Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pijar-Pijar Refleksi di Hari Ultah

HARI ini, 31 Mei, saya merayakan ulang tahun. Biasanya, saya selalu merahasiakan hari penting ini. Saya tak punya tradisi untuk merayakannya. Bagi saya, hari ini sama saja dengan hari-hari lainnya. Malah, saya nyaris melupakan hari ini. Namun, berbagai ucapan selamat dari para sahabat di fesbuk telah menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan hari ini.

Akhirnya, saya menemukan sisi baik dari teknologi. Selama ini saya selalu dijejali dengan teori kritis dari ilmu sosial aliran Frankfurt yang dalam setiap tulisannya selalu mencaci maki dampak perkembangan teknologi bagi kemanusiaan. Kata mereka, teknologi telah membuat kita menjadi tidak manusiawi, menjadi terasing dari sesama. Teknologi telah membuat kita teralienasi.

Hari ini saya belajar banyak. Ternyata teknologi telah menautkan saya dengan banyak pihak. Teknologi telah menghangatkan kembali hubungan-hubungan sosial yang telah saya rajut dengan banyak pihak. Teknologi memperkencang buhul hubungan social sekaligus mengikatnya menjadi kukuh. Baik melalui internet maupun telepon selular, semua orang memberi ucapan selamat. Saya terharu dengan semuanya. Saya bahagia dengan semuanya. Saya bisa merasakan ungkapan bahagia serta rasa syukur yang terucap semoga hari ini bisa jadi momentum refleksi.


Yup.. benar sekali. Mestinya hari ini menjadi momentum refleksi atau memutar mundur ingatan pada langkah-langkah kecil yang pernah saya jejaki di atas pasir kehidupan. Saya sudah melangkah jauh. Saya sudah bertemu dengan ribuan manusia di berbagai tempat. Saya berinteraksi, belajar, dan berusaha untuk saling memaknai dengan sesama. Pada beberapa titik persinggungan itu, saya bisa belajar banyak, menemukan hal yang lucu-lucu, atau mungkin tanpa sadar telah menyakiti yang lain.

Namun, sebagaimana kata biksu Ajahn Brahm, semua yang kita alami adalah unsur-unsur yang menunjukkan sisi manusiawi kita. Kita toh hanya seorang manusia yang secara alamiah bisa mengalami kesalahan. Boleh jadi kita sering salah. Namun, tenggelam dalam rasa bersalah itu bukanlah sesuatu yang benar. Pada satu titik, kita mesti menghargai, mengapresiasi, dan mencintai diri kita sendiri. Kita harus berdamai dnegan semua kesalahan itu kemudian memasangi kekang agar kitalah yang mengendalikan semua kesalahan itu.

Dengan cara demikian, kita bisa lebih seimbang dalam menyaksikan sisi-sisi manusiawi pada diri. Kita belajar dari masa silam dan membersihkan debu-debu yang menghalangi pandangan kita untuk memandang masa depan. Kita melihat masa lalu sebagai kompas untuk menjalani masa kini dan masa depan. Hanya dengan cara inilah kita bisa menemukan bahagia dan kebebebasan dalam setiap jengkal langkah-langkah kecil kita di belantara kehidupan.


Pada momentum ulang tahun ini, saya sedang belajar untuk menjadi diri saya. Saya merasa amat beruntung karena masih bisa belajar dan berefleksi dengan apa-apa yang sudah saya jalani. Belakangan ini, saya banyak bertemu dengan manusia yang selalu merasa dirinya benar. Saya banyak bertemu dengan manusia yang pongah dengan jubah kebenaran dan tiba-tiba saja hendak menjadi algojo bagi sesamanya. Saya banyak bertemu dengan mereka yang merasa dirinya seputih malaikat, kemudian hendak menghakimi yang lain. Mereka-mereka yang buta hati dan alpa melakukan refleksi kalau-kalau langkahnya keliru. Saya bersyukur karena tidak terlahir sebagai mereka yang buta hati dan buta situasi. Saya bahagia tidak menjadi bagian dari mereka yang angkuh dan selalu merasa dirinya benar.

Pada momentum ulang tahun ini, saya bersyukur karena Tuhan masih menunjukkan titik-titik terang untuk melihat cahaya di kejauhan sana. Saya bersyukur karena dilingkupi semua orang yang menyayangi dan menerima saya dengan segala kelebihan dan kekurangan. Saya bersyukur karena tak pernah kekurangan mata air kasih sayang dan samudera cinta dari banyak pihak. Saya memang belum mencapai hal-hal luar biasa dalam hal materi. Saya masih seorang Yusran Darmawan yang serba berkekurangan. Namun cinta dan kasih sayang yang saya terima adalah mutiara-mutiara tak ternilai yang menjadikan saya sebagai manusia kaya-raya yang berkelimpahan. Saya adalah manusia penuh harta. Penuh kasih sayang. Penuh cinta.(*)

”Tulislah. Tulis. Satu saat pasti bermanfaat,”

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” 

PRAMOEDYA ANANTA TOER

Mandi di Pantai Nirwana


KEMARIN, Minggu (30/5), saya melepas kepenatan dengan mandi di Pantai Nirwana, Bau-bau. Suasananya seperti pasar. Saya menghitung, mungkin lebih seribu warga Kota Bau-bau yang menghabiskan waktu di pantai ini. Dari sisi fasilitas, tak ada yang istimewa di pantai ini. Namun dari sisi keindahan, pantai ini adalah anugerah berupa pasir putih, laut biru, serta ombak yang kencang. Semuanya adalah sisi-sisi yang paling menarik dari pantai ini.

Bersama teman La Lulu, kami berenang bagaikan anak kecil. La Lulu beberapa kali menyeret saya untuk berenang pada tempat di mana banyak cewek-cewek terlihat. Dengan kelihaiannya, ia menyelam dan merapat di sekitar cewek-cewek yang mandi. Saya hanya tertawa-tawa menyaksikan tingkah sahabat yang tengah puber ini. Saya gak bisa bayangkan, apa yang terjadi jika La Lulu mandi di Pantai Kuta, Bali. Pasti ia akan terperangah dan serasa berada di surga. Pasti ia tak mau beranjak dari pantai. Hahaha….

Seks Jawa Vs Seks Bugis (2)

SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.

Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari –yang justru tidak begitu cantik—melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh…. Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.

Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan, membuat saya kehilangan kata-kata. Ketika gadis itu menyapa dengan pelan, kaki saya gemetaran. Saya takluk pada semua pesona yang dipancarkannya.

Saya memahami bahwa kebudayaan adalah medan pertarungan makna. Dalam hal Jawa, kebudayaan terletak pada tindakan-tindakan bermakna yang lahir dari proses sejarah serta ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan Jawa dicirikan oleh identitas manusia-manusia Jawa yang lahir melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Identitas kejawaan adalah sesuatu yang dipilih manusia Jawa kemudian dipahami dalam relasinya dengan manusia lain dalam satu semesta.


Pada hari ketika saya bersua perempuan Jawa itu, saya tiba-tiba mengamini pendapat sastrawan Seno Gumira Adjidarma bahwa identitas seksi perempuan Jawa tidak terletak pada tubuh yang bersih serta pinggul yang aduhai. Keseksian perempuan Jawa justru terletak pada tutur kata yang lembut, mata yang melirik penuh makna, serta gerak-gerik yang menunjukkan prilaku yang priyayi dan terpelajar. Inilah yang disebut kebudayaan.

Namun, sebagai seorang luar Jawa, saya kadang bertanya-tanya. Jika seorang perempuan yang dibesarkan dalam kultur Jawa bertutur dengan demikian lembut dan terjaga, bagaimanakah sikap mereka ketika membahas seksualitas? Apakah mereka akan bersikap malu dan membicarakannya dengan kalimat yang juga terjaga?

Kitab Seks Jawa

Hingga beberapa waktu, saya banyak menanyakan pertanyaan di atas. Namun setelah membaca beberapa bagian dari naskah Serat Centhini, saya harus menyusun ulang semua konsep yang saya bangun tentang Jawa. Saya terkagum-kagum dengan Serat Centhini. Ini adalah kitab seks yang luar biasa dan menunjukkan sejauh mana pengetahuan dan pendalaman tentang seks. Membaca kitab ini, saya jadi mengagumi karya emas bangsa sendiri pada masa silam. Selama ini kita selalu mendewa-dewakan kitab seks dari luar. Padahal di negeri kita sendiri justru terdapat sebuah kitab seks yang tidak saja berisi petunjuk tentang tipe perempuan, pesona seorang perempuan, posisi-posisi hubungan seks, hingga rahasia-rahasia dan misteri hubungan seksual.

Serat Centhini adalah kitab seks yang setara dengan Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM-17 M) atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India. Serat Centhini yang nama rresminya Suluk Tembangraras digubah pada abad ke-19, tepatnya tahun 1815 oleh tiga pujangga Istana Keraton Surakarta. Serat ini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) yang membahas masalah seks dan seksualitas. Sedemikian masyhurnya kitab seks ini sehingga seorang warga Perancis, Elizabeth D Inandiak, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis.

Lantas, apakah Serat Centhini juga mengiyakan pandangan tentang perempuan Jawa yang pemalu dan tabu membahas seksualitas? Ternyata, kitab ini justru amat blak-blakan ketika membahas seks. Seorang perempuan Jawa justru tidak selamanya pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotype terhadap Jawa yang tumbuh di luar. Mereka justru memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal, mereka selalu digambarkan pasrah kepada seorang lelaki.

Hal ini tampak dalam Centhini V (Dandanggula). Dalam serat ini diceritakan tentang dialog di ruang belakang rumah pengantin perempuan pada malam menjelang pernikahan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras. Para perempuan muda sedang duduk sambil mengobrol. Ada yang membicarakan pengalaman dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah seksual lainnya, lalu tertawa cekikikan. Salah satu percakapan itu adalah: “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya. Benar dugaanku Ni Daya. Dia memang sangat kesulitan. Napasnya tersengal. Saya batuk saja. Eh, lepas. Mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa karena meski besar seakan mati…”

Kitab Seks Bugis

TAK hanya kebudayaan jawa yang melahirkan kitab seksual yakni Serat Centhini. Orang-orang Bugis juga membuat catatan-catatan tentang seks yang berjudul Assikalabineng atau Kitab Persetubuhan Bugis. Catatan-catatan itu dibuat dalam lontara’ dan dituliskan dengan aksara khas Bugis. Aksara ini menjadi satu penanda yang mencirikan kemajuan peradaban Bugis. Nenek moyang Bugis –yang terlahir sebagai turunan dewa-dewa-- telah mencipta aksara dan menjadikannya sebagai medium untuk menuliskan buah-buah pikirannya. Tatkala raja-raja Bugis bermunculan, mereka lalu menuliskan segenap pengetahuannya, termasuk pengetahuan tentang seks.

Catatan harian para raja tentang konsep seks tersebut, telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Assikalabineng. Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih mengedepankan pada teknik belaka, Assikalabineng lebih dari hal itu. Assikalabineng adalah kumpulan manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan, diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas), Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan pengetahuan yang siap dipraktikkan. Di bagian awal buku, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang dipakai sebagai rujukan utama. Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. "Aksaranya macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang." Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, namun pada intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau Makassar pedalaman.

Assikabineng berisikan pengetahuan yang mendalam tentang organ genital dan alat reproduksi, filosofi seks, teknik penetrasi, sentuhan bagian sensitif, penentuan jenis kelamin, pengendalian kehamilan, serta waktu baik untuk berhubungan intim, juga terangkum di dalamnya. Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan cara membuat tubuh istri tetap seksi dan berwajah cerah dengan menggunakan medium seks. Pengobatan alat kelamin pun dibahas dengan indah.

Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab ini yakni betapa orang Bugis, terutama yang menguasai kitab ini, memahami dengan benar jenis-jenis organ genital wanita. Cara mengungkapkannya pun sangat simbolik dengan mengasosiasikannya dengan bunga yang cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada yang disebut dengan bunga melati atau bunga sibollo.


 Membaca kitab ini telah membersitkan kesan pada diri saya bahwa seks bukan sekedar ritual penetrasi biologis demi menciptakan generasi. Seks mengandung makna filosofis yang bisa ditemukan melalui telaah atas makna-makna dalam ritual tersebut.

Kitab ini dituliskan pada masa ketika Islam masuk di jazirah Sulawesi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa Islam mengalami dialog cultural dengan tradisi Bugis. Di dalamnya juga terdapat interpretasi ajaran islam yang diperkaya dengan pengetahuan local. Islam tidak lantas menenggelamkan pengetahuan Bugis, namun terus memperkaya maknanya dan menjadi ruh yang menjadi intisari kebudayaan bugis. Makanya, assikalabineng jangan dilihat sebagai kitab petunjuk cara berhubungan seks sebagaimana Kama Sutra. Tak hanya berisi petunjuk melakukan hubungan seks, assikalabineng adalah filsafat untuk berhubungan seks, kemudian menyiapkan generasi terbaik. Bagi orang Bugis, seks adalah filsafat.

Butiran-Butiran Hikmah

Memang, tulisan ini terlampau singkat untuk membahas khasanah kebudayaan yang kaya. Tapi setidaknya, tulisan ini menjadi awal untuk memasuki tema yang luas tersebut. Dari berbagai turuan di atas, terselip beberapa butiran hikmah yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, baik Serat Centhini maupun Assikalabineng merupakan khasanah kekayaan budaya yang dimiliki negeri ini. Keduanya adalah mutiara yang diwariskan generasi masa silam kepada generasi masa kini. Kedua kitab itu menyimpan butiran pengetahuan berharga yang masih bisa diterapkan pada konteks kekinian. Kitab itu juga menjadi isyarat bahwa seks bukan hanya daya-daya pelepas syahwat, namun seks adalah ibadah yang penting untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Seksualitas bukanlah hal yang tabu dibahas pada masa silam. Tapi seksualitas adalah ibadah yang mengawali proses penciptaan manusia sehingga harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Kedua, seksusalitas memang bukan sekedar hubungan yang sifatnya biologis. Seksualitas adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan himpunan konsep dan pola-pola yang membentuk cara pandang serta penilaian kita atas sesuatu. Ketika saya menilai seseorang cantik, maka saat itu kebudayaan sedang bekerja. Cantik adalah sebuah konsep yang jelas-jelas dipengaruhi kebudayaan. Defenisi cantik sebagaimana yang saya yakini, tentunya berbeda dengan defenisi cantik menurut orang Afrika yang lebih memperhatikan tubuh yang gemuk. Setiap ragam budaya menciptakan defenisinya sendiri-sendiri tentang makna kecantikan. Demikian pula dengan makna seksualitas.

Ketiga, pengetahuan tentang seks adalah pengetahuan yang sifatnya menyejarah. Pada beberapa kebudayaan, termasuk kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah ritual suci yang dilihat sebagai ibadah. Dalam khasanah kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah fiosofi tentang penciptaan generasi serta menjadi elemen penting yang kian menegaskan jati diri manusia sebagai mahluk yang selalu bergerak menggapai kesempurnaan. Dan seks adalah bagian dari gerak menuju kesempurnaan tersebut.(*)


Pulau Buton, 27 Mei 2010, pukul 06.00
Saat baru bangun tidur


BACA JUGA:



Memotret Ikan Landak


ENTAH, apa nama ikan jenis ini. Tubuhnya penuh dengan duri-duri serupa landak. Saya memotretnya di Pasar Wameo, Bau-bau. Kata penjualnya, ikan ini termasuk jenis ikan yang harganya murah. Pembelinya sedikit karena rasanya tidak begitu enak. Tapi, saya tertarik dengan bentuknya yang unik. Saya menamainya Ikan Landak. Setuju gak?

Menafsir Partai Demokrat

KEMARIN Partai Demokrat (PD) menggelar musyawarah. Dan sebagaimana bisa diketahui melalui media massa, Anas Urbaningrum telah memenangkan pertarungan tersebut. Padahal, hampir setiap hari kita bisa menyaksikan bagaimana seorang kandidat Andi Mallarangeng (AM) menghabiskan uang untuk kampanye melalui televisi, iklan melalui media cetak, hingga drop logistik kampanye ke banyak tempat.

Bagi saya, kekalahan AM ini sangat menarik. Dari sisi akademik, kita bisa meninjau ulang bagaimana teori-teori komunikasi politik terbaru tentang pentingnya strategi kampanye, meninjau ulang teori politik tentang pentingnya jaringan social (social networking) hingga strategi membangun relasi dan man to man marking dalam menggaet dukungan politik. Sayang sekali karena saya belum punya waktu yang tepat untuk mengulas fenomena ini. Saya masih malas menulis panjang-panjang. Mungkin nanti lain kali.(*)

Jadi Anggota Kompi 702

KETIKA Anda menjadi pegawai negeri sipil (PNS), maka saat itu juga Anda akan bergabung ke Kompi 702. Jangan berpikir bahwa ini semacam pasukan militer. Tidak demikian. Kata seorang pejabat PNS, kompi 702 adalah sebutan untuk mereka yang datang pada jam tujuh pagi, selanjutnya tidak melakukan apapun alias kosong, dan pulang pada jam dua siang. Makanya disebut Kompi 702.


Mulanya saya geli dengan sebutan ini. Rasanya aneh mendengar sebutan Kompi 702 ini. Tapi setelah menjalaninya, ternyata sebutan itu ada benarnya juga. Selama beberapa hari ini, saya sudah mulai paham tentang sebutan itu. Kita akan datang di pagi hari, selanjutnya bingung karena tak ada kerjaan, dan kembali ke rumah pada pukul dua siang. Ini kenyataan lho. Bukan sejenis guyonan.

Tanpa bermaksud munafik, saya justru menyenangi keadaan ini. Saya jadi punya banyak kesempatan untuk membaca atau menulis. Lihat sendiri kalau blog ini selalu penuh dengan tulisan baru. Jika kondisi ini terus mendera selama bertahun-tahun, pastilah saya akan melahirkan banyak tulisan dan karya. Mudah-mudahan ini cuma sebuah asumsi saja. Boleh jadi, minggu depan, akan ada banyak kerjaan yang harus dituntaskan.(*)

Sensasi Jadi Headline (3)

KEMBALI saya menampilkan beberapa tulisan yang jadi headline di Kompasiana selama beberapa minggu ini. Selain jadi headline, beberapa di antaranya juga tercatat sebagai tulisan terpopuler untuk sehari. Malah, ada pula yang jadi tulisan terpopuler selama seminggu berturut-turut. Mudah-mudahan bisa memicu diri saya untuk tetap menulis. Thanks


 "Setahun Tidur di Kuburan. What?" Dimuat pada Senin (10/05/2010)

"Nike Ardilla Selalu Abadi di Makassar." Dimuat pada Selasa (11/05/2010)

"Heboh!! Pernikahan Semiliar Dian Sastro." Dimuat pada Selasa (18/05/2010)

"Birahi Kolonial ala Artis Sinetron." Dimuat pada Kamis (20/05/2010)

"Seks Jawa Vs Seks Bugis." Dimuat pada Sabtu (22/05/2010)

"Kuntum Cinta Habibie untuk Ainun." Dimuat pada Minggu (23/05/2010)


Kuntum Cinta Habibie untuk Ainun


WAJAH Habibie terpekur. Sedih masih terpancar di wajahnya tatkala kekasih hatinya Hasri Ainun Habibie tutup usia di Rumah Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman,Sabtu (22/5). Sementara nun jauh di Parepare, tempat kelahiran Habibie di Sulawesi Selatan, ribuan doa terus-menerus didengungkan demi kesembuhan Ainun. Apalah daya, ribuan doa itu tak mampu mematahkan takdir yang sedang berlaku. Habibie tahu betul bahwa tak ada satupun manusia yang bisa menaklukan sang waktu.

Presiden RI ke-3 itu amat paham dengan aksioma bahwa meskipun pencapaian teknologi telah membumbung tinggi laksana roket yang mengangkasa, namun tak pernah sanggup mengalahkan usia serta daur hidup manusia yang kelak akan bertemu maut. Pada akhirnya, manusia bisa seperti nujuman tentang alam semesta yang kelak akan lebur bersama waktu. Kata fisikawan Einstein, Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan penciptaan semesta, bahkan pemusnahan semesta. Namun, bukankah manusia masih menyimpan lembaran kisah-kisah manis yang kelak akan menjadi prasasti yang tergurat abadi dalam hati?

Manusia memang bisa menyimpan lapis-lapis kenangan dan menjagainya dengan sepenuh hati. Sebuah kenangan adalah rekaman kejadian masa silam yang jejaknya tersisa di masa kini. Dan seorang Habibie pun tetap setia menyimpan rapi semua prasasti ingatannya tentang kisah cinta luar biasa yang dijalaninya selama puluhan tahun dengan perempuan asal Yogyakarta tersebut.

Saya selalu tersentuh setiap kali mendengar kisah cinta yang dahsyat. Apalagi jika kisah cinta itu dialami oleh manusia paling cemerlang yang pernah terlahir di bumi Indonesia, Prof Dr Ing BJ Habibie. Selama ini, saya hanya mengenal Habibie sebagai seorang fisikawan penerbangan yang paling cemerlang. Namun hari ini kesan saya tentang Habibie kian menguat. Ternyata ia adalah seorang pencinta yang luar biasa. Dalam satu catatan blog, saya menemukan kisah tentang betapa setianya Habibie menemani Ainun di saat-saat terakhir hidupnya. Sejak Ainun dirawat di rumah sakit itu, tak pernah sedetikpun Habibie beranjak. Ia setia menemani sang istri tercinta hingga detik akhir.

Pada tahun 2006, saya mengikuti seminar yang diadakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kantor BPPT Jakarta, di mana Habibie menjadi keynote speaker. Saya masih ingat betul bahwa saat itu, Habibie datang ditemani Ainun. Bahkan di saat usai berceramah, di saat semua wartawan datang merubunginya, ia masih mencari-cari di mana Ainun. Pada saat seorang wartawan bertanya tentang pendapatnya atas situasi di Timor Leste, Habibie hanya menjawab singkat. “Maafkan, saya sedang mencari di mana mantan pacar saya. Mana Ainun? Saya belum pernah pisah dengan Ainun. Mana Ainun?”

Di saat-saat seperti itu, ia masih mengingat Ainun. Saya hanya bisa menduga-duga. Bahwa habibie dan Ainun telah begitu banyak melewati berbagai macam pengalaman –baik yang menyenangkan maupun tidak. Sehingga di saat usia kian menua, mereka kian dekat dan tak mau berpisah barang sedetikpun. Saya yakin, kuntum-kuntum cinta yang pernah mereka tanam di masa muda, telah mekar dan harumnya semerbak hingga di saat usia mereka kian menua. Itulah digdayanya kuntum cinta.

Kisah Cinta

Seperti apakah kisah cinta mereka? Saya tak membaca dengan baik beberapa biografi Habibie yang ditulis Makmur Makka. Konon, mereka bertemu di bandung, saat Habibie masih menjadi mahasiswa Institut Teknologi bandung (ITB), sementara Ainun menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran di satu universitas. Pada masa itu, Habibie masih menjadi seorang perantauan yang meninggalkan Makassar demi menggapai cita-citanya. Sementara Ainun adalah putri H mohammad besari yang tinggal di Jalan Ranggamalela 21, Bandung. Dalam beberapa kali pertemuan, mereka lalu menjadi kekasih dan menikah pada 12 mei 1962.

Namun apakah cinta mereka semulus itu? Dalam satu tabloid terbitan ibukota, Ainun menyebut kisah cinta mereka persis kisah dalam sinetron Cinta Fitri yang ditayangkan SCTV. Pantas saja jika pada November tahun silam, keluarga Habibie sempat mengundang seluruh pemain Cinta Fitri untuk makan malam. Pada momen inilah meluncur cerita tentang kisah cinta Habibie – Ainun seperti kisah Cinta Fitri, sebagaimana bisa dibaca DI SINI. Salah seorang actor dalam sinetron itu, Teuku Wisnu, mengatakan, “Mereka bilang, mereka menyimak dialog Fitri dan Farrel saat jadian (pacaran). Menurut Ibu Ainun, kisah cinta Fitri dan Farel hampir mirip dengan kisah cinta mereka semasa muda. Perjuangan Farrel dalam mendapatkan cinta Fitri seperti perjuangan Pak Habibie dalam mendapatkan cinta Ibu Ainun. Cerita mereka juga, mereka sempat menitikkan air mata menyaksikan adegan Fitri-Farrel menjadi sepasang kekasih.”

Jika kisah cinta itu seperti dalam sinetron yang berliku-liku, maka berarti Habibie mengukir kisah cintanya tidak dengan cara yang mudah. Ia bekerja keras meyakinkan Ainun agar bersedia mendampinginya. Tidak hanya pada masa senang pula, namun juga pada masa-masa yang sulit. Tatkala perjuangan itu mencapai hasil, maka dimulailah sebuah komitmen baru. Keduanya saling menjaga dan sepakat untuk tidak terpisahkan sampai kapanpun.

Ainun membuktikan kesetiaan pada komitmen tersebut. Ia menemani Habibie pada berbagai saat sulit, khususnya ketika Habibie menjadi Presiden RI ke-3, di saat demonstrasi terus meletus di banyak kota. Habibie menjadi martir atas demokratisasi dan kebebasan berpendapat. Dan Ainun juga menjadi martir yang menyediakan dirinya untuk menemani Habibie pada saat-saat yang sulit sekalipun.

Kini, Ainun telah dipanggil yang Maha Kuasa. Kini, kisah cinta selama 48 tahun itu telah memasuki bagian akhir. Namun kenangan atas cinta yang dahsyat itu tak akan pernah berakhir bagi Habibie. Kenangan tentang cinta Ainun menjadi prasasti yang tergurat dalam hatinya. Dan ia akan memelihara kenangan yang membahagiakan itu. Agar kelak menjadi teladan yang abadi bagi siapapun.

Selamat jalan Hasri Ainun Habibie. Kami di sini tetap mencintaimu.

Seks Jawa Vs Seks Bugis (1)

PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan berwajah rupawan dibalut kain, rambutnya disanggul, dan tubuh bagian atas terbuka. Kulitnya kuning berkilau karena lulur. Mereka menari dengan gerakan yang pelan, namun sarat makna. Kata seorang kawan, para penari haruslah perawan dan tidak sedang menstruasi.

Mengapa harus perawan? Kata kawan itu, tarian ini punya makna yang sacral. Tarian ini hanya dipentaskan sekali sebagai perlambang cinta Nyi Roro Kidul kepada Raja Jawa. Konon, saat tarian ini dipentaskan, Nyi Roro Kidul selalu ikut menari. Ia hendak menyampaikan rasa cinta yang dahsyat kepada Raja Jawa. Ia meminta agar sang raja tetap menemaninya di dasar laut dan tidak usah kembali ke daratan. Menurut satu sumber, tari ini menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (Sinuhun Paku Buwono X).

Segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun menolak. Lalu terjadilah perjanjian atau sumpah sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sumpahnya adalah semua Raja Jawa haruslah memperistri Ratu Kidul. Demikian asal usul tarian Bedhaya Ketawang.

Dalam satu tulisannya, budayawan Seno Gumira Adjidarma menyebut tarian ini amat sakral sekaligus penuh makna birahi dan seksualitas. Konon, berkembang anekdot. Para penari itu harus perawan, sebab raja akan memilih salah seorang untuk menemaninya tidur malam itu. Mungkin ini semacam candaan. Tapi yang menarik adalah bagaimana raja menentukan pilihan, apakah criteria seksualitas yang digunakan untuk memilih satu di antara sembilan penari itu? Atau, bagaimanakah menilai seksualitas dari para penari?

Kata Seno, seksualitasnya tidak terletak pada bagian tubuh yang terbuka. Melainkan pada bagian tubuh yang sesekali terbuka yakni lekuk kaki di antara tumit dan mata kaki, ketika kaki tersebut harus menyapukan kain yang tersisa. Perempuan yang lekuk kakinya dalam dianggap sensual, konon karena menunjukkan kemampuan permainan cintanya di atas ranjang. Semakin kurang lekuknya, semakin rendah daya tariknya dalam konteks seksualitas. Mungkin ini aneh. Tapi, kedalaman lekuk adalah ukuran. Pandangan ini tentu tidak ilmiah. Namun menjelaskan kepada kita bahwa seksualitas adalah sebuah pandangan yang dibentuk oleh cara kerja kebudayaan. Seks memang peristiwa ‘kimia’, namun makna seksualitas dan sensualitas adalah sesuatu yang dibentuk kebudayaan, merupakan pandangan yang lahir dari tafsir satu kebudayaan tertentu, dan mempengaruhi cara pandang seorang individu.


Saya sering memperhatikan perempuan Jawa yang sedang berkebaya dan sanggul. Sebagai orang luar Jawa, saya melihatnya biasa saja, tanpa tersengat reaksi kimia sebab saya tidak dibesarkan dalam tradisi tersebut. Tapi bagi seseorang yang besar dalam iklim konservatif Jawa, seorang ibu bersanggul dan berkain kebaya yang harum mewangi dalam kondangan kelas menengah atas tentu memancarkan aura sensualitas: kebaya yang menerawang, kain yang membungkus ketat sehingga bentuk tubuh lekuknya terpampang, belum lagi cara bicara tertata, tetapi pandangan mata bisa menyambar dan menggetarkan, adalah bagian dari permainan sensualitas.

Namun bagi seseorang yang dibesarkan dalam kebudayaan Dayak Kenyah, pastilah akan lain. Erotisisme nampak pada pakaian ta’a, serupa rok yang terbelah dari atas ke bawah di belakang. Para pria Dayak akan melihat rajah yang melingkar di paha dan kaki perempuan sebagai keindahan erotic. Rajah adalah tato yang dibuat khusus dalam sebuah ritual sacral. Dan rajah tersebut akan mempengaruhi erotisme atau seksualitas.

Kebudayaan Bugis


Lain halnya dengan masyarakat Bugis-Makassar. Sewaktu masih kecil, saya pernah menyaksikan tarian yang dipentaskan sejumlah gadis yang memakai baju bodo. Baju ini adalah baju yang berbentuk tipis dan nyaris transparan. Saya terkesiap saat melihat langsung bagaimana BH perempuan di balik baju bodo. Bagi perempuan Bugis, baju bodo adalah pakaian adat yang dikenakan pada berbagai upacara adat seperti perkawinan ataupun saat menari.

Dulunya, seorang perempuan yang mengenakan baju bodo, tidak mengenakan apapun di baliknya. Itu tercatat dari kesaksian seorang penjelajah bernama James Brooke yang mengunjungi Makassar pada tahun 1840. Ia mengatakan, “Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.” Rupanya cara memakai baju bodo ini masih berlaku di tahun 1930-an. Buktinya, saya menemukan satu foto di situs Wikipedia yang menampilkan gambar seorang gadis Bugis pada tahun 1930-an, yang memakai baju bodo. Perhatikan bahwa ia tidak mengenakan apapun di baliknya.

Jika baju bodo sering dikenakan saat upacara adat, maka silakan tebak bagaimana perasaan lelaki yang menyaksikan tubuh perempuan. Apakah mereka juga terkesiap seperti saya? Ternyata tidak juga. Bagi sejumlah orang Bugis yang sempat saya tanyai, keseksian itu tidak terletak pada tubuh yang nampak di balik baju bodo. Justru karena seringnya tubuh itu terlihat, sehingga secara perlahan kehilangan keseksiannya. Konsepsi tentang tubuh tidak lagi penting sebab orang ingin melihat sesuatu di balik tubuh tersebut. Orang-orang lalu menemukan keseksian pada sejauh mana tuturan cerdas dari seorang perempuan.

Lagi-lagi ini adalah soal kebudayaan. Dalam catatan banyak peneliti, posisi perempuan menjadi simbol dari keunikan dari tradisi Bugis. Masyarakat Bugis tradisional mengijinkan perempuan menjadi pemimpin sehingga keseksian seorang perempuan dinilai dari sejauh mana kecerdasan dan kedalaman pengetahuannya atas sesuatu. Dalam karya klasik yang mendunia I La Galigo, disebutkan tentang sosok perempuan utama cerdas, We Nyilik Timo, yang mendampingi Batara Guru sebagai penguasa langit. Dalam I La Galigo juga terdapat sosok Sangiang Serri yang menjadi symbol dari kesuburan.

Sejak masa silam, kata antropolog Christian Pelras, di Bugis perbedaan gender dengan menempatkan perempuan sebagai second sex tak nampak. Posisi perempuan yang aktif di dunia social menyebabkan mereka tidak dilihat semata dari kecantikan dan sensualitas belaka. Lantas, jika kita tetap ngotot membahas kecantikan, apakah standar kecantikan bagi orang Bugis. Saya tak terlalu paham. Tapi, dalam salah satu naskah tradisional Lontara Se’bo (kitab Lubang), terdapat istilah mattappa’ cina (berwajah seperti orang Cina). Artinya, kriteria cantik adalah ketika bermata sipit dan berkulit putih.

Lesson Learned

Apa hikmah yang dipetik dari telaah atas seksualitas dalam berbagai kebudayaan itu? Pertama, seksualitas bukan semata aspek biologi. Selama ini, kita sering terjebak pada salah kaprah yang melihat sensualitas dan seksualitas hanyalah sekedar perkara hubungan biologis. Padahal, Seks adalah kebudayaan yang dikonstruksi secara kolektif oleh sebuah masyarakat, ditransmisikan secara turun-temurun dan menjadi pedoman yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam satu masyarakat. Latar belakang seseorang akan sangat mempengaruhi konsepsinya tentang seksualitas. Karena kebudayaan setiap orang berbeda-beda, maka nilai-nilai yang membentuk selera seksual setiap orang juga berbeda. Seks menjadi relatif.

Dalam hal tarian Bedhoyo Ketawang di atas, lekuk kaki bisa menjadi sesuatu yang memantik hasrat seksual bagi seorang lelaki Jawa. Demikian pula dengan kebaya ketat, sanggul, serta cara bertutur yang lemah-lembut. Bagi masyaraklat Dayak, rajah pada paha bisa menjadi daya tarik sesksual seorang perempuan. Sementara bagi masyarakat Bugis, tubuh yang seksi di balik baju bodo, serta kecerdasan saat bertutur adalah elemen-elemen yang membangkitkan hasrat dan gairah seorang perempuan.

Kedua, seks senantiasa mengandung aspek konstruksi kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat medan kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang tak habis-habisnya. Dalam hal seks, konsep nikmat-tidak nikmat, konsep cantik-tidak cantik, dan lain-lain adalah konsep yang dibentuk oleh seseorang dan terus dimapankan dalam kebudayaan. Konsep ini dipengaruhi oleh latar belakang seseorang, serta bagaimana pandangannya atas sesuatu. Bahkan bagi seseorang yang dipengaruhi keagamaan yang kuat sekalipun akan melahirkan konsep sendiri yang terkait seksualitas.

Pada akhirnya, seks adalah aspek biologi yang kemudian dipengaruhi kebudayaan. Terserah bagaimana Anda menilainya.(*)


Pulau Buton, 22 Mei 2010
Pukul 00.000, saat susah tidur

BACA JUGA:





Suatu Sore di Pantai Kamali

DI sini, di Kota Bau-bau, tak banyak hiburan. Tak ada taman hiburan. Tak ada taman bermain. Untunglah, kota ini punya ruang-ruang publik yang bisa menjadi kanalisasi dari keinginan public untuk bercengkerama bersama keluarga. Seperti sore ini di Pantai Kamali. Saya menyaksikan permainan odong-odong yang dikendarai seorang anak dengan oenuh kegembiraan. Sementara orang tua juga bahagia melihat anaknya yang menikmati permainan tersebut.


Sore ini, saya juga melihat banyak lingkaran warna-warni yang dijual. Lingkaran itu adalah permainan hula-hula, permainan yang saat ini tengah digandrungi. Baik lelaki maupun perempuan usia sekolah dasar (SD) sama-sama menggemari permainan ini. Hampir di semua sudut kota bisa ditemukan anak-anak yang tengah bermain hula-hula. Andaikan saya masih kanak-kanak, mungkin saya akan berucap, “Kita memang tak punya taman bermain seperti Disneyland. Tapi kita tidak akan pernah kehilangan bahagia. Kitapun berhak untuk bermain dan berbahagia.”


Refleksi di Hari Kebangkitan Nasional


102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini semestinya merayakan rasa malu kepada pendahulunya. Semangat terkepal untuk memajukan bangsa 102 tahun lalu, kini hanya menjadi slogan untuk pembakar semangat. Antara masa lalu dan masa kini, tak ada perbedaan yang substansial sebab negeri ini masih saja bergelut dengan persoalan yang sama. Sekitar 102 tahun yang lalu, anak bangsa bertekad memajukan rakyat yang miskin dan terbelakang akibat ditindas oleh cengkeraman kolonialisme. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan itu masih sangat mudah ditemukan di mana-mana, semudah membalikkan telapak tangan.

102 tahun kebangkitan nasional. Dulunya kolonialisme berbendera VOC dan berwajah sangar ketika menghardik anak negeri, kini kolonialisme berganti rupa dengan bendera perusahan multinasional. Mereka berwajah santun, khususnya ketika menyogok pemerintah dan pejabat lokal demi mendapatkan kuasa pertambangan dan mengeruk sesuka-sukanya. Kini, penjajah berwajah tampan, blasteran, yang setiap kemunculannya selalu menghadirkan histeria massa. Mereka hadir laksana bintang sinetron yang baik, kemudian mengeruk hasil bumi dan menyisakan sampah yang harus dimakan oleh anak negeri. Birahi kolonialisme yang dikemas dalam balutan wajah artis sinetron masih bersarang di benak mereka. Dan negeri ini terus dikeruk setiap saat.

102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini seolah tak pernah beranjak dan terus saja jalan di tempat, tanpa menyerap hikmah dari ceceran perjalanan sejarah bangsa sejak mengumandangkan kebangkitan nasional. 100 tahun yang lalu, kaum cerdik cendekia mendengungkan semangat perubahan bagi negeri ini. Kini semangat perubahan itu hanya menjadi nyanyian pengiring bagi karnaval anak kecil yang membawa bendera merah putih. Kalimat perubahan itu tidak menjelma menjadi darah dan daging serta sumsum perubahan yang semestinya dibumikan para pemimpinnya. Para pemimpin hanya menjadikan semangat itu sebagai nyanyian pengantar tidur bahwa ini negeri besar, bahwa ini negeri yang sungguh kaya raya dengan hasil bumi. Dan keesokan harinya, pemimpin itu kemudian tersenyum dan mengemis pada bangsa asing. Keesokan harinya menjual mineral yang ada di perut ibu pertiwi.

102 tahun kebangkitan nasional. Banyak berdiri gedung pencakar langit, banyak berseliweran parade mobil mewah. Setiap harinya adegan kemewahan dipertontonkan di televisi. Sementara jutaan anak negeri lainnya masih mengais sampah demi menyambung hidup, masih menangis tersedu-sedu di kala malam tatkala perut lapar melilit, masih harus menjadi maling karena tak mampu mencukupi nafkah. Serta masih banyak anak negeri yang bunuh diri karena lapar.

102 tahun kebangkitan nasional. Perut ibu pertiwi masih kaya dengan sumber daya alam. Akan tetapi semuanya diraup bangsa lain. Sementara anak negeri hanya menjadi penonton dan tak bisa berkata apa-apa. Para pemimpin sibuk memperkaya diri dan membangun istana-istana kemewahan di mana-mana. Para pemimpin sudah tidak peduli dengan tangis orang miskin. Setiap harinya, para pemimpin pongah dengan mobil mewah yang dikendarainya dan di saat bersamaan masih saja sibuk meneriakkan “peduli rakyat kecil.”

102 tahun kebangkitan nasional. Para intelektual dan cerdik cendekia masih menjadi stempel dari berbagai keserakahan pemimpinnya. Intelektual sibuk mengejar proyek demi merayakan hidup mewah seperti para pejabat. Para intelektual tidak lagi memiliki tangis lirih untuk mereka yang biasa ditindas. Kaum intelektual sudah buta mata dan buta hati. Mereka mengaku intelektual, padahal gelar itu hanya menjadi gelar kebangsawanan. Gelar profesor gampang dibeli semudah membeli jabatan atau gelar di pemerintahan. Para intelektualnya semua karbitan dan hanya menjadi kayu bakar dari proses pembodohan di negeri ini.

102 tahun kebangkitan nasional. Para ulama sudah tidak peduli dengan umatnya. Ke mana-mana pidato dengan naik mobil mewah dan hanya menjadi juru kampanye dari pejabat korup negeri ini. Ulama sudah seperti pengemis dan sibuk menadahkan tangan ke sana-sini denganj cara menjadi tim sukses. Kalimat Tuhan sudah tidak sakral lagi sebagai bahasa kebenaran bagi rakyat, namun menjadi alat kekuasaan demi memenangkan sebuah rezim. Ulama sudah tidak mau lagi mendengarkan tangis sedu-sedan umatnya sendiri. Ulama sibuk mencari cara agar kaya raya.

102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini kehilangan rasa malu. Kehilangan malu kepada Tuhan, malu pada sejarah, serta kehilangan malu kepada seluruh manusia yang mendiami ibu pertiwi ini.(*)

Topeng Monyet di Pantai Kamali


SETENGAH jam yang lalu, saya singgah jalan-jalan ke Pantai Kamali, Bau-Bau. Saya menyaksikan kerumuman orang. Saya mendengar bunyi-bunyian berupa gamelan dan gong. Mungkin ada atraksi barongsay. Setelah saya mendekat, ternyata bukan. Orang-orang sedang berkerumun menyaksikan atraksi topeng monyet. Saya pun ikut menyaksikan.

Bagi warga kota Bau-Bau ini, atraksi topeng monyet adalah hal yang sangat baru. Berbeda dengan mayarakat Jakarta yang sudah bosan menyaksikan atraksi ini. Di Jakarta, tontonan topeng monyet adalah tontonan yang mulai membosankan. Atraksi ini dipentaskan secara keliling, bahkan di dalam kereta api Jakarta-Bogor, bisa pula disaksikan. Malah, keberadaan para pemain topeng monyet, sudah seperti pengemis yang datang dengan monyet, kemudian meminta uang.

Tapi di Bau-Bau, topeng monyet menjadi tontonan baru yang menyenangkan. Kota kecil ini memang masih sepi dengan hiburan. Monyet masih dilihat sebagai binatang liar. Dan betapa terkejutnya orang-orang melihat monyet yang bisa beratraksi seperti pemain acrobat. Semua orang tersenyum-senyum menyaksikan tingkah sang monyet yang mengendarai motor kecil yang terbuat dari kayu. Lalu, monyet itu merias diri, hingga memakai beragam topeng. Semua orang bertepuk tangan menyaksikan keajaiban yang diperlihatkan sang monyet.

Tapi, saya justru sedih menyaksikan atraksi itu. Saya membayangkan bagaimana perasaan sang monyet. Mestinya, monyet itu tinggal di habitat aslinya dan bersenang-senang dengan kawanannya. Dalam atraksi itu, leher monyet dirantai, dan diseret-seret sebagaimana layaknya piaraan. Ketika sang monyet mengendarai motor kayu, rantai di lehernya akan disentakkan sehingga berlari kencang. Setelah beberapa meter –sesuai panjang rantai—monyet itu akan terjengkang dan jatuh. Kasihan, monyet itu sampai meringis dan memegang rantai di lehernya. Andaikan ia bisa berbicara, mungkin ia sudah lama meraung-raung.

Saya geram luar biasa kepada pemilik atraksi topeng monyet ini. Saya memandang pria itu dengan kesal. Apakah ia tidak berpikir kalau apa yang sedang dilakukannya itu adalah bentuk penyiksaan kepada satu mahluk hidup? Apakah ia tidak punya rasa iba kepada monyet kecil itu hingga menyeret-nyeret dengan rantai? Ini adalah bentuk eksploitasi terhadap binatang. Ini adalah tindakan yang tidak memperdulikan harkat dan martabat seekor monyet sehingga terus menyiksanya setiap saat.

Sejuta protes saya gumamkan. Tapi saat saya memandang pemilik monyet itu, ada rasa iba yang menggelayut. Sang majikan monyet itu juga memakai pakaian yang lusuh dan kotor. Ia hanya mencari sesuap nasi demi melanjutkan kehidupan. Receh demi receh yang dikumpulkan melalui atraksi sang monyet, tidaklah seberapa besar di banding perjuangannya berjalan kaki setiap hari dan beratraksi. Mungkin, selesai atraksi, ia memperlakukan sang monyet seperti majikan yang menyelamatkan hidupnya. Monyet itu adalah bukan sekedar property, namun sosok pahlawan kehidupan yang membantu pria itu mencari nafkah.

Pernah saya baca di Kompas tentang kehidupan seorang pemaion topeng monyet. Mereka memperlakukan monyetnya dengan baik. Ketika sang monyet stress atau tertekan, maka ia bisa mogok dan menolak perintah. Mereka member makanan yang terbaik agar sang monyet siap sedia dan membantunya mencari nafkah.

Ia memang mengeksploitasi monyet itu saat atraksi. Namun, ia sedang berusaha survive dalam kehidupan. Bersama monyet itu, ia berkelana ke banyak tempat demi mengumpulkan receh. Bersama monyet itu, mereka menjadi satu kesatuan yang saling bahu-membahu untuk menaklukan kerasnya kehidupan. Mereka adalah pejuang kehidupan yang mengumpulkan uang dengan halal. Mereka hanyalah orang kecil yang tidak punya mimpi besar, namun memiliki langkah-langkah kecil untuk menata hidup, dan berupaya bertahan di tengah gempuran hedonisme yang menggerus. Mereka adalah para pahlawan kehidupan.

Tapi, saya tetap saja sedih melihat monyet yang dirantai dan disuruh-suruh.


Lagu Terbaru Mariah Carey

I Want to Know What Love Is

I gotta take a little time
A little time to think things over
I better read between the lines

In case I need it when I'm older

In my life there's been heartache and pain

I don't know if I can face it again
Can't stop now,
I've traveled so far

To change this lonely life


I wanna know what love is
I want you to show me
I wanna feel what love is

I know you can show me
I'm gonna take a little time

A little time to look around me
I've got nowhere left to hide

It looks like love has finally found me

In my life there's been heartache and pain

I don't know if I can face it again I can't stop now,
I've traveled so far

To change this lonely life


I wanna know what love is

I want you to show me
I wanna feel what love is
I know you can show me

I wanna know what love is

I want you to show me
And I wanna feel,
I want to feel what love is

And I know, I know you can show me


Let's talk about love

I wanna know what love is,
the love that you feel inside

I want you to show me,
and I'm feeling so much love

I wanna feel what love is,
no, you just cannot hide

I know you can show me, yeah

Heboh!! Pernikahan Miliaran Dian Sastro

Pernikahan Sebagai Arena Kontestasi Sosial


HARI ini adalah hari paling bersejarah bagi artis Dian Sastrowardoyo. Ia akan memasuki mahligai suci pernikahan dengan pengusaha kaya Indraguna Sutowo, putra konglomerat kaya Adiguna Sutowo. Pernikahan ini disebut-sebut media sebagai salah satu pernikahan yang berbiaya mahal. Beberapa media dan infotainment menyebut biaya yang dikeluarkan hingga miliaran rupiah, sebuah jumlah yang fantastis dan mungkin hanya bisa dikalahkan artis Nia Ramadhani dan pengusaha kaya Anindya Bakri (putra Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) yang konon biayanya “hanya” sekitar Rp 100 miliar.

Bagi Indraguna, jumlah itu tidak seberapa demi menyunting Dian, artis yang sejak lama diidolakannya dan telah dipacarinya selama dua tahun. Apalagi, perempuan bernama asli Diandra Paramitha Sastrowardoyo memang tengah di puncak popularitas. Sejak namanya meroket dalam film Ada Apa dengan Cinta, bintangnya terus bersinar bak bintang kejora. Ia menjadi salah satu artis yang digaji mahal untuk setiap film yang dibintanginya. Ia juga laris sebagai bintang iklan, khususnya sabun Lux, yang memberinya kesempatan untuk keliling banyak tempat serta memperbesar jumlah pundi-pundi kekayaannya.

Sebelum prosesi nikah, Indraguna Sutowo telah memberikan seserahan berupa rumah senilai Rp 6 miliar, rumah yang lebih fantastis dari rumah kepunyaan Gayus Tambunan yang “hanya” senilai Rp 1 miliar. Itu belum seberapa jika dibandingkan prosesi nikah yang akan digelar hari ini. Rencananya, akad nikah akan digelar di Hotel Dharmawangsa, salah satu hotel mewah di Jakarta. Sementara resepsi pernikahan akan digelar di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Senayan, Jakarta. Pemilihan tempat akad nikah dan resepsi ini sudah bisa menjelaskan bahwa pernikahan ini adalah pernikahan impian yang dihadiri para selebritas dan pesohor negeri ini sebagai bagian dari 4.000 lebih tamu yang bakal menghadiri acara tersebut.

Menafsir Makna

Tanpa bermaksud sirik, sebagai seorang rakyat biasa –yang menempati posisi di bawah garis kemiskinan--, saya selalu terperangah setiap mendengar berita tentang pernikahan yang berbiaya amat mahal seperti ini. Di tengah kondisi sebagian besar anak bangsa yang tengah membanting tulang dan mengais-ngais rezeki di jalan-jalan, pernikahan ini terkesan hirau dengan kenyataan sosial yang menggiriskan di sekitarnya. Di negeri ini, kita selalu dipertontonkan parade kemewahan yang kian menunjukkan kelas social lapis-lapis kecil di negeri ini.

Sebagai rakyat biasa, kita selalu dibuat terperangah ketika melihat pernikahan bak di negeri dongeng, meskipun setelah itu kita kembali bergulat dengan langkah tertatih-tatih untuk mencari sesuap nasi. Selama sekian detik kita terkagum-kagum, setelah itu mulailah kita merutuki nasib dan bertanya, betapa tidak beruntungnya kita dibanding Dian Sastro yang biaya pernikahannya hingga miliaran. Mengapa kita hanya menjadi orang biasa dan tidak jadi lapisan elite?

Dulunya, saya sering memperhatikan Dian Sastro saat sedang nongkrong di kantin sastra di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok. Kesan saya, dia tidak seperti cewek borju kebanyakan yang saban hari menghabiskan uang secara membabibuta. Menurut beberapa teman dekatnya, Dian bukan tipe cewek yang materialistis. Ia tipe cewek smart yang lebih menonjolkan kemampuan inteligensianya ketimbang fisiknya yang aduhai. Seorang teman dekat saya di jurusan Filsafat UI sering mengambil mata kuliah yang sama dengan Dian. Katanya, Dian cukup cerdas. Pikirannya cukup jernih ketika mengupas lapis-lapis dalam setiap kenyataan social yang dibentangkannya.

Skripsi Dian tentang konstruksi social atas fenomena kecantikan bisa menjadi tolok ukur sejauh mana capaian inteligensinya. Dalam skripsi itu, Dian menjelaskan bahwa kecantikan bukan sekedar tampilan fisik berupa tubuh yang seksi dan putih, namun kecantikan adalah defenisi yang maknanya dikonstruksi oleh tafsiran kebudayaan dan ideologi tertentu. Ini jelas sebuah tema yang menarik. Jika berbicara tentang ideologi, tentunya, ia akan membahas bagaimana lapis-lapis kesadaran yang bersarang di benak seseorang ketika mempersepsi sesuatu.

Sedemikian cerdasnya Dian, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi saya, mengapa pula untuk sebuah ijab kabul dan testamen luas tentang telah pernikahan harus mengeluarkan biaya hingga miliaran rupiah? Mengapa pula ia tidak menafsir makna bahwa pernikahan itu bukan lagi ritual yang mempertemukan dua hati, melainkan sebuah arena social di mana di dalamnya terjadi pertarungan makna? Bukankah pernikahan itu menjadi ajang untuk mempertunjukkan pada banyak orang tentang status dan kelas sosial keluarga yang menggelar ritual tersebut?

Lapis-lapis Makna

Bagi saya sendiri, maraknya pernikahan berbiaya mahal itu menjadi isyarat dari masyarakat kita yang tengah berubah. Masyarakat kita adalah masyarakat yang lebih mengedepankan materi sebagai simbol, sehingga menghilangkan indahnya kesucian dan kehikmatan sebuah pernikahan. Simbol tersebut seolah menjadi satu-satunya kenyataan. Dan demi simbol itu, kita mendedikasikan seluruh hidup kita serta bekerja keras demi menggapainya. Inilah masyarakat kita hari ini. Terkait pernikahan mahal itu, saya punya beberapa analisis yang menarik untuk didiskusikan dalam tulisan ini.

Pertama, sedang terjadi pergeseran makna pernikahan. Saat ini, pernikahan bukan lagi ritual untuk sekedar meneguhkan ikatan dua anak manusia. Dulunya, pernikahan adalah janji suci atau komitmen kuat di hadapan Tuhan untuk sehidup semati, saling menjaga dan mengasihi dalam satu mahligai yang dihaga bersama-sama hingga maut menjemput. Dalam kamus bahasa Inggris "marriage" (pernikahan) ditegaskan sebagai: "the union of a man and woman by a ceremony in law" . Definisi ini mulai tidak memadai sebab pernikahan adalah ikatan yang mempertemukan banyak pihak mulai dari dua keluarga besar hingga melibatkan lembaga social lainnya, termasuk negara dan lembaga agama. Pernikahan adalah urusan yang melibatkan banyak orang di mana masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Makna social dari sebuah pernikahan jauh lebih besar ketimbang makna individual yang mempertemukan dua insan. Ini bukan lagi ritual yang hanya mempertemukan Dian dan Indra, namun juga melibatkan banyak orang, mulai dari keluarga besar kedua pihak, jaringan social dari dua keluarga besar, relasi bisnis, hingga masyarakat luas yang menjadi konsumen media.

Kedua, pernikahan Dian dan Indra menjadi arena kontestasi di masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi kalau gengsi dan status social seseorang dipertaruhkan pada momentum seperti pernikahan. Seolah-olah, ketika menggelar pernikahan sederhana, maka keberadaan seseorang akan dinilai dari acara tersebut. Maka pernikahan menjadi arena yang mengukuhkan persaingan di masyarakat tentang siapa yang paling berpengaruh, siapa yang paling kaya, dan siapa yang memiliki jaringan social paling kuat. Pernikahan Dian dan Indra menjadi arena yang mempertaruhan nama besar Indraguna selaku putra seorang konglomerat, juga nama besar dian sendiri selaku pesohor papan atas. Kedua-duanya punya nama besar yang harus dipertaruhkan sehingga menggelar pesat ber-budget besar. Keduanya sama-sama berangkat dari sebuah latar social tertentu yang seolah-olah kelasnya ditentukan dari seberapa meriah acara pernikahan. Pernikahan menjadi arena simbolik yang menunjukkan kelas sosial mereka.

Fenomena ini juga terjadi pada beberapa masyarakat tradisional kita. Saya pernah melihat ritual di masyarakat Toraja. Semakin meriah, maka semakin berjayalah sang penggelar ritual tersebut. Pada masyarakat Bugis, gengsi seseorang akan terlihat pula pada acara pernikahan. Semakin tinggi uang mahar (orang Bugis menyebutnya panai’), maka semakin hebatlah citra diri seorang warga Bugis.

Ketiga, pernikahan sudah bertransformasi menjadi industri yang melibatkan banyak orang. BIaya miliaran rupiah yang dikeluarkan Dian dan Indra akan dihabiskan hanya dalam waktu sehari untuk menggelar akad nikah dan resepsi. Jika Anda jeli dan menghitung ke mana saja aliran uang tersebut, Anda akan tersentak saat menyadari betapa banyaknya profesi yang terkait dengan aliran uang tersebut. Mulai dari jasa salon atau penata rias, wedding organizer, perancang busana, hotel, jasa dekorasi ruangan, penyediaan cendera mata, barisan para juru masak atau catering, jasa para penghibur mulai dari pemusik hingga penyanyi, juga para pemuka adat, hingga para penghulu yang juga mesti dibayar. Jika dicatat dengan detail,maka dana itu mengalir pada banyak profesi yang saling berkaitan sehingga mengukuhkan pernikahan sebagai satu industry yang melibatkan banyak profesi dan saling berkaitan. Saya membayangkan, pernikahan Dian ini juga menjadi ‘santapan’ para pekerja media, infotainment dan seluruh masyarakat. Anda bisa bayangkan sendiri betapa hebohnya pernikahan ini.


Saya tidak sedang sirik dengan analisis ini. Saya hanya mencoba melihat apa kekuatan-kekuatan yang sedang bekerja di balik sebuah pernikahan mahal. Hal penting yang ingin saya sampaikan bahwa pernikahan telah mengalami pergeseran makna pada masyarakat kita. Bukan lagi pertautan dua hati, namun lebih mengedepankan makna-makna simbolik dan makna social. Pada akhirnya, Dian dan Indra hanyalah bidak catur yang digerakkan oleh gengsi dan kelas social. Fenomena ini juga melanda sebagian besar dari kita sendiri.(*)



Pulau Buton, 18 Mei 2010
Saat baru bangun pagi dan menyaksikan infotainment

Berkantor di Palagimata


DI sinilah, kantor baru tempat saya akan memulai hari. Kantor ini terletak di atas sebuah bukit yang disebut Palagimata atau sejauh mata memandang. Saya selalu canggung memulai sesuatu. Saya seorang pemalu. Tapi saya harus tetap memulai aktivitas berkantor. Saya harus ikhlas menerima kewajiban untuk selalu datang ke kantor ini setiap hari. Saya mesti menerima semua kewajiban itu dengan pikiran yang jernih bahwa di sinilah semuanya akan dimulai. Saya mesti menerima apa yang ada di depan mata sebagai tanggungjawab sejarah yang mesti ditunaikan. Dan semoga sejarah kelak mencatat hari ini tidak dengan tinta merah. Amin.(*)

Haroa Penolak Bala

BAGI orang Buton, haroa bukanlah cuma untuk memperingati hari-hari besar keagamaan. Haroa bisa juga digelar untuk menyatakan syukur, memenuhi hajat, menolak bala, serta memberi makan arwah (sumanga). Sebelumnya, saya juga prnah menulis tentang haroa DI SINI.

Hari ini, sebuah ritual haroa digelar di rumah untuk menyatakan syukur atas semua nikmat Tuhan, serta menolak semua bala (bencana) yang setiap saat bisa datang. Sebagaimana haroa lainnya, ritualnya hamper sama. Tetap saja ada talang yang berisi nasi dan aneka kue tradisional, serta asap membumbung dari sebuah dupa yang mengiringi pembacaan kalam Ilahi. Kelak, saya akan tetap melanjutkan tradisi haroa ini.


Selamat buat Sahabat

Teriring ucapan selamat buat sahabat terkasih, anggota Respect, yang telah menempuh hidup bahagia bersama kekasihnya. Semoga pernikahannya bisa langgeng sampai kakek-nenek. Semoga bahagia menjadi kawan seiring perjalanan kalian. Kami, sahabat-sahabatmu di respect akan selalu mendukungmu, akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian. Selamat!

Inspirasi dari Biksu Ajahn Brahm


SELAMA beberapa hari ini saya selalu terngiang-ngiang dengan kisah yang dituturkan seorang bisksu, Ajahn Brahm. Sedemikian menyentuhnya kisah itu hingga membuat saya berpikir selama beberapa hari. Dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, ia bercerita tentang sebuah tembok bata yang disusunnya. Ia menyusun dengan amat rapi 100 batu bata, namun ia sempat lengah tatkala ada dua buah bata yang posisinya miring.

Setiap Brahm melihat tembok itu, ia akan sakit hati saat menyadari dua bata yang miring itu. Selama tiga bulan, ia didera rasa bersalah atas dua bata miring itu hingga beberapa kali ia ingin menghancurkan tembok. Hingga suatu hari, ada seseorang yang memuji tembok tersebut. Brahm tersentak. “Apa Anda tidak lihat ada dua bata yang miring” tanya Brahm. Seseorang itu hanya tersenyum, lalu menjawab, “Ya, saya bisa melihat 2 bata yang jelek, namun saya juga melihat 998 batu bata yang bagus posisinya.”

Brahm tertegun. Untuk pertamakalinya ia menyaksikan 998 batu bata lain yang sempurna. Ternyata, selama ini ia hanya focus melihat dua bata tersebut, dan mengabaikan batu bata yang lain. Selama ini ia kesal setiap melihat tembok itu. Ternyata ada seseorang yang menyentak kesadarannya dan mengatakan bahwa tembok itu menjadi sangat indah, justru karena ada dua bata yang tidak sempurna.

Hikmah yang saya petik dari kisah ini adalah kebanyakan kita hanya focus pada sesuatu yang jelek-jelek saja. Kita jadi mudah depresi karena selalu berkutat dengan ketidaksempurnaan atau kesalahan yang pernah kita lakukan. “Kita hanya focus pada kekeliruan yang pernah kita buat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan. Padahal, ada jauh lebih banyak kebaikan pada diri kita. Jika kita bisa mengingat semua kebaikan itu dan berdamai dengan kesalahan, maka kita akan menikmati hidup dengan indah,” kata Brahm.

Selama beberapa hari, saya merenungi kalimat Brahm. Ini adalah soal cara memandang sesuatu. Kita menamakannya perspektif. Banyak di antara kita yang selalu melihat dari perspektif yang negatif atas diri kita sendiri. Makanya banyak di antara kita yang hidup dalam nestapa. Banyak di antara kita yang hidup dalam kesedihan. Kita selalu khawatir. Kita mudah ketakutan atas sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran kita.

Padahal, dengan cara mengubah perspektif, kita lebih bisa menikmati hidup dalam setiap inchi tarikan napas kita. Kita lebih bisa menikmati hidup yang sedang kita jalani, tanpa harus didera rasa bersalah. Mungkin ada baiknya kita belajar pada mereka-mereka yang lepas dari rasa bersalah yang berlebihan. Mereka-mereka yang menikmati hidup sebagai anugrah yang indah.

Terimakasih Ajahn Brahm

Tips Bandara Betoambari

INI tips bagi yang hendak menumpang pesawat ke Bau-Bau. Sebaiknya jangan menitip bagasi. Sebab Bandara Betoambari di Bau-Bau, belum memiliki system bagasi yang memadai. Ketika pesawat mendarat, bagasi itu akan diturunkan ke dalam gerobak, kemudian didorong hingga terminal penumpang. Jangan berharap seperti bandara lain, di mana Anda tinggal duduk manis di terminal penumpang, kemudian tas Anda akan melewati ‘lantai berjalan.’


Di Bau-Bau, Anda hanya bisa berteduh di terminal penumpang, sambil menunggu gerobak yang membawa bagasi Anda. Ketika gerobak itu datang, bagasi Anda akan diletakkan begitu saja ke jalan raya dan Anda harus mencarinya di antara demikian banyak barang. Susahnya lagi karena gerobak itu kecil sehingga butuh tiga kali bolak-balik untuk menurunkan semua barang. Betapa lamanya menunggu bagasi sendiri.

Jadi, sebaiknya jangan bawa titip bagasi. Kalau bisa ditenteng, tenteng saja!