dalam lima tahun terakhir trend inflasi terus mengalami penurunan. Walaupun terjadi lonjakan yang tinggi pada tahun 2013 (10,87 persen) namun angka ini terus menurun hingga pada tahun 2017 yaitu pada angka 1,03 persen.

Keberhasilan usaha mengatasi inflasi ini sejatinya merupakan hasil dari kebijakan optimalisasi lahan dijadikan sebagai sebuah solusi konkret oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah nagari.

Daya tahan ekonomi daerah juga terbentuk. Beberapa komoditi unggulan juga mengalami surplus dalam perdagangan. Agam Menyemai berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui inovasi-inovasi baru dan memperbarui kembali usaha petani yang bergerak di lapangan pertanian, perkebunan, dan perikanan.

Inflasi bisa dikendalikan karena dua penyebab inflasi berhasil dipertahankan harganya. Dua komoditas itu adalah beras dan cabai. Agam menyiapkan dua komoditas itu dan didistribusi ke sentra ekonomi yakni Kota Padang dan Kota Bukittinggi.

Inflasi tidak berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat, karena kecenderungan masyarakat lebih memilih mandiri untuk menanam kebutuhan pokok, ketimbang membeli di pasar. Sehingga, Kabupaten Agam tidak termasuk daerah yang mengalami inflasi ekonomi.

Sejak gerakan Agam menyemai bergulir, areal lahan yang digunakan untuk sawah kian bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, di tahun 2009, jumlah areal lahan padi adalah 55.476 hektar. Di tahun 2015, jumlahnya meningkat menjadi 60.371 hektar. Di tahun 2018, jumlah areal lahan kian bertambah hingga menjadi 74.869 hektar.

Tak hanya padi di sawah. Produksi tanaman perkebunan juga bertambah dengan pesat, khususnya kelapa sawit, kelapa, kakao, tebu, kulit manis, pinang, kopi, cengkih, karet, dan tanaman lainnya.

Dalam banyak kesempatan, Indra selalu menjelaskan empat poin penting yang hendak dicapai melalui program Agam Menyemai. Empat hal itu adalah ketahanan, kecerdasan, kesalehan, dan peradaban, sebagaimana bisa dilihat pada grafik:



Ketahanan pangan adalah kemampuan masyarakat untuk bertahan di segala bidang. Mulai dari sandang, pangan, papan, secara berkelanjutan. Dalam artian, masyarakat Agam berkecukupan di bidang sandang, pangan, dan perumahan yang sehat. Masyarakat bisa memenuhi keutuhannya, tanpa harus tergantung pada impor atau pasokan dari luar.

Jika pangan mengalami krisis, maka bisa membawa pengaruh pada stabilitas dan dapat meruntuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.

Makanya, pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar.

Kecerdasan adalah pemenuhan segala potensi, baik intelektual, emosional, maupun spiritual agar seseorang bisa memaksimalkannya untuk kemajuan daerah. Kecerdasan bisa diraih jika ketahanan warga sudah tercipta. Kecerdasan erat kaitannya dengan gizi makanan yang seimbang. Program Agam Menyemai akan menyediakan pangan kebutuhan warga yang kemudian meningkatkan kesehatan.

Gizi dan pangan adalah kunci. Saat gizi terpenuhi, maka pikiran seseorang bisa lebih berkembang. Sebaiknya, ketika gizi dan pangan tidak terpenuhi, maka seseorang tidak bisa memaksimalkan semua potensinya untuk melakukan kegiatan yang positif.

Pemkab Agam memiliki program Agam Cerdas yang bertujuan agar semua anak-anak dan masyarakat memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Indra Catri berkali-kali mengatakan: “Tidak boleh ada anak Agam yang tidak bersekolah karena tidak punya biaya.” Pemerintah harus hadir dan mencarikan solusi agar semua anak memperoleh hak untuk belajar di bangku sekolah.

Kesalehan menunjukkan kualitas spiritualitas seseorang yang diwujudkan dalam bentuk menjalankan semua ritual agama, serta memiliki relasi yang baik dengan semua orang. Kesalehan memiliki dua dimensi yakni kesalehan vertikal yakni menjalankan ibadah kepada Allah, dan kesalehan sosial yakni berbuat baik dan menjalin hubungan yang positif dan bermakna dengan siapa saja.

Kesalehan mendorong munculnya kesadaran sosial untuk memberikan kontribusi positif pada pelaksanaan pembangunan. Melalui Agam Menyemai, masyarakat bisa mencurahkan waktunya untuk beribadah, serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada manusia lainnya. Ketika itu tercipta, dipastikan Agam akan menjadi sebuah daerah yang damai, tenteram, dan agamis.

Peradaban menunjukkan ketinggian dan aktualisasi kebudayaan. Peradaban adalah puncak-puncak dari ketinggian budaya, serta praktik-praktik terbaik yang ada di satu masyarakat. Peradaban menjadi sesuatu yang dibangun, dipelihara, kemudian diwariskan kepada generasi mendatang.

Jika generasi hari ini membangun landasan yang kuat, maka masa depan Agam akan menjadi jauh lebih baik. Jika generasi hari ini mendapatkan pangan dan gizi yang cukup, mereka akan melahirkan generasi yang juga baik, yang nantinya akan menjalankan amanah kebaikan serta petuah nenek moyang demi menjadikan Agam lebih baik.

Jika saja ketahanan pangan, kecerdasan, dan kesalehan sudah dimiliki masyarakat Agam, diharapkan mereka akan menjadi warga yang memiliki peradaban yang terpuji. Hal itu juga akan terlihat dari budaya sehat dan bersih.


Sekuntum Harapan Bersemi di Agam

Di tahun 1952 Bung Karno telah menjelaskan betapa pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat yakni pangan. Kata Bung Karno, pangan adalah soal hidup dan matinya satu bangsa. Suatu bangsa akan berkembang jika bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Sebaliknya, suatu bangsa akan tenggelam ketika tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan.

Bung Karno mengatakan:

”Aku Bertanja kepadamu, sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, malapetaka dalam waktu yang dekat kalau makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidoep dan mati, kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu ketjil minat untuk studie ilmu pertanian dan perchewanan?.... Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak ”aanpakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka”..... 

Pada masa itu, Bung Karno telah mengingatkan pada hal yang sangat penting yaitu pertanian sebagai persoalan bangsa dan negara. Dia ingin Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat dan berdikari.

Kini, pesan itu terasa seperti tujuan yang susah dicapai. Fakta menunjukkan bahwa saat ini kita kembali menjadi importir pangan. Di era setelah 1984, kita berhasil mencapai swasembada beras. Pada tahun 1998 kembali mengalami krisis pangan.

Pada tahun 2003, pemerintah berhasil mengatasi krisis pangan yang terjadi pada tahun 1998 tersebut dengan menggenjot produksi pangan domestik melalui berbagai kebijakan yang komprehensif. Impor beras pernah mencapai puncaknya pada tahun 1998, sebesar 5,8 juta ton, dan 4 juta ton pada tahun 1999 yang Indonesia menjadi importir beras terbesar di dunia.

Indonesia juga masih rutin menjadi importir gula dengan tingkat ketergantungan pada impor mencapai 30 persen dan pernah menjadi nomor dua importir terbesar di dunia setelah Rusia.

Padahal Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada tahun 1930an. Fakta lain, sebagai negara pemakan tempe dan tahu terbesar di dunia, kita setiap tahun mengimpor kedelai dengan jumlah yang sangat besar. Bayangkan, impor kedelai kita mencapai angka Rp 4,7 Triliun. Tingkat ketergantungan terhadap kedelai impor mencapai 70 persen.

Demikian pula dengan daging, impor daging mencapai 3.500 ton dan impor sapi bakalan mencapai 350.000 ekor dengan tingkat ketergantungan sebesar 25 persen. Bahkan untuk susu dan bawang putih tingkat ketergantungan pada impor mencapai 90 persen.

Selain itu, Indonesia masih mengimpor buah-buahan dan sayuran dengan jumlah yang tidak sedikit

Di Indonesia yang disebut dengan revolusi hijau pun juga ditujukan untuk meningkatkan produksi padi. Padahal Indonesia mempunyai potensi menghasilkan bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian dan kacang-kacangan yang sangat besar.

Program diversifikasi pangan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan tujuan semula yaitu memanfaatkan sumber pangan domestik yang sangat kaya dan beragam. Diversifikasi yang berhasil dengan luar biasa justru diversifikasi ke produk berbasis terigu yang notabene berbahan baku gandum yang tidak dapat di produksi dengan optimal di Indonesia.

Tingkat konsumsi roti dan mi, yang bahan bakunya gandum, bahan makanan yang belum dapat kita produksi sendiri, meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya sejak tahun 1996 setiap tahun kita mengimpor gandum 4,5 juta ton. Mulai pada tahun 1990an terjadi pergeseran bahan pangan pokok, beras mulai disaingi oleh gandum yang permintaannya terus meningkat.

Akhir akhir ini, dengan kecepatan yang tinggi semakin banyak rakyat Indonesia mengonsumsi roti dan mie, yang bahan bakunya tepung gandum, bahan makanan yang masih terbatas kita produksi sendiri. Jenis-jenis makanan Eropa dan Amerika berupa roti, hamburger, dan juga makanan Jepang serta India deras sekali merasuk ke masyarakat kita khususnya golongan berpenghasilan tinggi.

Pergeseran ke gandum seharusnya mengakibatkan konsumsi per kapita beras menurun dan tentunya konsumsi gandum meningkat. Tetapi dalam kenyataan tidak demikian, konsumsi beras per kapita tetap tinggi yaitu 130 kg/kapita/tahun dan konsumsi tepung gandum atau produk berbahan baku tepung terigu juga meningkat.

Tidak ada yang salah dalam peningkatan konsumsi gandum sebagai bahan pangan berupa tepung, namun kecenderungan ini harus diikuti dengan perubahan dalam prioritas insentif dan kebijakan serta fasilitasi pemerintah dalam upaya diversifikasi produksi sumber bahan pangan yang dapat diolah menjadi tepung.

Jika Indonesia ingin bangkit dari ketergantungan, saatnya belajar pada berbagai insiatif lokal yang tumbuh dari bawah. Saatnya Indonesia belajar dari Agam untuk menghadirkan spirit kemandirian pangan sebagai gerakan yang melibatkan banyak orang. Saatnya menyerap hikmah dari Agam yang menggalakkan Agam Menyemai demi memaksimalkan setiap jengkal wilayahnya agar menjadi lahan produktif.

Pemerintah Agam di bawah orkestra birokrasi yang dipimpin Indra Catri menjadi teladan baik dalam hal bagaimana kolaborasi, kerja sama, dan kemandirian. Indra Catri meletakkan satu landasan kuat yang seharusnya bisa diserap semua pihak, termasuk pemerintah Indonesia. Beberapa hikmah yang bisa dipetik dari Agam adalah:

Pertama, kemandirian. Setiap bangsa besar selalu melalui trajektori yang sama yakni kemandirian. Kata Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri. Bangsa yang bisa mengusahakan kebutuhan pangan untuk warganya. Bukan dengan cara ketergantungan pada bangsa lain, melainkan memanfaatkan setiap jengkal tanahnya untuk menanam, kemudian memanen.

Agam Menyemai menjadi inspirasi sebab memosisikan semua penduduk Agam sebagai subyek yang memiliki kesadaran untuk menggerakkan perubahan sosial. Mereka tidak ingin menjadi ayam yang mati di lumbung, tetapi ingin memaksimalkan lumbung dan wilayahnya untuk kemajuan bersama.

Agam Menyemai laksana lokomotif yang menarik gerbong kemajuan masyarakat. Jika hal-hal dasar bisa dipenuhi, barulah orang bisa berbicara banyak aspek kemajuan lainnya. Saat pangan terpenuhi, seseorang bisa menciptakan generasi cerdas, memiliki akhlak yang baik, dan kelak akan memakmurkan negeri.

Kedua, kolaborasi. Di abad ke-21, organisasi besar adalah organisasi yang memiliki spirit kolaborasi. Jika ingin besar, maka orang-orang mesti berkolaborasi. Ada banyak alasan mengapa manusia harus berkolaborasi. Di antaranya adalah manusia tidak bisa melakukan semua hal sendirian, perlunya membangun jaringan dan kemandirian, serta perlunya saling menginspirasi.

Pebasket hebat Michael Jordan berkata: “Competition makes us faster, Collaboration makes us better.” Kompetisi menjadikan kita lebih cepat, tetapi kolaborasi atau kerja sama menjadikan kita lebih baik.

Semangat kolaborasi itu bisa dilihat pada Agam Menyemai yang dikawan Indra Catri. Gerakan ini bukan hanya visi dan misi seorang kepala daerah, tetapi visi bersama untuk membawa Agam menjadi lebih. Tujuan bisa dicapai jika semua pihak bisa berkolaborasi dan bekerja sama, serta memaksimalkan semua potensi.

Ketiga, gerakan. Konsep gerakan sosial, sama halnya dengan konsep jamaah. Seorang pemimpin adalah seorang imam yang memberikan arahan kepada makmum untuk bergerak bersama. Konsep gerakan meniscayakan proses yang kolektif, bukan individual. Semua orang memiliki visi bersama sehingga semuanya bergerak mengikuti arahan yang sama.

Indra Catri membedakan antara program dan gerakan. Program hanya dilaksanakan sekali, setelah itu belum tentu dilaksanakan lagi. Program hanya terkait satu isu yang sifatnya jangka pendek. Sedangkan gerakan sosial meniscayakan proses yang sifatnya berkelanjutan, dan jangka panjang.

Melalui gerakan, satu masyarakat tidak hanya memastikan kebutuhan pada satu masa terpenuhi, tetapi juga ada konsep masa depan. Hari ini orang-orang akan menyemai, kelak orang-orang akan memanen. Inilah konsep keberlanjutan dalam ekonomi atau sustainable economy yang tidak cuma menjawab masa kini, tetapi ada keberlanjutan dengan masa depan.