Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Menyibak Rahasia Mojok.Co


sampul buku yang diterbitkan Mojok.co (sumber: facebook buku Mojok)

DAHULU, para pembuat opini dan pemantik diskusi adalah mereka yang wara-wiri di rubrik opini harian Kompas dan majalah Tempo. Kini, para pengendali wacana adalah para blogger yang dalam sekejap bisa membuat tulisannya di-share hingga ribuan kali, disukai jutaan orang. Kini, mereka adalah penulis di Mojok.co, Kompasiana, Indonesiana, blog Detik, ataupun Indoprogress.

Dahulu, bisa menembus media itu sudah dianggap keren. Sekarang tidak lagi. Tulisan yang keren adalah tulisan yang serentak dibagikan secara viral, menembus berbagai lapisan usia, dibincangkan di mana-mana, di-share di facebook hingga ribuan kali, dibagikan secara cepat melalui twitter, dibahas di forum-forum Kaskus, diulas berkali-kali di Kompasiana, hingga akhirnya bisa ‘memaksa’ semua televisi untuk menayangkannya.

Dahulu, para pengendali wacana itu muncul dari berbagai perguruan tinggi dan ruang-ruang ilmiah. Kini, para pengendali wacana itu bisa datang dari berbagai lapisan sosial. Ada kumpulan emak blogger, ibu rumah tangga, pengusaha, pengamen jalanan, siswa sekolah, bahkan seorang kuli panggul pun bisa menjadi pengendali wacana, sepanjang tulisannya disukai jutaan orang dan disebarkan beramai-ramai. Di satu media warga, seorang koruptor yang tengah ditahan di satu lembaga pemasyarakatan bisa menjadi blogger selebritis karena tulisan-tulisannya memang bernas dan selalu memantik rasa ingin tahu.

Tentu saja, diskusi tentang dilema etik bisa muncul. Point yang ingin saya tekankan adalah siapapun anda, apapun profesi serta aktivitas, anda bisa menjadi pengendali wacana sepanjang anda bisa melahirkan tulisan-tulisan yang bernas, dibagikan banyak orang, serta menginspirasi orang-orang dari berbagai kalangan.

Inilah karakter zaman kita. Inilah penanda waktu hari ini. Zaman para pembuat opini yang serius dan membahas bangsa-negara dari berbagai perspektif ilmu sudah lama lewat. Tulisan-tulisan yang banyak dicari dan dibagikan adalah tulisan yang membumi, melihat persoalan dari sudut pandang orang biasa, namun tetap punya muatan dan pesan kuat yang ketika dibaca bisa sejenak mengendap dalam pikiran.

Pada titik ini, kita mesti banyak berguru pada para penulis di Mojok.Co. Sejak kehadiran media warga ini, saya kerap menyaksikan betapa banyaknya orang yang membagikan artikel dari media ini. Dalam usia relatif muda, Mojok bisa menghadirkan artikel-artikel yang amat bersesuaian dengan karakter netizen di media sosial. Mereka tahu bahwa para netizen ingin artikel yang ringan, punya makna, penuh daya ledak, serta bisa melihat persoalan dari sisi yang sederhana. Inilah rahasia mengapa artikel di social blog ini laris-manis bak kacang goreng.

Saya menikmati tulisan dari social blog ini. Saya juga senang bisa membaca buku berjudul Surat Terbuka Kepada Pemilih Jokowi Sedunia. Buku ini menyajikan kumpulan artikel terpilih, yang pernah dibagikan ribuan orang di berbagai kanal media sosial. Kumpulan artikel inilah yang sempat memenuhi benak orang yang kerap wara-wiri dan membagikan artikel di media sosial. Kumpulan tulisan ini adalah representasi dari alam pikir manusia Indonesia yang suka berselancar di internet.

Beberapa nama penulis hebat (namun tak pernah merasa hebat) di Mojok yang sering saya baca tulisannya adalah Arman Dhani, Iqbal Aji Daryono, Muhidin M Dahlan, Rusdi Mathari, Eddward S Kennedy, AS Laksana, Wisnu Prasetya Utomo, hingga Windu Jusuf. Di mata saya, mereka adalah para penyihir yang dalam waktu sekejap bisa membuat anda tersenyum, mengangguk, jengkel, benci, kesal, terharu, lalu tak tahan untuk membagikan apa yang mereka tulis. Tulisan-tulisan mereka bisa mempengaruhi suasana hati, lalu secara perlahan menyelipkan satu opini dan pesan kuat tentang satu peristiwa yang tengah hangat dibicarakan.

Yang saya sukai dari para penulis di Mojok.Co adalah gaya menulis yang santai, jenaka, serupa obrolan di warung-warung kopi. Tak jarang saya menemukan seloroh dan olok-olok pada temannya yang sejenak bisa membuat tersenyum, sesuatu yang sebenarnya dilakukan oleh mayoritas orang Indonesia saat nongkrong di warung-warung kopi. Tak jarang saya temukan gaya bahasa satire yang kesannya nyindir-nyindir gaya berpikir kita yang mainstream dalam memahami sesuatu.

Menurut saya, gaya menulis seperti ini terkesan gampang, tapi susah untuk dilakukan. Kalau anda tak begitu pandai berseloroh, jangan sekali-sekali memasukkan gaya seloroh dalam tulisan. Bisa-bisa tulisan anda bakal kehilangan greget, dan terasa garing. Pembaca bisa bengong karena diajak mengikuti gaya seloroh anda yang boleh jadi tak nyambung dengan keseharian mereka. Kalau anda tak bisa mengendalikan satire, maka tulisan anda bisa disalahpahami oleh pembaca sehingga terkesan anda seolah mengampanyekan satu ide. Padahal, boleh jadi yang ingin anda lakukan adalah sebaliknya. Pada titik ini, kemampuan berseloroh dan nyindir-nyindir anda harus paripurna agar orang-orang paham maksud anda.

Para penulis Mojok.Co adalah mereka-mereka yang wawasannya sekelas para doktor perguruan tinggi, namun menyajikan tulisan dengan gaya kaki lima. Bukan berarti mereka tak bisa menulis dnegan gaya para doktor, tapi mereka ingin menyajikan sesuatu yang dibaca banyak orang. Mereka sangat paham apa yang hendak ditulis, sehingga bisa mengemas gagasan itu dengan cara yang sangat sederhana.

Saya ingat Yudi Latif pernah menulis tentang gaya menulis Kang Jalal (sapaan akrab Dr KH Jalaluddin Rakhmat) yang sangat disukainya. Ia pernah bertanya, bagaimana rahasia menulis hingga begitu renyah, yang berbeda dengan gaya seorang akademisi. Kang Jalal menjawab singkat, “Ketika saya menulis dengan berat, penuh teori dan bahasa susah, maka itu pertanda saya tidak begitu paham apa yang ditulis. Tapi ketika saya menulis ringan dan renyah, maka itu pertanda kalau saya sangat memahami apa yang sedang dituliskan.”

Nah, para penulis di Mojok.Co itu berada pada koridor yang disebut Kang Jalal. Publik mendapatkan wawasan, dialog, serta pencerahan dari tulisan ringan yang tersaji di social blog itu. Tak hanya itu, publik juga mendapatkan keceriaan, serta senyum yang mekar dikarenakan tulisan itu bisa jadi oase atas rutinitas harian yang boleh jadi cukup melelahkan.

Satu saja catatan saya untuk tulisan di Mojok.co. Banyak gaya bercanda serta menulis idiom lokal yang hanya bisa dipahami seseorang yang lahir dan besar di tanah Jawa. Sebagai orang luar Jawa, saya sering tak memahami candaan serta seloroh di beberapa tulisan. Tapi saya menangkap spirit-nya yakni obrolan ringan khas pinggir jalan atau warung kopi yang asyik, renyah, dan lebih mengasyikkan saat menyeruput kopi di pagi hari.

Ah, saatnya untuk ngopi. Srrruupp!


Bogor, 27 September 2015

Tragik Sarwo Edhie, Pekik Aidit



TERCENUNG seusai membaca liputan Tempo tentang Sarwo Edhie dan Aidit. Keduanya sama-sama punya visi tentang bangsa ini. Keduanya sama-sama punya mimpi untuk bangsa yang lebih baik, bangsa tanpa penindasan. Tapi sejarah mencatat mereka dengan cara berbeda. Satu pahlawan dan satu pecundang.

Kini, puluhan tahun setelah tragedi itu berlalu, apakah gerangan yang telah terjadi? Apakah Sarwo Edhie berhasil menggapai semua kemegahan yang diperoleh para pemenang? Dan apakah Dipa Nusantara Aidit dan seluruh keluarganya benar-benar terbenam dalam sumur tua, yang dahulu menjadi saksi saat lelaki itu ditembak mati dan terkubur di situ?

***

LELAKI itu Sarwo Edhie Wibowo. Pada tahun 1965, ia memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) serta pasukan khusus yang menggelar operasi untuk menyingkiran semua orang yang berhaluan komunis. Ia menyisir desa-desa, menggalang aliansi dengan berbagai gerakan pemuda, lalu memimpin operasi yang mengeksekusi siapapun yang pernah bersentuhan dengan organisasi komunisme.

Terhadap semua eksekusi pada kaum komunis, yang disebut sejarawan Robert Cribb sebagai peristiwa pembunuhan massal terbesar, ia menganggapnya sebagai tugas negara. Ia berpikir bahwa tindakan penyisiran dan operasi itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan pada nusa dan bangsa, sekaligus pelampiasan kesal atas kematian sahabat seperjuangannya Jenderal Ahmad Yani, yang pernah menyodorkan namanya untuk menjadi Komandan Kopassus.

Tak dihiraukannya berbagai kisah pilu tentang mereka-mereka yang kehilangan hak hidup, serta keluarga yang hendak bertahan hidup di tengah stigma negatif yang dilabel negara. Negara, yang dibelanya mati-matian itu, tak peduli dengan nasib keluarga korban yang dinistakan oleh dunia sosial. Keluarga korban itu serupa kerakap yang berusaha tumbuh di tengah batu.

Setelah tragedi itu berlalu. Soeharto, tuan besar yang dilayani Sarwo Edhie, telah duduk di singgasana kekuasaan. Sarwo Edhie sedikit banyak berharap bisa menuai buah manis dari apa yang pernah ditanamnya. Sayang, ia dianggap bisa mengancam eksistensi penguasa tunggal itu. Sarwo Edhie perlahan-lahan menerima takdir sebagai orang kalah. Ia dicopot dari posisi Komandan RPKAD. Ia lalu ‘dibuang’ ke Medan lalu ke tanah Papua untuk memegang jabatan tertentu. Setelah itu, ia kembali ‘disingkirkan’ ke Korea Selatan sebagai duta besar. Terakhir, ia ‘diparkir’ dalam jabatan tidak penting di pemerintahan. Ia disingkirkan dari tatap mata Soeharto.

Gerakannya dikunci agar tidak bisa menggalang kekuatan, sesuatu yang merupakan keahliannya. Sarwo Edhie memang sukses dalam berbagai operasi. Tapi ia sempat mengecewakan Soeharto, yang mengetahui rahasianya ketika diam-diam menemui Soekarno saat peristiwa G.30S meletus. Tindakan itu dianggap sebagai pembangkangan diam-diam yang di masa depan bisa mengancam Soeharto. Setelah oeprasi yang dipimpin Sarwo sukses, Soeharto menuduhnya hendak melakukan makar. Ia disingkirkan dari arena keprajuritan, arena yang sangat dicintainya.

Apakah ia seorang pemenang?

***

LELAKI itu Dipa Nusantara Aidit. Ia menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada usia 31 tahun. Partainya itu menjadi salah satu partai komunis ketiga terbesar di dunia dengan anggota 3,5 juta orang. Ia memimpikan adanya revolusi sosial untuk membangitkan kaum miskin. Ia ingin melihat Indonesia tanpa kelas. Ia menginginkan ‘jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi.’ Ia ingin Indonesia jadi negara komunis, negara tanpa kelas, negara yang warga kaya menyubsidi warga miskin, negara tanpa penindasan pada kaum miskin, negara para petani, negara kaum proletar.

Sayang, prahara telah menghempaskan dirinya. Partai yang dipimpinnya dituduh hendak melakukan kudeta. Ada dendam yang memenuhi langit udara. Aidit dituduh bertanggungjawab pada satu peristiwa besar yakni pembunuhan tujuh perwira tinggi militer. Atas dasar itu, ribuan pendukung Aidit lalu dibunuh juga secara keji, ribuan lainnya ditahan, ribuan orang juga dinistakan hidupnya.

Di Boyolali, Aidit ditangkap, lalu dibawa ke sumur tua. Saat ditanya tentang keinginan terakhirnya, ia memilih untuk berpidato dan mengeluarkan pekik tentang Indonesia tanpa penindasan. Dor! Senjata menyalak. Aidit dibuang di sumur tua itu, tanpa pernah didengarkan penjelasannya. Andaikan ia disidang dan diadili, pastilah ada banyak kesaksian mengejutkan tentang versi lain peristiwa besar itu.

Negara, yang dibangun dari cita-cita kemerdekaan itu, lantas menanam dendam. Keluarga Aidit berpencaran. Istrinya, dokter akupuntur pertama di Indonesia, dijebloskan ke dalam tahanan selama beasan tahun. Adik serta keluarganya banyak yang bertebaran di luar negeri dan kehilangan kewarganegaraan. Betapa tak mudahnya menyandang hidup sebagai seorang yang dituduh keji. Betapa beratnya dituduh sebagai pemberintak dan pengkhianat yang lalu dinistakan. Tapi ajaibnya, mereka bertahan hidup dengan segala masalah yang mendera.

***

Sarwo Edhie dan Aidit berdiri di kutub yang berbeda. Yang satu adalah pemenang, yang satu lagi adalah pecundang. Tapi bagaimanakah kita mendefinisikan siapa pemenang dan pecundang? Faktanya, setelah peristiwa itu, Sarwo Edhie tak pernah bisa masuk ke jantung kekuasaan. Ia juga disingkirkan Soeharto, yang tak ingin ada matahari kembar di republik ini. Kariernya tak pernah beranjak naik.

Pada akhirnya, kemenangan itu serupa rasa haus yang diatasi oleh air laut. Haus itu tak akan pernah teratasi. Tuduhan makar yang disematkan Sarwo Edhie pada banyak pihak itu akhirnya tersemat pada dirinya. Kecemerlangan operasinya menjadi kisah yang hanya heroik dikisahkan pada orang buta sejarah, namun tak bernilai di mata jenderal besar yang dilayani Sarwo. Konon, jenderal besar itu mendapat wahyu keprabon bahwa Sarwo Edhie akan menjadi pemimpin berikutnya. Ternyata wahyu itu justru jatuh ke trah Sarwo yakni menantunya.

Yang bisa dikenang dari peristiwa 1965 adalah konspirasi politik tingkat tinggi yang kemudian dampaknya dirasakan jutaan orang. Telah banyak sejarawan menilai bahwa peristiwa itu sesungguhnya bermula dari hasrat sedikit orang yang ingin menggenggam ‘tanah air pusaka abadi nan jaya.’ Demi hasrat itu, stigma disematkan, dendam dibalaskan secara keji, lalu banyak orang dihilangkan hak-hak hidupnya demi memuluskan hasrat dan pesanan dari sosok yang penuh hasrat itu.

Yang bisa dikenang dari masa itu adalah kesedihan yang menikam-nikam diri saat menyadari bahwa banyak anak bangsa dibunuh karena memiliki posisi politik berbeda. Padahal, kesemuanya sama-sama punya gagasan besar tentang bangsa ini. Andaikan semua perbedaan itu diwadahi dalam satu arena pertukaran gagasan yang indah, maka bangsa ini akan lebih tinggi melesat. Bangsa ini tak harus memulai sesuatu dari nol.

Pada akhirnya, kemenangan itu menjadi semu. Yang dikalahkan dari peristiwa itu bukanlah bangsa lain atau para imperialis yang hendak mencengkeram negeri. Yang dikalahkan adalah anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki andil besar untuk bangsa kita. Yang dihilangkan hak hidupnya adalah mereka yang harusnya bisa menjadi ujung tombak untuk melejitkan bangsa ini hingga posisi yang ‘selalu di dipuja-puja bangsa.’

Yang mengharukan saya adalah keluarga Aidit justru bisa bertahan. Kerasnya prahara itu tak membuat mereka kehilangan daya-daya adaptasi atas kehidupan. Mereka malah sukses di berbagai lapangan kehidupan, padahal begitu kuatnya tekanan dan hinaan yang mereka terima. Kini, beberapa dari mereka mulai mengeluarkan testimoni tentang peristiwa itu demi mengungkapkan suara sang ayah yang dibungkam oleh tentara.

Politik memang kejam. Kekuasaan bisa menjadi amat keji pada para pesaing. Kebenaran bisa lenyap oleh suara besar rezim serta hasrat kuat untuk berkuasa. Melalui laci sejarah, kita bisa melihat ulang berbagai peristiwa lalu menelaahnya kembali. Melalui sejarah, mata akan menjadi lebih terang untuk melihat sejauh mana satu peristiwa bisa direkayasa, disembunyikan, lalu dijadikan dalih untuk membenarkan satu ide. Sejarah adalah arena untuk memenangkan satu ide lalu mengubur ide yang lain. 

Di penghujung sejarah itu, kita mendengar pekik Aidit yang selama puluhan tahun ditenggelamkan oleh versi sejarah yang penuh puja-puji dan sanjungan pada penguasa.


Bogor, 26 September 2015
  
BACA JUGA:





Melihat "Salju" di Kampus IPB




DI depan kantor saya, kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Baranangsiang, kapas-kapas putih memenuhi lapangan luas. Kapas-kapas itu menghadirkan pemandangan serupa salju yang turun dari langit. Di situ, ada banyak anak muda yang datang untuk ramai-ramai berfoto. Di tengah temaram matahari sore, ada yang datang sembari memakai jaket tebal dan kupluk.

Di ujung sana, sepasang muda-mudi datang dengan membawa es serut di tangan. Mereka berpose seolah-olah di tengah hamparan salju. Di bahagian lain, saya tertegun. Saya serasa menyaksikan adegan drama Korea, saat seorang pria berpose dengan jaket tebal, sarung tangan, lalu memegang biola dan seolah memainkannya dengan mata terpejam. Kamera membekukan momen yang mengingatkan saya pada serial Winter Sonata. It is so romantic!

Di sekitar lapangan itu terdapat banyak pohon kapuk yang tinggi besar. Pada bulan Agustus ataupun September, buah-buah kapuk akan memecah, sehingga kapasnya berguguran lalu memenuhi lapangan. Pemandangan yang tersaji serupa salju yang turun dari langit.

Selama beberapa hari ini, ada banyak orang yang datang ke lapangan itu sekadar untuk berfoto. Saya mengingat beberapa studi yang membahas tentang simulasi atau duplikasi atas realitas. Saya juga memikirkan satu ujaran tentang ‘rumput tetangga yang selalu lebih hijau.’ Bagi kita orang Indonesia, salju adalah kemewahan. Salju identik dengan luar negeri. Salju identik dengan kelas atas, sebab butuh biaya mahal untuk pergi ke negeri empat musim dan menyaksikannya.

Di kantin Taman Koleksi, di sekitar lapangan itu, saya bertemu dengan Nick, seorang turis asal Inggris. Nick bercerita petualangannya ke banyak tempat di Indonesia. Matanya berbinar-binar saatmembahas Bali, Danau Toba, serta eksotisme Pulau Lombok. Saat saya mintai pendapatnya tentang anak-anak muda yang berpose di dekat kapas yang serupa salju itu, Nick tampak menggeleng. Ia berkata, “Apa menariknya foto di situ? Di negeri saya, datangnya salju hanya disambut ceria pada awalnya. Selanjutnya, salju adalah cuaca buruk. Sekolah dan kantor diliburkan. Aktivitas jadi terbatas.”

Saya tak seberapa terkejut dengan pernyataan Nick. Sewaktu berkunjung ke luar negeri, saya pun pernah merasakan betapa salju seringkali tak ramah. Orang-orang takut dengan badai salju, ataupun frozen rain yang bisa hadir setiap saat. Bagi yang berumah di negeri empat musim, salju menjadi bagian dari kehidupan yang dihadapi setiap tahun. Salju menjadi hal biasa. Bukan lagi sesuatu yang meriangkan hati.

“Negeri ini adalah surga. Di sini matahari bersinar sepanjang tahun. Di mana-mana ada pantai indah, laut biru, pasir putih. Di mana-mana ada keunikan,” kata Nick sembari menatap saya lekat. Dia benar. Bahwa rumput tetangga memang selalu lebih hijau.

Saat belajar di luar negeri, saya sendiri pernah menuliskan pengalaman ketika ditanya tentang makanan mahal dan berkelas di kampung saya. Saat itu saya katakan makanan fastfood seperti KFC, semua mahasiswa bule melihat saya dengan tatapan heran sebab di negaranya itu adalah junk food atau makanan sampah. Saat saya ditanya tentang makanan enak yang murah, kembali semua terheran-heran saat saya menyebut tuna sirip kuning, yang di Amerika dianggap sebagai makanan mewah dan tak terjangkau warga biasa.

Jelas, di semua tempat, selalu ada reproduksi konsep tentang mana yang berkelas dan mana yang tak berkelas. Jika Nick memandang sinis pada anak-anak muda yang berfoto di salju, barangkali anak-anak muda itu juga akan sinis memandang Nick yang terlampau bahagia melihat matahari bersinar setiap hari, ataupun melihat pantai berpasir putih.

Tentu saja, anak-anak muda itu tidak salah. Yang jauh lebih substansial adalah mereka mesti memahami bahwa tanah yang dipijaknya adalah tanah yang juga amat dirindukan warga negara lain. Mereka mesti menyadari bahwa mereka sedang memijak kepingan surga yang justru bisa menimbulkan keirian bangsa-bangsa lain yang amat ingin menyaksikan pulau-pulau tropis yang menawan. Anak-anak muda itu mesti menanamkan rasa bangga dan cinta tanah airnya yang kaya raya, tanpa harus latah berpose di atas hamparan kapuk yang serupa salju.

  
BACA JUGA:




Revolusi yang Bermula dari Kata




BARANGKALI tak semua orang Indonesia paham tentang jejak-jejak sejarah peradaban di Maluku. Tapi di mata Daron Acemoglu, salah satu ekonom Amerika Serikat yang paling berpengaruh, Maluku menyajikan satu sketsa buram tentang bagaimana satu wilayah yang dikenal kaya-raya, namun berubah menjadi miskin akibat datangnya bangsa Eropa.

Dalam buku Why Nations Fail, yang ditulis pada tahun 2013, Acemoglu dan James A Robinson menjelaskan satu bab tentang kejayaan Maluku yang kemudian porak-poranda akibat kedatangan bangsa asing. Kejayaan itu adalah situasi ketika komoditas alam di Maluku adalah komoditas yang paling laku di pasaran internasional. Sayang, kegagalan untuk membangun satu sistem politik yang inklusif, Maluku serupa bola yang diperebutkan pedagang asing, hingga akhirnya menyisakan kesengsaraan dan kepedihan bagi warga yang dilanda kemiskinan.

Acemoglu memaparkan dengan sangat berani bahwa institusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. Salah satu contoh yang dikemukakannya adalah fenomena Maluku pada abad ke-17 yang berlimpah sumberdaya, namun gagal mengelola kedatangan pengaruh bangsa lain, hingga akhirnya menyisakan kemiskinan dan keterbelakangan penduduknya.

Uraian tentang Maluku ini tentu saja tidaklah baru. Yang mengejutkan adalah Acemoglu bergerak menjauh dari eksplanasi dalam sejarah kita yang hanya fokus pada tapak-tapak historis kedatangan bangsa lain. Ia seolah menampar keengganan kita untuk menelusuri sejarah kita demi menemukan berbagai pejelasan atas asumsi-asumsi ilmiah yang kita bangun. Ia menelusuri sejarah demi menemukan berbagai mutiara dan hikmah atas fenomena ekonomi yang disaksikannya di masa kini.

Tentu saja, Acemoglu bukan seorang sejarawan. Ia adalah profesor ilmu ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang memenangkan penghargaan John Bates Clark Medal sebagai ekonom yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran dan ilmu ekonomi. 

Ia seolah menunjukkan pada kita smeua bahwa disiplin ilmu ekonomi tidaklah sekaku apa yang dianggap banyak orang di tanah air tentang ilmu ini. Ia menyerap sejarah, sosiologi, antropologi, serta ilmu politik demi menjelaskan banyak hal menarik dalam ilmu ekonomi, khususnya menyangkut ekonomi kelembagaan.

Banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu senantiasa berdiri sendiri, seolah tak ada kaitan dengan ilmu lain. Pemikiran ini jelas dipengaruhi oleh perspektif Cartesin-Newtonian, perspektif paling dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan. 

Di tanah air kita, seseorang yang belajar di fakultas ilmu sosial tak pernah menimba ilmu pada ilmu budaya. Kampus-kampus kita terbagi dalam sekat-sekat jurusan dan program studi. Yang kemudian terjadi adalah tiadanya ruag-ruang dialog antar disiplin ilmu.

Masing-masing ilmu laksana ‘katak dalam tempurung.’ Mahasiswa diperkenalkan dengan disiplin yang sedemikian kaku, tanpa mengasah pisau analisis di bidang lain. Jika kondisi ini terus dipertahankan, kita tak bisa berharap banyak akan lahirnya generasi sekelas Acemoglu di tanah air kita. Karakter ilmuwan yang dilahirkan adalah mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak sempit, tanpa melihat secara holistik tentang realitas yang saling jalin-menjalin.

Pada diri Acemoglu, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. Pertama, bagaimana memahami satu kenyataan secara mendalam, lalu mengangkat kenyataan itu ke permukaan sehingga menginspirasi dunia penelitian. Kedua, pemikiran yang tak sekadar puas dan berkutat hanya pada satu disiplin ilmu, namun senantiasa membangun pertautan-pertautan pemikiran. Ketiga, bagaimana membangun reputasi dan karakter sebagai seorang pemikir yang menulis gagasan-gagasan hebat, dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami oleh orang paham.

Kekuatannya terletak pada tulisannya yang sederhana, namun penuh perenungan mendalam. Kekuatannya terlihat pada produktifitasnya dalam menulis dan menganalisis. Suri tauladan yang ada pada diri Acemoglu adalah kemampuan menyatukan beragam realitas, lalu melihatnya secara utuh untuk diperas maknanya, menemukan benang merah dan saling hubung, lalu menjadi cara untuk memahami kenyataan.

Menumbuhkan Tradisi

Acemoglu tak sendirian. Di berbagai ranah pengetahuan, terdapat banyak akademisi ataupun peneliti asing yang mengkaji Indonesia. Kerap kali mereka disebut sebagai Indonesianis karena penguasannya pada banyak aspek tentang Indonesia. 

Hebatnya, banyak di antara mereka yang kemudian mendunia karena mengembangkan gagasan-gagasan tentang Indonesia. Barangkali, yang membedakan mereka dengan akademisi ataupun peneliti kita adalah kemampuan untuk menuliskan gagasan lalu mempublikasikannya secara luas.

Harusnya, ada banyak intelektual ataupun cendekiawan kita yang bisa mengolah gagasan-gagasan baru yang digali dari kekayaan sejarah dan dinamika sosial kita. Harusnya, sosok seperti Acemoglu lahir di tengah-tengah masyarakat kita demi menemukan berbagai insight teoritik di dalam masyarakat kita yang kemudian memperkuat sendi ilmu pengetahuan.

Sejatinya, banyak pihak yang mehadari bahwa ada virus besar yang tengah menggerogoti tubuh bangsa kita. Virus itu adalah kemampuan menulis dan menyebarkan gagasan. Padahal, hampir semua akademisi paham pada kalimat: “Jika satu peluru bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus berjuta-juta kepala sekaligus.” 

Sejarah telah lama mencatat bahwa setiap tulisan adalah senjata untuk perubahan sosial. Hanya saja, banyak di antara mereka yang kerap kali terjerat dalam belantara kata dan gagasan sehingga tak menghasilkan satu pun publikasi.

Belajar dari Acemoglu, ada beberapa persoalan mendasar yang melanda para cendekiawan kita. Pertama, keterbatasan dalam menulis hal-hal sederhana, yang kemudian menjadi dasar bagi penulisan yang lebih rumit. Kedua, cara berpikir yang hanya melihat persoalan dari satu titik, tanpa menelaahnya dari berbagai titik. Inilah dua hal yang harus sesegera mungkin dipecahkan demi menghasilkan para intelektual organik yang mencerahkan publik dan menjadi obor bagi perubahan.

***

ARTIKEL singkat ini hendak mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi writer’s block atau hambatan di kalangan akademisi ataupun peneliti kita. Pernah, saya menjadi fasilitator untuk memandu diskusi kepenulisan bagi para akademisi di Mataram dan Ambon. Saat sesi sharing, saya bertanya pada beberapa dosen senior, mengapa mereka tak banyak melahirkan karya-karya akademik dengan produktivitas sebagaimana Acemoglu.

Saya mendapatkan satu kenyataan menarik. Bahwa banyak di antara mereka yang merasa kesulitan ketika hendak mulai menulis. Padahal, pekerjaan mereka senantiasa terkait dengan teks, serta bagaimana memahami dunia teks. Jika saja mereka pun mengalami kesulitan, bagaimanakah halnya dengan masyarakat kebanyakan yang lain?

Tadinya saya beranggapan bahwa jangan-jangan, mereka kesulitan ketika hendak membuat tulisan ilmiah. Ternyata tidak juga. Jangankan menulis ilmiah, menulis secara lepas saja mereka kesulitan. Para akademisi yang saya temui ini merasa kesulitan untuk menggerakkan pena dan menghasilkan banyak tulisan, baik untuk jurnal ilmiah, maupun untuk konsumsi media massa.

Sejak dahulu, saya beranggapan bahwa menulis adalah soal bagaimana mengalirkan energi secara lepas dan dikanalisasi ke dalam kata. Saya tak hendak membedakan antara tulisan ilmiah dan tulisan populer. Bagi saya, keduanya hanyalah style atau bentuk yang berbeda. Tapi ‘sumsum’-nya sama, yakni bagaimana melepaskan gagasan ataupun mengalirkan energi ke dalam teks.

Problem besar yang kerap dihadapi lebih mengarah ke aspek psikologis, yakni kekhawatiran-kekhawatiran tentang tulisan yang akan lahir kelak. Banyak orang yang memelihara kekhawatiran sebelum aktivitas menuis dimulai. Sebagai akademisi, mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek oleh orang lain, dianggap basi, dianggap tidak paham perkembangan, ataupun dianggap tidak standar.

Padahal, kodrat seorang akademisi ataupun ilmuwan adalah belajar dari semua kesalahan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui trial and error alias coba dan gagal. Tanpa pernah mengalami kesalahan, ilmu tak akan bisa menemukan bentuknya seperti sekarang. Lantas, mengapa mereka sampai takut melakukan kesalahan?

Barangkali, pangkal persoalan ada di lembaga pendidikan kita. Sejak awal, kita selalu diajarkan untuk takut melakukan kesalahan. Kita tak belajar untuk menulis secara lepas. Kita tak dibiasakan untuk menulis catatan harian. Di sekolah-sekolah, menulis diajarkan sebagai tugas yang lalu diberi penilaian benar dan salah. Menulis dilatih dengan rumus-rumus yang ketat sehingga melahirkan kekhawatiran kalau-kalau bertindak tidak sesuai dengan aturan kepenulisan.

Harusnya, menulis dikembalikan pada kodratnya sebagai medium atau cara untuk menyampaikan gagasan. Yang dinilai bukan soal bagus-tidaknya, atau benar-salahnya, melainkan sejauh mana pesan yang disampaikan bisa diterima publik. Kalau publik bisa memahami pesannya, maka tujuan sang penulis telah tercapai. Kalau tulisan itu bisa menggerakkan orang lain, maka sang penulis layak mendapat acungan jempol. That’s it.

Tentu saja, untuk bisa menembus media massa dan jurnal-jurnal ilmiah, ada tata cara yang harus dipatuhi. Namun, persyaratan itu akan mudah dipenuhi kalau seseorang punya passion kuat untuk menulis dan berbagi. Inilah yang harus ditemukan oleh siapapun yang hendak meniti di jalan aksara.

Makanya, kelas-kelas kepenulisan harusnya diisi dengan bagaimana menumbuhkan passion kuat untuk berbagi pengalaman melalui tulisan. Yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat tulisan yang benar, melainkan bagaimana memberanikan diri untuk menulis sesuatu, serta membuka pikiran untuk selalu belajar, lalu membiasakan diri untuk selalu produktif.

***

HAL lain yang kerap mencuat adalah seringkali para cendekiawan kita berbicara dalam bahasa ilmiah yang sukar dipahami oleh rakyat biasa. Seringkali, gagasan yang dikemukakan terlampau jlimet sehingga tidak bisa mencerahkan banyak orang. Rupanya, ada saja yang beranggapan bahwa semakin rumit gagasan, maka semakin hebatlah idenya. Padahal, tulisan yang aik adalah yang mudah dipahami dan isinya mencerahkan, sebagaimana catatan-catatan Acemoglu.

Sejak era pencerahan dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai obor terang pemandu peradaban, sains menjadi pembatas antara satu manusia dan manusia lainnya. Banyak akademisi maupun ilmuwan yang memosisikan dirinya eksklusif sehingga membangun jarak dengan manusia lainnya. Bahasa ilmu pengetahuan dianggap lebih tinggi dari bahasa awam. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang berbicara bak dewa dengan beragam istilah. Sementara rakyat biasa berbicara dengan bahasa jelata yang bisa dipahami siapapun.

Yang terjadi kemudian, kata kehilangan makna. Kalimat menjadi kehilangan substansi dan karakter. Di Indonesia, tulisan yang paling memusingkan adalah tulisan para akademisi yang kerap menggunakan beragam istilah. Tulisan para generasi kampus kita seakan kehilangan sentuhan emosional yang kuat. Bahasa menjadi sedemikian kaku dan monoton, sebab bersembunyi di balik berbagai istilah-istilah rumit yang tak semua orang bisa memahaminya.

Yang terjadi kemudian adalah adanya kesenjangan yang semakin lebar antara lapis cendekia dan masyarakat awam. Tugas para cendekia adalah seyogyanya menyediakan obor pencerahan yang bisa menuntun publik untuk memahami persoalan dengan akal sehat yang jernih.

Yang seharusnya dilakukan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai upaya untuk menyerap dan melepas energi. Kegiatan menulis akademik seyogyanya berpatokan pada tiga hal. Pertama, menulislah secara bebas. Tak usah peduli dengan berbagai rumus dan tata bahasa. Setiap orang punya kisah ataupun gagasan yang layak untuk dibagikan. Tak semua orang ditakdirkan untuk menjadi penulis besar ataupun menjadi sosok hebat dalam menulis. Makanya, tak perlu ada jurus yang sama dalam menulis. Semua orang bisa menemukan jalan kepenulsian sendiri-sendiri yang paling membuatnya nyaman.

Kedua, jadikan menulis sebagai proses yang bertumbuh. Pada hari ini kita menulis gagasan A, yang lalu akan tumbuh melalui nutrisi masukan serta koreksi dari orang lain. Kita akan menyianginya dari semua kritik dan cacian sehingga terus melesat tumbuh besar. Pada akhirnya, kita akan memanen buah dari proses tersebut. Minimal kita mendapatkan

Ketiga, buka hati dan pikiran untuk selalu belajar. Jangan pernah melupakan aktivitas untuk selalu membaca dan belajar dari tulisan-tulisan orang lain. Belajar terbaik dalam hal menulis adalah membaca. Membaca adalah sisi lain dari dunia menulis yang saling memperkuat dan melengkapi. Seorang penulis hebat adalah juga seornag pembaca hebat. Temukan jenis tulisan yang diminati, pelajari gaya dan teknik menulisnya, lalu jadikan itu sebagai inspirasi bagi karya terbaik. Semakin banyak membaca, seseorang akan menemukan sendiri kriteria dan jalan ke arah dunia menulis.

Harusnya semua orang menyadari bahwa setiap tulisan ibarat tanaman yang harus terus dipupuk dan dibesarkan melalui tangan dingin kita. Bahwa ada pula parasit yang kelak akan mengecilkan tanaman itu. Parasit itu seringkali sukses mematikan tanaman menulis seseorang. Namun mereka yang punya passion kuat akan sukses membesarkan tanaman itu, lalu menikmati buah-buah manisnya.

***

KULTUR penulisan terus-menerus berhadapan dengan berbagai tantangan zaman. Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, maka kerja-kerja kepenulisan tidak lagi dimonopoli oleh para cendekiawan istana. Kegiatan menulis menjadi sesuatu yang open access, semua orang berhak untuk menulis dan mengabarkan pada dunia tentang apa yang terjadi. Era media sosial juga mengubah semuanya. Dahulu, para akademisi dan intelektual menjadi satu-satunya pihak yang mencerahkan publik, kini tak lagi demikian. Seorang warga biasa bisa mengemukakan buah pemikirannya dengan kualitas yang sama baiknya dengan para intelektual.

Namun peran para intelektual tetaplah penting untuk memberikan obor pencerahan bagi publik. Tulisan mereka bisa ditafsir sebagai upaya untuk memberikan advokasi kepada masyarakat dengan cara memberinya kekuatan untuk bergerak. Satu kekeliruan yang kerap melanda para insan kampus adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, orang-orang bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, kita telah membuka pintu gerbang perubahan dan revolusi yang sejatinya bermula dari kata. Pada titik ini, sebuah tulisan bisa menjadi jendela bagi nurani banyak orang. Sebuah tulisan bisa menjadi nyanyi sunyi yang mengingatkan kita akan begitu banyaknya hal yang terjadi di sana.



Bogor, 30 Agustus 2015

Merawat Bumi di Timor Tengah Selatan



DI berbagai konferensi internasional, orang-orang berkisah tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan. Seluruh perangkat ilmu pengetahuan telah dikeluarkan demi menemukan jawab atas perubahan iklim yang terus menggerus bumi. Seluruh pengetahuan yang disarikan dalam berbagai jurnal ilmiah diurai dan dibedah demi menemukan jawab atas bumi yang kian renta dan rawan dengan bencana.

Nun jauh di pedalaman Timor Tengah Selatan, tepatnya di Mollo, warga lokal telah lama merawat bumi dengan penuh kasih. Mereka tak pernah membaca jurnal ilmiah, tapi mereka terus merawat pengetahuan tentang alam semesta sebagai tubuh manusia yang harus dijaga dan dilestarikan. Tak hanya merawat, mereka juga melawan korporasi dan negara yang mencaplok bumi dengan aktivitas tambang.

Hebatnya, mereka tak melawan dengan bedil dan senjata. Tak juga dengan bom molotov ataupun melempar polisi, sebagaimana dilakukan para mahasiswa yang kerap kali merasa dirinya intelektual hebat. Para perempuan Mollo itu membawa alat tenun. Hah?

Amazing!

***

DI salah satu acara yang tayang di Metro TV, saya menyaksikan perempuan hebat bernama Aleta Baun. Sepintas, ia serupa dengan ibu-ibu lain yang saban hari kita saksikan di berbagai desa-desa di tanah air. Siapa sangka jika Aleta Baun pernah memimpin ribuan orang, yang kebanyakan di antaranya adalah perempuan, untuk menduduki kawasan tambang.

Di tanah Mollo, pencaplokan tanah telah lama menjadi lagu yang dituturkan warga desa. Dalam buku berjudul Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim yang ditulis Siti Maemunah dan terbit pada tahun 2015, saya menemukan betapa kompleksnya kehidupan yang dialami masyarakat lokal. Tanah-tanah mereka dicaplok perusahaan dan negara, demi kepentingan akumulasi modal.

Kawasan pegunungan itu kaya dengan sumberdaya alam. Beberapa perusahaan yang didukung oleh pemerintah daerah datang ke situ untuk mengeruk hasil alam.  Di saat bersamaan, masyarakat lokal telah lama mendiami kawasan pegunungan itu dan menjadikannya sebagai mata rantai keseimbangan alam.

Yang dlakukan perusahaan adalah menyingkirkan masyarakat lokal dengan dalih kepemilikan lahan. Masyarakat disingkirkan, dijauhkan dari lingkungannya, dipinggirkan dari semesta ekologis yang telah didiami turun-temurun.

Perusahaan lalu membor bumi, mengeruk isinya, lalu membiarkan masyarakat bergelut dengan bencana. Perusahaan melihat alam sebagai komoditas bernilai tinggi yang bisa memperbesar pundi-pundi dan kekayaan pribadi.

Sementara bagi masyarakat, alam adalah bagian dari semesta yang harus dijaga kelangsungannya. Tindakan perusahaan itu dilihat sebagai tindakan yang menginjak-injak kepercayaan masyarakat. Penambangan marmer itu dilihat sebagai tindakan untuk membingkar dan mencuri batu-batu suci milik masyaraat adat.

Sejak dahulu, masyarakat memiliki kepercayaan turun-temurun tentang fungsi tanah, batu, pohon, dan air. Orang Mollo percaya bahwa keempat elemen ini punya fungsi yang sama dengan tubuh manusia. Air melambangkan darah, batu melambangkan tulang, tanah adalah daging, dan hutan-hutan adalah ambang dari kulit, paru-paru, dan rambut. Kepercayaan ini digambarkan dalam kalimat “fatu, nasi, noel, afu amasat a fatis neu monit mansian”, yang artinya “Batu, hutan, air, dan tanah bagai tubuh manusia.”


Di tengah-tengah krisis itu, Aleta tampil ke depan. Ia memimpin berbagai suku-suku untuk menyatakan protes. Ia dibantu banyak anak muda yang menjadi kurir untuk menghubungi semua tetua adat yang tersebar di puluhan desa. Ia mengorganisi masyarakat, menggalang kebutuhan logistik untuk perjuangan.

Tanggal 3 Juni 2000, ia bersama ribuan orang menduduki kawasan itu selama dua bulan. Aksi ini adalah aksi terbesar yang pernah dilakukan masyarakat adat. Ia memimpin lebih dari seribu ibu-ibu yang datang ke pegunungan dnegan membawa alat tenun. Mereka menduduki kawasan pegunungan itu selama dua bulan, sekaligus menyampaikan sikap bahwa pemilik gunung-gunung itu adalah masyarakat adat, yang selama ini melihat semua gunung itu sebagai bagian dari semesta yang mendukung kesinambungan ekologis. Bahwa manusia hanyalah noktah kecil yang mendapatkan manfaat dnegan lestarinya pegunungan. Aksi itu berhasil mengusir perusahaan itu ke luar pegunungan.

Persoalan tak lantas berhenti. Pemerintah mengeluarkan izin bagi tambang batu lainnya. Pada 15 Oktober 2006, kembali Aleta Baun memimpin ribuan mama-mama dan perempuan muda untuk menduduki kawasan tambang dengan membawa alat tenun. Mereka merayakan Natal di kawasan itu. Seorang pendeta memberikan ceramah tentang pentingnya menjaga lingkungan dan alam semesta. Kembali, perjuangan ini berhasil.

Yang menakjubkan adalah kemampuan penduduk desa memilih aksi menenun sebagai upaya menyatakan protes. Bagi masyarakat setempat, menenun adalah cara untuk memahami alam semesta. Identitas masyarakat bisa terbaca dari tenunan. Di dalam setiap motif tenun, terdapat berbagai makna dan simbol yang menggambarkan filosofi masyarakat. Bahkan, tenun juga menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan.

Melalui aksi menenun itu, para perempuan Mollo menunjukkan relasinya dengan alam melalui berbagai bahan pewarna alami, serta material untuk membuat kain yang semuanya berasal dari alam. Melalui tenun itu, perempuan Mollo hendak menegaskan kemandirian mereka untuk memenuhi smeua kebutuhannya. Mereka ingin meneriakkan pesan bahwa “Kami tak butuh korporasi dan secuil keuntungan itu. Kami sanggup memenuhi kebutuhan kami. Bahwa alam semesta amat pemurah serupa ibu yang menyediakan semua kebutuhan.”

Aksi ini mengingatkan saya pada konsep satyagraha dari Mahatma Gandhi di India yang menyatakan protes melalui aksi menenun sendiri pakaian yang hendak dikenakannya. Menenun menjadi cara baru untuk menyampaikan sikap tentang kemandirian dan sikap untuk tidak tergantung pada bangsa manapun. Hanya dnegan kemandirian, satu bangsa bisa menentukan jalannya sendiri, tanpa harus didikte oleh bangsa manapun.

Nampaknya, inspirasi gerakan sosial tak selalu harus didapatkan dari sosok hebat seperti Gandhi di India. Di sekitar kita, tepatnya di Timor Tengah Selatan, kita bisa menemukan butiran inspirasi yang akan memperkaya batin kita tentang betapa digdayanya masyarakat saat menyatakan protes.

Yang dilakukan Aleta dan perempuan Mollo adalah sekeping jalan keluar dari krisis global serta ancaman bencana yang muncul akibat perubahan iklim. Hanya dnegan cara merawat alam, menjadikannya sebagai bagian dari manusia, lingkungan bisa terselematkan sehingga bisa memberi makna bagi masyarakat luas. Ketika manusia melihat alam sebagai obyek, maka bencana demi bencana bisa hadir. Alam bisa menghukum keserakahan manusia.

Pada sosok seperti Aleta Baun, kita menemukan inspirasi dan harapan-harapan bahwa bangsa ini akan selalu bangkit selagi ada yang peduli dengan sekitarnya. Bangsa ini akan kuat ketika ada manusia-manusia biasa yang melakukan aksi luar biasa demi menginspirasi lingkungan, merawat bumi dengan penuh kasih, lalu menyelematkan bumi untuk generasi mendatang.


Bogor, 16 September 2015


BACA JUGA:







Mereka yang Mengepung Jusuf Kalla



SEPINTAS, panggung politik kita seakan baik-baik saja. Tapi di balik layar, terdapat adu strategi, adu jegal, dan adu kunci antar aktor. Ada yang ingin jadi pemain kunci, dan ada pula yang digencet hingga diciutkan perannya hingga minimalis. Itulah yang terjadi pada sosok Muhammad Jusuf Kalla. Betapa massifnya serangan,  cerca, hingga ‘lemparan tikus’ yang diarahkan padanya. Sebagai sekondan, ia tak leluasa memainkan bidak caturnya. Siapa yang membayang-bayangi langkahnya?

***

SEBUAH pesan berantai beredar melalui jejaring sosial. Isinya adalah seruan demonstrasi untuk mengecam Jusuf Kalla (JK). Pemicunya adalah media online yang memberitakan pernyataan Budi Waseso. Tanpa mengecek benar tidaknya informasi itu, massa dihasut untuk bergerak. Mereka diminta untuk melempar tikus ke rumah JK. Ada apakah gerangan?

Selama sebulan terakhir, posisi JK serba dilematis. Ia tak bisa melenggang dengan tenang. Saya bisa merasakan kalau dirinya seakan tak nyaman. Ia seolah duduk di atas bara panas. Di media sosial, apapun yang dilakukannya akan dianggap salah. Para pemerhati media merasakan adanya sebuah grand scenario yang hendak menimpakan semua kesalahan pada JK.

Sebulan terakhir, Menko Maritim Rizal Ramli langsung menabuh genderang perang. Ia langsung menuding program yang diinisiasi JK sebagai program yang tidak realistis. Bahkan, kasus Pelindo pun dikait-kaitkan dengan posisi JK. Publik hanya melihat Rizal Ramli sebagai menteri yang berani menentang wapres. Tapi persoalannya tak sesederhana itu. Di belakang Rizal, pastilah ada mastermind yang sengaja membiarkan skenario ini terus berjalan.

Posisi JK adalah dikepung oleh dua kekuatan besar yang setahap demi setahap telah menggerus ruang geraknya. Publik lupa, bahwa di belakang Rizal, ada sosok Luhut Binsar Panjaitan yang dikenal cerdik dalam memetakan strategi. Sejak awal pemerintahan, Luhut telah menunjukkan kapasitas lobinya saat bisa menjinakkan Koalisi Merah Putih (KMP). Ia juga semakin menunjukkan kelasnya saat menggiring Prabowo ke istana untuk bertemu Jokowi. Dengan posisi Luhut Binsar Panjaitan yang semakin menguat dan bisa mengendalikan dinamika politik, masih adakah ruang bagi JK?

Di tanah air, posisi sebagai kosong dua selalu dilematis. Anda tak boleh punya gagasan besar. Anda hanya bisa menjadi pengekor dari siapapun yang menjadi kosong satu. Gerak anda terbatasi oleh sejauh mana gerak dari tim kosong satu. Anda juga tak boleh unik, jika itu bisa mengancam si kosong satu, atau minimal mereka yang melingkari kekuasaan.

Jika politik adalah arena pertempuran, maka anda harus punya amunisi yang bagus untuk memenangkannya. Minimal untuk membangun basis pertahanan agar tidak mudah menjadi sasaran tembak. Pada titik inilah kita bisa meneropong posisi Jusuf Kalla yang amunisinya dipreteli perlahan-lahan.

JK memang berada di panggung kuasa. Namun, posisinya tak sekuat saat mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, JK memiliki basis partai yang kuat yakni Partai Golkar. Ia merasa bebas bergerak ke manapun sebab ada barisan besar yang sedang mengikuti langkahnya. Partai Golkar menjadi partai pendukung pemerintah, yang setiap saat bisa menjadi basis pertahanan sekaligus memberikan daya gedor bagi JK.

Kini, JK ibarat ronin yang tak punya rumah untuk kembali. Sebagai pendamping presiden, ia tak punya ‘mainan’ yang bisa membuat orang lain mendongak kepadanya. Di masa-masa awal pemerintahan, ia kerap disebut-sebut sebagai anggota KMP, yakni Kalla Mega Paloh yang dianggap sebagai sosok-sosok yang mengendalikan Jokowi.

Kini, bulan madu Kalla Mega Paloh itu akan segera berlalu. Perlahan, Jokowi mulai menemukan self confidence atau rasa percaya diri bahwa dirinya bisa mengendalikan politik. Dengan mengandalkan sumpah setia militer yang mendukung dirinya, Jokowi perlahan-lahan mulai menemukan bentuk permainannya. Ia mulai melepaskan pengaruh dari KMP demi membangun arena politiknya.

Di mata saya, Jokowi bergerak di lintasan yang dahulu dilalui Soeharto, Presiden ke-2. Pada masa Soeharto, politik dikelola dengan amat halus, sehingga pergesekan tak nampak dari luar. Lihat saja, betapa cerdiknya Soeharto membatasi ruang gerak seorang tokoh yang bisa mengancam dirinya. Saat Jenderal M Jusuf menjadi panglima ABRI dan popularitasnya melejit, Soeharto menghadapinya dengan cara mendorong Jenderal LB Moerdani masuk gelanggang untuk mengunci gerak Jenderal Jusuf.

Hingga akhirnya, LB Moerdani menjelma sebagai sosok besar yang secara perlahan mulai memgancam Soeharto. Kembali, Soeharto mendorong beberapa nama yakni Try Sutrisno, Feisal Tanjung, dan R Hartono (kelompok yang dahulu dianggap jenderal hijau) untuk mengganjal Moerdani, yang dahulu dijuluki jenderal merah. Isu kristenisasi dihembuskan demi menghambat Moerdani. Di tengah duel sengit itu, Soeharto duduk manis di singgasananya. Strategi ini juga dilakukan di level masyarakat sipil dan sukses dimainkan Ali Moertopo.

Senada dengan strategi Soeharto, nampaknya Jokowi juga mendorong sosok lain untuk membayangi dan mengunci pergerakan JK. Beredar dugaan kalau sosok itu sejak lama dimainkan secara cerdik oleh Luhut Binsar Panjaitan. Belakangan, Rizal Ramli ikut masuk arena dan perlahan juga menggencet JK. Ia juga dibayang-bayangi Luhut Panjaitan yang posisinya menguat sejak kewenangan Sekretariat Presiden kian diperluas, sehingga mengecilkan peran Wapres.

Sebagai publik, kita sedang dipertontonkan dengan drama yang tak menarik. Betapa menjemukannya melihat bagaimana sosok JK yang kian sepuh harus dibayang-bayangi oleh pergerakan Rizal Ramli dan Luhut Panjaitan. Kita sedang menyaksikan sebuah drama yang sungguh tak menarik saat menyaksikan bagaimana langkah-langkah wapres dikuntit lalu dicari celah-celahnya dan diumumkan secara terbuka ke hadapan publik. Apa yang bisa diharapkan dengan langkah politik semacam ini?

Yah, apa boleh buat. Politik kita diselubungi kelambu yang tertutup dari luar. Yang bisa dilakukan adalah kegaduhan, tanpa mengetahui siapa saja aktor serta apa kepentingan yang bermain di kegaduhan itu. Para pemain politik kita serupa pemain catur yang tenang dalam mengarahkan bidak. Terlihat damai, namun di dalamnya ada gesekan kepentingan, kekuatan, serta pengaruh. Di kegaduhan itu, JK sedang mencari jalan keluar yang paling damai, sebagaimana peran-peran yang pernah dilakukannya.

Yang pasti, sejarah masih mencatat bahwa pada pemilu presiden lalu, publik memilih Jokowi - Jusuf Kalla. Bukannya Jokowi - Luhut. Bukan pula Jokowi - Rizal Ramli. Nah, bersegeralah menemukan kata damai di tengah seliweran isu.


Bogor, 9 September 2015

BACA JUGA: