Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Minat Baru di Ranah Ilmu Komunikasi



Minat saya terhadap ilmu komunikasi ibarat perjalanan darat dari Makassar ke Toraja yang selalu berbelok. Pada satu masa, saya begitu menggemari jurnalistik, lalu menyenangi media studies.

Belakangan, setelah bersahabat dengan banyak aktivis NGO serta berkunjung ke banyak daerah, saya menumbuhkan minat baru pada Communication for Social Change. Saya ingin membumikan kajian komunikasi ke arah praksis perubahan sosial. Saya bermimpi agar ilmu ini bisa mendorong revolusi. Pengetahuan harus bisa membebaskan.

Sayangnya, referensi tentang tema itu tak banyak tersedia di tanah air. Yang agak dekat dengan tema itu adalah komunikasi pembangunan. Itupun tafsiran pembangunannya ala developmentalisme Orde Baru. Beruntung, banyak kawan di luar negeri yang bersedia mengirimkan beberapa buku yang saya butuhkan. Tentu saja, setelah saya merayu-merayu dan mengirimkan dollar sekadarnya.

Kata seorang kawan, ketika kamu ingin membaca sesuatu yang tak ada di toko buku, itu pertanda kalau kamulah yang harus menuliskannya. Dia benar. Barangkali saatnya memelihara impian untuk menuliskannya. Saya sadar kalau impian itu masih akan jauh.

Tapi setidaknya, saya mulai mengumpulkan dan menyicil baca beberapa literatur tentang itu. Semoga Tuhan selalu memberi jalan atas benih ide yang baru ditebar. Amin.

Orang Buton Mengenang Asyura


anak-anak di Pulau Buton

EMPAT belas abad silam, satu nestapa dan kengerian sedang terjadi di Karbala. Satu kelompok dalam Islam telah membantai cucu Rasulullah dengan amat memilukan. Kisah pembantaian itu diuraikan dengan penuh air mata bercucuran oleh para sufi di sepanjang sejarah. 

Berbagai lembar syair dilahirkan demi merekam kesedihan atas peristiwa itu. Melalui syair, refleksi atas peristiwa itu menyebar ke mana-mana.

Di berbagai zaman, peristiwa itu dikenang dalam berbagai ritual. Di tanah air, berbagai suku bangsa mengenang peristiwa itu dalam ritual adat, yang bertujuan untuk me-refresh ingatan, menyerap makna, serta melakukan refleksi atas situasi zaman yang terus mengulangi berbagai kebiadaban di masa silam.

Di Pulau Buton, kami merayakan peristiwa itu dalam ritual bernama pekandeana ana-ana maelu, yang secara harfiah bisa dimaknai sebagai “memberi makan anak-anak yatim.” Bagi orang Buton, ritual ini adalah bagian dari haroa atau ritual tradisi mengundang orang-orang untuk makan bersama sembari berdoa pada hari-hari besar Islam.

Ritual ini dilakukan sebagai upaya mengenang Hasan dan Husain, dua yatim yang terbunuh. Ritual ini juga untuk mendoakan Ali Zainal Abidin, putra Husain yang masih hidup seusai peristiwa Karbala. Dicekam kesedihan atas kematian ayahnya, Ali Zainal Abidin mesti tetap hidup untuk terus mengobarkan kebenaran.

Di mata orang Buton, memberi makan anak-anak yatim adalah tradisi indah yang tak sekadar dilakukan untuk mengenang cucu Rasulullah, tapi juga pesan kuat tentang solidaritas dan kekuatan komunitas melalui sikap saling menyantuni.

Hingga kini, ritual adat ini masih dirayakan. Saya masih mengingat persis bahwa setiap kali menjelang 10 Muharram, anak-anak yatim di sekitar rumah akan merasa bahagia. Semua anak yatim akan diundnag ke rumah-rumah. Mereka diperlakukan bagai raja yang harus dilayani dan dikuatkan batinnya.

Anak-anak yatim itu akan dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mereka dimandikan sepasang-sepasang. Bagi orang Buton, sepasang ini bermakna satu dari kelompok bangsawan (kaomu), dan satu lagi dari kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Sepasang yatim itu dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus.

Kata seorang pande lebe, atau seorang ulama yang membacakan doa, makna sepasang ini  adalah di hadapan Allah, semua umat itu satu. Tak ada dikotomi. Tak ada perbedaan. Di hadapan Allah, tak ada satupun yang lebih tinggi. 

Yang lebih tinggi adalah mereka yang lebih bertakwa, mereka yang bisa membumikan indahnya ajaran dalam segala tindak dan tingkah laku.

Tapi, salah satu keluarga saya punya penjelasan lain. Katanya, jumlah sepasang itu bisa pula bermakna dua sosok yatim yakni Hasan dan Husain, keduanya cucu Rasulullah. Satu di antaranya yakni Husain tewas secara mengenaskan di karbala, ratusan tahun silam.

suasana di depan Masjid Agung Keraton Buton

Setelah dimandikan, anak-anak itu lalu disuapi. Semua yang hadir, bergantian mengambil makanan dari nampan, kemudian menyuapi anak yatim itu. Biasanya, orang-orang akan berdesakan untuk ikut memberikan makan, sebab diyakini kalau tindakan itu akan membawa berkah bagi penyuap dan yang disuap.

Seusai menyuapi, anak-anak yatim itu lalu diberikan santunan. Mereka yang hadir biasanya menyelipkan sedekah dan bantuan sesuai kemampuannya. Bagian ini adalah bagian paling indah di mata saya. Bahwa melalui tradisi ini, kepedulian pada anak yatim serta kaum miskin kembali diasah demi menguatkan komunitas. 

Tradisi ini bisa pula dimaknai sebagai pengikat solidaritas sosial bahwa setiap anak yatim adalah tanggung jawab komunitas. Bahwa keberkahan atas satu komunitas terlihat pada seberapa peduli seseorang dengan lingkungannya.

***

DI Bogor, Walikota Bima Arya Sugiarto, melarang perayaan asyura. Lelaki yang konon katanya sosok muda dan intelektual ini tak kuasa menahan desakan kelompok mayoritas yang melihat tradisi atau perayaan asyura itu sebagai bagian dari ritual kaum syiah. Dengan kuasa di tangannya, ia melarang sebuah perayaan tradisi yang barangkali dianggapnya sesat.

Tentu saja, saya tak hendak memperdebatkan sesat tidaknya perayaan ini. Bagi saya, debat sunni-syiah itu sama tuanya dengan peradaban Islam itu sendiri Debat itu sudah terjadi di sepanjang zaman. Para ulama dan cendekia telah mengeluarkan berbagai kitab untuk saling menguji kebenaran itu. Saya tak hendak masuk dalam perdebatan klasik itu. Jauh lebih baik jika saya menyerap dua khasanah kearifan berbagai tradisi demi menguatkan zaman hari ini.

Di mata saya, asyura adalah momen untuk mengenang satu peristiwa sejarah yang memilukan di masa silam. Mereka yang mengenang asyura sama halnya dengan mereka yang melakukan refleksi sejarah atas peristiwa silam. 

Substansinya tak jauh beda dengan Bima Arya yang menggelar upacara mengenang hari kesaktian pancasila. Bedanya, yang dikenang dari asyura adalah nestapa atas keluarga Nabi yang dibantai secara mengenaskan. Yang dikenang di situ adalah satu momen sejarah ketika sesama saudara bisa dibantai demi menegaskan kuasa.

Refleksi itu harusnya menjadi momen yang harus dihormati. Sebab refleksi selalu bermakna positif untuk menguatkan hati, serta komitmen untuk tidak mengulangi kejadian serupa di masa depan.  Jika pun refleksi itu dianggap sesat, maka tentunya jauh lebih sesat berbagai praktik minum miras di bar-bar kota Bogor yang bertebaran di Jalan Padjajaran, atau di jalan menuju Parung. Mengapa harus takut dengan refleksi dan perenungan?

Yang kerap membuat saya terhenyak adalah betapa peristiwa itu telah lama merasuk ke dalam tradisi dan menjadi sumsum dari kebudayaan kita. Orang Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Orang Bengkulu mengenalnya dengan tirual Tabot. 

Orang Pariaman mengenalnya dengan ritual Tabut.  Dan kami orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Haruskah kita melarang berbagai ritual ini dengan dalih kepentingan politik serta kuasa kita menentukan kebenaran di masa kini?

Barangkali, inilah takdir zaman kita. Hari ini, kita hidup tanpa membaca sejarah. Kita hidup tanpa menyerap kearifan atas segala yang terjadi di masa silam. Kita hidup tanpa peta berupa segala kejadian dan peristiwa yang bisa memurukkan peradaban hari ini. 

Kita hidup tanpa menggunakan nalar sejarah, sebagaimana dikatakan penyair Jerman Goethe, “Mereka yang hidup tanpa menyerap pelajaran dari masa 3.000 tahun adalah mereka yang hidup tanpa menggunakan akalnya.”


26 Oktober 2015

Sebaris Tanya dari Rerimbunan Hutan Terbakar


ular yang terbakar saat melindungi telur-telurnya

ASAP-asap tengah memenuhi banyak kota dan kampung-kampung. Alarm bencana tengah memenuhi langit-langit kita. Ketakutan tentang dampak bencana menyebar bagai virus. Ada pula kekhawatiran tentang masa depan generasi yang terpapar asap. Kota dan kampung kita dikepung bahaya yang bermula dari hasrat manusia untuk meraup materi.

Di satu media, saya tercenung menyaksikan respon para hewan yang berumah di hutan itu. Di kalimantan, seekor ular terpanggang sembari melilit semua telur-telurnya. Mungkin ular itu bisa menyelamatkan diri. Tapi ia memilih bersama telurnya. Ia adalah ibu yang ingin melindungi anak-anaknya hingga titik darah penghabisan. Orang Utan meninggalkan hutan lalu memasuki kampung dalam keadaan sekarat. Di Sumatera, gajah-gajah mengamuk dan berteriak-teriak saat arena jelajahnya menjadi api yang menyala-nyala.

Di manakah kita meletakkan nurani?

Dahulu, saat tsunami menerjang Aceh, tak satupun bangkai hewan yang pernah ditemukan. Para hewan memiliki instink untuk mendeteksi datangnya bencana, sehingga mereka mengungsi lebih dahulu. Para hewan itu membuktikan dirinya lebih cerdas dari manusia dalam hal membaca tanda-tanda dan getar semesta. Mereka membaca alam lalu bergerak secara cepat.

Tapi di hutan-hutan yang terbakar itu, para hewan hanya bisa meratap. Alam semesta tak lagi mengirimkan sinyal dan tanda-tanda. Alam semesta tak bermaksud alpa mengirimkan sinyal bahaya, sebab bahaya itu muncul dari keangkuhan manusia.

Bencana itu datang dari manusia, mahluk yang menganggap dirinya paling mulia dan tinggi budi pekertinya. Manusia mencemari alam dengan api-api yang lalu menghanguskan. Manusia telah mengabaikan hak-hak hidup tumbuhan di hutan-hutan, hak hidup berbagai jenis serangga, hak hidup semua jamur, tumbuhan merambat, pakis, bunga-bunga, serta daun-daun hijau. Manusia merampas hak hidup semua binatang yang mendiami hutan sebagai rumah untuk tempat bernaung.

Barangkali hewan-hewan itu ingin menerjang sekeras-kerasnya demi menyatakan sikap atas rumahnya yang direnggut secara paksa oleh bala tentara api buatan manusia. Mereka ingin menyatakan sikap pada manusia yang dengan seenaknya telah menyingkirkan hidup mereka. Tapi mereka tak bisa berkata. Kalaupun mereka bisa berkata, mereka tak pernah dianggap. Manusia merasa benar. Manusia merasa memiliki kitab suci yang isinya kebenaran. Manusia merasa punya nalar dan logis. Hewan tak punya kebenaran. Mereka cuma babi, sapi, monyet, dan ular berbisa.

Yang tersaji di hutan-hutan kita itu adalah sebuah hasrat manusia untuk meninggikan derajat kaya raya, lalu mengabaikan hak-hak manusia dan mahluk hidup lainnya. Yang muncul di sana, keinginan akumulasi kapital yang lalu merobek-robek nurani kemanusiaan manusia lainnya. Yang muncul di sana bukan lagi hasrat manusia, namun hasrat yang jauh lebih rendah dari manusia. Apakah gerangan yang lebih rendah itu? Yang pasti bukan hewan. Sebab hewan tak pernah membakar hutan. Hewan melestarikan hutan dalam mekanisme rantai kehidupan. Hewan taat pada asas circle of life di mana mereka adalah salah satu unsur di dalamnya.

Saya sungguh tercenung saat melihat hewan-hewan itu yang hanya bisa pasrah menerima nasib. Manusia bisa meneriakkan bantuan ke mana-mana. Manusia bisa menggunakan berbagai kanal media sosial untuk meminta tolong ke banyak pihak. Tapi hewan tak berdaya. Hewan dan tumbuhan hanya bisa pasrah menerima nasib terbakar atau tersingkir dari hutan. Mungkinkah mereka sedang mengadu ke Yang Maha mencipta tentang tindakan manusia yang membakar ruang hidup demi lembar demi lembar rupiah dan dollar yang dianggap meninggikan derajat manusia?

Saya terkenang kalimat Gandhi, “Alam semesta amat cukup untuk memberi makan manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk keserakahan kita.” Jika saja manusia tidak menjadikan uang sebagai standar kenyamanan, barangkali hutan-hutan kita akan tetap perawan. Barangkali lingkungan kita akan selalu hijau dan menyediakan amat banyak oksigen untuk mengaliri napas kita. Barangkali dunia akan selalu segar.

Di hutan-hutan itu, terselip sebaris tanya yang menyeruak dari rerimbunan pohon yang terbakar. “Masih beranikah kita menyebut derajat manusia lebih tinggi dari hewan-hewan di hutan sana?”


23 Oktober 2015


Catatan:

Berita tentang ular terbakar bersama telurnya bisa dibaca DI SINI.



Saatnya Membela Dewi Yasin Limpo



Di Jakarta sana, seorang anggota DPR ditangkap dalam satu operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik hanya fokus pada sang politisi, tanpa melihat lebih jauh bahwa sebenarnya yang terjadi adalah upaya lobi untuk kepentingan daerah yang ditempuh melalui cara-cara tak terpuji. Yang sedang terjadi adalah negosiasi orang daerah untuk mengalirkan dana ke wilayahnya, yang kemudian disambut oleh semangat mencari rente dari orang pusat.

Publik hanya melihat operasi tangkap tangan, tanpa melihat substansi betapa sulitnya orang daerah ‘memaksa’ orang pusat untuk sesaat berpaling pada satu titik dalam peta Indonesia yang maha luas dan penuh kepentingan. Di tengah situasi begini, para politisi kerap menawarkan satu jalan tol demi memuluskan lobi sehingga pembangunan bisa bergerak. Sayang, jalan tol itu diperlicin oleh sejumlah dollar yang bisa berujung ke jeruji tahanan.

Bagaimanakah membaca fenomena ini?

***

HARI itu, saya melintas jalan dari Polewali Mandar menuju ke Mamasa yang terletak di pegunungan Sulawesi Barat. Sepanjang jalan menanjak itu, saya melihat jalanan yang kondisinya rusak parah. Padahal, di kiri kanan jalan terdapat banyak jurang yang siap menelan kendaraan yang lengah.

Di satu dangau dekat bukit, saya meminta sopir sesaat menepi. Saya lalu melemaskan badan yang pegal-pegal menempuh rute yang berat itu. Saya lalu menyalakan kretek, lalu menghembuskan asapnya secara lepas demi menghalau penat serta hawa dingin. Seorang kawan dari Pemda Mamasa lalu datang mendekat dan bergabung. Saya menyodorkan sebatang rokok kretek.

“Mengapa jalan ini tak juga diperbaiki?” tanya saya.
“Ini jalan nasional. Yang berkewajiban untuk memperbaikinya adalah pemerintah pusat”
“Trus, kenapa pemerintah pusat tidak memperbaikinya?
“Kami sudah beberapa kali mengajukan anggaran. Yang kami terima hanya janji-janji”
“Mengapa tak melalui politisi Sulbar di DPR RI?”
“Mereka sudah coba. Tapi gagal. Mereka hanya berjumlah tiga orang. Jelas kalah lobi,” katanya.

Saya memikirkan kalimat sahabat itu. Begitu luasnya provinsi ini. Tapi dikarenakan jumlah penduduknya yang tidak besar, maka hanya diwakili oleh tiga orang saja di parlemen. Bandingkan dengan kabupaten di Jawa Barat yang kadang diwakili oleh sembilan anggota DPR RI. Bagi orang daerah, jumlah yang sedikit bisa berpengaruh pada sejauh mana lobi dalam hal mengalirkan dana pembangunan. Setidaknya, jumlah banyak bisa mempengaruhi wacana dan sesaat membuat pihak pusat berpaling, Jumlah yang sedikit tak leluasa berbuat banyak untuk sekadar mengubah wacana daerah menjadi wacana penting yang harusnya bisa mengulurkan tangan negara di tingkat pusat.

Tentu saja, ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi mengapa jalan itu mangkrak. Yang saya pikirkan adalah jarak yang cukup lebar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hampir setiap saat orang daerah datang ke Jakarta untuk sekadar melobi-lobi anggaran. Mereka berharap bisa mendapatkan remah-remah dari proyek-proyek strategis dan pembangunan yang kesemuanya didesain dan ditentukan dananya oleh orang pusat.

Memang, sejak era otonomi daerah, ada banyak dana yang mengalir ke daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan konsekuensi dari desentralisasi penyerahan urusan pusat dan daerah. Prinsip money follow function yang bermakna pendanaan harus mengikuti pembagian urusan dan tanggung jawab dari masing-masing tingkat Pemerintahan. Yang terjadi, tak semua daerah bisa mengelola dana alokasi umum (DAU) dengan bijak. Banyak daerah yang menghabiskan lebih 50 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Malah ada yang sampai 75 persen.

Biasanya, daerah-daerah ini akan sesegera mungkin mencari lobi demi mendapatkan dana pemerintah pusat. Apalagi, sejak lama menjadi pertanyaan besar, apakah kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah Daerah terkini, sudah dilakukan secara proporsional, adil, demokratis dan sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah?.

Riset FITRA menunjukkan betapa banyaknya dana yang dipegang pemerintah pusat serta membuka peluang untuk lahirnya praktik mafia anggaran. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrasturktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktek mafia anggaran.

Banyak daerah yang kemudian berjibaku untuk mendapatkan dana perbaikan infrastruktur ini. Mereka mengoptimalkan berbagai kanal untuk mendapatkannya. Teman-teman di daerah sering bercerita tentang betapa banyaknya pintu yang harus dilewati agar bisa bertemu orang pusat. “Mulai dari pos satpam, saya sudah harus siapkan uang pelicin. Semakin ke atas semain besar pelicin yang disiapkan,” kata seorang kawan dari daerah.

Tak hanya itu, saat melobi dan membawa proposal di kementerian, orang daerah diarahkan untuk melobi para key person yang dianggap bisa membuka kunci anggaran. Boleh jadi mereka adalah pejabat, atau barangkali sejumlah keluarga pejabat yang dengan lihainya bisa mengatur urusan APBN negara dan memasukkan proposal itu sebagai prioritas negara. Jika besar dana yang disiapkan, maka besar pula kemungkinan menang persaingan dengan demikian banyak daerah lain yang juga mengincar dana yang sama.

***

DI satu kafe mewah di sudut Jakarta, saya bertemu lelaki itu. Ia adalah seorang bupati dari satu daerah di kawasan timur. Ia datang ke Jakarta sembari memebawa beberapa stafnya di daerah. “Tujuan kami hanya satu. Kami ingin menjolok anggaran di pusat supaya turun ke daerah,” katanya.

Di beberapa daerah yang saya datangi, ternyata ada istilah “jolok anggaran di pusat.” Orang daerah berasumsi bahwa anggaran itu serupa buah manis yang berada di pucuk pohon, sehingga membutuhkan penjolok untuk mendapatkannya. Bagi mereka, salah satu keberhasilan pemerintah daerah adalah ketika banyak dana yang masuk, ketika banyak infrastruktur yang dibangun di tengah keterbatasan, serta banyaknya pihak yang diuntungkan oleh satu rezim pemerintahan.

Biasanya, pola yang ditempuh adalah melobi melalui sejumlah politisi atau anggota DPR RI yang dianggap punya akses ke anggaran ataupun kementerian teknis. Komunikasi intensif dibangun dengan staf ahli anggota dewan, lalu perlahan membangun deal-deal dengan beberapa pihak. Biasanya, ada dana yang dikelyarkan sebagai awal. Pada saat seperti ini, pengusaha lokal lalu menalangi dana awal dengan harapan agar kelak dirinya yang mengelola proyek. “Istilahnya, itu semacam penyertaan modal,” kata sang bupati.

Dana itu lalu bergerak ke banyak pihak yang menjadikan politik kita serupa praktik berjamaah yang melibatkan banyak orang. Dana itu akan menjadi jalan tol yang bisa membuat proposal bergerak maju demi mendapatkan anggaran infrastruktur yang besar. Lobi dengan anggota dewan ini adalah kunci untuk mendapatkan banyak proyek yang lalu bergerak ke daerah.

Tentu saja, yang diuntungkan adalah kedua belah pihak. Orang pusat dan orang daerah sama-sama mendapatkan “dana bagi hasil.” Semua pihak-pihak yang mengurus proyek-proyek ini akan kebagian jatah pula. Logikanya, tak mungkin ada air mengalir melalui keran, tanpa membuat pipa itu basah. Praktik ini menjadi lingkaran yang terus direproduksi, menguntungkan banyak pihak, hanya saja merugikan negara yang tiba-tiba saja mengeluarkan biaya politik dari praktik percaloan ini.

***

KEMARIN, saya menyaksikan televisi dan melihat berita tentang tertangkapnya seorang anggota dewan dari Partai Hanura. Namanya Dewi Yasin Limpo. Ia bersikukuh bahwa dirinya tak bersalah. Ia tidak menerima uang sepeserpun. Ia mengaku bersih dari segala tuduhan. Ia ditahan KPK terkait tuduhan dirinya yang terlibat kongkalikong untuk menggolkan proyek listrik mikro hidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Ia ditangkap bersama tenaga ahli, rekanan pengusaha, serta pejabat Kabupaten Deiyai, Papua.  Melihat mereka yang tertangkap, saya hanya bisa menduga-duga bagaimana jejaring itu bekerja. Polanya banyak sama dengan kasus-kasus lain.

Rasanya tak adil jika dirinya disalahkan seorang diri. Dia memang layak dibela dalam hal melihat mata rantai persoalan secara lebih luas. Bukan berarti kita membelanya tidak bersalah, melainkan menjamin hak-haknya untuk memastikan bahwa siapapun jaringan yang bekerja dengannya harus terungkap. Jika memang salah, maka tindakannya tentu melibatkan banyak orang, serta jejaring yang bekerja untuknya. Dirinya harus dilihat sebagai pemantik dari jejaring yang lebih besar, yang selama ini menggunakan cara-cara sedikit licin untuk meneguhkan kuasa.

Saatnya berrefleksi tentang bagaimana cara membagi pembangunan agar merata di seluruh daerah. Marilah kita melihat cermin diri kita apakah kita memang berniat melayani ataukah berniat mencari rente dari satu proses politik. Marilah kita merenungi sisi terdalam diri kita. Marilah kita mengeja aksara yang setiap hari kita catat di buku kehidupan kita, yang kelak akan diaudit Yang Maha Pencipta.


22 Oktober 2015

BACA JUGA:




Bermula dari Menyibak Kabut




Seseorang bertanya tentang sukses terbesar dalam hidup.

TERDAPAT banyak hal yang saya anggap sebagai sukses terbesar dalam kehidupan. Saya melalui banyak peristiwa penting yang memberikan pelajaran berharga tentang makna kesuksesan. Namun jika harus memilih satu hal, maka saya akan menyebut sukses terbesar saat pertama kali bisa menghasilkan buku bersama masyarakat Pulau Buton, yang kemudian sukses menginspirasi banyak orang.

Pada tahun 2009, saya kembali ke kampung halaman di Pulau Buton, setelah lama merantau ke berbagai kota besar. Saya lalu membangun komunitas demi merencanakan banyak hal-hal baik bagi masyarakat. Saya merasakan ada energi besar dari banyak orang untuk membahas tema-tema budaya, hanya saja, tak ada wadah untuk menyalurkan energi besar tersebut.

Memang, ada media lokal serta radio komunitas. Hanya saja, media itu tak memadai untuk menampung berbagai diskusi serta wacana mengenai budaya dan tradisi. Padahal, di banyak tempat, saya menemukan banyak diskusi menarik mengenai wacana lokal yang bisa memicu debat panjang. Saat itu, saya semakin yakin bahwa upaya untuk menampung energi berpikir akan sangat baik jika diimplementasikan dalam bentuk publikasi.

Hal lain yang mendasari niat saya untuk membuat buku adalah hampir tak pernah saya temukan penulis di level masyarakat lokal. Yang hilang adalah tafsir dari dalam, khususnya mengenai tema-tema budaya dan sejarah. Yang banyak muncul adalah penafsiran ilmuwan bangsa lain, khususnya Belanda, mengenai budaya serta wacana lokal di sekitar kami.

Didorong oleh hasrat untuk merekam dan menyalurkan energi besar itu, saya lalu merancang terbitnya buku. Saya mengajak teman-teman yang baru kembali ke daerah. Kami lalu mengundang beberapa orang yang kami anggap mumpuni untuk sama-sama bergabung dalam proyek buku bersama. Masalah demi masalah datang. Banyakw arga lokal yang tak terbiasa menulis. Banyak pula yang merasa tak percaya diri sehingga enggan bergabung.

Demi menyiasati persoalan itu, saya lalu merancang pelatihan menulis. Pesertanya adalah warga kampung, mulai dari imam masjid, tokoh masyarakat, budayawan lokal, serta beberapa orang tua yang suka mencatat-catat sejarah. Pelatihan itu bertujuan untu mengalirkan berbagai tema-tema yang mengendap di kepala. Saya percaya bahwa semua orang bisa punya style atau gaya sendiri dalam menulis. Pelatihan hanya menjadi arena untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasan itu, bukan untuk menyeragamkan cara menulis.

Masalah lain mencuat lagi. Saya dan teman-teman belum punya pengalaman menerbitkan satupun buku. Makanya, kami juga ragu-ragu dan bertanya dalam diri, apakah kami bakal bisa menerbitkannya. Hebatnya, di tengah situasi itu, kami selalu optimis dan yakin. Tak ada ruang untuk pesimisme, sebab pesimisme bisa mempengaruhi semangat masyarakat yang sedang kami latih.

Buah pelatihan dan diskusi intens itu mulai nampak setelah dua bulan. Saya terkejut melihat antusiasme serta semangat semua orang yang kemudian melahirkan buku berjudul Menyibak Kabut d Keraton Buton. Saya bahagia sekali bisa menjadi editor serta menuliskan beberapa catatan penting tentang sejarah dan budaya Buton.

Buku ini menjadi awal dari beberapa buku yang dihasilkan bersama komunitas. Setelah buku itu, saya lalu mengeditori buku Naskah Buton Naskah Dunia, yang isinya adalah berbagai tulisan tentang naskah Buton yang nyaris tenggelam di lipatan sejarah. Buku lain adalah Negeri Seribu Benteng, lalu Tafsir Ulang Sejarah Buton. Semua buku-buku ini menjadi bestseller di tingkat lokal dan mengalahkan penjualan buku-buku laris di Jakarta, seperti Laskar Pelangi. Tak hanya itu, buku saya lalu dikoleksi banyak perpustakaan di luar negeri, sebagai publikasi tentang Buton yang terbaru.

Berkat buku ini, saya lalu mendapat banyak hal-hal baik. Mulai dari kesempatan mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat (AS), mengedit buku yang ditulis oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, hingga pengalaman menjadi pembicara mengenai topik budaya dan sejarah lokal. Semuanya dimulai dari buku pertama yang dengan susah payah dilahirkan bersama masyarakat lokal.

Yah, demikian sekelumit kisah tentang sukses terbesar.

Buat Tuan Penggagas Wajib Militer dan Bela Negara



Tuan dan jenderal yang di Jakarta sana dengan mudahnya melempar kata. Tuan-tuan mewacanakan perlunya menghidupkan wajib militer. Dalihmu adalah demi membela negara. Dalihmu, demi kepentingan negara, nyawa pun harus rela disabung. Namun bisakah sebagai rakyat biasa saya melempar sejumput tanya. Mengapa pula kami harus membela negara, sementara negara tak pernah hadir pada sepiring dua piring nasi yang kami dapat dengan susah payah?

Mengapa pula kami harus membela negara, sementara setiap saat kami juga harus membela diri dari para begal yang berkeliaran di jalan-jalan dan bisa mengancam hidup kami yang biasa ini? Sementara tuan di sana, hidup dengan penghasilan miliaran rupiah, mendapat nikmat besar dari negara yang tuan pijak, mendapatkan rumah bak istana, mendapat mobil mewah sebagai kendaraan dinas untuk memantau kami, mendapat kuasa untuk memerintah kami para jelata, lalu tiba-tiba mendapatkan lagi proyek miliaran atas nama wajib militer dan bela negara. Itukah yang kau sebut berkorban demi bangsa dan negara?

Tuan dan jenderal yang di Jakarta sana dengan mudahnya berdalih. Tak perlu mencari musuh di luar sana. Di sekitar kita ada banyak musuh yang harus sama-sama kita enyahkan. Musuh kita terletak dalam arogansi kelas menengah kita yang acuh dengan kami para hamba sahaya. Musuh kita di mana-mana adalah para tukang kepret yang berbekal surat dari negara merasa berhak mementung dan menghardik para pedagang dan buruh di pasar-pasar sana. Musuh kita adalah pejabat brengsek yang merampas tanah petani lalu menjualnya ke korporasi bangsat dalam satu siklus kongkalikong perizinan.

Bukankah musuh kita yang paling besar adalah para preman yang disokong para pejabat, lalu menebar teror demi memenangkan setiap arena pemilihan? Bukankah musuh nomor satu kita adalah para tikus koruptor yang setiap saat menggerogoti kas negara kita yang harusnya digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat? Apakah koruptor itu rakyat biasa? Bukan. Mereka adalah pejabat dan pemimpin. Ah, jangan-jangan Anda semua adalah musuh yang memakai jubah negara demi melegalkan setiap tindakan yang melihat kami serupa belatung yang harus disingkirkan atas nama pembangunan?

Tentu saja, membela negara itu penting. Kita memang harus memperluat pertahanan kita. Namun, mohon maaf, wacana bela negara yang kalian sampaikan itu adalah omong kosong. Sebab seolah-olah hanya kalian yang tahu bela negara. Kami seolah keroco-keroco kecil yang tak paham tentang makna bela negara. Apakah kalian pernah membaca sejarah?

Bukankah sejarah mengajarkan bahwa di saat ancaman datang silih berganti, maka rakyatlah yang akan mengangkat senjata mengorganisir diri dalam satu barisan, lalu menyatakan diri siap sedia dan bersatu padu untuk membela kehormatan. Sejarah kita penuh kisah heroik tentang rakyat yang tak pernah didoktrin bela negara namun hadir sebagai pahlawan saat bangsa lain datang menginjak-injak martabat kita. Sejarah mengajarkan bahwa hasrat perlawanan itu tumbuh subur di hati mereka yang hak-haknya dirampas, mereka yang hak hidupnya dilanggar, mereka yang dipinggirkan oleh kekuasaan.

Apakah kalian harus meragukan dahsyatnya sikap heroik rakyat Surabaya yang tak ingin melihat bangsa lain mengangkangi tanahnya sendiri? Apakah kalian tak melihat radikalisme petani yang menyabung nyawa demi menyelamatkan tanahnya dari penjajah asing? Apakah kalian tak juga belajar dari para ulama jelata yang mengangkat tasbih dan senjata untuk mengusir segala sesuatu yang bernama angkara murka?

Ah, mungkin kalian tak baca sejarah. Marilah kita tengok rakyat-rakyat hebat di sekitar kita. Marilah kita belajar pada Munir yang mempertaruhkan segala keberanian serta suaranya pada praktik negara yang tak berprikemanusiaan. Marilah kita belajar pada Marsinah yang dibunuh secara kejam karena membela para buruh, Romo Mangun yang mendedikasikan hidupnya untuk membela korban penggusuran. Masih perlukah saya menyebut Salim Kancil yang dalam kesederhanannya telah bertarung dengan mafia tambang untuk menyelamatkan lingkungan desanya? Di manakah kalian pada saat mereka sedang mempertaruhkan hidupnya untuk orang lain?

Dalam diri mereka, terdapat banyak obsesi tentang negara yang kuat, negara yang melindungi rakyatnya, negara yang hadir sebagai benteng perlindungan seluruh tanah air Indonesia. Dalam diri mereka, terdapat harapan tentang negara yang baik dan mengayomi semua warganya. Di saat negara yang diharapkan itu tak juga hadir, mereka tampil ke depan untuk mengambil peran demi membumikan semua cinta kasihnya pada anak bangsa. Mereka rela menyerahkan nyawanya demi satu tujuan mulia yang dibalut segala rasa cinta tanah air dan masyarakatnya. Bisakah kita meneladani semua rakyat hebat dan berdedikasi itu?

Tuan dan jenderal yang di Jakarta sana mudah melempar kata. Tak ada guna pelatihan baris-berbaris serta upacara-upacara dan penghormatan pada simbol negara itu. Tak ada guna belajar di kelas serta doktrin-doktrin tentang peran negara. Ilmu pedagogi kita telah lama berkembang pesat sehingga banyak metode belajar baru yang dilahirkan. Tak ada guna mengajarkan disiplin bangun pagi, membersihkan tempat tidur, mandi, lalu berbaris pada waktu yang tepat. Tak ada guna sikap sempurna, mata memandang lurus ke depan, pada seorang inspektur upacara yang dengan malas berteriak, “Laksanakan!”

Kalau kalian memang cinta tanah air ini, kalau memang cinta bangsa ini, hadirkanlah rasa cinta itu melalui sesuatu yang organik. Tumbuhkanlah cinta itu dalam dalam diri semua warga, melalui teladan-teladan kecil yang kalian berikan atas nama negara. Kami tak minta banyak. Hadirlah di sela-sela kami saat para begal mengancam hidup kami di jalan-jalan. Muncullah di tengah kejahatan perusahaan yang hendak merampas tanah-tanah adat kami yang telah diwariskan semua nenek moyang kami. Hadirlah di tengah kesulitan ekonomi, melalui berbagai skema pembangunan yang memanusiakan kami semua.

Berikanlah kami keteladanan di hadapan hukum, yakni kesediaan untuk diperlakukan sama dengan kami semua. Di saat kami dihukum berat atas kasus-kasus pelanggaran hukum, kami akan amat sakit hati saat melihat anak kalian hanya melenggang kangkung dan dibebaskan pada saat mereka menghilangkan anyak nyawa di jalan-jalan. Kami akan geram saat kalian memproklamirkan diri cinta rakyat dan pedagang kecil, tapi harga kuda kalian miliaran rupiah. Makmurkanlah kami semua, sebagai bagian dari amanah kalian selaku penyelenggara negara. Namun jika yang makmur hanya keluarga dan kerabat kalian, bersiap-siaplah mendapat perlawanan dari kami semua.

Di sini, kami menelusuri pasar-pasar dan jalan-jalan untuk sesuap nasi. Anak-anak kita mengamen di jaan-jalan, berdagang koran di tengah hujan lebat “demi satu impian yang kelak ganggu tidurmu.” Di sini, kami sedang berjibaku dengan perusahaan-perusahaan yang entah datang dari mana tiba-tiba mengusir kami dari atas tanah nenek moyang kami yang diwariskan turun-temurun.

Di sini, kami bertarung demi hidup yang barangkali hanya menyisakan sesuap nasi dan sekeping kerupuk untuk hidup kami. Kamilah yang menjadi ampas dari mesin besar bernama pembangunan. Setiap saat harapan hidup kami digerus oleh ketakutan pada aparat kalian yang memegang pestol dan setiap saat bisa menyalak, hingga nyawa kami lepas. Kamilah yang setiap saat harus berjibaku dnegan nasib yang sering tak memihak.

Tuan dan jenderal di Jakarta sana. Bisakah kami mengemban tugas bela negara di tengah himpitan kesulitan, sementara kalian hidup di istana lapang itu? Masihkah kamu memaksa kami berkorban demi menopang segala kenyamanan kalian? Bisakah kami “dipaksa pecahkan karang di saat lemah jari kami terkepal?”


14 Oktober 2015

Catatan:

Beberapa kutipan di atas diambil dari lagu karya Iwan Fals



Dia yang Datang dengan Rasa Bersalah


ilustrasi

ANAK muda itu datang sembari membawa rasa bersalah. Ia mengaku telah melakukan satu hal yang menyakitkan orang lain. Ia lalu dikepung berbagai perasaan yang membuatnya tak enak hati. Sehari setelah kejadian itu, ia lalu mengajukan pengunduran diri dari berbagai kerja-kerja bersama yang dilakoninya. Ia berpikir bahwa dirinya pantas mendapatkan hukuman sosial.

Saya menyaksikan anak muda itu dari dekat. Senyum dan keceriaan yang kerap menghiasi wajahnya sirna seketika. Ia kebanyakan menunduk. Mata yang dahulu penuh kelucuan tiba-tiba muram. Ia kehilangan cahaya yang kerap dipancarkannya. Dalam perjumpaan terakhir, ia beberapa kali melepaskan napas panjang, serta menyesali diri yang dianggapnya melakukan kesalahan.

Melihat rasa bersalahnya, saya teringat pada biksu Ajahn Brahm. Ia pernah mengatakan bahwa mereka yang merasa bersalah, sejatinya mengalami dua kali pukulan telak. Pertama, pukulan telak atas rasa bersalah terhadap tindakan yang pernah dilakukan. Kedua, terjebak dalam lembah duka dan nestapa dikarenakan terus-terusan merenungi rasa bersalah itu. Demikianlah cara kerja pikiran kita yang seringkali rumit bagi diri kita sendiri.

Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Dalam budaya kita, kata “bersalah” adalah keputusan yang diketok seorang hakim di pengadilan. Dalam banyak kasus, hakim paling kejam adalah diri sendiri yang lalu mengetuk palu untuk memvonis diri telah melakukan kesalahan. Vonis paling kejam diberikan oleh pikiran pada diri yang selamanya dipaksa untuk menanggung rasa bersalah itu.

Kebanyakan orang, yang saya lihat, bisa dengan segera menemukan kesalahan, lalu memahami di mana posisinya. Akan tetapi, tak semua orang bisa berdamai dengan kesalahan itu. Jauh lebih banyak yang memendam rasa bersalah itu, mengutuki diri sendiri sebab telah melakukannya, lalu membiarkan perasaannya terombang-ambing dalam duka dan kesedihan.

Terhadap kebanyakan orang ini, rasa bersalah telah mengendalikan nalar dan pikiran jernihnya. Terhadap anak muda itu, saya mengingatkannya bahwa setiap setiap jalan keluar yang lahir dari rasa bersalah serta emosi, pastilah bukan jalan keluar. Emosi dan amarah bisa menggiring seseorang ke dalam berbagai pilihan yang justru bisa menarik tubuhnya hingga kembali terjebak dalam lembah kesedihan yang paling dalam.

Tak heran jika banyak yang depresi, lalu kehilangan tujuan dan hari-hari ceria sebagaimana sebelumnya. Rasa bersalah itu menjadi pisau yang menikam dirinya, menjadi onak dan duri atas hari-harinya yang penuh kedamaian.

Rasa bersalah serupa setitik nila yang bisa merusak susu sebelanga. Bayangkan, ada berbagai kebaikan dan kebenaran pada diri anak muda itu, namun tiba-tiba saja, satu kesalahan telah menghempaskan dirinya dalam kesedihan. Harusnya, dia segera menemukan ribuan kebaikan dalam dirinya untuk bangkit, menjadikannya sebagai dahan untuk bergantung, menjadikannya sebagai sayap untuk terbang tinggi-tinggi.

Yang harus dilakukannya adalah menenangkan diri, berdamai dengan kesalahan itu, lalu kembali tersenyum dalam memandang kehidupan. Ketimbang meratapi rasa bersalah, jauh lebih baik jika dia segera melupakannya, lalu kembali pada keceriaan, sesuatu yang memang identik dengan dirinya. Jauh lebih baik jika dirinya memikirkan kerja-kerja positif yang bisa dilakukannya sebagai penghias hari-harinya yang mulai kelam. Merenungi kesalahan itu hingga terdiam selama beberapa hari bisa menenggelamkannya dalam duka. Kepadanya juga saya titipkan pesan bahwa mundur dari semua aktivitas lalu menghindari orang lain bukanlah jalan yang bijak.

Yup, tak semua orang bisa berdamai dengan dirinya. Banyak orang hanya ingin melihat dirinya, sebagaimana disaksikan orang lain. Tak semua orang bisa tersenyum saat melihat potret dirinya yang retak.  Padahal, melalui kesalahan, kita harusnya menyadari bahwa kita hanyalah manusia biasa yang penuh dengan khilaf dan dosa-dosa. Kesalahan adalah sahabat baik yang menyadarkan bahwa kaki kita masih memijak bumi, kita hanya manusia biasa yang bisa tergelincir, sekaligus menjadi tanda bahwa saatnya bagi jiwa untuk memasuki pit stop demi merenung dan membasuhnya lalu kembali melesat ke arena kehidupan.

Berdamai dengan diri sendiri adalah titik balik untuk melihat kehidupan dengan cara pandang sendiri. Saya percaya bahwa pada banyak titik, kita harus menjadi diri kita, lalu menggunakan nurani kita sebagai cermin. Berpikir dengan menggunakan kerangka pikir orang banyak memang positif dalam banyak hal, namun pada hal tertentu, kita juga harus berdamai dengan diri, memuliakan diri, serta mendengarkan suara-suara diri yang sejatinya selalu ingin kedamaian.

Kepada anak muda itu, saya menitipkan pesan untuk tidak terlampau lama dalam lembah sedih dan gulana. Bahagiakan diri dengan berkunjung ke banyak tempat, jalani berbagai petualangan yang yang menaikkan adrenalin, nikmati berbagai kesenangan, isi masa mudamu dengan penuh penjelajahan, bertemulah dengan banyak orang baik yang bisa berbagi pengalaman.

Kuatkan diri dengan cara menguatkan orang lain. Senangkan diri dengan cara berbagi pengetahuan serta niat baik kepada banyak orang. Basuh diri dengan selalu menyaksikan kebaikan-kebaikan, kerja-kerja untuk orang banyak, serta menyerap berbagai ketulusan dan keikhlasan dari orang baik yang bertebaran di tengah masyarakat kita.

Pada akhirnya, semua peristiwa dalam hidup akan selalu mendewasakan. Hanya dengan damai dan tenang, semua persoalan bisa diselesaikan. Saatnya mengubah diri sebagai figur yang selalu menemukan embun dan solusi di balik setiap kejadian. Saatnya jadi kupu-kupu dan terbang tinggi. Saatnya merenungi petuah Bunda Theresa, “Ketimbang mengutuk kegelapan, jauh lebih baik jika menyalakan lilin.”


Bogor, 13 Oktober 2015



Jengis Khan, Tetes Air, dan Kesetiaan Seekor Rajawali


ilustrasi

Saat seseorang sahabat melakukan hal yang tidak berkenan di hatimu sekalipun, 
dia tetaplah sahabatmu.


INI kisah tentang pemimpin bangsa Mongol bernama Jengis Khan. Dalam setiap pertempuran, ia selalu datang dengan memakai baju zirah terbuat dari besi, pedang panjang yang amat tajam, serta seekor burung rajawali. Baju zirah melindunginya dari tebasan musuh, pedang tajam membantunya mengalahkan musuh, dan rajawali menolongnya untuk mengenali musuh dari kejauhan.

Dalam satu pertempuran, ia terpisah dari rombongannya. Ia lalu berjalan seorang diri ke dalam hutan dalam keadaan kehausan. Ia lalu melihat ada tetes-tetes air mengalir di satu tebing. Ia lalu melepas cawan perak dari pelana kuda yang kerap dibawanya. Ia lalu mengambil air melalui cawan itu, kemudian mendekatkan ke bibirnya demi untuk diminum.

“Tring...!”

Rajawalinya tiba-tiba saja mematuk cawan peran itu hingga airnya tumpah lalu jatuh. Jengis Khan terheran-heran. Ia kembali mengambil cawan itu lalu menadah air yang menetes. Ia lalu bersiap meminumnya.

“Tring...!”

Kembali rajawali mematuk. Jengis Khan mulai murka. Emosinya naik hingga ubun-ubun. Wajahnya memerah karena menahan marah. Rajawali itu telah bertindak kurangajar. Rajawali itu tak tahu bahwa dirinya tengah kehausan setelah lama berjalan dalam keadaan lelah. 

Rajawali itu tak tahu kalau nyawanya sangat bergantung pada tetes demi tetes dari air menetes itu. Daripada dirinya tewas kehausan, maka lebih baik rajawali itu yang tewas. “Mampus kau rajawali,” gumamnya.

Ia kembali mengambil cawan perak itu lalu menghimpun air. Saat hendak minum, kembali Rajawali itu mendekat dan mematuk tangannya.

“Tring...!”
“Crash...”

Cawan perak itu jatuh. Namun, kepala rajawali tiba-tiba saja terpenggal akibat ditebas dengan pedang tajam Jengis Khan. Ternyata, kesabaran pemimpin Mongol itu ada batasnya. Di tengah rasa haus serta lapar yang melilit perutnya, ia memutuskan untuk memenggal rajawali itu yang telah tiga kali menghalanginya untuk meminum air.

Kini, ia mengambil cawan itu. Aneh, sebab air tiba-tiba saja berhenti menetes. Ia curiga. Ia lalu menaiki tebing itu demi mendatangi sumber airnya. Astaga, ia sungguh terkejut saat melihat bahwa di atas tebing itu, ada ular besar yang mati dalam keadaan terbuka mulutnya. Bisa yang keluar dari taring ular itu telah mencemari air yang lalu menetes ke bawah.

Jengis Khan seketika sadar. Bahwa rajawali itu berniat untuk melindunginya. Andaikan ia meminum air itu, maka pastilah ia yang tewas seketika. Ia lalu dicekam rasa bersalah. Ia lalu terduduk sembari sesunggukan saat mengingat rajawali kesayangannya yang malang.

Dibawanya bangkai rajawali itu ke kerajaannya. Ia lalu meminta seorang seniman untuk membuat patung rajawali besar yang terbuat dari perunggu. Pada satu sayap rajawali, tertera tulisan, “Saat seseorang sahabat melakukan hal yang tidak berkenan di hatimu sekalipun, dia tetaplah sahabatmu.”

Sementara di sayap satunya tertera kalimat, “Tindakan apa pun yang dilakukan dalam angkara murka hanya akan membuahkan kegagalan.”

***

Kisah Jengis Khan itu saya temukan dalam buku karya Paolo Coelho yang berjudul Like the Flowing River. Pesannya sangat kuat yakni tidak semua tindakan yang nampak jahat terhadap kita adalah jahat. Boleh jadi, tindakan itu justru berniat positif untuk menyelamatkan diri kita. Sebaliknya, tak semua puja-puji dan kagum pada kita bertujuan positif. Boleh jadi, ada niat jahat yang bersemayam di baliknya.

Kehidupan seringkali punya banyak kejutan. Kita kerap marah besar saat sahabat atau orang terdekat kita menyodorkan rasa pahit dalam mulut kita. Kita kesal dan mengeluarkan semua makian dan kalimat kasar. 

Namun, keesokan harinya, kita terkejut saat tubuh kita, yang sedang sakit, berangsur sehat. Ternyata rasa pahit itu adalah rasa obat yang menyembuhkan. Dipikir pahit adalah rasa yang tak nyaman, ternyata malah menyembuhkan kita.

Pribadi yang sehat selalu bisa menyerap setiap pengalaman untuk membangkitkan kekuatan dahsyat bagi dirinya. Hal negatif sekalipun bisa menjadi kekuatan penyembuhan yang dahsyat bagi tubuhnya. Sementara pribadi yang sakit adalah pribadi yang selalu melihat segala hal dari sisi negatif. Bahkan hal positif sekalipun, bisa saja menjadi negatif di matanya.

Semuanya berpulang pada kemampuan kita mengolah dan memaknai setiap keping realitas secara utuh. Semuanya kembali pada kekuatan kita untuk mengolah segala tindakan menjadi energi positif. Seorang biksu pernah berujar bahwa pikiran akan menentukan realitas. Di saat kita melihat sesuatu secara positif, maka realitas akan mengikuti gerak pikiran kita. Demikian pula sebaliknya.

Di tanah Mongol, Jengis Khan mengajarkan hal lain yang juga penting. Bahwa tindakan apapun yang diambil dalam keadaan marah, maka pasti akan berujung pada kegagalan. Di tanah lain, orang-orang arif telah lama mempraktikan ajaran leluhur tentang pengendalian amarah. 

Para sufi telah lama mengenal bacaan dalam kitab untuk menstabilkan aliran darah yang mengalir tak menentu. Para biksu membacakan berbagai mantra dan mengatur napas untuk menemukan inner peace.

Saat emosi mengepung pikiran, maka itulah saat untuk bermeditasi. Itulah saat untuk mengendalikan pikiran agar tidak liar dan menerabas ke mana-mana. Itulah saat tepat untuk salat agar pikiran kembali jernih dan terang. Itulah saat untuk sesaat melakukan refleksi sehingga gerak pikiran menjadi lebih tertata. Itulah saat-saat merenung sehingga manusia mengalami pencerahan. 

Itulah saat-saat bagi kepompong untuk menjadi kupu-kupu yang sayapnya mengerjap indah dan bebas ke mana-mana.


Baubau, 6 Oktober 2015
Seusai membaca buku yang ditulis biksu Ajahn Brahm