|
poster film |
LAMA tak menyaksikan film India, semalam akhirnya saya menonton film My Name is Khan di Panakkukang 21, Makassar. Mulanya saya tertarik dengan jajaran aktor yang membintanginya yakni Shahrukh Khan dan Kajol, dua superstar India yang terakhir kali berduet dalam film Dilwale Dulhania Le Jayenge dan film Kabhi Kushi Kabhi Gam yang dirilis pada tahun 2001. Saya berharap keduanya kembali memainkan kisah-kisah komedi romantis, cinta-cintaan sambil berkejaran di pohon, atau tertawa ria di sela-sela main basket sebagaimana pernah saya saksikan dalam film Kuch Kuch Hota Hai beberapa tahun lalu.
Bagi saya sendiri, film yang dibintangi Shahrukh Khan adalah film yang paling tepat untuk melabuhkan stress, melepas semua beban di pundak, dan tertawa riang usai keluar dari bioskop. Menyaksikan film Shahrukh Khan membuat kita sejenak melupakan semua masalah yang mesti dihadapi. Setidaknya, itulah kesan saya saat menyaksikan beberapa film Shahrukh Khan seperti Asoka (2001), Chalte Chalte (2003), Om Shanti Om (2007) hingga Kuch Kuch Hota Hai (1998) dan Kabhi Kushi Kabhi Gam (2004).
Tapi setelah sejam menyaksikan My name Is Khan, saya paham bahwa film ini bukanlah genre film drama romantis sebagaimana yang kerap dibintangi Shahrukh Khan. Ini adalah film Shahrukh Khan yang paling beda, paling unik, dan paling menyimpang dari genre komedi romantic.
Film ini adalah kisah tentang betapa beratnya menjadi minoritas yang selalu ditatap sinis penuh takut oleh orang-orang. Kisah tentang bagaimana hidup dalam suatu negeri yang mengalami paranoid atau ketakutan yang berlebihan pada satu kelompok religius. Kisah tentang minoritas yang acap kali dituduh teroris, geraknya dibatasi negara dan sering dituduh hendak melakukan bom bunuh diri. Ini adalah cerita tentang sebuah tuduhan yang harus dibayar mahal, kehilangan nafkah, gerak sosial menjadi sempit, dan anggota keluarga yang kemudian terbunuh dengan sadis, tanpa pernah ada kejelasan mengapa harus tumbuh prasangka yang berujung pada nestapa dan sedu-sedan. Saya sedih membayangkan sang tokoh yang menganggap agama adalah sesuatu yang amat indah, namun tiba-tiba menjadi horror bagi orang lain.
|
shahrukh khan dan kajol |
Film ini bercerita tentang bagaimana penderitaan sebuah keluarga Muslim yang tinggal di Amerika Serikat (AS) pasca peristiwa 11 September. Pasca peristiwa itu, AS bukan lagi sebuah rumah yang nyaman bagi siapapun, termasuk bagi seorang Muslim bernama Rizwan Khan (diperankan dengan amat apik oleh Shahrukh Khan). Dunia terlampau sederhana bagi seorang Rizwan. Manusia hanya dua jenis yakni manusia baik dan manusia jahat. Ia memilih menjadi seorang yang lurus dan banyak memberi arti bagi sesamanya, bahkan setelah tiba di Amerika dan menikah dengan Mandira (diperankan dengan amat apik oleh Kajol. I still love her!).
Tatkala begitu banyak orang membencinya hanya karena dia seorang Muslim, Rizwan Khan jadi terheran-heran. Apalagi setelah kematian putra angkatnya Sam, sang istri Mandira memintanya keluar rumah untuk menerangkan kepada siapa saja bahwa ia bukan seorang teroris. Rizwan terdiam lama. Ketimbang meratapi kenyataan itu, Rizwan Khan lalu melakukan perjalanan jauh untuk bertemu Presiden AS demi menyampaikan pesan sederhana “My name is Khan. I’m not a terrorist!” Pesan itu amat simple, namun begitu beratnya cobaan yang harus dipikulnya demi menyampaikan itu. Di negeri yang serba paranoid, pesan Rizwan Khan bisa ditafsir sebagai alarm bencana sehingga ketika Rizwan meneriakkan pesan itu, ia langsung ditangkap, diinterogasi, dan disikasa selama berhari-hari.
Sampai di titik ini, saya masih mengira film ini hendak menjiplak film Forrest Gump tentang seorang idiot yang berprestasi dan berhasil bertemu Presiden John F Kennedy. Saya amat sering menyaksikan film India yang menjiplak Hollywood (tapi lebih sering menyaksikan film Indonesia yang menjiplak film India atau Korea. Hehehe). Terakhir saya nonton Partner yang dibintangi Salman Khan dan Priyankha Chopra yang menjiplak habis film Hitch yang dibintangi Will Smith dan Eva Mendez. Tapi setelah menyaksikan film ini hingga lebih separuh, ternyata tidaklah menjiplak.
Kekuatan film ini –sebagaimana film India lainnya-- adalah plot yang mengharukan dan menggetarkan, hingga tanpa sadar saya beberapa kali harus menyeka air mata. Rizwan menunjukkkan kepada bangsa AS yang angkuh itu tentang seorang Muslim yang penuh kasih dan menjadi berkah bagi siapa saja, bahkan di negeri yang membenci Islam sekalipun. Rizwan membuka mata saya bahwa untuk berhasil dalam hidup dan merebut simpati banyak orang, kita tak perlu ide-ide selangit yang menggumuruh di mana-mana. Cukuplah dengan niat yang tulus, hati yang putih, serta semangat yang kuat, niscaya akan menjelma menjadi bayi gagasan yang menemukan kaki-kakinya sendiri untuk bergerak dan menjerat hati banyak orang. Rizwan menjadi inspirasi banyak orang, justru karena kederhanaannya dalam mengambil sikap. Rizwan menjadi teladan, justru karena kesederhanaan dan keluasan hatinya yang tak bertepi.
Adegan yang paling saya suka adalah saat sedang salat di suatu masjid. Seorang ulama mengajak jamaah untuk berjihad. Ia menukil kisah Ibrahim yang ikhlas mengorbankan Ismail untuk disembelih. Sang ulama lalu menafsir kisah itu sebagai jihad dan keikhlasan melepas semua yang disayangi. Ia meminta jamaah untuk bersamanya di jalan jihad. Dengan bahasa yang sederhana, Rizwan menolak semuanya. Ia memprotes dengan cara berteriak-teriak. Ia menyebut kalimat ibunya yang menjelaskan kisah itu. “Justru Ibrahim sangat yakin bahwa Tuhan adalah maha penyelamat yang akan menjaga semua mahluk sehingga ia ikhlas menyerahkan Ismail. Dan akhir kisah itu adalah Tuhan menyelamatkan Ismail. Ibrahim adalah sosok yang cinta damai sebagaimana Islam hari ini. Islam bukanlah agama kekerasan,” teriaknya. Sang ulama berang. Rizwan lalu menyambit ulama itu dengan batu di tangannya sambil berteriak “Kamu syaithan…. Enyah!” Saya bergidik. Saya langsung membayangkan para jamaah haji yang menyambit batu di satu monument, pada sebuah tempat di mana Ibrahim pernah melempar setan.
|
Salah satu adegan dalam My Name is Khan |
Rizwan menunjukkan cinta yang bergema di sanubari bangsa Amerika. Ia menunjukkan daya tahan di tengah tudingan penuh prasangka. Ia tak sedikitpun menaruh dendam, dan dengan cinta yang berkobar-kobar, ia memberi makna bagi sesamanya. Di saat mendengar musibah di Georgia, ia lalu menginspirasi banyak orang untuk membantu. Kalimatnya “I’m not a terrorist” menjadi kalimat ampuh yang diucapkan semua orang Muslim sebagai sindiran sekaligus pembelaan atas prasangka.
Dan –sebagaimana bisa diduga—ending film ini adalah pertemuannya dengan Presiden Barrack Obama (diperankan Christopher B Duncan), yang kemudian berbisik bahwa ia mengenal Khan. “Your name is Khan and your are not a terrorist.” Pada titik ini, Rizwan sudah mencapai apa yang dicarinya dalam perjalanan jauh tersebut. Ia menggapai mimpi, sekaligus menyampaikan teriakan yang bergema ke mana-mana bahwa dirinya hanyalah seorang biasa. Bukan teroris.
Usai menontojn film ini, saya terdiam sejenak. Saat menulis catatan ini, saya masih terngiang-ngiang dengan sosok Rizwan yang diperankan Shahrukh Khan. Mungkin, kita tak butuh ide-ide besar. Kita hanya butuh keluguan, kesederhanaan, dan sikap tahan banting untuk memberi makna bagi sesama. Sesuatu yang sederhana, namun sudah banyak diajarkan orang tua kita di kampung. Bukankah demikian?
Makassar, 28 Maret 2010