Anak muda itu kembali datang menemui saya. Dia melihat catatan saya tentang Megawati yang viral dan dibaca puluhan ribu orang dalam sehari. Dia bekerja sebagai admin dan pengelola media sosial. Dia tahu persis betapa sulitnya membuatnya konten viral. “Bagaimana caranya Bang?” Dia bertanya.
Jika saja pertanyaan ini diajukan pada Claire Diaz-Ortiz, salah seorang praktisi media sosial, pasti akan dapat jawaban untuk berhenti mengejar target viral. Sebab mengejar viral adalah satu kekeliruan dalam perilaku bermedia sosial.
Dalam buku Social Media Success for Every Brand, Claire membuat daftar kekeliruan dalam media sosial. Beberapa di antaranya pernah saya alami ketika memegang brand beberapa politisi dan perusahaan.
Banyak orang salah kaprah dalam memandang media sosial. Banyak orang yang sekadar mengejar viral. Banyak orang yang mengira media sosial sebagai arena gratisan. Banyak pula yang berharap segera dapat cuan di medsos.
Baiklah, mari kita urut semua kekeliruan itu satu per satu.
Pertama, mengejar viral. Banyak perusahaan, brand, lembaga, atau public figure yang menjadikan viral sebagai strategi. Dipikirnya, semakin banyak yang bagikan dan sukai, maka konten itu sudah bagus.
BACA: Senjata Digital untuk Aktivis "Jaman Now"
Padahal, strategi mengejar viral hanya akan membawa kita jauh dari tujuan. Demi mengejar viral, kita abai pada substansi, hanya berpikir bagaimana memuaskan orang lain. Kita bisa terjebak pada kedangkalan-kedangkalan, sehingga lupa pada hal-hal yang lebih penting.
Tujuan bermedia sosial bukanlah untuk viral, melainkan membangun brand. Brand adalah ciri atau identitas yang disematkan orang lain pada kita, sebagai hasil dari semua aktivitas-aktivitas yang kita lakukan. Di media sosial, lebih penting bagi kita untuk menentukan target kita ingin dikenal karena apa, bukan untuk membahagiakan semua kalangan.
Demi membangun brand, kita mesti sabar dan konsisten. Lihat saja bagaimana perusahaan sebesar Coca-Cola dan Apple membangun brand dalam waktu yang panjang. Mereka menciptakan desain yang konsisten, menyasar target yang tepat, serta menjaga agar semua konsumennya tetap loyal dan mengenali semua ciri kampanye pemasaran.
Kedua, hanya mengejar cuan atau keuntungan. Ini juga kekeliruan yang menjadi pelajaran bagi semua pemain di medsos. Pemasaran brand tidak sama dengan pemasaran langsung. Pemasaran brand mencakup hal-hal seperti media digital, media sosial, dan humas yang tujuan utamanya adalah kesadaran dan keterlibatan. Beraktivitas di media sosial juga bisa membangun reputasi dan serta mengikat komunitas. Bukan untuk cari uang.
Kita hanya menyediakan fundasi bagi pemasaran langsung. Jangan berharap segera ada cuan di situ. Kita membangun reputasi jangka panjang, yang bisa diibaratkan sebagai aktivitas menanam, sehingga kelak akan dipanen. Saat brand Anda kuat, maka semua peluang dan tawaran akan datang menghampiri.
BACA: Empat Sesat Pikir Politisi di Media Sosial
Ketiga, mengira media sosial sebagai arena gratisan. Mindset kebanyakan orang adalah media sosial selalu gratis. Memang, sekadar posting bisa gratis. Namun jika kita punya tujuan-tujuan spesifik, maka jalannya tidak selalu gratis.
Demi membangun tim media sosial yang efektif, kita sebaiknya punya beberapa pasukan. Di antara mereka adalah konten kreator, graphic designer, videografer, ilustrator, animator, hingga digital marketer. Semua kerja-kerja itu adalah profesi yang punya skill tertentu. Semuanya adalah keahlian yang butuh bayaran profesional.
Saya rajin mengikuti postingan para digital marketer di Malaysia dan Singapura. Saya suka kutipan dari seorang pakar di sana. Katanya: “Stop treating content marketing or personal branding as zero cost marketing. If you want to see result, you will have to invest.” Jika ingin hasil, maka kita harus berani berinvestasi.
Dia mencontohkan investasi itu, mulai dari membayar jasa website, upgrade Canva Pro, kamera, pencahayaan, video editor, email marketing, hingga investasi ke Facebook Ads untuk distribusi konten. Semuanya butuh biaya. Semakin tinggi target, maka semakin besar investasi. Jika kita menganggapnya gratisan, maka jangkauan pesan itu juga akan terbatas.
Keempat, menganggap endorse dari influencer adalah segala-galanya. Sejak melejitnya media sosial, kehadiran para pemengaruh atau influencer menjadi penting. Para influencer dianggap memiliki pengikut yang banyak dan loyal. Banyak perusahaan atau lembaga mengontak para influencer untuk memasarkan produk mereka.
Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Padahal, kebanyakan influencer punya pengikut yang sesuai dengan citra yang diinginkan. Banyak di antara mereka identik dengan konten receh, seperti Ferdian Paleka yang melakukan video prank kepada waria yang kemudian berujung pada proses hukum.
Ketimbang mengandalkan influencer, jauh lebih baik jika kita membangun tim sendiri, membuat postingan dengan konsisten, lalu merawat hubungan pertemanan dengan semua orang.
Kelima, selalu ikut trending topic. Banyak orang di media sosial yang ikut arus. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Ada semacam ketakutan jika kita tidak ikut arus atau trending topic yang sedang dibahas.
Dalam konteks pemasaran brand, mengikuti trending topic menyebabkan kita kehilangan arah. Kita tidak mengenali di mana titik berpijak kita, serta apa yang menjadi kekuatan kita. Kita terombang-ambing dari isu ke isu, lalu lupa dengan apa tujuan kita saat membangun pasukan medsos.
Saat semua orang gandrung dengan konten receh, maka kita pun bisa ikut-ikutan. Padahal tidak semua yang receh berpotensi viral. Tidak semua yang serius akan diabaikan. Logikanya, saat semua orang di kerumunan, Anda akan tampak unik saat terpisah, sehingga orang akan bergerak ke arah Anda.
Dalam dunia musik hal yang sama juga berlaku. Saat album Badai Pasti Berlalu diluncurkan tahun 1977, semua orang terkejut karena album ini menghadirkan musik berkualitas di tengah arus lagu pop cengeng.
Namun, siapa sangka, album itu menjadi album terbaik dan terlaris sepanjang sejarah. Dengan demikian, selalu ada ruang untuk kualitas. Makanya, jauh lebih baik mempertegas posisi sehingga brand makin kuat, ketimbang mengikuti apa yang sedang ramai diperbincangkan.
BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era 4.0
Keenam, mengira makin sering posting, maka semakin populer. Ini juga kekeliruan di media sosial kita.
Saya memantau beberapa akun medsos milik partai politik. Saya melihat adanya kecenderungan yang sama. Semuanya mengandalkan kuantitas. Semuanya mempekerjakan para jurnalis yang rajin posting, tapi jarang mengevaluasi berapa banyak yang melihat dan menyukai postingannya.
Di media sosial, ada banyak tools atau aplikasi yang memberikan laporan sejauh mana konten kita menyebar. Gunakan semua tools itu untuk membangun strategi yang tepat sehingga hasilnya juga optimal.
Ketujuh, merasa artis dan hanya menunggu disapa. Bedanya media sosial dengan media mainstream adalah interaksi. Di media sosial, Anda setiap saat bisa berinteraksi dengan orang-orang. Saat ada yang menanggapi, berilah respon. Semakin sering Anda berinteraksi, maka citra Anda akan semakin membaik.
Buatlah strategi agar orang lain merespon. Beri pertanyaan-pertanyaan. Kalau perlu, siapkan hadiah untuk penanggap terbaik. Rawatlah semua interaksi itu sebab kelak akan menjadi sesuatu yang membuahkan hasil. Saat Anda memasarkan sesuatu, maka orang-orang yang sering Anda sapa itulah yang pertama menyambutnya.
BACA: Tujuh Kiat Konten Serius Jadi Viral
Di medsos, semua orang punya posisi yang sama dan sejajar. Inilah the power of netizen. Di kancah global, netizen kita dikenal selalu berisik, selalu berkicau, dan selalu gampang terpantik nasionalismenya. Jadikan itu sebagai kekuatan.
Lihat saja bagaimana brand asing, baik itu artis ataupun Youtuber, yang membuat konten tentang Indonesia. Sebab mereka tahu, orang Indonesia akan gampang bereaksi. Setiap klik bisa dimonetasi menjadi pengaruh.
“Apa Abang bisa menjadikan saya selebritis di media sosial?” Anak muda ini kembali bertanya. Saya terdiam dan lama merenung. Saya tidak tahu hendak mulai dari mana.