Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Cerita tentang Juara Kelas




Di satu kafe di Jakarta Timur, saya bertemu dengannya. Dia sahabat semasa SD hingga SMA di Pulau Buton. Dia masih ceria seperti dulu. Dalam satu perbincangan, dia cerita kalau dirinya sedang membangun rumah senilai miliaran rupiah di kampung kami.

Saya tahu dia tidak niat pamer. Saya pandangi kawan ini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya tidak sedang berhadapan dengan kawan saya yang dulu. Dia sudah berubah. Dia mengelola banyak usaha. Dia kini sukses, bahkan lebih dari semua teman-teman sekolahnya.

Saya membayangkan dirinya dahulu. Dia seorang siswa paling malas. Kadang sekolah dan kadang tidak. Dia bukan siswa yang masuk radar guru-guru. Bahkan dia nyaris tinggal kelas. Saya masih ingat ada guru yang menyuruhnya berhenti sekolah. Dia sudah dianggap gagal. Mungkin, alasan itu membuatnya tidak kuliah.

Seusai bertemu dengannya, saya ceritakan pada ibu di kampung melalui telepon. Ibu saya adalah guru SD yang cukup mengenal semua kawan saya. Dia nyaris tak percaya pada apa yang saya katakan. Seorang anak yang dahulu divonis gagal total di sekolah, ternyata bisa melejit dan melampaui semua teman-temannya.

Saya teringat buku Barking up the Wrong Tree yang ditulis Eric Barker. Ada uraian tentang riset yang dilakukan oleh Karen Arnold, periset di Boston College. Karen mengikuti 81 orang lulusan terbaik SMA untuk melihat seperti apa karier mereka.

Sebanyak 95 persen yang lanjut kuliah, rata-rata IPK mereka adalah 3.6. Keberhasilan di SMA menentukan keberhasilan di perguruan tinggi. Mereka bisa diandalkan, konsisten, dan punya kehidupan yang baik.

Tetapi adakah di antara mereka yang jadi pemimpin besar? Atau sosok inspiratif yang mengubah dunia? Atau minimal jadi sosok yang melampaui kebanyakan warga di kampung halamannya? Jawabannya nol.

Karen berkesimpulan: “Mereka adalah orang hebat di dunia kerja. Mereka jadi karyawan yang baik. Tapi mereka bukan orang visioner. Mereka tinggal dalam sistem, bukan mengubah sistem.”

Mengapa orang nomor satu di sekolah jarang menjadi orang nomor satu di kehidupan nyata? Dia punya dua jawaban.

Pertama, sekolah menghadiahi siswa yang secara konsisten melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Nilai akademis selalu berbanding lurus dengan nilai kedisiplinan. Nilai akademis adalah peramal yang bagus untuk kedisiplinan, kesungguhan, dan kemampuan mematuhi aturan.

“Pada dasarnya kita menghadiahi kepatuhan dan kemauan mengikuti sistem,” katanya. Banyak lulusan terbaik mengakui kalau mereka bukanlah yang tercerdas, tetapi mereka adalah pekerja keras. Ada yang bilang, ini hanya soal memberi apa yang diinginkan guru dan bukan benar-benar memahami pelajaran dengan lebih baik.

Kedua, sekolah hanya menghadiahi nilai tinggi pada kaum generalis. Tidak banyak pengakuan diberikan pada passion atau kemahiran siswa. “Para lulusan terbaik selalu sukses, secara pribadi dan profesional. Tapi mereka tidak pernah mengabdi total di satu arena di mana mereka menuangkan seluruh gairahnya. Biasanya itu bukan resep meraih kehebatan dan keunggulan” katanya.

Saya ingat anak saya Ara. Dia sangat bagus untuk pelajaran matematika, tapi dia sangat lemah untuk pelajaran bahasa Sunda. Hanya gara-gara itu dia tidak menjadi yang terbaik di kelasnya. Pendekatan generalis tidak membawa pada kemahiran.

Karen melihat semua lulusan terbaik selalu pragmatis. Mereka mengikuti aturan dan lebih menghargai nilai A ketimbang keterampilan serta pemahaman mendalam atas satu topik.

Sekolah memang punya aturan, tapi kehidupan tidak bekerja sebagaimana aturan di sekolah. Kehidupan punya struktur yang lebih rumit, sehingga pemenangnya adalah mereka yang kreatif dan jeli melihat di mana dirinya bisa mengembangkan potensi seluas-luasnya.

Karen menyebut beberapa nama yang gagal di sekolah kemudian jadi pemimpin dunia. Di antaranya adalah Winston Churcill, perdana menteri Inggris terhebat. Dia orang yang terbilang biasa-biasa saja di sekolah. Ketika jadi politisi pun, dia masih menjadi sosok yang biasa-biasa dan malah penakut. Dia sering dikontraskan dengan Neville Chamberlain, sosok jenius dan cemerlang yang diprediksi jadi pemimpin besar Inggris.

Tapi, justru ketakutan Churcill adalah sisi yang sangat dibutuhkan Inggris saat itu. Churcill adalah orang pertama yang memandang Hitler sebagai ancaman. Sementara saat itu banyak yang melihat Hitler sebagai kawan. Ketakutan Churcill ternyata menjadi penyelamat bagi Inggris sebelum Perang Dunia II. Dia pun dicatat sejarah.

Hari ini saya kembali bertemu kawan itu. Dia bercerita banyak mimpinya yang ingin digapai. Saya ingat dirinya yang dulu. Saya yakin, sejak dulu dia adalah orang hebat. Dia malas karena sekolah gagal menemukan potensi terbaiknya. Saat keluar sekolah, dia justru bisa melejit laksana roket.

Dia masih bercerita banyak hal. Saya pilih mendengarkan, sembari mencatat dalam hati. Dia keren.



Membaca Storynomics




Mulanya saya penasaran ketika Luhut Binsar Panjaitan menyebut konsep Storynomic untuk pengembangan pariwisata. Saya googling, kata ini dikutip banyak pelaku pariwisata. Maksudnya, Anda tak mungkin bicara wisata kalau tak punya cerita yang hendak dibagikan.

Makin penasaran dengan kata ini saat membaca artikel di National Geographic kalau UGM kembangkan Borobudur dengan basis storytelling sebagai elemen penting dari storynomic.

Saya telusuri lagi ternyata kata ini diambil dari salah satu buku yang direkomendasikan para pelaku ekonomi digital. Buku itu berjudul Storynomics: Story Driven Marketing in the Post Advertising World yang ditulis Robert McKee, terbit tahun 2018.

Buku ini membahas bagaimana promosi atau iklan gaya lama yang kini digusur oleh storytelling atau pendekatan bercerita. Hollywood telah lama memakai teknik bercerita ini untuk periklanan dan film. Dalam konteks ekonomi, satu cerita bisa menjadi jantung dari tubuh bisnis, pemasaran, branding iklan, dan kegiatan ekonomi.

Storytelling adalah fundasi utama dari pemasaran konten. Anda tak mungkin memasarkan sesuatu jika tak punya kisah menarik. Kita sama tahu, sekarang ini banyak orang yang terlalu mendewakan big data untuk memahami manusia.

Tapi penulis buku ini membantahnya. Menurutnya, kekuatan perubahan bukanlah data. Manusia punya banyak aspek sosial, budaya dan ekonomi yang tak bisa dikuantifikasi. Kita perlu memahami aspek psikologis, sosiologis, dan antropologis di mana manusia hidup. “Taruh data dalam cerita, maka pengalaman hidup akan terasa masuk akal,” katanya.

Sebagai seorang pembual yang tak pernah kehabisan bahan cerita, buku ini ibarat peta yang menuntun ke mana hendak bergerak. Saya melihat ada trend semua lembaga, perusahaan, perguruan tinggi, politisi, kantor2, bahkan warung untuk lebih membuka diri di era 4.0. Tapi tidak semua paham apa yang cerita yang harus dibagikan untuk mengikat audiens.

Saya melihat beberapa hal yang dibahas di sini sudah saya lakukan, meskipun dengan bahasa berbeda. Saya baru tahu kalau konsepnya sudah semakin berkembang hingga jadi storynomics.

Sayang, saya belum baca tuntas buku yang terbit tahun 2018 ini. Saya membelinya seharga 10 ribu rupiah melalui online. Lumayan, saya tak perlu memesan melalui Amazon atau mendatangi Periplus.

Baru membaca bagian awal, saya sudah tahu kalau buku ini punya kemampuan untuk menyedot pembacanya hingga lembar terakhir.



Kompasiana yang Mengubah Hidup




Kemarin, sahabat Agung Han terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2019. Dia menyisihkan ratusan bahkan ribuan blogger lain yang bergabung dalam Kompasiana sebagai platform bagi komunitas blogger terbesar dan tetap eksis di Indonesia.

Di tahun 2013, saya pernah mendapatkan penghargaan yang sama. Malah, saya dapat dua penghargaan yakni sebagai Kompasianer of the Year, dan juga sebagai Reporter Warga Terbaik.

Saya mengenang masa-masa berkompasiana. Saat itu, orang-orang baru mulai mengenal dunia blog. Tadinya, Kompasiana hanya diperuntukkan bagi para jurnalis Kompas, kemudian dibuka untuk publik. Saya pun ikut meramaikan dengan berbagai jenis artikel.

Saya teringat masa itu saya begitu tertantang untuk membuat artikel terpopuler setiap hari. Makanya, saya bereksperimen dengan berbagai gaya menulis renyah dan populer, serta judul-judul yang agak genit.

Belakangan saya sadari bahwa eksperimen itu perlahan mengubah gaya menulis saya, yang tadinya serius dan filosofis menjadi lebih populer. Kompasiana mengubah saya dari seseorang yang menulis jelimet dan penuh istilah2 akademis, menjadi lebih populer dan mudah dipahami siapa pun.

Di masa itu, Kompasiana selalu menghargai reportase dan pengamatan lapangan. Saya pun sering menulis reportase, ketimbang menulis opini. Bagi saya, tulisan opini sifatnya hanya temporer. Hanya aktual pada momen tertentu. Sementara tulisan reportase akan selalu abadi. Dia tidak akan basi dibaca kapan pun.

Tapi, kelebihan tulisan opini, khususnya politik, adalah selalu menjaring banyak pembaca. Saya berusaha menyeimbangkan. Sesekali tulis opini, tapi lebih banyak tulis reportase. Dengan cara demikian, saya cukup produktif menulis buku, juga selalu punya pembaca di mana-mana.

Nikmat berkompasiana adalah bisa terhubung dengan jejaring blogger di seluruh Indonesia. Mayoritas blogger malah pernah singgah di Kompasiana. Interaksi dengan banyak influencer juga dimulai di sini. Bahkan Kompasiana menjadi barometer dari suara dan opini publik atas situasi politik tanah air. Saya pun senang karena tetap berjejaring dengan mereka hingga kini.

Sekian tahun di Kompasiana, muncul keinginan untuk berumah di blog pribadi. Ada masa di mana saya ingin menjadi diri saya, tanpa harus ikut dalam arus besar. Biarpun menulis di blog sendiri ibarat menempuh jalan sunyi, namun saya justru menemukan kedamaian di situ, Saya lebih bebas menulis hal-hal yang tidak populer.

Ternyata saya tidak bisa lepas dari gaya menulis yang diterapkan di Kompasiana. Ditambah lagi setelah membaca beberapa literatur, saya makin bersemangat menulis populer. Apalagi saya membaca banyak jurnal berbahasa Inggris yang ditulis dengan gaya santai.

Saya mengamini kata-kata Kang Jalal yang pernah dikutip Yudi Latif: “Ketika saya menulis dengan sederhana dan mengalir berarti saya sangat memahami topik itu. Tapi ketika saya menulis dengan gaya yang sulit dipahami, itu berarti saya pun tak paham apa yang dibahas. Saya berlindung di balik istilah akademis untuk menutupi ketidakmampuan saya memahami satu topik.”

Beberapa tahun setelah menjadi Kompasianer of the Year, saya masih tetap menekuni dunia blog. Ketika perlahan literasi bergeser dari cetak ke digital, saya ikut mendapat berkah. Catatan2 di medium digital itu menyebar ke mana2.

Saya punya banyak sahabat di mana-mana. Ketika berkunjung ke tempat terjauh, saya sering kaget bertemu orang yang tiba-tiba menyapa dan bercerita kalau pernah berinteraksi di dunia maya.

Saya memang tidak berkompasiana lagi. Tapi semangatnya tetap tersisa yakni sharing dan connecting. Saya tetap berbagi dan terhubung dengan banyak orang. Saya punya banyak sahabat penulis dunia maya yang saling memancarkan aura dan gelombang positif. Semangat berbagi itu selalu terbawa hingga kini.

Di banyak tempat yang saya singgahi, saya bertemu banyak sahabat. Lebih bahagia lagi karena sahabat itu tak sekadar menyapa, tapi ada seulas senyum gembira, jabat tangan yang hangat, serta kalimat pendek “Hai, saya pernah baca tulisanmu. Saya suka”

Bahagianya tak terkira.

Jangan Hukum AGNEZ MO




Bukan hal luar biasa jika Agnez Mo menjadi trending topic. Di media sosial, sejak lama terbentuk kelompok Agnez Haters yang selalu siap melontarkan segala caci pada apa yang dilakukannya. 

Kalimatnya memang menunjukkan satu gejala inferior sebagai bangsa. Dia sesungguhnya menyampaikan bahwa dia minder saat nama Indonesia disebut. Dia berlindung dengan menyebut nama-nama bangsa lain. 

Dengan cara itu, dia berharap si pewawancara akan memahami kalau dia memang berbeda dengan kebanyakan Indonesia yang tidak punya prestasi dan jejak di panggung dunia. Dia bisa bangun diferensiasi dan seakan berkata “saya dari ras bangsa unggul.”

Agnez Mo bukanlah Susi Susanti yang dalam film Susi: Love for All selalu bangga menyebut nama Indonesia, bahkan di saat bangsanya tengah diamuk konflik rasial. Saat kewarganegaraan Susi dipertanyakan, saat keluarganya dalam keadaan takut karena konflik etnik, dia tetap menyebut dirinya Indonesia.

Tapi marilah kita lihat kasus ini dari sudut pandang lain. Agnez berada dalam situasi sebagai pihak yang diwawancarai. Sejak awal, dia bercerita tentang Indonesia yang begitu beragam, serta dirinya yang minoritas. Topiknya adalah bagaimana menjadi minoritas dan bisa keluar dari kerumunan.

Anggaplah, Agnez “salah ngomong”, maka itu tidak ada artinya dengan begitu banyak publikasi nama Indonesia seiring dengan popularitasnya di panggung internasional. Saya rasa dia tidak mungkin mengabaikan identitas keindonesiaan yang disandangnya sejak kecil hingga berkarier sebagai penyanyi. Rasanya tidak adil jika dia dihukumi hanya karena satu atau dua pernyataan.

Marilah kita melihat Agnez sebagai perjalanan panjang. Apa pun yang dilakukannya akan selalu dianggap salah. Dulu, dia dicaci tidak pantas berada di panggung internasional sebab dirinya terlalu Indonesia. 

Saya masih ingat persis. Di tahun 2010, dia mendapat kehormatan sebagai presenter di ajang American Music Awards (AMA). Perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi itu tampak kikuk dan hanya bisa cengengesan. 

Banyak orang yang mengatakan bahwa bahasa Inggrisnya masih belum memadai untuk tampil di acara sekelas itu. Dia grogi, demam panggung, dan lebih banyak diam serta tersenyum. Di media sosial, dia menjadi bulan-bulanan sebab bahasa Inggrisnya payah. Dia dianggap terlalu Indonesia, kurang menginternasional.

Namun pada situs-situs berbahasa asing, komentar tentang dirinya selalu positif. Agnez disebut sebagai fenomena baru. Situs globalgrind.com menyebut, bahwa meskipun Indonesia adalah negeri dengan kepadatan penduduk keempat dunia dan minim penyanyi di panggung dunia, Agnez bisa tampil di Amerika Serikat (AS) dan bekerja sama dengan produser hebat Timbaland. Kolaborasi mereka telah menelurkan album “Coke Bottle.”

Ibarat sebuah perjalanan, Agnez masih berada di tepi kancah musik dunia, di mana kompetisi dan artis baru selalu bertumbuhan. Ia memang masih jauh dari pencapaian seniornya Anggun C Sasmi. Beredar isu kalau album Agnez sempat dijual secara bajakan, sehingga ditarik oleh pihak i-Tune. Gosip juga beredar tentang cover albumnya yang meniru simbol Illuminati, semacam sekte tertentu yang dikabarkan anti-agama.

Ketika Agnez menyebut ambisinya untuk go international, ia langsung dianggap arogan. Demikian pula ketika Agnez memajang fotonya yang sedang bersama seorang penyanyi Amerika di Instagram. Orang-orang langsung menganggapnya pamer. 

Padahal, apa yang dilakukan Agnez dilakukan pula oleh banyak orang di media sosial. Dan jika ditelaah, semua kritikan itu selalu menyangkut hal remeh-temeh atau tidak substansial. Semua pengkritik hanya menyoroti soal yang tidak penting, seperti style ketika berbicara, gaya ngomong, postingan di media sosial, atau soal klaim-klaim.

Hebatnya, Agnez tak pernah menanggapi kritikan itu. Ia terus berbenah dan mengasah diri. Di ranah musik, barangkali Agnez adalah penyanyi dengan jumlah penghargaan paling banyak di Indonesia. Ia memenangkan puluhan trofi, termasuk 10 Anugerah Musik Indonesia (AMI), tujuh Panasonic Awards, dan empat MTV Indonesia Awards. Ia juga telah dipercaya menjadi duta anti narkoba se-Asia serta duta MTV EXIT dalam memberantas perdagangan manusia.

Pengamat musik Bens Leo menyebut bahwa Agnez adalah satu-satunya penyanyi wanita yang sudah pantas menjadi seorang diva dan penerus Anggun C Sasmi. Ia dianggap mampu menjual CD-nya sebanyak 1 juta kopi dalam waktu singkat, berkolaborasi dengan musisi dunia, sampai mengonsep video klipnya sendiri.

Di level internasional, ia berhasil meraih penghargaan dua tahun berturut-turut atas penampilannya di ajang Asia Song Festival di Seoul, Korea Selatan, pada tahun 2008 dan 2009. Hingga akhirnya, ia menjadi satu-satunya artis Indonesia yang pernah menjadi presenter dan berkesempatan menyanyi di Red Carpet American Music Awards di Los Angeles, AS, pada 2010 lalu. 

Barangkali, ia pula satu-satunya artis Indonesia yang menjadi aktris utama pada dua drama Asia yakni The Hospital dan Romance In the White House yang dibuat oleh sebuah rumah produksi di Taiwan.

Dengan prestasi yang segudang, mengapa Agnez banyak dikritik di media sosial? Bukankah kiprahnya adalah representasi dari semangat kerja keras dan hasrat untuk berprestasi serta ikhtiar untuk menggapai impian?

Semua kritikan itu semakin menunjukkan pijakan kakinya yang sudah kian jauh di dunia entertain. Makian itu semakin menunjukkan bahwa Agnez adalah sosok penting yang namanya semakin berkibar. Harus dicatat, di usianya yang terbilang muda, ia telah mencapai semua hal yang kian menempatkannya sebagai diva musik tanah air. Ia telah ‘melambung jauh’ dengan segala prestasi yang untuk menandinginya mesti menggapai jalan terjal.

Inspirasi Agnez

Daripada sibuk mencaci Agnez, marilah kita belajar banyak hal darinya. Kita bisa memetik hikmah demi menyuburkan benih-benih kerja keras dan semangat dalam diri kita. Dia bisa menjadi inspirasi buat kita semua bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. 

Kesuksesan hanya dari kerja keras serta proses menyempurnakan diri untuk terus belajar. Ia membuka mata kita semua bahwa usia muda tak selalu bermakna hijau alias tak matang. Pada Agnez, kita bisa belajar beberapa hal:

Pertama, kita belajar tentang bagaimana menanam mimpi dan menyuburkannya secara terus-menerus. Beberapa tahun silam, Agnez selalu menyebut ambisinya tentang go international. Demi mimpi itu ia tak pernah surut. 

Ia memiliki langkah-langkah kecil untuk menggapai mimpinya. Ia tak mau sekedar diam dan menunggu. Ia berbuat dan melakukan beragam daya dan upaya untuk menggapai mimpinya itu. Penulis Paolo Coelho mengatakan, tak masalah sebesar apa pun mimpimu, namun semuanya tergantung pada seberapa kuat usaha untuk menggapai mimpi itu.

Kedua, Agnez mengajarkan kita tentang pentingnya kerja keras dan perubahan. Saya tak pernah lupa tayangan ketika dirinya menjadi presenter di acara American Music Awards. Ia dikritik karena kemampuan bahasanya yang rendah. 

Media mencatat, bahwa setahun setelah acara itu, ia tampil membawakan presentasi dalam bahasa Inggris di hadapan ratusan orang di Pacific Place Mall, Jakarta. Ia berbicara tentang “Dream, Believe, and Make It Happen” dalam bahasa Inggris yang fasih dan mengundang decak kagum. Bahkan, seorang moderator berkebangsaan AS sempat memberikan pujiannya terhadap Agnez, “Penggunaan bahasa Inggris-nya lebih baik ketimbang saya berbicara bahasa Indonesia.”



Ketiga, Agnez mengajarkan kita tentang dedikasi pada profesi. Sejak masih kecil, ia tahu bahwa jalan hidupnya adalah menjadi seorang penyanyi. Demi pilihan itu, ia mengasah diri. Di tanah air, tak banyak penyanyi cilik yang sukses bertransformasi menjadi penyanyi dewasa yang penuh prestasi. Ia sukses melakukannya sekaligus sukses menuai prestasi.

Keempat, Agnez mengajarkan kita untuk berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Ia tak hendak berpikir nyaman dengan menikmati ketenaran sebagai diva musik tanah air. Ia menjemput tantangan baru dengan memasuki jantung musik dunia. Kalaupun ia belum sesukses Anggun, ia telah meniti di atas jalan yang sama, dan kelak akan menempatkannya pada posisi yang sukar digapai penyanyi tanah air lainnya.

Di tanah air, kita terbiasa dengan hidup yang datar-datar saja. Sering kali, kita tak siap dengan hidup ala roller coaster. Ketika melihat seseorang hendak keluar dari zona datar, kita sering tak nyaman dan merasa terganggu. Kita lalu melekatkan berbagai label seperti ambisius, gila, cari popularitas, dan banyak sebutan lainnya. Kita memelihara energi negatif, yang semakin membuat kita semakin tidak produktif dan sibuk memperhatikan orang lain.

Sebagaimana halnya Agnez, jauh lebih jika kita mengasah diri, dan menyalakan motivasi dalam hati kita, yang kemudian menjadi cahaya terang untuk menemani batin kita di belantara kehidupan.

Jauh lebih baik jika kita menyerap energi positif dari semua orang, kemudian mentransformasikannya menjadi kerja keras yang menghiasi setiap langkah kita sehingga ladang kehidupan kita akan semerbak dengan bunga-bunga prestasi serta jejak-jejak indah dalam sejarah kehidupan kita.

Dia jangan dihukum. Lebih baik kuatkan dirinya agar selalu melihat Indonesia sebagai tanah air yang diperjuangkan dan dicintai dengan sepenuh jiwa. 




Para Stafsus Milenial yang Borjuis




Presiden Jokowi baru saja mengumumkan siapa saja staf khusus milenial. Presiden kita ini memilih anak-anak muda untuk menjadi ring satu dari kalangan yang sukses, muda, dan tajir. Inilah anak muda yang dianggap ideal, bagi presiden kita ini.

Saya melihat latar belakang mereka. Mayoritas adalah keluaran luar negeri. Mayoritas adalah pelaku bisnis startup yang kemudian sukses. Meskipun harus saya akui kalau ada di antara mereka yang kisahnya mengesankan dan membanggakan.

Bagi presiden, yang jualan di masa kampanye adalah tampilan ndeso tapi kebijakannya memuja investor ini, sukses itu adalah ketika bisa punya bisnis dengan omzet besar di usia muda.

Kita bisa melihat pemilihan stafsus ini dari banyak sisi. Dari sisi politik, pelajaran yang bisa dipetik adalah agar anak muda masuk menjadi lingkar dalam istana, maka sebaiknya harus punya mainan baru berupa startup yang bisa memberi income miliaran. Mesti punya satu aktivitas yang bisa mendatangkan decak kagum dan seruan wow.


BACA: Perempuan Indonesia di Zona Perang

Kalau hanya mengandalkan idealisme dan semangat perlawanan, kalau hanya punya rasa cinta tanah air, kalau hanya punya pekik melawan ketidakadilan, kalau hanya punya prestasi hebat di sekolahan hingga jadi ilmuwan, jangan mimpi untuk masuk istana. Sebab negara hanya mengakui eksistensi mereka yang punya usaha, sukses, dan kaya.

Saya melihat kategori mereka yang terpilih sebagai stafsus ini terlampau seragam. Kriterianya terlalu borjuis. Pemerintah kita tidak melihat banyaknya keragaman serta kisah dari anak muda yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pemerintah kita hanya melihat satu sisi, tanpa melihat betapa banyaknya anak muda hebat dengan kisah memukau di seluruh Indonesia. Mereka tidak harus kaya dan sukses, tetapi punya dampak bagi sekitarnya.

Saya ingat ada anak muda yang bermodal perahu membawa pustaka untuk anak-anak di pulau-pulau terluar. Di tengah keterbatasan, anak muda ini malah memikirkan literasi bagi anak-anak pulau. Saya mengenal anak muda keturunan Tionghoa yang ikut dalam misi kemanusiaan bersama seorang dokter, mengunjungi pulau-pulau kecil demi memberi layanan kesehatan.

Saya ingat ada anak muda yang berdiri di tengah masyarakat yang tanahnya akan digusur. Anak muda ini bisa saja cuek dan berpikir nyaman sebagai mahasiswa. Tapi ada sisi kepedulian dan panggilan nurani untuk bersama orang-orang yang tanahnya hendak dirampas.

Ada pula kisah anak muda yang mengorganisir para pemusik jalanan dan kaum miskin kota. Atau kisah anak muda yang mengajari petani agar meningkatkan omzet, tanpa ingin disorot media. Mengapa pula pemerintah tak mencari anak muda yang berani menepi dari hiruk-pikuk dan spotlight media, tetapi berani mewujudkan idealismenya dengan cara-cara sederhana.

Ada juga cerita anak muda yang menulis syair dan karya sastra, juga para pelukis, pematung, dan seniman yang bekerja untuk menyuarakan apa yang terjadi di masyarakat. Apa mereka masuk hitungan pemerintah? No way. Presiden kita lebih melirik anak pengusaha besar. Lebih melirik pemain startup, yang kelak bisa mencari rente di ketiak negara.

Saya hanya bisa menyebutkan sedikit contoh. Kerja-kerja beberapa anak muda yang saya sebutkan di atas amat jauh dari pantauan media. Kerja mereka hanya diketahui segelintir orang, tetapi mereka meninggalkan satu legacy atau warisan yang amat berharga bagi kemanusiaan.

BACA: Siasat Perlawanan: Dari Seks Hingga Lipstick

Mereka memiliki nurani dan sanubari yang amat cinta pada bangsanya, dan bekerja mewujudkannya dalam langkah-langkah kecil.

Jika saja mereka diangkat jadi stafsus presiden, mereka bisa mengurai di mana problem birokrasi dan tiadanya keberpihakan pada publik. Anak muda yang membawa pustaka ke pulau itu bisa membantu pemerintah menyusun kebijakan agar pendidikan tidak hanya dinikmati orang2 perkotaan, tetapi secara merata menjangkau pulau-pulau.

Apa boleh buat, negara ini terlanjur menentukan seperti apa kriteria anak muda. Mereka yang hanya bergerak dengan membawa semangat kerelawanan untuk banyak orang lain jelas tak masuk hitungan.

Namun apa pun itu, anak muda harus terus bergerak untuk perubahan. Negara boleh tak mengakui kiprah Anda, tetapi pengakuan dari masyarakat sekitar, khususnya masyarakat marginal, jauh lebih penting dari segalanya. Bekerja untuk orang banyak jauh lebih bermakna dari sekadar ajakan masuk ring satu istana.

Pada anak muda hebat yang bekerja di tepian, tanpa publisitas, dan semata memikirkan orang banyak, pada anak muda yang masuk menemui malam demi pekik aksi gugatan pada ketidakadilan, saya titipkan sekeping paragraf dari Chairil Anwar:

Aku suka pada mereka yang berani hidup…
Aku suka pada mereka yang masuk menemui malam…
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu….
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !



Membaca Jurnalisme Sindhunata




Saya mengikuti tulisan Sindhunata di harian Kompas. Saya suka tulisannya tentang orang-orang biasa yang sering terabaikan. Saya pun suka tulisannya tentang bola yang sangat menggetarkan. Dia selalu mengangkat sisi yang sangat manusiawi.

Di goresan Sindhunata, bola bukan sekadar skor, bukan pula menang kalah, tetapi ada kisah pergulatan manusia yang berusaha menggapai kemenangan. Saya pernah kliping tulisannya tentang Roberto Baggio yang memilih Budha, Alessandro del Piero yang bermain bola demi mengenang kakeknya, Michel Platini yang menonton konser di malam sebelum tragedi Heysel, Ronaldinho yang bermain bola sebagaimana anak kecil di Rio de Janeiro, hingga Patrick Berger yang membawa novel utk dibaca di euro 1996.

Dalam buku barunya ini dia menjelaskan sisi humanisme dan jurnalisme di harian Kompas, yang menjadi energi tulisan2nya. Kalau dilihat dari konteks kekinian, banyak hal yang sudah berubah. Dia bilang, jurnalis adalah pekerjaan kaki. Jurnalis harus rajin bergerak, rajin melihat, rajin mencatat, setelah itu berpikir.

Kini, para jurnalis harus rajin juga berselancar di web dan medsos, juga memahami big data untuk membantunya memahami kenyataan. Jurnalis harus sedalam Google, dan sehangat Facebook.

Membaca catatannya di sini, saya tiba pada satu hipotesis sederhana. Kekuatan Sindhunata bukan pada angel liputan yang bisa memotret sisi humanis, tetapi ada pada kontemplasi atau renungan2nya atas setiap keping kenyataan. Dia seorang filosof yang sering merenung, menelusuri relung pemikiran kemudian mencarinya dalam setiap fragmen kenyataan yang ditemuinya untuk dikemas dalam karya jurnalistik.

Pemikiran filosofis itu tidak membuatnya melangit, melainkan tetap berpijak di bumi. Jurnalisme menarik pikiran kembaranya agar tidak selalu terbang tinggi di atas punggung filosof, tetapi tetap membumi dan mencari kearifan dalam sosok manusia biasa.

Makanya, dia bisa menulis tentang para filosof Mazhab Frankfrut, tetapi dia pun bisa cerita tentang Mbah Wagiyem di Pasar Beringharjo. Dia bisa menulis Zinedine Zidane sebagai seorang dewa bola, tetapi dia bisa menjelaskan lingkungan masa kecil ZIdane yang keras sebagai anak migran di Perancis.

Anehnya, saya bisa menyebutkan nama-nama jurnalis dan penulis inspiratif yang kajiannya dalam di era Sindhunata. Tapi jika ditanya, siapa jurnalis Kompas kekinian yang seperti Sindhunata, saya malah tidak tahu. Padahal saya masih langganan kompas. Jauh lebih mudah buat saya menyebutkan siapa penulis di jagad maya yang selalu saya ikuti catatan-catatannya.

Bisa jadi, saya adalah pelanggan koran yang lebih suka selancar di jagad maya. Entahlah.

Apa Anda bisa bantu saya menyebutkan satu saja?


Mencicipi Kopi SOE




Di Jalan Margonda, Depok, saya pertama kali jatuh cinta dengan kopi soe. Baru tahu kalau di Bogor dan Jakarta, gerai kopi soe berdiri di banyak titik.

Saya merasa beruntung karena pernah berkunjung ke Soe, dararan tinggi yang merupakan ibukota Timor Tengah Selatan.

Sayang, saya belum pernah menikmati kopi Soe di sana. Padahal, saya sangat yakin kalau pemilik gerai kopi Soe ini terbius oleh nikmat kopi di sana sehingga menjadikannya merek dagang.

Saat memandang segelas kopi Soe, saya terbayang pebukitan di sana, jeruk manis yang mudah ditemukan di mana2, olahan se'i yang nikmat. Tentu saja, saya terbayang senyum sahabat Nahad Baunsele yang selalu mengembang saat ditemui.

Saya membayangkan So'e yang sejuk, semesta indah di pebukitan Timor.

Srruupp....

Bersama Pemilik BlazBluz




Tidak jauh dari Stasiun Kiara Condong, Bandung, dia menyambut saya dengan senyum yang teramat lebar. Namanya La Tusu. Dia adalah teman sekelas semasa SMP dan SMA di Pulau Buton. Dia berasal dari Wakaokili, sekitar 26 kilometer dari Baubau.

Dia begitu gembira saat saya datang mengunjungi warkop yang dimilikinya. Dia panggil beberapa pelayan, terus bertanya saya hendak makan dan minum apa. Dia sangat senang karena teman kecilnya datang berkunjung.

Saat tanya harga, pelayannya minta saya tentukan harga. Saya kegeeran. Saya pikir karena saya teman dari pemilik warkop, maka saya bebas menentukan harga. Ternyata, semua orang diperlakukan sama di situ. Di warkop itu, pengunjung yang menentukan berapa harga kopi yang diminumnya.

Lantas, gimana mau untung? La Tusu tidak lantas menjawab.

Dia bercerita tentang persentuhannya dengan dunia digital. Dia mendirikan blazbluz.com, perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran online. Dia tahu kalau di antara teman sekolahnya, saya paling paham dunia startup. Aslinya sih, saya hanya sok tahu. Ilmu saya gak jauh2 dari melatih kucing.

Mulanya dia melakoni bisnis affiliated marketing. Dia bersama beberapa orang memasarkan satu bisnis secara online, kemudian mendapatkan fee atau komisi dari penjualan itu. La Tusu memahami bagaimana cara kerja big data. Dia tahu ada data tentang satu perusahaan yang mengeluarkan produk di Amerika Serikat.

Melalui analisis big data, dia juga tahu kalau produk itu sangat dibutuhkan banyak orang di Rusia. Dia pun memasarkan produk dari Amerika itu ke Rusia secara online. Dia mendapatkan komisi dari setiap penjualan. Ketika produk itu booming, mulailah dia meraup banyak dollar. Bisnisnya mencapai angka miliaran.

Kok bisa barang Amerika dijual di Rusia oleh pemasar asal Buton yang tinggal di Bandung? Gaes... ini era globalisasi. Ini era online. Kamu bisa duduk-duduk di satu warkop kemudian memasarkan barang dari satu lokasi ke lokasi lain. Kamu tak perlu berpindah. Duduk-duduk saja, eh tiba-tiba dollar masuk rekening.

Dia bercerita, pernah ada pengusaha dari Amerika datang ke Indonesia hanya untuk menemui dia dan timnya. Pengusaha itu terheran-heran dengan kemampuan La Tusu memasarkan produk. Rupanya, di negara seperti Amerika pun, tidak semua orang melek teknologi digital.

Dia mendidik anak-anak muda untuk memahami pemasaran digital. Malah dia mengajarkan anak SMK yang hanya tahu update status untuk jadi pemasar handal di era online. Dia pun merekrut anak SMK itu untuk jadi pasukan digitalnya.

Sahabat ini lalu mengajak saya melihat-lihat rumah besar, di mana ada warkop di situ. Di ruang depan, saya melihat ada galeri yang memajang banyak kaos, busana muslim dan hijab. Katanya, ini hanya sampel atau spesimen. Perusahaannya punya gudang di markas JNE yang kemudian dipakai menyimpan barang kemudian dikirim ke berbagai penjuru.

Di ruangan lain, saya melihat banyak anak-anak muda di depan laptop. Katanya, ini adalah ruangan para admin mengelola pemasaran melalui media sosial. Perusahaannya memasarkan banyak kaos dan produk fashion melalui fasilitas adsens di Facebook dan Google.

Kalau kamu sering temukan iklan kaos di Facebook, misalnya kaos bertema nasionalisme, tema kampus, atau kaos bertuliskan orang ganteng lahir tahun yang persis tahun lahirmu, bisa jadi itu adalah hasil kerja bagian promosinya.

Di satu ruangan lain, saya melihat studio foto. Katanya, di ruangan itu, semua produk yang dijual akan difoto, kemudian diteruskan ke tim marketing. Ada pula ruangan yang menjadi ruang pelatihan. Secara periodik, perusahaannya menggelar pelatihan untuk pemasaran di media sosial. “Algoritma Facebook itu selalu berubah. Makanya kami harus selalu update,” katanya.

“Sudah lama jualan kaos?” Saya bertanya.
“Kami tak jualan kaos. Yang kami jual adalah platform. Maksudnya, tiap orang bisa memasarkan produk melalui platform yang kami bikin,” katanya.

Jadi, perusahannya hanya menyiapkan kaos oblong, yang kemudian bisa didesain siapa saia. Skemanya adalah User Generated Content. Siapapun bisa buat desain, kemudian promosi, lalu mendapat hak paten. Saat ada order untuk kaos dan desain itu, pembuat desain akan dapat fee. Sistem yang mengatur semuanya. Mungkin ini yang disebut sharing economy.

“Makanya, kami mengajak anak muda untuk bisnis, tawarkan desain, dan dia bisa menjualnya. Di sini banyak pembuat desain kaos yang mendadak kaya gara-gara desainnya viral,” katanya.

Belakangan ini, dia sering menjalin kerjasama dengan kampus. Dia pun sering diundang jadi pembicara. Dia ingin memperluas ekosistem digital sehigga setiap orang bisa mereguk manisnya bisnis di era 4.0 ini.

Terakhir, tanpa dia jelaskan, saya paham sendiri mengapa kopi di situ gratis. Banyak orang yang belajar pada Google dan Facebook. Dua raksasa IT ini menggratiskan banyak layanan. Tak perlu bayar untuk pakai Google, juga Facebook. Tapi perlahan, mereka punya banyak skema lain untuk menjadi perusahaan kaya-raya.

Ketika Anda nyaman di warkop itu, Anda akan sering datang. Saat banyak komunitas bergabung dan berjaring, kolaborasi bisa terjalin. Di sinilah, peluang bisnis bermunculan.

Sayang, saya tak bisa lama di Bandung. Ketika pulang, dia menghadiahkan saya dua kaos Blazbluz. Saya pakai ke stasiun. Seorang pramugari kereta yang secantik Syahrini, mengajak selfie. Dia berbisik, “Akang kasep, saya suka kaosnya. Akang yang punya blazbluz yaa?” Dalam bahasa Sunda, kasep artinya ganteng.

Mendengar suara renyahnya, insting petualangan saya bekerja. Saya mengiyakan. Dia tidak tahu kalau saya mantan penjual obat di Pasar Baubau dengan keahlian retorika hingga level dewa. Cewek Bandung ini tersenyum. Duh, geulis pisan! Saatnya memasang perangkap.



Perempuan Indonesia di Zona Perang


Ratih Pusparini

Wajahnya terlihat pucat-pasi. Dalam perjalanan dari Lebanon ke Suriah, dia lebih banyak diam. Perjalanan itu hanya akan berlangsung selama tiga jam. Tapi, itu bukan perjalanan biasa. Tahun 2012, Suriah tengah dilanda peperangan. Suara tembakan terdengar di mana-mana. Bom juga bisa berjatuhan kapan saja.

Perempuan itu Mayor Ratih Pusparini adalah tentara perempuan Indonesia pertama yang diterjunkan ke pasukan perdamaian. Dia mendapatkan misi yang cukup berat yakni harus berada di garis depan Suriah demi mengirim pesan kepada semua warga kalau mereka tidak sendirian dalam menghadapi peperangan.

Ratih masih mengenang persis tanggal ketika dirinya mendapat telepon dari wakil Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Desra Percaya. Dia ditelepon pada tanggal 12 April 2012, jam 4 sore. Pada masa itu, dia sedang tugas di Lebanon.

Desra menelepon dan berkata, “Ratih kamu harus bersiap-siap. Kamu akan jadi militer Indonesia pertama yang berangkat ke Suriah.” Ratih mulai menjalani hari-hari yang penuh ketegangan. Pada masa itu, hanya ada 3 persen perempuan yang menjalankan misi perdamaian PBB.

BACA: Diplomasi Senyum Polwan Indonesia

Perjalanan selama tiga jam itu terasa lama bagi Ratih. Dia khawatir mengingat Suriah yang saat itu sangat tidak aman. Melihat dirinya yang lebih banyak diam, driver yang berasal dari Libanon langsung menyapa: “Mum, you’re okay?” Ratih menjawab singkat: “I’m not okay.”

Pria itu seakan tahu apa yang dirasakan Ratih. Dia langsung berkata: “Please call your parents. Tell them your situation.” Ratih segera menelepon keluarganya dengan menggunakan fasilitas telepon satelit.

Kepada ibunya, dia berbisik dengan tenang: “Mama, kalau tidak ada telepon dari saya, berarti semuanya aman. Tapi kalau orang lain yang menelepon, saya minta semuanya menerima semua kenyataan. Saya sudah ikhlas menjalani apa pun yang terjadi.”

Seusai menelepon, Ratih tersenyum. Dia siap menghadapi apa pun yang ada di depannya. Dia berada pada titik kepasrahan. Dia tidak lagi memikirkan apakah akan hidup ataukah mati di misi yang sedang dijalaninya.

“Kalau Allah menakdirkan saya hidup, maka saya akan selamat. Tapi kalau dia menghendaki saya meninggal, maka di mana pun itu, pasti akan terjadi, katanya.

Ratih langsung tersenyum. Dia tenang menjalani tugasnya.  Lelaki itu melihat perubahan wajah Ratih yang tadinya tampak panik. Dia berkata: “Now you look like an angel.”

Di Suriah, situasinya lebih buruk dari yang Ratih bayangkan. Dia mesti menghadapi risiko yang sangat besar saat berada di garis depan. Ratih masih mengenang rekannya yang tertembak di kaki saat sedang menjalankan misi perdamaian. Tapi dia merasa kehadirannya penting sebab memberi rasa nyaman kepada warga yang saat itu dicekam ketakutan.

Pernah, saat di Suriah, Ratih ditelepon oleh wakil Kemenlu, Desra Percaya. Ketika sedang berbincang, terdengar suara tembakan bersahut-sahutan. Desra langsung berkata, “Ratih, apa itu suara tembakan?” Ratih menjawab: “Ya benar. This is the symphony of my life.”

Suara tembakan terdengar dari segala arah. Ratih tidak bisa memastikan dari mana arah tembakan itu. Penembaknya pun bisa dari kalangan pemerintah atau pun oposisi. Hidup Ratih setiap saat dalam bahaya. Pasukan perdamaian PBB pun sering menjadi sasaran tembak.

BACA: Prasasti Abadi Seorang Polwan

Misi perdamaian PBB hanya berjalan selama empat bulan di Suriah. Baru bertugas tiga bulan, Ratih ditarik ke Lebanon. Misi itu dianggap sangat berbahaya sehingga ditutup oleh PBB. Bagi PBB, keselamatan pasukan perdamaian adalah prioritas utama dalam setiap misi yang dijalankan.

Namun pesan yang hendak disampaikan telah sampai kepada warga. Masyarakat internasional akan selalu berada di sisi warga yang tengah dilanda peperangan. Mereka tidak sendirian dalam menghadapi bencana kemanusiaan dan peperangan yang sedang terjadi.

Misi Perdamaian

Hidup Ratih laksana roller-coaster yang selalu berhadapan dengan gejolak. Perempuan kelahiran Denpasar ini tadinya tidak berniat menjadi tentara. Saat lulus dari Jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga, Surabaya, tidak membayangkan akan menjadi tentara.

Saat iseng mengikuti seleksi, ternyata dia diterima menjadi prajurit TNI Angkatan Udara. Kariernya terus menanjak karena dirinya seorang pekerja keras yang mudah bergaul dengan siapa saja.

Tahun 2008, dia tercatat dalam sejarah sebagai perempuan Indonesia pertama yang diberangkatkan dalam Pasukan Garuda, pasukan perdamaian Indonesia untuk misi PBB di Republik Demokratik Kongo. Dia berperan sebagai military observer.

Ratih Pusparini bersama perempuan yang menjadi anggota pasukan perdamaian 

Sebagai perempuan, dia memiliki akses untuk memasuki wilayah yang tidak bisa dimasuki militer laki-laki. Sebagai militer, dia tetap menggunakan pendekatan keibuan ketika berhadapan dengan perempuan dan anak-anak.

“Kami berhasil memasuki satu desa dan mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual di sana. Regu sebelumnya gagal mendapatkan informasi itu karena tidak ada perempuan di sana,” katanya.

Ketika Ratih datang, ibu-ibu dan anak kecil akan mendekat dan bercerita tentang situasi yang mereka hadapi. “Kami adalah mata dan telinganya misi. Begitu ada berita tentang perkosaan dan kriminal, kami selalu datang ke lokasi bersama interpreter. Beda kalau laki-laki, ceritanya lebih banyak maskulin,” katanya.

Demi menunjang misi, Ratih selalu mendatangi orang sakit di seputaran batalyon. Ternyata hal ini sangat berkesan bagi mereka. Pendekatan kemanusiaan ini menjadi jauh lebih berkesan dari yang lain. “Program Ibu Ani Yudhoyono yakni mobil pintar terus berjalan sampai sekarang. Program itu sangat efektif untuk anak-anak di daerah konflik,” katanya.

Di mana pun berada, pasukan Indonesia selalu berusaha membangun kedekatan dengan masyarakat setempat melalui community engagement. Dalam program ini, militer dan sipil sama-sama merencanakan program atau kegiatan yang memiliki misi kemanusiaan.

Di Kongo, Ratih sangat terharu ketika seorang anak mendatanginya, kemudian berkata, “Mam, I wanna be like you! Because of you, we can go to school…" Saat itu, Ratih dan timnya berhasil mengamankan akses jalan sehingga anak-anak bisa pergi ke sekolah.

Tahun 2012, Ratih kembali diberangkatkan ke misi perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), kemudian Suriah.  Setelah itu dia ditugaskan ke Indonesia. Pada April 2018 hingga sekarang, dia bertugas Jakarta dengan posisi sebagai Staf Kantor Kerja Sama Luar Negeri Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.

Ratih menjadi sosok yang menginspirasi banyak kalangan. Dia menerima banyak penghargaan atas kiprahnya di dunia militer dan perdamaian. Tahun 2013, dia meraih Indonesian Women of Change Award yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar AS.

Selain itu, Ratih yang kini berpangkat Letnan Kolonel itu itu juga mendapatkan tanda kehormatan berupa The United Nations (UN) Medal, UN Medal Syria dan UN Peacekeeping Medal in Lebanon. Dia juga sering mendapat undangan sebagai pembicara yang berbagi inspirasi kepada anak-anak muda. Dia ingin mengubah mindset orang-orang bahwa perempuan bisa melakukan banyak hal luar biasa.

Mengutip data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), berdasarkan analisa dari UN Women, sebanyak 1.187 perjanjian perdamaian tahun 1990-2017, terdapat 2% mediator perempuan; 5% negotiator perempuan dan 5% saksi dan penandatanganan perjanjian perdamaian perempuan.

Hingga 31 Maret 2019, terdapat 3.472 personel militer perempuan dan 1.423 personel polisi perempuan dari total 89.681 personel penjaga perdamaian, atau 5,46%. Jumlah ini tentunya harus dapat ditambah, dan Indonesia memiliki niatan yang kuat untuk hal ini. Indonesia memiliki obsesi untuk terus mengirimkan perempuan dalam pasukan perdamaian.

*** 

Hari itu, sebuah diskusi sedang dihelat di Markas Besar PBB di New York. Letnan Kolonel Ratih Pusparini menjadi pembicara bersama Mayor Jenderal Kristin Lund, petinggi militer Norwegia. Pembicara lain adalah Letnan Kolonel Yuli Cahyanti dari Polri, serta Wakil Tetap Duta Besar RI untuk PBB, Dian Triansyah Djani.

Di sela-sela sidang Special Committee for Peacekeeping Operations, Ratih berbicara sebagai tentara yang pernah bertugas sebagai peace keeper di berbagai penugasan. Dia menyampaikan masukan agar perempuan lebih banyak dilibatkan dalam berbagai misi perdamaian.

Mayjen Kristin Lund, petinggi militer Norwegia, berpose dengan Letkol Ratih Pusparini dalam satu diskusi di Markas PBB, New York

Dia berkata: “Personil perempuan biasanya lebih bisa membaur dengan masyarakat lokal dibandingkan personil laki-laki, hal ini yang memberikan nilai lebih bagi kesuksesan misi di daerah operasi. Perempuan juga perlu diberikan peran lebih selain feminine duties yakni logistik, medis, dan administratif.”

Sementara Yuli Cahyanti menyampaikan hal senada bahwa personil perempuan pada umumnya lebih dekat dengan korban konflik dan pengungsi internal khususnya perempuan dan anak-anak. Selain itu, perempuan lebih diterima oleh masyarakat lokal dan mampu memberikan rasa aman, khususnya bagi perempuan dan anak-anak di kamp pengungsi.

“Budaya Indonesia dapat diterima dengan baik di masyarakat lokal yang bermotokan senyum, sapa dan salam,” ujar Yuli.

Mayjen Kristin Lund menjelaskan perlunya kaderisasi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam MPP PBB dan keharusan personel perempuan untuk memperkaya pengalaman guna meraih level tertinggi di PBB dan di misi, salah satunya dengan mengakses "UN Experience."

Di ruangan itu, semua orang mengapresiasi pandangan delegasi Indonesia tentang perempuan yang seharusnya lebih banyak dilibatkan dalam Peace Keeping Operation.

Sejalan dengan amanah konstitusi, Indonesia telah terlibat dalam misi pemeliharaan PBB sejak 1957.  Saat ini, Indonesia berada pada ranking ke-9 negara kontributor personil militer dan polisi pada misi UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Darfur, Sudan), MINUSCA (Republik Afrika Tengah), MINUSMA (Mali), MONUSCO (Kongo), MINUTSAH (Haiti), MINURSO (Sahara Barat), UNISFA (Abyei), UNMISS (Sudan Selatan).

Dari 2.872 personil TNI dan POLRI yang terlibat, 60 di antaranya adalah perempuan dari TNI maupun POLRI.

Acara itu berjalan sangat sukses dan mendapat perhatian tinggi dari negara anggota PBB dan publikasi luas oleh Divisi Berita PBB. Hastag  #Womenpeacekeepers menjadi trending topic ketiga di twitter.

Pada malam harinya diadakan pula Resepsi Diplomatik "To Honor the Role of Women Peacekeepers" dan menyambut sesi sidang C-34, dan dihadiri oleh delegasi C-34, Sekretariat PBB, kalangan penasehat militer, masyarakat madani, think-thank, akamedisi dan media.

Pesan Ratih terus bergema. “PBB harus membuat langkah-langkah afirmatif untuk menambah jumlah perempuan dalam misi PBB. Perlu ada perubahan kebijakan pro perempuan, dan reformasi budaya dan mindset.”

Ratih percaya, ketika perempuan diberi kesempatan yang lebih luas untuk berperan aktif dalam perdamaian dunia, maka dunia akan menjadi lebih damai.

“Perempuan punya banyak sisi keibuan dan kasih sayang. Ketika tetes-tetes kasih sayang itu membasuh hati, maka semua amarah akan mendingin. Dunia menjadi lebih baik,” katanya.



Diplomasi Senyum Polwan Indonesia


Saat AKBP Yuli Cahyanti tugas di Darfur

Tak sedikit pun ada rasa terkejut saat mendengar dirinya akan ditugaskan dalam misi perdamaian di Darfur, Sudan. Perempuan itu, AKBP (setara Letnan Kolonel) Yuli Cahyanti, adalah polisi yang tidak mengenal rasa gentar. Dia percaya pada kekuatan budaya Indonesia yang bisa mendamaikan dunia.

***

Suasana di One Bellpark Mall di Jalan Fatmawati, Jakarta, terlihat ramai saat perempuan itu singgah ke Kafe Starbuck, akhir Agustus 2019. Dia datang mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam, serta celana jeans. Dia duduk di situ setelah sebelumnya memesan kopi. Dia lalu mengambil ponsel dan menatap beberapa pesan di situ.

Orang-orang di dalam kafe itu tidak menyadari kalau sosok yang duduk itu adalah seorang polisi wanita yang telah terjun dalam berbagai penugasan. Dia tidak hanya bertugas di Indonesia, melainkan telah menjalankan tugas sebagai anggota pasukan perdamaian di beberapa negara konflik.

Yuli Cahyanti, perempuan asal Jawa Timur yang pernah betugas di Darfur, Sudan pada tahun 2012-2013. Dia pun pernah menjadi Director for Plan and Programs, ASEANAPOL Secretariat at Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2015 – 2017. Dia pun sosok yang menerima banyak penghargaan. Di antaranya adalah satyalencana dari Presiden RI.

Dia tersenyum ramah saat disapa. Dia bersikap hangat kepada siapa pun yang mengajaknya berbincang. Dia sangat jauh dari kesan kaku. Dengan senyum dan keramahan seperti itu, dia menjadi sosok yang bisa diterima siapa saja.

Hari itu, Yuli bercerita tentang pengalamannya menjadi peace-keeper di Darfur, Sudan. Mendengar kata konflik, banyak orang yang gentar. Yuli tak sedikut pun gentar. “Sejak menjadi polisi, saya siap ditugaskan ke wilayah konflik mana pun. Saya siap menerima semua risiko yang akan dihadapinya, bahkan kematian sekali pun,” katanya.

Darfur menjadi sorotan dunia ketika konflik pecah pada 2003, saat pemberontak mengangkat senjata melawan rezim pemerintahan Khartoum yang dianggap diskriminatif. Misi Uni Afrika dan PBB (UNAMID) mulai dijalankan sejak 2007 hingga kini.



Sejak konflik pecah, warga sipil menjadi korban. Mereka tidak saja kehilangan anggota keluarga, tapi juga terusir dari tanahnya sendiri sehingga hidup di kamp pengungsian. Beberapa negara lalu mengirimkan misi perdamaian untuk meringankan beban masyarakat di sana. Indonesia pun terpanggil untuk mengirim misi perdamaian.

Niat menjadi anggota pasukan perdamaian sudah lama membara dalam diri Yuli. Beberapa tahun sebelum mendaftar sebagai pasukan perdamaian, dia pernah mengikuti acara International Police Woman di Afganistan. Saat itu dia terkesan dengan beberapa pasukan perdamaian PBB yang bertugas untuk mengawal semua peserta.

Dia membayangkan betapa bahagianya jika dia kelak bisa berperan untuk menghadirkan rasa aman bagi orang lain. Dia bertekad agar kelak bisa bergabung dalam misi perdamaian. Cita-citanya terkabul di tahun 2012 saat menjadi bagian dari pasukan perdamaian yang bertugas di Darfur.

Saat itu, Yuli hanya punya sedikit pengetahuan tentang Darfur. Dia tahu bahwa Darfur sedang dilanda konflik yang bisa mengancam jiwanya. Darfur adalah wilayah yang juga rawan bencana.

Yuli mendengar berita bahwa penyakit malaria di tempat itu adalah malaria paling berbahaya sedunia. Tapi semua hal itu tidak membuatnya gentar. Dia tetap ingin datang ke sana. Dia siap meninggalkan keluarganya selama setahun demi menjawab panggilan kemanusiaan dalam dirinya.

Mulanya terasa berat untuk meninggalkan anak tunggalnya yang saat itu berusia 7 tahun. Ada panggilan nurani seorang ibu yang sempat menghentikan langkahnya. Tapi di sisi lain, ada pula panggilan kemanusiaan saat membayangkan nasib anak-anak dan perempuan di daerah pengungsi. Suami dan anaknya ikhlas melepas dirinya yang berbagi untuk kemanusiaan.

Saat tiba di Darfur, Yuli terkejut melihat situasi yang lebih buruk dari apa yang dibayangkannya. Dia melihat daratan luas yang tandus serta kering. Dia tidak menyangka, di dataran tandus ini konflik terjadi sehingga masyarakat merasakan dampaknya.

BACA: Prasasti Abadi Seorang Polwan

Dia sangat sedih saat melihat kondisi perempuan dan anak-anak yang sangat memprihatinkan. Seorang ibu harus mencari air di lokasi yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Ibu itu membawa tujuh jergen air. Dia dibantu anak-anaknya, sementara suaminya hanya bermalas-malasan di rumah.

“Kebanyakan korban konflik adalah perempuan dan anak-anak. Mereka yang merasakan dampak konflik. Untuk itu, kehadiran polwan sangat dibutuhkan sebab punya sisi keibuan yang membantu mereka untuk berempati dengan korban,” katanya.

Yuli menceritakan satu kenyataan yang dilihatnya. Suatu hari, dia berpatroli dan menemukan ada perempuan yang mengalami kekerasan seksual hingga trauma. Perempuan itu menolak untuk ditemui siapa pun. Perempuan itu hanya bisa menangis dan mengunci diri di rumah.

Saat Yuli datang dan menyapa “Assalamualaikum”, perempuan itu mau menerimanya. Dia lalu bercerita tentang apa yang dialami. Mata Yuli berkaca-kaca saat mendengar kisah perempuan itu. Dia adalah korban dari konflik antar warga yang terus bertikai. Perempuan itu diperkosa oleh sejumlah orang yang datang menjarah.

“Jika saja bukan perempuan yang datang, dia akan menolak siapa pun yang hendak memberikan bantuan. Dia merasa nyaman ketika bicara dengan sesama perempuan,” katanya.

Sebagai perempuan, Yuli bisa melakukan pendekatan personal kepada banyak orang. Saat sedang melakukan patroli, dia akan ikut berbincang dengan perempuan yang sedang antri mendapatkan air bersih. Dia berbaur dengan siapa saja, serta mendengarkan apa saja pengalaman yang dirasakan oleh penduduk lokal.

Dia melihat budaya poligami yang masih marak di Darfur. Seorang laki-laki bisa memiliki empat istri yang ditempatkan di rumah terpisah. Dia mendengar sering kali ada masalah serta konflik yang menyebabkan hak-hak seorang perempuan terabaikan.

“Sebagai seorang perempuan dan juga seorang ibu, hati saya selalu tersentuh mendengar kasus seperti ini. Saya selalu tergerak untuk membantu. Hanya saja, saya tidak boleh terlalu jauh mengintervensi. Saya hanya bisa merekomendasikan ke polisi setempat,” katanya.

Polisi Perdamaian

Sejak tahun 2008, Polri telah mengirimkan personelnya untuk mengikuti misi perdamaian di African Union - United Nations Hybrid Operation in Darfur (UNAMID), Sudan. UNAMID berdiri sejak 31 Juli 2007 yang bertujuan untuk melindungi warga sipil serta berkontribusi pada keamanan untuk bantuan kemanusiaan, serta membantu proses politik agar berjalan lancar.

Data yang dihimpun United Nation Peacekeeping, Indonesia mulai mengirim polisi ke UNAMID sejak tahun 2008, dan saat ini berada di urutan ke-enam negara yang terbanyak mengirim polisi ke UNAMID yakni 145 orang.

Polri juga selalu rutin mengirim pasukan untuk misi perdamaian di Afrika Tengah. Misi perdamaian itu dinamakan United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in The Central African Republik (MINUSCA).

Menurut Yuli, polisi yang bertugas sebagai peace-keeper terbagi atas dua peran dan tanggung jawab. Pertama, Individual Police Officers yang tugasnya adalah memberikan perlindungan kepada civilian dan para pengungsi, yang disebut Internally Displaced Person (IDP). Kedua, Formed Police Units (FPU) yang betugas untuk melindungi personel dan fasilitas PBB, melindungi warga sipil, serta mendukung operasi kepolisian di Sudan.

Sebelum bertugas sebagai Individual Police Officer di Darfur, Yuli menjalani seleksi yang cukup ketat. Dia mengikuti beberapa tes, yakni bahasa Inggris, menyetir, dan menembak. Dia menjalani dua tahap seleksi. Seleksi pertama dilakukan Mabes Polri, sedangkan seleksi kedua dilakukan PBB.

Dari sekian banyak polisi dalam angkatannya hanya lulus 100 orang, kemudian nama-nama tersebut dikirim markas PBB di New York dan barulah diseleksi kembali, sampai akhirnya 43 orang dinyatakan lolos. Lima di antaranya polisi wanita.

Sebelum berangkat, dia pun sempat mendapatkan pelajaran bahasa Arab agar berkomunikasi dengan warga di sana. “Pelajaran ini sangat berguna saat di lapangan. Walau pun hanya dengan assalamualaikum warga di sana sudah senang," ungkapnya.

Sebagai bagian dari Garuda Bhayangkara, sebutan untuk polisi saat bertugas sebagai pasukan perdamaian, Yuli mengaku punya banyak suka dan duka. Dia menghadapi banyak tantangan. Di antaranya adalah Sudan merupakan wilayah yang sering dilanda bencana.

Pengalaman paling tidak nyaman adalah ketika terjebak banjir di tengah gurun pasir. Saat itu, dia bersama rombongan mendatangi pos pengamanan tidak jauh dari markas.  "Saya ikut patroli siang. Cuaca tidak kelihatan akan hujan. Tiba-tiba cuaca berubah jadi gelap dan hujan deras. Keadaan di tempat saya patroli saat itu langsung banjir sehingga kita tidak bisa kembali ke kamp saya," ungkapnya.

saat memotret Ibu Yuli
saat ngopi dengan Ibu Yuli

Sialnya pada saat itu, Yuli tidak membawa sedikit pun perbekalan makanan, dia hanya membawa satu botol air mineral. Ia berfikir saat itu, tempatnya patroli tidak jauh dari camp utama hanya 20 menit perjalanan.

Karena tidak bisa kembali akibat jalan yang dilaluinya berubah menjadi sungai lumpur, ia pun terpaksa harus bermalam. Dengan berbekal satu botol minuman mineral Yuli harus bertahan hingga keesokan harinya.

"Saya tidak bawa persediaan makanan saat itu, karena jalan yang dilalui tergenang air makanya kita terjebak. Kawan dari FPU Mesir yang mencoba mencari jalan ke luar pun ternyata tidak bisa jadinya kami bermalam," ujarnya.

Pengalaman itu membuatnya lebih berhati-hati dan membuat perencanaan yang matang. Dia tidak ingin mengalami situasi seperti ini lagi. Pengalaman menjadi guru terbaik baginya.

Indonesian Way

Sebagai perempuan yang bertugas di area konflik, Yuli tidak pernah mengkhawatirkan apapun. Dia terkenang ibunya yang pernah berkata, selagi dia memperlakukan orang lain dengan baik, maka dirinya pasti akan diperlakukan dengan baik.

“Bagi kita orang Indonesia, senyum dan sapa adalah hal biasa. Setiap hari kita melakukannya. Tapi saat berada di negara lain, apalagi yang tengah mengalami konflik, senyum dan sapa menjadi diplomasi yang sangat efektif. Saya bisa diterima siapapun,” katanya.

Salah satu pendekatan Indonesia dalam misi perdamaian adalah community engagement. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk Civil-Military Cooperation (CIMIC) yang biasanya berupa bantuan kemanusiaan yakni mengajar dan memberikan layanan kesehatan. Selain itu, juga melakukan fasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian.

saat di kamp

Pendekatan ini membuatnya mudah diterima warga sipil. Dia membangun kedekatan dengan para ibu yang sedang mengantri air bersih. Dalam beberapa foto, terlihat dirinya saling menyapa dan berdialog dengan para ibu.

“Pengalaman saya, perempuan lebih diterima oleh masyarakat lokal dan mampu memberikan rasa aman, khususnya bagi perempuan dan anak-anak di kamp pengungsi. Budaya Indonesia dapat diterima dengan baik di masyarakat lokal. Kita cukup beri senyum, sapa dan salam,” katanya.

Yuli dan perempuan lain yang bergabung dalam peace-keeper menjadi duta bangsa Indonesia yang menyebarkan benih-benih perdamaian. Yuli memberi kontribusi penting untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang paling banyak menjadi korban. Yuli menunjukkan betapa pentingnya pendekatan kemanusiaan demi membantu mereka yang dilanda konflik.

Yuli dan Polwan Indonesia lainnya telah menunjukkan kasih sayang dan semangat persaudaraan di negeri yang jaraknya ribuan kilometer. Dalam diri mereka, terdapat wajah Indonesia yang sesungguhnya yakni wajah yang welas asih, wajah yang mengedepankan "kemanusiaan yang adil dan beradab."

Mereka adalah anak bangsa yang menjalankan amanat konstitusi yakni “turut menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”




Prasasti Abadi Seorang Polwan


Dewi Suryani di depan masjid yang dibangunnya sendiri di Darfur

Masjid itu berdiri kokoh di tengah gurun pasir yang tandus dan kering di tanah Sudan. Warnanya coklat kekuningan. Masjid itu menjadi tempat salat sekaligus tempat bertemu para warga.

Di samping masjid, terdapat plang berukuran cukup besar yang berisikan tulisan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tulisan itu terbaca:

Dewi Suryani IPO Indonesia
This Al Rahman Mosque was constructed
By heartfelt female
Donation from female IPO Indonesia 1 Dewi Suryani

Semua orang yang tinggal di sekitarnya tahu kalau masjid itu didirikan oleh Bripka Dewi Suryani, seorang polisi wanita asal Indonesia yang bertugas sebagai Individual Police Officer.

Datang sebagai polisi yang bertugas untuk perdamaian, Dewi melakukan suatu hal yang monumental. Dia mendonasikan semua gajinya untuk membangun masjid yang diharapkan akan menjadi jembatan bagi warga untuk bertemu dan berdoa bersama.

“Niat saya sederhana. Saya ingin masjid ini bisa menimimalkan perselisihan. Biasanya perselisihan muncul karena kesalahpahaman. Semoga masjid ini membawa rahmat dan kasih sayang sehingga terwujud perdamaian,” kata Dewi Suryani melalui sambungan telepon.

Dia hanya orang biasa yang bertugas di misi perdamaian. Dia bukan orang kaya-raya yang punya harta berlimpah dan setiap saat bisa bangun masjid. Tapi Dewi bertindak luar biasa. Dewi menggunakan semua gajinya untuk masjid yang diharapkannya bisa menjadi kanal perdamaian.

Perempuan asal Sumatera Barat ini mulanya datang patroli di Shangil Tobaya. Dia terkejut melihat masjid milik warga yang dibangun dari alang-alang yang terlihat sangat sederhana. Saat hujan turun, air akan masuk ke dalam masjid sehingga mengganggu orang yang sedang salat.

"Suatu hari saya patroli, terus lihat kok masjidnya kayak gini. Hujan lagi. Kayak ranting yang disusun-susun. Saya berpikir kalau masjid ini diperbaiki, pasti akan sangat bagus buat masyarakat. Selama ini mereka mengeluh kalau hujan maka langsung banjir,” katanya.

Dewi gelisah melihat kondisi masjid yang terbuat dari alang-alang itu. Apalagi, masjid sederhana itu letaknya di kampung milik Hafiz, lelaki yang selama ini menjadi penerjemahnya. Hafiz membantu Dewi untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan warga lokal.

Biarpun Hafiz menjadi asisten lapangan, Dewi memosisikannya sebagai orang tua yang harus dihormati. Dia memanggilnya Abah Hafiz sebagai bentuk penghormatan. Panggilan Abah di Indonesia menunjukkan kedekatan dengan seseorang yang dipandang sebagai bapak atau paman.

kondisi masjid sebelum dibangun
Setelah dibangun ulang

Sejak pertama tiba, Dewi terkejut melihat kondisi daerah itu yang mengenaskan. Dia tidak menyangka daerah konflik jauh lebih parah dari apa yang selama ini pernah disaksikannya.

“Kesan saya sedih di awal-awal. Saya hanya diam saja. Kok ternyata masih ada yang kayak gini yaa. Jangankan buat belanja, buat makan saja mereka susah. Air saja di tanah yang jorok itu diminum sama mereka,” katanya.

Dewi menyaksikan satu fragmen kehidupan yang dahulu tampak indah, namun dikoyak oleh konflik. Konflik telah membawa dampak bagi semua orang. Banyak jiwa yang hilang dan banyak sumber daya yang hancur. Banyak ibu-ibu yang harus banting tulang demi mencari makanan dan air untuk anaknya.

Dewi tahu kalau dia hanya orang luar yang datang dengan misi perdamaian. Dia menjadi saksi dari banyak peristiwa di situ yang belum menunjukkan tanda-tanda konflik akan berakhir. Dia sedih menyaksikan anak-anak yang kelaparan.

Sayangnya, dia tidak bisa memberikan makanan yang selalu dibawanya saat patroli pada anak-anak. Dia patuh pada arahan pihak PBB yang tidak menginginkan para anggota pasukan perdamaian memberikan makanan kepada masyarakat.

“Jika itu dilakukan, maka masyarakat bisa berkelahi. Dikasih satu orang, ratusan orang bisa mengejar dan meminta bagian yang sama,” katanya.

Akhirnya Dewi menemukan cara membantu masyarakat yakni dengan membangun masjid. Melalui penerjemahnya, Hafiz, dia berkomunikasi dengan warga sehingga rencana itu bisa terwujud.

Ketika masjid itu telah selesai, Dewi mendapat penugasan baru ke headquarter. Dia memang mengajukan lamaran agar bisa pindah ke situ. Saat ia menyampaikannya ke sejumlah warga, mereka langsung shock. Mereka bilang Dewi tidak boleh pergi sebelum ada satu seremoni yang menghadirkan semua warga desa agar mereka bisa berterimakasih langsung kepadanya.

Namun, Dewi tidak ingin melalaikan tugas. Dia tetap ingin pergi. Komandannya di desa itu mengirim surat ijin kepada pihak headquarter. Izin diberikan. Dewi bisa menunda keberangkatan demi menghadiri pertemuan bersama seluruh warga yang hendak menyampaikan ucapan terima kasih.

Akhirnya, pertemuan itu diadakan di dekat masjid. Semua warga desa berdatangan demi memberi ucapan terima kasih kepada Dewi, seorang polwan Indonesia yang telah membiayai pembangunan masjid dengan gajinya.

“Warga desa sangat terharu dan berharap saya bisa sering-sering datang untuk menengok mereka. Sebagai polisi, saya senang bisa berkontribusi. Tujuan saya bukanlah untuk popularitas. Saya hanya ingin membantu mereka sebisa yang saya lakukan. Saya bahagia jika mereka bahagia,” katanya.

Apresiasi terhadap Dewi tidak hanya diberikan oleh warga desa di Darfur. Apresiasi itu juga datang dari Jakarta. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo sangat kagum dengan langkah Bripka Dewi.

“Polri memberikan apresiasi terhadap langkah terpuji Bripka Dewi yang telah melakukan renovasi dan pembangunan masjid di Sudan,” katanya.

Kontribusi Polwan

Dewi Suryani telah dua kali menjadi anggota Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB atau "United Nations - African Union Hybrid Operation" di Darfur, Sudan. Sebelumnya, dia pernah terlibat penugasan mewakili anggota Polri yang bertugas sebagai penjaga misi perdamaian pada wilayah "sektor sentral" di Darfur pada tahun 2014.

Bersama polwan yang diterima dalam misi perdamaian, Dewi mendapatkan pembekalan "Pre Deployment Training" (PDT) selama tiga pekan yang diselenggarakan satuan kerja Polri Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) dikepalai Irjen Polisi HS Maltha.

Saat Dewi di Darfur, Sudan

Selanjutnya, Dewi bersama beberapa rekannya menjalankan kegiatan seperti pelatihan mengemudi, pengenalan misi PBB dan "United Nations Core Value", pemeriksaan kesehatan, vaksinasi, serta simulasi kerja.

Pembekalan itu digelar di ruangan "Command Post Exercise" (CPX) bertempat di Pusat Latihan Multi Fungsi (PLMF) Cikeas Bogor Jawa Barat. Bagi anggota Polri yang terpilih wajib mengikuti pelatihan itu sebagai bekal melaksanakan tugas pada misi pemeliharaan perdamaian PBB.

Pusat latihan ini memiliki berbagai fasilitas diantaranya ruang kelas, ruang makan, tempat ibadah, tempat pelatihan mengemudi, shooting range, Command Post Exercise, serta fasilitas akomodasi.

Jumlah polwan yang ikut dalam misi perdamaian terus bertambah. Tahun 1999, jumlah polwan yang menjadi Individual Police Officer (IPO) hanya 1 orang. Pada tahun 2019, jumlahnya telah mencapai 56 orang. Tahun 2019, ada 29 orang polwan yang terdaftar sebagai Formed Police Unit (FPU). Jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya.

Berkat latihan, Dewi memiliki kapasitas untuk menjalankan misi perdamaian internasional. “Andaikan saya masih punya waktu lebih lama di Darfur, saya berencana untuk memfasilitasi pertemuan pihak-pihak yang bertikai di sana,” katanya.

Dewi telah menjalin komunikasi dengan semua pihak yang bertikai. Dia telah memetakan konflik itu hanya berkisar pada orang-orang tertentu saja. Andaikan punya waktu lebih, dia akan menuntaskan satu kerja besar yakni memfasilitasi dialog yang akan mempertemukan semua pihak pada posisi yang sama.

Langkah yang hendak dilakukan Dewi bukanlah hal baru. Bulan Mei 2019 lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memimpin sidang Dewan Keamanan PBB, menyebut kisah seorang mayor dari Indonesia yang berhasil menjalankan misi fasilitasi perdamaian.

Retno menyebut keberhasilan personel asal Indonesia di MONUSCO, Republik Demokratik Kongo, yang berhasil mengupayakan rekonsiliasi antara komunitas lokal dengan mantan kombatan, sehingga memungkinkan reunifikasi keluarga.

“Mayor Gembong beserta tim-nya dari Indonesia berhasil memfasilitasi reunifikasi 422 mantan kombatan, sehingga semakin memperkuat perdamaian,” ujar Menlu Retno Mardusi kepada DK PBB.

Dia memuji pasukan penjaga perdamaian PBB atau Korps Baret Biru merupakan contoh nyata mengenai kemitraan global, kepemimpinan kolektif dan tanggung jawab bersama untuk perdamaian.

“Korps Baret Biru (Blue Helments) adalah penjaga perdamaian yang melindungi ratusan juta manusia di seluruh dunia. Mereka adalah wajah Dewan Keamanan PBB, dan salah satu potret kerja sama multilateral yang terbaik,” ungkapnya.

Warisan Berharga

Wajahnya terlihat gembira saat tiba di Padang, Sumatera Barat. Agustus 2019, Dewi telah kembali dari misi perdamaian di Darfur. Dia masih teringat bagaimana sambutan masyarakat desa di Darfur yang sangat besar pada kehadiran polwan.

“Saya masih teringat saat masih di sana. Kalau kami pergi patroli, kita sering dikejar anak-anak. Saya masih ingat sambutan masyarakat yang sangat besar pada keberadaan polwan Indonesia. Hati saya masih tersimpan separuh di sana,” katanya.

saat Dewi bertugas

Dewi telah meninggalkan Darfur. Tapi semangatnya yang selalu mendahulukan kepentingan warga desa akan selalu menjadi teladan bagi banyak orang. Dia telah meninggalkan warisan berharga, bukan hanya bagi masyarakat Darfur, tapi juga bagi polwan yang akan menjalankan misi perdamaian.

Dewi telah menjadi duta bangsa yang menampilkan keramahan dan kasih sayang bangsa ke panggung internasional. Dia meninggalkan banyak mutiara berharga sebagai anak bangsa yang selalu peduli pada kemanusiaan dan mewujudkannya di mana pun dirinya berada. Dia meninggalkan prasasti yang membekas di hati warga Darfur.

Masjid itu bukan sekadar fisik. Di situ ada ketulusan, keikhlasan, dan rasa cinta yang ditunjukkan seorang manusia dari seberang lautan. Di situ ada hati yang bening, yang melihat semua orang sebagai saudara.




Pelajaran dari Petani Jagung




Dia seorang petani jagung di Texas, Amerika Serikat. Jagungnya selalu dikenal sebagai jagung paling unggul. Jagungnya selalu dihargai lebih mahal karena orang percaya dengan kualitasnya yang terjaga.

Dia pun seorang yang dermawan. Semua petani yang datang meminta bibit jagung unggul itu, pasti akan diberinya. Bahkan dia dengan senang hati berbagi ilmu tentang bagaimana menanam jagung.

Seorang jurnalis bertanya, apa dia tidak khawatir ilmunya akan dijiplak hingga jagungnya banyak pesaing? Kenapa dia tidak merahasiakan saja ilmu menanam jagung?

Petani itu hanya tersenyum. Dia pun menjelaskan, kalau di sekeliling kebun itu ditanami jagung unggul, maka pembuahan yang terjadi karena angin akan selalu menghasilkan jagung-jagung yang juga unggul.

Jika saja hanya kebunnya yang memakai bibit unggul, sementara kebun di sekitarnya dari bibit yang kurang baik, maka pembuahan jagung di kebunnya akan tidak maksimal. Bibit yang kurang bagus bisa terbawa angin ke kebunnya, dan menghasilkan jagung yang kurang bagus.

Jurnalis itu terdiam. Petani itu baru saja menyiram segelas inspirasi di kepalanya. Pada dasarnya kesuksesan seseorang sangat bergantung pada kesuksesan orang lain. Jika Anda hanya sukses seorang diri, maka Anda adalah seorang individual yang kesuksesannya tidak bertahan lama.

Tapi jika Anda banyak membantu orang lain untuk menggapai kesuksesan, maka kesuksesan Anda akan bertahan lebih lama. Orang lain yang Anda bantu itu siap untuk menopang dan membantu Anda agar selalu sukses. Jika suatu saat Anda ditimpa masalah, orang lain selalu siap membantu agar Anda kembali bangkit.

Dalam hidup, kita terlampau sering hanya memikirkan diri sendiri. Kita seakan berlomba di sirkuit untuk menjadi yang terunggul, terbaik, dan menyingkirkan orang lain. Kita ingin menjadi yang terhebat, lalu mengabaikan orang di sekitar kita.

Gara-gara semua obsesi itu, kita terasing dari dunia sekitar kita. Bahkan kawan kita pun seakan enggan berdekatan dengan kita. Ada di antara kita yang bangga menjadi pejabat dan merasa berhak memerintah orang lain. Namun saat dia kehilangan jabatan, barulah dia sadar ketika semua orang menjauh dari dirinya perlahan-lahan.

Di titik ini, kita menemukan relevansi dari konsep karma. Selagi Anda memberi kebaikan pada semesta, maka semesta pun akan membalasnya dengan kebaikan. Selagi Anda mendedikasikan hidup untuk membantu orang lain, maka semua orang akan menjadikan dirinya sebagai tangga agar Anda selalu sukses.

Petani jagung itu tahu nikmatnya memberi. Bahkan dia rela berbagi rezeki kepada semua orang di sekitarnya. Sebab kebahagiaan terbesar bukan pada sanjungan dan pujian. Kebahagiaan terbesar baginya terletak pada senyum tulus, raut wajah gembira, serta kegembiraan yang terpancar di hati orang lain saat dia datang menyapa. Saat itu, dia menjadi orang paling bahagia sedunia.

Kawan yang baik, sudahkah Anda membantu orang lain hari ini?