Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Matinya Tabloid BOLA, Matinya KREATIVITAS


BERITA itu datang serupa petir yang menyambar di siang bolong. Tabloid Bola yang dahulu selalu menjadi rujukan ketika hendak mengetahui informasi tentang bola tak lama lagi akan tutup. Tak ada lagi logo Bola di lapak koran dan majalah. Tak ada lagi kartun Si Gundul di pinggir jalan. 

Saya punya banyak kenangan terhadap media ini. Dahulu, hampir setiap Selasa dan Jumat, saya membeli majalah ini di lapak-lapak yang ada di pintu dua, kampus Unhas, Makassar. 

Tak lengkap menonton pertandingan bola jika tidak membaca ulasan dari media ini. Saya masih mengingat beberapa nama yang sering saya kutip, di antaranya Sumohadi Marsis, Ian Situmorang, dan Wesley Hutagalung. Di banyak lapak warung kopi, sering saya temukan analisis kawan-kawan tentang bola, yang sumbernya adalah analisis para jurnalis Bola.



Saya juga masih terkenang dengan poster-poster tim kesayangan yang selalu ditempel di dinding kos-kosan mahasiswa. Saya juga ingat diksi yang khas media ini sebagai judul besar di halaman depan. Selalu ada rima yang khas. Misalnya: Beban Boban, Nestapa Nesta.

Setelah pertama terbit tahun 1984, akhirnya media yang dulu menjadi trendsetter dari semua media olahraga itu akan mengakhiri perjalanannya di dunia cetak. Bola akan menambah deretan media cetak yang telah lama berakhir, di antaranya adalah majalah Hai, koran Sinar Harapan, harian Terbit,  dan banyak lagi.

Pertanyaannya mengapa Bola harus tumbang? Banyak kalangan yang dengan mudahnya mengatakan bahwa penetrasi media online perlahan meminggirkan media cetak. Bola dianggap gagal mengantisipasi perubahan zaman sehingga ketika masuk era smartphone, media ini kehilangan pembacanya.

Tapi saya tak mau ikut-ikutan dengan analisis itu. Sebab bagi saya, itu sama dengan menyederhanakan persoalan. Jurnalisme adalah dunia yang selalu bergerak dan fleksibel. Setiap perubahan selalu diketahui lebih dahulu oleh para jurnalis dan media-media. Mustahil mereka tidak tahu tentang perubahan yang perlahan menggerus zaman.
Menurut seorang kawan jurnalis, Bola adalah media yang paling cepat mengikuti perubahan. Setiap ada gadget terbaru, maka para jurnalis Bola yang selalu lebih dulu memilikinya. Setiap pertandingan luar negeri, Bola selalu mengutus jurnalis untuk meliput dan bercerita dari tepi lapangan.

Bagi saya, matinya satu media disebabkan perasaan jumawa dan sikap mapan para pengelolanya. Pada satu masa, Bola pernah besar dan berjaya, selanjutnya tidak melakukan transformasi lagi. Media ini bertahan dengan pola lama sebab meyakini pola lama itu sukses membuat mereka pada titik kejayaan. 

Media ini terjebak pada sikap pongah bahwa pembaca akan selalu mengikuti mereka ke mana pun hendak bergerak. Pengelola dan jurnalisnya pernah menemukan satu style menulis yang kemudian jadi trendsetter selama beberapa dekade, sehingga merasa mapan dan tidak mau mengubahnya. Sebagai pemain besar, mereka pikir semua media harusnya mengikuti mereka. 

Padahal zaman terus bergulir. Pemain mapan perlahan digeser oleh anak kemarin sore yang bergerak gesit dan lincah. Kegagalan Bola adalah kegagalan untuk melakukan transformasi dan refleksi sebab terlanjur merasa besar dan mapan. Kegagalan Bola adalah kegagalan untuk melakukan inovasi di tengah menjamurnya media sehingga perlahan menjadi gajah bengkak yang susah berjalan. 

Sebagai pembaca Bola, saya mengikuti media ini hingga akhir tahun 1990-an. Pada awal tahun 2000-an, saya sudah tidak membaca Bola. Sebab saat itu, koran-koran lokal di Makassar menyajikan informasi tentang Bola dalam format sisipan hingga beberapa lembar setiap hari. 

Dari pada menunggu tabloid Bola yang hanya terbit dua kali seminggu, mending saya membaca koran lokal yang setiap hari punya sisipan berita bola yang lengkap. Membaca koran lokal lebih lengkap sebab ada informasi lokal, informasi nasional, juga informasi olahraga dalam format sisipan yang lengkap setiap hari. Ditambah lagi, murah pula.

Ada juga sisi lain. Dua hari lalu, saya bersua dengan seorang kawan yang kini menjadi petinggi di satu lini perusahaan miliki Gramedia. Dia bercerita bahwa alarm kematian Bola itu sudah berlangsung lama, ketika media itu mulai merumahkan para jurnalis seniornya.

Kawan itu pernah diundang Bola untuk melakukan sharing tentang media. Dia mengkritik Bola yang terlalu mapan dan tidak melakukan transformasi diri sejak lama. Yang terjadi, kawan itu malah dinasihati macam-macam oleh para jurnalis senior Bola yang merasa lebih paham dunia media olahraga.

Grafis Tabloid Bola (sumber: Kumparan)

Tak berselang lama dari pertemuan itu, malah Bola mulai kolaps. Beberapa bulan berikutnya, pengelola Bola malah mendatangi markas teman itu dianggap sukses membangun media olahraga yang perlahan menyingkirkan Bola. Malah, para jurnalis senior itu pelan-pelan mengakui bahwa mereka banyak ketinggalan.

Kawan itu menyampaikan satu contoh. Pernah, para pengelola Bola memandang enteng pentingnya Instagram, sebagaimana dijelaskan kawan itu. Mereka heran-heran mengapa media milik kawan itu selalu meng-update Instagram dan memperkaya dengan tampilan grafis yang keren. 

Pengelola Bola tidak paham bahwa generasi milenial adalah pengguna instagram, yang akan mencari informasi tentang sesuatu di Instagram, kemudian mencari versi cetak dan online. Instagram ibarat virus yang mempengaruhi isi kepala seseorang, mempengaruhi top of mind atau preferensi di pikiran, sehingga berdampak pada kian naiknya popularitas satu media.

BACA: Jurnalisme yang Terhempas dan Terputus

Contoh lain dikemukakan kawan itu. Saat sesi diskusi tentang media, para jurnalis senior di Bola selalu ingin menceramahi para jurnalis baru di media lain yang sedang mengembangkan media olahraga. Para jurnalis Bola itu tidak menyadari bahwa jurnalisme selalu terkait perkembangan zaman. Selalu ada spirit zaman yang berubah yang seharusnya dipahami oleh semua pelaku di ranah jurnalistik. 

Harusnya, para jurnalis Bola itu mendengar anak muda, memahami kebiasaan mereka mencari informasi, kemudian melakukan formulasi liputan mendalam yang tetap renyah dikonsumsi kalangan muda. Tanpa semangat menyerap itu, media ibarat zombie yang sudah mati, tapi mau memaksakan diri untuk tetap hidup.

Apa boleh buat. Zaman lebih cepat bergerak dari pikiran manusia. Matinya Bola adalah matinya kreativitas untuk merawat pembaca, matinya semangat untuk memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi. Ketika disrupsi terjadi, Bola perlahan ditinggalkan pembaca, ditinggalkan pengiklannya, hingga akhirnya cuma memiliki satu hal yakni nostalgia.

Bahkan saat Bola mulai fokus ke online, saya anggap sudah kasip. Media ini hanya berlari di belakang media online yang sudah mapan. Padahal pernah ada masa ketika Bola menertawakan media online yang kecil-kecil dan berusaha tumbuh itu. Kini, media yang dipandang sebelah mata itu menjadi petarung utama yang liat di dunia online dan bisa menyengat Bola hingga tewas.

BACA: Nurani Jurnalisme dalam The Post

Pada akhirnya, kita akan mengamini pendapat Charles Darwin, bahwa yang bertahan bukanlah yang terhebat dan terkuat, melainkan yang paling survive dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks media, yang bertahan adalah media yang paling memahami pasar dan bergerak untuk memenuhi kebutuhan pasar yang juga terus bergerak.

Jurnalisme bisa berganti format. Media bisa berubah bentuk. Tapi kreativitas, ide-ide yang mengalir deras, dan inovasi ibarat denyut nadi yang menjaga napas media lebih panjang. Tanpa itu, media bisa cepat berakhir, apa pun formatnya.

Sedih juga melihat banyak yang berduka di media sosial. Padahal yang membuat Bola mati karena kita sendiri yang tidak lagi mau membeli. Kita adalah pembaca yang kian selektif dan memenuhi kebutuhan informasi secara cepat.

Kita ikut menancapkan belati di tubuhnya, dengan cara tidak lagi mau membeli, sehingga kehilangan kawan seiring dalam mengarungi zaman yang kian penuh tantangan. 

Hari ini kita hanya menabur bunga di pusara Bola sembari mengurai satu demi satu kenangan.



Eric Thohir di Mata Profesor Amerika




Sejak menjadi Ketua Panitia Asian Games 2019, kemudian menjadi Ketua Tim Jokowi-Ma’ruf, nama Erick Thohir terus meroket dan jadi pembicaraan publik. Dia mewakili beberapa kriteria yang amat diidamkan orang-orang.

Dia muda, kaya-raya, suka olahraga, juga pengusaha hebat. Jangan lupa, dia juga seorang Muslim yang taat. 

Beberapa kalangan sibuk membahas sepak-terjang Erick sebagai pengusaha media dan baliho yang membawa gerbongnya merapat ke Jokowi. Dia disebut akan membawa gerbong pengusaha ke Jokowi.

Sebagai pebisnis handal, dia diperkirakan akan bisa menggaet dan mengonsolidasi kalangan milenial dan pebisnis. Namun bagaimanakah sosok Erick yang sebenarnya? Apakah dia akan membawa semua medianya menjadi cebong, sebutan bagi fans Jokowi garis keras?

Bagaimana pandangannya tentang Islam? Apakah dia akan menentukan kebijakan redaksi semua media yang dimilikinya?

Saya menemukan catatan tentang Erick Thohir yang ditulis Profesor Janet Steele, seorang pengajar jurnalistik di George Washington University. Dia bercerita tentang Erick yang belum saya temukan di liputan media-media.

Ternyata Erick memiliki ayah yang etniknya separuh Lampung dan separuh Bugis. Ibunya, setengah Tionghoa dan setengah Jawa Barat. Erick juga menikahi perempuan setengah Tionghoa, dan setengah Betawi. Selain latar belakang etnik, kisah Erick juga menarik untuk diulas.

Erick adalah pebisnis yang memulai kariernya dengan mengakuisisi Republika, media berbasis Muslim terbesar di Indonesia. Dia mengambil-alih media itu saat sedang krisis. Janet Steele menulis dan mewawancarai Erick Thohir saat melakukan riset mengenai Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara.

Dia melakukan riset pada empat media. Pertama, Sabili, yang disebutnya mewakili Islam skripturalis. Kedua, Republika yang menjadi representasi dari pandangan atas Islam sebagai pasar. Ketiga, Harakah, media Malaysia yang melihat Islam sebagai politik.

Keempat, Malaysiakini yang melihat Islam secara sekuler. Kelima, Tempo, yang dianggapnya sebagai representasi Islam kosmopolitan.

Secara umum, perjalanan Republika menempuh dua periode. Periode pertama adalah periode politik, ketika media itu di bawah ICMI yang menjadi lokomotif pemikiran di era Orde Baru. Periode kedua adalah periode bisnis ketika Mahaka Grup yang dipimpin Erick Thohir mengambil-alih media itu, kemudian mengubah haluan media itu menjadi lebih berorientasi pasar.

Di mata Janet, Republika di masa Erick Thohir mengalami pergeseran. Saat berkunjung ke media itu, tidak tampak banyak simbol-simbol keislaman. Padahal media ini bertujuan untuk melayani masyarakat Muslim.
Pihak Republika mengklaim apa yang mereka lakukan sesuai dengan garis keislaman. Dalam tulisan tentang sejarah Republika, yang beredar untuk kalangan internal, terdapat kutipan: “Dari halaman pertama hingga terakhir, tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja “amar ma’ruf nahi mungkar.” 

Syahrudin El Fikri, salah seorang redaktur senior yang ditemui Janet mengatakan bahwa inilah Islam substansial.

“Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar. Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang disebut Islam substantif.”

Janet pertama kali bertemu Erick pada bulan Februari 2013. Di sebuah restoran yang trendi, Erick mengajak Janet untuk makan malam. Pertama bertemu, Erick langsung bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Janet menjawab bukan.

Erick bercerita, saat pertama masuk kantor Republika, dia memperlihatkan sebuah foto mengenai situasi di negara lain. Erick berkata:

“Kali pertama masuk Republika, saya tunjukkan foto. Inilah Islam. Orangnya memang Jerman, tetapi Muslim. Jangan mengira bahwa orang Tionghoa dan orang kulit putih, bukan Muslim. Belum tentu. Anda tak bisa berprasangka seperti itu."

Janet lalu bertanya tentang agama Erick Thohir, yang langsung dijawab lugas: “Saya seorang haji. Namun yang jelas, Islam bagi keluarga saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Itu identitas kami, tetapi juga sesuatu yang sangat personal,” kata Erick.

Erick mengakui bahwa dirinya membawa visi bisnis ke Republika, yang tadinya dikelola sangat idealis. Dahulu, Republika adalah tempat orang menuangkan gagasan-gagasan tentang bangsa. Ada banyak intelektual dan pemikir yang rutin mengisi kolom di media ini.

Di masa Erick, Republika makin berorientasi bisnis.

“Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan ketika masuk Republika. Pertama, media ini seharusnya berada di tengah, moderat. Kedua, saya tidak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, dan terbelakang. Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tidak bisa secara otomatis langsung berpikir negatif. Kita harus berpikiran terbuka. Terakhir, Anda harus memikirkan pembaca,” katanya.

Erick menginginkan media ini bisa berpikir positif. “Antiglobalisasi? Itu belum terbukti buruk. Jangan mengira itu buruk. Orang asing juga membayar pajak. Oleh karena itu, saya bilang berpikir positiflah,” katanya. Janet tak puas dengan pernyataan Erick.

Dia lalu mewawancarai pihak redaksi. Semuanya berpandangan sama bahwa pebisnis tidak ikut mencampuri semua kebijakan redaksional. Saat ada hal-hal menyangkut politik, maka sikap pihak redaksi belum tentu sama dengan Erick Thohir.

Pada saat diwawancarai, Erick Thohir masih menjabat sebagai Presiden Direktur TVOne. Saat pemilihan presiden tahun 2014, TVOne mendukung Prabowo Subianto. Republika pun dianggap mendukung Prabowo.

Pihak redaksi mengklaim kalau mereka netral. Sebagai media, mereka mendukung siapa pun. Tapi, Janet Steel mengamati tajuk harian ini dan juga Republika Online (ROL) kebanyakan dukungan kepada Prabowo.

Pihak redaksi Republika Online menyebut, kebanyakan pembaca media itu berasal dari Muhammadiyah yang menyukai tulisan-tulisan serangan pada Jokowi. Makanya, tulisan-tulisan mengenai serangan pada Jokowi selalu menjadi tulisan terpopuler yang tampil di halaman depan.

“Kami tidak bisa mengontrolnya Itu otomatis. Sebab cyber army Prabowo menyebarkan tulisan itu ke mana-mana. Makanya, Republika seakan-akan mendukung Prabowo,” kata Joko Sadewo, Pimred Republika Online.

Janet menganalisis hubungan antara web analytics atau proses mengukur dan menganalisis trafik situs web dan gatekeeping, proses menentukan berita yang tayang. Pembaca Republika memiliki kecenderungan untuk mendukung Prabowo dengan perbandingan 6 banding 1. Inilah para pembaca yang kemudian menyebarkan tulisan itu ke mana-mana sehingga menjadi hit.

Janet berkesimpulan bahwa segmen pasar menentukan arah pemberitaan media. Bahwa semua pilihan-pilihan berita, pada akhirnya akan diseleksi oleh segmen pembaca sehingga menentukan perwajahan dan isu yang ditampilkan.

Karena segmen pasarnya adalah komunitas Muslim, media ini lebih fokus pada isu-isu tentang Islam, mulai dari partai politik berbasis Islam, hingga tema-tema yang diperbincangkan komunitas Muslim.

Masuknya Erick Thohir mengubah wajah media ini ke arah komersial. Transisi itu menyebabkan adanya kompromi dengan idealisme dan ceruk pasar sebelumnya. Media ini akan tetap menyajikan jurnalisme yang profesional dan berbicara atas nama demokrasi, ekonomi, juga toleransi.

Dengan demikian, kita sudah bisa memprediksi bagaimana sikap media ini terkait pilpres tahun 2019. Belajar pada Janet, media ini akan berposisi di tengah, tapi pembaca dan cyber army yang akan menyebar berita itu ke mana-mana sehingga membentuk citra atau gambaran tentang media ini.

Gerak netizen ini adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihambat oleh Erick Thohir. Dia pun tidak mungkin mengintervensi media sebab di era media sosial ini, netizen punya otoritas hendak membagikan berita yang mana, juga menentukan mana yang hits dan mana yang bukan.

Pertanyaan terakhir yang cukup menohok dari Janet adalah: apakah Republika melayani kepentingan pembaca Muslim ataukah menjadi pemuas keinginan mereka?




Dari Nyinyir, Pencari Kambing Hitam, Hingga Kisah Relawan Hebat




Setiap kali bencana alam terjadi, media sosial langsung ramai dengan berbagai postingan. Jika diamati, semua postingan itu akan memberikan kita gambaran tentang berbagai tipe orang serta responnya saat melihat bencana. Ada yang suka nyinyir, mencari kambing hitam, hingga relawan hebat yang berjibaku di lapangan.

Sejauh yang saya amati, pada hari ketika bencana alam terjadi, semua orang memberikan reaksi yang sama. Orang-orang akan langsung membuat meme, tagar, dan pernyataan duka-cita. Hari pertama, semua orang saling mendoakan keselamatan.

Orang-orang akan berusaha menemukan keluarganya, setelah itu mulai mengontak berbagai lembaga yang siap memberikan donasi. Ini berjalan sampai hari ketiga dan keempat. Setelah itu, orang-orang mulai tidak satu barisan.

Masyarakat mulai terpecah dalam beberapa kategori yang menunjukkan bagaimana respon dan pandangannya atas bencana. Sejauh yang saya amati, ada delapan tipe netizen terkait bencana. Anda masuk yang mana?

Pertama, tipe mendadak religius. Banyak yang langsung mengeluarkan dalil-dalil dalam kitab yang mengatakan bahwa bencana itu sebagai azab dari Tuhan. Mulai ada yang posting beberapa ritual yang dianggap jauh dari agama.

Ada yang membawa-bawa kalangan LGBT yang kian menjamur. Bahkan ada yang memposting foto yang isinya suasana bar di kota tempat terjadinya bencana. Ada juga yang mengatakan kawasan yang dihantam bencana itu sering berlangsung maksiat.

Bencana bisa menyebabkan orang-orang lebih religius. Yang bikin tidak nyaman adalah sering kali ada vonis seakan-akan mereka yang kena bencana itu adalah mereka yang mendapat hukuman. Sedang diri yang tidak kena bencana lebih religius.

Kedua, tipe rasional. Mereka yang masuk tipe ini akan berdebat dengan kelompok pertama. Beberapa orang di timeline saya membagikan peta yang isinya frekuensi gempa terjadi di mana saja dalam 10 tahun terakhir.

Di peta itu terlihat kalau Kalimantan tidak pernah terkena gempa. Seseorang mengatakan, “Jika gempa karena banyaknya maksiat, berarti Kalimantan adalah pulau yang semua penduduknya paling suci dan saleh.”

Kelompok ini berpandangan bahwa Indonesia memang berada di jalur ring of fire. Kita berpijak di atas patahan gempa, sehingga yang dibutuhkan adalah kearifan dan kesiagaan untuk menghadapi gempa. Apalagi, nenek moyang menghadapi gempa dengan teknologi rumah yang anti gempa, serta kearifan lokal agar masyarakat waspada.

Ketiga, tipe pencari kambing hitam. Mereka yang masuk dalam tipe ini adalah mereka yang setiap saat mencari kesalahan. Selain menyalahkan adanya ritual sesat sehingga gempa, mereka juga sibuk menyalahkan pemerintah.

Mereka tidak banyak menggalang solidaritas sebab terlalu sibuk mencari kesalahan orang-orang yang berjibaku di lapangan. Mereka mengecam penanganan bencana. Tapi mereka juga tidak melakukan apa pun. Bahkan ketika pemerintah menjelaskan sulitnya medan akibat infrastruktur rusak, tetap saja kelompok ini akan nyinyir.

Mereka merasa selalu benar dan merasa pemerintah telah melalaikan korban. Harus diakui kalau koordinasi bantuan terkesan amburadul.

Akan sangat bagus jika semua pihak memastikan pemerintah akan menjalankan fungsinya yakni hadir di tengah gempa, serta menggalang kerelawanan semua warga tanah air agar peduli gempa.

Akan sangat elok kalau mereka mengingatkan semua pihak untuk tetap bergerak membantu semua korban bencana. Kata seseorang, “Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan sebatang lilin.”

Keempat, tipe politisi oportunis. Nah, kelompok ini adalah kelompok yang pandai melihat momen. Begitu ada gempa dan banyak korban, mereka akan sibuk selfie dengan latar gempa. Mereka sibuk menyampaikan gambar apa yang terjadi, terus dirinya seolah-olah datang ke situ dan bersedih.

Mereka membuat video yang berisikan musik menyayat hati, kemudian ada potret dirinya di situ. Mereka yang tipe politisi oportunis yang langsung menyampaikan pernyataan duka, serta memajang foto korban bencana, serta potret diri yang sedang bersedih.

Ada himbauan untuk menyumbang, tapi sempat-sempatnya memasang foto diri dan logo partai. Mereka pandai menyelipkan pesan kampanye di tengah penderitaan banyak orang. Kelompok ini juga suka memolitisasi bencana demi senjata kritik pada pemerintah.

Kelima, tipe pengambil keuntungan. Beberapa hari setelah bencana menghantam, jalan-jalan di berbagai kota akan diramaikan oleh orang-orang yang meminta sumbangan bencana. Masalahnya, tidak ada informasi atau transparansi terhadap para penyumbang ke mana saja dana dialihkan.

Bahkan di satu kota di Jawa Barat, polisi menangkap sejumlah orang yang melumuri tubuhnya dengan cat perak demi minta sumbangan bencana. Kata polisi, orang-orang ini menipu masyarakat sebab dana sumbangan itu ternyata digunakan untuk mabuk-mabukan.

Penipuan yang mengatas-namakan bencana juga berlangsung dalam motif lain. Seorang teman membagikan pesan WA dari seseorang yang memperlihatkan struk sumbangan bencana sebesar 5.500.000. Orang itu mengaku salah transfer, yang seharusnya cuma 500 ribu.

Dia minta dikirimkan sisanya sebab dana itu adalah anggaran kantor. Teman itu mengecek tidak ada dana masuk atas nama orang itu. Tapi orang itu tetap ngotot minta dananya dikembalikan. Teman saya tak mau kalah.

Dia jelaskan mekanisme pengembalian uang, serta ajakan untuk ketemu. Si penipu itu langsung memblokir teman saya. Case closed.

Keenam, tipe penggalang solidaritas. Mereka yang masuk dalam tipe ini adalah mereka yang nuraninya tersentuh lalu mencari cara agar membantu korban bencana. Mereka menggalang bantuan secara mandiri, lalu menyalurkannya ke pihak berwenang.

Mereka tidak banyak bicara di media sosial, juga tidak banyak nyinyir, tapi punya langkah-langkahnya terukur. Mereka adalah tipe yang nuraninya tersentuh, lalu bergerak mengumpulkan bantuan. Saya mengenal beberapa orang dengan tipe ini.

Mereka tidak cuma berhenti pada duka, tapi melakukan banyak hal-hal hebat untuk membantu korban. Mereka juga tidak mau menyalahkan siapa pun. Sebab dalam setiap bencana, koordinasi selalu sulit dilakukan karena banyak hal terjadi, serta duka dan trauma yang menghadang. Tipe penggalang solidaritas selalu menemukan cara untuk membantu.

Ketujuh, tipe relawan hebat. Jika penggalang solidaritas hanya mengumpulkan bantuan dan tidak ke lokasi, para relawan hebat ini adalah mereka yang begitu mendengar gempa, langsung datang ke lokasi demi melakukan sesuatu.

Mereka meninggalkan kenyamanan demi membantu mereka yang sedang trauma. Di antara beberapa nama yang saya kenal adalah Profesor Idrus Paturusi, mantan Rektor Universitas Hasanuddin, yang juga seorang dokter senior.

Setiap gempa, dia langsung berangkat ke lokasi dan membantu pasien dalam situasi penuh keterbatasan. Di media sosial, seseorang memosting fotonya yang sedang tidur di kursi setelah kelelahan mengoperasi para pasien.

Dia adalah relawan sejati yang hadir di semua bencana dan bekerja demi kemanusiaan. Banyak pula orang yang melakukan hal-hal hebat seperti Idrus.

Mendengar gempa, seorang kawan saya di Makassar langsung sibuk membeli banyak makanan, dan pakaian bekas, kemudian membawa mobil sendiri ke Palu. Kawan itu tak cuma menggalang solidaritas, dia juga berkendara puluhan kilometer demi memastikan agar bantuan yang dibawanya tiba di sasaran.

Saya juga mengagumi seorang sahabat yang bersepeda dari kampungnya di Sulawesi barat demi membantu korban bencana. Bahkan ada pula yang sengaja berperahu demi efektivitas membawa logistik dan bantuan.

Orang-orang ini mengingatkan saya pada pentingnya kerja-kerja sosial dan nilai-nilai kebajikan sesungguhnya. Mereka bekerja keras dan menjadi malaikat-malaikat hebat di sekitar kita. Mereka meletakkan kemanusiaan sebagai tujuan dari semua gerak dan aktivitas, dan bergerak berdasarkan naluri untuk membantu orang lain yang sedang ditimpa musibah.

Pertanyaannya, Anda masuk tipe yang mana?

Jika tidak masuk satu pun, berarti kita harus menambah tipe yang baru, yakni mereka yang cuek-cuek saja dan memilih hanya jadi pengamat. Mereka menyatakan solidaritas, tapi setelah itu lebih suka diam dan mengamati semua postingan. Sepertinya, saya masuk kategori ini.



Kiat Praktis untuk Selamat dari Tsunami Hoaks ala Ratna Sarumpaet




Dalam diri kita ada potensi untuk terpapar hoaks seperti yang pernah disebar Ratna Sarumpaet. Kita mudah percaya sesuatu, apalagi itu disebar di media sosial seperti Facebook, WhatsApp Groups, dan Twitter yang diberi label rahasia atau informasi A1.

Emosi kita mudah tersulut saat membaca pesan-pesan yang seolah memaparkan dinamika di lapis paling dalam. Padahal, banyak informasi yang disebar itu sengaja dibuat satu kelompok yang tujuannya untuk mengaburkan informasi.

Bahkan, sering kali kelompok yang sama membuat informasi pesanan dari dua kubu yang sedang berhadapan. Di era ini, informasi menjadi sesuatu yang diperdagangkan. Jasa pabrik konten menjamur. Para penggiat media sosial mudah digiring dengan sesuatu yang seolah-olah fakta.

Tanpa sadar, kita menjadi mainan para spin doctors, dan mereka yang sengaja dibayar untuk mempengaruhi opini melalui berbagai tulisan pendek yang serupa api kecil menyebar di sekam yang telah disiram bensin prasangka.

Informasi lalu diberikan label lingkar dalam dan tidak jelas ditulis siapa menjadi sesuatu yang mudah menyebar. Bahkan, sering kali mencatut nama tokoh publik dengan tujuan agar lebih mudah diterima publik.

Kita berada di era post-truth ketika fakta dan fiksi telah dicampur-aduk. Kita tidak tahu mana yang benar sebab informasi berseliweran dan disebarkan dengan cepat melalui algoritma media sosial.

Bagaimanakah kiat-kiat agar tidak terjebak dalam berbagai setingan informasi dan berbagai provokasi agar membenci yang lain?

***

KAWAN itu tiba-tiba saja marah-marah. Dia membaca pesan yang dikirim melalui WhatsApp Groups. Isinya adalah bagaimana politik sengaja didesain untuk menyingkirkan seseorang. Kawan itu mengidolakan seorang politisi.

Dia tidak rela jika idolanya difitnah dan sengaja dijebak sehingga tampak bodoh dan jadi bulan-bulanan. Saat membaca informasi di HP-nya, dia merasa tahu bayak hal. Hal pertama yang dia lakukan adalah menyebar tulisan itu ke banyak grup.

Dia merasa informasi yang benar harus disebarkan. Apalagi jika informasi itu disampaikan seseorang yang sejak dulu dikaguminya. Tak sampai tiga hari, datang bantahan. Informasi yang disebarnya ternyata hoaks.

Kawan itu tidak merasa salah apa pun. Malah, meskipun sudah ada bantahan, dia tetap saja lebih percaya pada informasi yang lebih dahulu disebarnya. Jangan mengira kawan itu tidak berpendidikan sehingga mudah terpapar hoaks. Dia seorang doktor.

Dia adalah satu dari sejumlah orang yang mudah terpengaruh oleh tulisan pendek yang disebar melalui media sosial. Kita berhadapan dengan tsunami informasi, di mana ada banyak akun anonim yang seolah-olah membocorkan fakta tersembunyi.

Polanya adalah menuturkan sesuatu seolah-olah itu adalah inside story yang lengkap alurnya, serta siapa-siapa yang bermain di belakang setiap peristiwa. Narasinya membahas orang per orang, serta kepentingan, yang lalu mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi.

Sepintas, tulisan-tulisan itu membuka apa yang tersembunyi di panggung politik. Padahal, isinya sangat jauh dari fakta. Isinya berisikan syak-wasangka yang dikemas dalam bentuk artikel investigasi, lalu dibumbui dengan tudingan-tudingan. Kawan itu mudah emosi saat membaca banyak pesan, sehingga menyebarkannya ke mana-mana.

Di berbagai kanal, muncul berita seolah-olah informasi itu A1. Dia terlanjur menganggap ada setingan, sehingga semua hal dianggap setingan. Dahulu, arena untuk menyampaikan informasi rahasia dalam politik adalah melalui surat kaleng. Selanjutnya, ada juga yang menggunakan pamflet dan selebaran.

Di akhir kekuasaan Soeharto, para aktivis menyebarkan pamflet dan berbagai publikasi kritis melalui jalur bawah tanah, maksudnya bukan jalur resmi yang dikehendaki pemerintah. Pada masa itu, yang hendak disebarkan adalah fakta-fakta yang tak banyak diungkap ke publik.

Media mencatat beberapa aktivis dan intelektual yang memilih risiko dipenjarakan daripada ikut dalam lautan massa yang bungkam. Seiring dengan era internet, serta arus informasi yang kian menyebar, dinamikanya mulai berubah.

Hampir semua politisi dan kelompok kepentingan menjalin relasi dengan para spin doctors, yakni orang-orang yang bisa mempengaruhi opini atau wacana di media massa demi menaikkan citra seseorang, atau menjatuhkan citra kelompok lain.

Rekayasa informasi dipandang sebagai sesuatu yang wajib demi mengendalikan arus wacana. Persoalannya, rekayasa informasi itu sering kali dibuat dengan cara menyusun narasi yang tak berbasis fakta.

Parahnya, ada banyak orang yang mudah saja menerima semua informasi yang berseliweran di sekitarnya, tanpa mengeceknya lebih jauh.

Di media sosial, banyak orang yang dengan mudahnya diprovokasi dengan berita-berita dari berbagai situs abal-abal, lalu kehilangan daya kritis untuk mempertanyakan semua informasi itu. Publik mudah tersihir dengan berita seolah-olah inside story, setelah itu ikut menjadi clicking monkey, para penyebar informasi fitnah melalui berbagai kanal media sosial.

Fenomena ini mengingatkan pada tulisan seorang ilmuwan sosial yang mengatakan bahwa orang hanya ingin melihat apa yang ingin dilihatnya. Maksudnya, saat seseorang terlanjur punya prasangka, maka dia hanya akan melihat hal-hal sesuai dengan prasangka sebelumnya.

Biarpun banyak sumber kredibel menyatakan fakta itu keliru, ia tidak akan memercayainya. Tapi ketika satu fakta dari sumber abal-abal menyatakan dirinya benar, ia akan langsung menyebarkannya, tanpa mengeceknya lagi.

Yang saya amati, rekayasa informasi itu selalu mengandalkan dua pola: (1) menggunakan media abal-abal yang mudah dibentuk di ranah online, (2) menggunakan serial informasi di twitter dan facebook.

Di dua pola ini, kita akan menemukan informasi yang dikemas seolah-olah investigasi, seringkali dibumbui kalimat bombastis yang mudah membuat publik percaya. Di dua kanal ini, para spin doctors dan cyber army bekerja dengan cara membombardir informasi, menghasut publik agar me-like lalu men-share informasi, tanpa mengecek mana fakta dan fiksi dalam informasi tersebut.

Di dua kanal ini, posisi publik adalah pasif dan aktif sekaligus. Mereka menerima informasi yang kebetulan bersesuaian dengan prasangkanya, lalu menyebarkannya ke mana-mana, tanpa sikap kritis.

Sebenarnya, fenomena banjir dan rekayasa informasi ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2001, mahaguru para jurnalis, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, telah menulis buku berjudul Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload. 

Buku ini berisikan bagaimana seharusnya bersikap di era banjir informasi. Kovach tidak sedang menulis panduan untuk para jurnalis. Kovach menjelaskan bagaimana keriuhan informasi di era digital, yang kemudian dipelintir oleh para spin doctors. 

Ia menyasar publik, yang disebutnya tidak lagi menjadi konsumen berita, namun juga sebagai produser yang juga menyebarkan informasi. Yang perlu diwaspadai adalah pihak-pihak yang hendak memanipulasi kebenaran demi kepentingan kelompok tertentu.

Kata Kovach, fenomena banjir informasi ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak munculnya era komunikasi, manusia terbiasa berhadapan dengan berbagai informasi. Seiring dengan perubahan lanskap sosial dan politik, berubah pula cara-cara manusia memahami dan berinteraksi dengan informasi.

Perubahan pola komunikasi itu berjalan sering dengan perubahan pola kepemimpinan, mulai dari pemimpin spiritual ke pemimpin suku, pemimpin suku ke raja, munculnya negara-kota, serta otoritas negara. Informasi juga mengalir mengikuti otoritas, hingga era sekarang yang memungkinkan informasi bisa mengalir dari berbagai sisi.

Masih kata mahaguru jurnalistik dari Harvard University ini, terdapat sejumlah kiat bagi warga untuk “diet informasi” dengan cara menggunakan pola pikir skeptis (skeptical knowing) langkah demi langkah.

Pertama, kenali setiap jenis konten yang dihadapi. Kedua, kita harus memeriksa kelengkapan laporan media. Ketiga, kita harus menilai otoritas dan kualifikasi sumber. Keempat, kita harus menilai fakta dengan membedakan antara mengamati dan memahami, kesimpulan dan bukti, serta bagaimana berinteraksi dengan fakta.

Kelima, lakukan evaluasi terus-menerus terhadap setiap informasi. Penuturan Kovach ini memang agak jlimet. Pada intinya, ia mengatakan bahwa sebagai konsumen, kita harus berpikir kritis. Saat membaca informasi, kita harus mencari apa yang lebih, serta bisa membuat kita percaya bahwa informasi itu akurat.

Terhadap banyak informasi, kita harus meninggalkan cara berpikir lama yang seolah-olah media hendak mengatakan “percayalah apa yang saya katakan.” Kita harus menggantinya dengan cara berpikir yang melihat semua liputan dengan pertanyaan, “Apa yang harus membuat saya percaya? Tunjukkanlah bukti-bukti kuat biar saya yakin.”

Setiap orang harus menjadi editor yang mempertanyakan semua informasi. Di sini terletak daya kritis dan kemampuan analitik. Jika seseorang punya daya kritis itu, ia tidak akan mudah diseret-seret oleh berbagai informasi yang menyebar di berbagai kanal media sosial.

Namun jika orang tersebut tak menggunakan akalnya, semua informasi yang masuk akan langsung dipercayainya.

Di Indonesia, ada banyak perkembangan menarik terkait kebiasaan membaca. Yang saya lihat, orang-orang suka menyebar informasi, tanpa mengecek apakah itu hoaks ataukah fakta. Secara praktis, saya merekomendasikan beberapa kiat agar tidak menjadi obyek penderita di era internet.

Pertama, jangan mudah terpaku pada judul yang heboh. Pada beberapa media, judul-judul heboh dan bombastis berguna untuk membuat audience tertarik dan mengeklik. Biasanya, judul itu diawali dengan kata “astaga”, “luar biasa”, “wow”, dan berbagai kata-kata lain. Malah, saya sering menemukan judul yang diawali kata “masyallah”. Judul-judul ini sengaja dibuat untuk menciptakan suasana heboh, dan memaksa orang untuk membacanya.

Kedua, perhatikan media yang memberitakannya. Saat Anda melihat judul heboh, jangan langsung klik. Perhatikan, media manakah yang memuatnya. Kalau medianya sejenis pusingan.com, analisahebat.com, atau beberapa media berlabel agama yang belum pernah Anda dengar, sebaiknya jangan langsung klik.

Sekali satu media menyebar informasi yang tidak akurat, masukkan list media itu dalam daftar media yang membodohi dan tidak layak baca. Dibanding media abal-abal itu, lebih baik percaya pada media resmi. Sebab media resmi memiliki disiplin verifikasi dan standar jurnalistik yang sudah lama dibangun.

Sering ada yang bertanya, bagaimana dengan kepentingan pemilik modal di media resmi itu? Boleh jadi ada kepentingan. Tapi yakinlah, jantung utama bisnis media adalah kredibilitas. Bisnis ini punya investasi besar.

Seorang pemilik modal yang mencampuri kepentingan pemberitaan bisa berdampak pada turunnya kredibilitas media, yang akan berujung pada lesunya iklim bisnis. Jika ini terjadi, maka triliunan uang yang keluar akan percuma. Bisnis media akan bangkrut dan gulung tikar.

Pemilik media yang bijak, tak mungkin mencampuri berita untuk memuji-muji dirinya sebab akan bermuara pada kemuakan publik yang membuat medianya ditinggalkan.

Ketiga, kalaupun Anda terpaksa mengeklik, perhatikan sumber-sumber beritanya. Kalau sumber berita adalah sumber yang otoritatif, berarti itu pernyataan resmi. Dalam kasus kriminal, sumber resmi adalah polisi.

Dalam berita korupsi, sumber resmi adalah pihak KPK atau penegak hukum. Tapi kalau sumber yang Anda baca adalah seorang penggiat organisasi massa, maka ragukanlah informasinya. Ragukan pula informasi tentang korupsi, yang disampaikan oleh seorang pengamat korupsi.

Dalam banyak kasus, para pengamat sering kali menjalankan pesanan tertentu dari sejumlah pemodal.

Keempat, perhatikan keberimbangan. Saat media memuat satu sumber tertentu, periksa apakah ada pernyataan resmi dari sumber lain yang berseberangan. Mengapa? Sebagai pembaca, posisi kita serupa hakim yang akan menimbang-nimbang benar tidaknya sesuatu.

Tanpa keseimbangan informasi, kita tak akan mendapat gambaran utuh terhadap satu kejadian.  Artinya, jika informasi tak seimbang, berarti liputan itu tidak netral.

Kelima, bedakan antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dan disaksikan oleh jurnalis. Sementara opini adalah himpunan kesan atas peristiwa itu.  Media yang kredibel akan banyak menyajikan fakta sebab pembaca bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama.

Media yang tidak kredibel akan menyajikan parade opini yang boleh jadi bertujuan untuk menggiring persepsi pembaca sehingga bersepakat dengan agenda isu yang dilancarkan.
Keenam, jangan langsung percaya apa yang disajikan media. Lakukan crosscheck dengan media lain. Dalam riset, ini disebut triangulasi. Lakukanlah cross-check dengan liputan media lain. Kalau banyak yang memuatnya, maka informasi itu boleh jadi valid.

Informasi adalah denyut nadi media massa. Ketinggalan satu informasi penting adalah aib bagi media itu. Makanya, setiap berita heboh, pastilah akan dimuat banyak media.

***

KIAT ini hanya sepenggal. Masih banyak yang bisa didiskusikan. Intinya, kembangkan cara berpikir skeptis saat membaca media. Seperti kata Kovach, pertanyakan setiap informasi.

Buat pertanyaan dalam diri, apa nilai lebih yang membuat Anda percaya liputan itu, apakah kekuatan informasi itu, serta siapa yang diuntungkan dan akan dirugikan dari penyebaran informasi itu.

Jika Anda hendak menyebarkannya, yakinkan diri Anda bahwa informasi itu benar dan berguna bagi publik. Sebab jika informasi itu sesat, maka Anda akan jadi penyebar fitnah. Jika informasi itu tidak benar, Anda akan jadi kambing congek yang mau-mau saja dibodohi semua orang demi agenda-agenda terkait rekayasa informasi.

Jauhkan segala prasangka terhadap seseorang atak kelompok tertentu yang kerap menjadi sasaran dari media abal-abal itu. Hadirkan sikap kritis, bahwa di balik setiap pahlawan, pasti ada celah yang menunjukkan dia manusia biasa.

Dan di balik seseorang yang dituduh sebagai penjahat, pasti ada sisi baik yang memanusiakan dirinya. Melalui keseimbangan itulah, kita bisa melihat kehidupan sebagai arena yang sangat dinamis.



Jangan Salahkan Ratna Sarumpaet


Ratna Sarumpaet


SETELAH Ratna Sarumpaet memberikan pengakuan dosa, sepertinya dia akan berjalan seorang diri. Dia bukan lagi Kartini dan Tjut Nyak Dien, sebagaimana disebut Hanum Rais. Bukan lagi pejuang garda depan tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Dia akan dilepas di tikungan dan diminta survive seorang diri. Itulah hukuman untuknya. Demikianlah takdir dunia politik kita.

Tapi saya berharap Ratna Sarumpaet tidak keluar gelanggang. Dunia televisi kita akan kehilangan tontonan seru berupa debat saling menyalahkan, dengan mimik serius dan penuh keyakinan. Kita bisa kehilangan seseorang yang rajin mengatas-namakan agama, sembari menuding seseorang telah zalim.

Bagi saya, keberadaan tokoh seperti Ratna Sarumpaet di kubu oposisi, dan Ali Ngabalin di kubu pemerintah, ibarat tontonan menghibur yang bikin betah menyaksikan layar kaca. Syaratnya adalah jangan baper dan larut dalam diskusi itu.

Cukup saksikan dengan niat mendapat hiburan dan tergelak menyaksikan argumen yang kadang heroik, tapi juga penuh kelucuan. Seharusnya, kita semua berterima-kasih kepada Ratna Sarumpaet. Jangan salahkan dirinya.

Dia telah membantu kita untuk menunjukkan banyak hal. Jika dia benar-benar meninggalkan panggung politik kita, maka Ratna punya banyak warisan penting:

Pertama, Ratna menunjukkan pada kita bahwa dunia politik bukanlah dunianya orang yang saling berargumen secara rasional dengan berlandaskan pada bukti-bukti. Dunia politik kita memang dunia yang penuh tengkar, tanpa ada landasan kuat.

Sebagaimana politisi lain, baik kampret maupun cebong, Ratna hanya mempercayai satu kenyataan yang sejak awal dipercayainya. Dia mengingatkan saya pada satu pelajaran dalam ilmu sosial yakni orang hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat. Orang-orang hanya akan percaya pada apa yang ingin dia percayai.

Maka, orang-orang yang tampil menjadi juru bicara atau representasi berbagai kubu bukan orang yang kompeten dan menguasai satu topik, melainkan para samurai yang menebas semua argumentasi dengan ngawur, tanpa permainan pedang argumentasi yang memukau.

Berkat Ratna, kita jadi tahu bahwa politik kita adalah seni menang-menangan, yakni seni untuk menyatakan sesuatu itu benar melalui berbagai cara.

Kedua, Ratna menunjukkan para politisi kita memang lucu-lucu. Jauh-jauh Fadli Zon kuliah di Inggris, bahkan hingga bergelar doktor, dia tetap saja tidak bisa menalar dengan jernih, serta melakukan verifikasi atas apa yang menimpa Ratna.

Ratna sukses memainkan teater yang juga mengecoh Profesor Amien Rais hingga Prabowo Subianto. Semua elite politik ini tidak lagi menalar dengan jernih, seba terlanjur melihat ini sebagai komoditas politik yang bisa menaikkan elektabilitas.

Tanpa proses check and recheck, konferensi pers dilakukan sembari menitip gugatan pada negara yang represif dan tega memukuli seorang perempuan tua. Pengakuan Ratna juga memperkuat argumentasi yang terlanjur dipelihara kelompok itu sejak awal bahwa negeri ini memang bobrok dan penuh masalah sehingga presiden harus diganti.

Ketiga, pengakuan Ratna ibarat tamparan bagi semua media-media mainstream yang seharusnya memberikan kita informasi yang jernih.

Betapa terkecohnya semua media-media besar yang ramai-ramai memberitakan peristiwa pemukulan, tanpa melakukan verifikasi pada data-data lapangan. Semua berlomba menyiarkan, tidak ingin kecolongan.

Ratna memang berbohong. Tapi kebohongannya tidak akan menimbulkan skala heboh dan besar jika tidak diliput secara massif oleh banyak media. Kebohongan itu hanya akan menjadi obrolan lepas di warung kopi, jika tidak ramai-ramai diperbincangkan politisi di berbagai media.

Makanya, marilah kita bersama-sama membuat pengakuan. Bahwa ada satu aspek paling penting dari disiplin media yang hilang, yakni disiplin verifikasi.

Mahaguru jurnalistik, Bill Kovach, menyebut verifikasi sebagai sesuatu yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Harusnya para jurnalis melakukan disiplin verifikasi yang tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.

Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita. 

Keempat, Ratna juga menunjukkan bahwa dunia sosial tidak memberikan ruang memadai untuk mendengar suara mereka yang punya keilmuan, keahlian dan spesifikasi tertentu. Keahlian seseorang diabaikan begitu saja hanya karena terlanjur percaya sesuatu.

Saya menyimak perdebatan antara Tompi, seorang penyanyi dan dokter ahli bedah estetik. Sebagai seorang ahli di bidang bedah estetik, Tompi sudah mengemukakan diagnosanya. Dia mengatakan bahwa ada kejanggalan di situ.

Dia tidak percaya Ratna dipukuli. Sebagai dokter ahli yang setiap hari “mempermak” muka orang, dia jelas mengenali apa yang terjadi. Tapi, opini yang disampaikan Tompi itu malah ditanggapi negatif oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon

Bukannya berterimakasih karena diberi informasi yang benar, keduanya balik menyerang Tompi. Jagad Twitter heboh. Tompi membalas: “Saya yang keliru atau Anda yang keliru. Easy! Cukupkan!”

Padahal, Tompi kan seorang dokter. Pendapatnya mesti didengarkan sebab dia sering menemui hal seperti ini. Di pengadilan mana pun terhadap kasus-kasus mengenali luka, suara seorang ahli akan didengarkan terlebih dahulu sebelum orang-orang membangun opini.

Yang aneh, Hanum Rais ikut-ikutan menanggapi. Dengan latar belakangnya sebagai seorang dokter, dia pun ikut mencuit bahwa dirinya melihat dari dekat dan tahu membedakan mana luka karena operasi dan mana karena dipukuli.

Dalam satu video, terlihat dia memapah Ratna dari dekat dan kemudian berkata kalau Ratna serupa Kartini dan Tjut Nyak Dien. Kini, kepada Hanum Rais, kita seharusnya memberi saran supaya lebih banyak lagi belajar sebelum memberikan penilaian.

Jika saya adalah pasien, saya akan menghindarinya. Dia sudah terbukti salah diagnosa. Tapi kalau dipikir-pikir, ini bukan soal keilmuan. Ini adalah keyakinan atas sesuatu, tanpa proses pengecekan.

Kelima, Ratna juga telah memberikan bahan bagi para ustad untuk kian menyalahkan rezim berkuasa. Di Twitter, saya melihat seorang ustad yang berpakaian seperti penceramah, lalu menyatakan bahwa foto Ratna babak belur itu asli, bukan hoax.

Hari ini, entah bagaimana reaksinya setelah tahu bahwa dia keliru setelah sebelumnya meyakinkan jamaah.

Keenam, Ratna tentu saja telah menipu begitu banyak netizen, yang dengan semangat 45 dan terus mengumandangkan pesan langit telah ikut berdebat dan tempur di media sosial. Ada begitu banyak orang yang membela dengan gigih dan menyebutkan Ratna adalah seorang yang dizalimi dan teraniaya.

Ratna telah memberi bahan bagi debat publik yang seru. Pembela Ratna akan menyebutkan betapa jahatnya rezim, betapa pemerintah begitu keji menculik dan menyiksa warganya, serta mengatakan bahwa seorang ibu seperti Ratna harus dibela, dan tidak boleh dituduh sembarangan.

Para netizen menjadi pihak paling lucu yang tiba-tiba merasa kecele sebab selama ini telah membela habis-habisan, sampai-sampai mengutip banyak teks dari kitab demi mengatakan lawan debatnya buta hati.

Para netizen ibarat pion atau prajurit lapangan paling kecil yang gampang dikadalin. Ratna ibarat memantik api di satu sekam yang telah berlumur bensin. Dia hanya butuh sedikit sandiwara dan akting, maka hebohlah Indonesia.

Terakhir, saya ingat kisah Don Quixote, kita sebut saja Don Kisot, dalam novel karya Miguel de Cervantes. Dia berkelana untuk membunuh naga. Dia abaikan semua suara orang lain kalau naga itu tidak ada. Dia berpakaian seperti ksatria lalu bertualang.

Dia mengira kincir angin adalah penyihir. Dia hidup dalam ilusi. Di akhir perjalanan, dia kembali ke rumah dan mulai menyadari bahwa naga itu tidak ada. Naga hanya ada dalam dongeng yang selama ini dipercayainya.

Mohon maaf, saya tidak menyinggung politisi atau pun capres. Saya hanya berkata, bisa jadi kita semua adalah Don Kisot yang terlanjur percaya sesuatu dan bergerak berdasarkan kepercayaan itu, tanpa melihatnya secara kritis.


Berkat Syair, Ribuan Warga Pulau Itu Selamat dari Tsunami


DI media sosial, orang-orang sibuk menyalahkan banyak hal terkait bencana gempa dan tsunami di Palu. Mulai dari BMKG yang dinilai tidak bisa mendeteksi adanya tsunami, teknologi deteksi yang jadul dan tidak berfungsi, hingga sibuk membagikan artikel tentang bagaimana negara lain, di antaranya Jepang, mempersiapkan diri.

saat singgah di Pulau Simeulue

Dalam satu perjalanan ke pulau kecil di Aceh, saya bertemu peneliti Jepang yang terheran-heran menemukan fakta, saat tsunami menewaskan ratusan ribu warga Aceh, justru hanya ada tujuh orang tewas di pulau kecil yang jaraknya paling dekat dengan pusat gempa itu.

Padahal, penduduknya hampir 70 ribu orang. Warga Pulau itu selamat berkat syair dan dongeng yang dituturkan turun-temurun.

Makanya, ketimbang sibuk menyalahkan teknologi canggih yang bisa mendeteksi tsunami, mengapa kita tak berpaling pada bagaimana merawat hikayat, dongeng, syair, dan kearifan kita yang telah terbukti selama ribuan tahun menyelamatkan generasi ke generasi? Apakah Anda menganggapnya sepele?

Marilah kita berguru pada peneliti Jepang itu yang telah belajar pada masyarakat kita sendiri.

***

PEREMPUAN Jepang berpipi merah itu bernama Yoko Takafuji. Saya bertemu dengannya saat berkunjung ke Pulau Simeulue, Aceh, dua tahun silam. Dia seorang peneliti yang fokus pada bagaimana kesiapan warga menghadapi tsunami.

Dia kagum dengan fakta-fakta yang ditemuinya. Tahun 2004 lalu, Aceh dan sekitarnya dihantam tsunami. Namun, hanya ada tujuh warga tewas di pulau kecil itu yang ditemukan tewas. Itu pun ketujuh orang itu adalah pendatang.

Penelitian Yoko sampai pada kesimpulan bahwa ribuan warga di pulau itu bisa selamat karena mereka percaya pada ujaran-ujaran atau dongeng yang disampaikan nenek moyang mereka Warga Pulau Simeulue bercerita tentang syair-syair yang didendangkan saat mereka masih kecil.

Syair itu berisikan pesan agar semua warga harus mengungsi ke tempat lebih tinggi saat melihat tanda-tanda alam. Syair itu dihafal oleh semua warga Simeulue, tua dan muda. Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat melihat tanda-tanda alam.

Saat tsunami menerjang di tahun 2004 lalu, anak-anak muda berteriak-teriak "Smong" atau tsunami lalu meminta semua penduduk berlarian ke bukit-bukit. Warga Simeulue membaca tanda-tanda alam, seperti air surut, iring-iringan kerbau yang ke pegunungan, serta suara yang gemeretak di kejauhan.

Orang-orang menuju pegunungan karena dipandu oleh syair dan pesan turun-temurun dari nenek moyang. Syair itu disampaikan kepada anak-anak dalam bahasa lokal sebagai pengantar tidur.

Berikut, terjemahan syair itu:

"Dengarlah sebuah cerita. Pada zaman dahulu. Tenggelam satu desa. Begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa. Disusul ombak yang besar sekali. Tenggelam seluruh negeri. Tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat. Disusul air yang surut. Segeralah cari. Tempat kalian yang lebih tinggi. Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita. Ingatlah ini betul-betul. Pesan dan nasihatnya."

Syair ini disampaikan orang tua kepada anak-anaknya, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga. Orang dewasa bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang hingga akhirnya mengendap di benak banyak orang.

Sahabat saya, Irda Kusuma, bercerita tentang syair itu. Kata warga asli Pulau Smeulue itu, syair tersebut kira-kira bermula sejak letusan Gunung Tambora di awal tahun 1900-an.

“Pada saat itu ada tsunami besar yang merendam pulau ini. Makanya, syair itu muncul agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang,” katanya.

Saya sangat tertarik. Dalam syair itu tersembunyi satu hikmah dan pembelajaran atas apa yang sebelumnya terjadi. Saya berpandangan bahwa apa yang kita sebut sebagai kearifan lokal sejatinya adalah himpunan-himpunan pengetahuan yang lahir sebagai upaya manusia memahami alam semesta dengan segala isinya.

Saat manusia memahami semesta, saat itu juga manusia mencipta sains dan segala pengetahuan sebagai mutiara berharga yang lalu ditebar ke masyarakat, diwariskan turun-temurun, serta menjadi api yang menerangi berbagai zaman.

Peristiwa Tambora itu menjadi pelajaran berharga bagi nenek moyang Simeulue. Mereka tak ingin kejadian serupa terjadi di masa mendatang. Syair-syair lahir sebagai jembatan untuk memberikan early warning system bagi generasi mendatang agar selalu waspada pada berbagai kemungkinan.

Syair itu mencakup pengetahuan yang sejatinya lahir dari social learning process, proses belajar masyarakat yang lalu menjadi tradisi dan kebudayaan. Di saat krisis, kebudayaan lalu menyediakan berbagai protokol demi menyelamatkan masyarakat.

Yang membuat syair itu sedemikian bertenaga adalah masyarakatnya yang masih memegang tradisi dan penghormatan pada nenek moyangnya. Saya merasakan satu pandangan dunia yang menganggap bahwa segala bencana tak harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Bencana adalah sahabat yang harus diakrabi dan dikenali, demi tindakan-tindakan preventif yang bisa membuat kita terhindar darinya. Pandangan itu muncul saat saya mendengar syair berikut;

Anak-Ö SMONG, Dumek-dumekmo LINON, Uwak-uwakmo AHOI, Ralang-ralangmo ELAI,Kedang-kedangmo KILEK, Sulu-sulumo
Anakku Tsunami, Mandi-mandimu Gempa, Ayun-ayunanmu Api, Penghangat tubuhmu Guntur, Gendang-gendangmu Kilat, Cahaya penerangmu 

Kata Irda, syair-syair itu dilagukan untuk menguatkan mental. Pesan itu dituturkan kepada anak-anak agar tidak takut menghadapi perubahan alam. Bahwa guntur dan kilat tak perlu ditakuti. Bahkan tsunami pun tak perlu dikhawatirkan.

Manusia harus berselancar dan melintasi berbagai tanda-tanda alam itu, berdamai dengan semuanya, lalu mencari cara-cara kreatif untuk menyelamatkan kehidupan. Pesannya adalah jangan sesekali menghindari segala yang ada di alam dengan penuh kebencian, tetapi dekati, pahami, lalu mengalir bersamanya.

Hanya dengan mengalir bersama semesta, seseorang bisa memahami tabiat alam, lalu menyerap saripati pengetahuan di tengah semesta itu. Pandangan ini menegaskan posisi manusia Simeulue yang berselancar di tengah bencana demi menyelamatkan diri.

Maka ketika tanda-tanda alam menunjukkan adanya tsunami, masyarakat telah siaga dengan berbagai kemungkinan. Mereka lalu bergerak ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Mereka membaca tanda alam, memahami makna di balik setiap realitas, lalu menentukan langkah-langkah terbaik. Kearifan inilah yang membuat dunia begitu mengagumi Simeulue.

Yoko Takafuji membandingkan syair di Simeulue itu dengan syair Inamuranghi di daerah Wakayama, Jepang. Ada juga syair tsunami tendenko dari daerah Iwate. Di dua daerah ini, bila terjadi tsunami, korbannya lebih sedikit.

"Isi cerita agak beda, tapi intinya sama. Tsunami tendenko misalnya. Warga diminta untuk langsung lari dan tidak perlu memikirkan keluarga, “ katanya, sebagaimana dikutip satu media.

Kunjungan di Pulau Simeulue membuat Yoko tergerak untuk melakukan banyak hal. Dia memiliki misi untuk menyebarkan cerita-cerita Simeulue di berbagai belahan bumi lain yang rentan tsunami, termasuk Jepang dan negara-negara Pasifik.

Setidaknya, pengalaman warga Simeulue bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang untuk menyusun satu protokol atau panduan penyelamatan yang berbasis pada kearifan lokal.

***

TULISAN Ahmad Arif di Kompas benar-benar membuka mata. Katanya, kawasan Tanah Runtuh di Kelurahan Talise, Palu, adalah kawasan yang pernah diremuk oleh gempa dan longsor. Nama Tanah Runtuh adalah nama yang diberikan karena tanah di situ pernah runtuh hingga menelan banyak korban.

Jurnalis Kompas itu telah mewawancarai sejumlah warga Palu yang mengaku pernah mendengar cerita tentang bencana longsor dan tsunami di kawasan itu. Sejarah mencatat, pada tahun 1920-an longsor dan tsunami pernah terjadi. Itu adalah fakta sejarah. Sebab kawasan itu berada di sesar Palu-Koro sehingga menjadi langganan gempa.

Sebagaimana dicatatnya, hari ini, kisah-kisah dan penamaan tempat itu hanya dianggap sebagai dongeng. Bahkan orang dewasa pun mengabaikannya sebab dianggap hanya sebagai kembang pengantar tidur. Mereka tidak mewariskannya kepada anak-anak sebab dianggap biasa saja.

Padahal, pasti ada pesan kuat mengapa tepat itu dinamakan Tanah Runtuh. Pasti ada pesan hebat yang hendak disampaikan kepada generasi berikutnya.

Survei yang dilakukan Litbang Kompas setahun lalu menemukan 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden juga merasa aman dari risiko bencana alam.

Makanya, mereka merasa tidak penting untuk mewariskan ingatan tentang bencana. Padahal, jika pewarisan itu terjadi, maka masyarakat bisa melakukan deteksi dini dan bersiap menghadapi berbagai risiko bencana. Masyarakat bisa lebih tangguh dan tahu apa yang harus dilakukan saat tanda-tanda bencana mulai tampak di depan mata.

Saya sepakat dengan pendapat Yoko Takafuji. Daripada sibuk menyalahkan teknologi dan pemerintah, jauh lebih baik kita memperkuat ikatan sosial di masyarakat. Jauh lebih mendesak untuk memperkuat kapasitas masyarakat sehingga siap menghadapi situasi apa pun.

Deteksi dini harus diperkenalkan kepada masyarakat. Anak-anak kita harus diajarkan kembali untuk mengenali dongeng, syair, hikayat, dan tuturan masa silam. Sebab semuanya adalah pesan-pesan yang merupakan akumulasi pengetahuan selama ribuan tahun.

Dalam setiap dongeng, pasti ada cerita yang harusnya kita serap dan pelajari demi menyelamatkan generasi hari ini dan masa depan. Tugas kita adalah bagaimana menyerap semua kisah-kisah kearifan itu telah dikemas menjadi beragam media komunikasi, mulai dari komik, buku, hingga pembacaan syair.

Tentu saja, upaya itu ditempuh agar cerita-cerita itu bisa abadi dan terus memberikan sukma bagi masyarakat di tengah wilayah yang rentan bencana.

Hanya dengan merawat kisah, maka masyarakat bisa terhindar dari bencana yang terjadi di masa mendatang. Kepada warga Pulau Simeulue, kita tak perlu malu untuk berguru. Marilah kita menyerap pelajaran berharga di pulau kecil itu.

Bahwa sebuah hikayat, sebuah dongeng, punya kekuatan hebat untuk menyelamatkan manusia dari bencana dahsyat yang setiap saat datang menghadang. Hikayat itu jauh lebih bertenaga ketimbang teknologi yang dibuat manusia modern.

Sebagaimana dicatat Yoko, Simeulue punya keajaiban. Bahkan tempat paling modern di Jepang pun, korban bisa banyak berjatuhan saat dihantam bencana alam. Padahal di Simeulue, korban jauh lebih sedikit disebabkan betapa dahsyatnya pengaruh syair dan hikayat.

Syair itu menjadi suara dan peringatan dari masa silam untuk menyelamatkan generasi hari ini.




Kisah Haru Pahlawan di Bandara Palu


ENTAH apa yang ada di benak pilot pesawat Kapten Mafella, pilot Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6231. Tiba-tiba saja ia ingin mempercepat tiga menit keberangkatannya dari Bandara Mutiara Palu. Ia harusnya berangkat pukul 17.55 WITA. Tapi dia ingin mempercepatnya.

Dia menghubungi menara pengawas atau Air Traffic Controller (ATC). Petugas yang berjaga adalah Anthonius Gunawan Agung langsung mengizinkannya berangkat. Bahkan Anthonius memandu Mafella agar lepas landas dengan cepat.

Beberapa detik sebelum take off, pesawat itu mengalami guncangan. Mafella tidak merasa terganggu. Yang dia pikirkan hanya fokus di cockpit pesawat untuk airborne phase (tinggal landas). Ia tidak menyadari bahwa guncangan tersebut adalah gempa.



Anthonius masih sempat mengucapkan kalimat: “Batik 6231 R/W 33 clear for take off.” Mafella menjawab, “Thank you for letting me take off.” Pesawat pun tinggal landas. Suara gemuruh terdengar.

Mafella melihat air bah menerjang apa pun di bandara. Dia mengambil HP dan mengabadikan peristiwa itu dengan cepat. Saat dirinya melihat menara pengawas, dia langsung tercekat. Menara itu roboh seketika.

Dia membayangkan nasib petugas yang memandunya. Harusnya dia masih bisa menyelamatkan diri. Tapi petugas itu tetap setia di kursinya dan memandu pesawat agar segera terbang.

Kisah yang dituturkan Mafella melalui Twitter bak gayung bersambut. Beberapa petugas ATC yang berhasil menyelamatkan diri ikut bersuara. Anthonius menolak untuk menyelamatkan diri pada saat semua rekannya berteriak untuk menyuruhnya pergi.

Ia menuntaskan tugasnya memandu pesawat itu. Dia memastikan roda pesawat sudah meninggalkan landasan bandara yang kemudian terbelah. Setelah itu, Anthonius melompat dari lantai empat menara pengawas yang runtuh diterjang tsunami. Kakinya patah.

Rekan-rekannya lalu membawanya dengan helikopter untuk mendapatkan pertolongan. Tapi, dirinya tak terselamatkan. Mendengar berita kematian Anthonius, Mafella amat bersedih.

“Saya tidak menyangka dia tetap di kursinya untuk menyelesaikan tugas. Tuhan punya rencana lain,” katanya.

Saya tergetar membaca kisah Anthonius melalui Twitter. Jika berada dalam posisinya, tidak banyak orang yang mau mengambil langkah heroik untuk menyelamatkan orang lain, setelah itu diri sendiri.

Anthonius adalah orang biasa, yang barangkali sering kita saksikan berseliweran di jalan-jalan. Dia bukan politisi yang suka mengatasnamakan rakyat. Dia bukan juga para prajurit yang ditempa dengan doktrin nasionalisme.

Tapi dia punya spirit yang luar biasa, jiwa yang bening, serta kekuatan hati yang menggerakkan dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa. Dia bisa saja ikut lari dan membiarkan pesawat itu diam di tempat hingga ditelan tsunami.

Tapi dia memilih tetap memandu pesawat itu hingga terbang serta memastikan semuanya berjalan normal, dan ratusan orang di situ selamat. Anthonius, anak muda yang lahir tahun 1996 itu, telah berpulang.

Semangatnya akan tetap hidup dan menjadi nyala kecil yang terus menyala di hati mereka yang mendengar kisahnya. Dia seperti Edward John Smith, nakhoda kapal Titanic yang memilih tenggelam bersama kapal. Dia ibarat Kapten Rivai, nakhoda kapal Tampomas yang karam di Pulau Masalembo.

Dahulu, saya mengira bahwa kepahlawanan adalah sesuatu yang sudah berakhir. Kita sering alpa melihat pahlawan sebagai kualitas yang seyogyanya dimiliki untuk setiap orang pada zaman apa pun. Kepahlawanan adalah potensi yang bisa melekat pada siapa pun.

Belajar dari kisah Anthonius, para pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, mereka yang ikhlas mengorbankan apa pun demi kepentingan yang lebih besar. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, tanpa mengharapkan gaji atau imbalan.

Pahlawan adalah mereka yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri. Pahlawan adalah para bapak dan ibu yang menyayangi anaknya sepenuh hati. Pahlawan adalah para guru yang mengabdi di ujung pelosok negeri ini.

Pahlawan adalah para tukang sayur dan penjual ikan yang saban hari sudah memenuhi pasar demi sesamanya. Pahlawan adalah orang yang mendahulukan keselamatan orang lain. Pahlawan adalah mereka yang bahagia ketika membantu sesama, meskipun dirinya ibarat lilin yang memberi nyala terang, namun selanjutnya punah terbakar.

Mereka tersebar di masyarakat kita, dan bekerja dengan diam-diam, tanpa berharap untuk dikenal orang lain.

Merekalah pahlawan zaman ini yang tak butuh popularitas. Anda pun bisa menjadi pahlawan yang mengabdikan diri pada sesama dengan berbekal tetes demi tetes cinta kasih pada sesama, hati yang bening, semangat dan keikhlasan berbagi. Inilah pahlawan di "zaman now".

Hari ini, banyak orang di media sosial yang memajang foto Anthonius Gunawan Agung. Dia terlihat gagah dan sedang tersenyum. Semoga dirinya selalu tersenyum di alam sana, bersama para korban lainnya. Semoga dia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

Turut berduka cita.