Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mendobrak Mitos dalam Sejarah Buton


Benteng Keraton Buton

SEMALAM saya diundang pihak Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) Kota Baubau untuk diskusi tentang pengalaman mencari beasiswa luar negeri. Diskusinya cukup menarik, sebab para mahasiswa itu sangatlah antusias. Seusai diskusi tentang beasiswa, mereka yang hadir lalu mengajak diskusi tentang sejarah Buton.

Para mahasiswa itu bertanya banyak hal tentang sejarah. Saya meladeni mereka berdasarkan pengetahuan saya pada bacaan teks-teks sejarah sebagaimana pernah dibentangkan oleh para peneliti sejarah. Pada setiap diskusi, saya menilai bahwa tidak semua orang mau berpayah-payah membaca teks-teks sebagaimana dibentangkan para peneliti. Makanya, pengetahuan tentang sejarah Buton hanya dimiliki sejumlah orang, sementara kebanyakan orang justru terjebak pada mitos.

Sebenarnya, mitos penting bagi sejarah. Mitos menjadi peta awal untuk menjelaskan banyak hal. Di Buton, mitos seringkali dianggap sebagai sejarah. Mereka yang mempercayai mitos seringkali kelabakan ketika diajak diskusi tentang berbagai literatur yang membahas satu mitos, serta melihat mitos itu dari banyak sisi. Pada titik ini, saya akan mengamini kalimat pendiri sejarah Lord Acton bahwa metodologi amatlah penting agar sejarah tidak terjebak pada subyektivitas mereka yang hendak menuturkannya.

Saya mencatat beberapa masalah yang mendera masyarakat Buton saat membahas sejarah. Di antaranya adalah logika yang selalu melingkar. Dalam banyak kesempatan diskusi tentang sejarah Buton, saya melihat bahwa banyak orang selalu terjebak pada logika yang sama. Banyak orang yang kemudian tidak bisa keluar dari satu informasi. Maksud saya, setiap informasi mesti ditelaah, dianalisis, lalu dibuat penilaian tentang kebenaran informasi tersebut.

Ini adalah proses ilmiah yang seyogyanya dijalani. Di Buton, orang-orang hanya berhenti pada satu pernyataan, tanpa menelusurinya lebih jauh. Idealnya, setiap informasi harus selalu dikonfirmasi, dicarikan bukti-bukti sejarah yang kuat, demi membuat judgement atau penilaian. Dikarenakan

Saya beri contoh. Dalam banyak diskusi, saya selalu mendengar cerita tentang Soekarno yang berasal dari Buton. Sebenarnya, tak masalah dengan informasi apapun. Hanya saja, ketika didesak tentang aspek pembuktian atas informasi tersebut, mereka yang meyakini bahwa Sekarno dari Buton itu tak akan bisa menyodorkan satu keping bukti.

Padahal, pembuktiannya mudah saja. Silakan telusuri dokumen tentang Soekarno, baik yang berasal dari pernyataannnya sendiri, maupun sebagaimana yang ditulis oleh peneliti. Dalam dunia riset sejarah, dokumen memegang peranan sentral sebab menjadi sumber tertulis yang mengkonfirmasikan kebenaran informasi tentang sejarah. Jika tak ada dokumen atas informasi itu, pertanyaannya, kenapa masih meyakini hal yang sama?

Hal yang sama bisa kita terapkan pada isu tentang Ratu Belanda, Wilhelmina, yang katanya berasal dari Buton, serta isu tentang Gajah Mada yang berasal dari Wanci. Ketika ditanya tentang sumber informasinya, rata-rata tidak bisa memberikan data yang kuat. Banyak yang hanya berkata bahwa itu berdasarkan telaah spiritual atau perjumpaan dengan roh. Nah, ini mulai masuk dalam ranah subyektif yang tertutup. Padahal, pengetahuan harus selalu terbuka dan bisa dikritisi dari berbagai sisi.

Pengetahuan dimulai dari satu realitas, baik itu subyektif dan obyektif, yang kemudian mesti danalisis secara terus-menerus demi mengetahui sejauh mana akurasi dari informasi tersebut.

Di akhir diskusi, saya selalu menekankan perlunya untuk belajar metodologi sejarah. Metodologi amatlah penting untuk bisa mengurai mana hal yang faktual, dan mana hal yang fiksional. Memang, metode punya banyak varian, serta bisa menggiring kita pada kesalahan, akan tetapi, metodologi menjaga agar seseorang tetap dalam koridor yang obyektif dan hati-hati dalam membahas sejarah. Melalui metode yang benar, seseorang akan bisa meminimimalisir bias subyektif, demi untuk melahirkan analisis yang lebih jernih dan kuat kebenarannya.

Selain itu, generasi muda Buton untuk menelaah Buton tidak hanya dari tula-tula atau cerita dari masa silam. Mereka harus berani untuk mengurai sejarah dari banyak aspek, termasuk dari literatur yang bersumber di tempat-tempat lain. Mereka yang muda mesti berani melihat Buton dari literatur Bugis, Makassar, ataupun Gowa. Kalau perlu harus berani melihatnya dari naskah-naskah Belanda. Dengan cara melihat dari banyak sisi, maka sejarah itu bisa menjadi lebih obyektif, dan tidak terjebak pada mitos.

Ini hanya telaah awal dari saya yang ditulis sebagai respon usai diskusi sejarah dnegan banyak orang. Mudah-mudahan saya bisa mengurai hal lain pada kesempatan lainnya.(*)


Baubau, 30 Juni 2013


Sekuntum Nasionalisme di Pesawat Garuda


pesawat Garuda di Bandara Ngurah Rai

SETIAP keberangkatan selalu menyimpan beragam kisah. Dua tahun terakhir, saya mencoba berbagai maskapai penerbangan internasional yang dimiliki berbagai negara. Pada setiap perjalanan udara, saya selalu merasakan suasana yang sama dan monoton. Ada keramahan, pelayanan, serta perhatian. Perjalanan itu menjadi biasa dan tak punya greget.

Akan tetapi, saat berkesempatan melakukan perjalanan dengan pesawat Garuda Indonesia, ada sesuatu yang berbeda. Saya merasakan sensasi yang kuat dan menggedor-gedor kesadaran. Batin saya tiba-tiba saja dibasahi rasa haru serta sesuatu yang menggenang di benak kala merasakan segala hal menyangkut Indonesia. Di pesawat Garuda, rasa kebangsaan itu tekun dirawat, disirami hingga mengeluarkan satu kuntum bunga yang semerbak mewangi. Itulah keindonesiaan.

Dua minggu silam, saya berangkat dari Makassar ke Denpasar. Ini perjalanan pertama di tanah air sebab seminggu sebelumnya, saya baru saja kembali dari perantauan di Amerika Serikat (AS) sejak dua tahun terakhir. Biasanya, saya tidak terlalu mempermasalahkan hendak menggunakan maskapai apapun. Semuanya menawarkan konsep yang sama yakni pelayanan yang baik, keramahan, serta perhatian.

Entah kenapa, pihak Oxfam, lembaga internasional yang membiayai keberangkatan ke Denpasar, membelikan tiket pesawat Garuda. Dikarenakan lama tak menaiki Garuda, ekspektasi saya adalah sebagaimana maskapai lainnya. Palingan, naik pesawat, disambut pramugari dengan senyuman, setelah itu pemberitahuan prodesu keselamatan, pembagian makanan, lalu mendarat. That’s it!

Namun, Garuda berbeda dengan semuanya. Pertama masuk pesawat itu, bulu roma saya langsung merinding. Saya mendengar instrumen lagu “Indonesia Tanah Pusaka” yang sedang berkumandang. Mungkin penumpang lain akan menganggapnya biasa. Namun, saya dibekap rasa haru saat membayangkan bahwa tanah air yang selama dua tahun ini.

Setahun silam, saya mendengarkan lagu ini dinyanyikan di Athens, Ohio. Pada saat itu, lagu ini menjadi pembuka acara Indonesia Night yang digelar oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Amerika Serikat (Permias) Athens di negara bagian Ohio, AS. Seorang sahabat asal Cina mengirimkan tautan lagu di negaranya yang ternyata menjiplak lagu Indonesia Pusaka (liputannya DI SINI).

Lagu ini demikian bermakna buat saya yang saat itu di perantauan. Lagu itu mencerminkan tanah air yang demikian luas, kaya, serta amat dirindukan. Setiap mendengar lagu ini, batin saya bergelora. Saya membayangkan betapa indahnya tanah air, serta betapa banyaknya kerja keras yang dibutuhkan untuk membangkitkan negeri.

Usai lagu Indonesia Pusaka, saya kemudian mendengar lagu-lagu lain seperti Rayuan Pulau Kelapa, hingga beberapa lagu karya komponis Ismail Marzuki.

Saat masuk pesawat Garuda, saya bertemu dengan pramugari yang mengenakan kebaya, lalu menyapa dengan senyum terkembang. Mereka berbicara dengan bahasa Inggris yang fasih kepada beberapa teman dari negeri lain. Dan ketika berbahasa Indonesia, saya tidak mendengar kalimat yang diinggris-inggriskan, sebagaimana sering saya dengar dari pramugari maskapai lain. Mungkin, itu dilakukan demi membangun kesan bahwa mereka lebih banyak berbahasa Inggris. Entahlah.
 
pelayanan di pesawat Garuda

Di pesawat Garuda, nasionalisme dirawat dan disirami secara terus-menerus. Saya melihat itu pada jenis makanan yang ditawarkan yakni berupa makanan yang akrab dnegan lidah warga tanah air seperti nasi goreng. Demikian pula pada rasa kopi yang ditawarkan. Saya agak terkejut saat melihat fasilitas hiburan berupa layar di depan kursi. Biasanya, fasilitas ini hanya bisa ditemukan pada penerbangan internasional. Namun, Garuda justru menyediakan fasilitas itu pada penerbangan lokal. Hebat khan?

Dibandingkan dengan maskapai internasional, Garuda adalah maskapai yang menjadi etalase sebuah negeri. Saya pernah menaiki pesawat asal Jepang, Cina, serta Amerika. Etalase bangsa-bangsa itu hanya nampak pada bahasa pengantar, serta jenis makanan. Kalau soal keramahan, saya menganggap bahwa semua maskapai menawarkan hal yang sama.

Sebagai etalase bangsa, maka Garuda memiliki keunikan. Mereka yang menaiki pesawat ini akan bisa measakan bahwa maskapai ini benar-benar bisa menjadi etalase atau jendela untuk melihat keindonesiaan. Itu terlihat pada bahasa, keramahan, budaya, serta pilihan-pilihan hiburan.

Sekuntum Nasionalisme

Pertanyaannya, apakah rasa kebangsaan yang ditawarkan Garuda merupakan sesuatu yang muncul belakangan, ataukah sesuatu yang melekat pada sejarah maskapai ini?

Saya teringat kalau saya pernah mencari informasi tentang ini lewat internet. Kalau tak salah, nama Garuda diberikan oleh Presiden Soekarno yang terinspirasi dari sajak Belanda yang ditulis Noto Soeroto, "Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog bovine uw einladen." Sajak ini berarti “Saya Garuda, burung Vishnu yang melebarkan sayapnya tinggi di atas kepulauan Anda”.

Sejarah Garuda adalah sejarah tentang kuntum-kuntum optimisme anak negeri yang hendak membangun jembatan untuk menghubungkan beribu pulau di tanah air. Sejarah Garuda juga beriringan dengan tahap-tahap penting perjalanan bangsa ini.

Salah satu kisah yang membuat saya merinding adalah ketika masyarakat Aceh mengumpulkan uang, lalu menyerahkan pesawat Seulawah RI-001 kepada pemerintah RI di tahun 1948. Saya membayangkan ketulusan, keikhlasan, serta semangat untuk bahu-membahu demi tegaknya sebuah negeri. Ketulisan itulah yang kemudian menjadi dasar untuk mendirikan maskapai yang kemudian merawat nasionalisme.

senyum pesawat Garuda

Di masa kini, saya menumpang pesawat Garuda untuk mengunjungi beberapa tempat di tanah air. Pada setiap perjalanan itu, nasionalisme saya selalu tumbuh. Saya membayangkan rasa keikhlasan, ketulusan, serta jati diri bangsa yang terus tumbuh dan mekar seiring waktu.

Pantas saja, jika maskapai ini telah memenangkan demikian banyak penghargaan bergengsi di bidang penerbangan. Saya melihatnya sebagai jejakjejak dari proses membumikan identitas keindonesiaan yang luhur ke dalam spirit masa kini yang dinamis dan kreatif. Jika pembumian itu dilakukan secara terus-menerus dan kontinyu, saya yakin nasionalisme akan terus tumbuh, hingga pada suatu saat akan mekar dan memancarkan aroma yang semerbak mewangi. Pada titik itu, Garuda telah sukses menyebarkan aroma dan warna kebangsaan.

Saya sedang memikirkan makna keindonesiaan di atas pesawat Garuda. Tiba-tiba saja, ada sentuhan lembut di bahu saya. Seorang perempuan berbaju kebaya tiba-tiba saja menyapa dengan senyum termanis, “Pesawat sudah mau mendarat. Saatnya menegakkan sandaran kursi.”



Baubau, 28 Juni 2013


Bahagia di Tengah Duka


SEORANG sahabat sedang bersedih. Belum 100 hari, salah seorang terdekatnya meninggal dunia. Kemarin, ibunya juga ikut meninggal. Ketika bertemu dengannya, ia lalu menyampaikan kesedihannya sembari bertanya, dosa apa yang pernah saya lakukan hingga ditimpa kemalangan bertubi-tubi?

Saya sempat terdiam ketika mendapatkan pertanyaan itu. Bagi sebagian besar masyarakat kita, kematian selalu dilihat sebagai kemalangan atau musibah. Kepergian seseorang yang terdekat dianggap meninggalkan kesedihan yang kadang membuat kita larut. Kehidupan lalu jalan di tempat. Kita sering kehilangan gairah dan semangat hidup. Tiba-tiba saja, kehidupan serupa permainan yang kehilangan greget. Kehidupan jadi tak menarik.

Pertanyaannya, mengapa kematian sering disebut sebagai musibah atau kemalangan?

Ini adalah soal sudut pandang atau perspektif. Ketika mengambil kelas etnografi di bawah bimbingan Prof Gene Ammarell, saya pernah ikut membahas ini dengan beberapa teman mahasiswa Amerika. Ammarell menceritakan tentang peristiwa kematian, dan meminta mahasiswa untuk mengemukakan opininya. Saya lalu mendengar banyak jawaban yang mengejutkan.

Seorang mahasiswi berkulit hitam mengatakan, “Saya tak pernah paham mengapa harus menangisi kematian. Menurut saya, itu peristiwa yang biasa saja, sebagaimana kelahiran. Mengapa harus bersedih? Apakah kesedihan itu akan bisa membangkitkan hidup seseorang?”

Seorang mahasiswa berambut pirang ikut berkomentar. “Saya terheran-heran melihat orang mengirimkan bunga kepada keluarga yang ditinggalkan dengan ucapan jangan bersedih. Padahal, mestinya kematian itu harus disambut dengan gembira, sebab kematian telah membebaskan seseorang dari segala penyakit, derita, serta luka-luka kehidupan.”

Dua komentar ini sangat menarik sebab menunjukkan cara pandang atas kematian. Banyak warga Amerika, khususnya generasi yang lebih muda, berpandangan demikian. Banyak yang melihat kehidupan dan kematian sebagai siklus yang selalu hadir dalam kehidupan. Peristiwa itu dilihat sebagai kemestian yang kelak akan merenggut jiwa semua orang.

Banyak yang tak ingin menganggapnya sebagai musibah. Sebab peristiwa itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja serta pada siapa saja. Kematian adalah sisi lain kehidupan. Akan tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa duka adalah hal yang wajar sebab seseorang yang mengalami kematian adalah seseorang yang sangat dekat dengan diri. Kematian itu telah merenggut kedekatan yang sudah dibina sekian tahun.

Hanya saja, muncul pertanyaan, sampai kapankah seseorang harus tenggelam dalam kedukaan?

Di tengah perdebatan itu, saya sendiri memilih untuk berada di titik tengah. Kedukaan itu penting sebab membuat kita mengingat hal-hal baik pada seseorang. Ketika mengurai kedukaan itu, kita sedang mengungkapkan hal-hal baik yang sekiranya bisa menjadi teladan untuk mengurai kedukaan. Melalui kedukaan itu penting sebab bisa membuat kita menghargai kehidupan.

Akan tetapi, kesedihan tak harus menelan seseorang hingga kehilangan masa kini. Barangkali, kesedihan hanya perlu dirasakan selama beberapa detik, selanjutnya seseorang harus bergegas untuk memperkaya kehidupan di masa kini. Larut dalam kedukaan bukanlah hal yang baik sebab membuat kita kehilangan hal-hal bahagia di masa kini.

Saya pernah mengenal seorang biksu. Ia selalu mengajarkan untuk melepaskan segala duka dan derita. Konsep tentang pelepasan duka ini selalu diingatkannya dalam segala perjumpaan. Katanya, keterikatan atau kemelakatan atas sesuatu menjadi awal dari duka. Kita sering terikat pada harta sehingga membuat kita terjebak pada lomba pencarian harta. Kita sering pula terikat pada sesuatu yang sangat kita sayangi, sehingga membuat kita mati-matian untuk mempertahankannya.

Kata sang biksu, ketika kita kehilangan sesuatu yang membuat kita terikat, saat itulah kita mengaami duka atau kesedihan. Ketika seseorang ingin kaya, akan tetapi hidupnya miskin. Saat itulah ia merasakan derita. Cara pandangnya tentang kehidupan sekarang tidaklah sesuai dengan apa yang hendak dikerjannya. Demikian pula ketika seseorang melekatkan dirinya pada cara pandang orang lain. Ketika orang lain melihatnya sebelah mata, ia akan merasakan duka atau derita.

Yang terbaik adalah melepaskan diri kita dari segala hal-hal yang menghadirkan derita. Yang terbaik adalah memerdekakan diri dari hal-hal yang akan membuat kita terpuruk. Kita harus berani menjadi diri kita yang biasa-biasa, demi untuk menemukan pembebasan atas banyak hal.

Untuk itu, kita mesti mengubah cara pandang dalam melihat duka. Tak harus menghadapinya dengan sedih, namun dengan sikap menghargai kematian, serta sikap untuk menghargai kehidupan. Ketika kita selalu menyerap hikmah atas semua kejadian, maka kehidupan akan menjadi lebih bermakna dan membahagiakan.


Baubau, 28 Juni 2013


Ara, Laut, dan Cerita Masa Depan


 
Ara dan mama di Pantai Nirwana, Baubau

KETIKA tiba di tepi laut, ia langsung melonjak kegirangan. Ia berlari di pasir pantai yang berwarna putih demi untuk menggapai laut  biru yang sewarna dengan langit. Ia berteriak dengan kegembiraan yang tiada tara. Ia memandangi saya dengan bahagia yang jarang saya  yang saya saksikan.

Saya sedang membicarakan Ara, bocah kecil berusia hampir dua tahun. Ia sedang tergila-gila dengan pantai, pasir putih, dan langit biru. Entah, apakah ia paham bahwa dalam dirinya mengalir darah para pelaut, yang pasti, setiap kali melihat lautan, ia akan melonjak kegirangan. Ia akan ngotot untuk segera memijak pasir putih, berlari-lari di pasir halus, kemudian menanti deburan ombak di pesisir. Maklumlah, ia memang baru belakangan ini melihat laut.

Setiap tempat selalu memiliki dinamikanya masing-masing. Sewaktu di Athens, Ara hanya menyaksikan Lake Snowden yang tak seberapa luas, dengan lumpur serta pasir hitam. Sebagaimana Ara, saya pun belum pernah melihat ada yang mandi di danau itu. Biasanya, hanya sejumlah orang yang bermain kayak.

Namun, di Athens, danau-danau dikelola dengan sangat baik. Sekitar danau dibersihkan dipasangi segala properti dan infrastruktur publik seperti toilet, tempat duduk, serta sebuah dermaga kecil tempat menambatkan perahu.

Di sini, di Pantai Nirwana, Baubau, pantai tak ditata. Di tepinya, terdapat banyak pemukiman liar dari warga yang mengklaim pantai sebagai tanahnya. Saya melihat banyak dangau yang dibangun secara asal dan mengabaikan estetika. Tepi pantai adalah kawasan yang kumuh dan minim penanganan.

Ara digendong Uncle Erick di Lake Snowden, Athens, Ohio
 
Ara and mom di Pantai Nirwana, Baubau
Pantai Nirwana di Baubau
smile daddy...

Padahal, pantainya serupa surga yang tiba-tiba saja jatuh ke bumi. Pantai ini sukses memikat anak saya Ara yang kemudian melompat kegirangan. Ketika melihat ombak mendekat, ia akan histeris sambil melompat ke air. Saya ikut bahagia menyaksikan eksersinya yang baru pertama melihat pantai.

Melihat kegirangannya, saya tiba-tiba saja membatin. Selamat datang Nak! Selamat datang di rumahmu yang sesungguhnya. Kita adalah generasi yang terlahir dari para pelaut-pelaut yang memandang ombak sebagai sahabat. Gelombang dan samudera itu tak akan pernah menghalangi laju perahu kita. Gelombang itu akan menuntun kita untuk menemukan kematangan.

Pada akhirnya saya menyadari bahwa laut dan segala semestanya adalah rumah buat kami semua. Mungkin, pada masa mendatang, Ara akan bersahabat dengan laut, sebagaimana nenek moyang kami di pulau kecil ini. Dan kelak laut pula yang akan bercerita tentang sejauh mana perjalanan Ara berlayar di samudera kehidupan.(*)

Baubau, 26 Juni 2013


Orang Buton dan Haroa yang Membentang Harapan


seorang lebe sedang membaca doa

SEMALAM adalah Nifsyu Sya’ban. Entah sejak kapan dimulai, keluarga kami selalu mengadakan haroa untuk memperingati malam itu. Seluruh anggota keluarga dan tetangga akan diundang untuk duduk bersama demi membaca surah Yasin, seta beberapa doa keselamatan. Melalui haroa, kami merayakan hari besar Islam, kemudian makan bersama.

Haroa adalah jantung dari segala ritual orang Buton. Pada setiap hari besar Islam, pada setiap kegembiraan dan kesedihan, pada setiap menyatakan syukur, dan pada saat membutuhkan kekuatan atas kemalangan, orang-orang Buton akan menggelar haroa. Mereka akan duduk bersama, menyediakan makanan sebagai pelengkap ritual, serta ada seoang lebe (pembaca doa) yang akan merapalkan beberapa ayat Al Quran.

Saya akrab benar dengan tradisi ini sebab tidak hanya dilakukan saat hari besar Islam. Dulu, ketika saya sakit, keluarga selalu menggelar haroa. Ketika saya sembuh, keluarga juga menggelar haroa. Ketika saya lulus ujian, haroa juga gelar. Bahkan ketika saya hendak merantau ke negeri Paman Sam, keluarga juga menggelar haroa. Itu baru saya. Semua anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hitung saja, berapa kali haroa dilakukan.

Melalui haroa, ada semacam pembaruan identitas yang dilakukan secara terus-menerus. Saya menyadari identitas sebagai orang Buton melalui haroa. Saya disadarkan setiap saat bahwa pada setiap momen apapun, doa harus tetap dilepaskan ke langit demi mendapatkan berkah serta payung awan saat menghadapi segala persoalan. Bagi saya, haroa selalu membawa kebaikan bagi yang melakukannya.

Anehnya, saat membuka jejaring sosial, ada saja pendapat berbeda. Ada saja yang mengatakan tradisi ini bid’ah. Malah, ada yang mengemukakan dalil tentang tak perlunya haroa. Bahkan ketika kami berdoa untuk menyambut nifsyu sya’ban, ada saja yang protes dan mengemukakan berbagai hadis-hadis tentang tak perlunya hari itu dirayakan.

isi talang haroa

Meskipun saya tahu bahwa dalil-dalil agama itu penting, saya ingin melihatnya dari sisi lain. Saya melihat makna sosial serta psikologis dari haroa. Bukankah duduk bersama lalu berdoa kemudian makan-makan adalah sesuatu yang amat bermakna dari sisi sosial dan psikologis? Bukankah berdoa adalah aktivitas positif yang bisa dilakukan kapan saja demi sesuatu yang menyejukkan jiwa? Lantas, kenapa pula hendak melarang seseorang atau satu keluarga yang hendak duduk bersama lalu berdoa?

Saya percaya bahwa penguasa langit tak sepicik manusia yang sibuk memperdebatkan ritual serta cara memulai ibadah. Saya percaya bahwa Yang Kuasa akan selalu memperhitungkan setiap tetes dari keringat mereka yang berusaha mengingat-Nya, dan setiap kata yang terpancar dari bibir mereka yang hendak megingat-Nya. Bahwa pada setiap aktivitas yang positif dan menguatkan harapan, langit akan selalu melapangkan jalan untuk kebaikan tersebut.

Di luar dari debat tentang dalil itu, saya menangkap sebuah makna. Bahwa tradisi adalah sebuah kekuatan yang menjaga buhul atau ikatan sebuah komunitas. Lewat tradisi itu, sebuah komunitas senantiasa menjaga jaringan, menguatkan identitas kelompok, sekaligus membangun optimisme bersama bahwa setiap tindakan akan selalu membawa pengaruh bagi kosmos. Ketika melakukan sesuatu dengan penuh harapan dan optimisme, maka jalan terang akan senantiasa hadir di hadapan kita. Dan haroa adalah ritual yang selalu membentangkan harapan tersebut.

Pada titik ini, saya bangga menjadi seorang Buton.


Baubau, 24 Juni 2013


BACA JUGA:






Lelaki di Balik Istana


ilustrasi

LELAKI itu bertubuh tambun. Wajahnya legam karena dibakar matahari. Usianya sekitar 50-an. Penampilannya seperti seorang pekerja kasar. Tak ada sesuatu yang istimewa dari dirinya. Namun saat saya berkunjung ke rumahnya, saya dibuat tercengang. Rumahnya serupa istana tiga lantai dengan air-air mancur di dalamnya.

Kemarin, pria itu mengajak saya untuk makan siang di rumahnya yang serupa istana di Baubau. Ia ingin mengenal lebih dekat sembari menunjukkan rumahnya. Ia tak hendak menyombongkan diri. Ia hanya ingin kami saling mengenal. Hanya saja, saya tak bisa menutupi kekaguman ini. Di balik penampilan yang biasa itu, terdapat kekayaan yang sukar saya kira. Ia seorang pebisnis handal yang bisa mengubah sampah menjadi emas.

Bisnisnya memang berkaitan dengan sampah. Ia mendaur ulang sampah, kemudian menjualnya kembali. Ia juga membeli besi-besi tua untuk kemudian dipasarkan ke jaringannya di beberapa kota besar. Pernah sekali saya melihat kantor atau tempatnya bekerja yang serupa gudang berisikan sampah. Sungguh saya tak menyangka kalau omzetnya bisa miliaran. Lewat bisnis itu, ia bisa demikian berjaya.

Pertemuan dengan pria itu membersitkan beberapa mata air inspirasi. Tak perlu bersekolah tinggi demi menggapai kekayaan. Tak perlu analisis yang canggih-canggih demi mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Yang terpenting adalah keberanian serta sikap tahan banting saat memulai usaha. Yang juga penting adalah semangat berusaha serta berjalan lurus di atas satu track atau lintasan.

Saat melihat rumahnya yang mewah, saya sempat berkata kalau rumah itu cocok dijadikan hotel, atau minimal tempat suting sinetron. Ternyata, ia punya rencana untuk dijadikan hotel. Apalagi ia telah membeli tanah luas di depan rumahnya untuk dijadikan lahan parkir. Sempat saya menyelutuk, “Bisa-bisa ini akan jadi pesaing hotel besar kepunyaan pedagang keturunan Tionghoa di sudut jalan sana.”

Ia menjawab dengan kalimat yang bikin saya makin kagum. “Tidak mungkin saya mengambil rezekinya. Dia juga tidak mungkin mengambil rezekiku. Tuhan menurunkan rezeki kami masing-masing sesuai takarannya.”

Saya mendapat satu lagi rahasia untuk kaya. Yakni religiusitas serta keyakinan bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik untuk semua orang.


Baubau, 23 Juni 2013

Politik di Mata Tukang Becak di Ujung Jalan Sana


DI mana-mana orang bicara politik. Media massa selalu membahas politik. Para menteri dan politisi tak henti membahas politik. Bahkan tukang becak dan tukang cukur di tepi jalan di dekat pohon beringin sana juga ikut-ikutan membahas politik. Wake up man! Apakah kita bisa mengesampingkan diskusi politik barang sejenak?

Kata banyak orang, politik itu baik, sepanjang diarahkan untuk menyempurnakan kehidupan manusia. Akan tetapi di sini, politik mengalami penciutan makna. Politik adalah kursi serta kekuasaan. Semua ingin mencari kursi, posisi, serta kedudukan. Semua ingin memiliki kekuasaan di tangan, lalu bertarung demi kekuasaan itu untuk menggapai kemenangan, lalu bangga dengan segala pencapaian.

Mengapa tukang becak di tepi jalan sana ikut membahas politik? Sebab mereka berpikir pragmatis untuk mendapatkan sesuatu di balik wacana politik. Para politisi adalah mahluk yang paling gampang dibodohi. Temui saja dan katakan jika kamu pendukungnya, pasti senyumnya akan melebar. Meskipun beberapa jam setelah itu, dia akan mengklaim kamu sebagai pengikutnya. Tak mengapa, yang penting uang mengucur, demikian kata mereka yang mengayuh becak di ujung jalan sana.

Politik laksana virus yang menyebar, lalu membelit semua orang. Ada yang untung, dan ada yang remuk. Ada yang bahagia, dan ada yang terpuruk. Yang pasti, tukang becak dan tukang cukur di sana akan selalu untung. Mereka bisa berada di mana-mana, bermain di mana-mana, lalu memperdayai banyak politisi.

Saat Asmirandah di Kebun Makassar



aktivitas Makassar Berkebun (foto: Dg Gassing)

SEBUAH pesan terkirim melalui situs jejaring sosial. Pesan itu bertuliskan, “Kangen Asmirandah. Dia butuh dibelai, disayangi, dan diberi minum.” Bagi yang tak paham konteks akan mengira bahwa Asmirandah yang dimaksud adalah seorang pesinetron jelita dan seksi yang namanya tengah naik daun. Sejatinya, Asmirandah adalah nama sebuah tanaman kebun yang ditanam seorang siswa sekolah dasar (SD). What?

Siswa itu memang kreatif. Ia memberikan nama pada setiap jenis tanaman pada kebun yang ditanaminya sendiri. Ia memperlakukan semua tanaman sebagaimana layaknya boneka, yang sering dibelai, dicium, hingga panen menjelang. Jangan terkejut. Siswa itu tidak tinggal di kawasan pedesaan. Ia berumah di jantung kota Makassar, di tengah-tengah pemukiman padat.

Belakangan ini, beberapa siswa sebuah sekolah yang cukup ternama di kota Makassar ikut dalam gerakan Makassar Berkebun yang mengagas berkebun di tengah kota (urban farming). Gerakan sosial yang melibatkan banyak orang ini digagas oleh sejumlah anak muda yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan serta ingin membantu menyelamatkan bumi dengan cara-cara sederhana. Mereka melakukan langkah-langkah kecil yang bermakna. Mereka mengisi masa muda dengan memberikan aura positif bagi lingkungan sekitar.

Saya mendengar langsung cerita tentang “Asmirandah” dari Syva Fauzia, penggiat Makassar Berkebun. Ia mengisahkan Asmirandah saat memberikan presentasi tentang Makassar berkebun pada acara yang digagas Oxfam di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa waktu lalu. Dara lajang berusia 21 tahun ini membagi pengalamannya saat ikut dalam gerakan ini, kemudian mengampanyekannya kepada banyak orang.

Syva dan gerakan Makassar Berkebun adalah oasis dari gambaran tentang mahasiswa Makassar yang garang saat berdemonstrasi. Selama ini publik tanah air melihat mahasiswa di kota Anging Mammiri identik dengan tawuran atau perkelahian antar fakultas. Di tengah wacana kenaikan harga BBM, mahasiswa Makassar tampil pada garda terdepan, dengan mengenakan jas almamater, lalu menyandera truk demi untuk dijadikan panggung orasi atau dipakai konvoi.

aktivitas berkebun
Syva Fauziah

Tanpa disadarinya, Syva menunjukkan bahwa di tengah aksi mahasiswa Makassar yang cenderung anarkis, terdapat pula embun kesejukan lewat mereka yang melakukan hal-hal sederhana namun bermakna bagi lingkungan. Gerakan ini menjadi cermin bagi banyak orang bahwa tidak semua mahasiswa Makassar melakukan aksi anarkis seperti tutup jalan, menyandera mobil tronton, atau membakar motor warga yang melintas.

Demi menyuarakan aspirasi, banyak mahasiswa yang melakukan hal-hal kreatif sebagaimana Syva dan kawan-kawannya di Gerakan Makassar Berkebun. Bersama jejaring sosial lainnya, mereka berusaha menampilkan citra Makassar

Sayangnya, aktivitas ini masih sebatas hobi. Aktivitas ini belum berkembang menjadi aktivitas yang kemudian menyebar di semua warga kota. Aspek edukasi dan penyaluran hobi masih dominan di prgram ini. Sementara asek ekonomi masih terabaikan. Pantas saja jika Syva kemudian memperluas wawasan dengan cara menemui berbagai kota yang juga aktif dalam gerakan berkebun.

***

DI Kupang, Syva belajar pada sekelompok anak muda yang membuat gerakan Kupang Berkebun. Ia kemudian berdiskusi pada anak muda yang tergabung dalam kelompok Pikul, yang merupakan singkatan dari Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal.

Saya beruntung karena ikut bersama Syva dalam proses pembelajaran di kelompok Pikul. Salah seorang penggiat Pikul, Pantoro Tri Kuswardono, menjelaskan bahwa lahan kering serta terbatasnya lahan di Kota Kupang adalah tantangan yang mesti ditaklukan. “Makanya, kami sengaja membuat gerakan ini demi untuk memenuhi kebutuhan warga kota akan sayuran segar yang dipetik dari lahan sendiri. Kami ingin memberikan kontribusi pada kemandirian warga,” katanya di Kupang.

Senada dengan Pantoro, fasilitator lainnya Barnabas Bora Haingu mengajak kami semua mengunjungi kebun yang dibuatnya sendiri. Saya melihat bahwa kebun ini memanfaatkan benda-benda yang saban hari sering menjadi sampah di kota-kota, seperti gelas aqua, ban bekas, ataupun pipa paralon. Bahan-bahan itu udah ditemukan, dan bisa dimaksimalkan untuk membuat sebuah kebun kota.

tanaman di kebun yang dikelola PIKUL
presentasi tentang gerakan Kupang Berkebun

Saat menyaksikan presentasi serta melihat langsung kebun kota di Kupang, mata saya terbuka lebih lebar. Betapa tidak, anak-anak muda di Kupang ini menjadikan aktivitas berkebun sebagai gerakan sosial yang menyentuh banyak warga kota.Mereka menyiasati ketiadaan lahan dengan berbagai cara kreatif. Bahkan ketika hanya tersedia tembok, mereka bisa menyiasatinya dengan membuat wadah untuk menanam di tembok tersebut.

Kelompok Pikul juga melatih para pendamping yang akan mengajari warga. Materi yang diajarkan adalah pendekatan berbasis aset (Asset Based Approach), Penyelidikan Apresiatif (appreciative Inquiry), teknik fasilitasi, dan dasar-dasar teknik pertanian kota seperti teknik vertikultur dan modifikasinya, penerapan teknik bertani yang hemat tempat dan air serta teknik perawatan bebas pestisida yang selaras alam.

Mimpi besar yang mereka bangun adalah membanun kemandirian. Mimpi itu bermuara pada keinginan untuk melihat warga Kupang yang tidak tergantung pada berbagai produk sayuran yang didatangkan dari luar. Dengan mengembangkan perkebunan dalam kota, warga kota bisa memenuhi kebutuhannya akan sayuran segar serta menyehatkan. Mereka berkontribusi pada upaya menjaga kesehatan warga, membangun ketahanan pangan di rumah tangga, serta merawat bumi agar tetap subur dan memberikan kesegaran bagi lingkungan.

***

BAGI sebagian orang, gerakan Makassar Berkebun dan Kupag Berkebun adalah hal yang sederhana. Akan tetapi saya melihat bahwa anak-anak muda ini memiliki visi besar, idealisme, serta langkah-langkah kecil untuk menggapai mimpinya. Ada ribuan anak muda di sekitar kita yang justru menyerah pada keadaan dan tak tahu hendak berbuat apa. Ada banyak anak-anak muda ini hanya bisa mengeluh dan menyalahkan banyak orang atau pemerintah di sekitarnya.

Sementara sahabat-sahabat inspiratif di Makassar dan Kupang telah mengetuk kesadaran banyak orang bahwa terdapat banyak hal besar yang bisa dicapai, sepanjang kita memiliki hasrat untuk menggapainya setapak demi setapak.

Saat bertemu anak-anak muda itu di Kupang, saya memikirkan ulang rumusan sederhana Ideas + Actions = Change. Setiap perubahan selalu dimulai dari gagasan-gagasan yang kemudian berkembang secara terus-menerus. Gagasan ibarat sebuah tanaman rambat yang akan terus bergerak ketika terus disirami dan diperkaya dengan tindakan-tindakan (actions) kecil yang bermakna.

Tanpa tindakan, maka gagasan akan kehilangan daya hidup hingga akhirnya meranggas dan mati perlahan. Namun ketika gagasan itu diperkaya dengan tindakan sederhana yang kemudian menyebar menjadi sebuah gerakan sosial, maka perubahan akan terjadi.

Gagasan anak muda di Makassar dan Kupang itu tengah diuji dan dimatangkan oleh sejarah. Mungkin saja gagasan itu akan menyebar dan membuat perubahan besar. Mungkin pula gagasan itu akan berhenti di jalan sebab kehilangan daya kejut serta inspirasi. Akan tetapi, anak-anak muda itu telah melakukan sesuatu. Mereka telah mengajarkan bahwa langkah-langkah kecil untuk kebaikan adalah jauh lebih bermakna ketimbang sekadar mengeluarkan sumpah serapah atas keadaan.

Mereka seolah mengiyakan kembali ajaran Bunda Theresa bahwa ketimbang mengutuk kegelapan, jauh lebih baik jika kita menyalakan sebatang lilin.



Baubau, 20 Juni 2013

Belajar Hidup Melalui Samurai X



PEDANG itu adalah sebuah sakabato, pedang tumpul yang bilah sebelah dalamnya justru tajam. Dalam satu pertempuran, pedang itu tak mungkin membunuh siapapun. Pemiliknya, Kenshin Himura, seorang samurai yang bersumpah tak ingin membunuh siapapun. Ia mengundurkan diri dari dunia pertarungan berpedang setelah menjadi yang terkuat. Atas alasan itu para pendekar berusaha untuk menemukannya demi menjadi yang terkuat.

Selama beberapa hari ini, saya kembali memperbarui ingatan saya pada serial animasi Rurouni Kenshin, yang di Indonesia bernama Samurai X.  Saya menyaksikan ulang tayangan asal Jepang ini. Pada setiap episode, saya selalu menemukan satu kalimat filosofis yang semakin menunjukkan kematangan Kenshin. Mungkin, alasan inilah yang menjadikannya sebagai samurai tanpa tanding. Ia bisa menggabungkan antara api keperkasaan dan embun kebijaksanaan dalam setiap nadi pertarungan.

Dari semua kartun yang saya saksikan, Samurai X adalah salah satu yang terbaik. Sebagai penonton, saya tidak saja disuguhkan kisah yang dramatis tentang seorang battousai atau pengawal revolusi pada era Kaisar Meiji yang dikenal sebagai pembantai mereka yang anti-perubahan, namun juga kisah tentang kesederhanaan serta komitmen untuk meninggalkan dunia pertarungan lalu menjadi orang biasa.

Bagian ketika Kenshin memilih jadi orang biasa ini adalah bagian paling menarik. Ia serupa seorang berilmu yang tak ingin pamer atau mengejar kekayaan. Ketika melebur sebagai orang biasa, ia seolah bersetuju dengan konsep ‘bunuh diri kelas’ dan menjadikan pengetahuannya sebagai jalan pembebasan bagi yang lain. Dengan cara ini, Kenshin tak ingin terjebak pada kemegahan dunia.

Ia memilih menjadi pengasuh dua anak kecil, serta menjagai sebuah dojo atau tempat latihan beladiri yang dimiliki seorang perempuan muda Kaoru. Di situ, tinggal pula Yahiko, seorang remaja yang belajar bela diri, serta Sagara Sanosuke, seorang petarung yang pernah dikalahkan Kenshin.

Lucunya, dalam keadaan normal, Kenshin menjadi sasaran olok-olok serta sosok yang selalu dikerjain oleh anak-anak kecil ataupun oleh Yahiko atau Kaoru. Ia menyediakan dirinya sebagai sasaran tinju atau ledekan dari banyak orang di skeitar. Ia mendekonstruksi makna samurai dengan cara menolak penghormatan. Ia ingin hidup sebagai seorag biasa yang juga menjalani hari sebagaimana warga biasa lainnya.

Akan tetapi, di saat kehormatan orang terdekatnya terancam, ia akan menjelma sebagai petarung ulung. Ia akan membela habis-habisan dan meladeni siapapun yang hendak menyakiti orag lain. Dalam setiap pertempuran itu, ia menolak unuk membunuh. Ia hanya melumpuhkan, demi menunjukkan bahwa tujuan akhir pertarungan bukanlah menang-kalah, melainkan tetes-tetes hikmah yang bisa diserap demi memperkaya kehidupan.

Kenshin dalam versi film

Saya sangat menikmati serial kartun ini. Saya seolah melihat Kenshin sebagai representasi dari mereka yang berilmu tinggi, namun menolak kemapanan. Biasanya, seorang pandai memilih jadi warga kelas atas, menggunakan ilmu pengetahuannya untuk memapankan struktur kelas berkuasa, lalu menjadi intelektual mekanis, yang bekerja demi pundi-pundi kekayaan.

Sungguh amat langka melihat mereka yang memilih jadi warga biasa, namun sesekali berbuat luar biasa. Di zaman yang kian materialis ini, para intelektual tunduk pada cara berpikir orang awam yang selalu lebih suka melihat apa yang tampak, ketimbang kualitas pada dri orang lain.

Pantas saja, demi mengejar pundi-pundi kekayaan itu, para intelektual lalu melacurkan diri dan menjadi jongos pemerintah berkuasa, atau kuli dari para pebisnis. Para intelektual kehilangan api atau cara hidup bersama warga biasa sebab terlanjur mengidentifikasikan dirinya sebagai orang hebat yang harus dipelakukan hebat pula.

Kisah Samurai X memberikan pelajaran yang amat berharga. Seyogyanya, ilmu pengetahuan harus selalu menjadi cahaya yang menuntun orang banyak untuk menemukan jalan keluar dari gelapnya kehidupan. Intelektual harus jadi matahari yang senantiasa mengirimkan cahaya kepada bumi, dan tak pernah meminta balasan. Seyogyanya, para intelektual harus menjadi humble, sebagaimana sosok Kenshin Himura yang memilih jadi orang biasa.

Demikian tetes makna yang saya serap dari serial Samurai X.


Baubau, 18 Juni 2013