ilustrasi |
DI berbagai media online, terdapat diskusi
tentang senjakala media. Seorang jurnalis senior menyampaikan keluh-kesahnya
tentang senjakala media cetak yang secara perlahan dilibas oleh era online. Tak
hanya media cetak yang mulai terkubur, dirinya pun ikut tenggelam dan menjadi
museum.
Banyak hal yang berubah. Di era baru,
semua orang bisa membuat web, memproduksi informasi, lalu menyebarkannya ke
mana-mana. Hanya saja, itu tak lantas membuat media itu populer dan
digandrungi. Era baru menuntut kesabaran, konsistensi, serta keberanian
menjelajah ranah yang tak banyak dirambah.
Media baru menuntut kreativitas serta
keunikan dalam memilih sudut pandang, sesuatu yang tak mudah bagi para jurnalis
yang terbiasa berpikir mapan dalam iklim media yang terlanjur baku. Mereka yang
hendak menguasai media di era baru, mesti memahami betapa peta sosial telah
bergeser. Yang survive adalah yang bisa membaca dinamika sosial, lalu
berselancar di atasnya. Yang bertahan adalah yang selalu menyerap hal baru, dan
punya ribuan akal untuk menyajikan informasi.
Tentu saja, itu tak mudah Tapi ada kiat
cerdik ke arah itu. Apakah gerangan?
***
BERITA itu datang di satu sore. Tabloid
Bola yang dahulu selalu rutin saya beli terancam akan ditutup. Dalam format harian,
media ini sudah lama ditutup. Masih segar di ingatan saya beberapa nama
jurnalis olahraga, seperti Sumohadi Marsis, Ian Situmorang, hingga Wesley
Hutagalung. Saya masih terkenang pada karikatur tabloid Bola yang khas dan
selalu bisa mengocok perut.
Di satu website saya temukan keluh-kesah
para mantan jurnalis Bola yang telah di-PHK. Rupanya, perubahan lebih cepat
dari yang saya bayangkan. Media itu memang sekarat sebab kehilangan banyak
pembaca, yang dahulu rajin membeli dan memberi pemasukan bagi media, namun kini
lenyap satu per satu.
Media itu terlambat mengantisipasi
pertumbuhan teknologi smartphone yang membuat orang-orang lebih suka menyerap
informasi melalui HP. Media itu terlambat menyadari bahwa di era digital,
publik tak perlu membayar untuk mendapatkan infromasi. Semuanya gratis, sebab
media akan mendapatkan benefit seiring dengan massifnya kunjungan ke portal
media.
Publik tak tertarik lagi membeli media di
lapak koran, sebab informasi yang dibutuhkannya tersedia secara gratis dan
bertebaran di berbagai situs. Publik cukup mengaktifkan media sosial. Di situ, mereka
menemukan semua informasi, sekaligus bisa berdiskusi dengan banyak pihak yang
mereproduksi informasi itu.
Memang, selalu saja ada rasa bahagia saat
mencium wangi cetak pada media yang tiba di rumah. Selalu saja ada romantisme
kala melihat koran diletakkan oleh loper di pintu rumah. Akan tetapi zaman
terus bergerak. Media cetak dianggap berkontribusi pada rusaknya hutan untuk
membuat kertas. Media cetak dianggap terlampau lama untuk menyajikan informasi,
sesuatu yang bisa disajikan setiap detik oleh media online.
Ada satu dua yang masih bertahan. Yang
masih eksis berupaya tetap menjaga kualitas dan roh jurnalisme yang
mengandalkan pada kedalaman dan ketajaman analisis. Yang bertahan adalah media
yang bisa membangun relasi dan kedekatan dengan semua pembacanya, membangun
simbiosisi mutualisme yang saling menguntungkan. Namun, seberapa lamakah bisa
bertahan di tengah gempuran media online yang semakin dahsyat dan telak
menghantam?
Media online tampil sebagai penguasa baru
yang memiliki banyak kaki-kaki. Di antara kaki itu ada demikian banyak website,
blog, serta media sosial yang serupa semut perlahan menggerogoti gajah besar
media-media mapan. Perlahan, peta sosial juga ikut-ikutan bergeser.
Para jurnalis hebat tak lagi punya
kharisma dan aura di media baru. Para jurnalis hebat hanyalah sedikit dari
jutaan suara ataupun hiruk-pikuk wacana yang saling berebut pengaruh. Banyak
nama besar tumbang karena tidak bisa mengikuti ritme dari media baru yang
selalu bergegas. Era ini ditandai begitu banyak pesaing yang saling berebut
pengaruh. Di era digital, setiap tulisan atau postingan akan diukur dari
seberapa banyak yang me-like dan me-retweet apa yang disajikan. Tak selalu
publik melihat nama seseorang. Seorang warga biasa sekalipun bisa menulis
hal-hal yang lalu disukai publik, lalu di-retweet ke mana-mana secara sukarela.
Publik akan menyebarkannya secara gratis.
Warga biasa yang dulu hanya jadi penonton,
kini tampil ke depan. Malah, banyak yang menjadi kiblat wacana. Nama-nama
seperti Bre Redana dan puluhan jurnalis Kompas bisa tenggelam oleh sosok-sosok
seperti Denny Siregar, Tomi Lebang, ataupun Fahd Pahdepie yang nampaknya lebih
menguasai seluk-beluk menulis di dunia maya. Bahkan, nama-nama seperti Maria Hartiningsih
dan Leila S Chudori, mulai kalah populer dibandingkan Jihan Davincka, Ary
Amhir, Olyve Bendon, dan Dina Y Sulaiman, para blogger produktif yang
tulisannya di-share banyak orang.
Inilah penanda zaman kita. Inilah zaman
ketika para jurnalis tak lagi menjadi satu-satunya kebenaran. Inilah eranya
para warga, yang profesinya beragam, berasal dari berbagai pelosok, tapi setiap
tulisannya bisa menggugah dan mempengaruhi wacana publik. Inilah era perubahan,
seustau yang harus dipahami demi merancang sesuatu.
***
SAYA teringat Dan Gilmore yang menulis
buku We the Media. Gilmor melihat
melihat tanda-tanda akan berakhirnya era meda konvensional, yang memosisikan
jurnalis sebagai rasul pembawa kebenaran. Publik, yang dahulu dianggap pasif,
kini mulai bergerak lebih aktif. Publik mulai bersuara dan menyampaikan
reportase, yang seringkali lebih fresh, orisinil, dan mendalam. Prediksi Gilmor
mulai terlihat sekarang.
Memang, banyak yang menempuh jalan pintas,
Kita sering menemukan kabar bohong atau hoax yang sebarkan secara massif. Tapi
percayalah, sekali seseorang menandai satu situs sebagai penyebar kebohongan,
maka seumur hidup orang tak akan melirik media itu. Hoax ibarat parasit yang
dihindari, sebab merusak kredibilitas, bisa berujung pada hilangnya teman, bisa
membuat kita diblokir di dunia maya.
Satu hal yang harus catat. Media online
bisa tumbuh setiap saat, tapi tak lantas membuatnya populer dan disukai orang
lain. Siapapun bisa membuat blog, tapi yang akan bertahan adalah mereka yang
setia menulis, terus belajar dari beragam kesalahan, serta mau menyerap ilmu
dari banyak orang lain. Untuk sampai pada tahapan disukai, lalu dikunjungi
setiap saat, satu media ataupun blog harus menunjukkan konsistensi, kemampuan
melihat celah yang tak dimasuki media lain, serta keberanian untuk menyimpang
dari arus besar.
Seiring dengan waktu, publik melakukan
seleksi. Sekali menebar kebencian, maka satu mdia bisa berpotensi disukai atau
dibenci sekaligus. Para penguasa era digital adalah mereka yang memahami bahasa
warga dunia maya, menyajikan hal-hal yang bersesuaian dengan bahasa orang
kebanyakan, serta punya passion menulis serta hasrat berbagi. Tanpa itu,
seseorang bisa kesepian di dunia maya.
Media bisa dengan mudah dibuat, namun tak
lantas bisa mendatangkan banyak orang untuk sekadar tetirah dan berkunjung.
Untuk sampai pada tahapan ini, seseorang harus menjadi tuan rumah yang baik,
menyajikan apa yang dibutuhkan, serta selalu belajar hal baru. Bersikap sebagai
orang sok tahu di media baru hanya akan menghadirkan antipati orang lain.
Dengan cara menyerap hal baru, seseorang bisa mejadikan dirinya bermanfaat bagi
orang lain, yang engaja brwsing untuk menemukan pembelajaran dan hal-hal yang
menginspirasi.
***
MEDIA cetak memang bisa terkubur, tapi
jurnalisme akan selalu ada. Jurnalisme sebagai hasrat terdalam manusia untuk
berkomunikasi akan selalu hadir, meskipun berganti format lain. Yang harusnya
dilakukan adalah memahami dinamika dan peta sosial yang terus bergeser, lalu
berselancar sembari membawa berkarung-karung pengetahuan untuk disebar ke
mana-mana. Jurnalisme yang tidak terhempas dan terputus adalah jurnalisme yang bisa menyerap hal-hal baik di sekitarnya dan terus berubah.
Perubahan itu abadi. Dia yang mau berubah
adalah dia yang akan terus bertahan. Dia yang bertahan adalah dia yang
menumbuhkan tunas dan melakukan segala upaya agar tunas itu menjadi pohon
rindang. Dia yang mau belajar adalah dia yang terus memperkaya pikirannya
dengan hal-hal baru, yang lalu menggerakkan dirinya untuk perubahan. Dia yang ingin
menang adalah dia yang bisa menyerap energi para pemenang. Anda ingin abadi?
Segeralah berubah.
30 Desember 2015