Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Misteri di Balik Kasus BOWO SIDIK




BOWO Sidik Pangarso tertangkap. Dia adalah seorang anggota DPR RI yang sedang mempersiapkan diri untuk kembali berlaga di Pemilu 2019.  Tim KPK menemukan 84 kardus yang isinya uang senilai 8 miliar rupiah. 

Uang itu rencananya akan dipakai untuk “serangan fajar.” Demi kembali masuk DPR RI, Bowo akan membeli suara. Sayang, kenyataan tidak seindah yang direncanakannya. KPK mengendus tindakannya. Dia tertangkap dalam satu operasi tangkap tangan (OTT).

Kasus Bowo Sidik terasa janggal. Di dalam 84 kardus itu, terdapat 400.000 amplop yang disebut KPK untuk serangan fajar. Jika diasumsikan 1 amplop untuk 1 suara, maka mengapa harus menyiapkan sampai 400.000? Bukankah cukup 100.000 amplop, maka potensi terpilih sebagai anggota DPR RI sudah cukup?

Berbagai media menuding, amplop itu terkait serangan fajar di pilpres. Sampai kini, asumsi ini masih belum bisa dibuktikan. Jika benar, maka kasus ini adalah pintu masuk untuk membuka banyak hal. Tapi, lagi-lagi ini bisa jadi spekulasi yang hanya digoreng oleh semua tim pemenangan. Yang pasti, penegak hukum sudah memberikan warning kalau mereka sedang memantau.

Ada pula tudingan kalau serangan fajar itu disiapkan oleh perusahaan terkait proyek distribusi pupuk. Ini sudah menjadi modus yang umum di kalangan pebisnis. Perusahaan membutuhkan satu penghubung di parlemen untuk memuluskan berbagai proyek. Korupsi terjadi secara berjamaah sebab melibatkan banyak pihak.

Bowo Sidik sedang harap-harap cemas. Di dunia politik, semua orang akan mengaku sebagai malaikat. Saat satu orang dituding bersalah, maka satu orang itu akan disingkirkan dari label malaikat dan dicap sebagai iblis. Bowo menerima takdir dikeluarkan dari partai, dan tidak akan diakui sebagai salah satu kader.

Kini, semua orang mulai memakinya. Padahal, jika ditanya dengan jujur, apa yang dilakukannya adalah bertujuan untuk meningkatkan suaranya, juga suara partai.

BACA: Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di PILPRES

Kepada yang memakinya, saya ingin mengajukan pertanyaan, jika kita dalam posisi Bowo, apa yang akan kita lakukan untuk memenangkan pemilihan elektoral di satu arena di mana semua orang saling suap untuk menang? Pernahkah kita bertanya, mengapa di saat semakin banyak yang ditahan, korupsi tetap ada?

“Ah, itu hanya sial,” kata seorang caleg di satu media sosial. Praktik yang dilakukan Bowo itu lazim saat pemilihan. Jangankan di level DPR RI, untuk level kabupaten saja, semua orang memasang tarif. Para caleg akan menyusun daftar calon pemilihnya, kemudian mulai menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkannya.

Di atas kertas, pemilu adalah ajang untuk memilih wakil ralyat yang bisa dipercaya. Tapi di lapangan, semua orang beda pahaman mengenai pemilu. Umumnya melihat itu sebagai pesta meriah di mana banyak uang beredar di pasaran. 

Para caleg siap-siap merogoh kantung dalam-dalam hingga ludes. Sementara rakyat akan siap-siap didatangi, disenyumi, kemudian diberi segepok rupiah demi memilih nama tertentu. 

Sekali dalam lima tahun, suara rakyat dianggap penting. Elite politik bersilaturahmi demi apa yang disebut menyerap aspirasi rakyat, padahal itu dilakukan sembari menyebut nama, nomor urut, dan menitip kartu nama.

Saya tidak menafikan sejumlah caleg yang membangun kedekatan dalam waktu lama. Saya mendengar anggota dewan yang tetap menjaga hubungan dnegan konstituennya dan secara rutin menggelar program bersama. 

Tapi, kisah-kisah seperti itu tak selalu kita dengar. Lebih banyak kita mendengar orang seperti Bowo yang melakukan money politic. Data calon pemilih dikumpulkan, setelah itu mulai eksekusi. 

Uang menjadi perekat agar untuk menjaga agar suara tidak lari ke mana-mana. Uang menjadi strategi untuk mengikat seseorang dalam perjanjian, “Kamu memilih saya, maka saya siapkan bagianmu.”

***

SAYA teringat tulisan Aspinall & Sukmajati (2015) yang mengidentifikasi beberapa pola kerja politisi untuk mengikat publik agar memilihnya di ajang pilkada. Pola ini menjadi arus utama yang dilakukan politisi di berbagai wilayah.

Pertama, pembelian suara (vote buying). Biasanya, praktik pembelian suara ini dilakukan seorang politisi kepada konstituen. Tim sukses sebelumnya melakukan pendataan terhadap para pemilih, lalu menentukan siapa saja yang akan diberikan uang demi suara. 

Di tanah air, istilah untuk menyebutnya bisa bermacam-macam, namun yang kerap terdengar adalah istilah “serangan fajar” untuk menamakan pemberian uang saat pagi hari, jelang pemilih ke lokasi pencoblosan.

Kedua, pemberian pribadi (individual gifts). Biasanya, pemberian pribadi ini meliputi pemberian beberapa barang seperti arloji, kalender, sembako, rokok, gula, kopi, mie instan, peralatan pertanian. Bisa pula beberapa benda yang memiliki makna religius, misalnya jilbab, mukena, peci, sajadah, tasbih, ataupun air zam-zam.

Politisi memberikan benda-benda ini saat hendak berkunjung ke rumah konstituennya. Label yang seirng dikemukakan adalah sebagai kenang-kenangan, serta bisa digunakan di saat genting. Pemberian ini digunakan sebagai perekat hubungan sosial.

Ketiga, pelayanan dan aktivitas (services and activities). Selain pemberian tunai, seorang kandidat juga bisa menggelar beragam kegiatan yang mempertemukan politisi dan konstituen. Pertemuan itu biasanya diiringi iming-iming pemberian hadiah tertentu, misalnya pertandingan domino, lomba balap karung, turnamen sepakbola, ataupun lomba menyanyi bersama.

Biasanya, acara-acara sejenis akan melibatkan banyak orang serta adanya sejumlah kuis-kuis yang isinya adalah bagaimana mengenalkan seorang politisi kepada masyarakat awam.

Keempat, barang-barang kelompok (club goods). Biasanya barang-barang ini diberikan untuk mengikat persaudaraan kelompok. Misalnya pemberian bantuan untuk masjid, pemberian atribut untuk barisan pendukung, hingga penyediaan sarana kesehatan untuk kelompok pendukung.

Seorang caleg bisa membentuk kelompok-kelompok kecil yang nantinya menjadi kekuatan untuk mempromosikan dirinya. Kelompok ini lalu difasilitasi dan diberikan atribut, serta adanya imbalan berupa gaji tertentu. Biasanya, pemberian pada kelompok ini dimediasi oleh seorang  tokoh masyarakat, yang kerap berperan sebagai broker politik.

Kelima, proyek-proyek pembangunan (pork barrel projects). Seorang politisi sering kali menjanjikan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah tertentu. Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong antara seorang kandidat dengan sejumlah instansi terkait. 

Pemberian proyek ini biasanya diikuti dengan penyerapan tenaga kerja di lokasi tersebut, yang diharapkan agar semakin memperkuat branding atau nama baik dari seorang caleg.

***

BOWO sedang menanti nasib. Sebagai wakil rakyat, tentunya Bowo salah sebab memberi “serangan fajar.” Di kepalanya, pemilu ibarat bisnis yang harus dimenangkan dengan suap. Dia ingin lolos dan terpilih sebab dia mempertaruhkan banyak hal untuk kemenangan.

Tapi dia tak pantas harus menjadi sebab tunggal yang menerima tudingan dari berbagai arah. Dia hanya melaksanakan pola kerja yang juga dilakukan banyak politisi. Jika dia terjerat, maka ada mekanisme yang gagal diamankannya sehingga dirinya tergelincir.

BACA: Westerling yang Bertulang, Berdagung, dan Berdarah

Di sisi lain, kita pun juga harus berani menyalahkan masyarakat kita. Sebab masyarakat kita terlanjur memandang tinggi mereka yang kaya dan menduduki jabatan publik. Masyarakat kita mudah tunduk patuh dan berbicara sopan kepada pemegang jabatan publik. Semua mendadak baik.

Sayang, demi label kaya dan terhormat itu, orang memilih jalan pintas. Kita tak punya kultur kerja keras dan banting tulang. Kultur kita menerabas demi menyelamatkan diri sendiri.

Di sisi lain, lembaga-lembaga hukum seperti KPK dan Kejaksaan hanya fokus pada bagaimana menangkap koruptor, tanpa melakukan upaya pencegahan agar orang tidak korupsi. Jika tak ada pembenahan serius pada sistem, aturan, dan norma, maka berita tertangkapnya para koruptor akan terus menjadi sajian di media-media kita.

Pada Bowo Sidik, kita menemukan cermin sosial kita yang menunjukkan betapa banyak pekerjaan rumah untuk segera kita tuntaskan demi anak cucu kita di kemudian hari, demi republik yang dahulu dibebaskan dengan penuh darah dan air mata.(*)




WESTERLING yang Bertulang, Berdaging, dan Berdarah




Sering kali kita menghadapi sejarah sebagai sekadar rangkaian peristiwa dan tanggal-tanggal kejadian penting. Bahkan sering kali kita melihat tokoh sejarah hanya sebaris nama yang dihafalkan dan sesekali disebut dalam kaitan peristiwa.

Sering pula kita melihat sejarah yang serba hitam putih. Sejarah serupa menyaksikan panggung yang memperhadapkan jagoan versus penjahat. Sering pula kita menempatkan diri kita dan bangsa kita sebagai jagoan, sementara pihak lain adalah penjahat.

Namun bagaimanakah halnya jika kita berada pada posisi yang dituduh sebagai penjahat? Apakah kita akan punya kejujuran untuk menelaah, kemudian berdamai dengan masa lalu kita yang merupakan bagian dari penjahat? Ataukah kenyataan tak selalu hitam putih sebab setiap sisi baik, selalu ada sisi jahat?

Saya sedang membaca buku bagus yang ditulis Maarten Hidskes berjudul Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya. Buku terbitan Obor ini menarik sebab ada bagian yang mengisahkan bagaimana kekejaman Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan pada tahun 1946-1947.

Di Sulawesi Selatan, nama Raymond Westerling sering dilafalkan dengan penuh kebencian. Perwira pasukan khusus Belanda ini dianggap telah menghilangkan 40.000 nyawa rakyat Sulawesi Selatan. Dia dikenal bengis, kejam, dan lihai menembak. Pribadinya menjadi momok atas peperangan yang sedemikian kejam.

Buku ini tak melulu sejarah. Penulisnya, Maarten Hidskes, menulis buku ini serupa perjalanan untuk mengungkap teka-teki. Bapaknya adalah seorang anggota pasukan Kapten Westerling. Sepanjang hidup bapaknya, tak pernah ada dialog mendalam mengenai pengalamannya di Sulawesi Selatan.

Semasa kecil, Hidskes sering menemukan ekspresi bapaknya yang berubah saat ditanya tentang Sulawesi. Dia tahu kalau bapaknya pernah bertugas sebagai pasukan khusus. Tapi bapaknya selalu menolak untuk membahasnya. Bapaknya selalu mengalihkan topik saat disinggung tentang perjalanannya ke Sulawesi sebagai prajurit.

Saat dia di sekolah, sempat muncul petikan sejarah tentang apa yang terjadi di Sulawesi. Di Belanda, tindakan dianggap sebagai upaya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Setahun setelah proklamasi Indonesia, daerah-daerah bergolak. Banyak orang menebar teror. Belanda datang dengan misi untuk mencaplok beberapa wilayah.

BACA: Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di Pilpres

Di Sulawesi Selatan sendiri, masih tersimpan memori kolektif atas kebengisan Westerling. Dia dan pasukannya menyusun daftar pelaku  teror. Masyarakat dipanggil satu per satu, kemudian ditembak di tempat. Pada masa itu, mayat dengan mudahnya ditemukan di jalan-jalan, kemudian dikumpulkan dan dikubur di satu lapangan. Kini di lapangan itu berdiri monumen yang dinamakan Monumen 40.000 Jiwa.

Saya tertarik dengan cara Hidskes menyusun buku ini yang serupa dialog. Dia memang tak banyak berdialog dengan bapaknya. Saat sang bapak meninggal, banyak rekan bapaknya dulu, sesama prajurit Westerling yang berdatangan demi memberikan penghormatan terakhir. Hidskes lalu perlahan menyusun patahan demi patahan informasi.

Dia menelusuri pengalaman bapaknya melalui memoar, arsip, dokumentasi, dan semua jejak yang ada. Dia butuh waktu 25 tahun untuk mengumpulkan bahan mengenai perjalanan ayahnya selama 12 minggu saat menjadi pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. 

Sebagai jurnalis senior, dia bisa menyajikan satu catatan sejarah yang menarik. Kita seakan terlempar melalui portal waktu dan masuk dalam pengalaman seorang serdadu Belanda yang datang ke Sulawesi dan menjadi bagian dari teror. Kita ikut merasakan degup jantung, ketakutan, juga kengerian yang dihadapi seorang prajurit.

Bagi saya, catatan ini menarik sebab menyajikan satu rasa sejarah. Selama ini kita hanya menangkap sejarah sebagai rangkaian peristiwa yang dihafalkan. Kita kehilangan daging, kulit, dan tulang dari sejarah itu sebagai sesuatu yang dihadapi manusia pada satu kurun peristiwa. 

Melalui catatan itu, kita tak berhadapan dengan kenyataan sebagai hitam dan putih. Ada proses mengalami dan merasakan sehingga kita bisa lebih arif dalam melihat masa silam, tanpa harus terjebak pada penilaian benar salah. 

Butuh satu kearifan untuk memahami masa silam. Penulis buku ini, Maarten Hidskes, telah sampai pada titik untuk tidak larut dalam sikap untuk membela habis-habisan versi sejarah negerinya. Dia justru bersikap terbuka dan mengakui beberapa hal penting yang menjadi akar kekerasan pada masa itu. Melalui judul "Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya", dia menegaskan posisinya untuk melihat sejarah secara apa adanya.

Dari sisi subyektif seorang prajurit, kita bisa memahami dinamika satu masa, sekaligus bagaimana seharusnya menilai seorang tokoh yang dibenci sejarah yakni Kapten Raymond Westerling. Apakah dia sebengis kisah yang selama ini kita dengar?

***

Ini bukan pertama kalinya saya membaca catatan tentang sosok Westerling. Saya juga pernah menemukan catatan Westerling dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 yang ditulis Gert Oostindie. Buku ini menjadi catatan paling humanis tentang para serdadu yang dikirim berperang ke tanah air. Peperangan bisa membelah manusia dalam dua kubu. Manusia tak punya banyak pilihan. Namun melihat perang secara hitam putih, tak tepat benar.

Dalam memoarnya, Westerling menyebut tindakan itu memang harus dilakukannya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sebagai pasukan khusus, ia bergerak cepat dalam situasi yang disebutnya runyam. Ia mengatakan:

“Saya juga bersikeras bahwa saya dengan mengorbankan sejumlah nyawa telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa lainnya. Nyawa-nyawa yang saya lenyapkan adalah nyawa para penjahat, puluhan ribu yang saya selamatkan adalah nyawa-nyawa dari para orang yang tak berdosa,”

Bagi Belanda, situasi saat itu sangat runyam. Banyak terjadi kerusuhan. Kriminalitas meninggi. Banyak penjahat yang mengaku seolah-olah mereka adalah pendukung tentara republik. Kehadiran pasukan khusus yang dipimpin Westerling adalah jalan keluar untuk mengamankan situasi. Benarkah korbannya hingga 40.000 nyawa?




Buku Geerst Oostindie tak spesifik membahas itu. Tapi saya pernah menemukan catatan Salim Said saat dirinya mewawancarai Westerling di Belanda pada tahun 1970-an. Ia penasaran dengan klaim pemerintah tentang jumlah korban 40.000 nyawa. 

Masih dalam catatan Salim Said, beberapa upaya pelacakan korban Westerling, hasilnya jauh dari angka itu. Makmur Makka melacak korbannya sekitar 3.000 jiwa. Anhar Gonggong menunjuk angka ribuan, yang tidak semuanya dilakukan Westerling.

Kepada Salim, Westerling hanya menyebut angka 463 jiwa. Itu pun tidak semuanya tewas karena pistolnya yang menyalak. Sebagian besar justru dibunuh oleh anak buahnya. Harus diingat, anak buahnya di masa itu kebanyakan orang Indonesia. Tak tepat  juga menimpakan kesalahan hanya pada dirinya seorang, meskipun ia mengakui sebagai pihak yang memerintahkan pembunuhan itu.

Pada masa itu, Belanda hendak membentuk negara boneka Indonesia Timur ciptaan Van Mook. Belanda ingin menunjukkan bahwa tidak semua wilayah republik tunduk pada Sukarno. Saat itu, banyak gerombolan yang memanfaatkan situasi itu untuk meneror masyarakat. Demi mengatasi keadaan menjadi tenang dan damai, Jenderal Spoor mengirim sahabatnya Westerling yang membawa 900 prajurit

Yang menarik, dalam buku ini, Westerling menyebut tindakannya secara terbuka. Mungkin ia memang berniat agar sejarah versi dirinya bisa sampai ke publik. Ia resah dengan catatan sejarah yang menyebut dirinya sebagai orang jahat.

“Kadang saya dianggap aneh. Apa yang saya lakukan? Saya telah membunuh empat laki-laki. Kesemuanya pembunuh. Dengan cara ini saya mengakhiri pembunuhan dan kejahatan mereka, yang telah menewaskan ratusan korban tak bersalah,” kata Westerling.

Dalam catatan Belanda, penanganan Westerling itu telah merebut hati masyarakat. Setelah pembunuhan secara terbuka yang dilakukannya, banyak masyarakat yang mendukung dan mau bekerja sama dengannya. Westerling mendapatkan penghargaan tinggi karena mendamaikan situasi. Mungkin saja ini terkait dengan shock therapy yang membuat orang-orang ketakutan.

“Saya membunuh dengan tangan saya sendiri karena saya ingin mempertanggungjawabkannya sendiri. Saya membunuh para pembunuh yang telah melakukan kekejaman yang tak terhitung besarnya. Saya tidak membunuh orang yang tidak bersalah. Saya membawa kedamaian di wilayah-wilayah yang dipercayakan kepada saya.“

Catatan Westerling ini memang harus dibaca dengan kritis. Bisa jadi, ia sedang membangun justifikasi atas tindakannya. Poin penting yang bisa dipetik adalah dalam situasi peperangan, semua pihak menjalankan apa yang dianggapnya baik. Pada masa itu, Westerling menganggap dirinya sedang menjalankan misi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.

Kata Salim Said, Sulawesi Selatan punya sejarah perlawanan yang cukup heroik. Mereka menolak untuk berada di bawah Belanda, sehingga melakukan perlawanan. Potensi perlawanan itu yang ditakuti Belanda, lalu dipadamkan dengan penanganan ala Westerling. Belanda berpikir, sebelum api perlawanan itu membesar, mereka harus segera diberi efek kejut.

Berkat beberapa referensi itu, saya baru tahu kalau dalam masa perang, serdadu Belanda yang asli Eropa, malah tak begitu banyak. Yang banyak adalah orang Indonesia yang berada dalam kubu Belanda. Mereka tentara yang dibayar secara profesional. Dalam catatan Salim Said, banyak orang yang benci Sukarno sebab pernah menderita di zaman Jepang, seperti Romusha, Heiho, dan sebagainya, yang merupakan hasil kerja sama politik Sukarno dengan Jepang.

Kisah Westerling menarik di mata saya. Dia pensiun sebagai tentara pada tahun 1948. Ia menjalani masa pensiun dengan menjadi pengusaha bidang perkebunan di Jawa Barat. 

Dia kawin dengan janda keturunan Perancis dan menetap di Puncak. Tapi ia tak lama menjalani pensiun, sebab terlibat dalam gerakan Ratu Adil. Ia menerima posisi pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dikendalikan imam tertinggi Darul Islam, Kartosuwiryo. Hingga akhirnya, Westerling kembali ke Belanda dan melalui masa tuanya di sana.

Kehidupannya di Belanda tak begitu membahagiakan. Ia mencoba jadi penyanyi opera, namun gagal. Pernah ingin jadi penulis, tapi juga tidak berhasil. Dia masih tetap bergaul dengan eks tentara Belanda yang bertugas di Indonesia. Peperangan itu tak menyisakan trauma baginya. Ia mengaku bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.

Saat ditemui Salim Said, kerut-kerut tampak di wajah Westerling. Ia telah berusia tua, namun tetap tegap. Ia masih bisa menembak dengan tepat lima tutup botol yang dilepas, pada satu lomba yang diadakan di satu bar.  

Dari sisi kemanusiaan, tindakannya jelas bar-bar. Tak akan dibenarkan dalam kitab mana pun membunuh begitu banyak, bahkan terhadap musuh sendiri. Namun saat ditanya tentang korban 40.000 nyawa yang dibantainya, ia tertawa ngakak. 

“Tanyakan pada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus itu dalam waktu singkat,” katanya.

Membaca pernyataan terakhir ini, saya terhenyak. 



Sesuai Membaca Catatan DAHLAN ISKAN




Orang mengenal Dahlan Iskan dalam berbagai profesi. Mulai dari wartawan hebat, bos media besar dengan jejaring paling kuat, mantan Dirut PLN, mantan menteri, mantan peserta konvensi capres Partai Demokrat. 

Namun, kita harus menambahkan satu lagi kategori tentang beliau. Dia adalah blogger hebat dengan tulisan yang renyah.

Setahun terakhir, saya sering membaca tulisan Dahlan Iskan di web pribadi DI’s Way. Tulisannya ringan dan renyah, namun menyelipkan banyak hikmah dan pembelajaran. Dia bercerita dengan cara yang paling memikat dan mudah dipahami.

Ketika melihat buku yang menghimpun tulisan terbaiknya di DI’s Way, saya langsung membelinya. Sebagian besar tulisan di situ sudah saya baca. Semua tulisan punya pesan kuat yang menghujam di pikiran. 

Jika saya diminta menyebut beberapa, saya akan menyebutkan tulisan mengenai Haji Nasir, seorang lulusan SMP dari Barru, Sulsel, yang merantau ke Berau, Kaltim, di usia muda. 

Anak muda yang keras kepala ini nekat merantau karena kesal setelah konflik dengan ayahnya. Di tanah rantau, dia melakukan segala sesuatu dari nol.

Di akhir kisah, dia sukses menjadi pengusaha hebat dan kaya-raya, kemudian memanggil ayahnya datang. Saya terharu membaca kisah ayah dan anak yang sama-sama keras kepala, tapi keduanya sangat menyayangi.

Kisah lain yang saya sukai adalah konglomerat Ciputra yang begitu terobsesi dengan pelukis Hendra, yang pernah jadi terpidana isu politik oleh pemerintah Orde Baru. 

Sejak masih miskin, Ciputra sudah membeli lukisan Hendra. Hingga suatu hari, Hendra keluar penjara dan hidup merana di Bali. Ciputra kembali datang dan membeli lukisan. Dia adalah malaikat bagi Hendra.

Sebegitu terobsesinya Ciputra dengan lukisan Hendra, sampai-sampai beberapa lukisan diubah menjadi patung. Bahkan ada lukisan yang dibuatkan pementasan tari. Tak hanya itu, meskipun Hendra sudah meninggal, Ciputra rutin merayakan uang tahun pelukis itu di salah satu gedung mewah yang dimilikinya.

Cerita lain yang menarik adalah kosmetik Wardah, kosmetik asli Indonesia yang perlahan mendunia. Saya juga senang dengan cerita Ricky Elson, seorang doktor bidang teknik yang kembali ke desa dan mengembangkan pesantren teknologi. Ricky Elson mengingatkan saya pada sosok Ranchordas dalam film 3 Idiots.

Saya mencatat ada beberapa hal yang membuat catatan Dahlan menarik.

Pertama, dia membahas lika-liku perjalanan manusia untuk menemukan dirinya. Sejak zaman Adam, cerita-cerita mengenai manusia selalu menarik. 

Cerita Dahlan terasa dekat sebab sehari-hari kita sering menemukan cerita seperti itu. Bedanya, Dahlan bisa menceritakan ulang dengan memikat serta menyarikan banyak inspirasi dan perjalanan.

Cerita Dahlan mengingatkan saya pada cerita-cerita di fanpage favorit saya yakni Humans of New York (HONY) yang isinya adalah kisah-kisah warga New York. 

Catatan itu menarik sebab kota adalah rumah besar yang diisi banyak orang yang tidak saling kenal dan tidak ingin melanggar privasi, namun jauh dalam diri pada setiap orang ada rasa kepo untuk tahu siapa dan apa yang sedang dikerjakan orang lain.

Kedua, sebagai pesohor dan jurnalis senior, serta birokrat, Dahlan punya akses pertemanan yang luas. Dia bisa bertemu orang-orang unik, punya passion kuat di satu bidang, serta punya kisah menarik. 

Dia bertemu banyak orang hebat yang selama ini namanya hanya bisa dibaca di media. Dahlan punya sisi lain yang menarik tentang tokoh-tokoh itu.

Ketiga, tulisan Dahlan serupa perbincangan ala warung kopi yang renyah dan tidak membosankan. Saya teringat tips menulis dari ilmuwan Steven Pinker yakni buat tulisan serupa obrolan. 

Ketika menulis, anggap dirimu sedang bercerita pada orang lain. Saat ngobrol, biasanya kita berusaha untuk berbicara sederhana dan jelas sehingga orang lain bisa paham arah obrolan kita.

Demikian pula dengan menulis. Posisikan semua orang dari berbagai latar usia sebagai pembacamu. Jangan biarkan mereka kebingungan karena berbagai istilah akademis yang kita keluarkan. Buat tulisan itu sederhana dengan kalimat ringkas dan tidak bertele-tele.

Demikian catatan saya atas buku terbaru Dahlan. Mau pinjam? Gak ah. Beli dong!



Membaca Steven Pinker




Lama menunggu, akhirnya saya bisa menimang buku Enlightement Now yang ditulis Steven Pinker. Buku ini terbilang baru. Di Amrik, buku yang ditulis profesor bidang psikologi evolusioner dari Harvard ini terbit tahun 2018 lalu.

Saya makin penasaran untuk membaca buku ini setelah membaca review yang dibuat Bill Gates. Beliau memang rajin membuat resensi buku-buku baru dan merekomendasikannya. Berkat rekomendasi Bill Gates, saya hunting beberapa buku bagus. Di antaranya buku2 yang ditulis Yuval Noah Harari.

Bill Gates menyebut buku ini sebagai buku favoritnya sepanjang masa. Seingat saya, di Indonesia, yang pernah meresensi buku Steven Pinker ini baru Rizal Mallarangeng. Harus saya akui, Rizal terbilang rajin membaca dan meresensi buku.

Berkat penerbit Globalindo yang beralamat di Kota Manado, buku Steven Pinker bisa dimiliki. Hebatnya, penerjemah buku ini adalah Haz Algebra, anak muda yang menempa diri di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Manado. Dia pula yang menerjemahkan buku Yuval Noah Harari berjudul 21 lessons for 21st century.

Salut buat Haz yang menerjemahkan buku setebal 700 halaman dalam bahasa Indonesia. Kalau bukan karena kecintaan pada ilmu pengetahuan, tak mungkin dia punya energi untuk menerjemahkan buku2 sebagus ini.



Inspirasi JACK MA




Inspirasi bisa datang dari satu kejadian tak terduga. Isaac Newton menemukan ide tentang gravitasi ketika ada apel yang jatuh di depannya. Sebelum Archimedes berteriak “eureka” sebagai tanda menemukan satu ide, dia baru saja masuk ke dalam bak mandi.

Pebisnis terkaya asal Cina, Jack Ma, menemukan nama Alibaba saat berbincang dengan pramugari di pesawat. “Apa kamu tahu tentang Alibaba” tanya Jack Ma. Pramugari itu menjawab Alibaba adalah anak muda dalam kisah 1001 malam yang berhasil mengalahkan 40 penyamun.

Jack Ma merasa ada cahaya yang menyala di kepalanya. Dia memutuskan untuk memakai nama Alibaba sebagai nama bagi e-commerce yang sedang dikembangkannya. 

Orang-orang tidak mengetahui bahwa ada pesan penting yang hendak disampaikan Jack Ma. Dalam buku mengenai Jack Ma, yang saya beli dengan harga murah di Big Bad Wolf, saya menemukan kisah lain. 

Saat Jack Ma mendirikan startup, dia harus berhadapan dengan raksasa Ebay yang berasal dari Amerika Serikat.

Saya menduga, dia berpikir kalau Ebay serupa para penyamun yang merampok harta-harta milik orang Cina lalu menimbunnya di gua. Mungkin saja dia berasumsi kalau Alibaba akan mengambil harta karun itu dari para penyamun Ebay. 

Dia ingin mengalahkan perusahaan Amerika itu, tapi bukan dengan cara menyalahkan pemerintahnya. Bukan juga dengan cara sibuk memaki-maki Amerika. Dia ingin menang dalam satu pertarungan yang fair di arena yang disebut pasar.

Strategi yang disusun Jack Ma terbilang mengesankan. Ebay membuat web dengan tampilan universal dan serba minimalis. Web Ebay terlihat elegan dan rapi, sebagaimana Google. Jack Ma tahu kalau orang Cina suka tampilan yang ‘busy’ atau ramai. Orang Cina suka web yang penuh warna-warni dan padat, sebagaimana reklame di pasar-pasar Shanghai. 

Jack Ma membangun web yang sesuai dengan kepribadian orang Cina yang suka ramai dan warna-warni itu. Di Ebay, hanya ada dua kategori yakni “buyers”dan “sellers.” Ini adalah platform global. Maka di web buatan Jack Ma, kategori yang muncul adalah laki-laki dan perempuan. Dia tahu kalau orang Cina merasa nyaman belanja di kamar-kamar yang dibedakan menurut jenis kelamin.

Saya suka cara Jack Ma menggambarkan Ebay sebagai “hiu di lautan.” Dia berkata dengan penuh optimisme: “Ebay maybe a shark in the ocean, but I am a crocodile in the Yangzi river. If we fight in the ocean, we lose. But if we fight in the river, we win.” Ebay mungkin serupa hiu di lautan, tapi saya adalah buaya di Sungai Yangzi. Jika kami bertarung di lautan, saya kalah, Tapi jika kami bertarung di sungai, saya menang.

Semua tahu akhir pertarungan itu. Tahun 2007, Ebay hengkang dari Cina karena babak belur dihantam Alibaba. Keajaiban tak berhenti di situ. Jack Ma mengakuisisi Yahoo. Dia lalu membuka kantor besar di Silicon Valley. Alibaba lebih besar dari Facebook dan Amazon. Dia juga dinobatkan sebagai orang terkaya di Cina. 

Saya cukup senang membaca kisah Jack Ma ini. Saya suka membaca cerita tentang orang yang memulai kariernya dari nol. Teralhir dari keluarga miskin, Jack Ma terbiasa dengan segala penderitaan. Bahkan dia pernah melamar kerja hingga 30 kali ke berbagai perusahaan. Dia pun tabah menjalani profesi sebagai guru bahasa Inggris selama enam tahun.

Di waktu senggang, dia membaca berbagai cerita kungfu. Ketika dirinya kaya, dia membuat film pendek tentang dirinya yang bertarung dengan para aktor film kungfu yakni Jet Lee dan Donny Yen. 

Saya suka filosofinya tentang uang. Menurutnya, masa terbaik dalam hidupnya adalah ketika masih miskin. Sebab saat itu, dirinya penuh semangat dan motivasi untuk kerja keras. Ketika seseorang mulai kaya, maka berbagai tekanan akan datang. Masalah bermunculan. Tapi, kata Jack Ma, orang kaya akan selalu diperhatikan. 

“Ketika kamu miskin, belum sukses, semua kata-kata bijakmu terdengar seperti kentut. Tapi ketika kamu kaya dan sukses, kentutmu terdengar sangat bijak ...

Hahaha. Rasanya ingin memaki. Sialan lu!

Membaca MARKETING 4.0




Dulu, saya nyaris tak pernah membaca buku bertemakan marketing atau pemasaran. Suatu hari saya tergoda membaca buku Marketing Wow yang ditulis Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya. Saya terkesima dengan cara Kartajaya membahas satu topik.

Dia mulai dari cerita mengenai satu fenomena dan studi kasus. Setelah itu dia mulai menjelaskan mengapa begini dan mengapa begitu. Dia perbanyak contoh-contoh yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, penjelasannya membumi dan juga renyah.

Buku Marketing Wow juga mengejutkan saya. Pemasaran bergerak ke arah sesuatu yang humanis. Jadi lebih antropologis. Bukan lagi menjual produk, tapi bagaimana membangun relasi dan jejaring dengan orang banyak. Demi membangun relasi itu, Anda harus jadi orang baik yang menawarkan ketulusan dan keikhlasan.

Makanya, ketika membaca Hermawan Kartajaya menulis buku Marketing 4.0 bersama mahaguru pemasaran Philip Kottler, saya tak sabar untuk membacanya. Buku itu terbit dalam bahasa Inggris, namun telah diterjemahkan ke dalam 26 bahasa. Sayang, saya tidak sempat mendapatkannya.

Ketika singgah ke toko buku, saya melihat buku itu telah diterjemahkan. Langsung saya membelinya. Saya membacanya hanya dalam waktu sehari. Namun selama beberapa hari, saya membawa buku itu. Ada banyak pelajaran yang saya temukan.

Di antaranya, pemasaran telah bergeser dari eksklusif ke inklusif. Produk yang bagus, tadinya eksklusif dan hanya milik satu kalangan, kini menjadi inklusif. Bisnis juga bergerak dari vertikal ke horizontal. Globalisasi dan internet telah mengubah lanskap menjadi lebih sejajar. Tak ada lagi pemain kuat sebab perlahan digerogoti banyak pemain kecil yang lebih gesit di pasar.

Yang menarik, para pelanggan tidak lagi hanya mendengar iklan televisi. Bahkan pendapat pakar juga ditinggalkan. Pelanggan lebih mendengar 4F yakni friends (teman), families (keluarga), Facebook Fans, dan Follower (pengikut) Twitter. 

Hal ini sudah dijelaskan Kottler & Hermawan dalam buku Marketing 3.0. Menurutnya, ketika orang menyukai satu produk, maka dia akan merekomendasikannya di media sosial. Orang lain pun mudah terpengaruh ketika ada yang membagikan informasi di media sosial. 

Nah, dalam Marketing 4.0, saya mendapat penjelasan detail tentang sinergi antara online dan offline. Dua aspek ini harus saling sinergi dan melengkapi. Dalam ekonomi digital, interaksi digital saja tidak cukup. Sentuhan offline tetap penting. 

Perubahan ini dipengaruhi kehadiran kaum muda (youth) yang ingin mewarnai dunia dengan caranya, para perempuan (women) yang punya otoritas untuk belanja, juga para netizen yang aktif berkomunikasi dan berbagi.

Bagian favorit saya adalah bagian yang membahas bagaimana menyusun konten, membuat tagar, tagline, dan langkah-langkah memasarkan konten. Membaca bagian ini, saya bisa memahami cara kerja para politisi dan tim sukses capres memasarkan kandidatnya. Ada yang terencana, ada pula yang tidak. 

Secara umum, Marketing 4.0 adalah peta untuk memenangkan bisnis di era digital, yang tetap berpatokan pada strategi bagaimana memahami perilaku manusia dengan sebaik-baiknya. 

Recommended!

Berhaji di Tanah Bugis




Embun masih basah saat saya tiba di pelataran parkir Bandara Sultan Hasanuddin. Ratusan orang menyemut di pintu keberangkatan. Di sana-sini, saya melihat orang berpelukan dan bertangisan. Rupanya, hari ini banyak yang hendak berangkat umroh.

Bagi orang Bugis Makassar, momen keberangkatan ke Tanah Suci adalah momen yang mengharukan. Ada semacam rasa galau kalau-kalau mereka yang berangkat tidak akan kembali lagi. 

Tidak mengejutkan, jika warga sekampung akan mengantar ke bandara demi mengucap selamat jalan, juga tangis haru saat melihat keluarga bergegas berangkat. Semuanya berharap agar mereka yang berangkat haji itu bisa kembali dengan selamat. Untuk itu, mereka bertangisan.

Saya tidak paham sejak kapan tradisi bertangis-tangisan ini dimulai. Namun, saya pernah membaca buku yang ditulis Henri Chambert Loir berjudul Naik Haji di Masa Silam. Di situ, dijelaskan kalau pada tahun 1800-an, mereka yang berhaji butuh waktu tempuh perjalanan hingga enam bulan dengan menggunakan kapal laut. 

Jalur laut menjadi satu-satunya pilihan sebab jalur pesawat dibuka nanti tahun 1952. Masih dalam catatan Henri, perjalanan itu terasa berat bagi jamaah. Mereka menumpang kapal kargo yang memuat barang. Semua jamaah berdesak-desakan sehingga melebihi kapasitas kapal. 

Ketika badai menyerang, maka ratusan penumpang bisa tewas karena barang-barang berjatuhan. Belum lagi makanan tidak terjamin, serta tidak adanya petugas kesehatan. Ada lagi wabah kolera yang setiap saat bisa menyerang. Bahkan setiba di tanah Arab, keadaan tetap sulit bagi mereka hingga akhirnya tiba di tanah air.

Berhaji di masa lalu mesti menyiapkan fisik agar tangguh menempuh perjalanan jauh dan tantangan yang akan menghadang. 

Namun, selalu ada sisi positif. Mereka yang berhaji di masa lalu adalah mereka yang siap memperdalam ilmu agamanya. Berhaji adalah ritual penyempurna bagi santri dan orang biasa yang belajar agama. 

Sepanjang perjalanan di kapal layar, mereka akan belajar, mengkaji agama, lalu berdiskusi,. Demikian pula ketika kembali dari Mekkah. Mereka akan berpengetahuan sebagaimana orang yang baru usai belajar agama di level doktoral. 

Mungkin ini pula yang menjelaskan mengapa orang Bugis-Makassar yang hendak berhaji akan diantar seluruh keluarga saat di bandara. Momen melepas haji itu adalah momen penuh mengharukan sebab mereka akan saling bertangisan seolah-olah akan lama tidak bertemu, atau malah tidak bertemu lagi. 

Zaman memang bergeser. Di bandara itu orang bertangis-tangisan seakan tidak bertemu lagi. Tradisi ini masih bertahan. Padahal mereka yang berhaji di masa kini akan men-tag lokasi di mana pun berada. Di setiap persinggahan pesawat, mereka akan melakukan panggilan video call dengan mereka di kampung halaman.

Pernah, saya melihat seorang kawan yang memosting dirinya berdoa dalam keadaan menangis di depan Ka’bah. Aneh saja melihat foto dirinya berdoa sambil menangis. Tangan kiri menyeka air mata, tapi tangan satunya memegang hape kamera lalu selfie.

Anda yang berhaji di masa kini akan menemui tantangan baru. Apakah memilih ingin merasakan indahnya gelora spiritualitas di tanah suci dalam diam, sebab sebagaimana kata seorang sufi, biarlah itu menjadi rahasia antara anda dan Dia. Ataukah memilih untuk mengabadikan setiap momen agar orang-orang tahu kalau Anda cukup kaya dan mampu ke Baitullah.

Di ruang tunggu bandara, saya hanya bisa cemburu sembari berharap kelak akan menempuh perjalanan serupa.

Di atas sana, Dia sedang menyaksikan.



Undangan dari Kampus Unhas




Sejak lulus kuliah, saya lama tidak menginjakkan kaki di kampus Universitas Hasanuddin. Kalaupun singgah, biasanya hanya sejenak untuk ngopi2 dengan para sahabat. Ketika ada undangan dari pihak Unhas untuk bicara2, saya tak mungkin menolak. 

Tak mungkin saya mengabaikan undangan dari kampus yang selama sekian tahun jadi ruang belajar dan menempa diri. Tapi melihat pembicara lain yang keren2, rasanya ingin kabur. Saya coba menghibur diri. Bahwa tak semua mahasiswa ingin dengar presentasi yang hebat2. 

Bisa jadi para mahasiwa kangen melihat aksi penjual obat di Lapangan Karebosi. Bisa jadi, ada yang ingin diskusi tentang kucing. Tapi dugaan saya, banyak yang ingin lanjut diskusi tentang mantra. Yuk...

Makan Malam Bersama Mafia Ohio



Di hari nyepi, Jakarta ikut sepi. Jalan-jalan terasa lengang. Datanglah saya ke Pinang Bistro Oakwood, untuk mengikuti pertemuan dengan para alumnus Ohio University at Athens, USA. Para alumnus menamakan dirinya Mafia Ohio.

Ceritanya, para alumnus datang untuk menyambut kedatangan Prof Gene Ammarell, antropolog penulis buku Navigasi Bugis, yang berencana ke Makassar untuk menjadi visiting professor di Unhas.

Saya ikut menyambut guru yang pernah mengajari banyak hal terkait riset etnografis. Saya pun senang bertemu teman dan sahabat dekat. Beberapa di antaranya adalah mantan roommate yang kini udah semakin hebat. Sayang, saya tak bertemu Prof Syafii Maarif dan Dr Salim Said di situ. Biasanya mereka datang.

Saya tidak paham sejak kapan sebutan Mafia Ohio. Seingat saya, dulu hanya ada sebutan Mafia Berkley, sebutan untuk para ekonom alumnus kampus di LA. Belakangan istilah Mafia Ohio muncul pula. Mungkin semacam olok2 saja. Mereka tersebar di mana2 dan bekerja di berbagai bidang.

Terbanyak dari mereka bekerja sebagai akademisi dan peneliti, baik yang berkarier di dalam negeri, ataupun luar negeri. Setelah itu banyak aktivis NGO, serta periset di lembaga internasional.

Namun, tak semua bekerja di bidang itu. Seorang kawan kini menekuni profesi sebagai barista atau peracik kopi. Tentu saja, profesi paling keren di ruangan itu adalah pelatih kucing, profesi langka yang tidak ditekuni satupun mafia Ohio.

Di Pinang Bistro, saya bergabung dalam suasana penuh ceria dan bersahabat. Di luar sana, saya lihat jalanan nampak sepi. Tak seperti biasanya.

Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di Pilpres




Wajah kawan itu langsung berubah. Di layar kaca, satu lembaga survei berreputasi telah mengeluarkan publikasi. Dia tak percaya, sosok yang dijagokannya, yang sudah dibela dalam semua debat dan tengkar di media sosial selama setahun terakhir diprediksi akan kalah.

Baginya, pilpres ini bukan sekadar memilih sosok pemimpin. Baginya, pilpres ini adalah isu dunia akhirat. Dia sangat percaya bahwa naiknya figur itu akan membuat Indonesia semakin terpuruk dan tertinggal jauh. Dia memelihara imaji kalau figurnya akan membawa Indonesia ke era paling hebat. Bukan sekadar macan, tapi gabungan antara semua hewan perkasa.

Figur seperti dirinya tidak sendirian. Ada begitu banyak orang yang percaya bahwa pilpres ini adalah ajang paling penting. Setiap hari kita menyaksikan media sosial yang dipenuhi perdebatan.

Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya hasil pilpres sudah bisa ditebak? Memang, pilpres masih sebulan lebih. Banyak lembaga survei sudah memprediksi hasilnya. Para anggota tim pemenangan masih menghibur diri bahwa sehari sebelum hari H, peluang masih tetap ada.

Kita sudah bisa memprediksinya dari sekarang. Tak perlu mengandalkan big data dan analisis dari berbagai mesin cerdas. Kita sudah bisa memprediksi dengan akurat siapa pemenang dan siapa yang akan gigit jari. Siapa yang akan memang? Siapa yang akan kalah?

Nah, kita akan mulai dulu dari pihak yang kalah. Siapakah gerangan?

Pertama, Jokowi dan Prabowo. Keduanya memang menjadi kontestan pilpres. Di atas kertas, satu di antaranya adalah pemenang dan satunya lagi kalah. Tapi jika dilihat dari sisi personal, dua sosok ini adalah manusia Indonesia yang menjadi sasaran empuk dari semua propaganda dan hoaks.

Masa lalu dan hal pribadi keduanya dibuka dengan telanjang oleh publik. Wajahnya dijadikan meme dan olok-olok untuk menjelekkan pihak lain. Bahkan kalimat keduanya dipotong-potong lalu disebarkan ke mana-mana disertai berbagai analisis yang seolah hebat.

Jokowi dan Prabowo adalah korban dari pemilihan di era digital yang membuat semua orang bisa mereproduksi berbagai jenis konten. Keduanya muncul dalam semua percakapan dari masyarakat yang telah terpapar berbagai fitnah, kabar bohong, hingga hasutan.

Kedua, masyarakat sipil. Sejak lima tahun lalu, masyarakat kita sudah lama terbagi dalam dua kubu yang kian mengental. Dua kubu ini tidak berkomunikasi sebab memang tidak saling mendengarkan.

Ada banyak silaturahmi yang kemudian buyar hanya karena perbedaan politik. Banyak event penuh gembira yang berubah hanya karena perbedaan sikap politik. Politik tidak lagi mendekatkan. Politik menjadi ajang yang mencerai-beraikan dunia sosial kita.

Entah, siapa yang memulainya, tiba-tiba saja orang mengindentifikasi diri dalam kubu yang memakai nama hewan, kemudian bertarung secara brutal di banyak debat. Warisan dari pilpres ini adalah masyarakat yang kian sakit dan kehilangan akal sehat.
Biarpun semuanya mengklaim sebagai pemilik akal sehat, faktanya masing-masing pihak sibuk saling menyalahkan. Pilpres ini menyisakan pekerjaan besar buat masyarakat kita untuk membangun ulang kohesivitas dan semen perekat semua kubu yang kian menjauh.

Ketiga, umat Islam. Sejak pilkada DKI Jakarta, umat Islam sudah mengalami situasi yang juga terbelah. Di semua kubu, para ulama mengeluarkan berbagai dalil, teks, dan argumentasi yang menguatkan kebenaran kelompoknya.

Nama Tuhan disebut dalam doa yang dilafazkan dengan kalimat bergetar sembari menuding kelompok lain sebagai kafir. Umat Islam menjadi sasaran dari berbagai kampanye yang memakai isu agama. Banyak orang alim yang kian jauh dari kalimat mencerdaskan.

Demi politik, mimbar khotbah dan suara ulama berubah menjadi ajang propaganda. Semuanya lupa untuk mengawal isu-isu substansial terkait pemberdayaan umat dan bangsa. Semuanya larut dalam aksi saling serang dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan.

Semuanya lupa untuk menjadikan Islam sebagai penarik gerbong kemajuan bangsa dan menjadi mat air nilai di tengah hidup yang kian krisis keteladanan.

***

Nah, siapa yang menang dari pilpres penuh drama dan tengkar ini? Kita bisa melihat kemenangan pada beberapa pihak, apa pun hasil pilpres.

Pertama, politisi. Apa pun hasilnya, politisi akan selalu menjadi pemenang. Berkat pertengkaran dan saling nyinyir itu, suara partai akan meningkat. Ketika suara meningkat, maka makin banyak petugas partai masuk parlemen. Makin besar pula akses pada jatah kekuasaan.

Tangga menuju kekuasaan memang berat. Tapi politisi bisa melakukannya tanpa perlu banyak berdarah-darah. Mereka cukup menunggangi para petarung jalanan dan para laskar media sosial yang tanpa sadar kalau telah menjadi pihak yang dimainkan dalam perjalanan ke kursi kekuasaan. Setelah capresnya menang, para politisi akan pesta pora.

Kursi pejabat, duta besar, hingga komisaris BUMN akan dibagi-bagikan. Semua gerbong akan mengajukan nama calon menteri dan pejabat. Setelah pesta usai, tinggallah rakyat jelata yang mengais-ngais harapan kalau-kalau ada kebijakan yang berpihak buat mereka.

Kedua, pebisnis. Para pebisnis dan pengusaha besar akan selalu menjadi pemenang dari semua proses politik. Mereka boleh saja menghabiskan uang untuk membantu satu kubu. Tapi ketika dilihatnya kubu lain menguat, maka dengan segera semua finansial dan logistik akan dipindahkan.

Bagi para pebisnis, hanya ada satu skenario yakni kemenangan. Mereka masih berpatokan pada pepatah Inggris yakni “Don’t put your eggs in one basket.” Jangan menaruh telur-telurmu dalam satu keranjang. Maksudnya, jangan menaruh semua risiko mengenai dirimu pada satu pihak.

Pandai-pandai melihat peluang. Sebab pergantian rezim bisa membuat akses bisnis terganggu. Ketika rezim yang didukung menang, maka peta bisnis terbuka lebar. Anda bisa leluasa mengatur siapa yang menang tender jalan, bandara, hingga penyediaan komoditas. Ketika Anda menang, maka bisnis akan makin jaya.

Ketiga, para planner, perencana, tim survei, jasa konsultan, hingga para akademisi bajakan. Istilah Planner saya kutip dari penjelasan Manuel Castells dalam buku Communication Power sebagai sekelompok orang yang mendesain semua proses politik untuk memenangkan kelompoknya.

Bagi kelompok ini, pilpres adalah ajang untuk menaikkan reputasi. Mereka bekerja pada satu kubu untuk melatih para prajurit perang, menyiapkan syair pertempuran serta peta jalan dan skenario tempur.

Mereka menjadikan capres dan politisi sebagai boneka yang dikendalikan untuk memenangkan perang. Ketika timnya menang, maka reputasinya akan semakin naik. Setelah pileg dan pilpres, ada banyak pilkada yang harus dimenangkan. Tak cuma sebagai tim, mereka bisa masuk untuk menguasai saham di perusahaan daerah, hingga menarik rente dari banyak kebijakan politik.

***

Lantas, kita rakyat jelata dapat apa? Yang kita dapat hanya harapan. Bahwa siapa pun yang menang akan bisa mewujudkan pelayanan publik yang lebih ramah kepada rakyat biasa. Bahwa siapa pun yang naik akan bisa membuka ruang dan akses yang sama kepada siapa pun anak bangsa terbaik yang ingin bekerja untuk rakyat.

Apa mungkin harapan itu akan terwujud melihat kontestasi ini telah menelan begitu banyak biaya dari para pemilik armada perang hingga dunia sosial kita yang kian tercabik-cabik karena hilangnya silaturahmi dan akal sehat di antara kita?

Tampaknya, PR kita kian banyak. Makin sulit pula. Khususnya bagaimana membangun kembali masyarakat yang kuat di tengah puing-puing reruntuhan konflik di pilpres ini.




Mantra Pemikat Tanah Mandar (Ekspedisi Sulbar 3)




Di lepas Pantai Majene, saya bertemu gadis itu. Dia bukanlah gadis Mandar yang sedang menunggu kekasihnya di tepi laut, sebagaimana dikisahkan penyair asal Madura, D Zawawi Imron. Dia datang ke situ untuk rekreasi bersama sejumlah rekannya. Saat kami bertemu pandang, ada semacam getaran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh saya.

Saya teringat beberapa syair atau pantun berbahasa Mandar. Dalam beberapa pantun, saya temukan sisi romantis yang dahsyat lelaki Mandar saat bertemu dengan perempuan. Perhatikan syair ini:

Uru uitammuTappa mongea matingTappa andiangTambar paulinna 
Saat pertama kumelihatmu
Aku langsung jatuh hati padamu
Seketika tak ada
Obat penyembuh.

Melihat gadis itu, jiwa saya bergejolak. Rasanya tak sabar untuk menyapa dan berkenalan. Tapi entah kenapa, ada banyak ragu yang menyergap saya. Dalam keadaan seperti itu, saya mengingat satu mantra Mandar yang saya simpan selama lebih sepuluh tahun. Mantra itu berguna untuk memikat seorang gadis.

Dahulu, saya pernah melakukan riset di satu desa perbatasan Tutallu dan Campalagian bersama sahabat Muhammad Toha, seorang kawan yang mengaku sebagai reinkarnasi Nabi Yusuf. Ada seorang bapak tua yang mengenalkan kami pada beberapa khasanah pengetahuan tradisional orang Mandar. 

Mulanya dia menunjukkan satu kertas lusuh yang isinya adalah gambar serupa mata angin. Dia menyebut gambar itu sebagai kutika, yang berfungsi sebagai primbon atau panduan hari-hari baik. 

Dia bilang, ada hari baik untuk melaut, menanam, juga berkelahi. Hah? Ada saat di mana lelaki Mandar siap sedia berduel dan menghunus badik. Untuk menang duel, mesti tahu kapan saat tepat untuk berkelahi. Mungkin, ini pernah dipakai pada masa peperangan. 

Bagi saya, ini bukan hal baru. Kami orang Buton, khususnya Buton Utara, menyebutnya kucika. Fungsinya sama yakni mengetahui hari baik dan hari buruk. Saya pikir ini juga tak beda jauh dengan orang Cina yang mengenal feng shui dan shio untuk menentukan hari baik. Orang Eropa malah mengenal zodiak dan perbintangan.

Setelah menunjukkan kutika, bapak itu lalu mengajarkan beberapa mantra. Di antaranya adalah mantra pemikat perempuan. Dia menulis lafal di kertas yang saat itu juga saya hafalkan. Heran juga, padahal tak satupun pelajaran di kampus yang terekam di otak.

Saya membayangkan diri saya akan jadi playboy sebagaimana seorang kawan asal Bone, Sulsel, yang menguasai ilmu pakkarawa, mantra pemikat. Saya berkhayal bisa seperti Ariel Peterpan yang bisa ganti pacar sebanyak tiga kali dalam sehari. 

Sejujurnya, saya tak percaya mantra. Tapi seorang kawan bilang mantra itu punya kekuatan untuk mengintervensi gelombang pemikiran seseorang. “Mantra bisa melakukan by pass alias menembus kesadaran perempuan itu. Prosesnya sama ketika memikat seseorang dengan mengandalkan ketampanan. Bedanya, ketampanan adalah materi, sementara mantra bekerja di ruang non materi,” katanya.

Sayang, sepertinya tak berjodoh dengan ilmu itu. Sepulang dari riset, saya malah tidak pernah merapalnya ketika bertemu seseorang. Padahal, orang tua yang mengajarkan ilmu itu meyakinkan saya kalau mantra itu bisa membuat seseorang tak bisa tidur dan tak sabar untuk berjumpa.

Kemarin, dalam perjalanan ke Majene, Aco, driver yang mengantar saya, bercerita kalau zaman sudah bergeser. Mantra pemikat Mandar sudah kalah jauh dengan mantra Jepang berlabel Toyota Alpard. Di zaman ini, lebih keren memiliki unicorn dan startup ketimbang setumpuk mantra. 

Saya percaya, dalam hal tertentu, mantra adalah sugesti yang bisa memelihara semangat seseorang. Berkat mantra, seseorang punya rasa percaya diri yang lebih sehingga bisa memberi kekuatan untuk melakukan banyak hal. 

Di Majene, saya terkenang pada mantra itu. Jika ada jomblo pembaca tulisan ini yang ingin segera mengakhiri karier jomblo-nya, jangan malu untuk mengirim inboks. Jika Anda ingin jadi playboy yang memikat perempuan seperti Luna Maya dan Syahrini sekaligus, dengan senang hati akan saya kirimkan mantra sakti itu.

Mau?



Para Filosof di Perahu Sandeq (Ekspedisi Sulbar 2)




Bapak tua itu memandang laut. Wajahnya mengeriput. Kumis dan janggutnya berwarna putih kekuningan. Ketika saya temui di Pantai Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dia lebih banyak diam sembari sesekali mengisap rokok kretek yang dijepit dua jemarinya.

Bapak itu adalah seorang nakhoda perahu sandeq. Ketika saya tanya mana perahunya, dia menunjuk ke satu arah. Di sana, ada perahu dengan tiang layar berwarna putih, nampak anggun saat meniti ombak. Dia tersenyum.

Di mata saya, sandeq adalah salah satu warisan jenius dari leluhur Mandar. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa sandeq adalah perahu tercepat di dunia. Bentuk yang ramping dan pipih itu bisa melesat dan menembus ombak menggunung. Di lautan itu, sandeq melaju dengan kelihaian seorang ballerina. Sandeq tahu kapan saat menembus ombak, dan kapan saat berjalan anggun.

Saya memandang bapak tua ini. Seorang kawan di Majene bercerita bahwa bapak tua ini adalah nakhoda legendaris yang saat berada di atas perahu, kalimatnya serupa dewa. Dia ibarat Sinbad yang pernah berlayar memembus tujuh samudera, dari Pantai Balanipa hingga tanah Marege (Australia).

Saya teringat esai yang ditulis Ignas Kleden tentang kepemimpinan maritim. Ignas membandingkan kepemimpinan para nakhoda versus tuan tanah (feodalisme). Kata Ignas, tuan tanah adalah mereka yang melestarikan kuasa atas tanah, membangun hierarki antara pemimpin dan bawahan, serta melestarikan dominasi.

Tapi seorang nakhoda lahir dari sistem yang sangat mengedepankan keahlian. Seorang nakhoda tidak dipilih secara demokratis oleh semua penghuni kapal. Dia adalah sosok paling senior, sosok yang paling memahami laut dan semua pergerakan ombak, juga bisa membaca bintang gemintang dan gerak semua hewan laut. Dia peka pada setiap hembusan angin.

Di tengah ombak yang menerjang, seorang nakhoda tidak akan mengajak awak kapalnya berdiskusi demi mencari solusi. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Setiap kalimatnya adalah perintah. Semua penumpang percaya kepadanya. Semua orang menambatkan selembar nyawa padanya.

Ketika krisis menghadang dan kapal mulai oleng, nakhoda akan menyelamatkan semua penumpang. Di kalangan para nakhoda terdapat konsensus bahwa lebih baik tenggelam bersama kapal daripada lari sebagai pengecut. 

Laku moral dan kebajikan inilah yang menyebabkan Kapten Rifai, nakhoda kapal Tamponas 2 memilih karam bersama kapalnya. Juga Kapten Edward Smith, nakhoda Titanic yang tenang memilih bersama kapal saat memasuki kedalaman samudera.

Entah, apakah para awak perahu pernah membaca filsafat, tapi mereka mengingatkan saya pada filsuf Plato yang pernah mengatakan bahwa pemimpin harusnya tidak dipilih secara demokratis. Pemimpin adalah mereka yang tahu dan paling paham apa yang harus dilakukan.

Saya menoleh ke bapak tua di sebelah ini. Dia bercerita tentang tiga unsur di perahu sandeq. Pertama, cadik di kiri kanan. Katanya, cadik adalah simbol dari kuatnya karakter dan jati diri. Tanpa itu, manusia akan oleng. Kedua, palayyarang atau layar. Ini adalah simbol dari pentingnya tujuan dan arah ke mana seseorang hendak bergerak. Ketiga, warna putih di layar. Ini adalah simbol kesucian hati dan kejernihan jiwa. Hidup seseorang akan seimbang ketika menjaga kesucian hatinya.

Kali ini saya yang terdiam dan menyerap kalimat bijak dari nakhoda perahu sandeq. Dia punya kearifan yang tercermin dari setiap helai kata2nya. Saya membayangkan para nakhoda yang tenang memandang ombak sembari tetap mengarahkan kapal. Saya membayangkan keberanian Kapten Rifai dan Kapten Edward Smith.

"Pernahkah bapak ketakutan saat berada di laut, ketika ombak menghadang dan petir bersahut-sahutan" tanya saya kepadanya.

"Nak, saya ini orang Mandar. Kami punya semboyan dari leluhur kami yakni 'dota lele ruppu dari na lele di lolangang'. Lebih baik hancur perahu daripada mundur dalam pelayaran," katanya.

Saya memandang bapak ini dengan takjub. Dia bukan cuma filosof, tapi juga menyerap semua kearifan Mandar dalam setiap aliran darahnya.

Di ufuk sana, perahu sandeq nampak berayun-ayun meniti ombak.



Banyak Mutiara di Tanah Mandar (Ekspedisi Sulbar 1)


Vokalis Letto, Noe, saat diarak dalam satu ritual budaya Mandar

Suara azan menyambut saat saya tiba di Polewali Mandar. Bersama tiga kawan, saya datang dengan mobil carteran dari Makassar. Tanah Mandar terasa basah akibat hujan deras yang mengguyur semalam. Keluar dari mobil, saya disambut semilir angin yang sepoi-sepoi.

Biarpun jarang ke sini, tanah Mandar selalu menempati ruang khusus di hati saya. Semuanya bermula dari puisi yang ditulis penyair Madura, D Zawawi Imron, berjudul Nyanyian Gadis Mandar. Saya merinding saat melihat penyairnya membaca puisi itu di Baruga AP Pettarani Unhas, lebih 10 tahun lalu.

Dalam puisi itu, ada kisah seorang gadis Mandar yang menenun di tepi pantai sembari menanti kekasihnya seorang nakhoda perahu yang menantang samudera. Tanah Mandar adalah tanahnya para pelaut yang bertualang menembus samudera, menyebar di banyak pulau. Di banyak pesisir, orang Mandar berumah dan membaur dengan warga setempat, lalu berbagi pesona budaya maritim. Laut adalah semesta bagi mereka.

Dalam puisi itu, gadis Mandar bersyair:

“Kalau matahari
nanti tak terbit lagi di Tinambung
Meski tenunanku belum selesai
Kucari mayatmu ke gunung ombak
Di sana sajadah kuhampar
Sebagai bukti: dalam diri ada Mandar”

Sejak itu, Mandar menempati ruang khusus di hati saya. Di tambah lagi, saya berkawan dengan banyak orang baik di tanah ini. Tahun 2000-an, saya beberapa kali ke sini untuk melakukan riset di pedalaman tanah ini. Setiap kedatangan selalu spesial karena ada banyak orang yang menjadi keluarga.

Hari ini saya kembali ke tanah yang magis ini. Dalam perjalanan, seorang kawan bercerita tentang grup band Letto yang sering datang ke sini. Vokalis band Letto adalah Noe, yang merupakan putra sulung budayawan Emha Ainun Nadjib. Baru saya tahu kalau Noe dan ayahnya, Emha, rajin datang ke sini untuk berguru pada banyak orang.

Di zaman Orde Baru dan reformasi, Emha adalah budayawan paling produktif yang melahirkan banyak esai-esai di semua media. Seusai reformasi, dia seakan menghilang dari panggung politik dan budaya. Kata seorang kawan, rupanya dia banyak ke tanah Mandar dan berkontemplasi dengan bimbingan beberapa ulama setempat, tokoh adat, dan orang-orang alim di tanah Mandar.

Ketika putranya, Noe, hendak membentuk band, Emha memberinya nama LETTO. Saya baru tahu kalau nama Letto berasal dari bahasa Mandar yang artinya pematahan atau pemisahan. Letto bermakna mematahkan atau memisahkan sifat-sifat buruk dalam diri guna mencapai tahap demi tahap untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Saya terkesima. Jika ada waktu lebih di sini, saya ingin bertemu banyak orang dan berbincang tentang perjalanan menuju kearifan. Jika Emha yang lahir dan besar dari subkultur pesantren Jawa Timur, merasa betah dan kerasan di tanah Mandar, berarti ada banyak hal hebat di sini. Ada banyak mutiara, berupa hal metafisis dan spiritual, yang tak banyak diungkap, namun berdenyut dan ditemukan oleh orang-orang yang datang ke tanah ini.

Sayang, saya tak bisa berlama-lama di sini. Beberapa teman mengajak saya untuk bertemu Noe yang kebetulan sedang berada di Polewali. Dalam hati, saya berdoa semoga ada waktu lebih agar bisa menyerap banyak hikmah dan hal baik di sini. 

Setidaknya, bisa bertemu orang baik yang menyerap hikmah dan ajaran baik di tanah ini. Semoga.



Sepenggal Kisah tentang Fauzan Mukrim




Jika saya diminta menyebutkan satu nama penulis yang saya kenal dan sukai setiap tetes kalimatnya, maka saya akan menyebut nama Fauzan Mukrim.

Banyak orang2 mengidolakan lelaki yang dipanggil Ochan itu. Bahkan istri dan adik perempuan saya pun menyukai goresan kalimatnya. Dia bukan tipe penulis yang menyabet dengan pedang kata demi membelah satu argumen. Dia menghadirkan embun yang seketika membuat kita tertegun dan melihat dunia dengan cara lain.

Saya mengenalnya di kampus Unhas pada fakultas dan jurusan yang sama. Saya lebih dulu setahun di kampus, meskipun dari sisi umur, kami sepantaran. Malah saya sedikit lebih muda (piss....). 

Masih segar di ingatan saya. Hari itu, saya ke kampus dengan wajah sangar karena harus meng-ospek junior baru. Dia adalah mahasiswa baru yang datang dari Watampone, sekampung dengan Jusuf Kalla. Dia lulus dari SMA 1 Bone.

Tadinya, saya ingin ikut2 mahasiswa senior yang saat itu sengaja tampil kasar dan ingin menghajar semua junior. Tapi saya urungkan niat itu. Selain karena dia tiba2 jatuh sakit, ada temannya yang amat manis. Namanya Azizah Azis. 

Ketika dia menjadi mahasiswa baru, saya mengagumi Ochan. Betapa tidak, pada saat saya amat kesulitan menembus koran kampus agar mau memuat tulisan saya, cerpennya sudah berhasil menembus Majalah Hai. Saya masih ingat kalau cerpen itu berjudul Bapak.

Saat kuliah, saya beberapa kali sekelas dengannya. Pernah, dosen kami Sinansari Ecip mengajukan pertanyaan pada mahasiswa. Yang menjawab benar akan mendapat buku. 

Saya segera mengacung dan menjawab. Ternyata dia juga mengacung dan menjawab lain. Kata Sinansari Ecip, dua jawaban itu benar. Hadiah buku itu jadi milik kami berdua.

Saya tak terkejut jika dia memilih karier sebagai jurnalis. Sejak dulu dia berkaitan dengan kata. Bermula dari Trans Tv, dia ke detik.com, kemudian ke CNN. Di semua tempat, dia menunjukkan talenta jurnalis hebat. Dia pun produktif melahirkan banyak novel dan buku2 yang laris di pasaran. Pernah, saya bela-belain datang ke Gramedia Depok, hanya untuk melihat dirinya yang diundang untuk membahas bukunya.

Dua hari lalu, saya bertemu dengannya di gedung Trans Corp. Biarpun namanya sudah semakin besar dengan fans yang begitu banyak, dia dengan gembira menemui saya dan ikut ngopi di sudut gedung itu, di tengah kesibukannya yang bejibun.

Saya seolah menyaksikan masa lalu yang menari-nari di pelupuk mata. Saya menyaksikan dirinya yang dulu hangat, kini tetap hangat. Dia masih seperti dulu.

Sayang, dia ragu2 untuk mengizinkan saya tampil di CNN sebagai seorang pelatih kucing handal. Entah, apa pertimbangannya. Padahal saya tahu, dengan posisi yang setingkat di bawah Chairul Tandjung, cukup dia menjentikkan jari, maka saya bisa tampil di tivi itu.

Iya khan?


Menemukan DON TAPSCOTT di Big Bad Wolf




Di Jakarta, para penggila buku adalah spesies aneh. Mereka jarang terlihat di toko buku yang kian sepi dan kehilangan pengunjung. Mereka bermunculan saat-saat tertentu. Di antaranya adalah saat acara Big Bad Wolf yang tengah berlangsung di Serpong, Tangerang.

Saya datang ke ajang Big Bad Wolf dengan persiapan yang lebih matang. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan setahun lalu yakni datang pada hari-hari terakhir. Saat itu, saya tak mendapatkan banyak buku yang saya sukai. Kali ini saya datang pada hari kedua.  

Suasana Serpong cerah ketika saya datang bersama keluarga. Area parkir yang luasnya seperti sepuluh kali lapangan bila itu penuh dengan kendaraan. Saya butuh waktu setengah jam untuk menemukan parkir. Itu pun dapatnya di ujung.

Kali ini saya datang bersama istri dan dua anak. Tahun lalu, anak saya Ara (7 tahun) banyak membeli buku-buku komik bergambar. Tahun ini saya berniat membelikan apa pun buku yang diinginkannya. Terhadap keinginan membeli buku, saya tak ingin berhitung. Selagi ada niat membaca, maka saya akan membelikannya. Semahal apa pun itu.

Belakangan, saya agak khawatir karena Ara lebih banyak bermain HP. Saya beberapa kali ingin melarangnya menghabiskan waktu bermain HP. Namun dia beberapa kali mengejutkan saya dengan kemampuan berbahasa Inggris yang fasih. Saya kaget-kaget ketika dia mengajak saya bercakap bahasa Inggris dan mengeluarkan kosa kata dan kalimat yang belum pernah saya ajarkan.

BACA: Pokemon Go, Games, dan Kecerdasan Generasi Internet

Ternyata, internet membuat anak ini jadi warga dunia. Dia lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Indonesia. Sering dia menanyakan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang sulit dipahaminya. Semalam dia bertanya, “Ayah apa artinya balas dendam?” Saya mencarikan padanan dalam bahasa Inggris. “Balas dendam itu sama dengan revenge.” Ternyata dia langsung paham. 

Big Bad Wolf menjadi ajang yang pantas ditunggu-tunggu. Dalam setahun, hanya ada satu momentum untuk bisa mendatangi pameran buku terbesar, yang memajang begitu banyak buku-buku impor berkualitas. Saya serasa nggak percaya, buku-buku impor tebal yang ditulis para penulis kaliber internasional bisa dijual dengan sangat murah.

BACA: Kekurangan Buku di Big Bad Wolf

Tahun ini, saya menemukan koleksi nonfiksi dan sejarah yang lebih banyak dari tahun sebelumnya. Berada di sini, saya benar-benar lupa waktu. Hampir di semua rak, saya menemukan buku bagus yang layak dibawa pulang. Tentunya, saya harus memperhitungkan budget sebab jika tidak, bisa-bisa jatah bulanan akan berkurang.

Saya perhatikan tema-tema yang dijual di sini cukup beragam. Paling sering saya lihat adalah buku anak. Setelah itu Business and Economy, History, Fiction, Reference, Self Help, Sports, Hobbies, dan Language. Saya berharap ada koleksi ilmu sosial, ternyata malah tidak banyak. Saya paham bahwa koleksi ilmu sosial dan humaniora memang jarang. 

Saya pun lebih banyak berkeliling di rak buku Business and Economy. Saya benar-benar tergoda menyaksikan buku-buku mengenai ekonomi baru, masyarakat digital, dan pemasaran. 

Kesan saya, buku-buku ekonomi, khususnya pemasaran, selalu dinamis. Selalu ada hal baru. Saya terkesima melihat buku-buku ekonomi yang isinya pembelajaran dari satu studi kasus. Saya melihat banyak buku mengenai Samsung, Ali Baba, Steve Jobs, Lenovo, Silicon Valley, hingga disrupsi di berbagai bidang.



Mungkin saya keliru. Tapi saya beranggapan orang-orang pemasaran selalu lebih cepat memahami denyut perubahan sosial. Mereka selalu lebih cepat mengantisipasi perubahan sebab kerja mereka adalah memasarkan sesuatu. Nah, dalam proses itu, penting kiranya menggali otentisitas, keunikan, dan kekuatan dari dalam diri agar bisa menaklukkan orang lain.

Buku lain yang saya lihat dinamis adalah buku-buku bertemakan sejarah. Saya kagum-kagum karena para sejarawan tidak pernah kehabisan topik untuk dieksplor dan ditulis dengan menggunakan banyak perspektif. Di pameran itu, saya tak cuma melihat sejarah peristiwa besar dan peperangan, tapi juga topik menarik seperti biografi olahragawan, sejarah tentang air dalam pahaman manusia, hingga sejarah ilmu pengetahuan.

Tapi, favorit saya adalah tema-tema ekonomi dan bisnis. Di satu rak, saya menemukan buku yang ditulis Thomas L Friedman, seorang jurnalis bergelar Phd dari Minnesota yang tiga kali memenangkan Pulitzer atas tulisannya mengenai ekonomi politik. Beruntung, saya sudah memiliki bukunya yakni Thank You for Being Late.

Saya terhenti di satu rak saat menyaksikan buku yang ditulis Don Tapscott berjudul The Digital Economy: Rethinking Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. Buku ini pertama ditulis tahun 1995, kemudian dikemas ulang dan diberi catatan lagi pada tahun 2014. 




Saya makin tertarik membaca Tapscott setelah menemukan artikel dari seorang profesor UGM yang menyebut Tapscott adalah orang pertama yang mengenalkan istilah Ekonomi Digital. Dia terbilang lebih dulu memprediksi era ekonomi digital akan semakin menguat.

Kebetulan, saya telah mengoleksi dua buku yang ditulis Don Tapscott yakni Grown Up Digital dan Wikinomics

Buku Grown Up Digital adalah satu buku terbaik yang ditulis mengenai kehadiran Net Generation yang memahami dunia dengan cara baru dan pelan-pelan mengubahnya. Buku ini menjadi demikian powerful sebab memadukan prediksi dan riset yang dilakukan pada ribuan siswa di Amerika Serikat. 

Tapscott tak hanya membahas pengaruh Net Generation di bidang bisnis, tapi juga politik, organisasi, hingga pendidikan. Buku yang sangat keran ini tidak pernah bosan ketika dibaca berkali-kali.

Buku Wikinomics juga keren. Tapscott menggambarkan dunia yang semakin terintegrasi sehingga kolaborasi menjadi mata uang penting untuk menguasai abad ini. Perusahaan seperti Google telah menerapkan kolaborasi dan sharing pengetahuan secara gratis di dunia maya. Bahkan Wikipedia menjadi perusahaan skala dunia, padahal tidak punya karyawan. Wikipedia menjadi besar karena sokongan dari banyak orang di berbagai belahan dunia yang tidak saling kenal. Mereka bekerja sama seperti semut yang membangun sarang yang kokoh.

Bayangkan, betapa bahagiannya saya saat menemukan buku The Digital Economy yang ditulis Don Tapscott. Kebahagiaan itu kian sempurna saat menemukan buku Tapscott lainnya yang berjudul MacroWikinomocs: Rebooting Business and the World. Tanpa banyak menimbang, saya langsung masukkan dua buku itu dalam keranjang belanja. Saya malah tidak sabar untuk segera membawanya keluar.



Di rak lain, saya menemukan juga buku bagus yakni The Global Code yang ditulis Clotaire Rapaille, yang sebelumnya menulis buku laris The Culture Code. Buku lain adalah Head in the Cloud yang membahas mengapa manusia harus menghabiskan waktu untuk tahu banyak hal pada saat Google sudah menyiapkan perpustakaan raksasa di dunia maya. Di rak lain, saya mengambil beberapa buku lain.

Ketika bertemu anak istri, ternyata mereka lebih banyak membeli buku. Kata istri, Ara tadinya ogah-ogahan datang ke pameran buku sebab dia merasa buku itu sangat old. Dia lebih suka gadget. 

Tapi dia benar-benar terkesima saat melihat buku-buku bertemakan Augmented Reality atau realitas tambahan. Bisa juga dibilang 4 Dimensi. Buku-buku jenis ini menggabungkan antara teks dan digital. Untuk membacanya, kita harus mengunduh aplikasi buku itu di Playstore. Ketika dilihat dengan aplikasi, semua karakter langsung keluar. Hebatnya, kita bisa berinteraksi dengan karakter dalam buku itu melalui aplikasi yang ada di HP. Hebat kan?





Adik Ara, Anna (2 tahun), juga membeli buku. Ketika saya datang, dia meminta saya untuk membuka bukunya yang isinya adalah potongan-potongan kertas yang membentuk istana. Dia membeli buku mengenai permainan tengkorak. Dia sibuk menakut-nakuti saya saat gambar tengkorak itu muncul. Padahal semakin dia berusaha seram, maka semakin dia terlihat lucu.

Kami langsung beranjak ke kasir. Semakin lama di situ, maka semakin tergoda untuk mengambil banyak buku. Itu pun total belanja kami hampir mencapai angka 2 juta rupiah. Bagi saya ini sudah terlalu banyak. Saya bakal mengurangi jadwal ke warung kopi karena sudah terlalu banyak belanja buku. 

Tapi tak apa. Kembali pada prinsip saya: untuk soal buku, saya tak mau berhitung.