Berita itu menyebar lebih cepat dari api yang membakar ilalang. Seorang kepala daerah yang selama ini terkenal sebagai figur yang amat bersih dengan citra terjaga tiba-tiba diberitakan terjerat kasus korupsi.
Seorang pemimpin dengan sederet gelar, mulai dari gelar profesor hingga trah bangsawan, mengenakan rompi oranye sebagai tahanan lembaga anti rasuah. Sosok penuh visi yang bisa mengupas realitas pembangunan mulai dari akar filosofis sampai aksi lapangan itu kini tersandung oleh permainan yang entah disadarinya ataukah tidak.
Rasanya tak percaya melihat matahari yang terang di timur itu harus terhalang banyak mendung. Di dunia birokrasi, kariernya terus bersinar. Bermula dari bupati, dia melejit hingga kursi gubernur. Dia seharusnya menjadi oase pemimpin republik ini. Dia adalah kerinduan banyak orang akan sosok kepala daerah yang bersih, cerdas, penuh prestasi.
Apa daya. Dia yang sekian tahun berada di ruangan ber-AC itu, kini menempati sel di lantai dasar gedung merah putih yang pengap dan panas. Dia yang bersih itu, kini tercemar dan penuh jelaga.
Kekuasaan memang serupa sihir yang bisa mengubah realitas dengan seketika. Kekuasaan bisa membuat seseorang menjadi figur karisma, dielu-elukan semua orang, hingga dipuji dalam berbagai narasi. Namun kekuasaan pula yang bisa membuat seseorang terjerembap ke lembah nista dan ruang gelap tahanan. Kekuasaan bisa membawa seseorang untuk mengenakan rompi oranye.
Ya, di negeri ini, rompi oranye ibarat mantra yang melumpuhkan semua marwah seseorang. Rompi itu ibarat tinja yang dilempar ke wajah. Sekali rompi itu dipakaikan, publik langsung menuduh seseorang bersalah. Publik tidak peduli adanya asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Sekali Anda memakai rompi itu, bersiaplah untuk menerima takdir terburuk di mata publik.
Namun, apakah dia memang salah? Ataukah dia hanya mengikuti satu irama permainan yang sudah menjadi hal lazim dan praktik yang telah berjalan selama bertahun-tahun dan terus diwariskan, dari pemimpin satu ke pemimpin lain?
***
“Andaikan malaikat menjadi pemimpin di negeri ini, pasti akan terjerat. Ini hanya soal waktu. Semua pemimpin bisa masuk dalam jebakan betmen,” kata seorang kawan.
Saya menyimak kalimatnya di satu hotel yang tidak jauh dari gedung KPK. Sebagai mantan kepala daerah, dia melihat ada sesuatu yang keliru dengan sistem bernegara kita. Seseorang yang bersih sekali pun bisa terjebak pada belukar permainan yang bisa menjerat setiap langkah.
Istilah “jebakan betmen” mengacu pada komedi di stasiun televisi tentang perangkap yang disiapkan kepada seseorang sehingga terjerat. Agar tidak terjebak, seseroang harus pandai membuat deal dengan banyak pihak. Dia mesti menjaga keseimbangan dari banyaknya kepentingan, termasuk membiayai perjuangan yang bermula sejak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Politik kita memang penuh biaya tinggi. Kawan itu merinci banyak biaya. Demi mendapat rekomendasi partai, dia harus menyiapkan “setoran” pada petinggi partai. Jika satu kursi dihargai sampai 500 juta rupiah, dia harus siapkan miliaran rupiah untuk satu tiket.
Dia juga harus menyiapkan amunisi besar untuk memenangkan perang itu. Sering kali, semua mekanisme pengawasan hanya berlaku di atas kertas. Faktanya, semua calon kepala daerah harus bergerilya menyiasati aturan, serta mengeluarkan semua senjata demi melakukan serangan fajar.
Demi kemenangan, dia akan membentuk tim sukses, yang isinya adalah barisan orang-orang yang menjadi pendukung, serta mengeluarkan biaya untuk memenangkannya. Pepatah “tak ada makan siang gratis” berlaku di sini. Rasanya amat lucu jika seseorang mendukung karena alasan visi dan niat baik.
Saya teringat riset dari Michael Buehler tentang relasi kuat antara kepala daerah dengan para pengusaha dan kontraktor yang menjadi penyokong dana. Banyak proyek yang dikerjakan oleh rekanan seorang kepala daerah. Setelah diusut, rekanan itu dahulu menjadi tim sukses.
Hubungan antara kepala daerah dan rekanan serupa hubungan petani dan tengkulak. Petani menanam sesuatu dan merawatnya. Sebelum tanaman itu berbuah, tengkulak datang lalu meng-ijon atau membayar tanaman itu. Petani kehilangan hak atasnya, sebab kontraktor sudah membayarnya jauh-jauh hari.
Seorang rekanan sering bertindak serupa debt collector yang akan menagih janji kepala daerah. Mekanisme pengadaan barang dan jasa serta tender proyek disiasati demi menenangkan seseorang. Setelah menang kontraktor juga harus tahu diri. Dia juga harus menyiapkan setoran kepada kepala daerah jika ingin dirinya bisa mendapatkan paket program yang lain.
“Saya harus pandai melobi Jakarta jika ingin ada pembangunan di daerah. Dana APBD sudah habis untuk gaji pegawai dan kaplingan kontraktor,” kata kawan itu dengan suara pelan.
Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan konsekuensi dari desentralisasi penyerahan urusan pusat dan daerah. Prinsip money follow function yang bermakna pendanaan harus mengikuti pembagian urusan dan tanggung jawab dari masing-masing tingkat pemerintahan.
Namun, tak semua daerah bisa mengelola dana alokasi umum (DAU) dengan bijak. Banyak daerah yang menghabiskan lebih 50 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Malah ada yang sampai 75 persen.
Biasanya, daerah-daerah ini akan memaksimalkan lobi demi mendapatkan dana pemerintah pusat.
Riset FITRA menunjukkan betapa banyaknya dana yang dipegang pemerintah pusat serta membuka peluang untuk lahirnya praktik mafia anggaran. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktek mafia anggaran.
Banyak daerah yang kemudian berjibaku untuk mendapatkan dana perbaikan infrastruktur ini. Mereka mengoptimalkan berbagai kanal untuk mendapatkannya. Teman-teman di daerah sering bercerita tentang betapa banyaknya pintu yang harus dilewati agar bisa bertemu orang pusat.
“Mulai dari pos satpam, saya sudah harus siapkan uang pelicin. Semakin ke atas semakin besar pelicin yang disiapkan,” kata seorang kawan.
Dia diarahkan untuk melobi para key person yang dianggap bisa membuka kunci anggaran. Boleh jadi mereka adalah pejabat, atau barangkali sejumlah keluarga pejabat yang dengan lihainya bisa mengatur urusan APBN negara dan memasukkan proposal itu sebagai prioritas negara.
***
“Dengan ini kami menyatakan dia menjadi tersangka dan akan ditahan selama 20 hari,” kata Ketua KPK sebagaimana disiarkan banyak media. Di layar kaca, saya melihat sosok itu berdiri membelakangi kamera. Dia bukan lagi sosok yang disorot dengan penuh wibawa. Dia berbalik ke belakang.
Ada rasa tak percaya saat melihat sosok itu membelakang kamera. Dia tak berdaya berhadapan dengan sistem yang sudah berjalan kronis dan menahun. Bung Hatta benar saat mengatakan bahwa korupsi di tanah air ibarat kanker sudah masuk stadium tiga, stadium di mana sel kanker bisa saling memangsa agar tetap survive di tubuh yang sakit.
Patung Dewi Themis, Dewi Keadilan |
Ada rasa ragu saat Ketua KPK menguraikan angka miliar uang yang diterimanya dari pengusaha. Dia tergelincir pada satu titik, di mana titik-titik lain telah banyak dilalui. Seorang kepala daerah tidak hanya meladeni rakyatnya, tetapi juga permintaan banyak pihak.
“Jebakan betmen ada di mana-mana. Setelah menjabat pun banyak lobi yang butuh cost politik. Sekali protes, maka jaringan akan tertutup. Sementara menerima sistem itu bisa membawa risiko kapan saja terjerat,” kata kawan itu.
Orang pusat dan orang daerah sama-sama mendapatkan “dana bagi hasil.” Semua pihak-pihak yang mengurus proyek-proyek ini akan kebagian jatah pula. Logikanya, tak mungkin ada air mengalir melalui keran, tanpa membuat pipa itu basah.
Praktik ini menjadi lingkaran yang terus direproduksi, menguntungkan banyak pihak. Yang dirugikan adalah negara yang tiba-tiba saja mengeluarkan biaya politik dari praktik percaloan ini.
Dalam banyak hal, kita pantas memaki kepala daerah itu sebab sengaja melakukan praktik korupsi dan percaloan. Tapi kita juga tak bisa memungkiri fakta bahwa seseorang yang hendak membuat sejarah baru dan prestasi di daerahnya mesti pandai-pandai memaksimalkan lobi.
Biarpun lebih sering tak setuju dengan Fahri Hamzah, ada kalimatnya yang cukup mengena hati. Selama ini penegakan korupsi hanya menonjolkan aspek penindakan. Sementara pencegahan tak banyak tersentuh.
Kita mengabaikan satu sistem atau mekanisme yang bisa menjaga seseorang agar tidak korupsi. Kita seolah membiarkan sistem yang serupa perangkap itu bekerja, dan tak lama kemudian kita sibuk bertepuk tangan saat seorang kepala daerah ditangkap karena korupsi.
“Mereka yang tertangkap adalah mereka yang sial. Berarti mereka tak pandai bermain. Tak pandai menjaga harmoni semua kekuatan, entah itu pusat maupun daerah, entah itu calo kecil maupun calo besar. Semua bisa setiap saat tertangkap. Ini soal waktu,” katanya menutup pembicaraan.
Di luar sana, semburat senja tampak di ufuk Jakarta. Nun jauh di Sulawesi, mendung tengah menutup langit.