Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mereka Anak Milenial, Bukan Anak Revolusi




DI TENGAH tatapan tidak suka, Hatta muda membacakan pembelaan berjudul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka di Rotterdam, tahun 1928. Nun jauh di Bandung tahun 1930, Sukarno muda membacakan pleidoi Indonesia Menggugat dalam suasana pengadilan kolonial yang sering menghinakan para pribumi.

Tapi kini, mental anak-anak muda milenial itu bisa langsung jatuh hanya karena dinyinyirin di media sosial. Mereka tidak sedang menjalani persidangan. Tapi mereka seakan sudah divonis dan menerimanya sebagai kekalahan.

Mereka mundur hanya karena menjadi trending topic di media sosial. Mereka kabur dari tugas penting di istana hanya karena tak kuat menghadapi desas-desus dan sindiran para netizen. Bung! Kita sedang perang.  Kenapa mundur?

Di abad ini kita menyaksikan satu pelajaran berharga tentang anak-anak muda yang lebih takut penilaian orang, ketimbang memikirkan apa hal terbaik yang bisa dikerjakannya untuk rakyat di Istana Negara.

Anak-anak muda itu lebih suka dagang dan mengerjakan proyek, ketimbang merumuskan apa hal baik untuk anak muda seusianya di jantung pemerintahan. Mereka bukan pemuda Hatta yang memilih untuk jadi patriot bangsanya, ketimbang mengerjakan proyek di jajaran pemerintah kolonial.

Beberapa bulan lalu, mereka bak selebriti yang diperkenalkan di Istana Negara. Mereka menerima posisi sebagai staf khusus yang berada di lingkaran istana. Mereka memakai baju putih dan celana hitam, beberapa hari setelah menteri kabinet mengenakan baju yang sama. Mereka disebut sebagai anak muda penuh prestasi dan bisa berbuat sesuatu untuk bangsa.

Duduk di posisi itu harusnya menjadi awal bagi kerja-kerja untuk bangsa. Mereka punya reputasi dan track record yang mentereng. Pendidikan juga bagus. Mereka lulusan kampus hebat luar negeri. Mereka kaya, dan tidak perlu lagi mengandalkan proposal demi proposal serta mengetuk satu demi satu seniornya, sebagaimana anak muda dari organisasi sana. Harusnya mereka sudah selesai dengan dirinya.

Namun, mereka tak siap dengan semua konsekuensi. Risiko menerima sebuah jabatan adalah setiap saat bisa dibicarakan, difitnah, dan dihakimi publik. Tak semua yang dibahas itu benar. Sebab kebenaran tidak terletak pada seberapa nyaring suara yang membicarakan. Kebenaran tidak lahir dari seberapa kuat seseorang menghina orang lain. Kebenaran adalah kebenaran, sesuatu yang selalu lahir dari proses yang jujur.

BACA: Para Stafsus Milenial yang Borjuis

Harusnya, hadapi saja semua tuduhan dan tudingan itu. Terima tantangan seorang ekonom muda untuk berdebat. Publik ingin tahu apa rencana dan peta yang mau digapai.

Siapkan argumentasi bahwa kalian memang layak di posisi itu. Jelaskan kepada publik apa yang terjadi. Jika memang layak di posisi itu, jelaskan pada mereka apa saja yang ingin dikerjakan.

Buka dialog dengan siapa pun. Datang ke media, lalu jelaskan apa yang sedang dan sudah dikerjakan. Tunjukkan kepada publik, gaji dan fasilitas yang diambil dari pajak rakyat sangat pantas diberikan kepada kalian.

Lihatlah jabatan dan posisi sebagai cara untuk memperluas jejaring silaturahmi dengan rakyat. Lakukan blusukan hingga kampung-kampung, telusuri bukit-bukit, dakilah gunung-gunung di berbagai penjuru negeri untuk menyampaikan pesan bahwa pemerintah tidak diam. Berikan motivasi dan inspirasi kepada negeri bahwa di usia semuda itu kalian telah mengemban amanah besar untuk bangsa dan negara.

Di hari ketika amanah itu diemban, abaikan semua kepentingan pribadi. Bekerja untuk negara adalah bekerja untuk orang banyak. Di pusat-pusat pengambilan semua keputusan politik, jadilah katalis penting dari kebijakan yang memihak untuk rakyat.

Anak-anak muda itu tidak harus menjadi Tan Malaka yang gerilya dari satu lokasi ke lokasi lain demi memperjuangkan kalimat kemerdekaan. Mereka tidak harus memulai karier dari penjara ke penjara. Mereka cukup dagang sekaya-kayanya, libatkan banyak orang, lalu perlahan tersohor ke mana-mana.

Media menyebut mereka tak punya tupoksi yang jelas di Istana. Ruang geraknya terbatas. Tidak seperti kementerian yang mengelola sumber daya materi dan sumber daya.

Banyak hal di negeri ini dikapitalisasi untuk citra dan kesan. Keberpihakan pada anak muda diwujudkan dengan menunjuk sejumlah orang menjadi staf dan diperkenalkan seperti menteri negara. Soal mereka hendak melakukan apa, negara tidak banyak tahu.

Malah kiprah anak muda itu seakan dibatasi dengan tugas yang absurd dan berkaitan dengan penanaman ideologi Pancasila.

Bagaimana mungkin Pancasila hendak dijelaskan anak muda yang mendirikan perusahaan rintisan lalu besar? Tahu apa mereka seberapa tinggi intoleransi dan penindasan kepada mereka yang berbeda keyakinan? Apa mereka tahu betapa banyak anak bangsa yang mengais rupiah demi rupiah hanya untuk bertahan hidup?

Tapi seharusnya mereka melihat semua itu sebagai tantangan yang akan semakin membesarkan mereka. Bisa berada di lingkar istana adalah peluang besar untuk menyampaikan suara-suara mereka yang di tepian. Suaranya bisa lebih nyaring terdengar. Mereka bisa berperan lebih banyak, jika mereka tahu apa tujuan mereka berada di situ.

Ah, mungkin kita terlampau banyak berharap. Kepada anak-anak muda itu kita pernah menyandarkan harapan akan kehidupan politik yang lebih baik dan lebih memihak. Mereka punya semangat, jiwa muda, dan keberanian untuk menggapai sukses di usianya.

Kita pernah menitipkan satu harapan agar mereka bisa lebih sukses menghela kereta negara agar selaras dengan cita-cita kemerdekaan. Kita bermimpi tentang revolusi pemuda, yang sebagaimana ditulis Ben Anderson, pernah memberikan kado kemerdekaan pada rakyat. Kini, kita hanya melihat anak milenial, bukan anak revolusi.

Sayang, mereka terlalu jauh dari harapan anak muda Soe Hok Gie: “Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka”

Setidaknya kita tahu bahwa kita berharap terlalu tinggi. Kita menunggu kisah besar apa yang akan mereka bagikan.


VIRUS yang Membangkitkan KOMUNISME


seorang perempuan yang membentangkan pesan protes di Amerika Serikat

Sejarawan Yuval Noah Harari mengatakan perlunya solidaritas global untuk mengatasi Covid-19. Sastrawan Arundhati Roy menulis tentang wabah yang memaksa manusia untuk memutuskan masa lalu dan membayangkan dunia yang baru.

Kini, Slavoj Zizek, yang disebut sebagai filsuf paling berbahaya di abad ini, meramalkan virus ini akan membangkitkan komunisme global. Hah? Kok bisa?

*** 

Seorang paramedis berbaju hijau berdiri dan menghadang mobil yang ditumpangi seorang pemrotes yang mendesak pemerintah Amerika Serikat agar mencabut kebijakan lockdown di salah satu kota di Amerika Serikat.

Dari jendela mobil itu keluar seorang perempuan tua yang membawa karton yang bertuliskan “Land of the Free.” Perempuan itu bergabung dengan barisan penyokong Donald Trump yang mendesak Gubernur New York untuk segera mencabut kebijakan karantina, membuka kembali pasar dan pertokoan, serta membiarkan orang lalu-lalang.

Perempuan itu berargumen, Amerika adalah negara bebas. Pilar-pilar bangsa itu adalah kebebasan dan liberalisme. Bahkan negara tidak bisa memaksa warganya untuk mengunci diri dalam rumah. Warga punya privasi. Ekonomi harus bergerak.

Tak jauh dari aksi pengadangan oleh para medis itu, seorang perempuan membawa poster yang bertuliskan Social Distancing is Communism.

BACA: Mendayung di Antara Dua Karang Covid-19

Negeri Paman Sam sedang dalam keadaan tidak baik. Lebih 46 ribu orang telah tewas dalam upaya melawan keganasan virus Covid-19. Kota-kota di Eropa yang dahulu begitu digdaya, kini menjadi kota-kota sunyi. Virus itu tak hanya menjadi wabah dan menyebar dengan cepat, melainkan juga mengubah banyak hal.

Siapa yang menyangka jika katedral kapitalisme yakni bursa saham, pasar-pasar, hingga pusat kegiatan ekonomi tiba-tiba runtuh. Siapa pula yang mengira jika mantra liberalisme, seperti kebebasan untuk berkeliaran, kebebasan untuk berbelanja dan rekreasi, kini hanya menjadi sesuatu yang indah dikenang saat virus memaksa orang untuk tinggal di rumah?

Virus ini tidak peduli dengan sosiologi masyarakat abad ini. Virus ini tidak peduli siapa Anda. Semua manusia dilihatnya sama saja, mau kaya atau miskin, bule atau hitam, cantik atau jelek. Semua manusia dilihat tanpa kelas, tanpa kasta. Siapa pun bisa berisiko terinfeksi hingga sekarat.

Virus ini juga membuka tirai-tirai yang selama ini menghalangi pandangan kita tentang negara-negara. Amerika Serikat yang dianggap kuat dan perkasa ternyata punya sistem kesehatan nasional yang teramat rapuh dan terdapat kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Sebaliknya, negara-negara kecil seperti Taiwan dan Vietnam justru bisa lebih efektif dalam melawan virus itu sehingga menghindari jatuhnya korban.

Saya tertarik mengamati dinamika pemikiran mengenai virus ini. Kita sama tahu bahwa di dalam laboratorium, para ilmuwan sedang berpacu untuk menemukan vaksin yang bisa melawan virus ini. Sementara di ranah pertarungan gagasan, banyak pemikir kini saling berdebat untuk meramal ke mana dunia pasca virus ini menyerang.

Tulisan sejarawan Yuval Noah Harari menjadi rujukan banyak orang untuk mengamati dunia pasca-Covid. Dia menilai untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara punya instrumen untuk melakukan pengawasan total kepada warganya, sesuatu yang gagal dilakukan pada masa lalu. Berkat big data, negara bisa memaksa warganya di rumah, kemudian memantau apa yang dilakukan warganya.

Harari melihat perlunya solidaritas global di tengah tiadanya kepemimpinan di tingkat dunia. Amerika tidak bisa lagi menjadi pemimpin dunia sebab harus berkutat dengan pertarungan melawan virus di tingkat domestik.

BACA: Ideologi Kiri Kanan yang Menyambut Corona

Saya juga menyukai artikel yang ditulis Arundhati Roy, sastrawan asal India. Dia bercerita bagaimana lockdown menjadi kiamat bagi warga miskin India yang terpaksa harus berjalan kaki hingga ratusan kilometer demi kembali ke kampung halamannya. Virus ini telah mengubah makna normalitas menjadi sesuatu yang tidak normal.

Arundhati Roy mengatakan, virus ini memaksa kita untuk memikirkan ulang mengenai mesin kiamat yang kita bangun untuk diri kita. Virus ini telah memaksa manusia untuk memutuskan masa lalu, membayangkan masa depan. Virus ini serupa portal antara dunia dan masa depan. Saatnya kita memikirkan dunia baru yang akan kita hadapi, dunia yang lebih cerah dan akan diperjuangkan bersama-sama.

Saya melihat Harari dan Arundhati Roy berada di jalur pemikiran yang sama. Mereka menginginkan perlunya memikirkan tatanan baru untuk menggantikan tatanan yang kini sudah usang. Selama sekian abad, bangsa-bangsa hanya memikirkan persenjataan dan persaingan, lalu abai untuk membangun rumah yang lebih humanis bagi semua orang.

Kini waktunya, memikirkan sistem yang lebih adil bagi semua orang. Mulai dari layanan kesehatan yang menjangkau semua kalangan hingga sistem ekonomi yang tidak semata bergantung pada mekanisme pasar.

Virus Corona seakan memaksa manusia untuk memikirkan satu solidaritas dan kerja sama global. Sebab virus ini tidak sedang mengancam satu negara. Tidak juga mengancam satu kelas tertentu di masyarakat. Virus ini mengancam spesies manusia.

Di sinilah relevansi untuk mendiskusikan pemikiran filsuf Slavoj Zizek, filsuf paling produktif dan sering disebut sebagai filsuf paling berbahaya di abad ini.

Bisa dibilang Zizek adalah filsuf kontemporer yang paling produktif. Dia sudah menulis beberapa artikel mengenai Covid-19. Bahkan dia menulis satu buku tipis yang beredar secara gratis di internet, yang diberi judul Pandemic: Covid-19 Shakes the World..

Berbeda dengan para pemikir lain, Zizek tidak tanggung-tanggung langsung menyebut virus ini ibarat pukulan ala “Kill Bll” yang menghantam kapitalisme. Dalam film Kill Bill 2 yang disutradarai Qutentin Tarantino, terdapat pukulan “Five Point Palm Exploding Heart Technique” yakni kombinasi lima serangan yang menyasar lima bagian tubuh. Saat Bill dihantam dengan jurus ini, dia merasa baik-baik saja, tetapi saat berjalan lima langkah, jantung meledak. Inilah salah satu pukulan paling mematikan dalam ilmu bela diri.

Saat virus ini menyerang, kapitalisme seakan baik-baik saja. Masih bisa mengatur napas dan langkah. Tapi, seiring waktu, virus ini bisa menumbangkan kapitalisme, sebagaimana kebocoran nuklir di Chernobyl yang menumbangkan Uni Soviet. Sistem sekarang tidak akan terus berjalan seperti biasanya sehingga dibutuhkan sebuah perubahan radikal.

Menurut Zizek, virus memaksa kita untuk memikirkan satu konsep masyarakat alternatif yang melampaui konsep negara-bangsa. Virus masyarakat alternatif ini menekankan pada solidaritas dan kerja sama global. Kita bisa melihat bagaimana masyarakat global yang butuh saling berjejaring untuk menghadapi virus. Ada negara yang mengirimkan masker, ada juga yang mengirim rapid test. Ketika ada negara yang menemukan vaksin, maka dunia akan merasakan manfaatnya.

Zizek menyebut warga dunia berada dalam satu kapal –ibarat kapal Nabi Nuh-- sedang bergerak ke arah komunisme global. Namun komunisme yang dia maksudkan bukan komunisme sebagaimana praktik politik di tahun 1960-an. Ancaman global telah mampu melahirkan solidaritas global di mana perbedaan-perbedaan kelas, agama, etnik, ras, dan sebagainya menjadi tidak berarti. Semua orang sedang berusaha mencari solusi, yang melampaui perbedaan identitas tersebut.

Zizek menawarkan satu masyarakat dengan solidaritas baru, yang berbeda dengan sebelumnya. “Kita memang memerlukan bencana besar ini, untuk bisa memikirkan hal-hal yang begitu mendasar dari kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah soal solidaritas global itu,” katanya.

Dunia membutuhkan satu pendekatan komprehensif yang melampaui mesin pemerintahan tunggal, serta koordinasi dan kolaborasi internasional yang kuat dan efisien. Kerja sama global itu akan menggantikan sosialisme, serta meletakkan satu landasan bagi lahirnya komunisme baru.

“Saat ini, satu bentuk globalisasi pasar bebas yang menghadapi krisis dan pandemi tentu sedang sekarat. Namun bentuk lain yang sadar akan saling ketergantungan dan keunggulan tindakan kolektif berbasis bukti sedang lahir.”

Sebagai satu wacana, buku Zizek ini menarik untuk didiskusikan. Kondisi global yang sedang sekarat ini menjadi tanda akan perlunya reorganisasi ekonomi global, yang tidak lagi bergantung pada mekanisme pasar.

Mesti ada semacam organisasi global yang dapat mengatur dan mengendalikan ekonomi dunia, yang bisa saja membatasi kekuasaan negara-bangsa. Dulu, negara-bangsa mempertahankan kekuasaan dengan perang, kini situasinya berbeda. Bukan lagi perang fisik, tetapi perang medis.

Saya pikir Zizek sedang membuka wacana baru untuk didiskusikan. Buku ini ibarat pamflet yang isinya pesan-pesan kampanye. Saya rasa Zizek lebih banyak menyoroti Amerika Serikat, Inggris, dan Cina. Dia melihat Cina sebagai model negara yang memaksakan pengawasan melekat ke semua warganya.

BACA: Virus yang Membuka Aib Sosial Kita

Dia tidak melihat banyak negara-negara demokratis yang lebih efektif dalam melawan virus. Sehingga kekuatan dan ketangguhan satu negara dilihat dari seberapa efektif tangan-tangan negara bisa bekerja untuk memeluk semua warganya dan memberikan benteng perlindungan yang efektif untuk warganya. Negara yang bisa jadi rujukan di sini adalah Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, New Zealand, dan Austria.

Saya rasa tidak akan ada ideologi yang berubah pasca wabah. Hanya saja, orang-orang akan menjadikan wabah ini sebagai pelajaran untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih efektif dalam melindungi warganya dalam satu benteng pelayanan kesehatan yang tangguh. Dunia akan lebih banyak berkolaborasi dan berjejaring untuk melawan musuh bersama di masa depan.

Slavoj Zizek dan buku Pandemic

Saya sepakat dengan poin Zizek tentang kehadiran virus akibat kehancuran alam liar oleh mesin-mesin kapitalisme. Virus ini menyadarkan kita bahwa bumi yang kita tinggali terus-menerus dihancurkan oleh mesin kemajuan yang kita ciptakan. Benar kata Arundhati Roy, saatnya sejenak berhenti dan berefleksi melihat tindakan yang selama ini kita anggap normal.

Bagi kita bangsa Indonesia, solidaritas global ini bisa menjadi kunci untuk keluar dari wabah. Kita bisa berharap pada saintis negeri lain yang sedang berpacu menemukan vaksin. Kita tak perlu menutup pintu perbatasan kita sebab setiap saat ada negara yang menemukan vaksin. Kita membutuhkannya untuk menyelamatkan anak bangsa yang kini memenuhi banyak rumah sakit.

Setelah wabah usai, kita punya banyak PR untuk diselesaikan. Di antaranya adalah perlunya memperkuat sistem kesehatan nasional kita, serta perlunya memberi perhatian besar pada dunia riset kita yang seakan berjalan di tempat sebab negara lebih peduli pada startup para milenial.

Corona memberi pelajaran bahwa di masa depan, perang semakin kompleks. Kita tak hanya perlu memperkuat para prajurit di medan laga. Kita perlu memperkuat paramedis kita sebagai garda depan untuk melindungi segenap anak bangsa dan seluruh tumpah darah kita.

Tentunya, negara juga harus melindungi paramedis kita. Bukan lantas menjadikan mereka sebagai martir.



Perlukah Kita Setiap Saat Update Berita?




Perlukah kita mengikuti informasi yang bergulir di media sosial? Perlukah kita setiap saat membuka aplikasi WA lalu mengikuti semua debat kusir di situ?

Jika pertanyaan itu diajukan kepada Rolf Dobelli, dia akan mengatakan tidak perlu. Bahkan dia menganjurkan untuk tidak rutin membaca berita di media, sesuatu yang pasti bikin para jurnalis tidak nyaman.

Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menjelaskan pandangannya tentang itu di bab paling akhir dari 99 bab mengenai sesat pikir dalam investasi, bisnis, dan masalah pribadi. Saya beruntung karena bisa membaca buku bagus ini selama mengarantina diri di rumah.

Katanya, setiap hari kita diterpa dengan ribuan informasi. Mulai dari bencana alam, pandemi, perceraian artis, dan banyak hal. Sejak dua abad lalu, kita menciptakan pengetahuan beracun yang disebutnya berita.

Baginya, berita itu seperti gula bagi tubuh. Terasa sedap, mudah dicerna, dan dalam jangka panjang bisa merusak.

Sejak tiga tahun lalu, dia memutuskan untuk berhenti mengonsumsi berita. Dia hentikan langganan koran, serta berhenti menonton televisi. Bahkan aplikasi berita di HP ikut dihilangkannya. Dia melakukan diet informasi.

Minggu pertama terasa berat. Dia selalu tergoda untuk tahu perkembangan informasi. Tapi setelah itu, dia memiliki pandangan baru. Pikirannya lebih jernih, pandangan lebih berharga, keputusan-keputusannya lebih baik. Dia pun punya banyak waktu luang. Agar tidak ketinggalan informasi, dia hanya sesekali membuka medsos. Dia membatasinya, misalnya hanya sejam per hari.

Ada tiga alasan utama mengapa perlu menjaga jarak dengan berita:

Pertama, otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda. Kita mudah bereaksi dengan informasi yang memalukan, mengejutkan, berisik, dan cepat berubah.

Pihak produsen berita sangat pandai mengambil sisi yang mengejutkan otak kita. Pengelola media tahu persis bagaimana membuat makan malam kita terganggu. Kita gampang tersentak menghadapi fakta yang sensasional.

Di sisi lain, otak kita tidak bereaksi jika melihat hal yang abstrak, kompleks, dan mendalam. Padahal, hal seperti ini sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita bisa menemukan kebijaksanaan dan kedalaman hanya dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja.

Akibat mengonsumsi berita, kita berjalan dengan peta kejiwaan yang terganggu mengenai risiko dan ancaman yang sebenarnya kita hadapi.

Kedua, berita tidak selalu relevan. Hitung saja, dalam dua belas bulan terakhir, seseorang bisa mengonsumsi 10.000 potongan berita. Dalam sehari bisa lebih dari 30 berita atau informasi.

Rolf Dobeli lalu bertanya, coba sebutkan satu saja berita yang bisa membantu Anda untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk hidup, karier, atau bisnis, dibandingkan dengan tidak mengetahui berita tersebut.

Dia bertanya ke banyak orang, dan tidak seorang pun yang mampu menjawab lebih dari dua berita berharga. Kantor berita menegaskan informasinya bisa membuat anda mengalami keuntungan kompetitif, tapi yang terjadi adalah kerugian kompetitif. Buktinya, perusahaan media selalu megap-megap dan para jurnalisnya tidak kaya-kaya amat.

Ketiga, berita membuang-buang waktu. Setengah populasi manusia menghabiskan waktu untuk membaca kejadian-kejadian. Secara global, itu adalah kehilangan produktivitas.

Misalnya, seorang teroris beraksi. Media menyajikan peristiwa itu tiap hari dengan mengutip analisis para pakar. Kemudian satu miliar manusia menyaksikannya dalam sejam. Nah satu miliar orang dikalikan satu jam perhatian teralih karena tidak bekerja. Jika dihitung, betapa banyaknya waktu yang tidak produktif.

Terakhir, Rolf Dobelli menganjurkan untuk abaikan berita. Bacalah buku-buku yang berkualitas. Ikuti artikel mendalam dengan argumentasi yang kuat. Sebab tidak ada yang mengalahkan buku dalam membantu kita untuk membuat keputusan besar dalam hidup kita.

Tentu saja, saya tak selalu sepakat dengan Rolf Dobelli. Namun dalam situasi dunia yang sedang mengalami pandemi, pendapatnya patut direnungkan. Semakin banyak mengonsumsi informasi, tingkat stres bisa bertambah, dan imunitas kita juga berkurang.

Saya ingat Walikota Bogor, Bima Arya. Saat dia dikarantina karena positif Covid, dia memutuskan untuk berhenti mengikuti semua berita. Dia tidak ingin kepo dengan semua informasi yang hanya bikin dirinya ketakutan. Dia memilih diet berita demi pikiran yang lebih tenang dan jiwa yang lebih kuat dalam menghadapi sakitnya.

Dia berhasil. Kini, dia merasa lebih kuat.

IDRUS PATURUSI: Dulu Misi Berkelahi, Kini Misi Kemanusiaan




Di masa belajar di SMP Kanisius, Makassar, dia sudah dikenal sebagai orang yang suka berkelahi. Rasa percaya dirinya tumbuh kuat sejak mempelajari empat bela diri. Semasa belajar di SMA Katolik Cenderawasih, hari-harinya adalah kenakalan.

Dia mencari-cari lawan agar bakat berkelahinya tersalurkan. Dia pun pernah bentrok dengan salah satu geng yang cukup ditakuti Kota Makassar hanya gara-gara melarang anggota geng itu masuk ke acara nobar organisasi siswa sekolahnya.

Masa kecil Profesor Idrus Paturusi adalah masa kecil yang penuh gejolak. Saya membayangkan tidak ada satu pun guru sekolahnya yang mengira kelak anak yang suka berkelahi itu akan menjadi guru besar bidang kedokteran, serta Rektor Unhas dua periode.

Bahkan saat belum masuk di Fakultas Kedokteran Unhas, namanya sudah dibahas para senior.  Sebelum ikut tes masuk, dia pernah menembakkan senapan angin ke salah satu laboratorium Fakultas Kedokteran Unhas hingga kaca-kaca pecah. Semua tahu dia pelakunya.

Di hari ketika selesai ikut tes masuk Unhas, dia berlari sekencang-kencangnya ke Pelabuhan Makassar, saat kapal baru beberapa meter berlayar. Dia melempar tasnya, setelah itu melompat ke dalam kapal. Dia ingin ikut ke Jakarta, lalu Bandung, agar bisa ikut tes masuk ITB.

Sayang, takdirnya bukan di ITB. Dia tidak lulus tes masuk. Ibunya memberi kabar dirinya lulus Fakultas Kedokteran Unhas. Sebagai anak yang tidak pernah membantah kata ibunya, dia pulang dan mengubur mimpinya jadi insinyur.

Idrus Paturusi lahir dari ibu Siti Hasnah Karaeng Caya, seorang keturunan bangsawan Bantaeng. Ayahnya adalah Andi Paturusi, militer keturunan bangsawan Pinrang. Ayahnya sering pindah-pindah tugas sehingga Idrus menjalani masa sekolah dasar di enam SD berbeda yang tersebar di Jakarta dan Makassar. Sebagaimana anak pimpinan militer, semasa kecil dia dikawal seorang ajudan.

Tibalah hari dia menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Unhas. Dia terlambat masuk sehingga tidak ikut pelonco di FK. Dia diminta ikut pelonco di FKG yang saat itu baru mulai angkatan pertama.

Dia melawan. Dia menolak di-pelonco. Para senior mengenalnya sebagai anak yang dulu memecahkan kaca laboratorium. Seorang senior emosi hingga mengeluarkan kata-kata yang membuatnya tersinggung.

Dia pulang ke rumah. Ternyata ibunya sedang balik ke Pinrang. Hatinya masih panas. Dia kumpulkan temannya di Jalan Gunung Nona dan Pasar Maricaya. Dia berkata: “Mau ko kita pergi pasimbung di Unhas nanti malam?”  Temannya siap.

Dia ingin bikin geger perpelomcoan di FKG. Malamnya, setiba di lokasi perpeloncoan dia ketemu mahasiswa senior Ardin Hutasoit yang memaki Idrus kemudian menghubungi panitia kegiatan. Datang banyak orang mengepungnya. Dia siap berkelahi.

BACA: Sepengal Kisah Idrus Paturusi

Saat itulah, seorang mahasiswa senior mendatanginya dengan tenang. Mahasiswa ini sopan menyapanya, kemudian bertanya, apa mau ikut pelonco? Idrus luluh. Dia orang Bugis yang jika dilawan akan siap bertarung hingga mati, namun jika dihadapi dengan kelembutan, akan segera luluh dan tenang.

Dia menjadi mahasiswa baik, yang ikut semua aturan. Seusai pelonco, dia bahkan menjadi aktivis mahasiswa yang menonjol. Dia pun bersahabat sangat dekat dengan Farid Husain dan Saman Kalla.

Kehidupan memang menyimpan banyak misteri. Seorang anak yang dahulu bengal dan suka berkelahi menjadi dokter yang siap siaga di segala bencana. Di sela-sela tugas sebagai Rektor Unhas, dia mendatangi semua lokasi bencana demi memenuhi panggilan nurani kemanusiaannya. Dia meletakkan kemanusiaan sebagai kompas yang menggerakkan langkah kakinya.

Saya membaca kehidupan Idrus Paturusi dalam biografi berjudul Dokter di Medan Lara yang dikirimkan Sili Suli. Pada biografi setebal 353 halaman terdapat banyak kisah inspirasi tentang seseorang yang selalu memilih hidup bergejolak, berpindah dari bencana satu ke bencana lainnya.

Saya selalu terkesan membaca kisah-kisah bagaimana seseorang menemukan ke mana dirinya hendak bergerak. Saya teringat bacaan pada biografi sejumlah tokoh besar yang juga menjalani masa kecil dengan penuh cerita-cerita kenakalan.

Saya pikir, kenakalan hanya manifestasi dari energi besar yang ada pada diri seorang anak. Orang-orang besar selalu menjalani masa kecil yang penuh gejolak, selalu berhadapan dengan masalah, sehingga ketika dewasa berani mengambil keputusan-keputusan berani.

Yang saya pelajari dari beliau adalah ada masanya seseorang memulai, dan ada masanya seseorang berhenti. Ketika dia memberontak, dia sedang menyalurkan energinya yang tidak tertampung di satu arena sosial. Namun saat dirinya menemukan fokus dan tahu apa yang hendak dituju, dia akan mengejar apa yang diimpikan tersebut.

Di masa kecil, Idrus sering menjalani misi berkelahi. Kini dia menjalani misi kemanusiaan. Dia menjadi figur yang siap ditempa semua masalah sehingga lebih tangguh dan meraih banyak hal-hal besar. Dia pun berani membuat beberapa keputusan berani, di antaranya adalah menjadi dokter di berbagai bencana. Dia menjadi setitik embun di tengah tangis dan pedih korban bencana.

Bahkan belum lama dinyatakan sembuh dari Covid-19, dia sudah sibuk dan menerjunkan dirinya dalam misi kemanusiaan. Dia ikut dalam berbagai pertemuan, merumuskan strategi mengatasi pandemi, ikut menemani lara para dokter yang berjibaku untuk menyelamatkan banyak orang.

Saya suka kutipan di akhir buku: “Sabar itu pahit. Jujur itu pahit, dan ikhlas itu sangat pahit, namun semua yang pahit menyembuhkan segala macam penyakit.



Mendayung di Antara Dua Karang Covid-19


ilustrasi

Di saat semua warga dunia terkejut karena serangan virus, di saat banyak negara dan bangsa tengah berjuang hingga titik darah penghabisan, negara kecil itu justru sukses melawan Covid-19. Negeri itu adalah Taiwan.

Taiwan tidaklah sebesar dan sekuat Amerika Serikat. Tapi negara yang wilayahnya hanya berupa kota di atas karang besar (great barrier) itu seakan menampar negara-negara besar tentang bagaimana sistem kesehatan bekerja. Gangguan sekecil virus bisa segera dikenali lalu dibatasi pergerakannya.

Covid-19 memang membuka banyak hal. Negara-negara yang terlihat maju dan kuat, ternyata punya sistem kesehatan yang sangat rapuh. Sementara negara-negara kecil justru lebih kuat dan sanggup menghadapi hantaman virus.

Kalau bukan karena Covid-19, kita tidak tahu kalau ternyata negara sekuat Amerika Serikat punya masalah dengan sistem pelayanan kesehatan untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kita pun baru tahu kalau banyak negara Eropa tidak sehebat tayangan di televisi. Covid-19 telah membuka apa-apa yang selama ini tersembunyi.

BACA: Ideologi Kiri Kanan yang Menyambut Corona

Kita jadi tahu bahwa Taiwan sukses telah memberikan perlawanan dengan cara yang mengagumkan, dan hasil yang menawan. Hingga hari ini, di negara yang berbatasan dengan Cina itu, jumlah pasien yang positif Covid di Taiwan adalah 393, dengan angka kematian sebesar 6 orang. Hebat kan?

Dalam artikel berjudul Lessons from Taiwan’s Experience with Covid-19, Chang-Ching Tu menjelaskan empat pelajaran yang bisa dipetik dari Taiwan.

Pertama, pemerintahan yang efektif. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah melakukan mitigasi dan penanggulangan virus melalui strategi “sedia payung sebelum hujan.” Kedua, data yang lengkap mengenai pasien rumah sakit, warga yang menderita pernapasan hingga tracking. Ketiga, kepatuhan publik yang sangat tinggi pada negara serta pengalaman menghadapi pandemi seperti SARS. Keempat, kolaborasi dengan banyak pihak untuk menyajikan informasi yang benar.

Taiwan terlihat kecil di mata Amerika Serikat. Tapi satu hal yang membuat warga Amerika Serikat iri adalah pemerintahan yang efektif dan bisa bekerja secara simultan bersama warga dalam melawan semua virus.

Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, memahami dengan baik protokol penanganan bencana sehingga semua kekuatan bisa bergerak dan berkolaborasi dengan sangat efektif.

Taiwan mengajarkan semua pihak, bahwa yang terpenting bukanlah perdebatan apakah sistem kapitalisme ataukah sosialisme yang paling tepat dalam melawan bencana. Yang terpenting adalah bagaimana membangun satu sistem yang efektif sehingga semua organ negara bisa berkolaborasi dengan warga dan membuat aksi-aksi bersama.

Bahwa kapitalisme dan sosialisme hanya menawarkan mimpi-mimpi dan utopia. Rakyat tak butuh mimpi. Rakyat butuh pemerintah yang efektif dan bisa memaksimalkan semua sumber daya secara cepat untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Taiwan menang di titik ini.

Indonesia mesti banyak belajar pada negeri kecil itu. Indonesia adalah negeri gaduh, yang segala perdebatan selalu dilarikan ke ranah politik. Pemerintah kita dituding anti-sains sebab telah mengabaikan peringatan dini dari para ilmuwan. Betapa kita sedih melihat jumlah tes swab kita berada di level yang sama dengan Bangladesh.

Pemerintah kita sejak awal tidak terbuka apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tidak mengerahkan semua sumber daya untuk mengetes kesehatan warga sehingga yang tertular bisa segera dikarantina?

Mengapa tidak secara terbuka mengumumkan kalau kemampuan kita sangat terbatas untuk melakukan tes secara cepat? Mengapa kita tidak mengakui kalau laboratorium kita sangat terbatas sebab selama ini pemerintah hanya peduli pada start-up dan tidak menaruh kepedulian pada riset-riset yang efeknya bukan pada menghadirkan uang secepat mungkin?

BACA: Virus yang Membuka Banyak Aib Sosial Kita

Pemerintah kita juga tidak bisa memastikan para medis bisa terlindungi, juga tak memberi garansi kalau mereka diperlakukan secara layak saat gugur dalam perjuangan.

Di negeri ini, segala hal dikendalikan secara politik. Bahkan penanganan virus pun sering dilihat sebagai ajang berebut pengaruh untuk politik. Parahnya, sekian tahun negeri kita mengelola politik, solusi yang ditawarkan hanya kompromi dan bagi-bagi kekuasaan. Anda oposisi dan suka mengkritik, maka solusi membungkam Anda adalah berikan jabatan. Anda pun diam.

Namun yang dihadapi adalah virus yang bisa setiap saat membuat warga kehilangan nyawa. Penyelesaian yang kompromistis bukan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Negara harus bergerak cepat, memobilisasi semua kekuatan, demi melindungi tanah air dan segenap tumpah darah Indonesia.

Kita memang keteteran di awal. Tapi seiring waktu, kita mulai melihat insiatif pemerintah mulai muncul, meskipun masih sayup terdengar. Covid-19 menjadi bencana nasional. Anggaran negara direlokasi sehingga tersedia ratusan triliun. Jika dahulu, hanya pemerintah DKI Jakarta yang siaga, kini semua pemerintah daerah bersiaga dan menyiapkan anggaran untuk ikut bertempur.

Doktrin perlawanan kita adalah perlawanan rakyat semesta. Di masa perjuangan, semua rakyat bersatu dan melawan dengan cara masing-masing. Kini, perlawanan semesta itu harus segera dibangkitkan. Di semua lini, mulai dari pemerintah pusat hingga lapis komunitas, perlawanan mesti digaungkan. Bahkan masyarakat adat mulai mengeluarkan strategi kultural untuk mengunci wilayah adat agar membatasi pergerakan virus.

Harapan-harapan mulai bermekaran di hati kita saat melihat munculnya insiatif lokal di mana-mana. Pemerintah kita bisa bebal dan lambat sebab punya tanggung jawab mengurusi penduduk ratusan juta orang, tapi kita melihat muncul banyak inisiatif yang menolak sikap memaki kegelapan, tapi memilih untuk menyalakan lilin.

Di Agam, Sumatera Barat, warga desa menolak bantuan pemerintah sebab merasa berkecukupan dan berharap bantuan diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Di Banyuwangi, sejumlah warga desa menyiapkan rumah-rumah kosong sebagai tempat karantina bagi pemudik. Di Kalimantan Selatan dan Kota Ambon, polisi menyediakan dapur umum untuk warga terdampak. Di Kembangan, Jakarta, warga membagikan makanan gratis untuk kaum miskin.

Yang menyentuh hati adalah ketika warga saling membantu, tanpa melihat agama masing-masing. Kita mendengar warga Muslim menyiapkan makanan untuk saudara Kristiani yang sedang melakukan karantina. Demikian pula hal sebaliknya.

Memang, ada kisah warga yang menolak korban Covid dikuburkan. Namun di banyak lokasi, kita melihat ada banyak warga yang ikhlas menyiapkan lahan untuk menguburkan korban Covid. Kita melihat ada banyak orang baik yang ikhlas berbuat untuk orang lain,

Pemerintah pusat harus dihardik agar bergerak lebih cepat. Pemerintah daerah harus ditekan untuk selalu memberikan pelayanan terbaik, serta memunculkan inisiatif lokal. Kerja-kerja kritik harus tetap dipelihara semangatnya agar negara tetap membangun benteng perlindungan yang kuat bagi warganya.

Namun, kita jangan tenggelam dalam situasi putus-asa melihat segala hal tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Tidak usah terjebak dalam tengkar hingga berhari-hari mengenai stafsus milenial yang blunder itu. Saatnya bergabung dengan perlawanan rakyat semesta pada lini perang yang paling mungkin untuk kita lakukan.

Dahulu, Bung Karno sering mengibaratkan ibu pertiwi sedang memakai kebaya, dengan rambut disanggul dan memakai konde. Kata Bung Karno, jika kita sanggup menyumbang melati, letakkan melati di sanggul ibu pertiwi. Jika sanggup menyumbang mawar, sisipkan mawar di sanggul itu.

Kini, kita pun bisa memberikan apa yang kita miliki untuk ibu pertiwi. Jika punya kritik, berikan yang terbaik agar negara bekerja. Jika punya semangat, sebarkanlah agar orang lain punya asa dan bangkit melawan semua rasa putus asa. Jika tak punya apa-apa, berdiam dirilah, hentikan menyebar provokasi dan ketakutan yang hanya membuat putus asa seakan negeri ini tak punya harapan.

BACA: Saat Corona Menyerang Homo Deus

Dahulu, Bung Hatta menulis Mendayung di Antara Dua Karang, yang pernah dicatat Tempo sebagai buku terbaik yang pernah ditulis manusia Indonesia dalam sejarah. Hatta menyebut ideologi kita bukan kapitalis yang menekankan kebebasan dan lemahnya negara, bukan juga sosialis yang menjadikan negara sangat kuat sehingga menghilangkan kebebasan warganya.

Kata Hatta, kita menyerap ideologi Pancasila yang digali dari kultur Indonesia, ideologi yang menyerap kebaikan pada masing-masing ideologi. Kita tak ingin bangsa ini menyerap sisi buruk kapitalisme yakni jurang kaya miskin yang lebar, serta sisi buruk sosialisme yakni negara yang otoriter.

Covid-19 memunculkan harapan baru dalam diri kita akan hadirnya negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta masyarakat sipil yang kuat dan bisa bergerak dengan cepat untuk melindungi sesamanya, membasuh luka mereka yang sedang sakit, serta menumbuhkan bunga-bunga harapan pada sesama anak bangsa.

“Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta,” kata Bung Hatta.

Maka, bangkitlah Indonesia!



MANUSIA BATU yang Menghilang di KOTA TUA


bersama Idris, Manusa Batoe, beberapa bulan lalu

JAKARTA telah menutup banyak tempat wisata. Kawasan Kota Tua yang dahulu ramai kini kosong-melompong. Di depan Museum Fatahillah yang dahulu dibangun Gubernur Jenderal Joan Van Horn, seorang lelaki menatap nanar karena kehilangan sumber rezeki satu-satunya. Dia disapa Idris.

Dia mengenang masa-masa sebelum virus Corona menyerang. Setiap hari dia akan menjadi manusia batu atau manusia patung di satu titik. Dia memilih kostum pejuang yang bersepeda. Sepintas, dia mirip Bung Tomo, seorang penyiar radio asal Surabaya yang kalimatnya menggeledek.

Saya mengenal Idris sejak tahun 2014. Sependek ingatan saya, hanya ada dua atau tiga orang yang menjadi manusia batu saat itu. Idris berdiri di dekat meriam. Saat mengambil gambarnya, saya menyempatkan waktu untuk berbincang. Sejak itu, kami saling kenal dan kerap berbalas pesan di media sosial.

Idris dahulu adalah korban penggusuran di Jakarta, tahun 2012. Tadinya dia datang ke Kota Tua untuk membuka warung. Dilihatnya banyak orang berfoto di dekat Meriam Si Jagur. Idris berpikir kalau dirinya bisa memakai kostum unik, pasti orang-orang akan antre untuk foto dengannya.

Petualangan Idris sebagai manusia batu dimulai. Dia menginspirasi banyak orang untuk mengambil profesi yang sama. Dalam sehari dia bisa mendapatkan uang sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu rupiah. Sering, dia ikut rombongan Pemda DKI Jakarta yang pameran di kota lain. Pernah dia mewakili Indonesia di ajang festival manusia patung yang diadakan di Spanyol.

BACA: Kisah Manusia Batu di Tepi Jakarta

Beberapa kali saya datang ke Kota Tua untuk sekadar menyapa Idris. Kadang dia tidak berada di sana. Kata rekannya, dia kerap menerima orderan untuk tampil di berbagai acara. Baru-baru ini dia tampil di acara ulang tahun TVOne. Dia mewarnai seluruh tubuhnya dengan warna silver, setelah itu memegang microphone seolah jurnalis tivi itu.

Dulu dia sendirian. Kini, jumlah orang yang seperti Idris ada ratusan orang. Tidak semua menjadi manusia batu atau manusia patung. Ada yang berpakaian seperti putri-putri, noni Belanda, juga karakter dalam kartun. Semuanya mengais rezeki di lanskap yang sama yakni Kota Tua.

Saat kawasan wisata itu ditutup pada 14 Maret 2020 lalu, apa yang kini mereka lakukan?

“Saya kehilangan pekerjaan Bang. Saya sama sekali tidak pegang uang,” kata Idris saat saya hubungi via telepon.

Suaranya agak pelan. Dia tidak menyangka saya masih menyimpan nomornya. Sejak Kota Tua ditutup, dia telah menjual banyak barang di rumahnya. Mulai dari televisi hingga HP semua telah dilelang untuk menutupi biaya hidupnya.

Dia tak punya pilihan sebab tinggal bersama satu anak, satu adik, dan istri yang sedang hamil tua. Dia harus menghidupi empat kepala. Tanpa menjadi manusia batu, Idris kehilangan penghasilan. Mulanya dia dibantu sama adiknya. Namun Idris tak ingin menjadi beban. Dia mesti mendapatkan uang. Mulailah dia menjual semua barang di rumahnya.

“Terakhir saya jual televisi 21 inch layar cembung. Harganya 400 ribu. Sebelumnya saya jual HP. Makanya saya heran karena Abang tahu nomor saya di HP yang ini. Padahal saya jarang bagikan,” katanya. Mungkin Idris lupa kalau dia pernah memberikan nomor ini dalam satu percakapan kami.

Beruntung, dia mendapatkan bantuan dari kafe dan restoran yang ada di sekitar Kota Tua. “Saya beruntung karena dapat bantuan dari Forum Tata Kelola Pariwisata Wisata Kita Tua. Anggotanya pemilik gedung tua. Saya dan teman-teman dapat bantuan ala kadarnya. Sudah dua kali dapat,” katanya.

Idris juga bercerita, 70 persen dari para pekerja di Kota Tua sudah pulang kampung. Yang tersisa hanya sedikit, utamanya yang memiliki KTP Jakarta, sebagaimana dirinya. Tapi, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tak bisa bekerja. Dia tak bisa menerima order dari luar.

Dari kamar sepetak yang dikontraknya, dia hanya bisa pasrah pada nasib. Beberapa media telah mewawancarainya, termasuk Kompas. Akan tetapi, hingga kini dia belum tersentuh bantuan.

Dia tahu kalau di banyak media, pemerintah pusat dan daerah menjanjikan banyak bantuan. Bahkan banyak pengusaha dan masyarakat saling bahu-membahu untuk membantu sesama. Namun Idrus seakan hilang dari radar.

Jangan-jangan dia adalah representasi dari banyak orang miskin yang selama ini hanya disebut-sebut dalam statistik lalu dilupakan dengan mudah seiring dengan selesainya jumpa pers yang menyebut alokasi anggaran hingga miliaran? Dia luput dari perbincangan para netizen yang sibuk membandingkan besarnya bantuan pemerintah daerahnya.

BACA: Perempuan Vietnam di Sudut Mangga Besar

Saya tercenung mendengar kisahnya. Ada jutaan orang yang mengandalkan upah harian di kota-kota sebesar Jakarta. Mereka dalam posisi rentan sebab tak bisa menghasilkan apa pun. Di antara mereka, ada banyak ayah, tumpuan nafkah, serta anak-anak muda yang setiap saat bisa menerima dampak besar dari gejolak ekonomi.

Saya ingat buku yang ditulis Guy Standing mengenai The Precariat: The New Dangerous Class. Mereka adalah kelas pekerja prekariat yang jam kerjanya tidak pasti, tidak punya jaminan pekerjaan, tidak punya kontrak kerja. Mereka kerja dengan waktu yang tidak menentu, jangka pendek, serta rentan terputus rezekinya. Mereka adalah lapis kerja terbanyak di kota-kota kita.

Saat virus Corona menyerang, Idrus jelas tak berdaya. Dia ingin mengikuti arahan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak (social distancing). Tapi apa daya dia harus bekerja dan mendapatkan penghasilan. “Semoga Idris segera menemukan kabar baik dalam waktu dekat.” Saya membisikkan harapan.

Dari rumah petak yang jaraknya hanya satu kilometer dari Kota Tua, Idris menatap sayu lapangan depan Museum Fatahillah yang kini kosong. Entah kapan dibuka kembali.



Jackie Chan yang Membangun Diferensiasi dan Positioning




Di ajang Big Bad Wolf (BBW) yang berlangsung singkat gara-gara Corona, saya membeli banyak buku murah. Di antaranya adalah Selling Yourself: Menang Bersaing di Era MEA. Saya tertarik melihat ada nama Hermawan Kertajaya di sampul buku. Biasanya, saya hanya butuh waktu singkat menghabiskan buku sejenis.

Sejak dulu saya suka membaca buku-buku marketing yang ditulis Hermawan. Yang saya lihat, orang marketing selalu mendahulukan studi kasus. Artinya mereka selalu menjelaskan dengan contoh yang mudah kita amati, setiap hari kita saksikan. Setelah contoh dibahas, barulah mereka masuk ke teori. Itu pun teori yang sifatnya praktis. Mudah diterapkan.

Selain itu, mereka selalu menulis sesuatu sesederhana mungkin. Mungkin mereka ingin agar semua pelaku usaha memahami mereka, mulai dari pemilik mal hingga warung kaki lima.

Pada buku yang membahas tentang brand ini, saya tertarik dengan kisah Jackie Chan. Semua orang tahu kalau dia bintang film yang sukses. Semua filmnya selalu laris. Dia bisa mengemas kungfu menjadi sesuatu yang menghibur.

Nama aslinya Chan Kong Sang. Nama Jackie didapatnya saat bermigrasi ke Australia di tahun 1976. Dia belajar di Dickson College dan bekerja sebagai pekerja bangunan. Pengawasnya adalah seseorang bernama Jack. Makanya, dia sering disapa Little Jack, yang dipendekkan menjadi Jackie.

Sepulang ke Hong Kong, dia ingin menjadi aktor film laga. Dia sering diminta untuk meniru aksi legenda kungfu Bruce Lee. Sebab gaya Bruce Lee sangat disukai orang barat. Namun semakin dia berusaha meniru Bruce Lee, dia semakin tidak nyaman. Dia paham tidak mudah menggeser positioning Bruce Lee di pentas film.

Dia pun mempelajari semua film Bruce Lee. Dia menemuan beberapa hal yang selalu menjadi ciri atau identitas. (1), Bruce Lee selalu bersikap serius dalam semua filmnya. (2), Bruce Lee selalu dalam posisi yang tidak terkalahkan. Dia selalu menang. (3) Bruce Lee tidak pernah menunjukkan rasa kesakitan, (4) Bruce Lee selalu membawa senjata yang khas dalam setiap adegan laga.

Jackie Chan lalu memikirkan sesuatu yang beda. Dia sudah menerapkan konsep dalam marketing yakni diferensiasi. Kalau dia sama dengan Bruce Lee, maka selamanya dia akan jadi pengikut. Dia akan berada di bawah bayang-bayang kebesaran aktor itu.

Dia ingin menjadi anti-tesis dari Bruce Lee. Dia merancang film di mana kungfu dikemas menarik, penuh adegan laga yang kocak, serta dirinya sering menjadi bulan-bulanan atau pihak kalah yang bersakit-sakit, sebelum kemudian menang. Dia juga tidak perlu senjata, sebab apa yang ada di sekitarnya bisa menjadi senjata.

Dalam buku ini, saya temukan cerita tentang betapa pentingnya menemukan sisi pembeda dari orang lain. Ketika kita berkarier, maka kita perlu diferensiasi atau pembeda. Kita pun perlu menemukan satu positioning yang kuat tentang diri kita. Dari situlah konsep tentang branding dirumuskan.

Saya tertarik dengan kisah ini karena selama ini saya beranggapan sebagaimana masyarakat Indonesia kalau hidup ini mengalir seperti air. Ternyata penting juga untuk sejak awal merumuskan apa yang menjadi pembeda kita dengan pihak lain, sehingga positioning kita terbentuk.

Saya teringat pada bacaan mengenai orang Jepang yang sejak usia belia sudah merumuskan konsep dirinya. Orang Jepang punya konsep Ikigai, atau semacam passion yang menjadi arah dan memandu langkah mereka. Ikigai adalah semacam tujuan hidup yang dikejar, serta ada semacam keyakinan kalau Ikigai itu bisa menjual sehingga bisa menjadi sandaran hidup di masa depan.

Tentunya, setelah menemukan differensiasi, persoalan tidak lantas selesai. Berikutnya kerja keras dan konsistensi seseorang yang akan menjadi pembeda. Jackie Chan adalah figur yang total dalam bekerja. Dia merencanakan sesuatu sampai detail, lalu mengeksekusi semua rencana itu dengan matang.

Setiap bangun pagi, dia segera membuat daftar apa yang akan dia lakukan setiap hari. Dia akan memastikan semua rencana bisa dilaksanakan. Dia akan bertanya pada dirinya, apa hal positif yang sudah dilakukannya setiap hari.

Saya langsung merenungi diri saya. Bangun pagi, yang pertama saya cari adalah HP. Setelah itu tenggelam membaca percakapan, gosip, serta berbagai link. Di WA, orang lebih suka membagikan link demi link, kecemasan demi kecemasan, serta hasutan sana sini.

Kadang-kadang, kita memulai pagi dengan rasa geram dan benci. Kita menganggap semua pihak begitu bodoh, dan hanya kita yang benar. Kita memulai hari dengan rasa kesal, kemudian mood kita seharian hanya diisi dengan rasa tidak nyaman. Kita lupa memikirkan apa hal penting yang harus dilakukan.

Saya pikir sudah waktunya mengisi hari dengan hal positif. Tapi, ketika mengintip WA, saya kembali larut dalam keasyikan debat kusir mengenai sesuatu.

Kok tengkar2, lihat2 debat, dan pantau gosip malah asyik yaaa..



Tahun Ini BBW Berlangung Singkat




Orang-orang menimbun makanan. Saya malah mengumpulkan bahan bacaan. Sepekan ini saya berkunjung ke pameran buku Big Bad Wolf dan membawa pulang beberapa buku murah. Singgah pula ke toko buku untuk update buku baru.

Saya membayangkan betapa nikmatnya tinggal2 di rumah sambil mengunyah camilan, trus membuka lembaran buku baru. Prioritas utama untuk diselesaikan adalah novel Pangeran dari Timur, kemudian biografi Elon Musk, bukunya Jonah Berger yakni Invicible Influence, novel baru Pidi Baiq, serta karya lawas Hamka.

Mendesak pula untuk baca The Art of Thinking Clearly. Saya masih berkeyakinan kalau buku jauh lebih bergizi dan mencerahkan dibanding membaca status-status alay di medsos.

Sayang, tahun ini ajang BBW tidak lama digelar. Terjangan virus Corona membuat kota-kota menjadi sepi. Orang-orang memilih tinggal di rumah agar tidak terjangkit virus. Pameran ini harus diakhiri lebih awal.

Padahal tahun lalu, saya sampai datang dua kali dan hab menghabiskan lebih banyak uang untuk belanja. Tapi setidakya saya bersyukur karena bisa membawa banyak buku bagus. Semoga kedepannya ajang BBW tetap rutin digelar demi memuaskan dahaga kami para pembaca buku. Semoga.