Mulai dari ilmuwan politik Samuel Huntington dan Francis Fukuyama, ekonom Joseph Stiglitz, hingga kolumnis Fareed Zakaria, era Amerika Serikat sudah diramalkan akan segera memudar.
Saatnya dunia mengucapkan selamat datang pada era baru, era post-Amerika.
***
Di tengah malam, sahabat itu tiba-tiba menghubungi saya. Dia sedang di kota New York. Dia khawatir melihat situasi. Kota-kota di Amerika Serikat laksana sedang perang. Belum usai wabah pandemi, kini kota-kota dihantam dengan kerusuhan rasial. Dia sedang ketakutan.
Dahulu dia meninggalkan tanah air saat kerusuhan rasial terjadi. Kini, dia berhadapan dengan situasi yang sama. Di negara maju itu, dia justru merasa tidak aman. Di negara yang militernya terkuat di dunia itu, dia merasa sangat ketakutan. Amerika Serikat sedang tidak baik-baik saja.
Negeri Paman Sam itu tengah dihantam dengan keras oleh pandemi virus Corona. Negeri itu menjadi terdepan dalam hal jumlah pasien yang terinfeksi serta jumlah korban. Saat ini, lebih 100 ribu orang telah tewas akibat virus, jumlah yang lebih banyak dari orang Amerika yang tewas dalam perang Vietnam dan perang Korea.
Jika itu terjadi di negara dunia ketiga, maka kematian ratusan ribu orang bisa dijelaskan dengan mudah. Namun ini terjadi di Amerika Serikat, negeri yang menyandang status sebagai negara superpower. Virus itu telah membuka banyak sisi dari Amerika yang selama ini tidak terpantau dunia luar.
Dunia baru tahu bahwa negeri itu punya banyak soal dengan sistem jaminan kesehatan, kekurangan APD dan ventilator, serta krisis masker. Mata dunia kini terbuka lebar. Dunia baru tahu selama ini ketimpangan sosial sudah lama menjadi bara yang mudah disulut.
Saat seorang warga kulit hitam bernama George Floyd tewas setelah lehernya ditindih lutut polisi di Minneapolis, api segera membesar. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Orang-orang mengamuk di banyak kota. Penjarahan terjadi Kantor gedung putih diserbu para demonstran yang meneriakkan slogan “I can’t breath.”
Hari-hari belakangan ini Amerika Serikat semakin terpukul oleh ketidakbecusan pemimpinnya, serta kepemimpinan yang buruk. Bukannya membenahi semua problem internal, pemimpinnya Donald Trump justru memancing murka banyak orang melalui cuitan-cuitannya. Namun benarkah Trump adalah awal dari segalanya?
Di tahun 2008, kolumnis Fareed Zakaria sudah menulis buku berjudul The Post-American World. Dia bilang, Amerika masih menjadi negara dengan daya saing ekonomi paling tinggi di dunia. Negeri itu unggul dalam hal inovasi, ketersediaan teknologi terbaru, serta punya kolaborasi paling bagus antara litbang universitas dan industri.
BACA: Seusai Membaca The Post American World
Selama puluhan tahun, negeri ini berkuasa dan mengatur dunia. Tapi bukan berarti bahwa kenyataan ini akan selalu statis. Kini banyak hal yang sudah berubah. Perusahaan terbesar bermarkas di Cina, industri film terbesar ada di Bollywood (India), pesawat terbesar dirakit di Rusia, serta munculnya kebangkitan negara-negara baru sebagai kiblat ekonomi dunia, di antaranya Cina, Rusia, Brazil, dan India.
Globalisasi menggeser banyak hal. Belum lagi, krisis keuangan dunia telah memicu pergeseran pasar. Kebangkitan beberapa negara secara perlahan telah mengubah lanskap politik internasional, yang selama beberapa puluh tahun dikuasai Amerika Serikat.
Fareed Zakaria sudah memprediksi kalau Cina akan jadi pemenang di tatanan dunia baru. Penjelasannya ada pada nasionalisme, pengaruh Confucianis dalam ekonomi, kebijakan untuk membuka pintu ekonomi dan terintegrasi dengan pasar dunia, serta kebijakan untuk menguasai sektor energi.
Tapi Fareed melihat kebangkitan itu tidak dalam waktu dekat. Sebab Amerika masih punya kekuatan militer, serta banyak sumber daya yang akan tetap menempatkannya dalam posisi atas bangsa-bangsa, di antaranya adalah kekuatan korporasi, jaringan dagang, serta kemampuan untuk mendikte bangsa-bangsa lain.
Tampaknya, virus Corona telah mempercepat semua proses. Pergeseran itu berjalan lebih cepat dari apa yang dia bayangkan. Bukan semata karena kehebatan Cina, tetapi berbagai problem internal yang muncul di negeri itu sehingga tatanan dunia perlahan berpindah. Bagaimana mungkin negara-negara lain akan percaya pada Amerika saat pemimpinnya Donald Trump selalu bicara tentang American First? Virus Corona hanya mempercepat sekaratnya Amerika sebagai pemimpin dunia.
Di tahun 2016, ilmuwan politik Francis Fukuyama yang pernah meyakini akhir sejarah adalah kemenangan kapitalisme liberal merevisi pandangannya. Dia menulis artikel berjudul “America: The Failed State.” Dia bilang, Amerika sudah waktunya menyerahkan kepemimpinan global.
Sistem politik Amerika disebut Fukuyama sudah lama mengalami disfungsi. Naiknya Trump serta politik biaya tinggi dan dugaan korupsi serta penyuapan di kongres telah menggerogoti nilai-nilai Amerika. Di sisi lain, masyarakat Amerika telah lama mengalami polarisasi secara politik, sehingga berimbas pada kian meningkatnya prasangka rasial.
Dalam buku “Everybody Lies: Big Data, New Data, and What The Internet Reveals About Who We Really Are”, peneliti Seth Stevens Davidowitz memakai analisis big data untuk merekam data Google mengenai naiknya Obama yang segera diikuti naiknya pencarian dengan kata kunci “nigger president” di banyak wilayah. Donald Trump menang telak di semua wilayah itu.
BACA: Seusai Membaca Everybody Lies
Terbaru, di artikel “We are Living in a Failed State, ” penulis George Packer mengatakan, virus corona telah menjadikan Amerika sebagai “bangsa pengemis” yang serupa bom waktu akan segera membesar. Penulis artikel melihat peristiwa tanggal 20 April 2020 saat Cina memberikan bantuan 2,46 juta masker, sebanyak 5.000 ventilator, dan banyak peralatan medis lain.
Ekonom peraih nobel, Joseph Stiglitz, menyebut negerinya seperti negara dunia ketiga. “Jumlah orang-orang yang mendatangi bank makanan sudah melampaui kapasitas. Ini seperti negara dunia ketiga. Jaringan pengaman sosial sudah lama tidak bekerja,” katanya. Amerika Serikat adalah negara dengan pelayanan kesehatan terburuk” katanya.
Saya teringat pada tuturan sejarawan Arnold Toynbee. Dia mengatakan tentang dinamika challenge and response. Di setiap zaman, selalu ada tantangan (challenge), bangsa-bangsa yang survive adalah bangsa yang bisa memberikan respons yang tepat.
Dahulu, Inggris adalah super power dengan jajahan yang menyebar ke seluruh dunia. Tapi keputusan mengikuti Perang Dunia I telah menyebabkan negara itu menghabiskan anggaran hingga 40 miliar dollar, seta tewasnya 700 ribu prajuritnya.
Seusai Perang Dunia II, Amerika Serikat naik menjadi super power yang mengandalkan kekuatan militer. Kini, dunia melihat Amerika yang keropos dan kesulitan mempertahankan keseimbangan imperiumnya.
Tak bisa disangkal, Cina tampil menjadi kekuatan baru. Cina terdepan bukan karena kekuatan militer, tetapi melalui soft power, inovasi teknologi, serta big government yang kuat dan melindungi rakyatnya dari hantaman pandemi. Cina menunjukkan kepemimpinan yang efektif, serta kekuatan birokrasi yang menjadi rantai komando dalam mengawasi semua rakyatnya dari bencana.
Penjelasan paling bagus tentang ini adalah teori yang disampaikan Joseph Nye Jr. Dulu, persaingan adalah menggunakan hard power yakni senjata dan kekuatan militer. Kini, persaingan memasuki medan baru yakni soft power, berupa inovasi dan kekuatan teknologi.
BACA: Senjata Cina untuk Melawan Corona
Secara mengejutkan, Cina meninggalkan patokan dollar dalam transaksi dan secara resmi menggunakan Yuan. Cina juga sedang melakukan inovasi dalam hal mata uang. Sebagai negara yang pertama menggunakan uang kertas, Cina pula yang akan mengakhirinya dan segera berpaling ke mata uang digital.
Dunia memang sudah berubah. Prediksi Samuel Huntington tentang benturan peradaban yang berpangkal pada identitas agama, antara barat yang Kristen dan Yahudi versus timur yang Muslim itu tidak terbukti. Cina menunjukkan karakter pemenang bukan karena ideologi komunisme yang sangar, tetapi melainkan kemampuan berselancar di tengah arus kapitalisme dan kemampuan berinovasi.
Benar kata mahaguru manajemen Peter F Drucker: “Knowledge rather than capital, land and labor is the new basis of wealth.” Pengetahuan dan inovasi adalah mata uang baru dalam menghadapi dunia baru, bukan lagi kekuatan militer.
BACA: Ideologi Kiri Kanan yang Menyambut Corona
Di mana posisi Indonesia? Sorry to say, negeri kita masih belum bisa move on dari cebong versus kapret., buzzrep versus kadrun, pendukung pemerintah versus pendukung Anies, serta rebutan pengaruh politik di tengah masa pandemi.
Entah, apa kita akan terus mengalir ataukah kita akan tenggelam. Mengutip Toynbee, kita pun tentang ditantang untuk memberikan respon dari tantangan yang sedang menghantam.
Kian tenggelam ataukah bangkit?