SUNGGUH, saya tak sedikitpun hendak mempermasalahkan adegan ketika Krisdayanti (KD) mencium Raul Lemos. Urusan cium-mencium adalah urusan mereka sebab mereka punya hak asasi untuk melakukannya. Persoalannya, ciuman itu hadir di televisi yang menyentuh ranah publik, mulai dari orang dewasa hingga kanak-kanak. Saya tidak sedang bercanda. Hari ini saya menyaksikan hampir semua infotainment menayangkan adegan cium tersebut yang kemudian disaksikan jutaan rakyat Indonesia.
Rabu (21/7) lalu, KD dan Raul lemos memperlihatkan kemesraan secara terbuka. Mereka sepakat bicara terus terang tentang hubungan mereka berdua. Menjelang acara jumpa pers, keduanya tanpa sungkan berciuman dan saling memegang tangan saat berbicara dengan media. Raul juga tak malu mengatakan dirinya sering memberi kecupan sayang kepada KD. "Oh ya, pasti saya berikan kecupan sayang itu, setiap pagi walaupun tidak ketemu, bisa lewat telepon," katanya.
Adegan cium tersebut telah membuka kotak Pandora dan persepsi publik. Reaksi masyarakat muncul secara bertubi-tubi yang pada intinya mengerucut pro-kontra atas aksi tersebut. Dari sisi media, tayangan adegan cium yang berulang-ulang itu sungguh tak patut. Tayangan itu selayaknya terkena gunting sensor sebab tidak etis jika disaksikan pemirsa stasiun televisi yang beragam. Mestinya pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) langsung menegur semua stasiun tivi yang menayangkan adegan itu.
Saya membayangkan bagaimana reaksi anak-anak yang menyaksikan adegan tersebut. Pengulangan penayangan adegan tersebut bisa menimbulkan kesan yang bersarang di benak bahwa berciuman di depan umum adalah sesuatu yang wajar-wajar saja dan diterima sebagai bagian dari kebudayaan bersama. Namun, benarkah demikian? Lantas, bagaimanakah kita memosisikan diri atas aksi ciuman tersebut?
Bagi saya sendiri, ciuman KD tersebut menyisakan sejumlah hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, secara sosiologis, masyarakat kita masih melihat ciuman sebagai sesuatu yang tidak layak dipertontonkan di depan banyak orang. Masyarakat kita belum siap menyaksikan ciuman yang dilakukan secara terbuka antara dua orang yang bukan suami-istri.
Mulanya saya pikir masyarakat kita mulai permisif pada adegan cium. Apalagi, beberapa tahun silam, adegan ciuman antara Nicholas Saputra dan Dian Sastro dalam film Ada Apa dengan Cinta? ditanggapi dengan datar-datar saja. Sejumlah media asing menyebut bahwa sedang terjadi transformasi kultural pada masyarakat Indonesia yang mulai melihat ciuman sebagai sesuatu yang wajar.
Namun adegan cium KD ditafsir secara berbeda dengan adegan Dian Sastro-Nicholas. Mungkin dalam adegan film yang dibintangi Dian Sastro, masyarakat masih melihat itu sebagai film yang semuanya serba rekayasa. Berbeda dengan ciuman KD-Raul yang ditayangkan dalam wawancara dengan infotainment. Ini jelas beda.
Tanpa diperkirakan KD, ciuman itu telah memunculkan umpatan yang mengalir deras. Bahkan di jejaring sosial Facebook, berdiri gerakan ‘Say No to Krisdayanti’ yang diikuti hingga lebih 15.000 pendukung. Padahal, sehari sebelumnya, pendukungnya hanya 4.822 orang. Ini jelas lebih banyak dari fans KD yang mencapai 4.168. Banyaknya pendukung gerakan tersebut menjadi isyarat bahwa rakyat Indonesia masih melihat adegan ciuman sebagai hal yang privat, bukan sesuatu yang wajar jika dipertontonkan kepada public. Ciuman masih dipandang tidak patut dalam masyarakat kita, meskipun ini masih menjadi sesuatu yang mengudang perdebatan.
Kedua, adegan ciuman tersebut telah membuka ulang diskursus kebudayaan tentang makna ciuman. Dari terang pandang studi kebudayaan, pemaknaan adalah hasil dari pertarungan gagasan-gagasan yang menyejarah dan kemudian memberikan warna bagi konsepsi kita atas sesuatu. Di satu sisi, ciuman adalah sesuatu yang wajar sebab menunjukkan bahasa ketertarikan di antara dua insan. Ciuman adalah symbol penyatuan dua hati yang menjadi bahasa kasih dan cinta antara dua orang. Jika diletakkan pada tempatnya, ciuman adalah bahasa cinta yang universal.
Tapi ciuman KD terhadap Raul tentu harus dilihat dengan cara berbeda. Hal ini menunjukkan bagaimana tafsir kebudayaan atas ciuman tersebut. Ada aspek kebudayaan yang bekerja secara diam-diam dalam benak kita dan perlahan menjadi hakim yang memberikan vonis. Tatkala masyarakat menilai bahwa adegan itu tidak wajar, maka ini adalah cerminan dari kebudayaan kita yang masih melihat ciuman sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Pada beberapa negara khususnya negara Eropa, ciuman adalah hal yang biasa saja. Di Inggris, pada tahun 1920-an muncullah istilah french kiss untuk menggambarkan aktivitas ciuman yang ditandai saling membuka mulut masing-masing lalu secara bergairan mengadu lidah satu sama lain. Kata Perancis (French) disebutkan disini bukan karena ciuman dengan lidah ini adalah ciuman khas Perancis. Ciuman semacam bisa ditemukan dalam berbagai budaya, entah disebut ciuman lidah, cium basah atau soul kissing. Namun orang-orang Amerika dan Inggris menamakannya demikian karena menganggap orang-orang Perancis sangat liberal dalam hal kegiatan seks. Namun, sebagaimana dicatat dalam banyak artikel, ciuman itu justru dinilai tidak wajar bagi bangsa Asia untuk dipertontokan di hadapan khalayak luas. Bagi bangsa Jepang dan Cina, ciuman adalah sesuatu yang sifatnya privat, dalam artian tidak untuk dipamerkan. Dan saya kira, pandangan ini tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai kebudayaan yang banyak dianut masyarakat Indonesia.
Pantas saja jika banyak pihak yang gerah termasuk Majelis Ulama Indonesia yang ikut-ikutan mempersoalkan ketidakpatutan ciuman tersebut. Bahkan Front Pembela Islam (FPI) ikut-ikutan mengecam ciuman tersebut. Meskipun saya sendiri sering tidak sepakat dengan sikap FPI, namun dalam hal ciuman KD-Raul ada sesuatu yang tidak etis sebab dilakukan di hadapan media yang kemudian menyiarkannya secara terbuka, tanpa melalui sensor.
Ketiga, reaksi publik cenderung positif sebab langsung mengaitkan dampak tayangan tersebut pada perkembangan anak. Menurut saya, ini adalah perkembangan yang positif dalam relasi antara masyarakat dan media. Secara perlahan, public mulai dewasa dan mulai bisa memilah-milah mana tayangan yang positif dan mana tayangan yang bisa merusak anak. Bahkan, pada beberapa media, diangkat pula reaksi anak-anak KD maupun anak Raul yang melihat tayangan tersebut. Di antara pendukung gerakan ‘Say No to Krisdayanti’ itu terdapat nama Titani Aurelia Hermansyah, putri KD sendiri. Pada dinding grup tersebut, Aurel mengatakan “Aku ga tw harus ngapain??’ Pandangan ini mengisyaratkan kegamangan sekaligus kekecewaan atas apa yang disaksikannya.
Lain lagi dengan reaksi anak bungsu Raul Lemos yang nyaris melakukan upaya bunuh diri saat melihat adegan tersebut. Menurut ibunya, Silvalay Noor Athalia (Ata), anak tersebut kecewa dan nekad mengambil pisau. “Pertama dia mengambil pisau dan mau menusuk dirinya, namun gagal karena ketahuan sama pembantu saya. setelah gagal dia mencoba loncat dari balkon rumah lalu ketahuan lagi sama pembantu saya,” ujar Ata, istri Raul. Terakhir, lanjutnya, anak tersebut lari ke depan mau menabrakkan diri, tapi tertahan oleh petugas keamanan rumah.
Terlepas dari benar tidaknya keterangan sang ibu –sebab sang ibu masih geram dengan tingkah suaminya--, namun fenomena ini amat menarik bagi para psikolog sebab menunjukkan bagaimana guncangan hati seorang anak menyaksikan ayahnya berciuman dengan perempuan lain. Yang pasti, tayangan tersebut telah memicu reaksi yang positif sebab public langsung mengaitkannya dengan bagaimana sikap seorang anak.
***
Saya kira tantangan terbesar yang mesti kita hadapi di masa mendatang adalah bagaimana membangun benteng kesadaran yang kuat pada semua orang agar menyeleksi semua tayangan media secara efektif. Tanpa proses seleksi, tayangan media bisa menjadi virus yang membahayakan proses berpikir, mempengaruhi proses penilaian atas sesuatu, yang nantinya bisa menyebabkan kita menerima sesuatu yang keliru sebagai sebuah kebenaran. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun media literacy atau gerakan sadar media dan menjadi filter yang efektif atas berbagai tayangan yang tidak mendidik. Bukankah demikian?
Bau-Bau, 23 Juli 2010