Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Bajak Laut Romantis di Timur Kalimantan


kampung Bajau di pesisir Tanjung Batu, Berau

LAUTAN tak sekadar semesta yang menjadi ibu bagi seluruh warga pesisir. Lautan juga kerap kali menjadi saksi bagi konflik dan perkelahian antar manusia. Di Tanjung Batu, Berau, terselip kisah tentang konflik antara bajak laut dan warga yang lalu menjadi cikal-bakal sejarah kampung. Terselip pula kisah cinta dan rindu yang lalu mengurai ribuan kisah.

***

BAPAK itu membuka beberapa lembar lusuh. Ia sedang menguraikan sejarah kampung Bajau di Tanjung Batu, Berau, Kalimantan Timur. Ia bercerita tentang neneknya yang dahulu menghuni Pulau Derawan, kemudian pindah secara massal ke Tanjung Batu. Mengapa? "Sebab bajak laut kerap datang membakar semua kampung," katanya.

Bapak itu adalah pemuka adat Suku Bajau. Ia sengaja kutemui untuk berdiskusi beberapa topik. Ia pun bersedia berbagi pengetahuan tentang laut, serta kisah-kisah orang Bajau yang secara perlahan mulai meninggalkan laut. Banyak di antara mereka yang mulai tak bersahabat dengan laut, dan mulai mencari profesi lain di daratan. Nada suaranya getir. Ia tak bisa menahan laju suku Bajau untuk ke daratan.

Mendengar kata bajak laut serasa mendengar kisah-kisah dalam berbagai dongeng. Tapi bapak ini tak sedang membacakan dongeng. Ia mengucap kata itu dengan penuh kengerian. Ia membayangkan kampung-kampung yang dijarah dan dibakar oleh sejumlah pelaut dari negeri lain.

Di banyak desa-desa pesisir di Nusantara, bajak laut adalah momok paling menakutkan. Tak heran jika di banyak kerajaan, selalu ada sosok yang bertugas menjaga keamanan laut. Di Aceh, ada seorang Panglima Laut, di Buton ada sosok Kapitalao, di Ternate ada sosok Kapitan Laut. Hal yang sama bisa ditemukan di Kerajaan Gowa, maupun Kesultanan Bima.

Bagi warga Suku Bajau di Berau, bajak laut membawa kengerian sekaligus merekahkan peradaban baru. Bajak laut membuat warga menyingkir dan membentuk kampung-kampung kecil. Warga lalu menyiagakan pertahanan serta memperkuat solidaritas demi menghadapi bajak laut. Banyak kamung berdiri dan punya skema pertahanan.

Di kampung Bajau, bajak laut kerap disebut dengan istilah lanun. Dalam buku Bajak Laut, Orang Laut, Raja Laut yang ditulis sejarawan AB Lapian, lanun berasal dari bahasa Mindanao. Nama itu berasal dari kata l-lanao-en yang mempunyai arti orang dari danau. Bajak laut Lanun awalnya berda di pedalaman, namun akhirnya mereka menyebar ke daerah pantai. Ada dua faktor yang menyebabkan mereka ke daerah pantai. Salah satu faktor itu adalah letusan gunung api tahun 1765. letusan gunung api membuat penduduk daerah sekitar berpindah tempat menuju ke tempat yang lebih aman. Kemudian, faktor yang kedua adalah stratifikasi sosial khas bangsa Maranao di Filipina.

Dari manakah asal bajak laut itu? “Mereka berasal dari Solok,” kata bapak itu. Seingatku, kata Solok merujuk pada nama satu daerah di Sumatera Barat. Tak pernah ada kisah tentang bajak laut di sana. Tak mungkin pula orang Solok jauh-jauh datang menjarah ke pesisir utara Kalimantan. Namun setelah kurenungi penjelasannya, barangkali daerah yang dimaksudkannya adalah Kepulauan Sulu, di Filipina. Beberapa sejarawan menyebutkan Sulu sebagai rumah bagi para bajak laut paling perkasa yang kerap mengamuk di pesisir utara Kalimantan. Bajak laut Sulu kerap dilaporkan menjarah hingga Berau, Bulungan, serta beberapa daerah lainnya.

Mereka memiliki jenis persenjataan yang bermacam-macam. Jenis persejataan itu ada yang berbentuk secara tradisional dan modern. Secara tradisional, senjata mereka memiliki bermacam-macam ukuran, baik panjang dan pendek. Untuk ukuran yang panjang, ada pedang, klewang, dan tombak. Senjata ukuran pendek juga berupa parang, golok, dan mandau. Ada juga senjata yang dibuat oleh orang-orang pribumi sendiri, yaitu lela dan rentaka atau lantaka (meriam yang bisa berputar-putar). Bahkan, rombongan bajak laut juga memiliki senjata pribadi berupa keris sebagai pegangan mereka.

Perahu yang sering dipakai oleh bajak laut yang berada di sekitar kepulauan Sulu adalah perahu kora-kora. Kora-kora memiliki ciri bentang satu layar berbentuk persegi panjang, berbadan lebar dan pendek, berlambung rendah, dan ujung-ujungnya tinggi serta dihias. Perahu itu terbuat dari papan dengan haluan dan buritan yang menjulang ke atas beberapa meter. Hiasan di perahu tersebut juga berbentuk sacral seperti naga dan sebagainya.

Layar persegi panjang perahu kora-kora dibuat dari daun pandan yang dianyam.dan pada layer tersebut ditegakkan dengan tiga buah tiang yang menyatu di puncaknya. Perahu kora-kora digunakan oleh VOC untuk ekspedisi Hongitochten dan mengontrol cengkeh di Maluku.

Berita tentang korban bajak laut mengungkapkan bahwa keadaan korban yang menjadi budak bajak laut diperlakukan tidak sekejam yang diperkirakan. Biasanya, korban yang dijadikan sebagai budak adalah orang-orang Bajau. Mereka ditangkap untuk dipekerjakan sebagai budak dalam mencari kebutuhan ekonomi para bajak laut. Walaupun mereka suka dijadikan sebagai budak, jaringan pelayaran orang-orang Bajau mampu mencakup sebagian besar kepulauan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi mereka terhadap masyarakat yang terbesar ke seluruh penjuru nusantara, bahkan hingga tanah semenanjung, pantai sabah, dan Filipina Selatan.

Hanya saja, mesti dicatat bahwa perlakuan budak di dunia barat dan dunia timur sungguh berbeda. Perlakuan budak di dunia timur lebih bersifat manusiawi daripada dibandingkan dengan dunia barat. Rakyat yang telah dijadikan budak biasanya hanya dipekerjakan sebagai pembuat garam, pencari ikan, pembantu rumah tangga, pandai besi, dan lain-lain. Dengan demikian, kehidupan budak dalam arti fisik menjadi lebih nyaman dan aman.

***

TAK hanya nestapa, terselip pula banyak kisah cinta antara bajak laut dan warga setempat. Seorang warga Suku Bajau di Berau bercerita tentang kisah-kisah cinta yang tak pernah terungkap ke publik. “Makanya, banyak suku Bajau di sini yang menganggap Filipina adalah daerah asal nenek moyangnya,” katanya.

Kisahnya mengingatkanku pada cerita Pocahontas yang diproduksi Disney. Ada sejumlah penjelajah agresor yang hendak menjarah ke pulau, namun ada sosok James Smith yang lalu mengubah haluan. Sosok ini tak bisa menolak kata hati, dan memilih untuk membangun hubungan kasih dengan seorang perempuan lokal.

Di kampung Bajau, barangkali ada banyak kisah-kisah romantis yang mengharu-biru dan cinta yang menembus lautan lalu menjadi mutiara di dasar laut. Kelak akan kukisahkan pada kesempatan lain.


Pesisir Berau, 30 Mei 2015

Para Sahabat di Perjalanan



HAMPIR di semua tempat, saya selalu menemukan orang-orang baik. Mereka laksana saudara yang bersedia melakukan apapun demi suksesnya perjalanan. Mereka menjadi tour guide, sahabat di perjalanan, sekaligus membantu saya untuk memahami banyak hal. Mereka adalah malaikat penolong di kala saya sedang membutuhkan bantuan.

***

TIBA di Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur, saya tak tahu hendak ke mana. Bersama dua teman, saya ke kota itu dan hendak menelusurinya. Kami datang untuk menuntaskan satu misi penting yakni melengkapi bahan penelitian kami selama beberapa hari di Kampung Tanjung Batu.

Kami belum punya rencana perjalanan hendak ke mana. Kami belum mencari informasi hendak menggunakan angkutan apa, atau menginap di mana. Di satu warung makan, saya mengaktifkan jejaring sosial. Saya melihat foto beberapa sahabat yang sedang duduk santai di satu kafe di Tanjung Redeb. Saya menulis pesan sedang berada di kota yang sama.

Ponsel saya berdering. Teman itu lalu meminta saya untuk datang ke tempat itu. Teman itu adalah pengacara yang singgah ke kota itu untuk menyelesaikan satu perkara. Teman itu lalu memberi petunjuk bagaimana menggapai tempat itu. Tak terlalu sulit untuk menemukan transportasi tepat di kota sekecil ini. Setibanya di kafe itu, ia lalu mengenalkan saya dnegan beberapa sosok penting yang menjadi pucuk pimpinan organisasi pemuda. Kami berdiskusi mengenai politik. Tanpa saya minta, beberapa sosok itu lalu mem-booking kamar hotel paling mewah di kota itu.

Dunia media sosial benar-benar berkah buat saya sebab mempertemukan dengan banyak orang yang tak saya kenali. Dengan hanya menulis status sedang nongkrong di kafe itu, beberapa orang datang menyapa. Mereka memberikan masukan-masukan, lalu untuk membantu saya untuk menemukan apa yang dicari.

Tak lama kemudian, sahabat saya Cido datang. Ia adalah adik angkatan saya di satu universitas terbesar di kawasan timur Indonesia. Melalui media sosial, ia tahu kalau saya berada di Berau. Ia telah menitip pesan, jika membutuhkan bantuan, ia siap melakukan apapun. Ia lalu datang dengan membawa kendaraan sendiri. Kami lalu bergerak menyusuri kota dan mengetuk pintu semua toko dan pusat perbelanjaan. Memang, pencarian itu belum berhasil, akan tetapi kami bahagia sebab mendapatkan bantuan dari banyak orang.

Kebaikan Cido tak berhenti di situ. Ia juga mengajak kami makan di beberapa spot favorit. Sepanjang jalan, ia menjelaskan kuliner khas Tanjung Redeb, serta dinamika ekonomi di kota kecil itu. Ia adalah sahabat yang rela mendedikasikan waktunya demi orang lain. Kepadanya, saya mengucap banyak terimakasih.

***

DI banyak kota, saya menemukan orang-orang baik yang selalu membantu. Bersama mereka, saya tak pernah khawatir tersesat ataupun kehilangan arah. Beberapa di antara mereka menjadi sahabat dekat yang senantasa berkirim kabar dan bersilaturahmi. Sampai kapanpun, saya akan menjaga komitmen persaudaraan itu. Uniknya, saya belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Hah?

Di Lombok, saya bertemu Ahyar, Yusuf Tantowi dan Faturrakhman. Saya belum pernah bertemu ketiganya, namun interaksi melalui media massa telah mendekatkan kami. Ketiganya adalah intelektual muda yang menjadi aset berharga bagi pulau itu. Mereka menemani saya menelusuri surga Pulau Lombok beserta berbagai potensi wisatanya. Tanpa mereka, saya tak pernah berjalan sejauh mungkin di Pulau Seribu Masjid itu.

Di Solo, saya bertemu sahabat Johan Wahyudi. Ia adalah seorang guru yang amat produktif menulis. Ia rela menjadi tour guide yang mengantar saya ke banyak tempat, mempertemukan saya dengan beberapa sahabat penulis, lalu memberi hadiah-hadiah yang tak mungkin saya lupakan. Saya masih terkenang dengan keramahan dan kebaikannya. Ia adalah guru, sahabat, serta kakak yang memberikan banyak masukan.

Di Sorong, Papua Barat, sahabat Muhajir datang menjemput saya di hotel untuk diajak keliling-keliling. Saya juga tak pernah bertemu sebelumnya dengannya. Tapi ia sering membaca catatan blog, lalu menemukan banyak kesamaan-kesamaan. Tanpa Muhajir, saya tak akan pernah bisa menjangkau wihara kecil di Sorong, Papua Barat. Tanpa dirinya, saya tak bisa mencicipi kopi wamena yang rasanya menakjubkan itu di satu kedai kecil kota Sorong.

Di Ambon, saya bertemu Atrasina Adlina, seorang perempuan tangguh yang menguasai detail-detail kota Ambon. Dengan motor besarnya, ia mengantar saya untuk mencapai bukit yang di atasnya terdapat patung Martina Christina Tiahahu. Ia mengajak saya ke Pantai Natsepa yang indah di pesisir Ambon. Ia juga yang mengajak saya singgah di Kafe Sibu-Sibu yang memajang semua memorabilia orang Ambon di tanah rantau.

Di Cianjur, Jawa Barat, sahabat A'a Chimz yang mengantar saya menelusuri kebun strawberry di kaki Gunung Gde Pangrango. Ia juga mengajak saya mengunjungi taman bunga nusantara yang di dalamnya berjajar ribuan bunga. Tak saya sangka, di tanah air kita ada banyak bunga-bunga yang bertebaran indah di satu taman.

***

Mereka tak sendirian. Ada banyak orang lain yang seharusnya saya sebut sebab teah membantu perjalanan saya ke beberapa tempat. Saya merasakan keajaiban dunia media sosial. Para sahabat itu membaca banyak postingan serta mengenali segala sisi tentang diri saya. Betapa tercengangnya saya ketika mereka menanyakan hal-hal yang saya sendiri tak lagi mengingat dengan detail. Mereka benar-benar sahabat dekat yang seolah lama tak bertemu.

Inilah dinamika dari keterhubungan di era media sosial. Banyak orang yang menjadikan media ini hanya sebagai tempat curhat. Ada yang menjadikannya sebagai tempat untuk menulis segala keresahan melalui status-status yang isinya provokasi ataupun menebar energi negatif. Namun ada pula yang saling membangun jejaring kasat mata ketika menemukan pertautan gagasan dengan orang lain.

Saya meyakini bahwa ada banyak orang baik yang tersebar di mana-mana, hanya saja mereka memilih menjadi penyaksi. Namun mereka tak benar-benar diam. Mereka terus menyaksikan dan sesekali turun tangan dan menawarkan kebaikan ketika ada orang lain berkunjung ke wilayahnya. Selagi kita terus memancarkan aura kebaikan, maka kita pun akan menerima kebaikan di manapun berada. Inilah yang disebut the law of attraction, ketika kamu memancarkan sikap positif, maka dunia pun akan menerimamu dengan penuh kelembutan.

Jika semua orang baik itu saling terhubung, maka dunia akan lebih riang dan membahagiakan. Dunia akan penuh warna-warni, di mana semua orang saling menawarkan kebaikan pada dunia sekitarnya. Dunia akan penuh kembang gula dan cokelat persahabatan. Dunia akan seindah syair yang dinyanyikan suara serak Louis Amstrong:

The colors of the rainbow so pretty in the sky
Are also on the faces of people going by
I see friends shaking hands saying how do you do
But they're really saying I love you.


Tanjung Redep, 29 Mei 2015

Bebas dari Nestapa





DI bumi anging mammiri, sebuah kabar duka kembali berhembus. Baru beberapa waktu lalu, aku menulis tentang duka seorang sahabat yang ditinggal kekasih, kini, aku harus kembali menulis duka sahabat itu atas kehilangan yang kedua kalinya. Kembali, aku tak tahu bagaimana membuka tulisan tentang kedukaan. Kata-kata menjadi amat terbatas. Aku lebih banyak terdiam.

Bagi yang menyaksikan, barangkali akan merasa masygul ataupun sedih. Namun bagi yang merasakan, intensitas kesedihan itu pastilah berlipat-lipat. Tak ada yang sanggup menakar sedalam apa kesedihan yang dirasakan seseorang. Yang bisa dilakukan hanyalah mengalami, lalu merasakan sesuatu yang menggiris hati, setelah itu ada gemuruh rasa yang menjebol tebing-tebing bahagia seseorang.

Kehidupan selalu punya kotak penuh misteri. Kita hanya bisa membuka kotak, dalam keadaan mata tertutup, lalu mengambil satu demi satu misteri. Memang, kita bisa berencana untuk memilih hendak mengambil dari kotak mana. Akan tetapi, kita tak kuasa untuk menentukan jenis misteri apa yang terambil dari kotak itu. Kita hanya bisa mengulurkan tangan lalu menyerahkan pada takdir tentang misteri apa yang bisa muncul.

Seringkali aku merasa bahwa posisi manusia hanyalah pion kecil dari permainan catur yang arenanya sudah bisa diprediksi. Kaum yang fatalistis memilih sesuatu yang diyakininya benar demi justifikasi atas apa yang sedang dan akan terjadi. Mereka lalu bergerak berdasarkan sesuatu yang dianggapnya benar itu. Mereka menentukan masa depan dan takdir baik buruk berdasarkan ukuran dan nilai-nilai itu. Mereka menilai setiap kejadian dengan ukuran orang banyak, kehilangan adalah kesedihan, kelahiran adalah kebahagiaan.

Namun dalam banyak hal, aku kerap bersetuju dengan Buddha yang mengatakan bahwa bahagia dan duka hanyalah konsep-konsep yang terlanjur tertanam di kepala kita. Yang terjadi adalah kita membangun mahligai harapan lalu meletekkan semuanya pada mahligai itu. Namun ketika kita membebaskan diri dari semua penjara konsep itu, semesta akan menjadi sangat indah.

Barangkali kita terlampau menyandarkan diri kita pada sesuatu. Kita terlanjur mendefinisikan diri kita pada sesuatu yang bisa berupa materi, keluarga, kampung, atau barangkali berbagai tolok ukur duniawi. Dalam hal materi, kita selalu ingin menjadi pemilik materi lebih. Ketika tak ada materi, tiba-tiba saja kita merasa kehilangan banyak hal. Apa yang kita sebut kesedihan bermuara pada ada tidaknya materi tersebut. Di saat materi itu lenyap, kita merasa nelangsa dan kehilangan arah.

Ketika seseorang bisa membebaskan dirinya dari berbagai standar dan definisi, maka realitas akan berbeda. Seseorang akan mudah mengalir dan menyatu dengan berbagai kenyataan. Bahagia dan sedih hanya menjadi atribut biasa yang tak melenakan. Tujuan hidup bukan untuk mencari bahagia dan meninggalkan sedih, melainkan bagaimana bisa mengalir dan sesegera mungkin menceburkan diri ke dalam sirkuit kenyataan.

Barangkali, yang harus dikembangkan adalah sikap pasrah dan melihat kehidupan secara apa adanya. Segala yang terjadi adalah kehendak alam yang seringkali tak bisa disangkal. Kita mengalir mengikuti aliran dari sungai semesta, berenang dan belajar di dalamnya, lalu setelah itu memasrahkan diri dan meyakini bahwa segala sesuatu bergerak telah mengikuti garis takdirnya. Pada titik ini kita akan menemukan kebebasan dari segala nestapa.

Turut berduka wahai sahabat. Bangkit dan tertawalah pada dunia.


Berau, 27 Mei 2015

Mencari Perawan di Pulau Derawan



DARI berbagai penjuru dunia, para penyelam berdatangan ke Pulau Derawan. Mereka mencari sesuatu yang alami, tak banyak terjamah manusia, serta tak pernah ditelusuri. Mereka tak sekadar mencari pemandangan bawah laut menakjubkan, atau penyu yang setia hilir mudik di sekitar pulau itu. Mereka mencari perawan!

***

KAPAL speedboat kecil yang memuat 12 orang penumpang melaju kencang dari Tanjung Batu, Berau. Aku dan kawan-kawan bergerak ke Pulau Derawan untuk rekreasi. Kami, rombongan peneliti muda, berharap menemukan sesuatu yang berbeda. Minimal kami bisa menuntaskan rasa penasaran kami atas kemasyhuran Derawan hingga manca negara.

Perjalanan itu dimulai dari Bandara Kalimarau di Tanjung Redeb. Selanjutnya kami meneruskan perjalanan dengan mobil selama dua jam ke Kampung Tanjung Batu. Dari sini, kita hanya butuh sekitar 20 menit untuk mencapai Derawan. Jika ingin perjalanan itu sempurna, lanjutkanlah ke Pulau Maratua, Kakaban, dan Saumlaki. Selalu ada yang unik di setiap pulau. Selalu ada rasa dan cerita yang berbeda di setiap tempat.

Sejak beberapa tahun terahir, Derawan ibarat bidadari cantik yang terus-menerus dibincangkan para traveler dan penikmat wisata bawah laut. Pulau ini dianggap bisa memuaskan hasrat berpetualang, hasrat untuk menyelam, dan hasrat menemukan pemandangan bawah laut yang menakjubkan.

Beberapa orang mengatakan bahwa pulau ini lebih kondang di luar negeri. Bersama pulau-pulau lain seperti Maratua, Samalaki, Samama, dan Kakaban, gugusan pulau ini adalah zamrud di bumi khatulistiwa yang digandrungi banyak kalangan. Arus wisatawan meningkat. Banyak orang lalu menanam mimpi untuk ke pulau ini. Mereka membayangkan bagaimana indahnya pantai pasir putih, laut biru, serta penyu hijau yang berenang di sekeliling.

Setiba di Pelabuhan Derawan, kami bergerak menyusuri pemukiman. Ternyata, pulau ini adalah rumah bagi orang-orang Bajau yang sejak dulu mendiami pulau. Bajau memang dikenal sebagai pengelana lautan. Mereka punya filosofi bahwa lautan adalah rumah bagi siapapun yang bisa didatangi dan dikunjungi kapan saja. Mereka bebas tinggal di pesisir manapun, khususnya yang tak pernah dikunjungi manusia lain.



Orang-orang Bajau yang kusaksikan ini sedemikian ramah dan bersahabat. Mereka menawarkan senyum tulus serta persahabatan pada siapapun yang datang. Mereka bersedia menjadi tour guide, mendemonstrasikan kemampuan berenang bersama penyu-penyu hijau di pesisir pulau, serta bersedia menawarkan rumahnya menjadi tempat berdiam selama beberapa waktu.

Di tengah keramahan itu, ada semacam getir yang merekah. Para sahabat Suku Bajau ini hanya menjadi penonton dari dinamika wisata yang didominasi oleh pemerintah, pengusaha wisata, serta para pelancong dari berbagai tempat. Orang-orang Bajau ini tak pernah diajak untuk merumuskan hendak ke mana nasib pulau mereka. Tak ada informasi tentang rencana atas perkampungan itu. Jangan-jangan mereka akan disingkirkan oleh berbagai resort mewah yang tumbuh bak jamur di pulau itu.

Aku lalu melihat seorang nelayan tua duduk sambil merokok di tepi dermaga. Aku lalu singgah dan menemaninya berbincang. Matanya menerawang saat menunjuk berbagai resort mewah di kejauhan. “Dulu, saya menambatkan perahu di ujung sana. Tapi sejak helipad dan resort mewah berdiri, saya dilarang ke situ,” katanya risau.

Pariwisata memang surga bagi sebagian orang. Tapi bagi yang lain, pariwisata adalah bapak tua kejam yang suka membatasi gerak. Entah sejak kapan wacana pariwisata mulai menjalar, namun dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang datang ke pulau ini untuk sekadar menikmati pasir putih dan senja temaram. Yang ingin dicari orang-orang itu adalah alam yang perawan, molek, dan menantang. Informasi tentang Derawan beredar di media massa asing serta situs para traveler.

Sementara para “pemilik pulau” itu hanya menjadi menyaksi. Mereka yang dahulunya bebas menambatkan perahu, mencari ikan, serta bertualang di laut di atas perahu kecil kian terbatas ruang geraknya. Demi pariwisata, sejumlah ikan kecil yang dahulunya menjadi penyangga hidup tak bebas lagi ditangkap. Demi pariwisata mereka harus menyaksikan berbagai orang baru yang datang sambil membawa perlengkapan selam. Mereka harus menyaksikan bule-bule berbikini yang angkuh kala melewati pemukiman penduduk.

Mereka tak punya ruang untuk menyatakan protes. Mereka bisa dianggap tak paham wisata. Mereka bisa dituduh menghambat program pemerintah yang hendak mempromosikan pulau hingga mancanegara. Barangkali, ketika wisata tumbuh pesat, mereka bisa dianggap sebagai sampah yang mencemari pulau. Kelak mereka bisa terusir oleh dibangunnya berbagai fasilitas mewah demi memanjakan para pendatang dari negeri-negeri yang jauh.

Padahal, merekalah pemilik sah pulau ini yang tak pernah disebut namanya dalam berbagai brosur pariwisata. Yang ditampilkan selalu tentang penyu, laut biru, pasir putih, serta pemandangan menawan. Masyarakat tak pernah dianggap sebagai komponen penting yang seharusnya menjadi daya tarik utama bagi pariwisata itu sendiri. Padahal, sejak ratusan tahun silam, mereka mendiami pulau, beranak-pinak, lalu membentuk peradaban maritim di situ. Hari ini mereka hanya menjadi penonton dari deru laju industri pariwisata.


Aku lalu menelusuri jalan-jalan kampung Bajau. Di sudut lain, kampung yang kusaksikan ini dipenuhi aktivitas terkait laut seperti nelayan yang sedang membersihkan perahu, istri nelayan yang menenun jaring, anak-anak nelayan yang bermain di genangan-genangan kecil di dekat rumah, ataupun anak-anak muda yang berbincang di bawah pohon sembari memandang lautan lepas. Anak-anak nelayan itu kehilangan hasrat kuat untuk meneruskan marwah dan tradisi bahari orang tuanya.

Nampaknya, perkampungan di pulau ini hendak berkembang serupa kota. Rumah-rumah dikemas menjadi homestay. Penduduk yang ‘gantung perahu’, berhenti melaut lalu fokus untuk menjadi pekerja kecil di sektor pariwisata, hingga anak-anak yang suka bersorak kala menyaksikan seorang bule berbikini sedang melintas. Di depan beberapa rumah, terdapat penyewaan sepeda serta toko-toko cenderamata.

Tentu saja, pariwisata harus dilihat pengungkit kekuatan ekonomi masyarakat. Hanya saja, pertanyaan yang kemudian mencuat adalah bagaimana bisa tetap menjaga tradisi dan budaya bahari masyarakat agar tetap lestari dan tidak tergerus oleh berbagai mimpi untuk menjadi seperti para pelancong. Pariwisata harusnya menjadi penyelamat dari berbagai tradisi lokal serta dunia ekologi bahari orang Derawan sehingga bisa diwariskan ke anak-anak cucunya.


“Tak banyak lagi anak muda yang mau jadi nelayan seperti saya,” kata bapak tua itu sembari menghembuskan rokoknya. Rupanya pariwisata bisa membuka cara pandang masyarakat untuk berlomba-lomba mencapai kesejahteraan, meninggalkan perkampungan, lalu memiliki gaya hidup sebagaimana para pelancong yang datang.

Di Pulau Derawan, kulihat alam perawan yang menawan dan menakjubkan. Di situ, kulihat pula satu sketsa getir tentang kehidupan.



Pulau Derawan, 26 Mei 2015

Kampung Bugis Diapit Dua Bidadari



DI bumi Kalimantan Timur, orang-orang Bugis membangun perkampungan lalu menjelajah ke mana-mana. Mereka punya etos kerja hebat sehingga menguasai lapangan ekonomi, menjadi para saudagar baru, lalu menguasai jabatan publik. Di kampung kecil Tanjung Batu, Berau, aku menyaksikan harmoni yang amat memukau ketika orang Bugis menjadi nelayan yang menguatkan semua nelayan lain untuk bangkit dari keterpurukan.

***

DI Tanjung Batu, Berau, lautan menjadi nadi kehidupan banyak orang. Hampir seratus persen, pekerjaan penduduk adalah nelayan. Mereka menyandarkan kehidupannya pada lautan. Mereka menata masa kini dan masa depan, dengan menjadikan laut sebagai titik pusatnya. Mereka mengelilingi laut demi menyerao energi kehidupan melalui profesi sebagai nelayan ataupun pedagang hasil laut.

Di kampung itu, aku singgah di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Dari desa ini, Pulau Derawan hanya berjarak sekitar 15 menit perjalanan dengan speedboat. Pulau Maratua yang eksotik itu hanya sejauh satu jam perjalanan. Dermaga ini adalah pintu masuk ke pulau-pulau yang menawan dan molek serupa bidadari. Kampung yang kusinggahi ini seakan dikepung oleh dua bidadari di pesisir timur Kalimantan.

Harum aroma kopi menggiring langkahku untuk singgah ke satu warung kopi. Saat duduk di situ, aku mendengar pembicaraan para pengunjung. Aku bisa mengenali bahasa Bugis yang digunakan oleh para pengunjung warung kopi. Mayoritas pengunjung warung ini adalah orang Bugis. Sayup, aku juga mendengar lagu Bugis yang menyayat hati dari televisi di sudut ruangan. Ketika pemilik warung mendekat, ia lalu bertanya, “Mau pesan apa ki?”

Warung kopi itu menjadi jendela untuk mengamati banyak hal. Para nelayan tangguh di kampung ini adalah orang-orang Bajau dan Bugis yang mencari rezeki dengan menantang samudera hingga ke perairan negara tetangga. Sejarah tentang mereka terbilang panjang. Pertautan dan dialog budaya itu telah lama terjadi. Laut menjadi saksi.

Seorang warga mencatat kalau nelayan Bugis telah lama mendiami perkampungan ini. Pada mulanya, orang Bugis banyak berdiam di Pulau Derawan. Ketika bajak laut Filipina datang dan mengamuk, konflik tak terhindarkan. Banyak penduduk yang lalu pindah ke Tanjung Batu, hingga kini.

Kampung ini tumbuh menjadi miniatur dari berbagai suku bangsa. Selain Bugis, orang Bajau dan Jawa banyak pula yang tinggal di sini. Akan tetapi, tak pernah ada satupun kisah tentang konflik yang berujung pada aksi saling bantai. Tak pernah ada kisah tentang perkelahian antar etnik di sini. Semuanya hidup tenteram dengan tingkatan ekonomi yang berada di level sejahtera. Semua mencari jalan damai, khususnya saat sama-sama merasakan deru ombak lautan.


Sejarah Berau memang tak bisa lepas dari peranan para imigran Bugis. Ibukota Berau, Tanjung Redep, bermula dari perkampungan yang didiami orang Bugis. Pada tahun 1810, terjadi konflik internal di Kerajaan Berau. Seorang raja memindahkan kerajaan ke kampung Bugis itu sebagai strategi politik demi mendapatkan dukungan dari orang-orang Bugis. Sebuah dukungan bisa dikonversi sebagai semangat perlawanan yang tak bakal habis kepada siapapun.

Tak puas dengan dukungan, sang raja lalu menikahi putri Raja Wajo di tanah Bugis. Maka lengkaplah persekutuan itu. Lengkaplah dukungan pasukan serta ikhtiar untuk mengembangkan perkampungan itu menjadi satu kerajaan yang kemudian melawan Belanda.

Kisah ini menunjukkan bahwa diaspora dan persebaran budaya itu bukanlah sesuatu yang baru terjadi hari ini. Prosesnya sudah berlangsung lama dan menyejarah. Apa yang dikira sebagai gejala hari ini sesungguhnya telah berurat akar di masa silam. Pertanyaan penting yang menarik untuk diurai. Bagaimanakah kisah diaspora di masa kini?

***

DI hadapanku duduk sosok lelaki berusia sekitar 30 tahun. Sebut saja namanya Andi Innong. Aku menghubunginya sehari sebelumnya. Ia adalah sosok penting yang menjadi petinggi satu organisasi nelayan. Lelaki ini adalah pebisnis ikan yang menjadi bapak bagi ratusan nelayan. Ia memberikan banyak bantuan pada nelayan. Mulai dari subsidi bagi nelayan yang hendak membeli peralatan tangkap, hingga rencana membuat bank ikan yang nantinya akan menjadi wadah bagi nelayan untuk menabung dengan ikan.

Tadinya kupikir dia adalah seorang warga asli Tanjung Batu yang lama malang melintang dan menjalin relasi dengan para nelayan. Saat berbincang, dialek Bugis keluar dari bibirnya. Ternyata ia adalah perantau yang telah lebih 10 tahun berada di kampung itu. Tapi ia tak hendak menyebut dirinya perantau. Menurutnya, wilayah itu adalah kampung nenek moyangnya yang pernah datang beramai-ramai ke situ.

Bisnisnya terus mekar. Ia meraup omzet hingga 900 juta rupiah dalam sebulan. Belakangan, aku berpikir bahwa barangkali ada motif pada kebaikannya. Dengan cara selalu memberikan bantuan kepada nelayan, ia telah membangun satu aliansi bisnis yang kuat. Para nelayan itu menjadikannya sebagai bapak angkat, sekaligus sebagai satu-satunya agen yang menerima setoran ikannya. Barangkali, ia kaya raya dengan bisnisnya. Sementara nelayan itu jutsru stagnan dan jalan di tempat.


Andi Innong hanya satu dari sedemikian banyak manusia Bugis yang lalu berumah di Kalimantan. Mereka tersebar di mana-mana, mulai dari sektor bisnis, hingga politisi dan kepala daerah. Mereka mudah diterima di mana-mana sebab ada pertautan sejarah dan ingatan tentang pertautan budaya antara bangsa Bugis dan sukubangsa di Kalimantan.

Di satu sisi, wajar saja jika orang Bugis melesat bak meteor di tanah Borneo. Mereka punya etos kerja hebat. Mereka punya spirit rantau yang membuat mereka tahan banting lalu memenangkan duel di berbagai bidang. Hanya saja, aku memikirkan tentang penduduk lokal yang kian tersingkir oleh dinamika zaman. Mungkin etnis lokal akan kalah di segala lini sehingga tak punya daya untuk sekadar menjadi tuan di negerinya sendiri. Mungkin pula mereka akan kehilangan arena untuk sekadar eksis dan mempertegas identitas Kalimantan.

Mungkin, akan lebih baik jika dipikirkan kebijakan negara yang bisa memberi ruang bagi warga lokal untuk tetap memiliki ruang di berbagai lini penting kehidupan. Kasus Malaysia bisa menjadi rujukan ketika Perdana Menteri Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan New Economy Policy yang memberikan ruang bagi orang Melayu agar bisa bangkit. 

Tapi lagi-lagi, gagasan ini akan memunculkan pertanyaan, mana budaya asli dan pendatang? Bukankah budaya dari etnik pendatang telah bersenyawa dengan budaya setempat? Marilah kita sama memikirkannya.

Apapun itu, sosok Andi Cinnong ini sungguh inspiratif. Ia menjadi pahlawan bagi ratusan nelayan sebab dianggap meningkatkan harkat dan derajat para nelayan. Ia menunjukkan bahwa diaspora Bugis di masa kini bisa membawa berkah bagi dunia sekitarnya. Ia membuktikan bahwa niat tulus serta sikap rongan tangan pada sesama adalah kunci-kunci untuk menggapai keberhasilan. Tanpa banyak teori, ia menguatkan pihak lain, lalu bersama-sama membentuk jaringan yang kuat.



Berau, 24 Mei 2015
Saat merancang perjalanan ke Pulau Derawan

Buat Sahabat yang Gemar Memetik Uang



DIA seorang pemetik uang. Hari-harinya adalah mencari uang sebanyak-banyaknya. Dipikirnya uang itu serupa buah dalam satu kebun yang bebas dipanen oleh siapa saja, tanpa peduli apakah itu di kebun sendiri ataukah di kebun orang lain. Uang menjadi tujuan sekaligus titik akhir dari segala orientasi. Uang harus berada dalam genggaman, tak peduli dengan cara apa menggapainya. Kadang, ia menggandakan uang.

Ia mencari jalan pintas agar uang itu bisa segera datang. Ia akhirnya berhasil mendapatkannya. Diajaknya beberapa orang untuk membantunya. Setelah uang datang, tak ada lagi persahabatan. Ia mengklaim dirinyalah yang berjasa. Di hadapan uang, tak ada pertemanan. Yang ada adalah majikan dan pekerja. Majikan berhak menindas pekerja.

Untuk sesaat ia kaya-raya. Akan tetapi, pelan tapi pasti teman-temannya meninggalkannya. Tak ada yang mau bekerja pada seorang kemaruk sebagaimana dirinya. Perlahan, ia tak lagi bisa mengembangkan sayap. Orang-orang menghindarinya. Padahal, andaikan ia mengembangkan kerjasama, maka dia akan semakin kuat dan kokoh. Padahal, teman-teman itulah yang membuat dirinya besar.

Pada akhirnya, uang memang bisa membeli masa kini. Namun tak selalu bisa membeli masa depan. Uang hanyalah buah dari satu benih yang pernah ditebar dan dirawat dengan penuh cinta. Buah itu memang manis dan menggiurkan. Pantas saja jika banyak yang mengejar-ngejarnya.

Namun sungguh keliru mereka yang terus-menerus mengejar buah tersebut. Sebab ada masa ketika buah itu akan habis dan lenyap tak bersisa. Para pencari buah kerap gigit jari ketika buah yang dicarinya habis dimakan satu per satu. Para pencari buah mengira buah akan selamanya bertahan. Mereka alpa kalau buah itu bisa membusuk, kehilangan kesegaran, hingga lapuk di telan usia.

Para pencari buah harus banyak belajar pada para penanam buah. Para penanamlah yang merawat pohon sejak masih berbentuk benih. Mereka yang menyirami, menumbuhkannya dengan penuh cinta, serta setia menjaganya dari berbagai tanaman penganggu. Mereka pernah melalui hari-hari yang dicemooh, namun tetap sabar merawat pohon itu. Pada masanya kelak, pohon itu akan menyediakan banyak buah-buah manis yang merupakan hasil kerja keras serta ketabahan menjalani semua proses menanam.

Terserah pada kalian hendak memilih menjadi penikmat buah ataukah menjadi penanam pohon. Terserah pada kalian, hendak menjadi pencari uang ataukah penanam uang. Jika menjadi penikmat, maka uang menjadi segala-galanya. Uang akan menadi tujuan utama, sebagai kompas ke mana kehidupan bergerak. Akan tetapi ada masa ketika uang itu akan meninggalkanmu dan terbang tinggi dan mencari sosok lain.

Jika kamu menjadi seorang penanam, maka kamu akan setia dengan semua proses. Kamu akan menjadi pribadi yang selalu mencintai pekerjaan, serta menjaga segala nilai-nilai seperti persahabatan, solidaritas, kasih sayang, dan cinta kasih. Kalau kamu punya nilai-nilai itu, uang akan mengkutimu laksana anak sungai yang terus mengalir. Uang hanyalah akibat dari kesabaranmu menjaga semua nilai itu. Uang hanyalah buah dari apa yang kamu kerjakan dengan sepenuh hati.

Lantas, kamu memilih yang mana?



Menulis untuk Para AKTIVIS


 “JIKA satu peluru bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus berjuta-juta kepala sekaligus.” Kalimat ini telah lama dipahami para aktivis dan praktisi perubahan. Sejak lama para aktivis menganggap tulisan sebagai senjata untuk perubahan sosial. Akan tetapi, sejak era media sosial dan informasi telah menjangkau seluruh pelosok, tak banyak yang memahami bahwa seyogyanya kalimat itu telah lama bergeser. Kini, tulisan para aktivis bukan lagi satu-satunya pemantik perubahan.

***

DI tanah Papua Barat, seorang perempuan desa bernama Fransina Mayor menulis tentang seorang pelukis yang bahan bakunya adalah pasir sisa pertambangan di PT Freeport. Tulisannya ringkas, dan lebih mengedepankan ekspresi seni bagi seorang warga Papua. Namun ketika dibaca utuh, tulisan itu menghadirkan sekeping ironi. Bahwa ternyata, warga Papua hanya mendapatkan remah-remah atau sisa dari kekayaan alam di tanahnya sendiri.

Tulisan itu memang singkat. Akan tetapi ada satu ekspresi kuat yang deras mengalir kala membayangkan betapa kayanya tanah Papua, dan betapa sedikitnya hasil alam yang bisa dinikmati warga lokal. Tulisan itu serupa belati yang menusuk-nusuk nurani, bahwa di balik kemegahan rencana besar bernama investasi asing, terselip begitu banyak kenyataan yang memiriskan hati.

Saya membaca tulisan Fransina pada buku Pesona Papua Barat yang diterbitkan oleh Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogr (IPB). Meskipun buku ini diniatkan sebagai rangkuman tulisan tentang wisata dari warga lokal, isinya membahas berbagai topik menarik yang bisa menggugah nurani, sebagaimana bisa dibaca pada goresan Fransina.

Pada titik ini, sebuah tulisan bisa menjadi jendela bagi nurani banyak orang. Sebuah tulisan bisa menjadi nyanyi sunyi yang mengingatkan kita akan begitu banyaknya hal yang terjadi di sana. Tulisan dari warga setempat menjadi satu keping informasi berharga yang menjelaskan kepada kita bagaimana repon warga atas perubahan sosial di sekitarnya. Selanjutnya, tugas dari banyak pihak adalah bagaimana mengangkat suara-suara yang selama ini nyaris tak terdengar itu sehingga diketahui banyak orang.

Tulisan itu menjadi berbeda sebab disampaikan oleh warga lokal yang setiap hari bergelut dengan realitas. Jika saja tulisan itu disampaikan oleh para aktivis ataupun praktisi organisasi non-pemerintah (Ornop), maka barangkali tulisan itu akan muncul banyak interpretasi. Bisa saja muncul kesan kalau tulisan aktivis itu diniatkan untuk mendapatkan hibah dana asing, atau barangkali provokasi pada pemerintah agar mengucurkan anggaran.




Selama sekian waktu tulisan para aktivis menjadi satu-satunya cermin bagi dinamika sosial. Tulisan itu menjadi peluru yang mengoyak kesadaran banyak orang bahwa ada banyak hal penting dan terabaikan di sekitar kita. Namun dengan era kemajuan media sosial dan informasi yang mengalir hingga pelosok, maka tulisan para aktivis tak lagi sendiri. Ada sedemikian banyak ekspresi dari warga lokal yang juga mesti mendapatkan panggung. Barangkali, opini warga tak setajam para penggiat gerakan sosial, namun ada kekuatan dan sikap yang jelas harus dipahami oleh kita semua.

Lantas, apakah tulisan sang aktivis menjadi tidak penting? Tentu saja tetap penting. Namun bergantung pada siapa aktivisnya. Jika sang aktivis tak punya tilikan dan observasi yang mendalam di lapangan, maka tulisan itu akan sangat bernilai. Namun ketika sang aktivis memiliki interest pribadi dan tidak berniat untuk mengangkat suara-suara komunitas, bisa dipastikan, tulisannya akan kehilangan makna. Tulisan itu akan berjarak dengan dunia sosial. Tulisannya akan gagal memahami detak jantung dan denyut nadi masyarakat lokal.

Pada titik ini, kita mesti menimbang pentingnya ekspresi langsung dari warga lokal. Apapun yang dituliskannya adalah ekspresi dari apa yang sedang dihadapinya. Boleh jadi, tulsiannya akan lebih jernih, lebih bening, dan lebih jeli dalam mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Maka yang harus dilakukan seorang aktivis adalah bagaimana membangkitkan kesadaran untuk menulis bagi warga setempat.

Sudah bukan zamannya lagi untuk menjadikan warga lokal sebagai informan ataupun obyek yang diwawancarai. Warga lokal harus menjadi subyek yang bisa menyampaikan sikap-sikap politiknya. Masyarakat harus diberikan ruang memadai untuk menuliskan gagasan, demi mengetahui berbagai praktik pembangunan yang dihadapinya setiap saat. Mereka harus didorong untuk menyamapikan sikapnya atas setiap pengalaman yang dilalui sebagai warga biasa.

Bergeser

Sejauh pemahaman saya, dunia riset sosial kita telah lama mengajurkan kolaborasi dengan masyarakat lokal ini. Ketika berguru pada Prof Gene Ammarell, seorang antropolog senior di negeri Paman Sam, ia menjelaskan pentingnya bekerjasama dengan warga. Pernah, saya bertanya tentang trend penelitian ilmu sosial saat ini. Ia lalu menjawab singkat bahwa saat ini, trend penelitian bergeser ke arah riset yang sifatnya kolaboratif antara peneliti dengan masyarakat lokal. Jika demikian halnya, bagaimanakah menjembatani kesenjangan pengetahuan bagi kedua belah pihak? “Ajak mereka untuk sama-sama menulis. Temukan makna pada tulisan mereka,” kata Gene.

Dalam konteks praktisi gerakan sosial, yang harus dilakukan adalah bagaimana melakukan sharing pengetahuan dengan masyarakat lokal, melatih mereka untuk memahami metodologi riset sehingga menyampaikan gagasan dalam artikel yang sederhana. Yang mesti dilakukan adalah menguatkan gagasan masyarakat lokal, memberinya senjata untuk membidik kenyataan, memberikan cahaya terang untuk bisa mengenali kenyataan di sekitar.

Tulisan tersebut harus diihat sebagai upaya untuk memberikan advokasi kepada masyarakat dengan cara memberinya kekuatan untuk bergerak. Satu kekeliruan yang kerap melanda aktivis adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, para aktivis bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, seorang aktivis telah membuka pintu gerbang perubahan, ketika masyarakat tercerahkan dan bisa menyampaikan apa yang dirasakannya. Dan kita bisa berharap pada dunia yang warganya punya sikap jelas, tanpa terombang-ambing!



Bogor, 19 Mei 2015

Mantra Pemikat dari Tanah Mandar


ilustrasi

DI satu desa di pedalaman tanah Mandar, Sulawesi Barat, seorang bapak tua mengajariku mantra-mantra pemikat perempuan. Pada usia 20-an tahun, aku lansung merinding. Rasanya tak sabar untuk meninggalkan kampung itu demi langsung mencoba mantra pemikat itu. Berhasilkah?

***

HARI itu, di akhir dasawarsa 1990-an. Aku dan sahabat Muhammad Toha bekerja di satu lembaga penelitian di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Kami mendapat tugas untuk melakukan riset lapangan selama dua minggu di satu desa terpencil di Kabupaten Pollewali Mamasa, Sulawesi Selatan (kini menjadi bagian dari Sulawesi Barat).

Penelitian itu mengenai pendidikan di daerah-daerah terpencil. Kami hendak mengamati sejauh mana akses warga daerah terpencil untuk mendapatkan pendidikan. Kami mengamati keterbatasan infrastruktur, serta bagaimana dukungan masyarakat terhadap sekolah-sekolah.

Kami memang sengaja memilih daerah yang paling terpencil. Aku masih ingat persis. Desa yang kami datangi terletak di Kecamatan Tutallu. Dari jalan poros Makasaar ke mamuju, kami singgah ke Tinambung. Setelah itu mobil yang kami tumpangi akan belok ke kanan dan melalui tanjakan yang cukup jauh. Pada masa itu, infrastruktur jalan sangatlah buruk. Setelah tiba di Tutallu, kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki selama beberapa jam. Semua barang bawaan kami sampirkan pada seekor kuda yang kami sewa.

Desa yang menjadi lokasi penelitian itu sangatlah terpencil. Tak ada listrik. Tak ada fasilitas publik. Penduduknya tinggal terpisah-pisah, namun tak begitu jauh dari sungai. Nah, sungai itu menjadi pusat aktivitas warga. Di situlah warga mandi, mencuci pakaian, sekaligus fasilitas untuk buang air besar. Mulanya, aku ragu-ragu untuk mandi di sungai itu. Tapi setelah melihat beberapa gadis desa ikut mandi, aku pun membiasakan diri. Minimal bisa melirik ke kiri dan ke kanan. Hihihi.

Aku dan Toha menginap di rumah seorang guru sekolah dasar. Bapak itu telah memiliki dua anak. Di rumahnya itu, tinggal pula adik iparnya yang cantik jelita. Sepintas, adik iparnya itu mirip artis ibukota. Saat pertama datang, gadis itu menghidangkan minuman lalu menyilahkanku untuk minum. Ia tertunduk saat itu, namun ketika mengangkat wajahnya, sekilas matanya melirik ke arahku. Darahku langsung berdesir.

Bapak pemilik rumah sempat memberikan beberapa masukan. Ia meminta kami untuk berhati-hati ketika dihidangkan minuman oleh warga. Katanya warga di kampung itu masih banyak yang mengamalkan ilmu sihir. Meskipun tak begitu percaya dengan sihir, aku mengikuti sarannya.

Keesokan harinya, aku mulai menelusuri desa itu demi menuju sekolah terdekat. Selama beberapa hari, observasi dan wawancara di sekolah itu sukses dilaksanakan. Kami lalu bergerak untuk mengumpulkan data ke beberapa warga. Hingga akhirnya, kami mewawancarai seorang bapak yang nampak terpelajar di kampung itu.

Yang menarik, bapak itu menjelaskan tentang banyaknya mantra-mantra dan kesaktian di kampung itu. Ia mengambil kertas-kertas lusuh di kamarnya lalu memperlihatkan sebuah gabar yang menunjuk ke delapan penjuru mata angin. “Ini namanya kutika. Bagi orang mandar, ini berguna untuk melihat hari-hari baik,” katanya.

Ia menunjuk hari-hari baik untuk menanam, serta hari baik untuk melaut. Yang menarik, ada pula hari baik untuk berkelahi dengan seseorang. Katanya, saat pergi menantang orang lain pada hari itu, maka seseorang akan selamat dan tak mendapat celaka.

Kutika dikenal dalam berbagai budaya. Tak hanya Mandar, orang Bugis ataupun Buton juga mengenal konsep kutika. Biasanya kutika selalu dikaitkan dengan perhitungan konsep tentang hari-hari baik. Barangkali, ada semacam pengulangan atas satu kebaikan yang terjadi di masa silam. Pada masa kini, kutika menjadi kompas yang menentukan kapan satu kelompok masyarakat memulai suatu pekerjaan.

Yang jauh lebih menarik adalah ketika bapak itu membuka kertas-kertas lusuh yang katanya berisikan matra-mantra. Pada satu bagian, ia bercerita tentang mantra pemikat perempuan. Jiwa mudaku bergejolak. Aku sangat tertarik. Kubayangkan gadis-gadis manis di kampus. Kubayangkan pula sejumlah wanita yang pernah menolak cintaku. Kali ini, perempuan itu akan bertekuk lutut dan berharap cintaku. Aku tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi kelak.

Yang mengherankan, tanpa kuminta, bapak itu bersedia mengajarkan mantra itu secara gratis. Menurutnya, mantra itu sangat efektif. Kita harus meletakkan jari telunjuk di bawah lidah, sembari mengucap mantra. “Kalau sudah baca mantranya, usahakan untuk sentuh gadis itu. Pastilah dia langsung jatuh cinta,” kata bapak itu. Aku langsung berdebar-debar.

Dua hari setelah pertemuan itu, aku meninggalkan lokasi penelitian. Mantra itu telah kuhafal luar kepala. Sepanjang perjalanan ke Makassar, aku memikirkan kepada siapa mantra itu akan kurapal. Kubayangkan si A yang bahenol. Tiba-tiba saja kuurungkan niatku karena kupikir si A tak begitu menarik. Kubayangkan lagi Si B yang lebih seksi. Tak puas, kukhayalkan lagi Si C. Ah, aku jadi bingung hendak ‘menyihir’ siapa.

Setibanya di Makassar, aku tak bisa tidur selama beberapa malam. Gara-gara mantra itu aku tak kunjung bisa tidur. Aku tak tahu apakah akan menggunakan mantra ini ataukah tidak. Namun ada rasa penasaran yang terus menggelayut di hati ini. Apakah mantra ini bisa bekerja? Apakah hari-hariku akan seperti Rano karno ataupun Rhoma Irama yang senantiasa dikelilingi gadis-gadis manis dalam semua filmnya?

Hingga suatu hari, aku menyaksikan kawan perempuan melintas. Tiba-tiba saja ada gejolak kuat untuk menggunakan mantra itu. Jantungku berdegup lebih kencang. Kubayangkan matanya akan dipenuhi simbol cinta, sebagaimana kusaksikan dalam film kartun. Saat ia mendekat, aku segera meletakkan telunjuk ke bawah lidah. Kubaca mantranya, lalu kucolek dirinya.

Kembali, jantungku berdegup lebih kencang saat menanti reaksinya. Sekian detik, ia tiba-tiba menoleh. Aku serasa menyaksikan adegan dalam film Korea yang tiba-tiba saja menjadi slow motion.  Aku seolah tidak menginjak tanah.


(Bersambung)