Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Motor J O K O W I

Di garasi rumah, ada motor selalu nangkring. Motor itu dinamakan motor Jokowi. Kisahnya panjang. 

Waktu itu, di tahun 2013, saya baru sebulan pindah mukim ke kota Bogor. Gaji saya sebagai aparat sipil negara dan periset di satu kampus besar hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ke mana-mana, saya naik angkot. Ingin beli motor, saya tak berani menitip SK ke bank. Setiap hari saya mikir gimana cara dapat uang tambahan.

Ada beberapa teman nawari kerja, saya tak berani terima. Maklumlah, masih staf baru. 

Hingga suatu hari saya melihat ada pengumuman lomba menulis yang diadakan relawan Jokowi. Hadiahnya 10 juta untuk pemenang pertama, 8 juta pemenang kedua, dan 7.5 juta untuk pemenang ketiga. Kan enak banget. Cukup duduk menulis artikel, bisa berpotensi menang lomba yang hadiahnya setara tiga bulan gaji.

Di masa itu, saya adalah pemburu lomba menulis artikel. Entah kenapa, hadiah lomba menulis saat itu sangat besar. Banyak lomba yang hadiahnya puluhan juta. 

Malah, Bisnis Indonesia bikin lomba menulis yang hadiahnya mobil Agya. Pernah ikut, tapi tidak menang. Yang saya kenal pernah menang lomba berhadiah mobil itu adalah Hilman Fajrian, founder Arkademi.

Saya lihat juri lomba esai Jokowi itu adalah para sastrawan papan atas di tanah air. Saya terapkan rumus yang selalu saya pakai untuk menangkan lomba. Cari topik yang tidak biasa. Jangan bahas Jakarta dan sekitarnya. Jangan tulis topik yang sering dibahas di media. Mengapa? Sebab tema2 itu terlalu biasa. Tidak unik.

Cari topik mengenai kampung2 yang jauh dari Jakarta. Ceritakan hal2 yang jarang diamati dan dilakoni warga kota. Beruntung, sebagai orang kampung, saya punya timbunan kisah2 perjalanan, mulai dari menyusuri pulau, bertemu nelayan dan petani, hantu2 laut, dukun yang bisa bicara dengan langit, hingga kisah2 penenun di perbatasan.

Tips lain adalah hadirkan optimisme. Selain itu, harus sedikit memuji. Kalau lombanya diadakan relawan Jokowi, maka pandai-pandailah memuji Jokowi. Kalau lombanya diadakan relawan Prabowo, pandai pula memuji Prabowo. Dalam memuji, ada takarannya, biar pas. Jangan juga over sebab bisa bikin eneg. Just info, saya ikut dua-duanya. Saat Anda sibuk dalam tengkar cebong vs kampret, saya malah panen di dua kubu itu. Hehehe.


Singkat kata, saya mengirimkan tulisan tentang relawan Jokowi yang menelusuri pulau2 di Lombok Barat. Kebetulan, saya ikut rombongan relawan yang melakukan blusukan maritim. Tentunya, ada bagian yang saya dramatisasi di tulisan itu. Ada bagian yang ditambah-tambahin. Biar wow. 

Puji Tuhan, tulisan itu juara dua. Saya menang hadiah uang tunai 8 juta. Begitu diterima, saya belikan motor bekas dengan harga murah. Setiba di rumah, bini protes. Kenapa beli motor bekas? Kenapa bukan yang baru?

“Tenang, tidak lama lagi kita akan beli mobil,” jawabku asal.

“Duitnya dari mana?" Dia bertanya.

“Kita akan cari lomba menulis yang lain,” lagi-lagi saya jawab ngawur.

Ternyata, beberapa bulan berikutnya kalimat itu terbukti. Hmm. Gimana caranya? Nanti kita bahas yaa. Ingatkan saya.


Sejam Bersama Ibu Oday

Pertemuan awal via zoom. Kami hanya sebatas memandang melalui layar. Tapi ada rasa haru yang mewarnai pertemuan itu. Mamah Oday dahulu divonis kanker, penyakit yang juga dirasakan ayah, kakak, dan saudaranya. 

Bertahun-tahun dia berusaha menjalani semua pengobatan dari rumah sakit. Dia mulai menyerah. Dia mengira akan kalah. Seseorang memberitahunya tentang khasiat tanaman obat. Dia yakin, Tuhan selalu menumbuhkan obat untuk setiap penyakit. Semuanya ada di sekitar kita. Kita hanya perlu ikhtiar dan menemukannya.

Mulailah dia mencoba berbagai tanaman obat. Mulai dari daun paria hingga dedaunan lain. Seiring waktu, tubuhnya membaik. Matanya terang. Dia mulai sehat sebagaimana sedia kala. Senyumnya mulai berseri. Dia menemukan keajaiban.

Dia menemukan pencerahan. Dia menanam kembali semua tanaman obat yang menyembuhkannya. Dia telaten merawat semua tanaman itu hingga kebunnya berkembang menjadi seluas 21,3 hektar.

Di Ciwidey, Kabupaten Bandung, dia menampung lebih dari 900 spesies tanaman obat. Di kebun yang dinamakannya Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam itu, dia membuka klinik herbal untuk berbagi pengetahuan dengan banyak orang. 

Kerja-kerjanya berbuah penghargaan dari mana-mana. Dia pun mendapatkan penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan hidup dan pelestarian tanaman obat.

Saat bersua melalui Zoom, dia beberapa kali terharu. Dia telah melalui banyak kesulitan, hingga akhirnya berhasil keluar dengan bahagia. Dia mencintai bumi dan semua tanaman yang tumbuh. 

“Kapan Anakku bisa datang silaturahmi ke Bandung?” tanyanya kepada saya. Dia memanggil saya dengan sapaan anak. Dia ingin menunjukkan kebunnya yang luas di Ciwidey, Bandung. Saya benar-benar tak sabar bertemu.


Di Balik Catatan Harian


Di satu gedung tinggi di kawasan SCBD, Jakarta, saya bertemu ibu itu. Dia seorang pengusaha. Suaminya pejabat tinggi di satu kementerian.

Dia memperlihatkan lembar2 lusuh dan ditulis tangan. Rupanya itu adalah catatan harian yang ditulis anaknya di satu pesantren di Jawa Barat. Ibu itu mewajibkan anaknya untuk menulis catatan harian yang serupa surat. Di situ ada celoteh khas seorang anak yang menyapa ibunya dengan penuh cinta.

Tadinya itu hanya sebatas rutinitas. Namun, kian lama menulis catatan harian menjadi aktivitas yang sangat positif. Lewat menulis, anak itu melatih logika, mengasah kreativitas, juga mengembangkan imajinasi.

Saya mengamati catatan itu dengan hati mekar. Saya ingat Hernowo, petinggi Mizan, yang menganjurkan orang2 untuk membuat coretan2. Dengan mencoret sesuatu di lembaran kertas, maka otak kiri dan otak kanan bisa bekerja secara simultan. Kata Imam Ali: "ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

"Apa bisa kita terbitkan catatan ini?" tanya ibu itu. Tentu saja. Justru catatan anak itu akan menjadi satu prasasti ingatan. Catatan itu akan menjadi monumen kenangan, menjadi jejak dan penanda tentang proses bertumbuh dan bertunas. Catatan itu menjadi titik awal dari proses berkelana di rimba pengetahuan, hingga kelak menemukan kearifan sebagai matahari penuntun jalan.

"Saya ingin menjadikannya hadiah ulang tahun," dia kembali berkata. Saya mengangguk. Ini akan jadi hadiah terindah. Hadiah sepeda, nintendo, dan jalan2 ke luar negeri akan punah seiring waktu. Tapi aksara akan selalu abadi. Kelak menjadi mesin waktu yang membawa seorang anak untuk menemukan cinta ibunya. 

Ya, ada cinta di situ. Ada cinta yang mengalir di setiap kata, ada pula cinta pada keikhlasan ibu itu membingkai perjalanan anaknya. Jika bukan karena cinta, lembar lusuh itu akan musnah, seiring dengan ingatan yang sangat terbatas. 

Kelak, anak itu akan menjadi ilmuwan besar, penulis besar, atau menjadi sosok impiannya. Namun catatan itu akan selalu jadi tempat nostalgia yang indah, sekaligus penanda kalau kaki-kakinya pernah tertatih, namun dia terus bergerak untuk menggapai mimpinya.

"Yos, apa kamu bisa jadi editornya? Bisakah?"

Nah, saya suka pertanyaan ini.


Tarung BIG DATA di Balik Laga Jerman Versus Inggris

seorang pemain Jerman tertunduk lesu

Pertandingan besar itu akan digelar sehari lagi di Wembley Stadium. Jerman akan bertarung melawan Inggris, lawan yang sering dikalahkannya dalam fase knockout. Pemain Jerman, Thomas Muller, sangat yakin akan mengalahkan Inggris. Pemain lain sama yakinnya.

Namun, Pascal Bauer, yang bekerja sebagai Senior Data Scientist di timnas Jerman, malah lebih banyak diam. Saat jurnalis bertanya, dia hanya menjawab diplomatis. “Inggris punya skuad yang sangat berbakat. Mereka punya kekuatan individu, sebagaimana kami,” katanya, sebagaimana dikutip beberapa media.

Pascal Bauer adalah ilmuwan data (data scientist) yang bekerja untuk asosiasi sepakbola Jerman (DFB). Dia dan timnya menganalisis Big Data dan mengembangkan algoritma untuk memahami semua kekuatan lawan yang dihadapi negerinya. 

Selama ini, orang hanya melihat Jerman sebagai negeri dengan talenta terbaik dalam bermain. Padahal kekuatan Jerman bukanlah itu. Kekuatan Jerman terletak pada penggunaan sains untuk memenangkan pertandingan demi pertandingan. 

BACA: Dari BIG DATA, Artificial Intelligence, Hingga Kediktatoran Digital


Sejak tahun 2004, Jerman membangun Big Data untuk menganalisis pemain dan pertandingan. Lihat saja apa yang terjadi di Piala Dunia 2014 di Brasil. Jerman mempermalukan Brasil dengan skor 7-1. Sebelum bertanding, Jerman telah menganalisis performa pemain dan menentukan strategi permainan. 

Penggunaan sains dan teknologi bisa dilihat pada dua hal, yakni penggunaan Big Data untuk menganalisis permainan dan menentukan strategi serta program latihan inovatif yang berfungsi meningkatkan performa pemain. 

"Kami punya data permainan Brasil tanpa Silva dan Neymar," kata Olivier Bierhoff, manager tim Jerman, dalam wawancara dengan ESPN. Perangkat bernama Match Insight membantu tim Jerman melakukan evaluasi. 

Perangkat itu terhubung dengan kamera di lapangan yang bisa merekam pertandingan. Video rekaman berdurasi singkat bisa dikirim kepada pemain lewat perangkat mobile. Bierhoff mengatakan, "Pemain mendapatkan beberapa contoh hal baik dan buruk yang dilakukan setiap pertandingan usai. Mereka bisa melihat kapan pun serta bisa juga mengecek data performa permainan." 


Di ajang Euro 2021, timnas Jerman kembali menggunakan Big Data. Bauer bercerita, di hari Rabu, 22 Juni 2021, sebelum pertandingan grup terakhir Jerman melawan Hungaria, tim data DFB menyiapkan laporan awal tentang kelima calon lawan di babak berikutnya. Setelah jelas mereka akan melawan Inggris, data-data dikirim ke pelatih sehingga mereka bisa memulai persiapan mereka. 

Data membantu analis video melakukan pekerjaan mereka lebih cepat di antara pertandingan. Data pertandingan juga digabungkan dengan data pelatihan, yang ditangani perusahaan database Exasol untuk melihat rapor para pemain. 

Data akan menganalisis fisik para pemain dan menginformasikan jika mereka rawan cedera. “Data membantu mereka membuat keputusan yang tepat,” kata Sebastian Koppers, pemimpin inovasi di akademi DFB. “Bagi kami, ini hanya tentang menyediakan dasbor itu sehingga mereka dapat membuat keputusan.”

Namun, Big Data juga bukan hanya monopoli tim Jerman. Meskipun informasinya tidak banyak tersedia, Inggris juga serius mengembangkan Big Data untuk permainannya. FA Inggris jarang berkomentar terbuka tentang Big Data.

Media mencatat bagaimana Inggris menggunakan pelacak GPS untuk mengukur seberapa jauh dan cepat pemain berlari selama pelatihan, dan melacak kinerja mereka dan bagaimana mereka tidur. 

Data telah membantu permainan tim Inggris. Menjelang Piala Dunia 2018, Inggris melakukan analisis signifikan terhadap adu penalti, melihat hal-hal seperti berapa lama pemain menunggu antara peluit wasit dan memukul bola. Inggris menang adu penalti lawan Kolombia berkat analisis adu penalti.

Namun, semua keputusan tetap ada pada manajer atau pelatih. Tantangan bagi para analis data adalah memberikan wawasan bagi para pelatih tanpa memberi terlalu banyak intervensi. 

Pelatih Inggris, Gareth Southgate menyimpulkannya dengan baik. “Kami dibanjiri data dan tantangan kami adalah menemukan apa yang benar-benar relevan bagi kami,” katanya. 

“Dalam banyak olahraga lain, sangat jelas jika Anda melakukan X, Y, Z, Anda menang. Dalam sepak bola, banyak peristiwa acak bisa terjadi. Tetapi ada beberapa hal konsisten yang kami tahu perlu kami lakukan untuk bisa menang.”

Human Transformation

Namun secanggih apa pun sistem data yang dibangun, semuanya tetap berpulang pada manusia. Di dunia bisnis, transformasi teknologi harus selalu diiringi dengan transformasi manusia. Kata Thomas L Friedman, AI akan selalu membutuhkan IA. Yang dimaksud AI adalah Artificial Intelligence, sedangkan IA adalah Intelligence Assistant.

Dalam dunia sepakbola, transformasi manusia sama pentingnya dengan memperkuat data. Itulah sebab mengapa pelatih hebat tetap butuh visi bermain dari kapten tim di lapangan. Pelatih sekelas Guardiola membutuhkan pemain sekaliber Messi untuk memenangkan pertandingan.

BACA: Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus


Selain itu, dalam sepakbola, ada banyak hal yang bisa mempengaruhi permainan. Kuncinya terletak pada pemilihan pemain yang bisa membuat perbedaan di lapangan. Di titik inilah terletak pentingnya transformasi manusia. 

Jerman bisa membangun data, namun belum tentu bisa membangun pasukan yang solid untuk bergerak secara kolektif. Tidak mengejutkan, saat Thomas Muller membawa bola seorang diri, lolos dari jebakan offside, data mengatakan 99 persen akan terjadi gol. Namun sorak-sorai penonton, serta hal-hal kecil membuat tendangan itu melenceng.

Jerman pun menjadi tim yang miskin strategi. Pola bermain Jerman yang mengandalkan tiga bek telah dikritik banyak orang, termasuk oleh pelatih asal Jerman Jurgen Klopp. Bahkan mantan punggawa timnas Jerman, Michel Ballack, mengkritik keras keputusan pelatih Joachim Low yang terlambat melakukan pergantian pemain, serta tidak mengubah strategi. “Dia masih tetap memegang filosofi bermainnya yang sudah usang,” kata Ballack.


Namun, apakah kegagalan Jerman bisa dibilang sebagai kegagalan membaca dan menafsir Big Data? 

Pascal Bauer, analis data di tim Jerman, mengatakan tim analis hanya memberikan rekomendasi dan data kepada pelatih dan pemain. Keputusan akhir tergantung pada mereka. 

Ada saat di mana pelatih mengabaikan rekomendasi. Sebab sering kali, ada filosofi bermain serta prinsip yang hendak dipertahankan. “Seperti Inggris, kami tidak mencoba menyesuaikan gaya bermain kami dengan lawan mana pun,” kata Bauer. “Kami ingin memiliki filosofi bermain kami yang tidak berubah setiap minggu.”

Di titik ini, ada isyarat kalau Low mengabaikan analis data demi prinsip bermain yang dibangunnya. Boleh jadi, keputusan bermain dengan pola yang sudah bisa ditebak lawan itu pula yang membuat Jerman hengkang lebih awal.

Saya ingat kalimat Brian Clegg di buku Big Data yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Mahadata. Katanya, data berasal dari kata “datum” yang artinya “sesuatu yang diberi.” Dalam artian, data-data hanya lah sesuatu yang kosong, jika tidak diberi makna. Kita yang memberinya tafsiran sehingga bisa berguna untuk berbagai keperluan.

Hari ini, Jerman kalah. Besok-besok, dia akan kembali bangkit. Yang penting dipikirkan adalah kapan sepakbola negeri kita bisa bangkit, jika pengurusnya hanya berpikir untuk mendatangkan pelatih hebat. 

Padahal, sepakbola bukan hanya soal pelatih, tetapi ada soal bagaimana membangun iklim kompetisi, membangun sistem dan infrastruktur teknologi, menyusun data tentang pemain, serta menyiapkan pemain timnas agar bisa berlaga sebagai prajurit di medan laga.

Sepakbola adalah soal sains, bukan soal koneksi, bukan pula soal perdukunan. Lantas, kapan kita bangkit?



Banggai LAUT


Kemarin sore, hp saya berdering. Ada nomor tak dikenal. Ada suara yang memperkenalkan diri. Rupanya dia adalah Sofyan Kaepa, Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Dia minta bantuan untuk dipertemukan dengan Menteri Investasi.

Biasanya saya menolak. Tapi dia mengajak saya berbicara dengan bahasa Buton. Kali ini saya tak bisa menolak. Kebetulan, saya pernah mengurus tanaman di lantai lima gedung itu. Saya pun menghubungi beberapa orang.

Permintaan itu mendadak. Menteri terbang ke luar negeri. Untungnya, staf khusus menteri dan beberapa deputi dan direktur bisa bertemu. Maka dirancanglah pertemuan hari ini.

Bupati datang dengan timnya. Dia cukup piawai menjelaskan potensi perikanan Banggai Laut. Kebetulan sekali, Kementerian Investasi sedang merancang kampanye investasi ke beberapa negara, serta mempertemukan investor global dengan pengusaha di tingkat lokal.

Saya pernah diajak terlibat untuk buat tim yang jadi market intelligent, mendata pengusaha di beberapa negara, lalu mengajak mereka investasi di tingkat lokal. Sayang sekali, saya tak bisa lama di situ. Saya fokus melatih kucing yang kian beranak-pinak.

"Setelah ini, apa bisa kami ketemu dgn Pak LBP?" tanya kawan yang menemani rombongan itu.

"Maafkan. Akses saya hanya pada kucing2. Tak lebih," kataku.


Warisan JOE GIRARD


Baru dua kali saya menyendok makanan, tiba-tiba ada suara riuh di restoran hotel itu. Para pegawai hotel datang dengan memakai atribut ultah. Mereka bernyanyi. Saya pikir lagu itu ditujukan untuk orang lain. Ternyata buat saya.

Sejak dua tahun lalu, saya selalu merahasiakan tanggal ultah. Bahkan di media sosial pun, notifikasi ultah saya sembunyikan. Namun, tak mungkin menyimpan rahasia di era digital. Di hari ultah, berdatangan email yang isinya ucapan selamat.

Satu asuransi berwarna merah malah mengirimkan email berkali-kali, juga bingkisan. Mungkin terkait berapa polis yang saya beli. Ada juga bank. Ada juga asuransi mobil. Demikian pula beberapa hotel. Kejutan datang dari hotel yang kebetulan saya inapi hari itu. 

Saya teringat satu bacaan mengenai ucapan ultah sebagai salah satu strategi marketing yang sangat efektif.

Semuanya bermula dari kisah Joe Girard. Dia dikenal sebagai sales mobil paling tangguh di Amerika Serikat. Tak ada satu pun yang bisa melampaui apa yang dilakukannya. Ia bisa menjual hingga enam mobil dalam sehari. Bayangkan, dalam sebulan ia bisa menjual mobil hingga 180 mobil. Bayangkan pula, berapa komisi yang didapatkannya.

Joe Girard amat percaya diri ketika ditanya rahasianya. Ia mengatakan, sekali seseorang membeli mobil padanya, maka orang itu pasti akan datang kembali. Kalau tak datang lagi, maka ada dua kemungkinan, yakni (1) pindah dari Amerika Serikat, (2) pindah ke planet lain. 

“Sebab sekali orang tersebut transaksi dengan saya, pasti akan mencari saya kembali saat hendak membeli mobil,” katanya dengan yakin.

Rahasianya apa? Dia selalu berusaha mengenali siapa pun konsumennya. Dia menghafal nama mereka, lalu secara rutin merawat pertemanan. Dia secara rutin mengirimkan kartu ucapan kepada semua yang pernah dikenalnya. Tradisi mengirimkan kartu sangat bermakna bagi orang Amerika. 

Tak hanya itu, ia juga tak sungkan-sungkan untuk menelepon dan menyampaikan selamat ulang tahun. Ia punya daftar lengkap tentang nama dan tanggal ulang tahun. Dia hafal hal-hal kecil tentang pelanggannya. 

Mulai dari jumlah dan nama anak, alamat rumah, hingga nama anjing yang dipelihara pelanggan. Setiap bertemu, ia akan menjadikan semua informasi itu sebagai pintu masuk untuk berdialog. Dia disukai banyak orang. Hebat kan?

Bukan hanya Joe Girard yang menggunakan ucapan ultah sebagai strategi. Saya tahu dan mengenal beberapa politisi yang melakukan itu. Mereka berusaha mencatat dan mengenal siapa saja yang ultah di dapil mereka. Saat tiba hari H, mereka akan mengirimkan bingkisan.

Bagi konstituen, apalagi dia anak muda, kado ultah adalah sesuatu yang berharga. Tiba-tiba saja ada seseorang yang kenal siapa kamu dan memberimu kebahagiaan. Nama politisi itu akan terpatri di hati. Pada hari H, namanya akan dicoblos di bilik suara.

Di era ini, kita menamakannya soft selling. Anda mengambil hati orang lain melalui tindakan kecil bermakna, lalu merasuk dalam kesadaran orang itu. Para pemasar hebat tidak lagi hanya sekadar memasarkan sesuatu. Pemasar hebat lebih mengutamakan pelayanan, kenyamanan, serta merebut hati para calon konsumennya. 

Saya melihat metode pemasaran yang lembut ini justru berakar pada budaya kita. Kita tahu sendiri dalam Islam, Rasul dulu disebut Al Amin karena kejujurannya saat berdagang. Dengan cara itu, orang-orang terkesima dan percaya padanya.

Saya teringat pada ajaran orang tua dan masyarakat kita untuk selalu berkata jujur, tidak menyakiti orang lain, berusaha membahagiakan siapa pun, serta menyayangi siapa saja. Inilah kaidah-kaidah moral yang diajarkan oleh masyarakat kita secara tradisional.

Kami orang Buton, punya falsafah “Pobinci-binciki kuli.” Maknanya, cubitlah dirimu, jika sakit, jangan cubit orang lain. Dalam hidup, kita akan diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan orang lain. Itulah landasan moral dalam dunia sosial kita.

Untuk jadi pemasar yang baik, jadilah orang baik. Jadilah orang yang memahami dan memperlakukan semua orang dengan baik. Bangunlah pertemanan yang saling menguatkan. Jadikan nilai-nilai persahabatan itu di atas segala hal yang menyangkut materi.

Sepulang dari hotel, HP-ku berdering. Seorang lulusan magister yang menemui saya kemarin, tiba-tiba menelepon. “Kak Yos, bantulah aku. Pinjamilah aku barang sejuta dua juta. Kakak kan baik,” katanya.

Hmm. Punya banyak relasi juga tak selamanya baik, khususnya bagi kantong.


Kisah Kenshin, Upheaval, dan Kebangkitan


Lama menanti, Ruroini Kenshin: The Final tayang juga di Netflix. Sejak jauh hari, saya sudah menandai tanggal. Saya sudah menyukai kisah Samurai X ini sejak masih dalam format kartun yang dulu tayang di televisi swasta, bertahun-tahun lalu.

Kenshin Himura adalah samurai pengembara yang tengah berjuang untuk melupakan semua trauma masa lalu. Dahulu, dia adalah seorang battosai atau pembantai samurai yang hendak memberontak pada kekaisaran. 

Dia loyalis kaisar yang bertarung dan menebas banyak pendekar setelah itu mengasingkan diri di satu desa. Dia menjadi warga biasa, yang setiap harinya menjadi baby-sitter dua anak kecil, serta menjadi pelayan di dojo milik Kaoru Kamiya. Kenshin menjauh dari hiruk-pikuk dan perubahan yang sedang melanda Jepang di era Meiji.

Namun dia tak benar-benar bisa menghilang. Dia selalu dikejar masa lalunya, khususnya orang-orang yang ingin menjadi the greatest warrior, serta mereka yang dendam dengannya. 

Kisah Samurai X merekam semua dinamika itu dengan apik. Kisahnya mengingatkan saya pada Upheaval yang ditulis Jared Diamond mengenai kebangkitan dari satu bangsa, serta betapa mahalnya biaya sosial yang harus dipikul. 

Bahwa dalam sebuah disrupsi, mereka yang di pihak nyaman akan merasa dirugikan sehingga bergejolak. Ketangguhan suatu bangsa terletak pada kemampuan merespon perubahan, serta menanamkan perubahan itu ke darah masyarakatnya.

Jika hari ini kita melihat Jepang yang modern, tetapi tetap menghadirkan tradisionalitasnya, maka itu adalah hasil dari gejolak dan prahara yang terjadi di era Meiji, pada masa di mana Kenshin harus mengangkat pedang.

Kisah ini mulanya tampil dalam format animasi atau manga ini, mulai difilmkan pada tahun 2012 dengan judul Ruroini Kenshin. Tahun 2014, dua film lain diluncurkan yakni Kyoto Inferno dan Legend Ends. 

Saya pikir sejak tiga film itu, tak ada lagi Kenshin. Puji Tuhan, ternyata tahun 2021, Kenshin hadir lagi dalam dua film yakni The Final (tayang di Netflix sejak Jumat lalu) dan The Beginning

Di Jepang, The Final telah tayang sejak April 2021 dan menjadi box office. Selama tiga hari penayangan perdana, The Final meraup pendapatan 745 juta yen atau USD 6,9 juta. Film ini juga akan diputar di Shanghai International Film Festival (SIFF) ke-24

Saya amat gembira dan bahagia saat menyaksikan film ini. Ada nostalgia dan rindu menyaksikan serial yang dulu tampil dalam format animasi ini.

Ada hal yang tetap dan hal yang berubah. Jajaran pemainnya masih sama.  Namun, saya melihat pemeran Kenshin agak menua. Karakternya pun dibuat lebih dingin. Sejak awal, film ini menyajikan kemuraman, kesedihan. Sepanjang film, nyaris tak terlihat senyum di wajah Kenshin. Padahal musuh besarnya Sishio telah tewas.

Sebagai seorang mantan battosai, nama lain bagi samurai pembantai samurai di era Meiji, Kenshin akan selalu dicari banyak pendendam. Bukan hanya dicari mereka yang ingin mengalahkan dirinya agar menjadi sosok terhebat, tapi juga mereka yang keluarganya pernah dibantai Kenshin.

Kali ini, dia dicari saudara iparnya, Enishi Yukishiro. Pria ini menyaksikan tewasnya Tomoe Yukishiro, mantan istri Kenshin yang tewas di ujung pedang Kenshin. Dia memelihara dendam selama bertahun-tahun. Dia mengumpulkan pendekar sakti lalu membuat barisan dengan satu misi yakni membunuh battosai Kenshin.

Barisan pendekar ini mengingatkan saya pada Juppongatana, barisan pendekar yang dipimpin Makoto Shishio, musuh besar Kenshin. Saya sih melihat pasukan Shishio masih lebih sakti dan mengerikan. 

Di antara pasukan Sishio, nama yang terpatri di benak saya adalah Seta Sojiro, pria berwajah bayi yang pernah mengalahkan Kenshin, sehingga memaksanya pergi berguru kembali demi memperdalam ilmu berpedangnya. Dalam The Final, Seta Sojiro muncul kembali. Kali ini dia hadir untuk membantu Kenshin dalam menghadapi pasukan Enishi.

Klimaksnya adalah pertarungan Kenshin melawan Enishi, setelah sebelumnya Kenshin mengalahkan ratusan orang. Saya pikir duel mereka adalah salah satu duel terbaik. Sembari bertarung, mereka berdialog tentang apa makna kehilangan, balas dendam, hingga bagaimana berdamai dengan masa lalu. Saya melihat karakter Kenshin kian dewasa dan matang.


Dari sisi cerita, tak ada yang mengejutkan. Semuanya datar-datar saja. Namun sinematografinya keren. Saya suka adegan saat salju turun perlahan, yang sedetik kemudian api menyambar. Adegan laga yang dikemas serupa tarian dan orkestra. Kenshin menghadapi ratusan orang dengan cara menebas dan berlari. Dia mengayun, menghantamkan pedang, lalu meluncur di lantai. 

Cara bertarungnya tidak sama dengan IP Man yang mendatangi lawan lalu duel hingga tewas. Kenshin bertarung dengan menggunakan akalnya, Ada saat dia saling lompat dan menebas, ada saat dia berlari lalu melompat ke dinding, melesat, lalu turun dengan hantaman pedang. Keren.

Satu hal yang saya sayangkan, karakter Kenshin di film berbeda dengan versi animasi. Di film, Kenshin selalu dingin saat bertarung, serta saat berinteraksi. Dia hanya punya satu warna. Tapi di versi animasi, karakter Kenshin lebih berwarna-warni. Dia bisa tampil konyol, bodoh, dan menjadi pengasuh dua anak kecil. Namun saat musuhnya datang, dia berubah menjadi sangat dingin.

Namun, baik animasi dan film sama-sama memotret tentang zaman yang sedang berubah. Jepang yang tadinya tertutup menjadi lebih terbuka. Di era Meiji, semua hal direformasi. Bukan saja tata pemerintahan, tapi juga ada tatanan sosial baru, di mana kelompok bangsawan yang tadinya berkuasa berubah menjadi warga biasa. 

Banyak bangsawan dan samurai yang tidak bisa menerima kenyataan itu, sehingga memilih membangkang pada pemerintahan. Kenshin hadir di jajaran kekaisaran yang bertugas untuk menghadapi semua pemberontakan. 

Dia bekerja bersama kekaisaran, tetapi dia menolak jadi bagian dari mereka yang mendapatkan status dan kemapanan. Dia memilih tinggal di desa, menjadi pelayan di sebuah dojo yang dipimpin Kaoru Kamiya. Dia menjadi warga biasa, yang berjuang untuk melupakan semua trauma dan kengerian yang dihadirkannya semasa jadi pembantai.

Namun Kenshin tak benar-benar menghilang. Dia nasionalis sejati yang akan hadir saat bangsanya dirundung perpecahan. Dia menghunus pedang sakabato atau pedang yang bilahnya tumpul demi tidak membunuh orang lain. Dia melumpuhkan, tapi tidak membunuh.

Dia tahu kapan masuk arena dan kapan meninggalkan arena. Saat rakyat terancam dan orang-orang memekik ketakutan, dia datang sebagai pahlawan. Saat tenang dan damai, dia pun melebur bersama warga. Dia seorang pendekar organik yang hidup di tengah massa rakyat, lalu sesekali maju ke permukaan.

Dia pendekar sejati.


BACA JUGA:

Belajar Hidup Melalui Samurai X

Kembalinya Kisah Samurai X

Duel Terdahsyat Kenshin Himura



Tujuh Keliru di MEDIA SOSIAL


Anak muda itu kembali datang menemui saya. Dia melihat catatan saya tentang Megawati yang viral dan dibaca puluhan ribu orang dalam sehari. Dia bekerja sebagai admin dan pengelola media sosial. Dia tahu persis betapa sulitnya membuatnya konten viral. “Bagaimana caranya Bang?” Dia bertanya.

Jika saja pertanyaan ini diajukan pada Claire Diaz-Ortiz, salah seorang praktisi media sosial, pasti akan dapat jawaban untuk berhenti mengejar target viral. Sebab mengejar viral adalah satu kekeliruan dalam perilaku bermedia sosial. 

Dalam buku Social Media Success for Every Brand, Claire membuat daftar kekeliruan dalam media sosial. Beberapa di antaranya pernah saya alami ketika memegang brand beberapa politisi dan perusahaan.  

Banyak orang salah kaprah dalam memandang media sosial. Banyak orang yang sekadar mengejar viral. Banyak orang yang mengira media sosial sebagai arena gratisan. Banyak pula yang berharap segera dapat cuan di medsos.

Baiklah, mari kita urut semua kekeliruan itu satu per satu.

Pertama, mengejar viral. Banyak perusahaan, brand, lembaga, atau public figure yang menjadikan viral sebagai strategi. Dipikirnya, semakin banyak yang bagikan dan sukai, maka konten itu sudah bagus. 

BACA: Senjata Digital untuk Aktivis "Jaman Now"


Padahal, strategi mengejar viral hanya akan membawa kita jauh dari tujuan. Demi mengejar viral, kita abai pada substansi, hanya berpikir bagaimana memuaskan orang lain. Kita bisa terjebak pada kedangkalan-kedangkalan, sehingga lupa pada hal-hal yang lebih penting.

Tujuan bermedia sosial bukanlah untuk viral, melainkan membangun brand. Brand adalah ciri atau identitas yang disematkan orang lain pada kita, sebagai hasil dari semua aktivitas-aktivitas yang kita lakukan. Di media sosial, lebih penting bagi kita untuk menentukan target kita ingin dikenal karena apa, bukan untuk membahagiakan semua kalangan.

Demi membangun brand, kita mesti sabar dan konsisten. Lihat saja bagaimana perusahaan sebesar Coca-Cola dan Apple membangun brand dalam waktu yang panjang. Mereka menciptakan desain yang konsisten, menyasar target yang tepat, serta menjaga agar semua konsumennya tetap loyal dan mengenali semua ciri kampanye pemasaran.

Kedua, hanya mengejar cuan atau keuntungan. Ini juga kekeliruan yang menjadi pelajaran bagi semua pemain di medsos. Pemasaran brand tidak sama dengan pemasaran langsung. Pemasaran brand mencakup hal-hal seperti media digital, media sosial, dan humas yang tujuan utamanya adalah kesadaran dan keterlibatan. Beraktivitas di media sosial juga bisa membangun reputasi dan serta mengikat komunitas. Bukan untuk cari uang.

Kita hanya menyediakan fundasi bagi pemasaran langsung. Jangan berharap segera ada cuan di situ. Kita membangun reputasi jangka panjang, yang bisa diibaratkan sebagai aktivitas menanam, sehingga kelak akan dipanen. Saat brand Anda kuat, maka semua peluang dan tawaran akan datang menghampiri.

BACA: Empat Sesat Pikir Politisi di Media Sosial


Ketiga, mengira media sosial sebagai arena gratisan. Mindset kebanyakan orang adalah media sosial selalu gratis. Memang, sekadar posting bisa gratis. Namun jika kita punya tujuan-tujuan spesifik, maka jalannya tidak selalu gratis.

Demi membangun tim media sosial yang efektif, kita sebaiknya punya beberapa pasukan. Di antara mereka adalah konten kreator, graphic designer, videografer, ilustrator, animator, hingga digital marketer. Semua kerja-kerja itu adalah profesi yang punya skill tertentu. Semuanya adalah keahlian yang butuh bayaran profesional. 

Saya rajin mengikuti postingan para digital marketer di Malaysia dan Singapura. Saya suka kutipan dari seorang pakar di sana. Katanya: “Stop treating content marketing or personal branding as zero cost marketing. If you want to see result, you will have to invest.” Jika ingin hasil, maka kita harus berani berinvestasi.


Dia mencontohkan investasi itu, mulai dari membayar jasa website, upgrade Canva Pro, kamera, pencahayaan, video editor, email marketing, hingga investasi ke Facebook Ads untuk distribusi konten. Semuanya butuh biaya. Semakin tinggi target, maka semakin besar investasi.  Jika kita menganggapnya gratisan, maka jangkauan pesan itu juga akan terbatas.

Keempat, menganggap endorse dari influencer adalah segala-galanya. Sejak melejitnya media sosial, kehadiran para pemengaruh atau influencer menjadi penting. Para influencer dianggap memiliki pengikut yang banyak dan loyal. Banyak perusahaan atau lembaga mengontak para influencer untuk memasarkan produk mereka.

Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Padahal, kebanyakan influencer punya pengikut yang sesuai dengan citra yang diinginkan. Banyak di antara mereka identik dengan konten receh, seperti Ferdian Paleka yang melakukan video prank kepada waria yang kemudian berujung pada proses hukum. 

Ketimbang mengandalkan influencer, jauh lebih baik jika kita membangun tim sendiri, membuat postingan dengan konsisten, lalu merawat hubungan pertemanan dengan semua orang. 

Kelima, selalu ikut trending topic. Banyak orang di media sosial yang ikut arus. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Ada semacam ketakutan jika kita tidak ikut arus atau trending topic yang sedang dibahas. 

Dalam konteks pemasaran brand, mengikuti trending topic menyebabkan kita kehilangan arah. Kita tidak mengenali di mana titik berpijak kita, serta apa yang menjadi kekuatan kita. Kita terombang-ambing dari isu ke isu, lalu lupa dengan apa tujuan kita saat membangun pasukan medsos.

Saat semua orang gandrung dengan konten receh, maka kita pun bisa ikut-ikutan. Padahal tidak semua yang receh berpotensi viral. Tidak semua yang serius akan diabaikan. Logikanya, saat semua orang di kerumunan, Anda akan tampak unik saat terpisah, sehingga orang akan bergerak ke arah Anda.


Dalam dunia musik hal yang sama juga berlaku. Saat album Badai Pasti Berlalu diluncurkan tahun 1977, semua orang terkejut karena album ini menghadirkan musik berkualitas di tengah arus lagu pop cengeng. 

Namun, siapa sangka, album itu menjadi album terbaik dan terlaris sepanjang sejarah. Dengan demikian, selalu ada ruang untuk kualitas. Makanya, jauh lebih baik mempertegas posisi sehingga brand makin kuat, ketimbang mengikuti apa yang sedang ramai diperbincangkan.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era 4.0


Keenam, mengira makin sering posting, maka semakin populer. Ini juga kekeliruan di media sosial kita. 

Saya memantau beberapa akun medsos milik partai politik. Saya melihat adanya kecenderungan yang sama. Semuanya mengandalkan kuantitas. Semuanya mempekerjakan para jurnalis yang rajin posting, tapi jarang mengevaluasi berapa banyak yang melihat dan menyukai postingannya.

Di media sosial, ada banyak tools atau aplikasi yang memberikan laporan sejauh mana konten kita menyebar. Gunakan semua tools itu untuk membangun strategi yang tepat sehingga hasilnya juga optimal. 

Ketujuh, merasa artis dan hanya menunggu disapa. Bedanya media sosial dengan media mainstream adalah interaksi. Di media sosial, Anda setiap saat bisa berinteraksi dengan orang-orang. Saat ada yang menanggapi, berilah respon. Semakin sering Anda berinteraksi, maka citra Anda akan semakin membaik.

Buatlah strategi agar orang lain merespon. Beri pertanyaan-pertanyaan. Kalau perlu, siapkan hadiah untuk penanggap terbaik. Rawatlah semua interaksi itu sebab kelak akan menjadi sesuatu yang membuahkan hasil. Saat Anda memasarkan sesuatu, maka orang-orang yang sering Anda sapa itulah yang pertama menyambutnya.

BACA: Tujuh Kiat Konten Serius Jadi Viral


Di medsos, semua orang punya posisi yang sama dan sejajar. Inilah the power of netizen. Di kancah global, netizen kita dikenal selalu berisik, selalu berkicau, dan selalu gampang terpantik nasionalismenya. Jadikan itu sebagai kekuatan. 

Lihat saja bagaimana brand asing, baik itu artis ataupun Youtuber, yang membuat konten tentang Indonesia. Sebab mereka tahu, orang Indonesia akan gampang bereaksi. Setiap klik bisa dimonetasi menjadi pengaruh.

“Apa Abang bisa menjadikan saya selebritis di media sosial?” Anak muda ini kembali bertanya. Saya terdiam dan lama merenung. Saya tidak tahu hendak mulai dari mana.



Terlalu Kecil Gelar Profesor untuk Mega


Dia menerima gelar doktor kehormatan dari beberapa kampus di dalam dan luar negeri. Kampus-kampus itu bukan kaleng-kaleng. Mulai dari kampus-kampus di Jepang, Korea, dan Rusia. Jika hari ini dia menerima gelar profesor dari satu kampus, apa salahnya? 

Orang-orang dengan sinis berucap, “Dia kan hanya lulus SMA. Dia kan bodoh dan tidak bisa bicara. Masa kepemimpinannya kan terlalu singkat. Tidak ada hal yang bisa dibanggakan.”

Jika dia bodoh, dia tidak mungkin berada di titik ini. Sejarah mencatat namanya sebagai seorang presiden yang separuh hidupnya dilalui dalam periode sulit. Berbagai rintangan dan duri-duri terhampar di perjalanan kakinya, namun dia tetap bisa menapak kaki ke posisi puncak republik.

Ada yang mengatakan, gelar itu didapat karena kuasa yang dipegangnya. Di dalam negeri, mungkin iya. Namun apakah kita bisa mengatakan hal yang sama pada kampus-kampus di luar negeri yang begitu murah hati dan baik budi karena memberikan gelar doktor kehormatan pada dirinya?

Ada yang bilang etika akademik runtuh sebab kampus dengan mudahnya mengobral gelar kepada seorang politisi. Bukankah dengan memberikan gelar kepada orang luar kampus adalah pertanda dari dedikasi kampus pada mereka yang punya rekam jejak dan pengabdian untuk orang banyak?

Yang patut dipersoalkan adalah apakah dia memenuhi semua syarat untuk menerima gelar kehormatan dari kampus. Lagian, itu kan urusan kampus. Selagi mereka menganggap layak, go ahead. Kalau Anda merasa dia tak layak dan merasa nyaman saat mem-bully dirinya, silakan saja.

Yang pasti, sejak awal menapak di jalur politik, Mega sudah kenyang dengan bully. Dia politisi yang terbiasa menghadapi ancaman. Dia menjalani hidup yang pahit dan berat, yang tidak dirasakan anak-anak presiden masa kini, mulai Tommy, Ilham, Yenny, Ibas, hingga Kaesang.

Ada masa di mana dia adalah anak istana yang menjalani masa remaja dalam kawalan Tjakrabirawa. Bersama saudaranya Sukma dan Rachma, dia ikut menari bersama 100 ribu penari saat pembukaan Ganefo di Stadion Gelora Bung Karno, 10 November 1963.

Selanjutnya hidupnya tidak mudah. Dia menyaksikan dengan perih, bagaimana hidup bapaknya yang dihabiskan dari pengasingan ke pengasingan demi kemerdekaan, tiba-tiba jadi tahanan oleh bangsa sendiri. 

Bulir air matanya menetes saat bapaknya dalam keadaan sekarat menyapa “Hoe goat het,” apa kabar kepada rekan seperjuangan Bung Hatta yang datang menjenguk. 

Dia saksi hidup saat bapaknya jadi tahanan politik yang ketika sakit tidak diobati oleh negara yang dimerdekakannya.

Bagi bapaknya, Bung Karno, kemerdekaan ibarat gerbang emas untuk menggapai semua kemajuan-kemajuan. Namun, kemerdekaan bisa serupa belati yang berbalik menikam mereka yang menggagasnya.

Megawati dan saudara-saudaranya meninggalkan istana, tanpa membawa pesangon. Mereka pun dijauhkan dari politik sebab bisa menggetarkan rezim. Mereka tak tahu bagaimana mencari uang untuk sekadar melanjutkan hidup. Kakaknya Guntur menjadi fotografer. Rachma membikin kampus. Guruh menjadi seniman Mega jadi ibu rumah tangga. 

Beberapa kali Mega ditawari sekolah di luar negeri, namun semuanya ditampik. Jika dia keluar, maka akan jadi “jebakan betmen.” Dia tak mungkin balik lagi sebagaimana ratusan ilmuwan yang dikirim bapaknya untuk studi di luar negeri, lalu dituduh kuminis oleh rezim.

Mega tetap sabar dan teguh saat rezim terus menyingkirkannya. Dia pun diam saja saat tiba-tiba di–DO dari kampus, tiba-tiba saja suaminya tewas misterius, hingga puncaknya saat aparat menyerbu markas partai yang dipimpinnya.

Dia melawan dalam diam. Tak ada kata atau makian yang menyembur dari bibirnya. Tak ada juga bully, sebagaimana ditunjukkan para ilmuwan sosial yang mengaku kritis di medsos.

Semua tekanan itu kian mendewasakannya. Dia punya kharisma yang membuat semua orang di sekitarnya tunduk pada perintahnya. Dia pun bisa membesarkan partai, yang tadinya dibonsai pemerintah, hingga menjadi kekuatan besar yang tak terbendung di negeri ini sejak masa reformasi. 

Jangan bandingkan dengan partai yang selalu teriak terzalimi. Bahkan di saat Mega di-bully, dia terus kokoh dan kian kuat di belantara politik negeri ini.

Di tengah semua bully-an, dia bisa memimpin partai besar, menaikkan banyak pengikutnya sebagai pemimpin, bahkan bisa mendudukkan seorang “petugas partai” menjadi presiden di republik ini.

Lantas, di mana salahnya? 

Harusnya Megawati menampik gelar-gelar hadiah.  Dia sejatinya tak perlu gelar profesor. Pengalaman hidup telah menempa dirinya untuk jadi lebih besar dari profesor mana pun. Bahkan gelar jenderal dengan bintang tujuh pun kecil baginya.

Di negeri ini, gelar profesor identik dengan legal formal yang tak selalu berkaitan dengan substansi. Anda bisa jadi profesor sepanjang memenuhi syarat serta mengurus administrasi dan kepangkatan. Soal kapasitas dan pengetahuan, sering tak menjadi hitungan.

Di negeri ini, gelar-gelar akademik menjadi gelar kosong tanpa makna. Tak ada bedanya dengan gelar bangsawan, atau gelar Haji yang disematkan semua calon pemimpin di pilkada. Gelar-gelar itu hanya casing, sekadar untuk membuat orang lain terkesan, namun tak selalu identik dengan substansi.

Harusnya Megawati tak perlu ikut-ikutan bikin karya ilmiah untuk memenuhi syarat administrasi.  Dia tak perlu sitasi dan menulis di jurnal terakreditasi. Dia tak perlu menyuruh orang untuk menulis makalah atas nama dirinya.

Biarlah upaya mengejar gelar itu menjadi milik sedikit orang yang bermimpi jadi bangsawan baru. Gelar-gelar itu bisa meninggikan gengsi, bisa menaikkan nilai tawar. Bisa dipakai saat menjabat sebagai kepala daerah, meskipun setelah itu dicokok lembaga anti korupsi.

Cukuplah Megawati menjadi bahan kajian dari ilmuwan sebagai perempuan yang bisa mendobrak “the glass ceiling” atau langit kaca kekuasaan yang tak pernah bisa ditembus perempuan Amerika Serikat, sehebat apa pun itu.

Cukuplah dia menjadi bahasan dari para ilmuwan kalau dirinya ibarat komet yang tetap bersinar sampai ke bumi, meskipun dihadang meteor di angkasa sana. Megawati adalah mega-mega yang tak butuh banyak penjelasan. 

Seperti kata Bung Karno, dia adalah mega yang selalu putih di angkasa sana, meskipun sebelumnya menjadi air yang mengalir di gorong-gorong kemudian ke laut lepas, lalu naik ke langit.

Kalaupun dia menerima, anggap saja itu adalah bentuk keramahtamahan dan penghargaan pada kampus-kampus yang makin miskin analisis dan kehilangan ritme ilmiah di tengah terpuruknya peringat mereka di daftar kampus terbaik antar bangsa.



V I N C E N Z O


Serial drama Korea berjudul Vincenzo akhirnya tamat. Pertama kalinya saya menonton drakor sampai 20 episode. Biasanya, hanya 16 episode. 

Beberapa kali saya terkejut karena Vincenzo suka permen KOPIKO. Rupanya penggemar drakor di Indonesia dan Malaysia heboh gara2 iklan KOPIKO.

Bagi saya, Vincenzo masuk dalam daftar drama Korea paling keren yang pernah saya tonton. 

Ketika menonton 10 episode awal, saya ogah-ogahan. Menjelang akhir, dramanya kian seru. Di mata saya, karakter yang dimainkan Song Jong Ki ini unik. Dia bukan tipe hero yang serba sempurna.

Bisa dikatakan dia anti-hero. Dia mengalahkan kejahatan, tapi dengan cara melakukan kejahatan. Dia membela kebaikan, tetapi cara-caranya sering melanggar hukum. Dia berada di tengah garis abu-abu, antara baik dan buruk.

Nama lengkapnya adalah Vincenzo Cassano. Dia adalah orang Korea yang diadopsi keluarga Italia, kemudian dibesarkan sebagai mafia. Dia pun datang ke Korea sebagai pengacara, sekaligus mafia, yang kemudian berhadapan dengan dunia hukum dan kejahatan.

Di mata Vincenzo, kebaikan itu rapuh dan lemah, dibandingkan kejahatan. Demi memenangkan kebaikan, maka kejahatan pada derajat tertentu (a certain degree of evil) diperlukan. 

Kisah drama ini bermula dari pengacara idealis Hong Yu Chan, yang kemudian tewas secara tragis. Yu Chan sosok yang taat hukum, bertindak taat asas, serta selalu mengikuti aturan. 

Sosok baik ini tidak dapat menumpas kejahatan. Sebab, hanya seorang evil yang bisa mengalahkan evil. Dalam bahasa Vincenzo, "un diavolo scaccia l'altro" (one devil chases another).

Saya pikir serial ini tidak menyuruh kita untuk mengikuti jalan Vincenzo sebagai malaikat pencabut nyawa yang sadis. Saya bergidik ngeri saat dia menyiksa lawannya dengan kejam, sebelum membunuhnya. Dia mencabut kuku lawannya, lalu menyiram bensin, dan membakar.

Serial ini hendak menunjukkan bahwa batas-batas antara baik dan buruk itu tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Vincenzo adalah setan kecil (lesser evil) yang melawan setan besar. 

Dalam satu episode, dia menghukum pengacara Choi Myung-hee. Sebelumnya, Choi menyebut mereka sama-sama sampah. Vincenzo bilang mereka berbeda. Dia menyebut dirinya seperti Dewa Vaisravana (Rahwana?) yang memimpin yaksha dan raksasa. Dalam mitologi Hindu-Buddha, mereka adalah golongan mahkluk yang ganas tapi bukan makhluk jahat. 

Bagi yang belajar real politics, paham kalau seorang politisi, juga pemimpin politik, bukanlah sosok serupa malaikat. Dalam titik tertentu, mereka adalah manusia biasa yang saling berkontestasi dan mengeluarkan berbagai strategi untuk menang.

Persis seperti Vincenzo, yang nampak culun, baik hati, dan berwajah bayi, namun saat dia beraksi, dia bisa sedingin setan. Dia tanpa beban mengeksekusi musuhnya, tanpa ampun.

Saya menyukai caranya mengeksekusi lawannya. Dia mengingatkan saya pada sosok The Count of Monte Cristo, sosok pembalas dendam paling keren dalam fiksi karangan Alexander Dumas. 

Sebagaimana Monte Cristo, Vincenzo tak ingin membunuh lawannya dengan mudah. Dia tidak mau langsung tembak, padahal kesempatan untuk itu banyak. Dia merancang strategi sehingga lawannya dalam keadaan terpojok, putus asa, kehilangan harapan, dan mengeluarkan sisi paling jahat. Saat itulah, Vincenzo datang dengan kengerian yang lebih dahsyat.

Di episode akhir, Vincenzo mengutip syair: “Il male è grande e vasto," yang bermakna the sea is great and wide. Dia ingin mengatakan, kejahatan itu seperti lautan yang penuh ombak, dan manusia lemah terombang-ambing (saya terkenang para peneliti yang tewas dibunuh di episode 4).

Di titik ini, kita butuh orang seperti Vincenzo yang bisa tenang mengumpulkan bukti, mengatur strategi dan taktik, lalu menjebak semua musuhnya satu per satu. Setelah itu, dia datang dengan dingin sembari memainkan korek zippo.

“Un diavolo scaccia l'altro”


Mencari Jalan Kreatif


Di masa sekolah, dia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dia hanya mencoret-coret dari bangku belakang. Dia cuma tertarik pada dua pelajaran: kesenian dan jam kosong. Dia tenggelam dalam imajinasinya, lalu menuangkannya menjadi gambar, kartun, dan karikatur.

Bagi Wahyu Aditya, sekolah telah membunuh kreativitas. Sekolah membunuh imajinasinya. Sekolah tidak memberi ruang bagi jalan kreatif. Sekolah tidak menyediakan surga imajinasi bagi seseorang yang suka menggambar. Sekolah ibarat pabrik yang mengubah semua orang jadi satu warna.

Saat lulus sekolah, Wahyu berkelana sejauh-jauhnya demi mengikuti jalan kreatif. Di Jepang, dia tercengang. Di mana-mana, dia melihat karakter kartun dan animasi. Orang Jepang menyebutnya manga. Bahkan orang Jepang menjadikan Osamo Tezuka menjadi pahlawan. Osamu Tezuka adalah sosok yang melahirkan karakter Astro Boy, Buddha, dan Kimba the White Lion.

Di Inggris, dia melihat berbagai bangunan kreatif. Ada bangunan yang bentuknya seperti terong. Dia membayangkan kenapa kita tidak membuat bangunan yang bentuknya seperti petai. Dia sempat terheran-heran ketika melihat pergantian shift jaga di istana dikemas menjadi tontonan wisata.

Wahyu adalah tipe pembelajar yang tak pernah puas. Dia terus-menerus menantang dirinya. Mulanya dia hanya membuat komik tentang teman sekelasnya. Dia lalu menekuni animasi dan berbagai produk kreatif. Coretan-coretannya menjadi animasi untuk video klip lagu Bayangkanlah dari Padi.

Dia berani berpikir dari sisi berbeda. Dia menggambar ulang karakter Gatot Kaca dan laris manis saat dicetak di kaos. Dia membuat brand nasionalisme untuk produk kaos. Di antaranya penari Bali yang digambar seperti kartun ala Jepang, yang matanya besar. Dia memasarkan desain kaos bertemakan nasionalisme hingga ke mancanegara.

Tak berhenti di situ, dia membuat kelas-kelas pelatihan animasi yang menjadi wadah belajar para pembuat animasi. Dia menularkan virus kreativitas yakni melihat sesuatu dari sisi berbeda. Dia ingin orang-orang kembali menjadi anak kecil yang bebas prasangka, penuh imajinasi, serta melahirkan banyak karya.

Dia juga membuat HelloFest, festival yang menghadirkan banyak massa dengan berbagai kostum unik ala kartun atau animasi. HelloFest menjadi festival cosplay terbesar di dunia dan dikunjungi hingga puluhan ribu orang. Berbagai sponsor besar masuk dan mendanai program HelloFest.

Dalam buku berjudul Sila Ke-6 Kreatif Sampai Mati, dia memamaprkan banyak kiat untuk menjadi orang kreatif. Di antaranya adalah lakukan hal spontan. Sering-sering melakukan hal spontan, saat imajinasi sedang bersarang. 

Dia mencontohkan, saat ramai kasus Prita yang diperlakukan tidak adil oleh RS Omni, dia menggambar karikatur Prita yang langsung viral. Desainnya dipakai di mana-mana. Rumus spontanitas dipakainya saat mengambar desain untuk laptop Lenovo. 

Dia lalu iseng membuat Kementerian Desain Republik Indonesia. Dia heran kenapa logo pemerintah selalu padi dan kapas. Dia menggambar ulang banyak logo, lalu membagikannya secara gratis di blog yang dikelolanya. Dia membuat branding dirinya melalui blog. 

Dia pun membuat desain jas almamater sebab dilihatnya terlalu formal dan kaku. Saat dia menjadi bapak, dia membuat komik untuk anaknya, yang dicetak besar-besaran oleh satu penerbit besar.

Mantra lain darinya adalah “bagaimana kalau.” Dia membuat banyak angan-angan dan membuat peta jalan. Misalnya, bagaimana jika dia membuat proyek yang susah digapai, misalnya membuat klip album Padi. Dia iseng membuat rancangan desain yang dikirim ke Padi, dan ternyata mendapat respon positif. Klip lagu Bayangkanlah mendapatkan banyak anugerah video musik.

Mantra lainnya adalah berani rangkul keterbatasan. Dia memberi contoh pengalamannya membuat animasi dengan bahan-bahan sederhana, yang kemudian menang festival di tingkat internasional. Dia juga mengutip banyak contoh. Baginya, yang terpenting bukan seberapa canggih satu desain dikemas, tapi seberapa orisinil dan kreatif di tengah keterbatasan.

Saya sangat menikmati buku ini. Isinya penuh dengan provokasi agar orang-orang mengikuti jalan kreatif, jalan paling orisinil, dan sisi paling menyenangkan dalam diri. Tidak semua orang memilih jalan kreatif sebab berani meninggalkan zona nyaman. 

Namun mereka yang memilihnya sama paham kalau zona kreatif ibarat pulau indah yang menjadi tujuan semua orang. Di situ, ada diri yang serupa anak kecil sedang bermain dengan gembira. 


Membaca Crushing It


Anak muda itu menemui saya di satu sore di sudut Jakarta. Dia baru saja lulus dari program magister. Dia sedang mencari pekerjaan. Saya tak bisa membantunya. Minat kami beda. Saya hanya pelatih kucing.

Namun saya sampaikan kalimat dari Gary Vaynerchuck, penulis buku Crushing It: “Usahakan dirimu untuk selalu hadir. Kamu harus selalu terlihat.'

Dia bingung. 

Saya jelaskan sekilas apa yang sedang saya baca dari buku Crushing It. Seseorang akan selalu dibutuhkan orang lain jika punya dua hal penting. 

Pertama, dia punya personal brand yang kuat. Personal brand adalah kesan yang ada di benak orang lain sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang kita lakukan. Personal brand adalah semacam identitas atau ciri yang dikenali orang lain dari diri kita.

Minat seseorang akan dikenali dari aktivitas. Jika seseorang adalah pelukis, maka orang lain akan mengetahuinya karena pernah melihat lukisan atau aktivitasnya melukis. Demikian pula jika seseorang adalah musisi. Semakin sering terlihat bermain musik, maka personal brand-nya akan terbentuk.

Jika personal brand kuat, maka tak perlu memperkenalkan diri. Orang akan tahu dengan sendirinya siapa Anda. Saat bertemu Abdee Slank, tak mungkin Anda bertanya apa profesinya. Personal brand-nya kuat memancar.

Kedua, seseorang mesti selalu hadir. Maksudnya, Anda mesti selalu update komunikasi dengan siapa saja. Usahakan sebanyak mungkin bertemu banyak orang, dan perkenalkan dirimu. 

Jika tak mampu dan tak punya waktu ketemu banyak orang, maka perbanyak silaturahmi di media sosial. Jangan ragu untuk pamerkan karyamu, pikiranmu, atau hal-hal yang kamu minati. Sebab di media sosial, ada banyak mata yang setiap saat bisa menemukanmu, lalu kelak mengajakmu kerja sama.

Namun, jika HP pun jarang dipegang, susah dihubungi, serta jarang terlihat, maka banyak peluang bisa hilang. Tidak ada yang akan mengontak Anda jika Anda susah dihubungi. Bahkan saat dibutuhkan sekali pun.

Dia menyimak.

Saya pun menyempatkan waktu untuk mengintip apa yang dia lakukan di media sosial. Saya terkejut melihat medsos-nya penuh kecaman pada politisi dan pemerintah. Dia seorang aktivis yang menghabiskan waktu untuk berpedang di medsos, sana-sini mengecam.

Baru lihat sekilas, saya bisa simpulkan kalau dia tidak punya peminatan yang jelas. Dia berpindah dari topik satu ke topik lain. Dia ikuti trending topic, lalu menjadikannya sebagai amunisi untuk bersuara. Dia rajin membagikan postingan, yang entah didapatnya dari mana.

Saya teringat investor legendaris Warren Buffet. Dia punya istilah yang sangat bagus yakni Lingkaran Kompetensi. Dia tipe investor yang hanya berbicara saat dirinya tahu sesuatu. Dia menyebut lingkaran ini adalah segala sesuatu yang ada dalam kompetensinya.

Menurut Warren Buffet, jika seseorang mengenali lingkarannya, maka dia akan tahu batasannya. Tom Watson, pendiri IBM, pernah menjelaskan dirinya: “Saya bukan seorang jenius. Saya pintar di titik-titik tertentu, dan saya bertahan di sekitar titik-titik itu.”

Kata Warren Buffet, jika kita fokus pada lingkaran kompetensi, maka personal brand kita akan memancar. Di luar lingkaran kompetensi, abaikan. Tak perlu habiskan waktu untuk baca semua informasi, dan ikut berbagai perdebatan. Baca dan dalami hal-hal yang Anda minati, sukai, dan menjadi kompetensi.

Lihat saja kisah mereka yang sukses di bidangnya. Beethoven lemah di bidang apa pun, tapi di bidang musik, dia maestro.  Yuri Gagarin adalah seorang kutu buku. Picasso juga demikian. Issac Newton adalah saintis terbesar yang mendalami fisika dengan ketekunan yang sukar ditandingi manusia jaman now.

Mengikuti saran dari Rolf Dobelli, jangan takut untuk keluar dari kerumunan. Penyakit kita sebagai netizen yang rajin bermedsos adalah selalu mengalami “Fear of Missing Out” atau FOMO. Kita selalu ingin terlibat dalam semua topik, tapi lupa mencari apa yang paling kita sukai. Kita sering merasa diri sebagai pakar segala hal. 

“Kak Yos, apa yang harus saya lakukan?” dia bertanya dengan serius. Saya masih sibuk mengkhayal.

Dia menunggu jawaban.