kampung Bajau di pesisir Tanjung Batu, Berau |
LAUTAN tak sekadar semesta yang menjadi
ibu bagi seluruh warga pesisir. Lautan juga kerap kali menjadi saksi bagi
konflik dan perkelahian antar manusia. Di Tanjung Batu, Berau, terselip kisah
tentang konflik antara bajak laut dan warga yang lalu menjadi cikal-bakal
sejarah kampung. Terselip pula kisah cinta dan rindu yang lalu mengurai ribuan
kisah.
***
BAPAK itu membuka beberapa lembar lusuh.
Ia sedang menguraikan sejarah kampung Bajau di Tanjung Batu, Berau, Kalimantan
Timur. Ia bercerita tentang neneknya yang dahulu menghuni Pulau Derawan,
kemudian pindah secara massal ke Tanjung Batu. Mengapa? "Sebab bajak laut
kerap datang membakar semua kampung," katanya.
Bapak itu adalah pemuka adat Suku Bajau. Ia
sengaja kutemui untuk berdiskusi beberapa topik. Ia pun bersedia berbagi
pengetahuan tentang laut, serta kisah-kisah orang Bajau yang secara perlahan
mulai meninggalkan laut. Banyak di antara mereka yang mulai tak bersahabat
dengan laut, dan mulai mencari profesi lain di daratan. Nada suaranya getir. Ia
tak bisa menahan laju suku Bajau untuk ke daratan.
Mendengar kata bajak laut serasa mendengar
kisah-kisah dalam berbagai dongeng. Tapi bapak ini tak sedang membacakan
dongeng. Ia mengucap kata itu dengan penuh kengerian. Ia membayangkan
kampung-kampung yang dijarah dan dibakar oleh sejumlah pelaut dari negeri lain.
Di banyak desa-desa pesisir di Nusantara,
bajak laut adalah momok paling menakutkan. Tak heran jika di banyak kerajaan,
selalu ada sosok yang bertugas menjaga keamanan laut. Di Aceh, ada seorang
Panglima Laut, di Buton ada sosok Kapitalao, di Ternate ada sosok Kapitan Laut.
Hal yang sama bisa ditemukan di Kerajaan Gowa, maupun Kesultanan Bima.
Bagi warga Suku Bajau di Berau, bajak laut
membawa kengerian sekaligus merekahkan peradaban baru. Bajak laut membuat warga
menyingkir dan membentuk kampung-kampung kecil. Warga lalu menyiagakan
pertahanan serta memperkuat solidaritas demi menghadapi bajak laut. Banyak
kamung berdiri dan punya skema pertahanan.
Di kampung Bajau, bajak laut kerap disebut
dengan istilah lanun. Dalam buku Bajak
Laut, Orang Laut, Raja Laut yang ditulis sejarawan AB Lapian, lanun berasal
dari bahasa Mindanao. Nama itu berasal dari kata l-lanao-en yang mempunyai arti orang dari danau. Bajak laut Lanun
awalnya berda di pedalaman, namun akhirnya mereka menyebar ke daerah pantai.
Ada dua faktor yang menyebabkan mereka ke daerah pantai. Salah satu faktor itu
adalah letusan gunung api tahun 1765. letusan gunung api membuat penduduk
daerah sekitar berpindah tempat menuju ke tempat yang lebih aman. Kemudian,
faktor yang kedua adalah stratifikasi sosial khas bangsa Maranao di Filipina.
Dari manakah asal bajak laut itu? “Mereka
berasal dari Solok,” kata bapak itu. Seingatku, kata Solok merujuk pada nama
satu daerah di Sumatera Barat. Tak pernah ada kisah tentang bajak laut di sana.
Tak mungkin pula orang Solok jauh-jauh datang menjarah ke pesisir utara
Kalimantan. Namun setelah kurenungi penjelasannya, barangkali daerah yang
dimaksudkannya adalah Kepulauan Sulu, di Filipina. Beberapa sejarawan
menyebutkan Sulu sebagai rumah bagi para bajak laut paling perkasa yang kerap
mengamuk di pesisir utara Kalimantan. Bajak laut Sulu kerap dilaporkan menjarah
hingga Berau, Bulungan, serta beberapa daerah lainnya.
Mereka memiliki jenis persenjataan yang
bermacam-macam. Jenis persejataan itu ada yang berbentuk secara tradisional dan
modern. Secara tradisional, senjata mereka memiliki bermacam-macam ukuran, baik
panjang dan pendek. Untuk ukuran yang panjang, ada pedang, klewang, dan tombak.
Senjata ukuran pendek juga berupa parang, golok, dan mandau. Ada juga senjata
yang dibuat oleh orang-orang pribumi sendiri, yaitu lela dan rentaka atau
lantaka (meriam yang bisa berputar-putar). Bahkan, rombongan bajak laut juga
memiliki senjata pribadi berupa keris sebagai pegangan mereka.
Perahu yang sering dipakai oleh bajak laut
yang berada di sekitar kepulauan Sulu adalah perahu kora-kora. Kora-kora
memiliki ciri bentang satu layar berbentuk persegi panjang, berbadan lebar dan
pendek, berlambung rendah, dan ujung-ujungnya tinggi serta dihias. Perahu itu
terbuat dari papan dengan haluan dan buritan yang menjulang ke atas beberapa
meter. Hiasan di perahu tersebut juga berbentuk sacral seperti naga dan
sebagainya.
Layar persegi panjang perahu kora-kora
dibuat dari daun pandan yang dianyam.dan pada layer tersebut ditegakkan dengan
tiga buah tiang yang menyatu di puncaknya. Perahu kora-kora digunakan oleh VOC
untuk ekspedisi Hongitochten dan mengontrol cengkeh di Maluku.
Berita tentang korban bajak laut
mengungkapkan bahwa keadaan korban yang menjadi budak bajak laut diperlakukan
tidak sekejam yang diperkirakan. Biasanya, korban yang dijadikan sebagai budak
adalah orang-orang Bajau. Mereka ditangkap untuk dipekerjakan sebagai budak
dalam mencari kebutuhan ekonomi para bajak laut. Walaupun mereka suka dijadikan
sebagai budak, jaringan pelayaran orang-orang Bajau mampu mencakup sebagian
besar kepulauan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi mereka
terhadap masyarakat yang terbesar ke seluruh penjuru nusantara, bahkan hingga
tanah semenanjung, pantai sabah, dan Filipina Selatan.
Hanya saja, mesti dicatat bahwa perlakuan
budak di dunia barat dan dunia timur sungguh berbeda. Perlakuan budak di dunia
timur lebih bersifat manusiawi daripada dibandingkan dengan dunia barat. Rakyat
yang telah dijadikan budak biasanya hanya dipekerjakan sebagai pembuat garam,
pencari ikan, pembantu rumah tangga, pandai besi, dan lain-lain. Dengan
demikian, kehidupan budak dalam arti fisik menjadi lebih nyaman dan aman.
***
TAK hanya nestapa, terselip pula banyak
kisah cinta antara bajak laut dan warga setempat. Seorang warga Suku Bajau di
Berau bercerita tentang kisah-kisah cinta yang tak pernah terungkap ke publik.
“Makanya, banyak suku Bajau di sini yang menganggap Filipina adalah daerah asal
nenek moyangnya,” katanya.
Kisahnya mengingatkanku pada cerita
Pocahontas yang diproduksi Disney. Ada sejumlah penjelajah agresor yang hendak
menjarah ke pulau, namun ada sosok James Smith yang lalu mengubah haluan. Sosok
ini tak bisa menolak kata hati, dan memilih untuk membangun hubungan kasih
dengan seorang perempuan lokal.
Di kampung Bajau, barangkali ada banyak kisah-kisah
romantis yang mengharu-biru dan cinta yang menembus lautan lalu menjadi mutiara
di dasar laut. Kelak akan kukisahkan pada kesempatan lain.
Pesisir Berau, 30 Mei 2015