Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Tegap Menantang Zaman


FOTO ini adalah karya Nasruddin, sahabat yang punya kepedulian pada dunia literasi di Bau-bau. Saya menyenangi foto yang diambil di dalam komplkes benteng Keraton Buton ini.  Ini adalah foto tiang bendera Kesultanan Buton yang telah didirikan sejak abad ke-18 dan terus menjadi saksi perkembangan zaman sampai hari ini. Nasruddin memberi judul Tegap Menantang Zaman.

Kalau foto di bawah ini adalah pemandangan di Pantai Nirwana, salah satu pantai yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Bau-Bau. Fotonya cantik. Saya tiba-tiba jadi ingin mandi di pantai ini. Thanks Nas atas semua foto-fotonya.

 

Bumi yang Memadat

BUMI ini kian memadat. Menyempit. Tadi pagi saya masih makan pagi, nonton film dan tidur-tiduran di Makassar. Siang hari saya sudah makan siang di Bau-Bau. Dua buah tempat yang terpisah satu sama lain, tiba-tiba seolah menyatu dan saya bisa berpindah tempat dengan cepat. Melalui transportasi udara, dua titik yang jauh itu tiba-tiba seolah jadi sangat dekat.

Saya serasa bermimpi. Tapi inilah kenyataannya. Masuknya maskapai penerbangan sekelas Wings Air membuat perjalanan ke Bau-Bau jadi singkat dengan biaya murah. Harga tiket yang saya beli hanya Rp 390.000. Bandingkan dengan biaya tiket kapal laut kelas 2 A yang mencapai Rp 420.000. Padahal, kalau naik kapal laut, perjalanannya selama 14 jam. Itupun, kapal Pelni gak pernah tepat waktu. Selalu saja molor enam jam dari jam berangkat yang tertera di tiket. Belum lagi kalau mengeluarkan uang selama di kapal, baik untuk makan atau nongkrong di kafetaria. Kalau harga pesawat kian murah, apakah kapal-kapal Pelni itu masih bisa bersaing?

Sebagai seorang warga. saya jelas diuntungkan dengan fenomena ini. Saya bisa dengan cepat pulang kampung. Lebih cepat dari Dwi yang butuh empat jam untuk mencapai Bone sebab melewati jalan darat. Padahal, jarak Makassar ke Bau-Bau jelas lebih jauh dibandingkan Makassar ke Bone. Tapi, dari sisi waktu, Bau-Bau lebih singkat digapai sebab bisa dijangkau dengan pesawat terbang. Jarak dan waktu kian relatif bagi manusia yang bepergian.

Ketika berada di pesawat, saya teringat kalimat Thomas Friedman yang mengatakan The World is Flat. Dunia menjadi datar dan jarak sudah tidak menjadi masalah. Hari ini kita bisa dengan mudah ke mana-mana. Tadi siang saya ke Bandara Sultan Hasanuddin setelah sebelumnya membeli jalangkote di gerbang BTP. Siangnya, jalangkote itu dinikmati keluarga di Bau-Bau dalam keadaan masih panas. Hebat khan?

Kembali Jalani Rutinitas

INSYAALLAH, Senin ini saya kembali ke kampung halaman. Saya senang karena semua target dan rencana selama keberangkatan kali ini sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Saya akan menumpang pesawat Wings Air dengan tarif tiket Rp 390.000. Amat murah jika dibandingkan dengan tiket kelas di kapal Pelni dengan perjalanan selama 14 jam.

Di daerah nanti, saya akan kembali bergelut dengan tugas-tugas lapangan yang mulai melelahkan. Mesti menyapu jalan raya, apel pagi, dan setiap saat harus siap dipanggil seperti layaknya seorang office boy. Apa boleh buat. Saya mesti melakoninya sampai jangka waktu tertentu. Untunglah, saya mulai menemukan ritmenya. Selalu ada rasa lucu dan senang ketika bertemu dengan teman-teman senasib. Mulai tumbuh benang solidaritas di antara kami.

Dua Hari yang Menakjubkan

SELALU menyenangkan saat bersamamu. Bisa jalan-jalan ke mal dan menghabiskan banyak uang. Waktu seakan berhenti berputar. Belum lama jalan-jalan, tiba-tiba saja malam hari dan kita harus bergegas untuk pulang. Saya tak terlalu yakin bahwa ada sebuah tempat yang bernama surga. Tapi ketika bersamamu, saya tiba-tiba berada pada perasaan yang teramat bahagia. Inikah yang dinamakan surga? Entahlah.

Kita sama senang. Kita sama bahagia. Tanpamu, saya ibarat ponsel yang lobet dan nyaris padam cahayanya. Denganmu, saya sanggup melakukan apapun. Bahkan memetik bintang sekalipun akan saya lakukan. Tertawa denganmu adalah bahagia yang sukar dijerat dalam kata-kata. Terimakasih atas dua hari yang menakjubkan ini. It's amazing ....!!!



Indahnya Islam dalam My Name is Khan

poster film
LAMA tak menyaksikan film India, semalam akhirnya saya menonton film My Name is Khan di Panakkukang 21, Makassar. Mulanya saya tertarik dengan jajaran aktor yang membintanginya yakni Shahrukh Khan dan Kajol, dua superstar India yang terakhir kali berduet dalam film Dilwale Dulhania Le Jayenge dan film Kabhi Kushi Kabhi Gam yang dirilis pada tahun 2001. Saya berharap keduanya kembali memainkan kisah-kisah komedi romantis, cinta-cintaan sambil berkejaran di pohon, atau tertawa ria di sela-sela main basket sebagaimana pernah saya saksikan dalam film Kuch Kuch Hota Hai beberapa tahun lalu. 

Bagi saya sendiri, film yang dibintangi Shahrukh Khan adalah film yang paling tepat untuk melabuhkan stress, melepas semua beban di pundak, dan tertawa riang usai keluar dari bioskop. Menyaksikan film Shahrukh Khan membuat kita sejenak melupakan semua masalah yang mesti dihadapi. Setidaknya, itulah kesan saya saat menyaksikan beberapa film Shahrukh Khan seperti Asoka (2001), Chalte Chalte (2003), Om Shanti Om (2007) hingga Kuch Kuch Hota Hai (1998) dan Kabhi Kushi Kabhi Gam (2004).

Tapi setelah sejam menyaksikan My name Is Khan, saya paham bahwa film ini bukanlah genre film drama romantis sebagaimana yang kerap dibintangi Shahrukh Khan. Ini adalah film Shahrukh Khan yang paling beda, paling unik, dan paling menyimpang dari genre komedi romantic. 

Film ini adalah kisah tentang betapa beratnya menjadi minoritas yang selalu ditatap sinis penuh takut oleh orang-orang. Kisah tentang bagaimana hidup dalam suatu negeri yang mengalami paranoid atau ketakutan yang berlebihan pada satu kelompok religius. Kisah tentang minoritas yang acap kali dituduh teroris, geraknya dibatasi negara dan sering dituduh hendak melakukan bom bunuh diri. Ini adalah cerita tentang sebuah tuduhan yang harus dibayar mahal, kehilangan nafkah, gerak sosial menjadi sempit, dan anggota keluarga yang kemudian terbunuh dengan sadis, tanpa pernah ada kejelasan mengapa harus tumbuh prasangka yang berujung pada nestapa dan sedu-sedan. Saya sedih membayangkan sang tokoh yang menganggap agama adalah sesuatu yang amat indah, namun tiba-tiba menjadi horror bagi orang lain.

shahrukh khan dan kajol
Film ini bercerita tentang bagaimana penderitaan sebuah keluarga Muslim yang tinggal di Amerika Serikat (AS) pasca peristiwa 11 September. Pasca peristiwa itu, AS bukan lagi sebuah rumah yang nyaman bagi siapapun, termasuk bagi seorang Muslim bernama Rizwan Khan (diperankan dengan amat apik oleh Shahrukh Khan). Dunia terlampau sederhana bagi seorang Rizwan. Manusia hanya dua jenis yakni manusia baik dan manusia jahat. Ia memilih menjadi seorang yang lurus dan banyak memberi arti bagi sesamanya, bahkan setelah tiba di Amerika dan menikah dengan Mandira (diperankan dengan amat apik oleh Kajol. I still love her!).

Tatkala begitu banyak orang membencinya hanya karena dia seorang Muslim, Rizwan Khan jadi terheran-heran. Apalagi setelah kematian putra angkatnya Sam, sang istri Mandira memintanya keluar rumah untuk menerangkan kepada siapa saja bahwa ia bukan seorang teroris. Rizwan terdiam lama. Ketimbang meratapi kenyataan itu, Rizwan Khan lalu melakukan perjalanan jauh untuk bertemu Presiden AS demi menyampaikan pesan sederhana “My name is Khan. I’m not a terrorist!” Pesan itu amat simple, namun begitu beratnya cobaan yang harus dipikulnya demi menyampaikan itu. Di negeri yang serba paranoid, pesan Rizwan Khan bisa ditafsir sebagai alarm bencana sehingga ketika Rizwan meneriakkan pesan itu, ia langsung ditangkap, diinterogasi, dan disikasa selama berhari-hari.

Sampai di titik ini, saya masih mengira film ini hendak menjiplak film Forrest Gump tentang seorang idiot yang berprestasi dan berhasil bertemu Presiden John F Kennedy. Saya amat sering menyaksikan film India yang menjiplak Hollywood (tapi lebih sering menyaksikan film Indonesia yang menjiplak film India atau Korea. Hehehe). Terakhir saya nonton Partner yang dibintangi Salman Khan dan Priyankha Chopra yang menjiplak habis film Hitch yang dibintangi Will Smith dan Eva Mendez. Tapi setelah menyaksikan film ini hingga lebih separuh, ternyata tidaklah menjiplak. 

Kekuatan film ini –sebagaimana film India lainnya-- adalah plot yang mengharukan dan menggetarkan, hingga tanpa sadar saya beberapa kali harus menyeka air mata. Rizwan menunjukkkan kepada bangsa AS yang angkuh itu tentang seorang Muslim yang penuh kasih dan menjadi berkah bagi siapa saja, bahkan di negeri yang membenci Islam sekalipun. Rizwan membuka mata saya bahwa untuk berhasil dalam hidup dan merebut simpati banyak orang, kita tak perlu ide-ide selangit yang menggumuruh di mana-mana. Cukuplah dengan niat yang tulus, hati yang putih, serta semangat yang kuat, niscaya akan menjelma menjadi bayi gagasan yang menemukan kaki-kakinya sendiri untuk bergerak dan menjerat hati banyak orang. Rizwan menjadi inspirasi banyak orang, justru karena kederhanaannya dalam mengambil sikap. Rizwan menjadi teladan, justru karena kesederhanaan dan keluasan hatinya yang tak bertepi.

Adegan yang paling saya suka adalah saat sedang salat di suatu masjid. Seorang ulama mengajak jamaah untuk berjihad. Ia menukil kisah Ibrahim yang ikhlas mengorbankan Ismail untuk disembelih. Sang ulama lalu menafsir kisah itu sebagai jihad dan keikhlasan melepas semua yang disayangi. Ia meminta jamaah untuk bersamanya di jalan jihad. Dengan bahasa yang sederhana, Rizwan menolak semuanya. Ia memprotes dengan cara berteriak-teriak. Ia menyebut kalimat ibunya yang menjelaskan kisah itu. “Justru Ibrahim sangat yakin bahwa Tuhan adalah maha penyelamat yang akan menjaga semua mahluk sehingga ia ikhlas menyerahkan Ismail. Dan akhir kisah itu adalah Tuhan menyelamatkan Ismail. Ibrahim adalah sosok yang cinta damai sebagaimana Islam hari ini. Islam bukanlah agama kekerasan,” teriaknya. Sang ulama berang. Rizwan lalu menyambit ulama itu dengan batu di tangannya sambil berteriak “Kamu syaithan…. Enyah!” Saya bergidik. Saya langsung membayangkan para jamaah haji yang menyambit batu di satu monument, pada sebuah tempat di mana Ibrahim pernah melempar setan.

Salah satu adegan dalam My Name is Khan
Rizwan menunjukkan cinta yang bergema di sanubari bangsa Amerika. Ia menunjukkan daya tahan di tengah tudingan penuh prasangka. Ia tak sedikitpun menaruh dendam, dan dengan cinta yang berkobar-kobar, ia memberi makna bagi sesamanya. Di saat mendengar musibah di Georgia, ia lalu menginspirasi banyak orang untuk membantu. Kalimatnya “I’m not a terrorist” menjadi kalimat ampuh yang diucapkan semua orang Muslim sebagai sindiran sekaligus pembelaan atas prasangka.

Dan –sebagaimana bisa diduga—ending film ini adalah pertemuannya dengan Presiden Barrack Obama (diperankan Christopher B Duncan), yang kemudian berbisik bahwa ia mengenal Khan. “Your name is Khan and your are not a terrorist.” Pada titik ini, Rizwan sudah mencapai apa yang dicarinya dalam perjalanan jauh tersebut. Ia menggapai mimpi, sekaligus menyampaikan teriakan yang bergema ke mana-mana bahwa dirinya hanyalah seorang biasa. Bukan teroris.

Usai menontojn film ini, saya terdiam sejenak. Saat menulis catatan ini, saya masih terngiang-ngiang dengan sosok Rizwan yang diperankan Shahrukh Khan. Mungkin, kita tak butuh ide-ide besar. Kita hanya butuh keluguan, kesederhanaan, dan sikap tahan banting untuk memberi makna bagi sesama. Sesuatu yang sederhana, namun sudah banyak diajarkan orang tua kita di kampung. Bukankah demikian?


Makassar, 28 Maret 2010

Mitologi Yunani dan Peradaban Barat

SAYA tak pernah menyia-nyiakan waktu ketika berada di kota Makassar. Hari pertama tiba, saya langsung ke toko buku untuk membeli majalah Tempo terbaru, Reader Digest, serta dua buah buku yakni Olympus: Negeri Para Dewa, serta novel sejarah berjudul Fatimah. Saat ini saya sudah menghabiskan lebih separuh buku berjudul Olympus tersebut. Kesimpulan saya adalah membaca kisah-kisah atau dongeng, jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku-buku teks.

Entah kenapa, dongeng atau mitologi selalu menyenangkan. Selama membaca buku ini, mata saya seakan terbuka lebar. Saya jadi paham apa makna kata Eropa, Athena, Paris, hingga asal-usul manusia dan peradaban, sebagaimana penggambaran dalam mitologi Yunani. Saya juga jadi paham mengapa Amerika harus memberi nama roketnya dengan Apollo. Saya jadi bisa menebak-nebak mengapa nama planet-planet diambil dari nama sosok dalam mitologi Yunani. Demikian pula nama bulan dalam kalender. Membaca buku tentang mitologi Yunani, kian membuat saya paham bagaimana peradaban barat tumbuh, bagaimana para ilmuwan barat memandang dunia, sekaligus bagaimana mereka menjelaskan sesuatu melalui nama-nama dan symbol.

Saya akan memberikan contoh tentang dua raksasa ilmuwan social yakni Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Dulunya, saya sering bingung saat membaca beberapa tulisan Karl Marx. Ia sering menyebut sosok Prometheus sebagai dewa yang paling peduli dengan manusia. Setelah membaca buku mitologi Yunani, barulah saya paham bahwa Marx hendak menjelaskan gagasan tentang kemerdekaan manusia atas alam semesta dan atas dewa-dewa. Marx hendak menjelaskan tentang semangat kapitalisme yang dibangun dari fundasi kebebasan (liberasi) atau otonomi manusia dari apapun.

Pernah pula saya bingung saat membaca beberapa petikan tulisan Nietzsche yang sering menyebut nama Dionisyan. Kini saya paham bahwa Dionisyan adalah dewa anggur yang hari-harinya adalah bersenang-senang, tanpa terbebani dengan banyak masalah. Mungkin, sosok manusia sempurna dalam pandangan Nietzsche adalah sosok Dionisyan yang memaknai hidup sebagai arena untuk mereguk segala kesenangan duniawi.

Tanpa memahami mitologi Yunani, saya tak mungkin bisa memahami alur pikir dua ilmuwan social tersebut. Mitos-mitos itu menjadi metafor yang menjelaskan gagasan serta menunjukkan terang gagasan yang hendak mereka sampaikan. Mitos bukan hanya pengantar tidur bagi seorang anak kecil, namun bisa menjadi simbol-simbol yang menjelaskan sesuatu. Makanya kita mesti melihat mitos sebagai sebuah panggung yang di atasnya terdapat beribu karakter yang saling berdialektika. Dan kehidupan di masa kini tidak lebih dari duplikasi atau pengulangan dari karakter-karakter yang tampil di panggung itu.  Sebagaimana dikatakan arkeolog dan sejarawan Perancis, Paul Veyne, mitos mengandung kebenaran, namun penuh kiasan. "Mitos bukanlah kebenaran sejarah yang bercampur dengan kebohongan. Ia mngandung pemikiran filosofis. Jangan mengartikannya secara harfiah. Tapi maknai sebagai sebuah kisan."

Saya setuju dengan Veyne. Bukankah demikian?

Tarian Sakti Baramasuwen

SEORANG pria paruh baya membakar dupa dan kemenyan. Ia lalu mengangkat gulungan dupa (yang berbentuk mirip hio) ke sebatang bambu yang dipegang tujuh pria dewasa. Diiringi teriakan keras “Baramasuwen” dan mantra-mantra, bambu itu lalu bergerak liar. Ketujuh pria itu mati-matian berusaha memegang bambu, namun mereka tidak kuasa. Bambu itu seolah punya kehendak, bergerak semaunya, dan tidak ada satupun yang sanggup mengatasinya.

walikota bau-bau Amirul Tamim (berbaju hitam) sedang bermain bambu gila (foto: yusran darmawan)

Saya sedang menyaksikan permainan Baramasuwen, permainan tradisional yang sangat kondang di Maluku Utara. Beberapa warga setempat yang saya tanyai, hanya menjawa singkat kalau ini adalah permainan Bambu Gila. Tapi setelah ditanya sejarah kapan persisnya permainan ini dikenal, warga tersebut tak memahaminya.

Untunglah, seorang master of ceremony (MC) menjelaskan secara panjang lebar mekna permainan ini. Katanya, permainan ini dikenal sejak masa pemerintahan Sultan Baabullah pada tahun 1580.  Pada masa ketika gendering perang ditabuh melawan Portugis, banyak peralatan berat yang harus diangkut seperti meriam, dan amunisi berat lainnya. Melalui mantra mistik, warga Ternate sanggup mengangkat semua meriam tersebut. Melalui mantra Baramasuwen, mereka tiba-tiba menjadi perkasa dan seolah punya kekuatan hebat sehingga sebuah meriam yang beratnya sekian ton, bisa diangkat dengan mudah.

Kini, tak ada lagi perintah mengangkat meriam seperti dahulu. Tapi, aktivitas tersebut mengalami transformasi dalam bentuk tarian tradisional yang dipentaskan para laki-laki demi menyambut tamu dan keramaian lainnya. Permainan ini menjadi atraksi dan pesta rakyat untuk menghibur siapapun yang datang. Permainan ini menampilkan cirri kegotong-royongan dan keakraban di kalangan warga Maluku Utara. Apalagi, bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan di sekitar Ternate. Pantas saja jika permainan Baramasuwen menjadi sangat popular.

Sayangnya, tak banyak yang paham sejarah dan maknanya. Mungkin, ini tantangan bagi para budayawan untuk menerjemahkan makna ke dalam bahsa rakyat awam sehingga lebih mudah dipahami.(*)

Foto-foto yang Tercecer

SETIAP kali berkunjung ke satu tempat, saya selalu berupaya agar ada jejak yang tertinggal dari tempat tersebut. Saat ini sudah dua kali saya berkunjung ke Ternate. Tapi saya tidak tahu apakah masih punya kesempatan untuk berkunjung lagi ke kota yang amat indah di kawaswan timur Indonesia itu. Nah, ada beberapa foto narsis yang tercecer dari perjalanan ini. Bukan bermaksud untuk pamer. Tapi saya ingin membekukan jejak-jejak kunjungan saya ke negeri itu.
berpose di bus pariwisata
di depan Bella International Hotel, Ternate. 
berpose di Benteng Toluko
di depan banner pariwisata


Durian Ternikmat di Indonesia

JIKA ditanya durian manakah yang terenak di Indonesia? Dengan cepat akan saya jawab durian Ternate. Saya tidak sedang bercanda. Saya sudah mencoba banyak durian di Indonesia. Mulai dari durian khas di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga durian asal Sumatra. Tapi tidak ada satupun yang bisa mengalahkan nikmatnya durian Ternate.

Dua tahun lalu, saya pertama kali mencoba durian Ternate, di dekat hotel Boulevard, tempat saya bermalam selama beberapa hari. Rasanya sungguh nikmat. Tapi seorang teman justru menganggapnya biasa saja. Ia menyarankan saya agar singgah mencicipi durian di dekat kampung Batu Angus di sebelah Gunung Galamalama. Saat itu saya berpikir, masak sih ada yang mengalahkan enaknya durian ini. Suatu hari saya singgah ke kampung di dekat gunung tersebut. Saya lalu mencicipi durian itu. Wow.... rasanya benar-benar pas. Sungguh nikmat.

Hari ini saya bersyukur karena kembali bisa mencicipi durian khas Ternate. Saya diajak menuju kediaman Walikota Ternate Syamsir Andili. Kediamannya terletak di puncak bukit, yang jika berdiri di atasnya, akan nampaklah keindahan seluruh kota. Tapi ini bukan soal keindahan kota. Saya sangat bahagia karena bisa mencicipi enaknya durian Ternate. Durian yang paling enak di Indonesia. Penasaran?


Gadis-Gadis Ternate

SAAT sedang menunggu di Bandara Sultan Baabullah, dua orang gadis Nampak memakai baju adat Ternate. Mereka ditugaskan untuk menyambut beberapa walikota yang berkunjung. Saya lalu datang menyapa dan berbincang banyak hal. Kedua gadis ini baru saja menamatkan pendidikan di bangku SMA. Lama berbincang saya lalu menggoda mereka. Ternyata mereka merespon. Malah, mereka balik mengajak untuk jalan-jalan di tepi pantai boulevard, kawasan pasar malam di Ternate. Saya pun mengiakan.

bersama dua gadis ternate

Sayangnya, saya tak bisa menemui mereka sepanjang keberadaan di Ternate. Saya terlampau sibuk dengan tur wisata dan acara-acara lainnya. Saat bergegas hendak ke bandara demi meninggalkan Ternate, saya meraba kantung dan menemukan nomor telepon gadis ini. Apa daya, saya sudah siap meninggalkan Ternate. Tiba-tiba, ada SMS di hape. "Kaka nda bohong untuk ajak jalan?"

Ternate, Eksotisme, dan Benteng-Benteng Merana

KABUT tipis masih memenuhi udara ketika saya mendarat di Ternate. Dengan mengendarai pesawat Sriwijaya Air, saya tiba di daerah yang dahulunya menjadi jantung peradaban di kawasan timur Nusantara. Ini adalah keduakalinya saya menyaksikan satu wilayah yang dahulu menjadi buah bibir para pedagang Eropa sehingga mengerakkan layar kolonialisme ke bangsa-bangsa di timur jauh. Kolonialisme, sebuah kata yang amat menakutkan itu, semuanya dimulai di sini. Gugusan pulau-pulau yang harum dengan wangi rempah-rempah ini adalah magnet bagi bangsa Eropa. Ternate serupa ratu seksi di belahan timur yang memantik birahi banyak bangsa-bangsa hingga merambah jauh ke wilayah Nusantara.

pemandangan dari pebukitan di Ternate

Saat pertama menginjakkan kaki di Bandara Sultan Babullah, Ternate, saya membayangkan penjelajah Portugis, Fransesco Serrau dan Antonio d’Abreau. Dalam catatan harian yang ditulisnya tahun 1512, Serrau mencium bau wangi cengkeh ketika pertama mendarat di kota yang terletak di kaki Gunung Gamalama ini. Rasa penat setelah berlayar selama berbulan-bulan dan menyinggahi banyak negeri, akhirnya terbayar lunas ketika ia berlabuh di Ternate. Perasaan saya seperti Serrau. Rasa lelah akibat menempuh penerbangan dari Makassar, sontak hilang ketika menyaksikan indahnya Gunung Gamalama yang kokoh memayungi Ternate. Gunung ini adalah gunung aktif yang serupa bom waktu, setiap saat bisa meledak. Kota Ternate bisa dikategorikan sebagai kota yang rawan dengan bencana gunung meletus. Tapi, selama beratus-ratus tahun berdiam di situ, tentunya warga Ternate sudah mengenal tabiat gunung tersebut. Mereka sudah paham apa yang harus dilakukan ketika gunung itu meletus.

Bersama rombongan yang menghadiri acara Jaringan Kota Pusaka se-Indonesia, saya diajak mengelilingi kota yang asri ini. Kota ini sangat eksotis sebab terletak di pesisir. Tanahnya bertingkat-tingkat dan puncaknya adalah Gunung Gamalama menjadi titik tertinggi di pulau ini. Memandang ke pesisir, akan nampak lautan luas serta pulau-pulau dengan gunung di atasnya. Indah sekali.

Saya juga menjelajahi semua pusaka, benteng-benteng dan pusat-pusat kekuasaan bangsa asing saat mencengkram bumi Ternate. Menyaksikan kota Ternate yang penuh jejak sejarah itu, saya lalu bergumam dalam hati bahwa di sinilah semuanya dimulai. Kedatangan Fransesco Serrau yang mengikuti ekspedisi Ferdinand Magelland adalah awal dari penemuan dunia baru yang menjadi magnet bagi penjelajah lain. Catatannya menjadi berita elok dan oase bagi dahaga bangsa Eropa atas ladang rempah-rempah yang harganya amat tinggi di pasaran. Barat memandang tanah kita sebagai tanah eksotik dan semua hasil kekayaan kita telah membangkitkan selera. Sementara kita bangsa pribumi selalu melihatnya dengan optimis bahwa kedatangan bangsa lain adalah awal dari pertautan yang akan selalu melahirkan kisah-kisah gemilang, meskipun perjalanan sejarah tidak mencatat demikian. Justru yang lebih banyak muncul adalah kisah-kisah pilu yang meneteskan air mata. Ternate pun mengalami itu. Sejarah Ternate penuh dengan pasang surut hubungan dengan bangsa asing. Mulai dari Portugis yang mulanya diterima lalu ditewaskan oleh Sultan Baabullah, hingga bangsa Belanda yang kemudian berpeluk erat sebagai sahabat hingga akhir masa kekuasaannya di Nusantara.

bermain bambu gila di depan Kedaton Ternate

Kini, puluhan tahun setelah masa kolonialisme itu berakhir, apakah gerangan yang tersisa? Warga Ternate hanya bisa mengenang masa kejayaan itu melalui setumpuk benda-benda bersejarah seperti benteng yang masih bisa dilihat jejaknya. Di Ternate juga masih berdiri istana sultan beserta pusaka-pusaka kerajaan yang masih hidup hingga kini. Saya sekali karena eksistensi kesultanan itu tidak lagi sebagaimana eranya Sultan Baabullah ketika menggempur Portugis. Beberapa tahun lalu, saya pernah bertemu Sultan Ternate, Mudaffar Syah, di Jakarta. Ia menyebut dirinya sebagai seorang sultan, tanpa kekuasaan sebagaimana nenek moyangnya. Sejak Pemerintah Indonesia berdiri, eksistensinya sebagai sultan sedikitpun tidak dipandang. Sejak UU No 5 Tahun 1974 disahkan, ia hanya memiliki legitimasi kultural, tanpa kuasa. Ia seperti museum sebagaimana keraton dan benda-benda bersejarah lainnya.

Mungkin atas alasan modernisasi dan pergeseran kuasa tradisional pula, nasib benteng di Ternate amat mengenaskan. Benteng-benteng itu menjadi nyanyi sunyi yang mulai menjadi kisah-kisah usang tentang masa silam yang perkasa. Meskipun banyak warga Ternate yang bisa menjelaskan sejarah panjang benteng itu, namun banyak yang tidak paham apa makna yang bisa dipetik dari keberadaan benteng tersebut. Di satu sisi mereka fasih menyebutkan jejak sejarah Ternate, namun mereka justru tidak berdaya ketika menyaksikan peninggalan benteng itu kian rapuh dimakan usia. Benteng itu menjadi benda-benda merana yang kian sunyi, ditinggalkan begitu saja oleh generasi yang kini menjadi pewaris benteng tersebut. Orang Ternate bisa dnegan fasih menjelaskan tentang sejarah Benteng Oranye yang dahulu adalah pusat kekuasaan VOC sebelum pindah ke Batavia. Tapi mereka justru diam saja saat menyaksikan benteng itu yang kini tertutup oleh pemukiman. Bahkan di dalam benteng sekalipun sudah berdiri begitu banyak bangunan tembok yang tak kuasa untuk ditolak.

Dari sekian banyak benteng di situ, mungkin hanya Benteng Kalamata dan Benteng Toluko yang kondisinya relatif baik. Sementara Benteng Kastela, Benteng Oranje/Orange, dan Benteng Kota Janji merupakan benteng yang telah dipugar pemerintah. Namun, pemugarannya justru membuat penampilan benteng menjadi aneh karena tidak menyatunya antara bangunan lama dan bangunan baru. Di tengah-tengah Benteng Kastela (Nostra Senhora del Rosario) di Kelurahan Kastela telah dibangun taman dan jalan melingkar yang dialasi batu blok (paving stone). Lahan di sekitar benteng yang sempit juga dimanfaatkan untuk pembangunan monumen.

Kondisi serupa juga terjadi di Benteng Kota Janji (San Pedro y Pablo) di Kelurahan Ngade. Di sekitar benteng kecil itu juga dibangun taman dengan lantai batu blok serta dikelilingi pagar besi dan pintu gerbang yang terlihat tidak serasi dengan bangunan asli. Sementara itu, Benteng Oranje (Malayo) tengah dipugar. Dinding luar benteng yang semula berupa batu gunung yang direkatkan dengan kalero (batu karang yang dipanaskan) justru diplester dengan campuran semen dan pasir. Adapun lantai dinding benteng yang semula berupa batu bata merah diganti menjadi batu kali dan batu gunung yang dipipihkan.

Saya selalu sedih ketika melihat pengabaian pada masa silam itu. Kita sudah terlalu modern sehingga melupakan jejak kita di masa silam. Bahwa di balik semua benteng-benteng itu, terselip kebanggan tentang suatu masa di mana semua entitas kerajaan memiliki hak yang sama dnegan bangsa lain untuk bertaut, menjalin perdagangan, dan berhadap-hadapan dalam aneka peperangan. Bahwa di balik benteng itu terselip kisah tentang pergulatan manusia-manusia Ternate untuk menjawab semua masalah pada zamannya, mencipta budaya, dan menciptakan solusi untuk bangsanya dalam dinamika percaturan dengan bangsa-bangsa lainnya. Semua benda bersejarah itu adalah jejak-jejak yang bertutur abadi tentang diri kita di masa silam, sekaligus menjadi penanda tentang diri kita pada masa silam. Tapi, apakah kita perduli dengan penanda itu? Entahlah.


Ternate, 22 Maret 2010

Lelah Menunggu Novel

SEJAK tanggal 7 Maret 2010 lalu, saya sudah pesan tiga buku melalui bukukita.com. Saya sudah bayar lunas dan berharap agar buku itu bisa segera dikirim. Sayangnya, tiga buku tersebut hingga kini belum di tangan. Pihak bukukita.com selalu berdalih bahwa keterlambatan itu dikarenakan penerbit Bentang (Mizan Grup) belum mengirimkan stok buku Muhammad, Lelaki Pengenggam Hujan karya Tasaro GK.

Mungkin pihak penerbit sengaja mengulur-ngulur waktu agar orang penasaran dan mencari buku itu. Ini strategi dalam penerbitan. Tapi, dengan cara mengulur seperti itu, orang-orang bisa jenuh dan akhirnya memutuskan tidak membeli buku itu. Sangat disayangkan kalau penerbit seperti Bentang justru tidak profesional dengan cara membiarkan mereka yang hendak membaca buku itu harus menunggu untuk waktu yang tidak jelas.

Tapi, jangan-jangan buku itu tidak seberapa istimewa. Buktinya, setelah di-launching, saya tidak menemukan banyak pihak yang mem-preview buku itu di internet. Anehnya, Dwi yang sudah memegang buku itu selama seminggu, justru komentarnya datar-datar saja. Biasanya, ketika ia membaca buku yang disukainya, ia akan senang sekali dan tidak henti mengajak saya membahas buku itu.

Dulu, ketika membaca Twilight series, ia seakan histeris. Dikit-dikit menelepon dan meneriakkan nama Edward Cullen. Sekarang, setelah membaca Muhammad, komentarnya justru datar-datar saja. Ia tidak pernah histeris membayangkan dahsyatnya kebajikan serta kerinduan pada Muhammad. Padahal, ia sudah membaca setengah. Tapi nampaknya ia sendiri tidak paham dengan isinya. Saya jadi ingat komentar Prof Azyumardi Azra saat peluncuran buku ini di jakarta. "Buku ini agak berat dan filosofis untuk memahami tokoh sekaliber Muhammad," katanya.

Ah, jangan-jangan ini hanya bahasa promosi. Biarkan pembaca penasaran menunggu. Biar dagangan segera laku. Padahal, setelah bukunya dibaca, ternyata datar-datar saja. Entahlah!

“Ribuan Kali Pisau Ini Kuletakkan di Leher Pejabat”

NAMANYA Kaharuddin. Usianya sekitar 60 tahun. Tak ada yang istimewa dari perawakan pria ini selain dari kumisnya yang tebal melintang dan rambut yang tertata rapi. Dalam usia setua itu, tubuhnya masih tinggi dan tegap. Aku masih bisa menyaksikan dua bilah lengan yang berotot. Mungkin ia sering melatih diri. Saat menatap matanya, aku tersentak. Matanya amat tajam dan menusuk.

Aku menemuinya pada suatu siang di bekas terminal lama di pusat Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Di tepi gedung tua yang kini menjadi kantor Pamong Praja itu, ia tengah melayani beberapa tamu, sebelum akhirnya memintaku duduk di kursi yang sudah disiapkannya. Ia lalu mengambil sebilah pisau dan gunting, kemudian mengasahnya selama beberapa detik. Ia juga mengambil selembar kain putih lalu disampirkan di leherku. Dengan sorot mata tajam, ia lalu meletakkan pisau dan gunting itu di kepalaku. Tiba-tiba, aku mengingat Ismail, seorang nabi yang disuruh duduk di hadapan ayahnya Ibrahim yang memegang sebilah pisau. Tapi aku bukan Ismail. Aku hanya orang biasa yang bisa ketakutan sampai gemetaran. Aku hanya bisa menutup mata sembari berdoa dalam hati. Sedetik berikutnya terdengar bunyi sesuatu yang mengiris. Crash...... Crash....

Anda janganlah terkejut. Kaharuddin bukanlah tukang jagal. Bukan pula seorang algojo. Pria yang populer disapa Pak Kumis ini hanyalah seorang tukang cukur. Ia menggantungkan hidupnya dari menyentuh kepala orang lain sepeti halnya diiku yang sedang membutuhkan jasanya. Aku membayangkan betapa anehnya kita-kita yang memasrahkan begitu saja kepala kita ke pada para tukang cukur seperti Pak Kumis. Andaikan ia jahat, akan sangat mudah baginya untuk menggorok leher. Tapi, mustahil hal itu dilakukannya. Ia menggerakkan pisau demi memangkas rambut di tengkuk. Saat pisaunya mengiris, rambutku berjatuhan di samping. Kain putih yang tersampir di bahuku penuh dengan rambut. Ia lalu mengambil gunting dan mencukur rambutku di bagian belakang. Ia sangat berhati-hati. Hari ini aku beruntung bisa dilayaninya dengan cepat. Biasanya, aku harus antri selama beberapa jam ketika hendak memangkas rambut.

Pak Kumis saat beraktivitas (foto: yusran darmawan)


Pak Kumis saat beraktivitas (foto: yusran darmawan)

Pria ini amat legendaris dan tersohor di Kota Bau-Bau dan Pulau Buton. Namanya ibarat merek populer yang menjadi jaminan mutu atas kualitas cukuran. Pelanggannya dari segala usia. Selain rakyat jelata, ia juga menjadi tukang cukur pribadi dari sejumlah pejabat di kota ini. Dan semua pejabat itu harus rela antri untuk dicukur di tepi gedung tua itu, di hadapan meja tua dengan cermin besar yang di sana-sini sudah retak. Mungkin ia hendak menunjukkan bahwa jabatan dan profesi ibarat pakaian yang melekat. Siapapun itu, apapun pangkatnya, semuanya hanya manusia biasa. Tidak lebih. Dan semua harus rela antri demi mendapatkan pelayanannya.

Di sela-sela aktivitas mencukur itu, aku lalu mengajaknya berbincang. Ia bercerita tentang pelanggan-pelanggannya, mulai dari pak sekda, hingga ketua Bappeda. Ia juga menyebut nama Asisten I Kota Bau-Bau. Kaharuddin tidak sedang membual. Reputasinya sudah lama kudengar. Saat kutanya apa hal yang paling disenangi dari profesinya ini, ia menjawab singkat. ”Nak, pisau ini sudah ribuan kali saya letakkan di kepala pejabat. Mereka bisa saja sombong sama banyak bawahan. Tapi kalau datang di sini, mereka harus rela saya putar-putar kepalanya. Mereka harus pasrah kalau saya simpan pisau ini di kepalanya,” katanya sambil tersenyum.

Sudah berapa lama menjadi tukang cukur? ”Kurang lebih 40 tahun,” katanya, masih dengan senyum yang melekat di wajahnya. Selama 28 tahun ia menjadi tukang cukur di tepi pelabuhan di Ambon. Anak-anaknya tumbuh besar di Ambon serta Papua. Ia membiayai semua pendidikan anaknya melalui profesi sebagai tukang cukur hingga semua anaknya sukses meniti karier di sana. Di masa tuanya, Pak Kumis kembali ke Bau-Bau, daerah asalnya, dan kembali menekuni profesinya sebagai tukang cukur. Kini, ia sudah 12 tahun mencari penghidupan di kota ini. ”Di Ambon saya punya banyak pelanggan. Sekarang juga saya punya banyak pelanggan,” katanya.

Berapa total pemasukan per bulan? ”Sekitar lima juta rupiah,” jawabnya. What? Ia lalu menjelaskan bahwa tarif cukur untuk orang dewasa adalah 15 ribu rupiah. Jika dalam sehari ia bisa mencukur sampai 20 orang, maka pemasukannya bisa Rp 300 ribu per hari. Dan pendapatannya sebulan adalah Rp 9 juta. Wow... gaji yang jauh lebih tinggi dari gaji seorang pegawai negeri golongan 3 A. Ia tidak sedang bercanda. ”Hari ini kamu adalah pelanggan saya yang ke-15,” katanya. Memang, saat datang ke situ, aku harus antri karena sudah ada 2 orang yang antri. Kemudian saat aku bercukur, sudah ada pula 2 orang yang antri. Baginya, ini adalah penghasilan yang standar. Tidak termasuk dengan tips yang selalu diterimanya dari para pejabat tersebut.

Pak Kumis saat beraksi di meja kecilnya (foto: yusran darmawan)


Berbincang dengannya amatlah menyenangkan. Saat itu, aku berpikir bahwa sebenarnya pekerjaan apapun yang dilakoni seseorang pastilah akan mendatangkan rezeki yang cukup, sepanjang seseorang tersebut bisa total menjalaninya. Dalam hal Pak Kumis, pengalaman bertahun-tahun dan telah menyentuh ribuan kepala adalah bekal berharga yang mengasah kepekaannya untuk bersikap profesional kepada siapapun. Reputasi dan nama baik adalah hal-hal sederhana yang dibinanya selama bertahun-tahun, namun memiliki andil besar dalam membesarkan dirinya hingga mencapai posisi seperti saat ini. Jika saat ini, ia punya banyak pelanggan, tentunya itu bukanlah kenyataan yang datang begitu saja. Semuanya adalah buah dari kerja keras dan kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi. Pada titik ini, aku harus belajar banyak dari pria seperti Pak Kumis.

Terakhir, apakah ia punya rahasia dalam mencukur? ”Nak, pekerjaan seperti ini tidak butuh pelatihan khusus. Cukup kita mengenali gunting dan pisau. Kita harus paham bagaimana kasih makan gunting, trus punya jiwa seni. Kita juga harus mengenali bentuk kepala pelanggan. Itu saja rahasianya,” katanya sambil membuka kain putih yang disampir di pundakku. Dan selanjutnya aku beranjak setelah lebih dulu membayar Rp 15 ribu. Aku pamit sambil mengucap terimakasih atas perbincangan yang mengasyikkan.(*)

Pulau Buton, 18 Maret 2010

Penjual Obat yang Bermotor

DULUNYA penjual obat memakai tenda payung seperti tenda sirkus. Dulunya, penjual obat memulai aksinya dengan atraksi akrobatik dan membawa binatang liar seperti ular. Dulunya penjual obat selalu memakai pengeras suara yang heboh dengan teriakan persuasif yang menggugah siapapun untuk singgah.

Kini penjual obat cukup membawa sebuah sepeda motor dan sebuah payung. Di atas sepeda motor itu dipajang semua obat yang hendak dijual. Tapi, penjual obat itu tetap membawa sound system sederhana. Tetap saja ada bahasa persuasif dan bahasa yang membujuk orang agar membeli obat. Seperti halnya ibu penjual obat berjilbab yang saya saksikan di Pasar Wameo.

seorang ibu penjual obat yang berjilbab putih (foto: yusran darmawan)

Tapi saya masih lebih suka para penjual obat yang dulu. Para penjual obat yang beratraksi dengan binatang liar. Para penjual obat yang kecerdasannya beretorika mengalahkan kecerdasan dosen retorika di para akademisi. Ke manakah para penjual obat itu? Ternyata ada yang jadi jurkam partai. Bahkan ada pula yang jadi anggota DPR. Hebat khan?


Mariah Carey

Pagi-pagi saya sudah merinding dengar lagu Mariah Carey yang judulnya I Wanna Know What Love Is. Bulu roma saya berdiri.Sejak saya pertamakali mendengarnya belasan tahun lalu,  Mariah tetap luar biasa. Lihat klipnya DI SINI


Pengarang Itu....

“Pengarang itu korps avant garde, bukan menghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya”

PRAMOEDYA ANANTA TOER

Tulisan-tulisan yang Jadi Headline

BELAKANGAN ini, hampir semua tulisan terbaru yang saya posting di Kompasiana, selalu menjadi headline (HL). Sebulan ini, sudah empat kali saya posting tulisan, dan selalu saja menjadi HL. Bahkan untuk tulisan yang saya anggap biasa seperti kasus si Annisa Bahar, tiba-tiba saja menjadi HL. Tak cuma HL, beberapa tulisan malah menjadi tulisan terpopuler. Padahal rumusnya sederhana saja, tulislah seperti gaya jurnalisme kuning. Simpel khan?

Saya memang sedang bereksperimen di Kompasiana. Sebagai alumnus Komunikasi dan Antropologi, saya cukup paham bagaimana selera public serta bagaimana mengemas sebuah informasi sehingga menarik di baca. Dan eksprerimen itu saya lakukan melalui blog dan Kompasiana –sebuah social blog yang isinya adalah para terpelajar dan penulis kondang. Melalui tulisan yang kemudian jadi HL itu, saya telah membuktikan bahwa yang paling penting dari sebuah tulisan adalah gagasan yang hendak disampaikan, selanjutnyab adalah bagaimana mengemas ide tersebut menjadi menarik. Thanks.

Nah, inilah foto-foto postingan saya ketika menjadi HL.






Wow!!! Tarian Panas Annisa Bahar

Juwita Bahar
KONFLIK antara pedangdut seksi Annisa Bahar dengan bekas suaminya Memo Sanjaya laksana opera sabun yang tidak akan pernah berakhir. Konfliknya jauh lebih panjang daripada sinetron Tersanjung yang tayang sampai bertahun-tahun. Konfliknya sudah dimulai ketika Annisa Bahar menolak mengakui Memo sebagai mantan suaminya. Memo lalu menunjukkan foto pernikahan mereka. Annisa lalu bersikukuh bahwa yang menikah itu bukan dirinya. Tapi kembarannya yang kini entah ada di mana.

What? Alasan konfliknya sudah tidak sesuai dengan akal sehat. Pemilik goyang patah-patah itu menolak mengakui Memo, tapi ia mengakui putri Memo, Juwita, sebagai putrinya, darah dagingnya. Dengan segala cara ia membujuk Juwita agar meninggalkan ayahnya. Dan kemarin, saat saya menyaksikan infotainment, Annisa Bahar berhasil merenggut Juwita. Dan Memo harus menangis tersedu-sedu karena dituduh terlalu mengekang Juwita. Memo dituduh membatasi kebebasan anaknya. (lihat DI SINI)

Saya melihat tayangan infotainment itu dengan penuh kemuakan. Saya lelah menyaksikan konflik yang terlalu didramatisir seperti opera sabun tersebut. Tapi, tiba-tiba saja saya tertarik dengan pengakuan Memo bahwa prilaku anaknya mulai berubah ketika memiliki Blackberry.

Ternyata, pembatasan serta pengawasan pada anaknya menjadi bumerang tersendiri yang berbalik menghantam dirinya. Juwita sudah berusia 14 tahun dan mulai mengenal pacaran. Ia mulai mengenal masa-masa puber dan mulai menginginkan kebahagiaan di luar otoritas orang tuanya. Ia mulai mencari kebebasan di luar dari jalan lurus yang dipatok sang ayah untuk dilewatinya. Sementara bagi memo, proteksi pada anaknya diberikan karena ingin memberi batasan-batasan dan bukan bermaksud mengekang.

Hal menarik buat saya karena Memo mengatakan sejak sang anak memiliki Blackberry dan mengenal Facebook, kelakukan sang anak mulai berubah. Dia mengungkapkan, Juwita, sampai tak tidur karena ber-chatting ria dengan sang pacar, melalui Facebook. Sejak Juwita memiliki ponsel BlackBerry delapan bulan yang lalu, Memo mengamati ada perubahan sikap pada diri Juwita, dia menjadi lebih pendiam. Diungkapkannya, dia tidak mengetahui benar apa yang terjadi dengan diri putrinya itu.

Kalau saja pengakuan Memo ini benar, maka jelas ini menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Beberapa bulan lalu, kita pernah pula menyaksikan tayangan media tentang seorang anak yang kabur dengan pria yang dikenalnya melalui facebook. Jika ditautkan, kasus-kasus tersebut menjadi alarm bagi kita semua tentang penetrasi teknologi yang kian ekspansif hingga ke ruang-ruang privasi seorang anak. Teknologi menjadi pisau bermata dua yang di satu sisi mempermudah komunikasi dengan siapa saja, namun di sisi lain menjadi arena di mana seorang anak menemukan kebebasannya. Pada akhirnya, otoritas dan pagar etika dari orang tua menjadi lagu usang yang mulai kehilangan irama. Si anak menemukan kebebasannya sendiri melalui facebook, dan nilai-nilai dari orang tua perlahan-lahan mulai memudar.

Di masa depan, bukan hanya pagar otoritas orang tua saja yang dijebol, namun juga sekolah dan dunia sosial kita. Saya pernah riset di Depok dan menemukan tiga siswi Madrasah Tsanawiyah yang memakai jilbab. Mereka singgah ke rumah temannya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian seksi sebagaimana orang dewasa. Mereka lalu masuk ke satu mal sambil cekikikan. Saat saya tanyai, ketiga siswi itu mengakui bahwa mereka memakai pakaian seksi tanpa sepengetahuan orang tua dan guru-gurunya. Mereka merayakan kebebasan di mal, dan sesaat sebelum pulang, mereka lalu kembali memakai pakaian jilbab.

Ini Fenomena Apa?

Bagi saya, ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, teknologi menjadi ruang alternatif di mana seorang anak menemukan dunia yang penuh kebebasan, dan mulai melihat jalan lurus yang dibebankan orang tuanya sebagai beban yang mengekang. Kedua, orientasi nilai di masyarakat kita mulai bergeser. Dahulu, orang tua serta guru menjadi sosok teladan, tempat kita menemukan nilai-nilai untuk menata hidup di masa depan. Tapi, pada masyarakat kompleks di mana orang tua sibuk berkonflik sebagaimana halnya Annisa Bahar dan Memo Sanjaya, seorang anak akan cenderuing mencari nilai-nilai baru.

Ketiga, posisi seorang anak tidak selalu menjadi obyek yang patuh pada orang tua. Seorang anak harus dilihat sebagai subyek yang ingin bebas dan dipahami sebagaimana layaknya manusia dewasa. Memasang batasan bagi anak bukanlah solusi, sebab seorang anak harus diajak berdialog dan didengarkan apa yang menjadi kehendaknya. Anak harus diajak untuk sama-sama menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya. Keempat, sudah saatnya wacana sadar media atau melek teknologi disosialisasikan secara terus-menerus. Teknologi memang perlu, namun jika tidak dijinakkan bisa menjadi kuda liar yang menerobos sana-sini. Dengan memahami tabiat teknologi, maka kita bisa tersenyum saat melihat seorang anak bisa berdamai dan mengendalikan teknologi.


Pulau Buton, 16 Maret 2009

Parende Kepala Ikan Merah

TAHUKAH anda jenis masakan ikan yang paling enak di Buton? Jika suatu saat bertemu orang Buton dan menanyakan itu, maka Anda akan mendapat jawaban Parende. Inilah jenis masakan ikan yang paling popular, sekaligus paling banyak dicari para pendatang di pulau kecil ini. Bukan hanya di Buton saja, kelezatan Parende juga tersohor di Wakatobi dan beberapa tempat di Pulau Muna.

Parende adalah jenis makasan ikan yang disajikan dengan kuah panas. Kata ibu, cara memasaknya sederhana yakni dengan campuran bumbu seperti bawang merah, bawang putih, cabe, kunyit, hingga campuran tomat. Saya tudak tahu persis bagaimana cara memasaknya. Yang jelas, sekali merasakan parende, siapapun bakal ketagihan dan ingin mencobanya lagi.

Sayangnya, tidak setiap hari ibu di rumah memasak Parende. Saya harus menunggu momentum tertentu untuk dibuatkan parende. Tapi, untunglah, hari ini teman Mukmin menunjukkan tempat makan partende yang rasanya cukup aduhai. Tadi siang, kami singgah makan parende di Plaza Umna Wolio, tepat di samping Bank Muammalat. Menunya adalah parende kepala ikan, yang disajikan dalam satu mangkuk besar.

Harganya cukup murah yakni Rp 15.000 per porsi plus sepiring nasi. Saya terkejut. Sebagai penggemar masakan ikan, saya tahu persis bahwa untuk porsi serupa di Kota Makassar, biayanya mahal. Pernah, saya mengajak seorang sahabat makan di Rumah makan Ulu Juku di Jalan Abd Daeng Sirua, Makassar. Harga masakan kepala ikan adalah Rp 50.000 pe porsi. Sementara harga parende kepala ikan di tempat makan tadi siang, hanya Rp 15.000. Padahal, dari sisi rasa, sama saja. Malah, saya masih menjagokan masakan parende kepala ikan di Plaza Umna.

Saya lalu makan parende kepala ikan merah itu dengan lahap. Selagi makan, saya teringat cerita bapak saya bahwa dulunya jenis ikan merah adalah ikan yang hanya dimakan oleh sultan atau keluarga istana. Kata bapak, jika nelayan menemukan ikan itu di jaringnya, maka saat itu juga ia akan mempersembahkannya kepada keluarga sultan. Saya yakin, ikan itu dipersembahkan karena rasanya yang enak, sebagaimana yang saya rasakan saat ini.

Untungnya, sekarang bukan zaman kesultanan. Makanya saya bisa mencicipi ikan ini setelah membayar Rp 15.000. Jumlah yang murah untuk sebuah masakan istana. Anda penasaran? Kebetulan, saya sempat memotret parende enak yang tadi saya cicipi. Sengaja saya pajang foto ini, biar Anda ngiler dan pengen coba. Selamat menikmati!

ikan parende plus nasi yang saya pesan di Plaza Umna Wolio (foto: yusran darmawan) ikan parende yang disajikan dengan kuah panas. hmm....

Nyepi dan Penyucian


UMAT Hindu tengah merayakan Nyepi. Ini momen yang magis. Mereka berkarib dengan sunyi demi merenungi segenap tindakan. Mereka sedang berefleksi kalau-kalau ada tindakan yang tidak berkenaan kepada orang lain, dan di ujung nyepi itu, mereka seakan terlahir kembali menjadi sosok manusia baru.

Mungkin saya agak serampangan dalam menginterpretasi ritual Nyepi. Saya hanya seseorang yang menyaksikan dari pinggiran. Bahwa dalam nyepi itu, ada prosesi melabuhkan semua kotoran di jiwa. Bahwa dalam nyepi, ada upacara melasti, ritual untuk menghanyutkan segala kotoran ke laut. Bahwa di situ ada refleksi sekaligus tekad yang kukuh agar di masa mendatang, semua prilaku yang ternoda akan lenyap ditelan smaudera dan manusia kembali menjadi sosok yang baru, yang bersih dari dosa.

Hampir semua agama punya refleksi dalam memaknai hidup. Hampir semua keyakinan memiliki ajaran untuk mengecek kalau-kalau kereta kehidupan kita berjalan liar dan menyeruduk sana-sini. Tatkala momentum itu hadir, sebuah harapan kemudian merekah dalam diri, dan sebuah tekad terpancang kuat: untuk menjadi individu yang lebih baik. Dan Nyepi adalah sebuah proses refleksi sekaligus pengharapan tentang masa depan. Maknanya bersifat universal dan bisa menyentuh hati siapa saja. Nyepi menyentuh semua orang dan mengajarkan refleksi pada siapa saja, apapun agama dan keyakinannya.

Semoga Nyepi bisa bisa menjadi momen penyucian. Tidak hanya buat umat Hindu. Tapi seluruh umat di Indonesia. Semoga..


Selamat Hari Nyepi
Semoga semua dosa melabuh ke laut..

Bumi Cinta: Resep yang Selalu Berulang


HANYA dalam waktu sehari, saya menuntaskan Bumi Cinta, novel terbaru karya Habiburrahman El Shirazy. Saya tertarik membeli novel ini karena promosinya yang selangit. Apalagi, saya memang sudah membaca dua karya penulis ini sebelumnya yakni Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Pada bagian sampul novel ini tedapat sejumlah tulisan yang hebat-hebat. Yakni Adikarya Novelis No 1 Indonesia. Ada pula tulisan Dari Sastrawan Peraih Penghargaan Sastra Nusantara Tingkat Asia Tenggara. Pada sampul belakang ada foto besar dan tulisan # 1 Worldwide Bestselling Author.

Mungkin ini dimaksudkan sebagai promosi. Tapi, kesannya agak berlebihan. Sebab di dua halaman kulit sampul sebelah dalam juga terdapat profil alias curiculum vitae serta kehebatan penulisnya. okelah kalau penulisnya memang hebat. Tapi gak usah telalu over-lah atas semua pencapaian. Saya teringat ES Ito, penulis Rahasia Meede yang hanya mencantumkan data singkat tentang dirinya dalam novelnya. Ia hanya menulis ”ES Ito, lahir tahun 1981 dari ayah dan ibu seorang petani.”

Ini memang hak seorang pengarang. Mungkin, segudang promosi tesebut adalah semacam testimoni yang diharapkan akan menggerakkan orang-orang untuk membeli novel ini, demi membangkitkan rasa kepenasaranan. Dan berhasil. Buktinya, saya langsung terpengaruh dan penasaran dengan novel ini. Saya lalu membelinya. Apalagi, saya mengikuti dua novel sebelumnya dari sang penulis.

Isi novel ini berkisah tentang serang pemuda benama Muhammad Ayyas yang sedang riset untuk progam doktor bidang sejarah di Rusia. Saat berada di negeri ini, keimanannya diuji oleh kemolekan gadis-gadis usia. Pemuda ini digambarkan cerdas (hingga sanggup menguliahi serang doktor sejarah di rusia), tutur katanya halus, serta menjadi idola sejumlah gadis-gadis rusia, baik yang berprofesi sebagai doktor, maupun gadis-gadis yang tinggal satu apartemen dengannya.

Baru baca dua bab, saya sudah dapat gambaran tentang isi novel ini. Tapi saya masih melanjutkan baca sampai tuntas. Saya tak ingin asal ngomong. Terus terang, ekspektasi saya agak berlebihan tentang novel ini gara-gara membaca promosinya yang berlebihan. Bagi saya, Bumi Cinta (BC) tidaklah seistimewa Ayat-Ayat Cinta (AAC) atau karya lainnya Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Malah, saya justru menilai bahwa formula atau resep yang ditawarkan Habiburrahman justru mengulang-ngulang apa yang disajikan dalam novel sebelumnya. Makanya, dengan cepat saya bisa menebak apa hasilnya, dan 100 persen tebakan saya itu sama persis. Ada beberapa kesan yang menggumpal di benak usai membaca novel ini.

Pertama, tokohnya lagi-lagi seorang pria yang alim dan menjadi rebutan gadis-gadis cantik yang rela melakukan apapun agar diperistri sang tokoh. Entah kenapa, dalam tiga novelnya ini, selalu berkisah tentang pria beruntung yang digila-gilai gadis-gadis. Dalam AAC, ada sosok Fahri yang diperebutkan gadis Jerman, Aisha, dan gadis Mesir, Maria. Dalam KCB, ada sosok Azzam yang diperebutkan Eliana (puti Dubes), dan Anna Althafunnisa, mahasiwa program doktor yang cerdas. Dalam BC, lagi-lagi muncul sosok Ayyas yang diperebutkan gadis-gadis rusia mulai dari doktor sejarah Anastasia Pazzola, hingga pelacur insyaf yang jelita Yelena, seta Linor, gadis pemain biola yang jelita. Terus terang, saya agak heran dengan alur cerita seperti ini. Jangan-jangan, sang pengarang novel terlalu sering menonton film Rhoma Irama sehingga muncul gambaran sosok pria yang digila-gilai wanita.

Kedua, sosok Ayyas digambarkan kelewat cerdas sehingga sanggup menggemparkan dunia intelektualitas di Rusia, sanggup membuat tampak bodoh ilmuwan rusia, juga membuat tercengang serang doktor bidang sejarah. Wake up...!!! Ini Rusia, salah satu kiblat intelektual dunia. Tapi kalau dibaca substansi gagasan Ayyas, sangat telihat kalau gagasannya terlalu biasa dan tidak memesonakan. Memang, Ayyas sering mengutip ilmuwan barat sepeti Friedrich Nietzsche dan Karl Marx dalam diskusi di satu univesitas di Rusia, namun tampaknya ia tidak terlalu paham dengan gagasan Nietzsche. Tiba-tiba saja semudah itu ia mengutip dan menjelaskannya. Dan anehnya, tiba-tiba saja, dalam satu diskusi yang memperhadapkan Ayyas dengan seorang profesor yang anti Tuhan, publik Rusia semudah itu memberikan standing applaus kepada sosok Ayyas. Dan sang profesor yang anti Tuhan itu tiba-tiba mati kutu dalam perdebatan. Tiba-tiba, Ayyas diundang hadir untuk talkshow di sebuah stasiun televisi. Aneh.....

Meski digambarkan sebagai mahasiswa program doktor bidang ilmu sejarah, namun sosok Ayyas ini justu menafsirkan sejarah sesuai dengan perspektif Orde Baru. Mungkin karena perspektif ini yang gampang diterima oleh ajaran Islam, yang diklaim pengarang. Ayyas menjelaskan kekejaman PKI di Indonesia yang katanya suka membantai umat Islam. Tapi ia sama sekali tidak menyinggung jutaan waga yang dituduh PKI dan dibunuh begitu saja leh tentaa. Andaikan ia benar sejarawan, ia akan teliti dalam mengungkap fakta-fakta. Tidak cuma percaya pada argumentasi ideologis Suharto bahwa PKI itu atheis, sesat, dan melanggar perintah Allah.

Ketiga, tampaknya Rusia yang digambarkan dalam novel ini hanyalah sebuah setting yang sesungguhnya bisa dipertukarkan. Andai kita ganti dengan Amerika, maka pastilah akan sama saja. Cerita masih tetap bergulir. Sebab sosok yang hidup dan dikisahkan di dalamnya bukanlah Rusia dalam pengertian sebenarnya. Kita tidak mendapat gambaran utuh tentang bagaimana warga Rusia memaknai sesuatu, bagaimana cara pandang mereka dalam menjawab suatu persoalan. Kita hanya berhadapan dengan sosok yang seolah bejat sebagaimana gambaran stereotype orang Islam terhadap Rusia. Dan dalam novel ini, tiba-tiba saja semua sosok itu dnegan mudahnya masuk Islam. Mereka hanya mendengar satu atau dua argumentasi, tiba-tiba saja tersungkur dalam alunan melodi cinta pada Allah.

Terakhir, saya menilai novel ini sama saja dengan novel sebelumnya. Dalam AAC, sebagai pembaca kita terkejut karena baru pertama menyaksikan resep seperti ini. Tapi dalam BC, kita tidak terkejut lagi. Kita sudah tahu resep rahasia Habiburrahman. Kita ibarat disuruh mencicipi sayur dengan rasa yang sama. Lantas, apa masih pantas novel ini menyandang sebutan fenomenal dan mengguncangkan sebagaimana promosinya?


Bagaimana Rasanya Menyaksikan Karya yang Dipajang?


JUDUL di atas agak panjang, namun cukup bisa menjelaskan apa yang saya rasakan. Saat berkunjung ke Toko Buku Gramedia di Kendari, saya menyaksikan buku-buku saya terpajang rapi di beberapa bagian. Anda tahu bagaimana perasaan saya? Sukar saya gambarkan di sini. Sebab kata-kata terlalu miskin untuk menggambarkannya. Tapi dalam kalimat sederhana, saya ingin mengatakan bahwa saya sangat bahagia menyaksikan itu.

Saya jadi bersemangat untuk menuntaskan dua buah karya –yang insyaallah bisa terbit tahun ini. Mudah-mudahan apa yang direncanakan itu bisa segera terwujud...



MTQ dan Fenomena Qari Impor

KOTA Bau-Bau tengah diliputi keramaian oleh penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Selama beberapa hari ini, ribuan warga ikut menyemarakkan acara yang berlangsung sederhana ini. Saya sendiri menyaksikan beberapa acara, mulai dari arak-arakan (ta’aruf), lomba kasidah, dan lomba mengaji (qari). Dari semua acara itu, saya berkesimpulan bahwa masyarakat menyenangi sebuah pergelaran. Mereka menyenangi event-event besar di mana mereka bisa mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya.

Beberapa bulan lagi, akan ada MTQ tingkat provinsi Sulawesi Tenggara. Makanya, semua kabupaten/ kota menggelar MTQ di tingkat daerah. Mereka menggelar seleksi sekaligus pencarian bakat-bakat baru untuk mewakili daerah di tingkat provinsi, ataupun tingkat nasional. Kelak, mereka yang menang lomba, dianggap mengharumkan nama daerah.

Di sela-sela penyelenggaraan MTQ itu, saya mendapat kabar miring, kalau banyak daerah yang demi prestasi kerap menghalalkan segala cara. Banyak daerah yang mencari para qari (pengaji) terbaik di Jawa dan Sumatra, kemudian diminta khusus agar mewakili daerah di ajang MTQ. Menurut seorang kawan, jumlah qari seperti itu di Jawa amatlah banyak. Cukup menyusuri banyak pesantren, pasti akan menemukan banyak bibit yang siap dibayar demi membawa nama suatu daerah. Ini adalah fenomena qari bayaran demi mendongkrak prestasi. Dengar-dengar sih, para qari ini tidak cuma dibayar dengan uang puluhan juta rupiah, namun juga posisi menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Saya merasa ada yang salah di sini. Apapun itu, ini jelas sebuah pelanggaran. Memang, sang qari melantunkan ayat suci Al Quran. Memang, ajang ini adalah demi melaksanakan syiar Islam. Namun apalah artinya semua itu jika pada saat bersamaan sang qari melakukan praktik kebohongan, sesuatu yang amat dibenci Allah. Ia mengaku berasal dan mewakili satu daerah, padahal pada hakekatnya ia sedang dibayar untuk mengaku-ngaku demikian. Dan pada akhirnya, ajang untuk melantunkan asma Allah itu jadi hilang makna gara-gara keinginan untuk merebut prestasi.

Sebagai sebuah pesta besar dan melibatkan banyak warga, saya tetap antusias menyaksikannya. Malah, saya memotret beberapa momen penting di acara MTQ khususnya pada acara arak-arakan, sebagaimana bisa disaksikan pada foto-foto berikut:



Menyelamatkan Yang Tersisa

DULUNYA, saya punya ribuan buku yang berderet-deret rapi di tempat saya bermukim. Sayangnya, banyak buku yang kemudian raib entah ke mana. Banyak yang dipinjam sahabat, lalu tidak dikembalikan. Saya tidak pernah mencatat siapa-siapa saja yang meminjam, dan tidak pernah mengembalikannya. Selama beberapa tahun ini, saya pindah-pindah tempat tinggal. Makanya, buku-buku yang saya beli jadi tercecer di mana-mana. Dan untuk mengumpulkan semuanya, agak ribet dan makan banyak ongkos.




Kini, yang bisa saya selamatkan hanya beberapa. Saya memajangnya di rak kecil di ruang tamu rumah, sebagaimana yang bisa nampak pada foto. Saya ingin menyelamatkan yang tersisa sebagai hadiah istimewa buat semua anak cucu. Kelak saya ingin memperlihatkan pada mereka inilah buku-buku yang selama ini menemani saya ke mana-mana. Buku-buku yang menjadi penawar dari rasa dahaga akan ilmu pengetahuan.(*)