Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Membaca Biografi Fildan Rahayu




JAUH dari Baubau, anak muda bernama Suhardiyanto itu datang ke rumah saya di Bogor. Kebetulan, ia baru beberapa hari di Jakarta. Saya sedang keluar rumah, namun dia tetap menunggu hingga saya datang. Dia datang untuk menyerahkan buku biografi dan kisah Fildan, jawara musik dangdut, yang baru saja diterbitkannya.

Dia mengakui saya sebagai gurunya. Padahal faktanya, saya hanya seorang pelatih kucing yang sedang menapak karier.

Betapa saya tersanjung karena menjadi salah satu pembaca pertama. Lebih tersanjung lagi karena diantarkan oleh penulisnya langsung. Bagi saya, ini buku yang penting, sebab membahas bintang muda dangdut yang telah dinobatkan sebagai jawara dangdut Asia.

Bagi kami, orang Buton dan Sulawesi Tenggara, Fildan adalah ikon daerah yang sukses menembus semua batas kemustahilan. Melalui vokalnya, ia bergerak 'from zero to hero.' Kisahnya tidak seperti Cinderella yang miskin, namun mendadak kaya raya karena sepatu kacanya ditemukan pangeran. Kisah hidupnya penuh perjuangan dan episode mencoba berbagai kesempatan.

Kini Fildan bukan lagi milik orang Baubau. Bukan pula milik orang buton dan orang Sulawesi Tenggara. Dia adalah milik semua penggemar dangdut di seluruh penjuru Indonesia. Dia adalah napas baru, generasi pelanjut dangdut yang kian membuat musik ini populer di segala lapisan masyarakat. Anak yang dahulu miskin dan tinggal di gubuk reyot itu, kini menjadi pesohor dangdut.

Saya bangga karena buku ini ditulis oleh anak muda yang sekampung dengan Fildan. Makanya dia bisa mengakses semua sumber primer tentang maestro dangdut itu. Pantas saja dia bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat. Lebih kagum lagi karena dia merogoh kocek pribadinya untuk melahirkan buku bagus tentang anak muda berprestasi di kampung kami.

Salut buat Suhardiyanto. Sekali lagi saya bangga karena menjadi salah satu pembaca awal yang terpesona, sebelum buku ini dijual bebas buat Miana La Fildan, barisan penggemar Fildan di seluruh penjuru tanah air.


Hanya ada satu kata: salut!


Makan Siang dengan Abraham Samad




SEORANG sahabat mengajak saya untuk makan siang dengan seseorang. Saya tidak tahu hendak bertemu siapa. Ternyata saya diajak ketemu Abraham Samad, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya terkejut melihatnya. Dia juga terkejut melihat saya.

Tahun 2003, saya sering ngopi2 dengan Abraham di beberapa warkop di Makassar. Saya memanggilnya Kak Openg, panggilannya di Makassar. Masa itu, saya jurnalis. Dia aktivis anti-korupsi. Karena waktu kami lebih banyak menganggur, kami lalu merancang diskusi2. Kami gantian jadi pembicara, tapi saya lebih banyak jadi tukang bikin kopi. Hingga akhirnya dia jadi Ketua KPK, lalu membuat banyak gebrakan. Saya tetap jadi orang jelata.

Setelah sekian tahun, kami akhirnya ketemu lagi. Saya kaget karena dia masih mengenal saya. Dia heran karena selama sekian tahun kami tidak pernah ketemu. Saya baru tahu kalau dulu dia mencari-cari nama saya di satu media, ketika saya memilih profesi lain. Hari ini kami bertemu lagi.

Dia masih Abraham yang dulu. Ngomongnya masih meledak-ledak dalam aksen khas Makassar. Dia lebih banyak di Jakarta, tapi sekali sebulan balik Makassar demi menjenguk orangtuanya. Biarpun bukan lagi menjabat sebagai Ketua KPK, dia masih berkutat di gerakan anti korupsi. Dia ke mana2 mengajar di banyak kampus. Dia paling suka bahas soal pendidikan, khususnya pendidikan karakter dan anti korupsi.

Saya bahagia bisa makan siang dengannya. Lebih senang karena dirinya tetap hangat dan membahas banyak hal. Di sela-sela ngobrol, dia bertanya, "Yos, sekarang kamu aktif di mana? Apa ada waktu kalau kita sering ngopi?"


Saya menjawab singkat, "Saya sekarang jadi pelatih kucing." Dia terkejut lalu berteriak, "Ah, sambarang kau. Pasti ko kerjai saya."

Melihat Joan di Indonesian Idol



KURANG dari setengah jam lagi, acara showcase tahap dua, Indonesian Idol 2018 akan segera tayang. Banyak orang menanti-nanti penampilan gadis yang vidio hebohnya telah menyebar. Untuk Indonesian Idol kali ini, saya menyukai beberapa nama. Ada Bianca Jodie dari Jogja yang nampak culun. Ada Chandra dari Samarinda yang suaranya laki banget. Ada Irine dari Jakarta, Naomi dan Maria dari Medan. Ada Withney dan Glen dari Ambon.

Yang paling saya idolakan adalah Joan, perempuan asal Fakfak, Papua Barat. Suaranya bikin merinding. Penampilannya semalam buat saya nyaris meneteskan air mata. Saya setuju dengan Judika bahwa Joan menyanyi dengan penuh totalitas, mengingatkan pada Mike Mohede, lelaki Ambon yang pernah menjuarai lomba ini.

Dalam babak audisi, Joan datang dengan segala keluguannya. Jauh-jauh dari Papua, dia hendak mencoba peruntungannya. Tadinya saya pikir, suaranya akan standar-standar saja, sebagaimana kebanyakan peserta audisi. Mungkin saja dia hanya berharap belas kasihan dari tim juri, yang tahun ini rada-rada bengis. Ternyata, dia selalu tampil memukau. Dia mengeluarkan semua perasaannya dalam setiap bait suaranya yang seolah datang dari surga. Dia luar biasa keren.

Dalam Indonesian Idol sebelumnya, saya menyukai Nowella Auparay, gadis Papua bersuara serak. Kali ini, saya sangat menyukai Joan. Saya berharap dia bisa melaju hingga tiga besar. Saya berharap kehadirannya bisa menggugah semua orang Indonesia bahwa di timur sana, di negeri yang tengah dilanda wabah gizi buruk dan bayi-bayi meninggal, ada talenta bersuara merdu yang menggedor kesadaran kita untuk tak selalu menoleh ke barat.

Saatnya berpaling ke timur. Saatnya mendukung Joan