Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Arung Palakka, Sang Jagoan Batavia


JAUH sebelum menaklukan Sultan Hasanuddin di Selat Buton, Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.

Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.

Aku menemukan nama Arung Palakka saat membaca sebuah arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Barusan, aku juga membaca sebuah novel yang berisikan data sejarah tentang Batavia di masa silam dengan sejarah kelam yang membuat bulu kuduk bergidik. Selama beberapa hari ini, sejarah Batavia seakan berpusar terus di benakku. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.

Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.

Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.

Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.

Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.

Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.

Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.

Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.(*)


Betawi, Petasan, dan Kembang Api


AKU melewatkan Lebaran bersama dua sahabatku yaitu Adi Katak dan Bulla di kawasan Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur. Di rumah yang cukup besar dan terdiri atas dua lantai ini, kami melewatkan Lebaran dengan penuh kesederhanaan. Kami tak pernah sunyi sebab Bulla punya anak semata wayang bernama Ali, yang baru berusia satu tahun. Anak ini sedang lucu-lucunya, sehingga kami begitu bahagia mendengar celoteh kecilnya.

Sejak awal puasa hingga malam Lebaran, suasana di sekitar rumah selalu saja gaduh. Dentuman petasan dan kembang api bersahut-sahutan sehingga menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Semua warga seakan-akan berlumba-lumba membeli petasan dan kembang api, kemudian membunyikannya keras-keras di malam hari. Jika ada kembang api besar yang meluncur ke langit dan cahayanya memecah, maka semua warga langsung bertepuk tangan dan berdecak kagum. Suasana langsung heboh. Aku menyaksikan kegembiraan itu tidak cuma milik anak kecil, yang saban sore sudah mulai menunggu saat gelap sambil menenteng kembang api. Namun, kegembiraan itu justru lebih banyak dinikmati orang dewasa. Dalam catatanku, “pesta“ itu tidak hanya milik warga Utan Kayu, melainkan juga ada di semua sudut Jakarta hingga Kota Depok.

Ini fenomena yang menarik dan selalu kuperhatikan. Istri Bulla, Irma, pernah bertanya padaku, apakah petasan merupakan tradisi orang Betawi? Aku sempat termenung. Jika diamati, beberapa ritual budaya Betawi, selalu saja melibatkan bunyi yang memekakkan telinga dari petasan. Tak percaya? Datang saja di acara perkawinan atau kondangan di satu rumah. Selalu saja akan menemukan “sambutan“ berupa petasan yang dibunyikan dengan keras. Betawi identik dengan ondel-ondel dan bunyi petasan. Mungkin, dua unsur itu yang tersisa sebagai jejak kebudayaan Betawi yang perlahan-lahan mulai tersaput modernisasi.

Jika ditelusuri, petasan dan kembang api merupakan tradisi yang berakar dari kebudayaan Cina. Tradisi ini masuk dalam kebudayaan Betawi sebab dibawa oleh warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jakarta. Unsur kebudayaan Cina ini menjadi elemen utama yang menyusun rancang bangun kebudayaan Betawi. Asumsinya adalah kebudayaan Betawi tidaklah statis, melainkan selalu dinamis dan berkembang sepanjang waktu. Ia menyerap berbagai unsur budaya baik lokal maupun global dan mengolahnya menjadi bagian dari tradisi. Betawi adalah sebuah ruang ekletisme kebudayaan. Sebuah ruang di mana semua budaya hadir dan melakukan negosiasi maupun kontestasi kekuasaan. Kebudayaan Betawi adalah potret dari sebuah diskursus yang berhasil menjadi dominan dan meminggirkan diskursus lain, atau dapat pula dikatakan lahir dari serpih-serpih dari berbagai diskursus hingga menjadi diskursus baru yang maknanya lepas dari asalnya. Itu bisa dilihat dengan mengamati fenomena kembang api dan petasan.

Sejarah mencatat: petasan dan kembang api bermula di Cina pada abad ke-11, dan selanjutnya menyebar ke jazirah Arabia pada abad ke-13, kemudian ke negara-negara Eropa. Orang Cina menemukan bubuk mesiu yang merupakan campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal, yang jika digabungkan dengan oksigen, akan menimbulkan ledakan dan cahaya yang menyembur. Meskipun dalam perkembangannya, bubuk mesiu lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer, namun pada abad ke-17, bubuk mesiu ini mulai digunakan untuk kepentingan entertainment yang mengiringi sebuah pementasan.

Hingga kini, orang Arab menyebut kembang api sebagai Panah Cina (The China Arrow) sesuai nama asalnya. Menurut beberapa literatur Cina, bubuk mesiu pertamakali ditemukan pada masa Dinasti Sung (960-1279). Bahkan, mesiu sudah digunakan dalam peperangan ketika Cina hendak menghadang ekspansi bangsa Mongol yang dipimpin Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1279. Para sejarawan menyepakati ekspansi Mongol ini menjadi babakan penting dalam mengenalkan mesiu ke dunia Eropa melalui tangan bangsa Mongol. Saat inilah, mesiu mulai mengalami penyempurnaan hingga masuk ke Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-17.

Kembali ke kebudayaan Betawi. Rasanya, hampir pasti kalau orang Cina yang membawa tradisi ini dalam tradisi orang Betawi. Sejarah orang Cina di Batavia (nama yang diberikan oleh Belanda), sangatlah masyhur. Sejak dulu, Belanda memposisikan orang Cina memiliki kelas yang berbeda dengan pribumi. Tidak heran kalau mereka punya posisi penting dan punya akses yang lebih luas ketimbang pribumi. Mereka punya kesempatan untuk mengincar proyek besar dan memperkaya dirinya sendiri.

Dalam studi yang dibuat Leonard Blusse, hubungan Cina dan Belanda menyimpan misteri kehidupan tersendiri. Blusse mengungkapkan misteri mereka dengan istilah "persekutuan aneh". Istilah itu sebenarnya tidak sekadar menyiratkan arti harafiah hubungan-tubuh dua kelompok, melainkan adalah bagian kegagalan rencana kolonisasi Belanda. Semula politik pendudukan Batavia dengan memenuhi pemukim-pemukim kulit putih, keluarga-keluarga Belanda. Rencana ini tidak berhasil karena problem reproduksi, di mana keluarga sesama Belanda sulit membuahkan keturunan. Kegagalan bertubi-tubi itu ditebus dengan cara pendahulunya Portugis dengan perempuan pribuminya. Namun, Belanda lebih sedikit mengambil perempuan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda lebih memilih rekanan bisnis yang dekat, yaitu orang-orang Cina. Maka, terjadilah apa yang disebut sebuah "persekutuan aneh" itu.

Sayang, sejarah juga mencatat dengan penuh sedu sedan, kalau di tahun 1740, terjadi pembantaian 10.000 orang Cina yang tak berdosa di Ommelanden, daerah pinggiran/pedalaman Batavia. Korban tak berdosa itu bagian dari usaha orang-orang China membebaskan Batavia dari tirani Pemerintah Hindia Belanda. Ini tak pernah dicatat pada buku sejarah bangsa dan bahkan terlupakan dalam sejarah masyarakat Indonesia.(*)


Puasa dan Embun Spiritualitas


LEBARAN datang juga. Puasa digenapkan. Aku berhasil melewati seluruh ujian puasa, tanpa batal. Namun, untuk persoalan ibadah shalat, jujur kuakui masih bolong. Namun, setidaknya, aku sudah berusaha membasahi nurani ini dengan embun spiritualitas. Mencoba menetesi dahaga religius dengan puasa dan kalam Ilahi. Aku sama sekali tak merasakan lapar. Kelaparan bukanlah hal yang luar biasa bagiku. Aku sudah terlampau perkasa untuk merasai cobaan bernama lapar. Bagiku, lapar adalah bagian dari riak kecil yang menggelora dalam baris-baris perjalanan hidupku. Sesuatu yang tidak lagi menjadi kejutan.

Di bulan ini, aku senantiasa membaca doa-doa yang kerap didengungkan Imam Ali yaitu Kumayl, Jausyan Kabir, hingga Tawassul. Ketiga doa yang berasal dari khasanah tradisi ahlul bayt ini kuharapkan bisa membuka pintu rezeki dan takdir bagiku. Doa ini menimbulkan optimisme untuk berusaha dan bekerja. Namun, doa ini juga membangkitkan ketakutan dan horor. Pernah satu malam, aku begitu tergetar saat membaca Jausyan Kabir. Aku mengalami kepasrahan serta ketakutan yang berkelindan dan menghantui pikiran seluruh elemen sarafku. Tiba-tiba, aku takut dengan semua dosa yang telah berkarat di dalam jiwaku. Aku bergidik bila mengingat timbunan dan daftar dosa yang terus bertambah. Di tengah, rasa ketakutan itu, aku melafalkan sebaris harapan, “Ya Allah, aku takut azab-Mu. Tapi tubuh ini terus saja menambah daftar azab yang bakal kau timpakan padaku. Terus saja mengotori bumi-Mu dengan dosa. Tolonglah aku......“

Setiap puasa, aku selalu ingat mama di kampung. Ia melihat Ramadhan sebagai pelecut semangat ibadah. Ramadhan menjadi sumber energi yang memompa seluruh gairah serta hasratnya untuk berdoa dan membangun tangga menuju langit. Ramadhan, baginya, bukan sekedar seremoni atau perayaan ibadah seperti yang dipamerkan televisi dan pamflet di mal. Mama melihat Ramadhan sebagai momen kesunyian dan menenggelamkan diri dalam syair Ilahi. Ia akan berjarak dengan dunia sosial dan tak lalai beribadah. Aku suka cemburu melihat mama berusaha menggapai kasih Allah.

Minggu terakhir puasa, aku sempat menelepon mama. Ia bilang: tinggal empat juz lagi, maka ia akan khatam Qur’an hingga ketiga kalinya. Aku memuji mamaku atas usahanya yang dahsyat untuk mengisi bulan ini. Di saat bersamaan, aku serasa ingin menampar wajahku sendiri sebagai tanda rasa maluku yang dalam karena sebagai anaknya, aku tak mampu mencapai sejumput saja dari pencapaiannya. Aku malu karena seakan hanya berjalan di tepi pantai pencarian makna, sementara mamaku sudah menyelam pada samudera makna spiritualitas yang dalam. Aku ingin menuju ke situ, namun entah kenapa, kakiku begitu malas bergerak. Ada sesuatu yang menggelayut kakiku hingga berat untuk kulangkahkan.

Ah, setidaknya aku sudah berusaha dengan caraku sendiri dan selanjutnya, Allah yang akan menilainya. Kalimat “sudah berusaha“ ini selalu saja menjadi pleidoi dari kemalasan yang terus mendera setiap jejak langkahku. Ah, aku malu.


Susahnya Tes TOEFL

TERNYATA menjalani Test Of English Foreign Language (TOEFL) itu tidak semudah yang kubayangkan. Aku menjalani test itu di Gedung EEC yang terletak di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Saat menjalani test, aku ditemani temanku Topan, yang begitu setia menungguku hingga usai (thanks Topan).

Dalam tes ini, aku diharuskan menjawab soal hingga 100 nomor. Soal itu terbagi dalam empat bagian yaitu Listening, Writing & Comprehension, Structure, hingga Reading. Pada bagian Listening, aku disuruh memakai headset dan mendengarkan pembicaraan di situ. Melalui pembicaraan itu, ada sejumlah tes atau pertanyaan yang kemudian diajukan. Pada bagian inilah aku mengalami kesulitan.

Bagiku, pembicaraannya terlalu cepat sehingga sukar untuk kucerna semua dialog tersebut. Aku tak tahu bagaimana hasilnya, Cuma kayaknya perlu bekerja keras agar bisa mendapatkan score yang lebih baik.


Melihat Langsung Hibridisasi Islam

1 Oktober 2007


SELAMA bulan puasa kali ini, aku selalu menyempatkan waktu untuk berbuka puasa di masjid Kukusan, Depok. Biasanya, jamaah yang berbuka puasa di masjid ini cukup banyak, sebab terletak di tengah-tengah kawasan kos mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Hal lain yang membuat masjid ini selalu ramai adalah selalu disajikan makanan buka puasa. Meski jumlahnya tidak banyak, namun selalu rutin, mulai dari kolak pisang, hingga beragam kue. Untuk minum, selalu disediakan es lemon atau teh manis.

Kemarin, ada sesuatu yang baru. Saat memasuki masjid Kukusan, aku menyaksikan ada sejumlah pria asing yang datang dengan mengenakan baju gamis memanjang hingga mata kakinya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata mereka adalah pria dari kelompok Jamaah Tablig asal India, yang beberapa di antaranya sudah pernah datang ke kamarku. Rata-rata berhidung mancung dan memelihara jenggot yang memenuhi pangkal dagunya. Beberapa di antara mereka berusia lanjut. Itu terlihat dari jenggot yang sudah memutih, hingga nampak seperti guru silat yang sakti mandraguna dalam beberapa film Indonesia jaman dulu. Bentuk songkoknya agak unik. Biasanya, songkok itu hanya berupa kain putih dan melingkari kepala, yang di kampungku lazim disebut songkok haji. Namun yang kusaksikan ini agak berbeda. Bentuknya berupa kain putih melingkar, namun kian runcing ke atas.

Rombongan yang berasal dari India itu duduk berbaur dengan jamaah yang rata-rata adalah mahasiswa di sekitar situ. Aku menyaksikan rombongan itu ditemani rekannya, sekitar enam orang anggota Jamaah Tablig asal Indonesia. Mereka inilah yang menjadi penghubung antara warga India itu dengan mahasiswa di situ.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana buka puasa kemarin, sungguh berbeda. Makanan yang biasanya pas-pasan untuk jamaah buka puasa, tiba-tiba membeludak. Kusaksikan beberapa nampan berisi semangka, pepaya, kurma, hingga beberapa kardus minuman teh kemasan gelas. Biasanya, menu buka puasa hanya berupa kue dan disajikan dengan sangat pas-pasan. Satu piring kue, akan dikerubuti sekitar lima orang mahasiswa. Namun kemarin, jumlah kue dan makanan sangatlah banyak. Menurut seorang remaja masjid, jamaah India itu yang menyediakan demikian banyak makanan. Pantas saja, kalau jumlah makanan menjadi banyak.

Hingga saat buka puasa, semuanya berjalan biasa-biasa saja. Waktu berbuka puasa bagi mereka, sama saja dengan waktu berbuka kami di masjid. Usai berbuka, rombongan dari India itu langsung masuk masjid. Mereka semua mengambil tempat di belakang imam sambil berzikir. Saat semua jamaah masuk masjid, ada jeda yang cukup panjang bagi imam untuk memasuki masjid. Saat itu, imam tidak duduk di tempat yang semestinya, melainkan berbaur dengan jamaah yang ada di belakang. Usai salat sunat, ia menyilahkan salah seorang warga India itu untuk memimpin salat. Namun,

BELUM SELESAI.....

Mudik? Nggak Deh....

Selama dua hari ini, aku cuma menghabiskan waktu di kamar. Kampus mulai sepi karena sudah banyak mahasiswa yang pulang kampung. Aku belum ada rencana pulang. Selain karena ongkos tiket yang demikian mahal, aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar untuk membaca atau nonton film. Yah, menonton film bisa jadi alternatif untuk memperdalam kemampuan bahasa Inggris.

Minggu depan aku akan test TOEFL. Aku tak tahu apakah kelak bisa dapat point yang bagus atau tidak. Sebuah lembaga memintaku untuk test TOEFL sebagai syarat memasuki lembaga tersebut. Sebenarnya, aku tidak terlalu semangat untuk menjalani test. Namun, aku ingin mengambil kesempatan ikut test TOEFL sebab selama ini, aku tak tahu seberapa jauh pencapaianku.

Hati, Logika, dan Mimpi......


Seorang kawan mengatakan,“ “Live with your heart. Let your heart leads your logic.” Pernyataan ini menarik untuk didiskusikan. Aku setuju dengan pertanyaan kalau hati akan memandu logika kita. Bagiku, hati laksana samudera bening yang di dalamnya terdapat nurani. Nurani selalu memberikan informasi pada manusia tentang dimensi etika yaitu perkara baik dan buruk.

Nurani selalu menyediakan jawaban nilai terhadap apapun yang dihadapi manusia. Sayangnya, kita sering mengabaikan dimensi hati atau nurani ini, dan sibuk menuruti apa kata hawa nafsu kita yang bersumber di perut. Kata Anand Khrisna, kita terlalu patuh pada keinginan perut dan tidak mau menuruti apa kata hati kita. Akibatnya, fisik kita hanya memanjang ke samping dan bukan ke atas. Maksudnya, tubuh yang memanjang ke samping hanya bertambah lemak, laksana hewan pengerat yang kian gemuk. Hewan itu bisa mengikuti hasratnya untuk pindah-pindah, namun tubuhnya begitu tambun dan gampang jatuh terseruduk. Bandingkan dengan sebatang pohon, yang statis di satu tempat, namun tumbuh ke atas dan akarnya menghujam ke bumi. Mungkin, analogi pohon inilah, prototipe dari manusia yang punya karakter

Selanjutnya, kawan itu mengatakan “Mimpi yang susah diwujudkan, kecuali dengan greater effort.“ Nah, inilah letak masalahnya. Impian yang begitu tinggi, bisa menjadi motivasi besar sekaligus penjara bagi manusia. Seakan-akan ada rasa tidak puas bagi diri kita sehingga memancangkan mimpi yang begitu tinggi. Sehingga, kita kehilangan momen-momen penting di mana kita bisa mengecap kebahagiaan. Mereka yang mengejar mimpi dan bahagia, ibarat ikan yang selalu mencari air, padahal air itu selalu melingkupinya. Mungkin benar juga kata Gandhi, mimpi itu bisa menjadi sumber petaka ketika kita tak mampu untuk menggapainya.

Namun, dia bisa bermakna positif jika itu dilihat sebagai cita-cita yang ingin digapai bersama. Tak perlu greater effort. Namun, kita cukup membuat perencanaan yang matang. Kita harus membuat rencana dan upaya yang realistis sesuai kemmapuan kita. Nggak usah terlalu dipaksain. Namun, yakinlah kalau realitas (kenyataan) bisa kita prediksi tahapan-tahapannya. Dan yang paling penting adalah kita tidak tetap bahagia dan tidak boleh kehilangan momen-momen indah dari kerja keras kita.

So, tetep ada hubungan antara mimpi, logika dan hati. Logika akan menuntun kita untuk menerawang menuju impian. Selanjutnya, impian akan memotivasi kita untuk berupaya menggapai mimpi. Dan hati, akan selalu mengingatkan kita kalau-kalau kita melakukan sesuatu yang salah. Hati akan selalu menjaga kita untuk tetap berada di right way demi menggapai impian.


Ojek Sepeda Dihimpit Belantara Kota


PERTAMA kalinya aku naik ojek sepeda. Pengalaman itu cukup mengasyikkan. Ternyata, ada begitu banyak hal-hal yang sepele bagi sebagian orang, namun cukup mengasyikkan ketika dilakukan. Kesimpulan itu kudapat setelah hari ini aku menumpang ojek sepeda dan menempuh jarak sekitar dua kilometer, dari Stasiun Kota menuju Mal Mangga Dua di Jakarta Utara.

Sungguh!! Awalnya aku tidak terlalu tertarik. Entah kenapa, kemarin saat aku turun dari kereta di Stasiun Kota, tiba-tiba aku tertarik melihat barisan sepeda tua yang berjajar rapi di dekat stasiun. Hey!!! Jangan bayangkan sepeda itu berbentuk sepeda balap modern. Jangan pula bayangkan seperti sepeda listrik yang sering digunakan Jubir Presiden, Andi Mallarangeng, di sekitar istana. Semua bayangan itu keliru. Bentuk sepeda yang kunaiki itu agak kuno, seperti sepeda yang biasa digunakan pada tahun 1960-an. Sepeda itu berwarna hitam, memiliki lampu depan dan bisa dinyalakan dengan baterai atau dinamo. Waktu aku kecil di Pulau Buton, sepeda itu sangat populer dan sering kusaksikan. Kalau tak salah, warga kampung menyebutnya sepeda kumbang. Ada juga yang menamakannya sepeda unta, sebab bentuknya agak tinggi dan ketika dinaiki, kerap terdengar suara berderit-derit serta bergoyang. Kata orang kampungku, serasa mengendarai unta. Entah, apa mereka udah pernah naik unta.

Kini, sepeda kumbang itu menjadi barang langka yang jarang disaksikan di jalan-jalan utama kota. Sepeda itu seakan-akan kehabisan napas ketika bersaing dengan angkutan yang lebih modern seperti sepeda motor. Di kota Yogyakarta, sepeda justru menjadi alat transportasi utama dari pedesaan menuju kawasan urban atau perkotaan. Petani kerap membawa poduk hasil pertaniannya dengan sepeda untuk dijual ke kota. Namun di Kota Jakarta, sepeda hanya terlihat di jalan-jalan tertentu. Memang, belakangan ini ada kampanye di kalangan profesional untuk ke kantor dengan mengendarai sepeda. Tetapi tetap saja sepeda menjadi barang langka di tengah deru angkutan bermotor. Apalagi seepda kumbang.

Kelangkaan sepeda itu, menyebabkan pengalamanku naik ojek sepeda itu jadi hal yang sungguh mengasyikkan. Jika diperhatikan, sepeda yang dijadikan ojek ini sudah mengalami modifikasi berupa penambahan jok tipis seperti layaknya sepeda motor. Jadinya, penumpang sepeda akan merasa lebih nyaman. Tukang ojeknya sangat sopan ketika diajak bernegosiasi harga. Ia tidak menyebut angka tinggi-tinggi, melainkan menyebut harga standar dari Stasiun Kota ke Mangga Dua. ”Yah, cukup tiga ribu saja deh,“ katanya dengan sedikit memelas. Yup... murah banget!!! Aku langsung setuju dan menaiki bagian belakang.

Rata-rata tukang ojeknya berusia lanjut dan mengenakan kopiah. Meski sempat pula kulihat beberapa orang anak muda, namun jumlahnya tidak begitu banyak. Pantas saja jika gaya komunikasinya untuk mengajak calon penumpang terkesan adem-ayem dan tidak seheboh pengemudi angkutan umum atau ojek motor. Mereka hanya duduk saja dengan sepeda dan menunggu penumpang. Saat itu, aku berpikir kalau si tukang ojek itu agak minder dengan kenderaan lain. ”Bukannya minder Nak. Tapi, kita punya pelanggan tersendiri. Mereka yang rumahnya di gang-gang sono tuh,“ kata Bang Jali, tukang ojek sepeda yang kunaiki sembari menunjuk lorong-lorong di dekat stasiun.

Usut punya usut, ternyata Bang Jali sudah lebih dua puluh tahun menjalankan profesinya. Menurutnya, jumlah pengendara ojek sepeda kian menyusut sepanjang tahun sebab tidak banyak anak muda yang cukup percaya diri untuk menjalankan profesi itu. Pantas saja jika rata-rata tukang ojek sepeda sudah berusia lanjut. Namun, pria asli Betawi, yang kalau ngomong punya logat kayak Mandra ini, mengaku bangga dengan profesinya. ”Jelek-jelek gini, anak gue udah gue sekolahin berkat narik ojek sepeda,” katanya dengan penuh kebanggaan. Iya deh......

Mengacu pada beberapa referensi, penemu sepeda tidaklah satu orang, namun disempurnakan oleh banyak orang. Jika harus merunut inspirasi lahirnya sejarah sepeda, maka bisa dilacak sejak seniman kondang Leonardo Da Vinci menggambar sketsa lukisan sepeda dengan roda dua, di mana satu rodanya agak besar, sedang yang lainnya lebih kecil. Beberapa tokoh lain yang terkenal sebagai penemu sepeda adalah Comte de Sivrac yang mengendarai sepeda buatannya –yang diberi nama Velocifere-- di Paris tahun 1791. Kemudian Karl Friedrich Christian Ludwig di Jerman tahun 1817. Sayangnya, bentuk sepeda mereka sangatlah sederhana. Konsep sepeda yang lebih modern justru dikembangkan pada tahun 1872 oleh James Starley di Inggris. Starley menciptakan pedal sehingga kecepatan sepedanya bisa ditambah. Ia menamakan sepedanya Ariel Highwheeler.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sepeda menjadi kenderaan paling populer di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Saat itu, sepeda menjadi kenderaan mewah yang identik dengan kaum bangsawan atau aristokrat baru. Meskipun saat itu industri sepeda motor mulai bangkit, namun popularitas sepeda justru tetap menjulang. Apalagi di tahun 1970-an, AS mengalami krisis energi, sehingga sepeda tetap menjadi primadona sebab tidak menelan biaya besar untuk energi.

Sejarah sepeda di Indonesia, bermula sejak masa kolonialisme Belanda. Dibukanya begitu banyak perkebunan serta kota-kota modern, membuat pemerintah kolonial Belanda memikirkan satu solusi untuk mengatasi masalah transportasi. Saat itu, sepeda menjadi andalan untuk menaklukan jalan-jalan kota besar seperti Batavia ataupun Paris Van Java (Bandung). Pada zaman Belanda, sepeda menjadi transportasi yang digratiskan di Kota Bogor dan Depok. Maksudnya, pemerintah menyiapkan banyak sepeda di beberapa tempat khusus di jalan raya. Siapapun warga yang hendak menggunakan sepeda, tinggal memakainya saja dan nanti diletakkan lagi pada tempat parkir di tempat khusus di jalan raya. Saat itu, tak ada pencuri sepeda, sebab sepeda adalah barang langka, sehingga jika dicuri, pasti akan ketahuan. Sepeda juga menjadi kenderaan para mahasiswa bumiputera di beberapa sekolah Belanda. Beberapa tokoh seperti Soekarno, Sjahrir hingga Hatta juga menggunakan sepeda di jalan-jalan utama Jakarta.

Bahkan, Soekarno kerap dikisahkan suka mengendarai sepeda dengan kencang, sebagaimana kencangnya sepeda yang dikayuh tukang ojek yang kunaiki ini. Kalau persoalan ini, aku angkat topi. Meski tua, namun persoalan kegesitan, pantas diacungi jempol. Bayangkan saja, Bang Jali ini begitu lihai menjalankan sepeda di tengah-tengah lalu lintas kenderaan bermotor. Di saat hendak menikung, ia menoleh dulu ke belakang --sebab tak punya spion—kemudian berbelok secara tajam. Ciittt!!!! Awas!!! Ada suara keras. Aku tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Bunyi ban mobil berdecit nyaring, tepat di belakang sepeda yang kukendarai. Pengemudi mobil itu menggerutu saat memandang ke arah kami. Ia nyaris menabrak kami. Namun, Bang Jali hanya nyengir saja. Hey.... wajahku pucat pasi.

Depok, 4 Oktober 2007

Pukul 17.31 (jelang buka puasa)


Ketika Biksu Menantang Senjata....


ANDAI kita ada di Myanmar. Kita akan menyaksikan ribuan biksu berjalan beriringan sambil meneriakkan pekik kebebasan. Kita akan menyaksikan sebuah parade dan ikhtiar kedamaian yang hendak terbang tinggi dan lepas bagai merpati. Di tengah terik matahari yang memanggang, biksu itu laksana lautan air bah berbaris rapi sambil mendengungkan seruan damai. Di hadapan senjata dengan laras panjang dan siap memuntahkan peluru, biksu seakan tak kenal takut dan siap meregang nyawa. Amitabha….

Sepekan ini, aku benar-benar takjub melihat keberanian para biksu itu. Mereka bergerak dengan hanya mengenakan selembar kain berwarna merah dan membelah arus utama kota Yangoon. Kepala mereka botak. Matanya menatap lurus kedepan. Ada keteduhan sekaligus keberanian memancar di situ. Keteduhan sebagaimana yang dipancarkan Siddharta Gautama, puluhan tahun silam, ketika tubuhnya membiaskan cahaya pencerahan. Keberanian sebagaimana telah dipancarkan para biksu yang banyak menjadi martir untuk sebuah jalan terang: jalan pencerahan, jalan nirwana.

Aku pernah sekali menyaksikan iring-iringan para biksu. Mereka kulihat beriringan di dekat Candi Borobudhur sebagai bentuk ritual menjelang hari Waishak. Tubuh mereka dipanggang terik matahari dan hanya berselempangkan kain merah. Mereka memegang rantai tasbih dengan batu yang berukuran lebih besar dari yang dipunyai orang Islam. Mereka berjalan sambil merapal doa tertentu dengan bibir bergetar.

Namun pemandangan di Myanmar sangatlah berbeda dengan itu. Di sana, ada keberanian serta harapan yang menjulang tinggi. Mungkin yang lain akan melihatnya sebagai perkara biasa, namun tidak bagiku. Ini bukannya Islam, yang punya tradisi pekik radikalisme serta keberanian memasang bom di tubuh kemudian meledakkannya hingga tubuh berkeping-keping demi melapangkan jalan ke surga. Ini juga bukan Kristen yang membasahi kanvas sejarah dengan kisah pertarungan yang begitu heroik demi membendung Islam di ajang Perang Salib. Baik Islam maupun Kristen sama-sama punya kisah tentang peperangan besar dan mencatat sejumlah pahlawan besar dari setiap denyut peperangan. Keduanya sama berkeyakinan kalau kematian adalah jalan terbaik untuk menggapai Tuhan yang kokoh berada di alam lain.

Tapi ini adalah Budha, yang begitu teduh dan memancarkan sorot mata penuh kasih sayang. Sejarah umat Budha adalah sejarah yang ditorehkan dengan penuh cinta kasih dan kehati-hatian. Budha adalah prototipe hidup dari manusia sempurna yang sanggup meruntuhkan bangunan hawa nafsu demi mencapai ketenangan. Amarah laksana banteng liar yang harus ditundukkan. Seiring dengan itu, sebuah jalan menuju bahagia seakan terbentang dan Sang Budha menitinya dengan penuh ketenangan.

Aku tak pernah mendengar para biksu ikut dalam berbagai peperangan besar. Paling jauh, hanyalah kisah para biksu dalam film Hongkong yang menguasai bela diri sebagaimana biksu kuil Shaolin. Tak pernah kubaca kisah para biksu yang berada di tengah gemuruh dan dentum sebuah peperangan. Jalan yang ditempuh Budha adalah jalan penuh kata damai. Aku juga tak pernah mendengar ada biksu yang mendirikan partai politik atau organisasi massa terbesar. Paling jauh hanyalah kisah Dalai Lama yang berani menentang rezim komunis di Cina demi menegaskan eksistensi Tibet sebagai kota penuh spiritualitas yang harus dikelola dengan cara berbeda. Namun, tak pernah ada episode di mana pemimpin spiritual itu mengangkat senjata dan menempuh perjuangan bersenjata. Ia tak pernah menyatakan makar atau kudeta demi menjadi pemimpin yang duduk di singgasana bagai raja. Semua jejak langkahnya adalah jejak kedamaian dan tetap dalam titian sang Budha yaitu menghindari hawa nafsu dan kekerasan.

Tak pernah pula kudengar ada biksu yang menjadi anggota dewan atas nama umat Budha. Biksu adalah mahluk yang selalu menjauhkan diri dari segala tetek-bengek politik. Bahkan tak ada biksu yang berdemonstrasi sambil mengutuk organisasi lain. Bagiku, semua biksu dan penganut Budha adalah mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mencapai ketenangan. Mereka yang berikhtiar untuk menggapai Nirwana dan hidup tenang sembari menaklukan amarah dan hawa nafsu.

Namun, biksu di Myanmar, telah membenturkanku dengan realitas kalau kesabaran para biksu itu selalu saja ada batasnya. Berada di tempat aman, namun selalu menyaksikan penindasan dan pemberangusan kebebasan, bukanlah pilihan yang menyenangkan. Jika belakangan ini para biksu berani keluar dari persemayamannya di kuil-kuil, maka tentu saja ada satu perkara besar yang harus diperjuangkan. Perkara besar itu jelas terkait dengan nasib orang banyak yang selama ini ditindas. Mereka keluar dengan damai. Melalui iring-iringan yang panjang itu, mereka hanya ingin meneriakkan pada dunia akan indahknya kebebasan. Mereka berani karena didorong oleh semangat: bahwa Budha selalu bersama setiap langkah kaki mereka......

Dikunjungi Orang Urdu



MESTINYA hari ini, aku pergi buka puasa dengan teman-teman sesama warga Makassar perantauan di Jakarta. Namun, tiba-tiba temanku Eka Sastra membatalkan rencana buka puasa bersama. Ia mengatakan,”Mas Yus, saya minta maaf karena membatalkan buka puasa hari ini. Ada buka puasa bersama di rumah Wapres Jusuf Kalla yang digelar DPP Golkar. Saya takut tidak datang karena nanti dituduh tidak loyal. Hehehe.”

Ah, Eka. Sekian tahun kita menjadi sahabat, ternyata segala pertimbangan politik telah meruntuhkan segala persahabatan yang pernah dibangun. Ketika ada janji dengan politisi atau ada kegiatan politik, maka seluruh bangunan pertemanan akan mudah dinafikan. Mungkin inilah ironi atau pilihan untuk menekuni dunia politik. Ikatan pertemanan menjadi mudah dilepaskan ketika ada kepentingan yang lebih besar. Mungkin betul juga kata Adi, kita terkadang gampang sekali kagum melihat mereka yang punya duit serta kekuasaan besar. Kita jarang kagum kalau melihat mereka yang hidup pas-pasan, namun memiliki intelektualitas yang tercerahkan. Itulah ironi dunia.

Karena tak ada rencana buka puasa, aku akhirnya memilih bertahan di kamar saja. Aku hanya bisa membaca dan mengetik tulisan untuk blog ini. Di saat aku hendak menuntaskan paragraf di atas, tiba-tiba kudengar ada yang mngetuk pintu kamarku. Aku membuka pintu, dan di depan kamarku ada sekitar enam orang pria yang memakai baju gamis panjang dan mengenakan topi kain yang dipakai untuk shalat. Mereka sama-sama mengenakan sarung, dan aku mengenali kalau mereka memakai dandanan khas penganut Jamaah Tablig. Mereka memberi salam dan bertanya apakah aku seorang Muslim.

Setelah aku mengiyakan, seorang di antaranya lalu memperkenalkan rekannya yang berasal dari India. Ternyata, di situ ada dua orang yang wajahnya agak berbeda. Dua orang itu memelihara jenggot yang panjang, kemudian di dahinya ada dua lingkaran berwarna hitam, sebagaimana yang sering dimiliki mereka yang rajin shalat. Aku lalu menyapa warga India itu dengan bahasa Inggris, namun ternyata ia tak pandai dan hanya menggelengkan kepala. Seorang di antaranya lalu mengatakan kalau temannya itu tak bisa bahasa Inggris, hanya bisa bahasa Urdu. Aku lalu terdiam. Si orang India itu lalu melontarkan beberapa nasehat yang intinya untuk perbanyak amal dan selalu mengingat kematian.

Dulu, sewaktu di Makassar, aku selalu menghindari penganut Tablig yang datang di rumah. Mereka memang sedang berdakwah, namun cara mendatangi setiap rumah itu kuanggap kurang simpatik. Aku juga merasa kurang cocok dengan sikap hidup mereka yang meninggalkan duniawi demi menggapai akhirat. Bagiku, itu semacam pelarian begitu saja dari masalah. Namun, aku selalu berpikir, jangan-jangan mereka bahagia dengan segala pilihannya. Bukankah, kebahagiaan sejati selalu didapatkan ketika seseorang berhasil mengerem keinginan dan mengendalikan nafsunya? Aku tak tahu persis jawabannya.

Yang kutahu, mereka melakukan itu dengan keyakinan kalau setiap orang mesti melakukan dakwah untuk mengingatkan umat Islam lainnya. Mereka meyakini, dakwah itu adalah kewajiban bagi setiap orang Muslim. Pernah pula kudengar seorang penganut Tablig yang meninggalkan bayinya yang masih merah, demi melaksanakan kewajiban dakwah. Sikap ini kutentang habis-habisan sebab manusia juga butuh dunia dan melakukan sesuatu tidak hanya berbasis agama. Bukankah mencintai anak kita yang baru lahir adalah bagian dari agama?

Yang kusaluti dari kelompok ini adalah mereka punya vitalitas yang besar untuk membangun gerakan sosial. Di banding kaum kiri yang mengklaim dirinya selalu membasis, para penganut tablig justru memiliki kontribusi yang jauh lebih besar dalam membangun networking dan jaringan hingga pelosok perkampungan. Mereka lebih mampu menyentuh grass root atau masyarakat akar rumput. Jika di lihat dari sisi ekonomi, mereka juga punya kemampuan untuk membangun basis ekonomi yang kokoh dan menjaga agar modal hanya begerak di kelompoknya dan tidak bergerak ke kelompok lain. Caranya adalah dengan membangun perkampungan Islami, di mana semua kebutuhan disediakan oleh anggota komunitas. Ada yang membuka toko, ada anggota jamaah yang bergelar dokter kemudian membuka praktek di situ. Ada juga yang berprofesi lain di situ. Prinsipnya adalah modal atau uang yang mereka miliki hanya berputar di kelompok itu, dan tidak berpindah ke kelompok lain. Dengan cara ini, mereka melawan hegemoni kapitalisme....

Membawa Sinisme dari Luar Negeri


PAMERAN pendidikan itu tak seberapa besar, sebagaimana yang kubayangkan. Bertempat di aula Pusat Studi Jepang, pameran itu hanya berisikan presentasi bea siswa serta pameran dari sekitar 10 lembaga pendidikan. Beberapa lembaga seperti IDP, DAAD, Ausaid, hingga Fullbright memamerkan lembaganya dan berharap banyak mahasiswa yang ikut seleksi bea siswa ke luar negeri.

Entah kenapa, menjadi mahasiswa kampus di luar negeri dirasakan sebagai sesuatu yang berbeda ketimbang dalam negeri. Ada banyak orang yang berduyun-duyun untuk mencoba peruntungannya, kalau-kalau bisa lulus seleksi beasiswa. Ada segudang harapan di situ, Mungkin saja ada yang berharap bisa lulus, kemudian ke luar negeri dan mendapatkan pengalaman yang menantang. Ada juga yang ingin mencari uang sebanyak-banyaknya dan kembali ke tanah air dan membeli rumah besar. Mungkin, ada juga yang ingin bisa dapat jodoh dan kelak punya anak berambut pirang. Hehehe.....

Hari ini, raut wajah penuh pengharapan itu kembali kusaksikan. Di ajang pameran itu, pikiranku terus merenung. Setiap tahun, ada begitu banyak mahasiswa Indonesia yang berangkat ke luar negeri demi mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Kepergian mereka didasari pandangan kalau pendidikan di tanah air tidak banyak diharapkan untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik.

Begitu banyaknya alumni universitas luar negeri yang kemudian menjadi dosen dan tenaga pengajar. Anehnya, mereka tidak juga sanggup menciptakan satu sistem pendidikan yang lebih manusiawi sebagaimana yang disaksikan di luar negeri. Selalu saja ada puja-puji pada berbagai kampus luar, namun selalu terdiam ketika ditodong oleh pertanyaan, mengapa ia tidak mampu menerapkan itu di kampus tanah air.

Artinya, pendidikan luar negeri hanya melahirkan satu bentuk sinisme pada apa yang terjadi di negeri sendiri, tanpa memberikan piranti yang cukup untuk membedah persoalan sekaligus mencarikan solusi yang paling mujarab untuk memperbaiki kondisi di tanah air. Barangkali, negeri ini butuh sejumlah sosok berkarakter yang punya visi besar untuk membangun sesuatu di negerinya.Bukan sekedar mereka yang silau melihat negeri asing, sembari malu mengakui negerinya sendiri. Mereka yang berani berbuat sesuatu untuk bangsanya......

Jadilah seperti Air

Yus, perubahan itu seperti air mengalir. Kita hanya bisa mengikuti riak arus yang sedang bergerak. Air tak pernah mengenal kata berhenti. Ia akan terus bergerak turun. Jika berhadapan dengan rintangan, maka ia akan meminggir dan mencari jalan lain. Air akan diam ketika ditampung dalam sebuah wadah. Barangkali, air dalam wadah adalah personbifikasi dari imajinasi kita yang diperangkap dalam sebuah visi atau obsesi. 

Obsesi

Beberapa saat lagi, aku akan pergi menyaksikan pameran pendidikan di luar negeri. Pameran ini diadakan di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, mulai hari ini hingga 6 Oktober mendatang. Aku berencana untuk menyaksikan presentasi beberapa lembaga penyedia beasiswa ke luar negeri seperti Ford, Ausaid, DAAD, dan banyak lagi. Teriring sebuah harapan, semoga di situ ada sesuatu yang kelak bisa mengubah hidupku di masa datang. Setidaknya, ada obsesi yang kurentangkan jauh-jauh agar langkahku bergerak maju ke depan. Selama dua tahun aku berada di kota besar ini, namun langkahku seakan berjalan di tempat, meskipun semuanya telah kurencanakan dengan matang. Namun, harus ada progress yang dikejar, agar tidak tergilas oleh umur yang kian menua serta perubahan dan gerak maju zaman.