Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sebuah Kisah di Tepi Gedung KPK


Berita itu menyebar lebih cepat dari api yang membakar ilalang. Seorang kepala daerah yang selama ini terkenal sebagai figur yang amat bersih dengan citra terjaga tiba-tiba diberitakan terjerat kasus korupsi.

Seorang pemimpin dengan sederet gelar, mulai dari gelar profesor hingga trah bangsawan, mengenakan rompi oranye sebagai tahanan lembaga anti rasuah. Sosok penuh visi yang bisa mengupas realitas pembangunan mulai dari akar filosofis sampai aksi lapangan itu kini tersandung oleh permainan yang entah disadarinya ataukah tidak.

Rasanya tak percaya melihat matahari yang terang di timur itu harus terhalang banyak mendung. Di dunia birokrasi, kariernya terus bersinar. Bermula dari bupati, dia melejit hingga kursi gubernur. Dia seharusnya menjadi oase pemimpin republik ini. Dia adalah kerinduan banyak orang akan sosok kepala daerah yang bersih, cerdas, penuh prestasi.

Apa daya. Dia yang sekian tahun berada di ruangan ber-AC itu, kini menempati sel di lantai dasar gedung merah putih yang pengap dan panas. Dia yang bersih itu, kini tercemar dan penuh jelaga. 

Kekuasaan memang serupa sihir yang bisa mengubah realitas dengan seketika. Kekuasaan bisa membuat seseorang menjadi figur karisma, dielu-elukan semua orang, hingga dipuji dalam berbagai narasi. Namun kekuasaan pula yang bisa membuat seseorang terjerembap ke lembah nista dan ruang gelap tahanan. Kekuasaan bisa membawa seseorang untuk mengenakan rompi oranye.

Ya, di negeri ini, rompi oranye ibarat mantra yang melumpuhkan semua marwah seseorang. Rompi itu ibarat tinja yang dilempar ke wajah. Sekali rompi itu dipakaikan, publik langsung menuduh seseorang bersalah. Publik tidak peduli adanya asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Sekali Anda memakai rompi itu, bersiaplah untuk menerima takdir terburuk di mata publik.

Namun, apakah dia memang salah? Ataukah dia hanya mengikuti satu irama permainan yang sudah menjadi hal lazim dan praktik yang telah berjalan selama bertahun-tahun dan terus diwariskan, dari pemimpin satu ke pemimpin lain?

***

“Andaikan malaikat menjadi pemimpin di negeri ini, pasti akan terjerat. Ini hanya soal waktu. Semua pemimpin bisa masuk dalam jebakan betmen,” kata seorang kawan. 

Saya menyimak kalimatnya di satu hotel yang tidak jauh dari gedung KPK. Sebagai mantan kepala daerah, dia melihat ada sesuatu yang keliru dengan sistem bernegara kita. Seseorang yang bersih sekali pun bisa terjebak pada belukar permainan yang bisa menjerat setiap langkah.

Istilah “jebakan betmen” mengacu pada komedi di stasiun televisi tentang perangkap yang disiapkan kepada seseorang sehingga terjerat. Agar tidak terjebak, seseroang harus pandai membuat deal dengan banyak pihak. Dia mesti menjaga keseimbangan dari banyaknya kepentingan, termasuk membiayai perjuangan yang bermula sejak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Politik kita memang penuh biaya tinggi. Kawan itu merinci banyak biaya. Demi mendapat rekomendasi partai, dia harus menyiapkan “setoran” pada petinggi partai. Jika satu kursi dihargai sampai 500 juta rupiah, dia harus siapkan miliaran rupiah untuk satu tiket.

Dia juga harus menyiapkan amunisi besar untuk memenangkan perang itu. Sering kali, semua mekanisme pengawasan hanya berlaku di atas kertas. Faktanya, semua calon kepala daerah harus bergerilya menyiasati aturan, serta mengeluarkan semua senjata demi melakukan serangan fajar. 

Demi kemenangan, dia akan membentuk tim sukses, yang isinya adalah barisan orang-orang yang menjadi pendukung, serta mengeluarkan biaya untuk memenangkannya. Pepatah “tak ada makan siang gratis” berlaku di sini. Rasanya amat lucu jika seseorang mendukung karena alasan visi dan niat baik.

Saya teringat riset dari Michael Buehler tentang relasi kuat antara kepala daerah dengan para pengusaha dan kontraktor yang menjadi penyokong dana. Banyak proyek yang dikerjakan oleh rekanan seorang kepala daerah. Setelah diusut, rekanan itu dahulu menjadi tim sukses.

Hubungan antara kepala daerah dan rekanan serupa hubungan petani dan tengkulak. Petani menanam sesuatu dan merawatnya. Sebelum tanaman itu berbuah, tengkulak datang lalu meng-ijon atau membayar tanaman itu. Petani kehilangan hak atasnya, sebab kontraktor sudah membayarnya jauh-jauh hari. 

Seorang rekanan sering bertindak serupa debt collector yang akan menagih janji kepala daerah. Mekanisme pengadaan barang dan jasa serta tender proyek disiasati demi menenangkan seseorang. Setelah menang kontraktor juga harus tahu diri. Dia juga harus menyiapkan setoran kepada kepala daerah jika ingin dirinya bisa mendapatkan paket program yang lain.

“Saya harus pandai melobi Jakarta jika ingin ada pembangunan di daerah. Dana APBD sudah habis untuk gaji pegawai dan kaplingan kontraktor,” kata kawan itu dengan suara pelan.

Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan konsekuensi dari desentralisasi penyerahan urusan pusat dan daerah. Prinsip money follow function yang bermakna pendanaan harus mengikuti pembagian urusan dan tanggung jawab dari masing-masing tingkat pemerintahan. 

Namun, tak semua daerah bisa mengelola dana alokasi umum (DAU) dengan bijak. Banyak daerah yang menghabiskan lebih 50 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Malah ada yang sampai 75 persen.

Biasanya, daerah-daerah ini akan memaksimalkan lobi demi mendapatkan dana pemerintah pusat. 

Riset FITRA menunjukkan betapa banyaknya dana yang dipegang pemerintah pusat serta membuka peluang untuk lahirnya praktik mafia anggaran. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktek mafia anggaran.

Banyak daerah yang kemudian berjibaku untuk mendapatkan dana perbaikan infrastruktur ini. Mereka mengoptimalkan berbagai kanal untuk mendapatkannya. Teman-teman di daerah sering bercerita tentang betapa banyaknya pintu yang harus dilewati agar bisa bertemu orang pusat. 

“Mulai dari pos satpam, saya sudah harus siapkan uang pelicin. Semakin ke atas semakin besar pelicin yang disiapkan,” kata seorang kawan.

Dia diarahkan untuk melobi para key person yang dianggap bisa membuka kunci anggaran. Boleh jadi mereka adalah pejabat, atau barangkali sejumlah keluarga pejabat yang dengan lihainya bisa mengatur urusan APBN negara dan memasukkan proposal itu sebagai prioritas negara. 

*** 

“Dengan ini kami menyatakan dia menjadi tersangka dan akan ditahan selama 20 hari,” kata Ketua KPK sebagaimana disiarkan banyak media. Di layar kaca, saya melihat sosok itu berdiri membelakangi kamera. Dia bukan lagi sosok yang disorot dengan penuh wibawa. Dia berbalik ke belakang.

Ada rasa tak percaya saat melihat sosok itu membelakang kamera. Dia tak berdaya berhadapan dengan sistem yang sudah berjalan kronis dan menahun. Bung Hatta benar saat mengatakan bahwa korupsi di tanah air ibarat kanker sudah masuk stadium tiga, stadium di mana sel kanker bisa saling memangsa agar tetap survive di tubuh yang sakit.

Patung Dewi Themis, Dewi Keadilan

Ada rasa ragu saat Ketua KPK menguraikan angka miliar uang yang diterimanya dari pengusaha. Dia tergelincir pada satu titik, di mana titik-titik lain telah banyak dilalui. Seorang kepala daerah tidak hanya meladeni rakyatnya, tetapi juga permintaan banyak pihak.

“Jebakan betmen ada di mana-mana. Setelah menjabat pun banyak lobi yang butuh cost politik. Sekali protes, maka jaringan akan tertutup. Sementara menerima sistem itu bisa membawa risiko kapan saja terjerat,” kata kawan itu.

Orang pusat dan orang daerah sama-sama mendapatkan “dana bagi hasil.” Semua pihak-pihak yang mengurus proyek-proyek ini akan kebagian jatah pula. Logikanya, tak mungkin ada air mengalir melalui keran, tanpa membuat pipa itu basah. 

Praktik ini menjadi lingkaran yang terus direproduksi, menguntungkan banyak pihak. Yang dirugikan adalah negara yang tiba-tiba saja mengeluarkan biaya politik dari praktik percaloan ini.

Dalam banyak hal, kita pantas memaki kepala daerah itu sebab sengaja melakukan praktik korupsi dan percaloan. Tapi kita juga tak bisa memungkiri fakta bahwa seseorang yang hendak membuat sejarah baru dan prestasi di daerahnya mesti pandai-pandai memaksimalkan lobi. 

Biarpun lebih sering tak setuju dengan Fahri Hamzah, ada kalimatnya yang cukup mengena hati. Selama ini penegakan korupsi hanya menonjolkan aspek penindakan. Sementara pencegahan tak banyak tersentuh. 

Kita mengabaikan satu sistem atau mekanisme yang bisa menjaga seseorang agar tidak korupsi. Kita seolah membiarkan sistem yang serupa perangkap itu bekerja, dan tak lama kemudian kita sibuk bertepuk tangan saat seorang kepala daerah ditangkap karena korupsi. 

“Mereka yang tertangkap adalah mereka yang sial. Berarti mereka tak pandai bermain. Tak pandai menjaga harmoni semua kekuatan, entah itu pusat maupun daerah, entah itu calo kecil maupun calo besar. Semua bisa setiap saat tertangkap. Ini soal waktu,” katanya menutup pembicaraan.

Di luar sana, semburat senja tampak di ufuk Jakarta. Nun jauh di Sulawesi, mendung tengah menutup langit.



"Age of Samurai" dan Kisah Kebangkitan

 

Di abad ke-16, Jepang adalah wilayah yang terus bergejolak. Syair paling sering terdengar adalah sorak-sorai pertempuran, pekik peperangan, dan suara-suara pedang yang beradu.

Ini adalah periode paling brutal dalam sejarah, yang dikenal sebagai masa Sengoku Jidai. Para penguasa feodal yang disebut daimyo saling bersaing dan bertarung untuk menjadi shogun atau penguasa militer kekaisaran.

Di tengah situasi itu, hadir tiga sosok yang memberi sapuan warna pada kanvas sejarah. Mereka adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Ketiganya punya karakter amat berbeda. Ketiganya menghadirkan sentuhan berbeda dan membentuk mozaik Jepang yang utuh.

Kisah mereka yang dijuluki the three great unifiers atau tiga sosok pemersatu ini bisa disaksikan dalam serial dokumenter Age of Samurai: Battle for Japan, yang tayang di Netflix, sejak 24 Februari 2021. Saya menyaksikan enam episode serial ini secara maraton. Kelar sekaligus.

Nobunaga digambarkan sebagai sosok yang mengawali ambisi untuk mempersatukan Jepang. Dia adalah sosok yang suka bertempur dan menaklukkan. Pedangnya berkarat karena tetesan darah dari klan atau musuh yang ditaklukkannya.

Hideyoshi adalah sosok pendiam. Dia tidak setangguh Nobunaga dalam bertempur. Dia tidak menguasai bela diri. Mantan anak buah Nobunaga ini hanya manusia biasa yang lahir dari keluarga petani. Namun dia punya kecerdikan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dirinya sukses mempersatukan semua klan, lalu menjadi penguasa tertinggi.

Tokugawa Ieyasu tidak secerdas Hideyoshi. Tapi dia punya kesabaran di atas rata-rata. Saat Hideyoshi mangkat, dia menjadi penguasa tertinggi. Dia menikmati buah kerja Nobunaga dan Hideyoshi yang ingin mempersatukan semua klan di bawah panji kekaisaran.

BACA: Drama Korea, Soft Power, dan Imajinasi Masa Depan


Saya cukup menikmati alur kronologis semua sosok dalam serial ini. Serial ini cukup memikat karena menghadirkan banyak sejarawan. Mereka adalah Stephen Turnbull, David Spafford, Tomoko Kitagawa, dan lainnya. 

Serial ini meluruskan pemahaman saya yang sebelumnya mengira kisah Nobunaga cs hanyalah fiksi. Ternyata, kisah ini bersumber dari fakta sejarah. Dalam serial Netflix, kisahnya dituturkan ulang, dengan menggunakan kronologis, sehingga kita mendapat gambaran utuh.

Satu hal yang saya kritisi, serial ini terlampau hitam putih. Fakta-fakta disajikan secara kronologis dan runtut, khas penulisan sejarah. Peristiwa disajikan secara cepat dan sekilas-sekilas. Kita kehilangan nuansa dan banyak konteks yang seharusnya membantu kita memahami karakter setiap tokoh.

Kita tiba-tiba saja diperkenalkan pada karakter Nobunaga yang dengan tegas membunuh musuh-musuhnya, setelah itu masuk ke Hideyoshi yang menggantikannya. Hideyoshi juga digambarkan sebagai sosok tegas yang mengalahkan pembunuh Nobunaga. Tapi kita tidak mendapatkan gambaran seperti apa dan dengan cara apa Hideyoshi mengalahkan lawannya.

Di titik ini, saya terkenang pada novel Taiko yang ditulis penulis Jepang, Eiji Yoshikawa. Taiko menyajikan kisah periode ini dengan nuansa yang sangat kaya. Taiko menggambarkan semua karakter, mulai dari Nobunaga lalu Hideyoshi, kemudian Tokugawa Ieyashu. Taiko menggambarkan  secara manusiawi, tidak fokus pada peristiwa saling serbu dan serang, tetapi memaparkan bagaimana situasi dan konteks politik mengapa mereka harus menghunus samurai.

sampul baru TAIKO, karya Eiji Yoshikawa


Memang, porsi cerita Taiko lebih fokus pada sosok Hideyoshi. Kisahnya memang inspiratif. Si kurus berwajah monyet ini lahir sebagai anak petani, kemudian menjadi pembantu Nobunaga sebagai pembawa sandal, kemudian menangani dapur, kayu bakar, sampai akhirnya menjadi samurai di barisan Nobunaga. 

Namun dia memang dikaruniai kemampuan berdiplomasi, berargumentasi, dan retorika yang bisa mengubah pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu.

Dia seorang samurai yang tak berpedang (swordless samurai). Biarpun tak pandai bertarung, dia tahu dan berhasil bagaimana meneruskan cita-cita Nobunaga sehingga dirinya sukses mempersatukan Jepang.  Sayangnya, Hideyoshi tak bisa bertahan lama. Dia pun tewas setelah ambisinya untuk menguasai Korea dan Cina menemui banyak aral. Tokugawa Ieyashu lalu menjadi penerus dan membangun dinasti penguasa dan bertahan selama 300 tahun. 

Takdir ketiga sosok ini bisa dilihat pada kalimat yang sangat populer: “Penyatuan kembali seperti membuat nasi. Nobunaga menumbuk padi. Hideyoshi menanak nasi. Pada akhirnya, Ieyasu memakannya 300 tahun.”

Serial di Netflix ini juga gagal memotret utuh karakter orang Jepang. Yang dipaparkan hanya sisi kekerasan dan strategi untuk mengalahkan lawan. Saya yakin penonton akan kehilangan satu sisi penting dari orang Jepang yakni sisi kelembutan, spiritual, juga seni. Serial ini terlalu sejarah, kurang antropologi.

Saya ingat kajian Ruth Benedict yang berjudul “The Chrysanthemum and The Sword” yang diterjemahkan menjadi Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Kajiannya pertama kali terbit tahun 1948 dan menjadi literatur klasik dalam antropologi, khususnya yang membahas pola-pola kebudayaan. Kajian ini menjadi pintu bagi bangsa lain untuk mengenal sisi terdalam bangsa Jepang.

Kata Ruth Benedict, pedang adalah simbol kalau orang Jepang selalu memberikan penghormatan terbaik pada mereka yang gugur dalam peperangan. Pedang adalah simbol dari keberanian. Sedangkan bunga seruni adalah simbol dari kasih sayang dan keindahan. 

Melalui penuturan Ruth Benedict, kita bisa melihat karakter lelaki Jepang yang membawa pedang, tetapi juga bunga seruni atau bunga krisan. Saya ingat karakter Katsumoto dalam film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise dan Ken Watanabe. Katsumoto adalah pemimpin klan samurai yang susah menyelesaikan bait terakhir puisinya jelang pertempuran. Bahkan ketika dirinya sekarat karena ditembus peluru dan pedang, dia masih sempat-sempatnya menuntaskan puisinya.

Dua sisi yakni pedang dan bunga telah menjadi karakter bangsa Jepang yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka pendekar berpedang, tetapi sekaligus menjadi pencinta puisi. Semangat bushido dan samurai digunakan untuk mempersatukan dan meraih kejayaan. Sebagaimana dicatat Jared Diamond dalam Upheaval, di era Meiji, Jepang sukses melakukan transformasi dengan membuat ekonominya lebih terbuka. 

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital


Kejayaan samurai berakhir, namun spiritnya terus diwariskan. Di tahun 1905, semangat itu menjelma menjadi kekuatan bagi tentara Jepang untuk mengalahkan Rusia yang lalu membangkitkan spirit bangsa Asia. Semangat itu pula yang membuat pasukan Jepang berani menjemput maut saat perang dunia kedua. Setelah kalah perang, semangat itu hadir dalam hasrat kuat bangsa Jepang untuk membangun kekuatan ekonomi hingga perlahan menguasai dunia.

Hari ini, kita melihat semangat itu dalam kedigdayaan ekonomi serta soft power yang menjadikan negeri itu punya pengaruh kuat di peta dagang dan teknologi. Kita melihat semangat samurai itu hadir dalam banyak lini kehidupan sehingga mereka tetap menjadi bangsa tangguh. Mereka menyerap semua nilai barat, tetapi tidak pernah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Jepang.

Semuanya adalah legacy atau warisan dari para samurai. 


Anak Ruhani KANG JALAL

Kang Jalal

Di masa awal belajar menulis, saya berpikir bahwa semakin canggih pilihan kata, maka semakin hebatlah seseorang. Makin banyak istilah asing, makin cerdaslah seseorang. Semakin pusing membaca satu tulisan, semakin tinggi jelajah intelektual penulisnya.

Dulu, saya begitu terpesona melihat penulis memajang gelar doktor dan profesor di tulisannya. Padahal, sering kali, saya tak paham dia sedang membahas apa. Mungkin pikiran saya pendek. Tapi, kata Rocky Gerung, sering kali gelar bisa lebih panjang dari pikiran seseorang. Entah. 

Hingga suatu hari, saya membaca buku Islam Aktual yang ditulis Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal. Saya terkesima dengan bahasa yang sederhana, namun dalam. Kalimatnya pendek-pendek. Dia menggunakan gaya bercerita, serupa kakek mendongeng di hadapan cucu yang terkantuk-kantuk. 

Seeingat saya, di buku Islam Aktual, ada beberapa cerita yang melekat di benak saya hingga kini. Di antaranya cerita tentang prajurit Amerika yang bunuh diri saat berada di kancah Perang Teluk. Dia bunuh diri bukan saat berperang, tetapi saat sedang istirahat. 

Rupanya, prajurit itu menonton tayangan di televisi mengenai Presiden Amerika George Bush yang sedang bermain golf. Prajurit itu merasakan ketidakadilan. Dia dan rekannya sedang menyabung nyawa demi nasionalisme negerinya di tanah yang jauh, sementara presidennya malah bermain golf.

Di mata saya, Kang Jalal adalah penulis yang selalu memikat. Dia tak pernah berniat memusingkan pembacanya. Dia sabar memilih kata yang dipahami semua orang. Dia tahu kalau semua orang tidak berada di garis perjalanan pengetahuan yang sama. Tugas seorang penulis adalah menjernihkan sesuatu dan mencerahkan.

Dia sering mengutip pakar atau filosof, tapi entah kenapa, kutipan itu terasa ringan dan mudah dipahami. Saya masih terkenang renyahnya tulisannya tentang Nietzsche, Heidegger, dan Kierkegard. Dia menggambarkan pemikiran mereka dengan bahasa sederhana, yakni serupa manusia terlempar di padang pasir, lalu bingung hendak ke mana.

Tahun 2000-an, Kang Jalal sering berkunjung ke Makassar. Saya merasakan nikmatnya mengikuti ceramahnya di kampus, ataupun di berbagai forum diskusi. Dia menjawab pertanyaan mahasiswa juga dengan bahasa yang sederhana.

Saya ingat, teman Gego, pernah bertanya di satu acara diskusi. “Saya gampang lupa sesuatu. Bagaimana cara menguatkan daya ingat?” Tadinya saya pikir Kang Jalal akan menjawab dengan kutipan nama-nama pemikir. Eh, dia mencontohkan dirinya yang juga pelupa semasa sekolah

“Biar saya tidak lupa, saya bikin gambar-gambar. Misalnya saat belajar definisi berita, ada kata novelty atau kebaruan. Saya gambar mobil baru yang kinclong, terus saya tulis novelty. Dengan cara begitu saya tidak akan pernah lupa,” katanya. 

Sayang, dalam pertemuan itu, saya lupa bertanya bagaimana menulis yang baik. Untunglah, saya membaca catatan Yudi Latif, cendekiawan yang satu almamater dengan Kang Jalal di Unpad. Yudi Latif mengakui kalau dia meniru gaya menulis Kang Jalal. Bersetuju dengan Kang Jalal, tulisan yang baik adalah tulisan yang sederhana, yang dipahami semua orang, yang tidak menyiksa pembacanya.

Kata Kang Jalal, jika seorang penulis membuat catatan yang rumit dan penuh istilah teknis, berarti penulis itu sendiri tidak paham apa yang ditulisnya. “Dia berlindung di balik istilah-istilah asing untuk menyembunyikan ketidaktahuannya.’

Saya merenungi kalimat dari Kang Jalal. Di mata saya, dia tipe penulis yang humble. Dia menjelaskan sesuatu sesederhana mungkin dan sejelas-jelasnya. Dia tidak bermaksud meninggikan diri. Dia tidak pernah bercerita yang hebat-hebat tentang dirinya. Tulisan adalah cara terbaik untuk membangun jembatan hati, mengalirkan makna, serta menjadi kecipak inspirasi yang terngiang di benak pembacanya.

Tulisannya adalah pancaran dari pengetahuannya, serta ikhtiar sederhana untuk berbagi. Dengan menulis, dia membangun jejaring makna dengan banyak orang. Dia bisa menginspirasi dan menggerakkan orang lain, serta menyebarkan pengetahuan dan kearifan ke segala sisi, dalam kecepatan yang tak bisa kita bayangkan.

Saya merasa beruntung sebab masih merasakan masa-masa tahun 1990-an dan 2000-an yang begitu haru biru wacana intelektualitas. 

Di masa itu, ada banyak penulis hebat dengan artikulasi yang sederhana. Itulah masa emas di mana banyak intelektual dan cendekiawan meramaikan media cetak. Mereka tidak berada di menara gading, tetapi meramaikan media massa, memenuhi rak toko buku dengan bacaan bermutu, hingga tampil di banyak forum diskusi.

Mereka tidak terjebak dalam tengkar yang tidak mutu mengenai dukung mendukung atau cebong kampret, namun mereka mencerahkan masyarakat dengan gagasan-gagasan. Selain Kang Jalal, ada juga Cak Nur, Gus Dur, Sobary, Emha Ainun Najib, dan banyak lagi. Tidak keliru jika mereka disebut sebagai Zaman Baru Islam Indonesia. 

Kini, di era televisi dan internet, kita melihat para intelektual jaman now berbagi ide di Podcast, bikin kanal Youtube, juga bikin postingan dengan nama yang diberi embel-embel gelar agar tampak keren. Mereka marah-marah kalau penontonnya sedikit, seolah itu cerminan dari masyarakat yang makin bodoh. Padahal, jujur saja, konten yang dibuat Rafi Ahmad jauh lebih menarik.

Atas alasan ini, kita akan sering mengenang Kang Jalal, cendekiawan rendah hati yang berbicara dengan bahasa sederhana dan menyentuh hati.  Sore ini, sehari setelah kepergiannya, seusai membaca banyak catatan tentangnya, saya merasa dia tak pernah benar-benar pergi. Anak ruhaninya sudah merasuk ke mana-mana. 

Catatannya akan terus abadi dan menjadi prasasti tentang dirinya. Dia mengingatkan pada Will Durant: “Scripta manent, verba volant.” Kata tertulis abadi, kata terucap lenyap.

Dia akan selalu abadi.



MARIA OZAWA, Pemersatu Bangsa Kita

Daisuki dan Maria Ozawa


Belum cukup sehari semalam, konten dari Youtuber dan komedian asal Jepang, Daisuki Botak, mengenai wawancara dengan Maria Ozawa mengenai Indonesia, sontak ditonton lebih 2,7 juta orang. Dua pekan silam, wawancara dengan Shigeo Takuda, alias kakek Sugiono, juga viral dan ditonton 7 juta orang.

Inilah potret bangsa kita. Di layar kaca, banyak orang sibuk berdebat tentang keputusan menteri yang meminta agar sekolah negeri tidak memaksakan jilbab. Banyak orang rela mati demi mempertahankan nilai agamanya. 

Banyak hubungan silaturahmi yang terganggu gara-gara beda pilihan politik. Orang-orang begitu mudah membangun kubu berbeda. Isu boleh berganti, tapi debat dan tengkar akan terus terjadi. Segala hal diperdebatkan, mulai dari presiden, gubernur, sampai imam besar.

Tapi lihatlah di media sosial kita. Para aktor dan aktris film bokep malah sangat populer dan diidolakan semua orang. Konten-konten tentang bintang film porno, termasuk konten Tante Ernie dan ibu-ibu seksi di Instagram, juga aksi seorang artis inisial GA malah laris manis dan tak bosan-bosan ditonton.

Dalam tayangan bersama Shiego Takuda alias kakek Sugiono, komedian Jepang yang berkarier di Indonesia, Daisuki, sengaja melakukan video call dengan banyak temannya di Indonesia. Rata-rata mengenal si kakek, yang beberapa kali disebut-sebut sebagai legend. Di konten tentang Maria Ozawa, dia tidak lagi melakukan vidio call, karena rata-rata orang akan tahu.

Seorang Youtuber menyebut konten-konten sejenis sebagai pemersatu bangsa. Itulah sebutan paling kreatif dan paling bisa menggambarkan bagaimana masyarakat kita hari ini. Pasca pilpres dan pemilihan Gubernur DKI, dunia maya kita seakan terbelah. Tiada hari tanpa gelut. Tiada hari tanpa melihat debat dan saling menang-menangan.

Berkat konten-konten agak porno, serta aktor film dewasa seperti Shigeo Takuda dan Maria Ozawa, publik bersatu dalam atmosfer yang tenteram dan damai. Berkat konten itu, kita kembali jadi anak bangsa yang cinta damai dan saling mendukung. Tak ada debat. Tak ada tengkar. Yang ada, pikiran-pikiran positif serta komentar lucu hingga porno. Betapa damainya media sosial kita.

Saya suka membaca banyak komentar yang menarik. Kadang kala, komentar lebih seru ketimbang kontennya. Di antaranya adalah: “Mari kita sampaikan rasa terima kasih kepada Maria Ozawa san. Terima kasih untuk apa? Ya, pokoknya terima kasih lah selama ini selalu menemani kami cowok menjadi dewasa. Good job Daisuke!!!”

Youtuber lain memberi komentar seru: “Kami warga indonesia sudah bosan dengan hoax atau drama politik... Kami butuh asupan podcast kaya gini,,podcast yg bener bener pemersatu bangsa..”

Guys, sepatutnya kita berterimakasih pada aktris dewasa yang lebih dikenal sebagai Miyabi ini. Dia telah membuka topeng yang selama ini kita kenakan. Sosok itu telah mengekspos dengan gamblang wajah manusia Indonesia sesungguhnya, yang setiap saat memaki dengan membawa moral, namun di saat bersamaan menikmati tayangan tersebut. 

Kita sering mengklaim sebagai negeri religius dan bermoral. Sering kita selalu berbangga dengan retorika ketimuran, jargon bahwa kita bangsa yang santun dan berkepribadian. Pejabat dan ulama kita bilang tayangan porno akan merusak bangsa. 

Namun jutaan orang yang menyaksikan penampilan Miyabi dan mengidolakannya adalah fakta yang tak bisa diabaikan. Di depan layar kita menolak, tapi diam-diam kita mencari videonya dan menonton sembari mengkhayal. Banyak orang yang memaki GA, arti yang tayangan pornonya menyebar di internet. Namun akuilah kalau semua orang diam-diam mencari video itu, menontonnya, lalu membagikannya ke mana-mana. Kita tak lebih baik dari dia yang dimaki itu.

Dalam wawancara itu, dia menyebut sisi lain bangsa kita. Setiap kali ke Indonesia, selalu ada masalah. Dia tertahan lebih sejam di bandara. Ruang geraknya dipersempit. Dia diinterogasi. Bahkan mengalami deportasi atau dipulangkan. “Saya datang karena diundang, tapi kok dipulangkan?” katanya.

Pernah, dia berhasil masuk Indonesia. Saat sejumlah orang tahu kedatangannya, dia disambut dengan demonstrasi. Dia juga terheran-heran karena fotonya sempat masuk buku pelajaran. Katanya, ada sejumlah figur yang disandingkan, ada figur baik dan ada figur tidak baik. Dia heran kenapa foto dan namanya masuk di buku itu.

Bisa jadi, negara ingin menjaga moral, juga menjaga ajaran agama. Tapi lihatlah respon orang Indonesia. Banyak orang ingin selfie dengannya. Di mana pun dia datang, orang-orang berlomba untuk berfoto dengannya.  Dia tak mengalami perlakuan yang sama saat datang ke negara-negara lain. Hanya di Indonesia, dia bisa dicaci sekaligus dipuja. 

Maria Ozawa atau Miyabi telah menelanjangi kepalsuan yang selama ini menghinggapi rakyat kita. Jutaan manusia Indonesia yang menonton filmnya adalah gambaran utuh tentang sosok kita yang sesungguhnya. Inilah potret bangsa kita. 

Bukan cuma potret dari mereka yang sedang berdoa khusyuk di satu tempat. Tapi juga mereka yang mengidolakan Maria Ozawa, mereka yang mencari teman tidur di hotel-hotel, maupun di pinggiran rel kereta api, mengumbar nafsu di dekat pemukiman tikus got.

Beruntunglah ada internet. Orang-orang bisa diam-diam menelusuri videonya, memberi komentar, dengan memakai nama alias. Saya teringat buku Everybody Lies yang ditulis Seth Stephens Davidowitz. Internet adalah kanal tempat kita menjadi jujur pada diri sendiri. Di depan orang lain, kita bisa tampil dengan wajah moralis. Tapi saat mengetik di kolom pencarian Google, kita akan menjadi diri sendiri.

BACA: Saat Membaca Everybody Lies

Makanya, kata Seth, Google melaporkan, di negeri yang semua orang mengaku moralis dan agamis, topik paling sering dicari orang-orang di situ adalah situs porno dan seks. Seseorang yang tampak alim dan pendiam, bisa jadi rajin mengetik kata perkosaan di mesin pencari Google. 

Satu lagi tentang Maria Ozawa atau Miyabi. Dia tidak baper. Dia senang karena dicintai banyak orang Indonesia. “Hanya saja, jika cinta terlalu kuat, maka bisa jadi bumerang bagi diri sendiri.”

Iya benar Miyabi. Kamu dicintai jutaan orang yang pernah melihat videomu. Bisa jadi mereka ikut berfantasi bersamamu. Kamu telah menghangatkan adrenalin banyak orang untuk tumbuh dewasa.

Terima kasih pemersatu bangsa.


EKOSISTEM DIGITAL




Lebih setengah jam Bapak itu berceramah di hadapan saya. Dia seorang kepala daerah petahana yang terpilih kembali di pilkada barusan. Dia datang mengawal timnya untuk menghadapi gugatan lawan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Saya bertemu dengannya bersama investor asal Korea. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, Bapak itu begitu bersemangat membahas upayanya membangun ekosistem digital. Dia menyebut fakta-fakta. Misalnya sudah memasang jaringan hotspot. Juga sudah buat website.

Namun pengusaha Korea yang menemani kami meminta bukti. Minimal informasi apa saja potensi yang bisa dikembangkan. Dia sejenak kelabakan. Dia menunjukkan web pemerintah daerah. Akan tetapi, tak ada informasi penting di situ. Wajahnya bersemu kemerahan.

Saya pikir semua pemerintah daerah punya problem yang sama. Mereka tidak punya etalase digital yang bagus. Jangankan digital, etalase fisik pun tak punya. Memang, banyak pemda yang punya kantor perwakilan di Jakarta. Namun aktivitasnya adalah hotel kelas melati yang kini jarang ditinggali orang daerah. Kalah bersaing dengan hotel2 budget yang bertebaran di Jakarta.

Seharusnya, semua mess dan kantor perwakilan dikelola sebagai etalase daerah. Di situ ada berbagai informasi tentang apa saja yang bisa dikembangkan, serta aktif menjalin relasi dengan berbagai stakeholder di pusat. Harusnya berfungsi sebagai Clearing House atau Information Center yang mengelola semua informasi daerah.

Saat Bapak itu terdiam, saya mengambil alih kendali pembicaraan. Saya lalu menunjukkan website daerahnya. Di situ ada fotonya dengan baju kepala daerah bersama pasangan. Ada visi-misi. Ada juga berita-berita mengenai dirinya.

Website itu didesain hanya satu arah. Padahal, di era informasi, website seharusnya menyediakan informasi bagi pihak luar yang ingin tahu segala hal tentang daerah. Di situ sebaiknya ada informasi komoditas, potensi daerah, keunggulan wilayah, juga simulasi bagaimana menuju daerah itu.

Di situ seharusnya ada banyak infografik yang easy reading, juga kisah-kisah dan narasi tentang daerah itu. Saya ceritakan bagaimana sungai yang tampak biasa di Vietnam, namun justru tiap tahun didatangi ribuan turis hanya karena ada informasi di situ pasukan Amerika bertempur dan kalah oleh gerilyawan Vietcong.

Saya ceritakan satu desa di Thailand yang dahulunya penghasil ganja lalu menggantinya dengan bunga-bunga, kini jadi destinasi wisata terkenal.

Pengusaha Korea yang menemani kami langsung bersemangat. Dia menunjukkan bagaimana kiat-kiat pemerintah kabupaten di luar negeri yang menjadikan website sebagai satu ekosistem yang mempertemukan banyak orang, termasuk investor dan pemerintah. “Harusnya kalian bangun ekosistem digital,” katanya.

Saya menyimak semua diskusi. Saya ingat pembicaraan sepekan silam dengan pejabat di kantor BKPM tentang lebih 50 perusahaan besar di luar yang begitu bersemangat masuk pasar Indonesia.
Semuanya butuh guidance atau panduan bagaimana memulai bisnis dan investasi. Semua butuh satu pusat informasi yang dikelola dengan profesional, serta menjalin relasi dengan banyak pihak.

Regulasi memang mensyaratkan semua urusan dilakukan di pusat. Tapi bukan berarti Bapak itu harus pasif. Dia harus seoptimis beberapa teman pebisnis yang mulai menyiapkan banyak skema bisnis.
Satu pabrik pasti butuh ekosistem bisnis lain. Mulai dari penyedia bahan baku, penginapan, jasa catering, jasa hiburan, wisata, transportasi, logistik, dan banyak hal lainnya. Semua butuh mitra.

Saya menatap Bapak itu. Orang sering salah kaprah saat diajak berbicara mengenai Digital Marketing dan Digital Ecosystem. Dikiranya cukup mengadakan wifi dan hotspot. Padahal, ada mindset yang harus berubah, juga perlunya membangun kolaborasi, networking, sharing, juga menyiapkan satu panggung bagi ide-ide.

Saya menyarankan untuk menjadikan website pemerintah sebagai portal komunitas, menguatkan internet of things, juga mengelola jejaring dengan komunitas. Gerakkan komunitas dengan pendekatan mobilisasi dan orkestrasi. Penting pula untuk memperkenalkan digitasi, inkubasi, serta hadirkan angel investor.

Saya lihat dia makin pusing. Dia tak sabar dan langsung bertanya:

“Kapan saya bisa undang kamu ke daerah? Kita bahas ide ini dengan banyak orang” tanyanya.
“Maaf Pak. Saya bukan orang yang tepat. Saya hanya seorang pelatih kucing.”
“Hah?”


Andai AHY Kader HMI


Jika saja di Partai Demokrat masih ada sosok Anas Urbaningrum, pastilah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan mendapat mentoring tentang organisasi, juga materi strategi dan taktik (stratak). Bahwa di satu organisasi, kudeta-mengkudeta itu hal biasa. Yang terpenting adalah menyiapkan barisan serta mengenali siapa kawan seperjuangan.

Jalan panjang AHY di kursi ketua umum partai politik terlampau mulus, tanpa riak. Dia tidak merasakan pengalaman menjadi seorang kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang meniti karier dari komisariat, cabang, badko, lalu menjadi pengurus besar di pusat. 

Di tingkat partai, dia tidak pernah merasakan bagaimana membangun karier di level kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Dia tidak pernah merasakan bagaimana sikut-menyikut di level bawah, lalu meniti karier dengan perlahan hingga menuju puncak.

Dia langsung menjabat sebagai kursi ketua umum partai, yang diwariskan oleh bapaknya. Dia tinggal meniti di atas karpet merah partai, dan menyingkirkan mereka yang sejak awal berdarah-darah mendirikan partai. AHY mendapatkan kursi ketua umum dengan mulus, tanpa riak, tanpa ada yang berani bersaing dengannya untuk kursi ketua.

BACA: Mereka yang Lebih HMI dari HMI


Dia memang punya pengalaman di militer. Namun, menjadi aktivis organisasi dan kader partai politik tidaklah sama dengan meniti karier di jalur militer yang mengenal jenjang kepangkatan. Di militer, tangganya jelas. Anda tak mungkin melompat dari kopral langsung menjadi jenderal. Demikian pula seorang Mayor, tidak bisa langsung turun pangkat jadi Sersan Mayor. Itu hanya ada di film Naga Bonar.

Di organisasi dan partai politik, seseorang bisa saja melejit dalam waktu singkat, dan bisa pula terpental dalam waktu cepat. Prinsipnya adalah bagaimana membangun karier setapak demi setapak, setelah itu membangun koalisi dengan orang lain. Anda tak lantas besar begitu saja, tetapi ada proses membangun kekuatan, memperluas pengaruh, serta merebut kepercayaan publik.

Dalam konteks ini, partai politik adalah arena untuk merangkum berbagai kekuatan. Para pengurus partai politik bukanlah mereka yang paling pintar, melainkan mereka yang paling bisa membangun konsolidasi, serta membangun aliansi dengan banyak pihak, sehingga menjadi barisan yang akan memenangkan pemilihan umum.

Andai saja AHY kenyang asam garam organisasi, dia akan tenang-tenang saja saat mendapatkan fakta tentang sejumlah mantan kader partainya membangun aliansi dengan seorang pejabat di pemerintahan. Dia tidak perlu menyatakan ada kudeta, seolah ada sesuatu yang genting sedang terjadi.

Yang terjadi hanyalah dinamika internal. Lagian, yang berkumpul adalah para mantan kader yang jelas-jelas tidak punya akses untuk masuk arena musyawarah partai. Di arena Kongres HMI, mereka yang ribut dan kasak-kusuk adalah para rombongan liar (romli), bukan pemilik suara. Harusnya dia abaikan saja dan fokus pada pendukungnya.

Dia harusnya bersyukur dengan aliansi itu, sebab dia bisa melihat sejauh mana loyalitas orang-orang di barisannya. Dia tak perlu meniru strategi bapaknya dahulu yang membangun citra terzalimi oleh pemerintah. Strategi terzalimi itu hanya cocok untuk bapaknya. Di era kekinian, penerapan strategi itu hanya berujung pada bully di media sosial.

Kalau perlu, siapkan karpet untuk siapa pun yang bermimpi untuk menjadi ketua umum. Mengapa? Sebab dinamika adalah kekuatan satu organisasi. Mereka yang menjadi ketua akan meyakinkan pihak lain, mengumpulkan kekuatan, lalu berkompetisi secara sehat di ajang musyawarah partai. 

Biarkan saja pesaingnya itu menawarkan uang besar kepada pengurus partai di daerah. AHY bisa memantau siapa yang loyal padanya dan siapa yang tergiur oleh materi. Dia jadi tahu siapa kawan dan siapa lawan, siapa yang dipertahankan dan siapa yang perlu disingkirkan, juga siapa yang akan membesarkan partai dan siapa yang hanya akan jadi benalu.

Kekuasaan memang rakus. Penguasa bisa punya seribu cara untuk membungkam dan menyingkirkan. Tak perlu panik. Selagi AHY mengenali semua pengurus partai, memastikan dukungan dewan pembina partai yang notabene adalah bapaknya sendiri, juga semua pengurus daerah, dia bisa senyum-senyum memantau gerak lawannya. Malah, dia bisa menyusun banyak skenario, dan menjalankan berbagai variasi strategi yang tetap akan menguatkan dirinya.

Sering kali, politik memang butuh drama. Publik bisa disentuh nuraninya dengan drama hingga menjadi barisan pengikut setia. Namun percayalah, efek drama selalu hanya sesaat. Partai yang dipimpinnya itu pernah dipercayai hingga 20 persen pemilih, setelah itu turun jadi 10 persen, terakhir tersisa 7 persen.

Jika hendak menaikkan elektabilitas partai, AHY harus berani melakukan “bunuh diri” kelas. Dia harus turun ke lapis bawah, bukan sekadar membuka acara dan senyam-senyum ganteng agar diidolakan milenial. Tak perlu pamer wajah klimis ala Hyun Bin dalam drakor Crash Landing on You. Tapi harus membasis, melakukan kerja-kerja kemanusiaan, membentuk relawan hingga akar rumput, menghangatkan api ideologi dan cita-cita partai untuk membentuk Indonesia yang lebih baik.

Partai politik tak perlu menawarkan nostalgia. Partai tak perlu menjual masa lalu. Partai harus menawarkan masa depan yang lebih cemerlang sepanjang ditopang oleh kuatnya gagasan di masa kini, serta menghampar langkah-langkah strategis untuk menggapainya. 

BACA: Setelah Lafran Pane, Siapa Lagi Pahlawan di HMI?


Kerja-kerja membangun basis memang tidak mudah. Akan tetapi, kerja-kerja itu punya efek jangka panjang yang dahsyat. Selagi mimpi Indonesia kuat itu tak bisa diwujudkan pemerintahan sekarang, maka gema perubahan yang dibawanya akan terus berdenyut di sanubari semua anak bangsa.

Satu hal yang perlu dipelajari dari HMI adalah adanya ikatan kuat tentang arah dan tujuan. Hampir semua yang mengaku HMI pasti tahu tujuan HMI yakni “terbinanya insan akademis ......” (biar anak HMI yang teruskan). Meskipun untuk menuju tujuan itu, ada yang malah jadi koruptor, ada pula yang jadi malaikat. 

Sayang, AHY bukan kader HMI. Malah kader HMI di partai itu telah disingkirkan satu demi satu. Mungkin demikianlah watak para penguasa partai. Di satu sisi teriak-teriak saat hendak disingkirkan oleh kekuasaan. Di sisi lain lupa, kalau selama memegang kuasa, banyak pihak juga yang disingkirkan, dan dibuang. 

Bahkan ada yang masih meringkuk di balik jeruji besi. 



EKOSISTEM

 

Bukan hanya dipakai dalam biologi, bahkan di dunia bisnis, istilah ekosistem sering disebut. Kita juga sering mendengar istilah Digital Ecosystem. Apakah gerangan?

Dia bernama Jadav Payeng. Di usia 16 tahun, dia melihat banyak hewan mati kepanasan di Sungai Brahmaputra di Mauli, India. Dia melihat sungai yang kering dan daratan yang tandus. Tak ada kehidupan di situ.

Dia punya ide untuk melakukan sesuatu. Ditanaminya kawasan itu secara rutin. Mulanya bambu, setelah itu tanaman lain. Perlahan pemandangannya berubah. Kawasan yang dahulu kering kerontang berubah menjadi hijau. 
 
Luasnya mencapai 550 hektar atau 785 kali luas lapangan sepakbola. Orang menyebut kawasan itu sebagai Hutan Molai, sesuai nama panggilan Jadav Payeng. Hutan luas menjadi cikal bakal dari lahirnya ekosistem di kawasan itu.
 
Jadav Payeng tidak menduga, langkah kecilnya telah menghadirkan ribuan satwa seperti harimau, ular, gajah, badak, rusa, kera, kelinci, dan ratusan burung. Inilah kekuatan ekosistem, yang serupa magnet raksasa bisa menarik jutaan flora dan fauna, membentuk roda kehidupan, dan lingkaran yang saling mendukung.
 
Pendekatan ekosistem dipakai kalangan pebisnis untuk menggambarkan saling hubung dari berbagai unsur dalam satu kawasan. Ekosistem ibarat rumah yang membuat banyak organisme hidup bersama dan saling menopang.
 
Namun adakah cara untuk mengumpulkan hewan tanpa membangun ekosistem? Ada. Yakni dengan membuat kebun binatang. Para hewan dikumpulkan di satu area, kemudian makannya setiap hari disiapkan.
 
Risikonya, saat situasi sulit, hewan tidak mendapat makanan yang sesuai porsinya. Kita pernah membaca publikasi mengenai hewan-hewan yang kurus karena tidak mendapat asupan makanan yang sesuai. Di satu kebun binatang, jatah makan harimau 7 kilogram, dikorupsi pengelola jadi 5 kilogram. Walhasil, harimaunya kurus dan cacingan.
 
Para penggiat teori pembangunan menyamakan upaya pemberian makanan ini dengan subsidi. Untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah sering menempuh jalan pintas yakni memberikan subsidi yakng serupa suapan nasi kepada masyarakat miskin.
 
Dalam buku The Prosperity Paradox (2019) yang ditulis Clayton Christensen, menyebut strategi ini sebagai push strategy. Pemerintah memiliki kebijakan fiskal yakni subsidi atau kebijakan moneter melalui kredit murah.
 
Christensen memberi contoh mengenai kota San Francisco. Demi mengatasi kemiskinan, wali kota menggelontorkan dana besar untuk subsidi bagi tuna wisma. Tapi kemiskinan bukannya turun, malah bertambah. Banyak warga yang mencibir dan mengatakan program itu tidak adil. Sebab orang malas dan pengangguran diberi subsidi, sementara orang bekerja dipajaki.
 
Nah, belajar pada Jadav Payeng, yang seharusnya dibangun adalah ekosistem. Bangun hutan. Nanti, berbagai hewan akan berdatangan dan tinggal di situ. Mereka saling menopang sehingga terbentuk lingkaran kehidupan atau the circle of life. Ekosistem akan memberikan kehidupan bagi semua hewan secara adil, tanpa manusia harus memikirkan apa makanan hewan itu.
 
Kata Christensen, strategi Jadav Payeng adalah pull strategy yakni melakukan inovasi sehingga menarik pihak-pihak lain untuk memberikan kontribusi. Christensen mengurai banyak contoh. Di antaranya adalah Tolaram, perusahaan yang memasarkan indomie di Afrika dan menjadi market leader.
 
Awalnya Tolaran susah memasarkan produk mie asal Indonesia itu di pasar Afrika. Dia membangun ekosistem berupa gudang, jaringan listrik, truk-truk etalase, jejaring dengan pengusaha kecil hingga ribuan pengemudi. Kini, Indomie bisa ditemukan di banyak sudut Afrika.
 
Bagaimanakah pull strategy diterapkan di pemerintahan? Saya menyarankan Anda untuk membaca buku Road to Prosperity yang ditulis Prof Rheland Kasali. Buku ini adalah bagian dari MO Series atau Mobilisasi dan Orkestrasi, dua pendekatan yang banyak dipakai di ranah digital.
 
Seperti apakah? Biar saya selesaikan bacaan dulu. Saya baru sampai di halaman 70. Maafkan.


Saat INDIA Tersenyum, INDONESIA Tetap Menangis

Presiden Jokowi dan PM India Narendra Modi sedang bermain layangan bersama


Dilihat dari segala sisi, India adalah negeri yang sama dengan kita. Populasi India malah lebih 1 miliar. Penduduknya banyak kelas menengah ke bawah dan mengais nasib di jalan-jalan. Kemiskinan warganya telah lama digambarkan dalam berbagai film Hollywood dan Bollywood.

Saat pandemi menghantam, pemerintah Indonesia selalu menjadikan India sebagai rujukan. “Lihat India yang lockdown kini ekonominya morat-marit. Lihat India yang sama dengan kita, kini nomor urut dua di daftar negara terparah,” kata seorang pejabat.

Namun, kita luput melihat proses yang sedang bergerak. India tampak sakit dan kepayahan, lalu perlahan mencoba bangkit. Data terbaru menunjukkan, India sukses melandaikan kurva, malah jumlah kasus aktif lebih rendah dari Indonesia. India sukses mengontrol pandemi. 

Kita dapat mahkota sebagai kasus aktif Covid terbanyak di Asia. Jika melihat kerja keras negara-negara lain dan betapa lambannya kita, tak lama lagi kita akan menggantikan posisi India sebagai negara kedua terparah di dunia.

Lantas, apa yang hendak kita katakan?

Marilah sejenak kita berkaca pada India. Negeri itu memang fenomenal. Sejak awal tidak pernah menyembunyikan berapa jumlah warga yang terpapar. Jumlah yang terpapar terus bertambah hingga menggunung.

Sastrawan Arundhati Roy menulis esai mengenai lockdown menjadi kiamat bagi warga miskin India yang terpaksa harus berjalan kaki hingga ratusan kilometer demi kembali ke kampung halamannya. Virus ini telah mengubah makna normalitas menjadi sesuatu yang tidak normal.

Perbandingan India dan Indonesia (sumber: pandemictalks)


Namun pemerintah India tetap fokus pada rencana-rencana. Strateginya tidak canggih-canggih amat. Strateginya hanya mengikuti protokol penyelesaian pandemi yang standar yakni 3t: Test, Trace, dan Treat.

Mulanya India memberlakukan lockdown. Polisi turun ke jalan-jalan dan memukuli warga yang berkeliaran. Seiring dengan munculnya protes berbagai kalangan yang menilai kebijakan itu menghancurkan ekonomi, perlahan dilonggarkan. Namun bukan berarti pemerintah dan nakes diam saja. Mereka menggelar test dan trace secara massif dan besar-besaran.

Pemerintah India melakukan 5,2 juta tes per minggu. Ini jumlah yang cukup besar. India melakukan kombinasi tes Rapid Antigen dan tes PCR sehingga semua kasus positif segera dideteksi.  Semua warga dites Rapid Antigen. Ketika positif, dilaporkan sebagai kasus. Jika negatif, maka wajib untuk jalani tes PCR lagi untuk memastikan akurasinya. 

Prosedur ini memang melelahkan, tetapi semua rakyat India mematuhinya sebab itulah jalan untuk keluar dari belukar persoalan.

Petugas kesehatan mendatangi rumah-rumah, lalu mengetes warga. Semua yang positif langsung diisolasi. Kontaknya segera ditelusuri kemudian dites. Sebanyak 80 persen kontak erat harus ditelusuri dalam 72 jam. Ketika diketahui positif, maka langsung diisolasi.

Jumlah laboratorium ditingkatkan. Tadinya hanya 123 di bulan Juni, berubah menjadi 2.360 di bulan Desember. India mengajak semua swasta untuk terlibat menanggulangi pandemi. Ekonomi terpuruk akan menjadi ancaman bagi semua pihak, baik itu pemerintah maupun swasta.

Kerja keras itu kini berbuah. India memanen apa-apa yang sudah ditanam sejak masa terpuruk, sejak dunia mencatat mereka sebagai negeri terparah setelah Amerika Serikat. 

Memang, kasus aktif di India sempat menembus 1 juta orang pada pertengahan September 2020. Namun, perlahan kurvanya mulai menunjukkan penurunan dan terus menurun pada akhir Januari. Bahkan, India kini mencatatkan kasus aktif terendah sejak Juni 2020.

Dikutip dari Worldmeters, total kasus positif Covid di India adalah 10,7 juta orang. Namun kasus aktifnya kini hanya berjumlah 170.203 orang. 

Bandingkan dengan Indonesia, yang total kasusnya adalah 1 juta, dan kasus aktifnya sebanyak 175.095 orang. Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat sejak November 2020 hingga Januari kemarin.  Indonesia menjadi negara ke-15 dengan kasus aktif terbanyak di dunia, sedangkan India satu tingkat di bawahnya yakni ke-16.


Penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia pada Minggu kemarin juga lebih tinggi dari India. Di saat Indonesia menambah 12.001 kasus positif dalam sehari, kasus di India bertambah 11.528 orang. Kasus aktif Covid ini terjadi seiring dengan banyaknya jumlah testing yang dilakukan. India dengan populasi 1,3 miliar penduduk sudah mampu melakukan testing terhadap 196,5 juta penduduk.

Sedangkan Indonesia, dengan populasi 275 juta penduduk atau dengan penduduk sekitar seperlima lebih sedikit dari India, baru mampu melakukan total 9,2 juta testing.Sama seperti Indonesia, India telah memulai program vaksinasi pada 16 Januari 2021, yang menyasar kelompok prioritas tenaga kesehatan. Tapi, lagi-lagi India bergerak lebih cepat. India menargetkan, di bulan Juli nanti, sudah lebih 300 juta warganya yang divaksin. 

Sementara Indonesia menargetkan jumlah yang divaksin selama setahun ini bisa 180 juta orang. Melihat lambatnya proses vaksin karena banyak hoaks dan debat, sepertinya target Indonesia tidak realistis. Dalam dua pekan kurang dari 300 ribu orang yang divaksin. Jika kecepatannya seperti itu, butuh lima tahun untuk menyelesaikannya.

Baris-Baris Refleksi 

Dalam situasi pandemi begini, tidak tepat mencari salah dan benar. Namun, yang terasa bagi saya sebagai warga, pemerintah tidak benar-benar menjadi sains sebagai pijakan dalam membuat kebijakan publik.

Sejak awal, pemerintah lebih mengkhawatirkan ekonomi ketimbang kesehatan. Lihat saja, pemimpin satgas penanganan Covid adalah Airlangga Hartarto, dan wakilnya adalah Erick Tohir. Pemilihan mereka menunjukkan betapa pemerintah hanya memikirkan ekonomi, tanpa memikirkan dampak virus bagi masyarakat. Kita tidak membangun sinergi antara ahli epidemologi (untuk test dan trace), ahli medis dan biologi molekuler (untuk treat), dan ahli kebijakan publik. Kita menyerahkan semua ke politisi.

Di sisi lain, perlawanan semesta masyarakat kita seperti gaya bermain PSSI yang penuh semangat di awal, setelah itu ngos-ngosan di babak kedua. Kita tidak punya konsistensi untuk mengawal kebijakan hingga kurva perlahan diturunkan.

Banyak hal bisa diurai. Di antaranya, otonomi daerah menyebabkan rentang kendali Kementerian Kesehatan tidak sampai ke daerah-daerah sebab mesti berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, bisa dilihat lemahnya leadership di kalangan kepala daerah, malah banyak yang masih menganggap Covid hanya konspirasi global.

Pendekatan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sama-sama politis. Pemerintah menghindari lockdown dan melahirkan banyak istilah. Di sisi lain, pemerintah daerah hanya bisa menyalahkan pusat, seakan abai kalau dirinya punya kewenangan, yang tidak hanya melakukan tes masif, tapi bisa mengintervensi ke bawah sehingga kurva positif bisa melandai.

Jika situasi terus seperti ini, sepertinya India akan terus berlari ke depan dan memandang kita dengan senyuman. Mereka melaju bukan karena strategi yang hebat-hebat amat, namun konsisten menerapkan panduan yang sudah digariskan di kelas-kelas epidemologi.

Kita hanya gigit jari, sembari berharap-harap cemas semoga investor tidak malah lari, semoga ekonomi tidak terus memburuk, semoga pemerintah punya cadangan untuk menuntaskan semua janji-janji kampanye, semoga citra tetap naik agar kepala negara mendatang tidak jauh-jauh dari lingkar kekuasaan sekarang, semoga rakyat Indonesia tetap tegak menghadapi bencana.

Semoga badai segera berlalu.