Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Momen Haru Hajime Moriyasu


DI TENGAH sorak-sorai dan pekik kemenangan membahana di angkasa, lelaki Jepang itu bergerak menuju tepi lapangan. Dia memandang ke arah sebagian penonton yang tertunduk pilu. Pria itu, Hajime Moriyasu, langsung membungkuk. Dia melakukan ojigi, sebagai tanda permintaan maaf.

Semua penonton di stadion maupun di jagad maya terkesima. Di abad 21, pria itu serupa samurai yang baru saja menyelesaikan pertempuran. Tim samurai biru yang dipimpinnya telah bertarung tak kenal lelah. Mereka kalah terhormat setelah seluruh jiwa raga dan tulang dibanting dalam pertempuran.

Bermain di Al Janoub Stadium, Senin (5/12) malam, timnas Jepang unggul 1-0 di babak pertama berkat gol Daizen Maeda pada menit ke-43. Sayang, keunggulan tersebut langsung dibalas Kroasia di awal babak kedua lewat gol Ivan Perisic pada menit ke-55, skor menjadi 1-1.

Di babak adu penalti, kiper Kroasia, Dominik Livakovic tampil luar biasa dengan menghalau tiga penendang penalti dari para pemain Jepang.

Hajime Moriyasu membungkuk, lalu memberi penghormatan. Ia juga meminta maaf karena gagal membawa Jepang lolos ke 8 besar atau perempat final. Dia menunjukkan sikap ksatria dan jiwa besar, serupa oase di tengah warga dunia yang kian pongah dan tak mau mengakui kekalahan.

Tim yang diasuhnya telah menorehkan sejarah baru di kanvas sepakbola dunia. Timnya mengalahkan dua mantan juara dunia yakni Spanyol dan Jerman. Timnya juga bermain imbang melawan Kroasia yang tampil fantastis di Piala Dunia edisi sebelumnya.

Setelah melakukan aksi membungkuk itu, dia pun membuat pernyataan saat konferensi pers. “Ini adalah era baru. Mereka menunjukkan pada kami era baru masa depan sepakbola Jepang,” katanya.

“Para pemain bisa berpikir untuk bersaing melawan seluruh dunia dari level yang sama," katanya sebagaimana dikutip BolaStylo dari Goal International.

"Kami mengalahkan Jerman, kami mengalahkan Spanyol, kami mengalahkan dua mantan juara dunia. Jika kami berpikir untuk maju daripada stagnan, masa depan pasti akan berubah.”

Dia melanjutkan, "Jika sepakbola Jepang terus ingin berada di panggung terbaik, saya yakin itu kami akan mampu mengatasi penghalang ini.”

Bola memang serupa bandul takdir yang mengayun dan menunjukkan banyak sisi kehidupan manusia. Di Qatar, bola telah menyingkap satu kekuatan karakter dari bangsa Jepang yang pantang menyerah dan selalu menyerap energi terbaik dari setiap peristiwa dan pengalaman.

Semalam, timnas Jepang kalah dalam pertandingan bola. Namun mereka menang dalam menunjukkan kekuatan hati untuk menyerap semua hikmah dan pengalaman lalu mengubahnya menjadi kekuatan.

Dalam buku Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis, Jared Diamond menjelaskan bagaimana Jepang di era Meiji bisa bangkit dari krisis dan menjadi bangsa pemenang. Bahkan saat luluh lantak di era Perang Dunia ke-2, Jepang bisa tetap tegak berdiri dan menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Kuncinya terletak pada sikap ojigi, mengakui kekalahan, memberi hormat, dan menancapkan tekad kuat untuk terus maju ke depan. Kita boleh jadi tak memenangkan pertarungan di masa kini. Tapi kita punya sekuntum asa untuk memenangkan masa depan.

Sebagaimana simbol pada bendera Jepang yang bermakna hinomaru. Di depan selalu ada matahari harapan. (*)



Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Albino yang Menjadi Ulama Besar di Tanah Buton

keturunan Hatibi Bula di Pulau Siompu (foto: Rustam Awat)

Sorak-sorai dan tepuk tangan membahana. Rombongan karnaval tenun dari Buton Selatan menjadi bintang pertunjukan. Di Kendari, 25 April 2019, dalam rangkaian acara HUT Sultra, rombongan dari Buton Selatan itu menyentuh hati banyak orang.

Buton Selatan menampilkan remaja dan pria dewasa albino. Mereka berbaris rapi dengan mengenakan pakaian tradisional Buton. Mereka berasal dari Pulau Siompu, yang masih masuk dalam wilayah administrasi Buton Selatan.

Media-media melansir cerita tentang populasi albino di Buton Selatan. Yang membanggakan, para warga albino itu disebut-sebut sebagai keturunan dari Hatibi Bula, seorang ulama besar tanah Buton yang tinggal di Pulau Siompu.

Hatibi Bula adalah seorang albino. Dia adalah khatib berkulit terang. Dia menjadi ulama besar yang kharismatis dan sangat terkenal di masa itu. Dia menjadi suluh yang mencerahkan masyarakat Siompu. Suaranya sebening embun saat sedang bermunajat

Buton Selatan punya banyak hal menarik. Selain banyaknya populasi albino, di sini terdapat warga yang bermata biru, seperti orang Eropa. Semuanya menjadi daya tarik wisata. 

Bagaimana kisah Hatibi Bula hingga menjadi ulama besar di tanah Buton?


*** 

Nama lengkapnya adalah La Ode Hasani Ibnu Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin Khalifatul Khamis. Bapaknya adalah La Kabumbu, sering disebut Mokobhaadiana, yang kemudian menjadi Sultan Buton ke-29, bergelar Muhammad Idrus Kaimuddin. Idrus memerintah mulai tahun 1824.

Hatibi Bula menikah dengan perempuan bangsawan Gowa Makassar bernama Karaeng Hayati, atau sebagian lain menyebutnya Karaeng Iyati yang adalah putri Raja Gowa Karaeng Yusuf.

Sumber-sumber lisan di Buton mengisahkan perkawinan La Ode Hasani atau Hatibi Bula dengan Karaeng Hayati adalah sebagai pertanda kedekatan hubungan Gowa dengan Buton di masa itu. Mula-mula mereka saling mengenal dalam masjid di pesisir kampung Butung,  Makassar, kemudian memutuskan menikah.

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Hatibi Bula tumbuh dalam binaan dan didikan langsung ayahnya dalam sebuah madrasah yang dinamainya Zaawiyah. Dibawah asuh langsung ayahnya, ia diajari pendidikan moral dan pengetahuan agama, khususnya tasawuf terutama Khalwatiyah Sammaniyah aliran tarikat dari Syaikh Muhammad bin Syais Sumbul Al Makki seorang tokoh tasawuf timur tengah terkemuka di mana ayahnya Muhammad Idrus Kaimuddin berguru kepadanya.

Hatibi Bula tumbuh menjadi anak yang cerdas. Kedalaman dan keluasan pengetahuan agamanya melampaui umurnya yang masih belia. Tak hanya berpengetahuan, ia juga fasih berbahasa Arab dalam praktiknya. Banyak kitab-kitab Arab dipelajarinya. Bahkan kitab suci Al-Quran telah ia khatamkan ketika usianya masih belia betul, sebelas tahun. 

Dia mendapat nama La Ode Hasani, yang merupakan cucu Nabi Muhammad SAW. Sultan Idrus Kaimuddin menitip harapan yang besar agar kelak anaknya itu menjadi juga pemimpin, paling tidak pemimpin dalam agama, pemimpin umat, sesuatu yang kelak memang terbukti benar adanya. 

La Ode Hasani menjadi pemimpin agama dan imam di masjid Siompu, ia lalu diangkat menjadi Khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton.

salah satu keturunan Hatibi Bula

La Ode Hasani muda menghabiskan waktunya dalam tafakur dan syiar Islam di pulau Siompu. Di Pulau yang kelak menjadi tempat tinggalnya hingga wafat itu, ia menjadi imam masjid sekaligus mengajarkan agama Islam. 

Ia dikenal sebagai ulama besar dengan pengetahuan keislaman yang luas. Ia juga tersohor sebagai ulama bersuara merdu. Ketika dia mengaji dan memimpin salat, suaranya sangat merdu. Banyak orang berbondong-bondong datang ke Masjid hanya karena mendengar suara azannya yang begitu indah.

Pernah pada suatu masa, Sara Hukumu di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton memerlukan seorang pandai untuk menduduki jabatan Khatib. Kadie-Kadie (desa) kemudian disisir untuk mencari orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan itu. 

Barulah di Siompu ditemukan orang paling tepat. Dialah La Ode Hasani, Imam Masjid Siompu. Dia dibawa ke Wolio dan dilantik menjadi khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton. Karena jabatan dan kulitnya yang putih, dipanggillah ia sebagai Hatibi Bula.

Jabatannya sebagai Khatib di masjid Agung Keraton Kesultanan Buton itu mengharuskannya sementara meninggalkan pulau Siompu untuk tinggal di Wolio, yang merupakan ibukota Kesultanan Buton. Murid yang dianggapnya paling mampu ditunjuk untuk menggantikannya dalam memimpin dakwah syiar Islam di Masjid Siompu. 

Setelah beberapa tahun menjabat sebagai Khatib di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton, La Ode Hasani atau Hatibi Bula merasa dirinya banyak kekurangan dalam pemahaman ilmu agama. 

Penguasaannya terhadap ilmu tarikat dianggapnya masih dangkal. Dia berpikir untuk pergi menuntut ilmu. Dia ingin belajar di sumbernya ilmu-ilmu agama di tanah suci Makkah. Sebagaimana ayahnya, ia memerlukan juga seorang Mursyid yang sanad keilmuannya jelas tersambung langsung ke baginda Nabi Muhammad Salallahu Aalaihi Wassalam.

BACA: Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid di Burangasi


Ia kemudian memberanikan diri menyampaikan keinginannya itu kepada ayahnya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Setelah menimbang dan memberinya masukan sebagai nasihat, Sultan Idrus Kaimuddin akhirnya memberinya izin dengan disertai syarat yang tak boleh diabaikannya. 

Syarat itu sebagaimana syarat umumnya orang tua ketika melepas anaknya pergi menuntut ilmu: temukanlah guru yang benar sebagai Mursyid, sabar di negeri orang dan tekun-tekunlah belajar. 

Betapa girang La Ode Hasani mendapatkan restu dan izin ayahnya. Dia sangat gembira. Dia membayangkan tanah suci Makkah, kediaman para Wali Auliah, tempat sebaik-sebaik menimba ilmu agama, tempat mereka para mahaguru, para Mursyid yang suci. 

Sembari menunggu kapal yang akan membawanya ke Makassar, ia mulai mempersiapkan bekal dan keperluannya selama nanti di sana.

Kapal pengangkut beras dari kampung Tira Sampolawa telah sandar di pelabuhan Baubau, La Ode Hasani akan menumpang di kapal itu, membawanya sampai ke Makassar. Di sepanjang pelayaran terus saja ia mengaji, bahkan juga mengajari Islam bagi para kru dan penumpang kapal lainnya. 

Para kru dan penumpang kapal sangat senang. Hatibi Bula ikut juga sebagai penumpang bersama mereka. Dirasa waktu begitu cepat berlalu, masih ingin bersama Hatibi Bula tetapi kapal telah sampai di pelabuhan Makassar.

Setiba di Makassar ternyata kapal menuju ke Tanah Suci belum ada. Dalam penantian menunggu kapal di Kampung Butung Makassar, Hatibi Bula  tetap menjadikan Masjid di Kampung Butung Makassar sebagai tempat  untuk menjalani hidup keseharian. Di masjid itu,  ia mengaji sebelum dan sesudah salat Magrib, Isya, dan Subuh. 

Pelabuhan Makassar tempo doeloe

Pada waktu Hatibi Bula mengaji, banyak orang yang heran karena suaranya sangat bagus dan memukau. Banyak orang yang senang dengan  Hatibi Bula, termasuk putri Karaeng Gowa yang bernama Siti Iyati. Dia sering dipanggil Karaeng Iyati, sebagai lazimnya panggilan untuk bangsawan di Makassar. 

Karaeng Iyati pun sangat senang bahkan jatuh cinta kepada Hatibi Bula. Karaeng Iyati sangat rajin untuk datang sembahyang di masjid. 

Di lain kesempatan Hatibi Bula ingin mengumandangkan azan di setiap waktu salat,  namun harus seizin Karaeng Gowa. Setiap meminta izin untuk mengumandangkan azan selalu ditolak oleh karaeng Gowa karena Hatibi Bula dianggap sebagai pendatang yang mirip dengan orang Belanda. Kulitnya putih albino dan matanya biru. 

Seiring perjalanan waktu, lama kelamaan Hatibi Bula diperkenankan untuk mengumandangkan azan yang tadinya dipermasalahkan. Dalam mengumandangkan azan semua orang ada di sekitar Masjid Kampung Butung berlomba-lomba datang ke masjid lantaran lantunan suara azan dari Hatibi Bula  yang begitu memukau sangat indah. 

Pada suatu waktu, Hatibi Bula diperkenankan untuk menjadi imam pada Salat Magrib dan Subuh di Masjid Kampung Butung. 

Kepiawaian dan kemerduan suara yang dilantunkan oleh Hatibi Bula  semakin menambah keakrabannya dengan Karaeng Iyati. Keakraban membuat mereka semakin dekat, menjadikan keduanya menjalin cinta.

Perjalanan cinta Hatibi Bula dengan Karaeng Iyati ternyata tidak direstui oleh Karaeng Gowa. Bahkan Karaeng Iyati  tidak diperkenankan lagi  untuk sembahyang di masjid Kampung Butung. Karaeng Gowa sudah mengetahui bahwa anaknya menjalin kasih dengan orang asing Hatibi Bula. 

Larangan itulah yang membuat Karaeng Iyati tertekan jiwanya dan kemudian jatuh sakit. Sakitnya Karaeng Iyati membuat Karaeng Gowa gelisah. Karaeng Iyati adalah anak satu-satunya perempuan. 

Segala macam obat dari tabib dan orang pintar yang ada di Kerajaan Gowa dipanggil untuk mengobati Karaeng Iyati. Tetapi tak seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Lalu Karaeng Gowa membuka sayembara bahwa barang siapa yang dapat menyembuhkan penyakitnya anaknya,  maka ia akan dikawinkan  dengan anaknya tersebut.

Mendengar ada informasi sayembara yang diadakan oleh Karaeng Gowa, Hatibi Bula pun berniat untuk mengikuti sayembara dan ia pun mendaftarkan diri. Dia pun diijinkan mengobati.  Karaeng Iyati langsung terbangun mendengar suara Hatibi Bula. Lalu Hatibi Bula membacakan doa pada air untuk diminum Karaeng Iyati. Selesai meminum air tersebut, Karaeng Iyati langsung meminta makanan dan seketika sehat saja badannya.

Setelah menyembuhkan Karaeng Iyati, Hatibi Bula  memohon kepada Karaeng Gowa untuk menepati janjinya. Namun Karaeng Gowa masih menunda-nunda untuk menepati janjinya. Hatibi Bula mencoba cara lain dengan  melamar Karaeng Iyati tetapi Sultan Gowa meminta mahar yang sangat tinggi yaitu 7 katepi/nyiru emas dengan maksud untuk menggagalkan  perkawinan. 

Dengan mahar sangat tinggi tersebut, Hatibi Bula memberitahu orang di tempat tinggalnya agar menyimpan karung sebanyak 7 karung di bawah tempat tidurnya pada malam Jumat. Pada pagi hari setelah bangun tidur,  karung tersebut telah berisi emas. Ketujuh  karung emas itulah dibawa ke rumahnya Karaeng Gowa untuk dijadikan sebagai mahar lamaran bagi Karaeng Iyati. Namun, lagi-lagi Karaeng Gowa masih menunda-nunda lagi perkawinan tersebut.

BACA: Teka-Teki Cinta di Bukit Lamando, Buton Selatan


Dengan penundaan tersebut, maka Hatibi Bula terpaksa membawa lari Karaeng Iyati ke Pulau Buton pada subuh hari sambil memohon kepada Allah SWT. Dia menghentakan kakinya ke tanah dan berkata, “Landaki Tanah,  Gomia Tanah,  Anee Dhangia Mopajerena."  Artinya: “Diinjak tanah, diisap tanah, jika ada yang mengejarnya.”

Dengan permintaan kesaktian itu, utusan Karaeng Gowa setengah mati untuk mengejar Hatibi Bula dan Karaeng Iyati. 

Setiba di Baubau, Hatibi Bula melapor kepada Ayahandanya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin bahwa ia telah membawa lari anaknya Karaeng Gowa. Utusan Karaeng Gowa sedang mengejar mereka dengan armadanya yang besar.

keturunan Hatibi Bula di Pulau Siompu

Sesudah melapor itu, pada malam harinya Hatibi Bula dan Karaeng Iyati langsung dibawa untuk diungsikan di Pulau Siompu. Pada malam itu juga armada Karaeng Gowa yang mengejar Hatibi Bula  tiba pula di perairan Baubau. 

Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin memerintahkan agar semua lesung, gong dan yang lainnya dibunyikan bersamaan bahwa seakan-akan Kesultanan Buton diserang dari darat. Mendengar suara tersebut  maka armada Sultan Gowa menyingkir dan berlabuh sementara ke Pulau Makassar, pulau kecil di dekat Baubau.

Keesokan harinya diadakanlah perundingan antara Sultan Buton dengan utusan Karaeng Gowa. Sultan Buton bersumpah  dengan memegang kitab suci Al Quran. Bahwa tidak ada anaknya Karaeng Gowa di Pulau Buton. 

Sumpah itu sengaja diucapkan oleh Sultan Buton  karena Hatibi Bula dan Karaeng Iyati telah berada di Pulau Siompu, pulau kecil di selatan Pulau Buton. Di Pulau Siompu Hatibi Bula dan Karaeng Iyati melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Mereka berketurunan dan tinggal menetap di sana sampai meninggalnya. 

Kini, keturunan Hatibi Bula terus bertambah. Banyak keturunannya yang albino. Mereka tetap dihormati masyarakat, sebab mengingatkan pada Hatibi Bula. Bahkan keturunan itu selalu membawa nama daerah Buton Selatan di berbagai acara budaya.

Keturunan Hatibi Bula tetap menjaga marwah leluhurnya Hatibi Bula yang terus dikenang sebagai sosok ulama besar yang menjadi guru bagi masyarakat siompu dan masyarakat Buton lainnya.


Catatan: Tulisan ini dibuat bersama budayawan La Yusrie dan Yadi La Ode



Si Rambut Putih di Kandang Banteng


PARTAI Amanat Nasional (PAN) hendak mencalonkan Ganjar dan Erick Thohir atau Ridwan Kamil. Demikian pula partai-partai dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Tapi, PDIP sampai sekarang belum ada tanda-tanda mencalonkan Ganjar. Partai ini terlihat tetap ingin mencalonkan Puan Maharani.

Publik bertanya-tanya, jika hendak menang, kenapa harus Puan? Apakah PDIP tidak ingin memenangkan pemilu agar tetap bisa mengeksekusi berbagai agenda kerakyatan?

Jika melihatnya dari sisi politik, tentunya sikap “kandang banteng” akan membingungkan. Tapi jika dilihat secara bisnis, keputusan itu sangat masuk akal. Ibarat bisnis, PDIP dan Demokrat punya pemilik saham tunggal. Sedangkan Golkar, PPP, dan PAN sudah sejak lama go public. Pemegang sahamnya dari banyak kelompok.

Yang dipikirkan pemilik saham mayoritas adalah tetap bertahta hingga kapan pun. Bahkan ketika meninggalkan partai pun, kendali harus tetap berada di tangannya biar bisa lengser keprabon dengan riang gembira dan bahagia.

Sebagai pemegang saham tunggal di PDIP, Megawati Sukarnoputri tahu kalau dirinya ada masanya. Kalaupun kelak harus tinggalkan partai, dia ingin regenerasi itu tidak keluar dari lingkarannya trah Sukarno.

Sejak dulu, para pemimpin, khususnya yang tumbuh dalam kultur Jawa, sangat peduli dengan siapa yang menggantikannya. Fenomena ini sering disebut wahyu keprabon.

Konon, Ken Arok pertama kali melihat cahaya di betis Ken Dedes, yang dianggapnya sebagai wahyu keprabon atau semacam legitimasi supranatural yang menjadi tanda seseorang akan menjadi pemimpin.

Di era Orde Baru, konon Suharto melihat wahyu keprabon pada diri Tien Soeharto. Di akhir kepemimpinannya, Soeharto melihat wahyu keprabon turun ke Sarwo Edhie Wibowo.

Soeharto tak rela menyerahkan kuasa pada Sarwo Edhie. Dia memilih mengasingkan Sarwo Edhie dari ranah politik. Dia lupa kalau wahyu keprabon itu tetap di keluarga Sarwo Edhie, yakni turun ke menantunya Susilo Bambang Yudhoyono.

Megawati adalah figur yang pandai membaca tanda-tanda alam. Di masa Orde Baru, dia yakin orde itu akan runtuh. Dia memimpin barisan oposisi dan berdiri di garis depan garda perlawanan karena yakin Soeharto akan tumbang.

Di tahun 2014, dia berani mencalonkan Jokowi karena yakin alam semesta telah memberikan dukungan. Dia tahu kalau tetap memaksakan diri maju, alam semesta tidak akan mendukungnya. Dengan mencalonkan Jokowi, partainya akan tetap menang pemilu sehingga dirinya akan selalu signifikan dalam proses politik.

Kini menjelang tahun 2024, dia tahu kalau dia tetap memaksakan Puan masuk arena, maka bertentangan dengan kehendak alam semesta. Publik ingin “Si Rambut Putih” akan masuk arena melalui kandang banteng.

Jika mencalonkan “Si Rambut Putih”, ada kekhawatiran kelak kendali partai akan bergeser dari kuasa Mega. Si Rambut Putih bisa berkoalisi dengan kubu oposisi di PDIP lalu mengambilalih kursi ketua umum. Dalam iklim demokrasi, pemilik saham mayoritas partai bisa terdepak jika alam semesta menginginkan itu.

Selain itu, Pilpres 2024 tidak sama dengan momen politik lain yang dilalui Megawati. Ini pilpres terakhir bagi politisi sepuh seperti SBY, Megawati, Jusuf Kalla, Surya Paloh, hingga Prabowo Subianto. Pilpres ini adalah transisi untuk mempersiapkan generasi baru yang akan mewarnai politik Indonesia masa depan.

Jika tidak mencalonkan Puan hari ini, bagaimana kelangsungan dinasti dan trah Sukarno?

***

Fenomena pelanggengan dinasti ini bukan hal baru di Indonesia. Dalam buku Notes on Java’s Regent Families, Heather Sutherland memaparkan bagaimana para elite Jawa mempertahankan kuasa dengan cara membangun dinasti.

Dalam buku yang diterjemahkan menjadi Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX (Komunitas Bambu, 2021), Heather mengurai berbagai upaya kolonial melanggengkan kekuasaan para elite Jawa. Politik dinasti terjadi saat kekuasaan dikuasai satu keluarga besar secara turun-temurun.

Sutherland menunjukkan bagaimana elite politik masa lalu menjaga lambang-lambang kebangsawanan dengan gelar-gelar. Gelar kebangsawanan akan didapatkan juga oleh keturunan yang menggantikannya.

Misalnya, bupati Magelang pertama tahun 1810 adalah RT Danoeningrat, kemudian penggantinya yang merupakan anaknya bergelar RAA Danoeningrat II di tahun 1862, dan seterusnya. Namun, nama gelar ini bisa berganti apabila dinasti politik tersebut terputus.

Selain itu, seorang elite akan menampilkan pakaian, gaya hidup, tempat tinggal, serta posisi yang memberinya akses untuk tetap menjaga warisan supremasi sebagai penguasa.

Di era Indonesia modern, kita bisa saksikan fenomena yang sama. Sukarno mewariskan namanya jadi nama belakang anak-anaknya agar kelak bisa tampil di tampuk politik. Megawati memberikan banyak posisi kepada Puan agar berproses dan segera matang demi memasuki kancah politik nasional.

Posisi yang penting membuat elite punya modal sosial untuk menjaga relasi dan jaringan dengan para pemilik modal sehingga bisa dikapitalisasi menjadi jejaring bisnis dan oligarki. Di masa lalu, elite yang loyal pada pemerintah kolonial akan mendapat garansi kekuasaannya akan langgeng.

Di masa kini, posisi pemerintah kolonial sudah diambil alih oleh banyak pemilik kapital. Mereka punya kuasa untuk menentukan siapa pemimpin, juga punya kuasa untuk menaikkan dan menurunkan pemimpin.

Nah, di titik ini, kita bisa paham kalau hasrat PDIP untuk mencalonkan Puan lebih disebabkan oleh proses regenerasi kuasa politik yang diharapkan tetap berada di trah keluarga Sukarno. Kuasa politik akan memengaruhi kuasa ekonomi, sekaligus memastikan seseorang tetap memiliki napas di arena politik sehingga kelak bisa memasuki arena kapan pun dia merasa siap.

***

Presiden Jokowi tampil di hadapan ribuan relawan. Dia kembali mengirimkan kode siapa yang hendak didukungnya. Dari beberapa peristiwa, sangat terlihat jelas kalau Jokowi tidak ingin mengulangi kesalahan Presiden SBY yang tidak menyiapkan penerus kekuasaan sepeninggalnya sebab hanya memberi ruang bagi keluarganya.

Politik kita memang emosional. Baik Presiden SBY dan Presiden Jokowi sama-sama ingin menyiapkan dinasti. Bedanya, SBY tidak sempat mempersiapkan rute jalan yang akan dilalui anaknya.

Namun politik kita juga rasional. Pengamat politik Ikrar Nusa Bakti menilai jika ada partai atau gabungan partai yang mengajukan capres-cawapres yang elektabilitasnya rendah, itu sama artinya partai itu melakukan bunuh diri politik.

Karena Pemilu 2024 ini era amat penting dalam perjalanan Republik menyongsong kepemimpinan generasi baru bangsa menjelang 100 tahun RI.

Jika Mega, Jokowi, Puan, dan Ganjar bisa kompromi, maka akan menjadi kekuatan yang dahsyat. Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang suka bermusyawarah dan kompromi. Jika PDIP berkoalisi dengan KIB di mana akan menjadi partai utama di dalam koalisi, maka kandidat yang diusung akan tak terbendung.

Jika PDIP mengajukan Ganjar, yang berpasangan dengan Ridwan Kamil ataupun Erick Thohir, maka tak ada yang bisa menandingi mereka. Kuasa politik dan kuasa modal akan berkelindan dan kembali menjadi langgam politik kita di abad kekinian.

Semua cincai, sekaligus cuan.



Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid di Burangasi, Buton Selatan

Patung Syaikh Abdul Wahid di Lapandewa, Buton Selatan

Jika saja tak ada dirinya, maka Islam tidak sampai ke Tanah Buton. Syaikh Abdul Wahid adalah penyebar Islam yang datang dari jauh. Pria bernama lengkap Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani adalah legenda. 

Dia membawa suluh Islam yang menerangi masyarakat Buton. Dia pun mengislamkan Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto yang bergelar Sultan Murhum. Dia juga mengubah haluan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan yang mengamalkan Islam.

Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara, kini wilayah Nusa Tenggara Timur. 

Dia lalu hijrah ke Pulau Batu Atas pada tahun 933H/1526M yang termasuk dalam pemerintahan Buton. Di Pulau Batu Atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). 

BACA: Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton


Imam Pasai menganjurkan Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menyebarkan agama Islam. 

Konon Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto terkenal dengan kesaktiannya dan bisa mengalahkan bajak laut. Karena, beberapa kali Kerajaan Buton coba ditaklukkan para bajak laut demi bisa menguasai perairan menuju Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah. 

Salah satu kesaktian Lakilaponto adalah kebal senjata tajam maupun peluru dan dia berhasil mengusir Labolontio, bajak laut bermata satu. 

Namun kesaktian sang raja tidak seberapa dengan kesaktian Syaikh Abdul Wahid yang akhirnya menjadi gurunya. 

Syaikh Abdul Wahid yang terkenal sakti berhasil menjadikan Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto menjadi muridnya. Sang Raja akhirnya masuk Islam yang bergelar Sultan Murhum atau Sultan Muhammad Kaimudin. 

Sultan Murhum merupakan Raja Buton pertama yang menerima pengaruh Islam setelah berkuasa lebih kurang 20 tahun. Otoritas dan keteladanan raja memudahkan dijadikannya Islam sebagai agama resmi bagi orang Buton dan Muna. 

Saat itu terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama. Sehingga Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis oleh Khalifah Ustmaniyah, 

Ketika itu Khilafah Ustmaniyah di Istanbul Turki sebagai pusat pemerintaahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton yang menjalankan secara penuh syariat islam dalam sistem pemerintahannya. 

Sampai sekarang masih terdapat beberapa peninggalan Syaikh Abdul Wahid di Kesultanan Buton. Di antaranya adalah Benteng Keraton Buton, yaitu benteng pertahanan yang mengelilingi istana sultan dengan berbagai alat kelengkapannya. 

Bermula dari Burangasi

Ada banyak kisah mengenai Syaikh Abdul Wahid saat pertama kali tiba di Burangasi, kini masuk wilayah Buton Selatan. Masyarakat memiliki banyak ingatan kolektif yang dituturkan turun-temurun mengenai ulama ini. 

Dia mendarat pertama kali di tanah Burangasi, tepatnya di pantai Rampea. Sang Syaikh menyusuri pesisir pantai untuk mencari penghuni tempat yang baru disinggahinya. 

Wali Allah ini berjalan ke arah utara menuju Matano Tai. Di sana, ia bertemu gurunya. Sang guru memberinya nasihat sebelum pergi dan menghilang di tengah deburan ombak.   

Syaikh Abdul Wahid terkejut melihat gurunya yang menghilang begitu saja. Bersamaan dengan itu, Al Qur’an yang ia pegang lepas dalam genggaman dan jatuh ke dasar laut. Tempat jatuhnya Al Qur’an itu dikenal dengan nama Tanjung Pemali. 

Satu sudut pemandangan di Burangasi, Buton Selatan

Tiba waktu salat, Wali Allah ini segera mengumandangkan azan dengan suara merdu. Seluruh makhluk yang mendengarnya turut berzikir memuji kebesaran Ilahi. Lantunan azan itu didengar La Buntouno, masyarakat Burangasi yang berhari-hari tinggal di hutan karena sedang berburu rusa. 

Ketika memasuki waktu-waktu salat, ia diam membisu, menyimak dengan teliti azan Syaikh Abdul Wahid. Sang Pemburu ini terkesima dengan syair-syair azan dan kemerduannya. Hingga suatu ketika, La Buntouno meninggalkan hutan menuju perkampungan warga. 

Di tengah perkampungan Burangasi, pemburu itu segera menceritakan apa yang ia dengar. 

“Kamaipo agori, ndau o pindongo suara mia bundo. Mia ia haleo baumelamo laguno. Nopilagu lima mpalinga a alo. Laguno wange, nongea labaru.. labaru.. labaru..” 

Kepala suku dan masyarakat setempat penasaran dengan cerita sang pemburu ini. Mereka mengutus La Buntouno dan beberapa warga setempat untuk menjemput orang baru yang melantunkan nyanyian merdu itu. 

BACA: Kisah Raja Bugis di Pulau Buton


Di hadapan sang Syaikh, La Buntouno memohon agar dia ikut bersama mereka ke perkampungan Burangasi. Namun, Wali Allah ini tak menerima begitu saja. Kedekatannya dengan Allah Ta’ala membuat Syaikh Abdul Wahid tahu, kalau mereka belum tersentuh dengan kemuliaan Islam. Kehidupan masyarakatnya masih lekat dengan sesuatu yang diharamkan Sang Pencipta. 

Syaikh Abdul Wahid memberi syarat kepada La Buntouno dan masyarakat lainnya –agar membersihkan kampung mereka dari segala jenis najis dan sesuatu yang diharamkan Sang Pencipta, seperti anjing dan babi. 

Karakter masyarakat Burangasi yang mudah menerima hal-hal baru, patut diberi apresiasi. Pasalnya, syarat yang diajukan Syaikh Abdul Wahid dikerjakan dengan penuh kepatuhan. Warga yang memiliki kandang babi segera dirobohkan dan hewan peliharaannya dilepas begitu saja. 

Perintah Sang Syaikh sudah dilakukan, La Buntouno diutus kembali untuk memberitahu hal itu. Syaikh Abdul Wahid bahagia dan terharu dengan karakter masyarakat Burangasi yang mudah menerima ajaran baru. Menurutnya, ini adalah awal yang baik untuk memperkenalkan risalah Islam pada mereka. 

Beberapa saat kemudian, Wali Allah itu mengarahkan tangannya ke langit. Ia berdoa kepada Allah. Tongkatnya ditancapkan ke tanah. Ia meminta agar diturunkan hujan lebat demi membersihkan perkampungan dari segala bentuk najis yang dilarang oleh agama. 

Mengingat, saat itu masyarakat Burangasi menganut kepercayaan agama lokal, maka tentu saja banyak tulang-tulang babi yang berserakan di tengah perkampungan. Beberapa saat kemudian, angin mendesau, petir menggelegar. Hujan turun dengan kekuatan penuh mengguyur perkampungan. Semua tulang-belulang terbawa arus hujan. Perkampungan Burangasi bersih dari tulang-tulang babi.

Sang Syaikh dengan perasaan senang menerima ajakan La Buntouno. Kedatangannya disambut dengan penuh sukacita oleh masyarakat Burangasi. Sosoknya yang berkharisma, tutur kata yang lembut dan budinya yang luhur, membuat Syaikh Abdul Wahid mudah diterima dan langsung berbaur dengan masyarakat setempat. 

Setiap waktu salat tiba, Sang Syaikh selalu melantunkan azan dengan suara merdu dan mendirikan salat di atas sebuah batu. Orang-orang menyebutnya Koncu Labatu Puaro. Tentu saja, masyarakat setempat bingung dengan tingkahnya –dan mengira Syaikh Abdul Wahid sedang bersenandung. Anehnya, nyanyian berulang-ulang itu belum pernah mereka dengar sebelumnya.

Syaikh Abdul Wahid memahami kebingungan masyarakat Burangasi. Tanpa menunggu pertanyaan, Wali Allah ini perlahan menjelaskan tentang ritual yang ia lakukan. 

Yang dikira nyanyian itu adalah azan. Sementara gerakan berulang-ulang yang ia lakukan setelah azan adalah salat. Itulah beberapa ibadah yang diperintahkan dalam ajaran Islam. 

Penduduk Burangasi takjub dengan penjelasan Syaikh Abdul Wahid. Mereka minta diajari. Dengan bahasa santun dan tutur kata yang lembut, Wali Allah ini menolaknya. Ia menegaskan, sebelum belajar tata cara ibadah dalam Islam, maka terlebih dahulu mereka harus  bersyahadat; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi dan utusan Allah. 

Masyarakat Burangasi menyanggupi syarat itu. Mereka berbondong-bondong mengucapkan syahadat sesuai panduan Syaikh Abdul Wahid. Tak perlu waktu lama bagi Wali Allah ini untuk mengislamisasi masyarakat Burangasi. Sang Syaikh begitu gembira dan melantunkan syukur kehadirat Allah atas antusias masyarakat untuk mengenal Islam. 

Masyarakat Burangasi begitu semangat dalam mempelajari Islam. Realitas itu membuat Sang Syaikh berpikir untuk membangun surau sebagai pusat belajar Islam. 

Tak menunggu lama, ia pun memerintahkan masyarakat bergotong-royong membangun surau itu. Penduduk setempat menyanggupi seruannya. Semua sumber daya dikerahkan untuk mempercepat pembangunannya. 

Kebahagiaan masyarakat membuncah dalam jiwa ketika menyaksikan bangunan penting, simbol masuknya Islam di tanah Burangasi berdiri kokoh dan gagah berani. Pada zaman dulu, masyarakat setempat menamai bangunan itu dengan ‘Langgara' dan sekarang kita kenal dengan sebutan 'Baruga I Liwu'.

Langgara menjadi tempat Syaikh Abdul Wahid untuk mengajarkan Islam. Karena al-Qur’an yang menjadi pegangannya jatuh di Tanjung Pemali, maka ia mengajarkan Qur'an dan pokok-pokok Islam secara lisan; dari mulut ke mulut. Proses pengajaran Islam secara lisan itu oleh masyarakat Burangasi menyebutnya Kawalimboba. Tak lupa, Syaikh Abdul Wahid juga melakukan sunatan massal untuk menyempurnakan keislaman mereka. 

Waktu terus berjalan, matahari dan rembulan silih berganti menyapa semesta. Masyarakat Burangasi perlahan hidup dalam nuansa Islam. Ketika azan berkumandang, mereka berbondong-bondong mendirikan salat berjamaah. 

Syaikh Abdul Wahid menganggap perlu ada benteng kokoh yang mengelilingi surau. Pemikiran itu segera diutarakan. Masyarakat setempat menerima usulnya. Tak berselang lama, pembangunan benteng dimulai. Sang Syaikh juga terlibat dalam rancangan dan pengerjaannya. 

Saat itu, aktivitas masyarakat mulai terbagi. Di siang hari bekerja membangun benteng. Malam harinya berkumpul di Langgara untuk belajar ilmu agama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan benteng itu. Setelah rampung, mereka memberinya nama Benteng Duria. 

Ajaran Islam mulai mewarnai sendi kehidupan masyarakat Burangasi. Syaikh Abdul Wahid harus melanjutkan perjalanan, menyebarkan syiar Islam ke seluruh jazirah Pulau Buton. Saat itu ia hendak memenuhi undangan Raja Buton yang memintanya memperkenalkan Islam di kerajaannya. 

Sebelum pergi, Sang Syaikh mengumpulkan masyarakat Burangasi di Langgara. Ia memberi nasihat dengan penuh hikmah. Semua yang hadir menyimak penuh takzim. Nuansa kesedihan tersaji di Baruga Liwu. 


Sebentar lagi mereka kehilangan panutan dengan akhlak terpuji, sosok berilmu tinggi dan cahaya kelembutan yang selalu terpancar di raut wajahnya. Isak tangis mengiringi kepergian Syaikh Abdul Wahid di tanah Burangasi.

Sebenarnya, perasaan itu terbit juga di jiwa Sang Syaikh. Ia merasa, masih ada pokok ajaran Islam yang belum sempat diajarkan pada masyarakat setempat, yaitu hukum dan syarat pelaksanaan akikah. 

Namun, utusan Raja Buton meminta Syaikh Abdul Wahid untuk menemui Raja dengan segera. Walhasil, Wali Allah ini menitip pesan pada pemuka adat dalam hal ini Sara Burangasi tentang uang sedekah kurban kambing. 

Itulah sebabnya, sejak kepergian Syaikh Abdul Wahid hingga sekarang, masyarakat Burangasi selalu  melakukan ritual mata’ano bembe atau akikah, yaitu penyembelihan kambing sebagai pernyataan syukur orangtua atas kelahiran anaknya.  

Sebelum meninggalkan Tanah Burangasi, Syaikh Abdul Wahid juga menyerahkan sebilah pisau pada pemuka agama. Pisau itu akan difungsikan pada acara sunatan massal. Dan sampai sekarang, pisau peninggalan Sang Syaikh itu masih ada. 

Selain yang disebut di atas, ada juga beberapa peninggalan Sykeh Abdul yang masih lestari hingga sekarang, seperti bendera merah dan putih yang berbeda tiang; keduanya memiliki tiang masing-masing. Dalam pelaksanaan sunatan massal, bendera itu dikibarkan saat melakukan Legoa. 

Peninggalan lainnya adalah Sambahea Lohoro. Ritual ini dilakukan pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Para tokoh melakukannya di Ka’ana Nto’owa. Tentu bukan hanya itu, ajaran Kawalimboba yang diwariskan Sang Syaikh juga masih terjaga keasliannya. Meski tak bisa dimungkiri, dewasa ini makin sedikit generasi yang mau mempelajarinya.