|
snorkeling di Maya Beach, Phuket, Thailand |
DUA hari lalu, di depan James Bond Island,
Mr Ming, pemandu wisata yang menemani perjalanan saya di Phuket, Thailand,
langsung berkata, “Pulau ini didatangi
jutaan orang setiap tahun, khususnya saat peak season. Indah khan?” Saya mengangguk
di hadapannya. Namun di hati kecil, saya tak menemukan keindahannya. Padahal, di
kiri kanan saya, ada ratusan turis asing yang silih berganti berdatangan, lalu
memotret pulau kecil itu, kemudian bermain di pasir putih. Semua turis berdecak
kagum.
Dahulu, pulau kecil ini menjadi tempat
syuting salah satu film James Bond yang berjudul The Man with the Golden Gun. Tempat ini terletak di Phang Nga,
sebuah taman nasional dengan pulau-pulau yang menyembul di Laut Andaman. Kalau
tak salah, bintang James Bond saat itu adalah Sean Connery. Melihat pulau itu,
saya membayangkan adegan ketika Sean Connery menaiki speed boat sambil membawa
senjata. Pasti sangat seru.
Dan puluhan tahun sesudahnya, pulau ini dikemas
menjadi paket wisata hingga terus didatangi banyak orang, menyerap banyak
devisa dari warga internasional, memberikan pendapatan bagi warga lokal.
Orang-orang membayar mahal untuk tiba di tempat itu. Sementara saya datang ke
situ dengan gratis. Saya tak perlu membayar sepeserpun.
Keesokan harinya, saya diajak mengunjungi
Maya Beach, yang menjadi lokasi pembuatan film The Beach yang dibintangi Leonardo Di Caprio. Penumpang kapal
wisata yang saya tumpangi lalu memakai pelampung kemudian menceburkan diri di
air hijau. Mereka melakukan aktivitas snorkeling. Saya tak ikut turun ke laut.
Saya hanya menyaksikan saja. Sebagaimana di James Bond Island, kembali saya tak
menemukan letak keindahannya.
Usai snorkeling, kapal wisata lalu singgah
ke Phi Phi Island, sebuah pulau indah berpasir putih dan dahulu sempat remuk
karena dihantam tsunami. Di situ, saya menyaksikan rerimbunan hotel yang
memenuhi kawasan pantai berpasir putih yang indah. Di pulau ini, turis asing
bergerombol bak semut mendatangi sarang. Mereka memenuhi pantai, berjemur diri,
lalu sesekali berenang di lautan biru. Seorang turis berkebangsaan Rusia
bercerita bahwa sejak dahulu, ia membayangan surga berbentuk pulau tropis dngan
pasir putih serta nyiur melambai. Ketika tiba di Phi Phi Island, ia merasa
telah menemukan surga. Ia menemukan bahagianya.
|
para turis tengah bersantai di Maya Beach |
|
pemandangan di Phi Phi Island |
Di beberapa tempat wisata bertaraf
internasional itu, saya justru tidak menemukan letak keindahannya. Sebagai
orang yang lahir dan besar di pulau kecil di sebelah tenggara Sulawesi, hampir
tiap hari saya menyaksikan laut biru, karang-karang, serta nyiur melambai
sebagai tempat bermain sejak masa kecil. Bahkan hingga kini, rumah saya di
Pulau Buton hanya berjarak sepuluh menit dari pantai berpasir putih. Makanya,
ketika menyaksikan pasir putih itu, saya justru membandingkannya dengan alam
perkampungan saya yang juga indah, dan belum banyak diketahui warga dunia.
Di sepanjang pesisir Pulau Buton, hingga
pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Wakatobi, jejeran pulau-pulau tropis
berjajar indah dan tak banyak diketahui warga asing. Di pulau-pulau kecil itu,
saya kerap bermain sambil mandi. Di pulau-pulau itu, para nelayan kerap datang
dan melempar jaring. Mereka membawa banyak ikan yang kemudian dikonsumsi warga
pulau. Lautan ibarat kanvas bagi seorang pelukis yang menjadi tempat bermain
dan menjalani hari-hari, serta belajar banyak hal.
Sungguh ironis saat mengetahui bahwa
pulau-pulau di tanah air justru tak banyak diketahui. Belakangan ini,
pemerintah Indonesia memaksimalkan promosi paket wisata di pulau-pulau demi
memaksimalkan devisa negara. Kawasan pulau-pulau seperti Wakatobi mulai diperkenalkan
ke mata dunia.
Keindahan pulau-pulau di tanah air Indonesia jelas berpuluh kali lipat
dibandingkan Phuket, Thailand. Akan tetapi, jangankan warga asing, warga lokal
sekalipun tidak banyak tahu bahwa ada banyak tempat wisata hebat di tanah air. Banyak
di antara kita yang belum pernah sedikitpun menginjakkan kaki di jajaran
pulau-pulau yang keindahannya sedemikian memesona di negeri sendiri. Saya
berani bertaruh bahwa ada ribuan pulau-pulau di tanah air yang jauh lebih memukau
dari pulau-pulau di Phuket.
Lebih ironis lagi saat mengetahui bahwa
wisatawan Indonesia justru banyak membanjiri Phuket, Bangkok, ataupun Pattaya.
Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dikuasai para pemandu wisata di Thailand.
Banyak tempat belanja yang pemiliknya fasih berbahasa Indonesia dan cakap
menggunakannya. Ketika saya menanyakan itu ke seorang pemandu wisata,
jawabannya simpel. Sebab di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mengirimkan
wisatawan terbanyak untuk berkunjung ke Thailand.
Sejak rute Jakarta – Phuket dibuka, rute
ini selalu dipenuhi orang-orang yang datang untuk berwisata. Saya seringkali
terheran-heran, mengapa warga kita sedemikian jauh mencari keindahan wisata
pantai, sementara di dalam negeri justru ada banyak tempat menakjubkan dan
eksotis untuk dijelajahi. Mengapa Phuket harus sedemikian populer dan didatangi
warga dunia?
Nampaknya, kita tak perlu malu untuk
belajar pada Thailand. Negeri gajah putih itu sanggup mengemas sesuatu yang sederhana di mata kita menjadi sesuatu yang
bernilai di mata masyarakat awam. Mereka bisa menampilkan keunikan, lalu
menjualnya sebagai tontonan wisata yang menarik. Di negeri itu, atraksi manusia
memanjat kelapa pun bisa dikemas menjadi satu tontonan menarik. Sementara di
tanah air, atraksi unik seperti monyet memanjat kelapa tak bisa dikemas menjadi
paket wisata.
|
berpose di depan satu kuil di Phuket |
Pantas saja jika negeri itu bisa memanen
begitu banyak pendapatan dari sektor pariwisata. Tentu saja, ada dampak sosial
yang kemudian muncul dari pariwisata. Namun jika dikelola dengan positif serta
langkah-langkah yang benar, maka pariwisata bisa menjadi arena untuk
melestarikan budaya, memperkuat kebudayaan, serta mendapatkan pemasukan bagi
negara.
Negeri kita memiliki potensi wisata yang
jauh lebih dahsyat dari negara manapun. Banyaknya suku, keanekaragaman budaya,
serta banyaknya pulau-pulau mesinya bisa dikelola dengan baik dan memberikan
kontribusi ada penguatan pariwisata. Data menunjukkan bahwa Thailand mampu
menjaring kunjungan 22,3 juta orang wisatawan dan Malaysia menjaring 18 juta
orang per tahun. Sementara Indonesa hanya didatangi delapan juta orang per
tahun. Bukankah ini fakta yang mengejutkan mengingat luas wilayah serta
banyaknya tempat wisata di tanah air?
Pengalaman saya di Phuket mengajarkan
bahwa rahasia utama dalam pariwisata. Rahasia itu adalah (1) kemasan yang unik,
khas, serta mengakomodasi tradisi dan budaya lokal. Thailand sukses mengemas
keindahan alamnya menjadi satu atraksi wisata yang memesona warga dunia. Mereka
menunjukkan bahwa dengan cara-cara sederhana, pariwisata bisa dikelola dengan
baik sehingga memberikan begitu banyak pemasukan bagi warga lokal. (2)
Pentingnya promosi. Tanpa promosi, keindahan alam kita hanya menjadi misteri
yang hanya diketahui segelintir orang. Betapa banyaknya modal kita yang diserap
bangsa lain, dan betapa ruginya kita karena gagal mempromosikan kawasan wisata
terbaik yang kita miliki.
Di dekat pasir putih di Phi Phi Island,
saya merenung tentang tanah air Indonesia. Saya tiba-tiba saja bertanya pada
diri saya, mengapa harus datang ke luar negeri demi mendapatkan pemandangan
pasir putih? Saya sadar bahwa ada banyak kerja keras yang bisa dilakukan di
tanah air. Salah satu kerja keras itu adalah bagaimana menjadikan segala
potensi di ganah air sebagai tuan di negeri ini, yang kemudian memancarkan
cahaya, menjadi mercusuar bagi masyarakat dunia.(*)
BACA JUGA:
NANTIKAN:
Rasa Indonesia di Negeri Gajah Putih