Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Antara Buronan dan Polisi Cantik

polisi wanita di Amerika (ilustrasi Shutterstock)

SEBULAN lalu, seorang sahabat di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara, tewas akibat bacokan seorang preman tak dikenal. Seluruh warga kota tiba-tiba panik dan ketakutan untuk keluar rumah di malam hari. Belakangan ini, konflik antar geng menjadikan kota kecil kami menjadi amat menakutkan. Di kota kami, modus penyelesaian masalah seringkali dnegan cara saling menebas. Maka balas dendam laksana lingkaran yang terus berlanjut, tak berkesudahan. 

Seluruh warga berharap pada polisi, namun entah kenapa, polisi seakan-akan diam saja. Padahal semua orang ketakutan. Polisi hanya memberikan pernyataan pada media massa bahwa pelakunya akan ditemukan dan ditangkap. Di luar itu, tak ada upaya untuk mengatasi ketakutan dan trauma warga. Polisi hanya menunggu keajaiban, kalau-kalau sang pelaku didera rasa bersalah lalu menyerahan diri. Mungkin ada orang yang tiba-tiba mengaku salah dan rela divonis hingga 20 tahun penjara? Apa yang harus dilakukan warga selain ketakutan di rumah? 

Saya beruntung karena tidak sedang di Baubau, melainkan di kota kecil Athens, Ohio. Di sini, angka kriminalitas terbilang sangat kecil. Namun, selama beberapa hari ini, Athens dicekam ketakutan yang amat sangat. Seorang buronan, perampok bank, dikabarkan lepas dan berkeliaran di beberapa tempat. Ia dikhawatirkan akan menembak siapapun ketika penyakit panik menderanya. Warga ketakutan dan menutup pintu rumah di malam hari. 

Dalam keadaan seperti ini, pemerintah dan pihak kepolisian Athens lalu bergerak. Selain ada tim yang bertugas mengejar sang buronan, polisi juga menelepon seluruh warga kota dan memberi peringatan agar tidak berkelaran di areal tertentu. Jangan tanya dari mana polisi mengetahui nomor telepon semua warga, sebab seluruh nomor itu terregistrasi dalam catatan kepolisian dan pemerintah. 

foto buronan ini disebar di mana-mana
Sebagai warga asing di sini, telepon saya dihubungi hingga beberapa kali dalam semalam. Polisi menyampaikan pengumuman melalui mesin otomatis kalau ada buronan berkeliaran dan saya diminta hati-hati dan sebaiknya tidak keluar rumah. Tak hanya itu, mahasiswa di Athens, serta seluruh warga mendapatkan email dari pohak pemerintah dan kepolisian yang menginformasikan tentang buronan ini. Semua diminta waspada dan hati-hati kalau buronan itu bisa menyakiti warga. 

Bagi saya, ada dua respon berbeda atas kejadian yang sama-sama mencekam. Di Baubau, polisi tidak peduli dengan kepanikan publik atas peristiwa kriminal yang bisa mencekam setiap saat. Polisi –sebagai salah satu tangan-tangan negara—hanya fokus pada menangkap penjahat (ini masih asumsi kalau polisi benar bekerja). Sementara di sisi lain mereka tidak melakukan upaya-upaya untuk menyelesaikan ketakutan warga, mengobati segaa trauma dan kepanikan, serta memberikan terapi agar warga bisa segera melepaskan trauma sosial itu dan focus mengurusi ranah kegiatan masng-masing. 

Sementara di Athens, polisi benar-benar bekerja untuk mengatasi kepanikan warga, menjadi terapis yang rajin memberikan informasi agar warga tidak panik dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Mereka bukan hanya penangkap buronan, tapi juga pihak yang memberikan kekuatan bagi seluruh warga.


Terhadap dua kejadian ini, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya, pada saat apakah negara hadir dalam diri kita? Kapankah kita merasakan kehadiran negara dengan segala aparat-aparatnya?

Bagi saya, negara tidak hadir dalam diri setiap pegawai negeri di gedung-gedung pemerintahan yang saban hari bermalas-malasan dan menunggu gaji turun. Negara tidaklah berwujud tangan-tangan kekar yang memiliki kuasa dan pengaruh untuk mengatur warga, serta sesekali menjerumuskan warga ke dalam penjara hanya karena mencuri sandal atau sebutir kakao. Negara tidaklah hadir dalam wajah sejumlah pejabat yang selalu ingin disanjung dalam banyak kesempatan, lalu menilep uang rakyat. 

polisi-polisi cantik di Indonesia.
apakah negara hadir bersama wajah lembut mereka?

Bagi saya, negara adalah tangan-tangan lembut yang melindungi warga, mengatasi segala ketakutan, dan memberikan harapan bahwa segala masalah yang mendera akan segera teratasi. Negara punya fungsi untuk melindungi warga, menangkap siapapun yang menyakiti warga, serta memulihkan rasa percaya diri dan optimisme warga bahwa apapun masalah akan selalu bisa terselesaikan, sepanjang semuanya bisa bergenggam tangan dan saling melindungi. 

Apa yang saya lihat di Athens ini adalah keping pengalaman yang menyimpan butiran hikmah tentang tangan lembut negara yang mestinya bekerja di Baubau. Belakangan ini, saya sering membaca informasi tentang banyaknya polisi dan aparat cantik di Indonesia. Entah apakah ini demi mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi warga, ataukah untuk keperluan pencitraan dan strategi merebut perhatian konsumen.

Saya cuma berharap agar warga Baubau tidak terus dicekam kepanikan karena sesuatu yang setiap saat bisa mendera. Semoga negara –melalui aparat-aparatnya—bisa efektif bekerja dan menguatkan semua warga. Tentu saja, saya merindukan tangan lembut negara di kota kecil itu. Tangan-tangan lembut yang menenangkan warga. Bukannya sosok wanita cantik yang enak dipandang, tanpa melakukan apapun untuk melindungi warga kota.(*) 



Athens, 31 Januari 2012 
Saat merindukan Ara yang lagi di Baubau

Tanpa Latihan, Langsung Ikut Kompetisi Badminton

SEUMUR-umur, saya tak pernah memasuki lapangan badminton. Kalaupun pernah main badminton, maka itu hanya terjadi di masa kecil. Itupun hanya sebatas tepok bulu ayam dengan raket murahan. Tak pernah saya berniat untuk belajar olahraga ini, Apalagi jika sampai harus ikut pertandingan. Namun, tadi siang, tiba-tiba saja saya terpaksa ikut kompetisi badminton. Dan harus melawan pemain India. What? 

Sebulan ini saya cukup rutin berolahraga. Di malam hari, saya rajin ke Ping Center, pusat rekreasi dan kebugaran di kampus. Fasilitasnya sangat lengkap. Mulai dari Gym, lapangan voli, basket, beladiri, futsal, squash, hingga tebing buatan untuk arena panjat-panjatan. Tujuan saya berolahraga hanya untuk menjaga kebugaran. Maklumlah, beban sekolah mulai terasa berat. Tanpa olahraga, saya merasa badan ini selalu sakit-sakit. 

tanpa latihan, langsung bertanding

Saya menggemari dua cabang olahraga yakni badminton dan tenis meja. Dua-duanya menantang. Namun saya lebih suka badminton. Dikarenakan saya masih hijau di olahraga ini, saya selalu memilih teman tanding yang juga masih hijau alias junior. Saya tak ingin bertanding dengan yang udah jago dan berpotensi mempermainkan saya di lapangan. Saya memilih lawan tanding yang selevel. 

Sejak seminggu lalu, teman-teman di Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Amerika Serikat (Permias) Athens di Ohio University (OU) mempersiapkan turnamen badminton. Pesertanya adalah seluruh mahasiswa OU. Namun, entah kenapa, peminat olahraga ini kebanyakan dari Asia yakni dari Cina, Korea, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, hingga Bangladesh. Saya tak menemukan satupun nama mahasiswa asal Eropa yang ikut bermain. Padahal, kata teman-teman, juara tahun lalu adalah mahasiswa asal Jerman. 

spesialis pungut bola. hehehe

Tahun ini, saya kebagian tugas sebagai panitia. Tapi, saat tiba di Ping Center, saya melihat nama saya terdaftar untuk bermain di ganda putra bersama seorang sahabat asal Yogyakarta. Tadinya saya ingin menolak sebab khawatir akan mempermalukan diri sendiri. Tapi, saya melihat permainan beberapa cewek asal Cina juga biasa-biasa, malah agak parah. Makanya saya memberanikan diri untuk ikut bertanding. 

Seperti biasa, hasilnya bisa ditebak. Saya dan pasangan tersingkir di babak penyisihan. Tapi itu masih untung. Sebab kami masih bisa mencetak cukup banyak poin. Tak soal kalah dan menang, yang penting bisa meramaikan ajang tersebut. Iya khan?

teman-teman asal Cina dan Thailand yang jadi peserta kompetisi


Sebuah Buku untuk Prof Elizabeth Collins


saat menyerahkan buku ke Prof Elizabeth Collins
SELALU saja ada rasa bahagia ketika mempersembahkan sebuah karya. Dua tahun silam, saya dan sahabat-sahabat Respect di Baubau menerbitkan buku berjudul Naskah Buton, Naskah Dunia. Dua tahun silam, kami hanya menerbitkan buku, tanpa tahu hendak di bawa ke manakah karya setebal 500 halaman tersebut. Kami hanya ingin merekam jejak pemikiran tentang kampung kecil kami. Dua tahun silam, kami hanya berpikir bahwa takdir buku itu hanya dibaca di kampung kecil kami, menjadi konsumsi warga Buton yang sejak lama menginginkan bacaan tentang wilayahnya sendiri.

Saya amat bangga dengan semua sahabat di Respect. Kami adalah himpunan anak-anak muda yang punya sedikit kenekadan. Kami berpikir bahwa ada begitu banyak sarjana dan ilmuwan yang lahir di negeri ini, tapi justru tidak menghasilkan satupun karya. Kami tak ingin menambah panjang daftar para peneliti atau alumnus program pascasarjana yang hanya bisa menyebut banyak kutipan buku, tanpa benar-benar menghasilkan sesuatu. Maka dengan segala keterbatasan, kami membuat lembaga penerbitan, lalu menulis sesuatu dan mempublikasikannya di tengah kondisi serba terbatas dan tatap sinis banyak orang.

Jangan berpikir bahwa menulis buku itu mudah. Bagi saya justru tidak mudah. Bagian tersulit adalah bagaimana mengatur semangat untuk terus menulis di tengah cibiran banyak orang tentang kualitas, tentang hal-hal yang pamali, tentang sulitnya membuat buku. Saya dan teman-teman memilih untuk menerobos semua tantang itu. Bukan untuk narsis. Bukan pula untuk kebanggaan semu. Kami melakukannya untuk membuktikan pada diri kami bahwa kami bisa berbuat sesuatu. Maka lahirlah buku itu yang saat itu ditakdirkan hanya untuk beredar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Ternyata takdir buku itu lebih dari apa yang saya dan teman-teman rencanakan. Buku itu akhirnya ikut melanglangbuana ke Amerika Serikat, menjadi cenderamata yang saya persembahkan kepada Professor Elizabeth Collins, salah seorang pemerhati Indonesia yang ternama. Ibu Collins (kami warga Indonesia memanggilnya Ibu) adalah penyusun buku Indonesia Betrayed (telah diterjemahkan dengan judul Indonesia Dikhianati), buku yang menelanjangi praktik korporasi yang berselingkuh dnegan negara, dan menempatkan rayat kecil hanya sebagai catatan kaki dari proses pembangunan. Lebih bahagia lagi, karena Ibu Collins meminta saya untuk menandatangani buku itu. Bukankah ini amat membahagiakan?



saat buku itu dipajang di toko buku Gramedia

Tentu saja, kualitas buku kami sangatlah biasa. Anda bisa saja mencibir isinya, meremehkan kualitasnya, atau tidak bersepakat. Saya ingin mendiskusikannya dengan Prof Collins. Tapi tiba-tiba saya berpikir bahwa ketidaksepakatan dengan satu tulisan haruslah dijawab melalui tulisan pula. Ketidaksepakatan pada buku, mesti dijawab dengan buku pula. Para penulis dan pembuat buku adalah para pemberani yang bekerja untuk peradaban, merekam jejak-jejak pemikiran, serta mengabadikannya dalam ruang waktu. Apakah saya pemberani? Tentulah tidak. Saya hanya belajar untuk mengabadikan setiap butir pemikiran menjadi satu karya berharga yang bisa dipersembahkan kepada orang lain.(*)


Athens, 29 Januari 2012

Saat Dicium Cewek Amerika Latin

ilustrasi

SEBUT saja namanya Marimar. Ia mahasiswa pada satu program di Center for International Studies, Ohio University at Athens. Ia penggemar telenovela dan sedang menyusun tesis tentang itu. Makanya, ia cukup fasih menjelaskan tentang cultural studies dan reproduksi kelas dalam setiap tayangan telenovela. Kata seorang teman, Marimar berasal dari sebuah negara di sebelah selatan benua Amerika. Saya sendiri tak tahu persis, apakah Chile ataukah Uruguay.

Saya mengenalnya sejak pertama datang di Athens, Ohio. Mulanya kami cuma ngobrol biasa saja. Namun selanjutnya, kami mulai akrab. Mulai saat itu pula, saya mulai sengaja menghindarinya. Tahu apa alasan saya? Sebab dalam setiap pertemuan, ia akan menciumi saya di depan umum. Saya jadi amat malu di hadapan banyak orang, khususnya sahabat asal Indonesia. Bukan cuma malu karena dicium, juga malu karena diledekin. Dicium nih yeee..!

Inilah yang disebut relativisme kebudayaan. Apa yang disebut konsep-konsep dalam kebudayaan laksana karet gelang yang bisa ditarik ulur. Kita senantiasa melihat sesuatu berdasarkan cara pandang kita sendiri.

Filosof Thomas Kuhn mendefinisikannnya sebagai paradigma yakni cara-cara melihat sesuatu yang dipengaruhi latar sejarah, social, serta kebudayaan yang dianut seseorang. Bagi saya, yang terlahir penganut kebudayaan Indonesia, dicium di depan umum adalah sesuatu yang bisa mendatangkan malu dan rasa risih.

Bahkan dengan perempuan yang juga muhrim sekalipun, kita orang Indonesia mustahil melakukannya di depan umum. Selama di Indonesia, saya tidak pernah melihat seorang suami menciumi istrinya di hadapan banyak orang. Kita menganggap itu sebagai hal yang tak pantas. Kebudayaan kita telah mendefinisikan apa yang disebut pantas dan tidak pantas tersebut. Nah, bagaimanakah dengan mereka yang hidup dalam setting sosial yang berbeda dengan kita?

Bagi mereka yang hidup di Amerika Latin, tradisi berciuman di pipi adalah bagian dari keakraban. Saya sering melihat sahabat saya di kampus yakni Armando menciumi rekan sesama negaranya, dalam setiap perjumpaan. Mereka melakukan itu sebagai bukti persahabatan. Mereka tak risih, meskipun saya sering melihatnya dengan tatapan mata penuh pengharapan. (Apa saya juga bisa mencium? Ah, malu nanya kayak gini. Hehehe).

Bagi mereka, itu adalah tanda persahabatan sekaligus kehangatan. Mereka penganut budaya yang ekspresif dalam konteks menyatakan persahabatan atau kasih sayang. Ciuman menjadi bahasa simbolik yang mempertautkan mereka dengan orang lain, menjadi jejak bahwa di antara dua orang tersebut ada ikatan batin, ada saling keterhubungan, sekaligus ada suara kecupan, serta jejak-jejak di pipi kita yang bersemu saking malunya.

ilustrasi 2

Dalam sebuah literatur, saya menemukan data bahwa ciuman menjadi bahasa universal di banyak negara. Warga suku Maori di Selandia Baru memiliki salam "hongi" yakni "berbagi nafas." Setiap bertemu sahabat, mereka akan menekan hidung ke hidung temanya sebagai tanda bahwa mereka sahabat dekat. Wah, kalau kayak gini, pengen juga saya menjalin persahabatan dengan banyak cewek cantik. Biar setiap ketemu, bisa mencium gratis. Hehehe.

Orang Belanda, Swiss, dan Rusia juga punya tradisi ini. Mereka memberikan ciuman pipi sebanyak tiga kali (dimulai dari pipi kiri) bila mereka bertemu dan berpisah dengan teman dekat. Sementara orang Inggris juga punya tradisi mencium saat bertemu dan berpisah. Ciuman pipi dilakukan minimal sekali antara pria dan wanita. Kata seorang teman, antara sesama jenis tidak dianjurkan untuk saling menciumi.

Nah, ini sangat berbeda dengan ciuman di bangsa-bangsa Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Saat merayakan Idul Adha di Athens, saya bersalaman dengan banyak pria Arab. Uniknya, setelah bersalaman, lalu dilanjutkan dengan ciuman pipi sebanyak empat kali. Satu kali di pipi kanan, dan tiga kali di pipi kiri. Saat mencium, bibir harus berbunyi, "mmuaach," sebagai tanda menikmatinya. Saat itu, saya risih berat saat diciumi pria-pria Arab itu (saya menulis pengalaman itu DI SINI). Bayangin, saya dicium lelaki yang wajahnya penuh cambang, serta kekar-kekar. Saya bisa saja menolak. Tapi saya takut kalau harus menyakiti mereka. Terpaksa saya pura-pura saja menikmatinya.

makan bersama seusai salat Idul Adha bersama mahasiswa asal Malaysia

Meskipun risih, saya tahu persis bahwa mereka melakukannya dalam konteks persahabatan dan perkenalkan. Ini adalah bahasa universal yang menunjukkan seseorang menyukai dan menganggapmu sebagai sahabat. Meski dirimu tak nyaman, namun demi persahabatan, maka rasa tidak nyaman itu sebaiknya disingkirkan jauh-jauh.

Dibandingkan dicium pria Arab itu, saya ‘sedikit’ lebih nyaman saat dicium Marimar. Awalnya, saya bertemu di Kafe Bibliotech di Alden Library. Usai diskusi, ia lalu pamit setelah sebelumnya –tanpa saya duga—tiba-tiba mendaratkan ciuman. Saya jelas kaget. Namun saat itu, saya menoleh kepada seorang sahabat asal Indonesia yang baru tiba, sambil berbisik, “Ini Amerika. Di sini cewek yang datang mencium kita.”

Siang ini, saya kembali bertemu Marimar di bis kampus. Sejak jauh melihat saya, entah kenapa, ia tiba-tiba tersenyum. Pipinya yang tembem itu bersemu kemerahan karena diterpa angin dingin di musim salju ini. Tiba-tiba, perasaan saya jadi panas dingin. Saya tak tahu hendak berkata apa sebab saya membayangkan bahwa hari ini bakalan dapat cium lagi nih. Jika Anda dalam posisi saya, seberapa beranikah Anda menolak ciuman?



Wow..! Langsung Beku Saat Sentuh Bumi

DUA hari ini saya menyaksikan fenomena baru yang amat menakjubkan. Saya menyaksikan fenomena freezing rain atau hujan beku. Ini adalah fenomena ketika hujan turun dari langit, namun langsung membeku ketika menyentuh bumi. Saya takjub melihat semua tumbuhan tiba-tiba saja dibungkus es, jalanan yang dipenuhi es batu, hingga alang-alang yang tiba-tiba saja jadi ranting es dan mudah dipatahkan.

air langsung membeku (foto: Rashmi)
ranting es
depan apartemenku
rumput es
bunga-bunga es
tanaman es
Tempat ini tiba-tiba menjadi kulkas raksasa. Semua benda dilapisi es. Saya paling suka pemandangan pohon-pohon yang seluruh daun dan buahnya adalah es. Maklumlah. Di musim dingin ini, daun-daun pohon berguguran sehingga terlihat seperti pohon mati. Es yang kemudian jadi daun dan buah, yang kemudian memenuhi ranting-ranting pohon.

Mengapa? Ini disebabkan oleh cuaca yang amat dingin, hingga ke titik ekstrim. Saking dinginnya suhu di sini, sampai-sampai, ketika hujan turun, tetesair itu langsung jadi beku saat menyentuh sesuatu. Tapi, fenoemena ini tidak sama dengan salju. Jika salju turun dari langit dalam bentuk kapas putih, maka freezing rain, hadir dalam bentuk hujan, yang kemudian membeku saat tiba di bumi.

Mungkin ada pelajaran besar di balik fenomena ini. Bahwa air yang tiba-tiba membeku itu hendak menyampaikan sesuatu. Tapi saya belum tahu apakah gerangan. Saya masih harus mengeja aksara semesta lalu memahami bahasanya yang kompleks. Mungkin inilah saatnya saya menajamkan semua pikiran dan perasaan demi mengenali pesan-pesan indah di balik setiap patahan kejadian, termasuk ranting ilalang yang tiba-tiba membeku sebagai es batangan. Gusti Allah, diri-Mu hendak menyampaikan apa?


Athens, Ohio, 22 Januari 2010

Supernova Edisi Bahasa Inggris

Supernova edisi english

SETELAH lama, akhirnya saya menemukan kembali karya Dewi Lestari berjudul Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Tapi, Supernova yang saya temukan adalah versi bahasa Inggris. Saya menemukannya di Alden Library, Athens, Ohio. Judul yang tertera hanya satu kata yakni Supernova, namun di halaman dalam terdapat judul tambahan yakni The Knight, the Princess, and the Falling Star. Bagaimana rasanya membuka Supernova dalam bahasa Inggris? Mohon maaf. Saya kehilangan 'rasanya.' Saya kehilangan getarnya.

Novel ini adalah novel pertama karya Dewi yang langsung menjadi best seller. Bahasanya manis serta renyah dikunyah, namun bisa membuat kita merenung selama beberapa hari. Dahulu, saat pertama membaca novel ini, saya suka mengulangi bagian-bagian yang rasa bahasanya indah tersebut. Saya meresapi gaya bahasanya, lalu sesekali membuat tulisan dengan gaya bahasa tersebut. Di masa ketika saya sedang mencari bentuk dan rumah kepenulisan, karya-karya Dewi Lestari hadir dan memberi warna baru.

Dalam edisi bahasa Inggris, novel ini diterjemahkan oleh Harry Aveling, seorang pakar sastra Indonesia, yang juga menjadi staf pengajar di Ohio Universiy at Athens. Saya tahu bahwa Aveling adalah seseorang yang amat memahami bahasa Indonesia, dan punya reputasi karena telah beberapa kali menterjemahkan sastra Indonesia. Tapi, entah kenapa, setelah saya membuka-buka novel ini, saya belum berkeinginan untuk membacanya dalam bahasa Inggris. Ada apakah gerangan? Saya kehilangan getar. Mengapa?

sampul edisi Indonesia
Ada beberapa alasan. Saya hanya menyebut beberapa saja. Pertama, gambar sampul berubah jauh dari aslinya. Dalam versi Indonesia, gambar sampulnya sangat kuat. Bisa mewakili jejaring konsep dan pemikiran yang disajikan secara sepotong-sepotong dalam novelnya. Sementara dalam versi bahasa Inggris, gambar sampulnya adalah bangau besar yang menginjak karang di samudera bergelombang, kemudian ada gambar bangau-bangau lain yang berenang di lautan biru. Di sampul bekanag terdapat keterangan kalau gambar ini diambil dari lukisan Lucia Hartini yang berjudul Caught in a Barrier of Sharp Rocks. Ada yang tahu apa makna lukisan ini dalam konteks Supernova?

Kedua, dalam versi bahasa Indonesia, ada puisi yang disematkan di lembar awal. Dalam versi bahasa Inggris, puisi itu tiba-tiba lenyap. Saya sendiri terheran-heran mengapa puisi itu tidak diterjemahkan. Mungkinkah karena Aveling khawatir terjadi reduksi makna yang menyebabkan makna itu mengabur. Entahlah. Padahal, puisi itu menjadi salah satu kekuatan buku sebab bisa menjadi gambaran yang melekat di benak. Jika Anda tidak tahu seperti apa puisi itu, saya kutipkan di bawah ini:

Engkaulah getar pertama 
yang meruntuhkan gerbang tak berhujungku 
mengenal hidup.
Engkaulah tetes embun pertama 
yang menyesatkan dahagaku 
dalam lautan cinta tak bermuara.
Engkaulah matahari 
firdausku yang menyinari 
kata pertama di cakrawala aksara.

Kau hadir dengan dengan ketiadaan.
Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tak pasti.

Namun aku terus disini.
Mencintaimu.
Entah kenapa

Saya menyayangkan jika kalimat yang sedemikian indah bisa dihilangkan dalam edisi bahasa Inggris. Tapi mungkin, penerjemah punya alasan sendiri. Mungkin publik internasional tidak selalu siap dengan puisi -puisi yang amat romantis. Benarkah? Entahlah.

Demikian kesan saya saat memegang Supernova edisi bahasa Inggris. Saya masih menimbang-nimbang apakah lanjut membacanya atau tidak. Mungkin saya mesti membacanya. Sebab ada pepatah kuno yang mengatakan "Don't judge the book from the cover." 



Setajam PEDANG, Selembut BUNGA LOTUS

Cina, Ekspresi Kultural, dan Testimoni

ALUNAN musik ghuzeng (sejenis kecapi) terdengar lembut di dalam ruang ganti itu. Di belakang panggung pertunjukan di Templeton, Blackburn Alumni Memorial di kota Athens, Ohio, gadis itu sedang menyapukan lipstick tipis berwarna merah darah di bibir tipisnya. Ia memakai baju merah, jenis yukata, yang agak panjang. Rambutnya disisir lurus ke belakang dan diikat dengan pita merah. Wajahnya putih kemerahan, semerah bunga teratai di kaki tembok raksasa Cina yang perkasa. Ketika saya mendekat, ia memandang saya melalui cermin, sambil berbisik, “Apakah saya nampak cantik?”

Tari Dinasti Han (foto: Rashmi Sharma)
menari dengan iringan suara lembut (foto: Rashmi Sharma)

Hari ini, Minggu (15/1), gadis bernama Shuyi (sebut saja demikian), yang kebetulan tetangga saya di Commons Apartment itu, akan tampil menari bersama beberapa rekannya. Menurut brosur yang saya pegang, mereka akan menampilkan tarian tradisional Dinasti Han. Saya tak punya pahaman sejarah yang baik. Namun setahu saya, Dinasti Han adalah dinasti terkuat di Cina setelah Dinasti Qing, yang muncul pada tahun 260 SM. Pada masa ini, musik dan sastra lahir bak cendawan di musim hujan. Pertama kalinya pula, seni tradisi seperti tari dipentaskan khusus di depan keluarga istana.

Bersama beberapa sahabat, saya lalu duduk di bangku paling depan. Saya tak ingin melewatkan pagelaran seni khas negeri tirai bambu pada acara 2012 Chinese New Year di kampus Ohio University at Athens. Pada acara yang diadakan oleh Chinese Students & Scholar Association (CSSA) ini, berbagai atraksi ditampilkan. Namun nampaknya, acara ini bukan hanya menampilkan para mahasiswa Cina, yang merupakan komunitas internasional terbesar di kota Athens. Mereka yang tampil adalah kombinasi antara para mahasiswa dan komunitas warga keturunan Cina, termasuk anak-anak, remaja, hingga mereka yang berusia lanjut. Acaranya dikemas dalam satu panggung, yang menampilkan kesenian tradisi, puisi, hingga atraksi kungfu.

tarian naga yang membuka acara (foto: Rashmi Sharma)

Mulanya adalah lampu di panggung tiba-tiba meredup. Selanjutnya, sebuah tarian naga dipentaskan. Beberapa mahasiswa membawa naga tersebut dari tepi gedung, kemudian membawanya ke panggung lalu turun dan berputar. Saya mendengar suara gendang bertalu-talu, sebagaimana dulu sering saya dengar saat menyaksikan film Kungfu Master. Saya tiba-tiba teringat bahwa menurut kalender Cina, tahun ini adalah tahun naga. Tahun ini diyakini akan membawa kesejahteraan, keamanan, sekaligus kepemimpinan. Tahun ini juga diyakini akan membawa pencerahan. Benarkah? Izinkan saya berharap demikian.

Usai tarian naga, Shuyi memasuki panggung bersama enam orang rekannya. Saya memperhatikan bajunya yang merah. Kalau tak salah, warna merah melambangkan kegembiraan. Pada masa Dinasti Han, para penari mengenakan pita merah yang panjang di lengan sebagai simbol penghormatan pada Kaisar Hsiang Po yang menyembunyikan pedang di balik kain lengannya yang panjang demi berjaga-jaga. Ternyata, penghormatan itu justru melintasi zaman hingga akhirnya dipentaskan sore ini.

Saya memandang Shuyi di panggung. Musik mengalun pelan, dan ada suara nyanyian lirih dari seorang gadis. Lagunya terdengar seperti lagu sedih. Saya serasa berada di tengah dataran tinggi Cina yang sejauh mata memandang adalah bukit-bukit. Ekspresi para penari itu datar. Mungkin mereka sama-sama mengikuti musik yang lirih dan sesekali bergelombang sebagaimana air mata yang mengalir deras. Saya seperti merasakan kesendirian. Saya merasa hampa. Saya sepi. Saya ingin pulang. Tapi tiba-tiba niat itu diurungkan saat melihat ada kerling mata dari panggung yang menghujam ke dada ini. Ah, saya akan menunggunya hingga pertunjukan ini usai.

kombinasi tari tradisional dan modern (foto: Rashmi Sharma)

Acara 2012 Chinese New Year 2012 ini tidak hanya menjadi ajang bagi mahasiswa Cina untuk menujukkan kiprahnya, akan tetapi juga untuk menunjukkan pengaruh mereka pada dunia. Dalam salah satu bagian acara, terdapat tayangan di atas panggung yang menampilkan ucapan selamat dari berbagai negara.

Saya melihat ini sebagai sebuah testimoni bahwa penduduk Cina sudah menyebar ke seluruh dunia. Pemerintah negeri itu sukses menjadikan fakta demografis yakni jumlah penduduk sebagai satu kekuatan besar, lalu menyebarkannya ke banyak negara demi memperkuat pengaruh dan jaringan kekuasaan. Di awal abad ke 21 ini, kita bisa menemukan mereka di mana-mana. Dengan nasionalisme yang laksana bendera terkerak tinggi, mereka siap setiap saat melakukan sesuatu demi negara. Harap catat, komunitas Cina di Amerika tidak cuma mahasiswa. Mereka tersebar di semua lini. Bahkan banyak di antara mereka mejadi professor yang ikut menentukan apa wacana yang akan bersarang di benak warga Amerika. Bisakah kita membayangkan seberapa dahsyatnya kekuatan mereka?

lantunan puisi (foto: Rashmi Sharma)

Saya memang menyenangi segala topik tentang Cina. Saya juga menyenangi topik tentang India. Bagi saya, kedua negara ini telah lama menjadi ikon Asia dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk mencengkeram dunia. Fakta demografis yang besar telah menebalkan solidaritas mereka di manapun berada. Sejak pertama datang ke AS, saya selalu tercengang melihat betapa banyaknya jumlah mahasiswa Cina di sini.

Menurut situs resmi pemerintah Cina, jumlah mahasiswa China yang belajar di luar negeri saat ini terbanyak di dunia, dengan jumlah 1,27 juta mahasiswa pada akhir tahun 2011. Sekitar 285.000 dari mereka adalah siswa baru yang mulai studi di luar negeri tahun lalu, naik 24 persen dibanding 2010 (Bandingkan dengan mahasiswa baru asal Indonesia di seluruh Amerika yang jumlahnya hanya sekitar 300 orang di tahun 2011). Uniknya, tidak semua datang dengan memegang beasiswa. Banyak yang datang dengan biaya sendiri. Maklum saja, dengan perekonomian yang maju pesat, rakyat Cina memiliki akses dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke mana-mana. Mereka tersebar di Eropa dan Amerika demi mengasah intelektualitas untuk kemudian akan kembali ke negaranya demi memperkuat barisan dan menjadikan negeri itu sebagai pemimpin dunia.

Harian The New York Times pernah mencatat bahwa puluhan perguruan tinggi dan universitas di AS juga melihat lonjakan dalam aplikasi siswa dari Cina. Misalnya Grinnell College di Iowa, hampir satu dari setiap 10 pelamar yang sedang dipertimbangkan untuk kelas 2011 adalah dari Cina. Nampaknya, pemerintah negeri tirai bamboo itu tidak sedang bermain-main dengan upaya mencetak barisan intelektualnya. Mereka menyiapkan dengan matang, menggelontorkan dana dalam jumlah besar agar generasi mudanya bisa menjadi bagian dari dinamika ilmu pengetahuan dunia internasional, yang kelak akan memperkokoh laju perekonomian negeri itu.

atraksi wushu (foto: Rashmi Sharma)
atraksi kungfu (foto: Rashmi Sharma)

Dengan melonjaknya jumlah mahasiswa Cina, jangan berpikir bahwa mereka rata-rata fasih bahasa Inggris. Tidak sama sekali. Sebagaimana saya, sebagian besar dari mereka juga mengalami kendala bahasa. Makanya, mereka banyak tersebar di kelas bahasa dan mengambil mata kuliah yang sama dengan saya. Tapi yang bikin saya kagum adalah mereka tidak saling mencemooh. Mereka saling belajar dan saling membantu untuk mengatasi kendala tersebut. Mereka menjadikan dirinya sebagai lahan subur agar rekan-rekannya tumbuh dan kelak menjadi pohon kukuh dengan ranting yang menjangkau mega-mega. Salah satu di antara yang mengambil kelas bahasa itu adalah Shuyi, yang hari ini menari dengan memukau.

Hari ini, saya duduk menyaksikan pertunjukan seni yang mereka sajikan. Ada tarian Dinasti Han, atraksi kungfu, lagu, hingga puisi yang dilafalkan dengan cepat, namun maknanya seringan salju yang turun di Shanghai dan sedalam laut Cina Selatan. Memang, kesenian dan tradisi Cina punya dua sisi yang saling melengkapi. Di satu sisi amat indah semerbak seperti bunga lotus, di sisi lain amat cepat bertenaga serta menikam nurani dengan pedang-pedang puisi.

berdebar-debar seusai menari

Setelah tiga jam menyaksikan acara itu, saya lalu beranjak bersama teman-teman asal Indonesia. Saya lalu menyusuri halaman depan kampus Ohio demi menuju restoran terdekat. Sungguh sial, karena saya tiba-tiba melupakan kupluk dan sarung tangan di kursi penonton. Saya lalu pamit untuk mengambil dua benda itu. Hawa dingin menusuk-nusuk. Tiba dalam gedung, saya lalu mengambil barang saya yang tertinggal. Saat hendak beranjak, ada seraut wajah manis berbaju yukata merah di atas panggung yang tersenyum ke arahku. Saya melihat Shuyi yang matanya berbinar-binar dan tiba-tiba memanggilku. Ya Allah.. cantik nian gadis ini.(*)



Athens, Ohio, 18 Januari 2012

Pamflet di Kafe Donkey

Pamflet ini saya saksikan di kafe donkey, di courtstreet. Maknanya sangat dalam sebab menyindir sikap banyak orang yang mudah menaruh stigma pada orang lain.

Generasi Baru Pembaca Media

statistik blog

TADINYA, saya hanya bermain-main di dunia blog. Namun, nampaknya saya harus menseriusi blog ini. Betapa tidak, jumlah kunjungan blog ini mencapai 700 orang dalam sehari. Sementara dalam sebulan, blog ini sudah dikunjungi sekitar 17.699 orang. Saya tak bisa membayangkan, dalam sebulan ada jumlah sebanyak itu yang membaca atau mungkin tanpa sengaja terjebak di dunia internet, hingga tiba-tiba masuk ke halaman blog saya. Bukankah itu luar biasa?

Sekarang ini adalah eranya internet. Di Amerika Serikat (AS), banyak surat kabar yang kemudian kehabisan napas dan tewas karena kehilangan pembaca. Dahulu, pemilik surat kabar dan majalah bisa jumawa sebab mengendalikan informasi. Sekarang tidak demikian. Semua orang lebih mudah mengakses informasi dari perangkat komunikasi. Semuanya bisa terkoneksi dan saling men-sharing ide-ide melalui kanal dunia maya.

Taipan media, Ruppert Murdoch, telah meramalkan bahwa eranya para editor, pemimpin redaksi, serta pengusaha media cetak akan segera berakhir. Sebab generasi baru pembaca media telah lahir. Mereka membutuhkan content yang bisa disebarkan kapanpun mereka menginginkannya, dengan perangkat yang mereka inginkan, dan sebanyak yang diinginkan. Kita hidup di era ketika isi media bisa direproduksi secepat kilat, dan dibaca secepat kilat, tanpa perlu menunggu-nunggu kebaikan hati para editor yang memutuskan apakah bersedia memuat tulisan kita ataukah tidak.

Tadinya, sayapun ikut berpikir sebagaimana orang kebanyakan. Dahulu, saya gelisah dan selalu ingin menulis di media massa. Sekarang tidak demikian. Ketika saya menulis apapun di dunia blog, tulisan itu bisa dibaca sampai lebih dari 700 orang dalam sehari. Saya pun mendapatkan atensi dari beberapa orang, yang sebelumnya tidak saya bayangkan, namun setia memantau perkembangan dan apa yang saya pikirkan. Mereka memperkaya gagasan dan memberikan umpan balik, sesuatu yang tidak begitu saya dapatkan ketika tulisan saya tampil di koran cetak.

Kemarin, saya menulis tentang kue panada. Ternyata, tulisan itu ditanggapi beberapa orang yang expert di bidangnya. Ada seorang peneliti di Leiden (Belanda), ada juga seorang sejarawan yang tinggal di Tokyo (Jepang), dan satu lagi seorang mahasiswa program doktor di Pittsburgh (Amerika Serikat). Mereka memperkaya data, sekaligus memberikan input berharga bagi pengembangan tulisan itu. Kepada mereka, saya mengucapkan banyak terimakasih. Semoga koneksi dan sharing di dunia maya terus memperkaya informasi, menumbuhkan kesadaran kita, hingga menjelma sebagai pohon pengetahuan yang kelak rantingnya akan menjangkau mega-mega realitas yang sesungguhnya. Semoga!


Athens, 16 Januari 2012


Kue Kolumbia Versus Kue Makassar

kue Kolombia bernama Espanada
Makna Kue dalam Dinamika Kultural


INI kue khas Kolombia. Camilo, seorang sahabat asal Kolombia, sengaja membawanya ke kampus dan meminta saya untuk mencicipinya. Rasanya mirip dengan makanan khas Makassar yang bernama Panada. Mirip juga dengan kue bernama jalangkote. Cara makannya pun sama yakni ujungnya dimakan dahulu sehingga isinya nampak, kemudian ditetesi larutan cabe. Saat saya bertanya apa namanya, ia lalu menjawab enpanada. What? Mengapa nama dan rasanya nyaris sama?

Mungkin jika ditelusuri lebih jauh, nama kue dan mengapa berbentuk demikian selalu terkait dengan kebudayaan. Bisa pula kita mengatakan bahwa inspirasi nama kue datang begitu saja. Tapi saya tidak ingin berpikir demikian. Sebab pandangan ini tidak memadai untuk menjelaskan mengapa nama kue di Indonesia dan Kolombia bisa sama persis. Sungguh aneh jika itu hanyalah kebetulan belaka. Di balik kesamaan nama tersebut, tentunya terselip sejarah, serta dialog antara dua kebudayaan.

Tentu saja, kita bisa berdiskusi tentang kebudayaan dengan menjadikan makanan sebagai pintu masuk. Jika kita sepakat bahwa kebudayaan sebagai jejaring makna yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, maka tentunya terdapat latar historis serta social kultural mengapa satu bangsa membuat kue dari bahan tertentu, menyajikannya dnegan tradisi tertentu, atau memilih nama tertentu untuk kuenya.

Saya pernah iseng, menanyakan makna kue yang diisi dalam talang orang Buton saat haroa atau upacara adat untuk memperingati hari besar Islam di rumah-rumah. Seorang lebe (pembaca doa dalam bahasa Arab) lalu menjelaskan dalam bahasa yang sangat filosofis. Katanya, kue-kue dalam talang itu melambangkan filosofi tubuh manusia. Ia lalu menujuk kue yang berbentuk jantung, hati, empedu, hingga organ seperti hidung, hingga otak. Ia menjelaskan tentang tubuh, filosofi, serta pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam kue-kue tersebut.

Artinya, kue bisa menjadi pintu masuk untuk menjelaskan makna dalam kebudayaan. Sahabat saya, Bondan Winarno, yang kini jadi presenter acara kuliner di televisi, adalah salah satu orang yang getol mempromosikan perlunya belajar kebudayaan melalui nama-nama kue dan makanan. Dalam beberapa kali kesempatan, ia pernah menjelaskan pada saya tentang khasanah sejarah, serta rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik sebuah kuliner atau masakan.

kue-kue dalam talang Haroa di Buton
saat bersama Bondan di Bali
Sebagaimana Bondan, saya pun berkeyakinan bahwa nama kue serta bentuk dan jenisnya selalu memiliki makna. Entah, Anda bersepakat atau tidak, tapi saya meyakini bahwa nama kue Panada memiliki akar kata yang sama dengan kue Espanada di Kolombia sana. Dugaan saya, kata ini memiliki akar dalam bahasa Portugis, yang kemudian terbawa melalui perdagangan. Meskipun orang Kolombia berbahasa Spanyol, namun mereka berdekatan dengan Brazil yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Portugis. Harus dicatat bahwa Portugis adalah salah satu negara Eropa yang pernah melebarkan sayap hingga Nusantara. Mereka mewariskan banyak kosa kata yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia sepeti kata botol, bangku, boneka, bendera, biola, gereja, gudang, kamar, lemari, lampion, mandir, bola, dadu, dansa hingga beberapa nama kue seperti bolu (untuk lebih jelasnya lihat DI SINI)

Kesamaan nama ini menjadi pertanda tentang dialog-dialog kebudayaan di masa silam, pertanda proses belajar dan saling silang pengetahuan antar bangsa, pertanda kalau pengetahuan bukanlah sesuatu yang beku dan statis, melainkan senantiasa disebarkan dalam dialog-dialog yang saling memperkaya.

Melalui kata-kata dan istilah ini, kita bisa merekonstruksi atau menyusun ulang bangunan pengetahuan kita tentang sejarah. Itu dilakukan sahabat peneliti berkebangsaan Jerman bernama Horst Liebner. Ia banyak meneliti tentang kesamaan-kesamaan istilah yang digunakan di dunia maritim. Saya sering tercengang saat membaca uraiannya. Sebab lautan menjadi tempat di mana kebudayaan tumbuh dan berkembang lewat mekanisme dialog sehingga terjadi pertukaran-pertukaran istilah. Lewat laut, dalam hal ini pelabuhan, bangsa-bangsa bisa saling belajar dan menyebarkan informasi sehingga terjadi proses interaksi yang kian memperkaya. Dalam satu edisi khusus Kompas, Liebner menulis tentang Perahu Phinisi dan Kearifan Tradisi, sebuah tulisan yang mengejutkan karena ia berasumsi bahwa a phinisi justru berasal dari bahasa Portugis.

Liebner menulis, phinisi masuk dalam kosa kata bahasa Perancis atau Jerman sebagai kata pinasse yang artinya sejenis kapal layar berukuran sedang. Menurut Liebner, layar dan perahu jenis phinisi meniru jenis scooner ketch asal eropa. Kapal ini mulai bermunculan di Nusantara pada sekitar tahun 1840-an. Menurutnya, pertama kali kapal ini dibuat Martin Perrot di Kuala Trengganu, yang mengacu pada sejumlah desain kapal eropa. Menurut tradisi para pelaut Melayu, perahu itulah yang dijadikan contoh pertama untuk membangun perahu-perahu sejenis yang berikutnya dinamakan pinas atau penis, mungkin sekali dengan meniru kata pinasse, yang dalam bahasa Perancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang.


Perahu Phinisi khas Bugis-Makassar

Kebetulan bukan hanya satu perahu itu yang pada abad silam sempat dilihat oleh para pelaut Makassar, Mandar dan Bugis yang kini terkenal dengan perahu phinisi-nya, tetapi sejak awal abad ke-19 semakin banyak pedagang-pelaut Inggris yang beroperasi dari Singapura maupun para pedagang partikuler Belanda di Indonesia mulai menggunakan perahu jenis sekunar Barat yang baru dirancang di Amerika pada dekade-dekade akhir abad sebelumnya.

Nah, kembali ke kue Panada. Saya amat tertarik untuk menelaah kue ini lebih jauh. Mungkin ada kisah-kisah yang tersembunyi di balik kue sederhana ini. Mungkin ada hikayat yang selama ini tak beredar luas di public tentang kue ini. Tapi, biarlah saya menyimpan dahulu pertanyaan tentang makna kue ini. Sekarang, saatnya untuk mencicipi kue nikmat ini. Saya menikmati aroma dan kepedasannya. Hmm.. Nyam.. Nyam…..



Saya Ingin Memelukmu!


Anakku sayang…

Saya ingin memeluk dan menciummu. Saya ingin menghiburmu. Saya ingin mengajakmu bercanda. Saya ingin memadamkan tangismu. Saya ingin mengajakmu tersenyum. Saya ingin menjagamu saat tidur. Saya ingin menggendongmu. Saya ingin mengajakmu jalan-jalan. Saya ingin membelikanmu sesuatu. Saya ingin menuntunmu. Saya ingin mengasihimu. Saya ingin membesarkanmu. Saya ingin menyayangimu sepenuh hati. Saya ingin menyerahkan jiwa ini untukmu.

Apa daya. Diri ini sedang terpenjara pada sebuah benua jauh. Kita terpisah oleh jarak geografis. Beruntunglah ada seorang ibu yang memayungi dirimu dari segaa hujan dan panas. Beruntunglah ada seorang ibu yang menyusuimu ketika membutuhkan makanan. Beruntung ada seorang ibu yang tak pernah bosan mengalirkan susunya agar dirimu tumbuh.

Diaspora Cina: Saat Naga Membelit Paman Sam


DI akhir tahun 1990-an, saya menyaksikan film berjudul Kungfu Master in America yang diperankan aktor Jet Lee. Kisahnya bermula ketika mahaguru Wong Fei Hung –sosok pemilik jurus tendangan tanpa bayangan-- berkunjung ke San Francisco, Amerika Serikat (AS) demi meresmikan balai pengobatan Po Chi Lam serta menghadiri peresmian China Town di kota itu.

Gerbang China Town di Washington DC (foto: Rashmi Sharma)

Guru Wong (demikian ia biasa disapa) menyaksikan bagaimana migrasi bangsa Cina ke negeri itu, menyaksikan bagaimana diskriminasi atas mereka, namun secara perlahan lalu bangkit menjadi kekuatan besar yang kemudian menyelamatkan kota. Di masa itu, Guru Wong mengalahkan para bandit koboi berkat kemampuan beladirinya. Sebagai jagoan dengan julukan Macan Kuantung, Wong adalah petarung lihai yang ketika menendang dan berkelahi seakan-akan tak menyentuh tanah. Tinju dan tendangannya lebih cepat daripada desingan peluru para koboi di Amerika.

Hari ini, Guru Wong telah menjadi sejarah. Malah, ia hidup dalam fiksi perfilman. Tapi jejak-jejak kehadiran kaumnya di AS menjadi saksi bisu dari rimbunnya kota-kota di AS sebagaimana rimbunnya bunga magnolia di tepi Yellow River di China sana. Laksana bunga-bunga tersebut, mereka tersebar di San Francisco, New York, Washington, San Diego, hingga seluruh kota-kota besar yang dijejaki bangsa pendatang dan bangsa asli Amerika. Hari ini, pemukiman kecil yang dahulu pernah dikunjungi Guru Wong itu telah menjelma sebagai pemukiman besar, modern, dan semakin menegaskan posisi keturunan Guru Wong sebagai kekuatan besar yang tak mungkin disepelekan.

Awal perjumpaan saya dengan komunitas Cina adalah ketika mencari moda transportasi serta akomodasi termurah untuk mengunjungi beberapa kota. Saat winter break, saya ingin mengunjungi beberapa kota dengan budget yang sangat terbatas. Tadinya, saya lebih suka memilih bis Greyhound untuk perjalanan dari Columbus, Ohio, ke Washington dan New York. Biayanya cukup mahal yakni 60 dollar. Namun, saya terkejut ketika melihat bahwa untuk rute yang sama, terdapat bus China Town yang hanya memasang tarif 30 dollar.

Selanjutnya adalah hotel. Kebanyakan hotel di Washington dan New York memasang tariff hingga 100 dollar semalam. Namun di kompleks China Town, anda tak perlu membayar semahal itu. Cukup dengan 40 dollar, anda sudah bisa mendapatkan hotel dengan kualitas yang bagus. Belum lagi kalau membahas soal makanan. Selera kita orang Indonesia tidak jauh beda dengan selera makan warga Cina. Makanya, kerinduan atas makanan Tanah Air senantiasa terobati ketika mencicipi makanan di restoran Cina. Apaagi, harganya sangat murah.

menunggu pembeli (foto: Yuyun Sri Wahyuni)
barang-barang yang dijual (foto: Yuyun Sri Wahyuni)
ini bukan pemandangan di Beijing. Ini New York (foto: Yuyun)

Saya sering geleng-geleng kepala. Pantas saja jika bisnis kaum Cina di Amerika tumbuh pesat. Beberapa perusahaan bis seperti Gyehound justru kian menunjukkan tanda-tanda sekarat karena mulai kalah bersaing dengan perusahaan bis di Cina. Yang ditawarkan Greyhound aalah kenyamanan dan pelayanan. Namun public justru tidak butuh itu. Mereka tak butuh disapa sopir dengan ucapan “How are you” atau ucapan “Have a nice trip,” sebagaimana ditawarkan bus Greyhound. Mereka hanya ingin menghempaskan tubuh di kursi kemudian tidur di sepanjang perjalanan. Perusahaan Cina itu menawarkan fleksibilitas, seuatu yang justru tidak diberikan perusahaan Amerika. Maka, sah-sah saja jika kita mengatakan bisnis orang Cina melejit setinggi Gunung Thay San di daratan Cina sana.

Apa yang saya saksikan hanyalah satu keping kecil dari kian dahsyatnya kekuatan bangsa Cina di Amerika. Mereka bisa ditemukan di semua kota besar hingga kecil, mulai dari New York hingga kota kecil Athens di Ohio, tempat saya tinggal. Para ilmuwan sosial menyebut fenomena ini sebagai diaspora kebudayaan, ketika satu kebudayaan akhirnya berpindah-pindah, mengikuti gerak seorang individu. Sebagai catatan, mereka merambah Amerika bukan sejak beberapa tahun lalu. Kebudayaan bergerak mengikuti individu yang memiliki otonomi untuk mereproduksinya atau malah meninggalkannya begitu saja pada satu saat.

Kata Wikipedia, mereka tiba di Amerika sejak tahun 1820 bersamaan dengan fenomena California Gold Rush atau ditemukannya tambang emas di California. Tapi saya sendiri meragukan data ini. Karena sejarawan Gavin Menzies menyebutkan bahwa pada tahun 1421, Laksamana Cheng Ho telah menginjakkan kaki di Amerika, lebih duluan daripada Christopher Columbus yang tiba tahun 1492. Namun, inilah dinamika sejarah. Jika warga Amerika hari ini lebih memilih kedatangan Columbus sebagai awal kedatangan pendatang ke Amerika, maka itu soal lain. Mungkin kita bisa membahasnya pada tulisan lain.

Identitas Kultural

Yang juga mencengangkan karena mereka sama sekali tidak kehilangan identitas kulturalnya sebagai bangsa Cina. Anda boleh percaya atau tidak. Dengan pertumbuhan demografi yang sangat tinggi serta perluasan wilayah, sang naga perlahan-lahan membelit Paman Sam dan tinggal menunggu waktu untuk menanti kapan si Paman akan remuk akibat dibelit naga tersebut. Maka mulailah sang naga mengendalikan sang paman. Mulailah sang naga menggoreskan kanvas di tubuh sang paman.

Saat berkunjung ke kawasan China Town di New York dan Washington, saya serasa tidak sedang berada di Amerika. Saya serasa berada di satu sudut kota Beijing. Di mana-mana, terdapat aksara Cina, restoran, hotel, hingga pertokoan yang pada desainnya terdapat sentuhan Cina. Berada di tempat-tempat tersebut, saya menyaksikan sebentuk reproduksi kultural ketika orang-orang Cina justru mewarnai setting sosial di mana mereka berada sehingga seolah ‘mencinakan’ satu kawasan.

Jika kita ibaratkan Amerika adalah sebuah kanvas, maka orang-orang Cina telah menggoreskan kanvas itu dengan sentuhan warna khas mereka, menggambar naga di semua sudut kota, menghadirkan pelangi yang kian menguatkan image Amerika sebagai land of freedom yang menjadi tujuan dari berbagai bangsa.

bersama tim ekspedisi New York saat di Washington

Sebenarnya, fenomena ini sudah dijelaskan oleh beberapa antropolog. Salah satu di antaranya adalah antropolog India bernama Arjun Appadurai. Dalam tulisannya yang berjudul Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, Appadurai mengajukan satu tesis yang sangat penting untuk menjelaskan fenomena homogenisasi kebudayaan. 

Ia menjelaskan gejala Cinaisasi Amerika ketika batasan kebudayaan Cina tersebar ke Amerika hingga mengalami reproduksi secara terus-menerus. Appadurai menyebut fenomena ini sebagai ethnoscape di mana batasan etnik menjadi lebur dan tidak lagi terikat dalam batasan tertentu. Dunia tidak lebih dari sesuatu yang diimajinasikan dalam pikiran, kemudian mengaktual dalam satu ruang waktu. Dalam konteks yang sama, kita bisa mengatakan bahwa orang-orang Cina tetap mempertahankan imajinasi kecinaannya, dan mengubah lanskap kota Amerika sebagaimana lanskap kota di daratan Cina sana.

Hari ini, saya sedang memandang China Town di New York. Sebelumnya, saya juga telah melihatnya di Pittsburgh dan Washington. Saya kembali teringat dengan Guru Wong. Jika dahulu Guru Wong mengalahkan koboi dengan jurus tendangan tanpa bayangan, maka hari ini, murid Guru Wong mengalahkan lawannya dengan kekuatan ekonomi, penguasaan atas sektor ril, serta persebaran penduduk di semua kota-kota besar Amerika. Mereka memang belum merambah ke ranah politik. Namun dengan kekuatan mereka yang merata di semua lini, bukan tak mungkin jika kelak akan ada warga keturunan Cina yang kelak menjadi Presiden Amerika Serikat. Toh, apa yang disebut tanah air itu tidak lebih dari imajinasi saja. Iya khan?



Athens, 12 Januari 2012
www.timurangin.blogspot.com
saat senja memerah di ufuk sana