Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Dilumpuhkan, Tapi Tetap Memelihara Asa


Siapkan tisu yang cukup saat membaca buku berjudul Yang Tak Kunjung Padam, karya Soe Tjen Marching ini. Isinya bukan kisah heroik dan perlawanan. Tapi kisah tentang mereka yang terbuang, mereka yang dihilangkan haknya sebagai warga negara, mereka yang tak bisa pulang.

Di akhir masa Bung Karno, ada ratusan, bahkan ribuan anak bangsa yang dikirim ke luar negeri. Pemerintah Indonesia mengirim mereka ke kampus-kampus besar di Eropa Timur. Mereka belajar keahlian yang spesifik, mulai kedokteran hingga nuklir. Juga bom atom.

Bung Karno ingin Indonesia menjadi mercusuar dunia. Dia percaya pada jalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa itu, Asia adalah benua miskin dan tertinggal. Cina hancur lebur akibat perang. Jepang diluluhlantak bom atom, Korea juga remuk karena perang saudara. 

Mereka yang dikirim ke luar negeri itu, sejatinya mengemban misi besar untuk Indonesia yang kuat dan perkasa. Apa daya, peristiwa 65 mengubah segalanya. Mereka yang dikirim itu langsung dicabut paspornya. Mereka tak bisa kembali pulang, meskipun sekadar menyentuh kaki ibunya.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022


Mereka tak paham apa itu komunis. Tapi label terlanjur dilekatkan pada mereka. Hanya karena satu pemberontakan yang dilakukan segelintir orang, semua haknya sebagai warga negara dicabut. Padahal di negeri ini, pemberontakan juga dilakukan penganut ideologi lain. Malah berkali-kali, dan di berbagai daerah. Tapi tak ada pembantaian, sebagaimana dialami mereka yang dituduh komunis.

Buku ini membuka lapis-lapis makna tentang mereka yang terbuang di negara lain. Mereka sering disebut eksil, meskipun definisi ini bisa diperdebatkan. Mereka yang terbuang itu adalah anak-anak bangsa terbaik.

Harusnya mereka kembali dan memperkuat sendi-sendi bangsa ini, khususnya di arena teknologi. Sebab Indonesia hanya akan menjadi bangsa besar jika memperkuat kemandirian, mengasah intelegensia, dan menyatukan semua potensi anak bangsa.

Buku ini memotret sisi human interest dari mereka yang terbuang. Ada yang berhasil kembali, setelah sekian puluh tahun, namun Tanah Air tidak seramah yang mereka bayangkan. Banyak yang menerima stigma, dan kemudian memutuskan kembali ke Eropa.

Apa mereka hidup nyaman dan kaya raya di sana? Ternyata tidak juga. Hidup mereka serupa roller coaster, ada pasang surut. Mereka justru didera ingatan kuat tentang tanah air tercinta. Mereka menjalani hari, di saat jiwa mereka ingin melalangbuana ke kampung halaman.

Buku ini hanya memotret sisi human interest. Tak berpretensi untuk menjelaskan bahwa semua peristiwa itu dimulai dari perang dingin, saat persaingan antara Paman Sam dan Beruang Merah mencapai puncaknya. 

Paman Sam mendikte kebijakan negara berkembang, termasuk Indonesia. Maka dibantailah banyak orang yang condong ke ideologi dari Negeri Beruang Merah. Maka diserbulah negeri Timor Leste. Maka dibumihanguskanlah mereka yang kritis. Maka koyaklah persaudaraan dan semangat persaudaraan sebagai anak bangsa.

Kini, kita melihat tatanan dunia sedang bergeser. Paman Sam sedang limbung. Negara2 berkembang perlahan meninggalkan dollar. Cina tumbuh jadi negeri dengan ekonomi paling pesat. Rusia tumbuh sebagai negeri dengan persenjataan militer terkuat. Bersama, mereka menjalin ikatan, lalu perlahan membuat Eropa dan Barat bangkrut. 

Sepertinya kita tinggal menghitung hari atas perang dunia ketiga. Semua negara perlahan memperkuat militer, juga bertanding dalam hal teknologi, demi mengantisipasi scenario terburuk. 

Kita masih berpijak di titian yang sama, tanpa banyak bergeser. Kita pernah kehilangan satu lapis intelektual yang seharusnya membawa bangsa kita menjadi unggul. Kita pernah membantai sesame anak bangsa hingga jutaan orang, padahal jika semua potensi mereka dipakai untuk bangsa, kita telah lama melalangbuana di jajaran bangsa maju. 

Kita masih tersandera oleh masa silam. Jerman yang dahulu membantai kaum Yahudi telah lama mengakui kekejaman masa silam, meminta maaf pada apa yang terjadi, lalu mengembalikan semua hak-hak mereka. Bahkan di pelajaran sejarah, kekerasan itu diakui, dengan harapan generasi baru tidak mengulanginya.

Buku ini membuat saya beberapa kali menghela napas. Betapa kita sebagai bangsa yang merasa beradab, religious, dan Pancasilais, bisa melakukan kekerasan kepada anak bangsa sendiri.

Namun buku ini menawarkan banyak matahari terang. Mereka yang disakiti itu tak menyimpan dendam pada bangsanya. Mereka yang tersingkir itu justru punya keinginan kuat untuk melihat Indonesia tumbuh kuat dan berjaya. 

Mereka ingin melihat bangsa yang hebat, yang belajar dari setiap patahan sejarah, agar generasi baru tidak mengulangi kesalahan pendahulunya. Mereka menitip asa dan harapan untuk Indonesia yang “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”