Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Bondan Winarno, Sejarah Kuliner, dan Rasa Budaya



BANYAK sisi untuk menilai Bondan Winarno. Tidak hanya soal jurnalisme investigasi, atau acara-acara kuliner dan jalan-jalan yang dipandunya. Dia juga punya keberpihakan pada kuliner lokal yang disajikan di warung-warung kaki lima. Ia menaikkan “kelas” warung kaki lima dan kuliner lokal hingga bersanding dengan restoran bintang lima di layar-layar televisi.

Dalam satu makan siang bersamanya, ia pernah menjelaskan resep kuliner Pencong di Bali yang hanya digunakan saat ada ayam aduan yang mati. Saya pun menceritakan pengalaman dan bacaan saya mengapa masakan Jawa terasa manis di lidah.

***

PERTENGAHAN tahun 2010, saya bertemu Bondan Winarno di Denpasar dalam satu acara diskusi mengenai pariwisata kuliner. Acara itu mempertemukan beberapa stakeholder, mulai dari pemerintah, pelaku pariwisata, jurnalis, blogger, dan para traveler. Seusai diskusi, kami ngobrol-ngobrol di ruang makan saat makan siang.

Saking asyiknya pembicaraan, kami tak sadar kalau hari telah beranjak sore. Kami berpisah. Malamnya, Bondan mengajak saya untuk ngopi-ngopi di satu warung kaki lima yang menyajikan kopi khas Bali yang nikmat. “Maknyuss” katanya.

Di mata saya, Bondan adalah sosok yang hangat. Ia tak pernah kehabisan topik. Kami membahas beragam topik yang tidak pernah habis dikupasnya. Ia punya banyak bumbu-bumbu untuk membuat setiap kisah jadi menarik. Lidahnya serupa alat canggih yang bisa mengenali semua jenis bumbu yang disajikan dalam makanan. Ia juga pencerita hebat yang selalu bisa mengemas semua kisah jadi menarik.

Kesan saya, wawasannya luas. Ia banyak keliling dunia demi berbagai tugas, sekaligus berpetualang mencicipi kuliner baru. Ia bertemu banyak kalangan, mulai dari pejabat hingga warga biasa yang saban hari ngopi di tepi jalan. Terhadap banyak kalangan itu, ia bisa memosisikan diri. Makanya, ia selalu menjadi kawan akrab banyak orang. Bahkan saya yang baru mengenalnya pun tiba-tiba merasa seperti kawan akrab yang sudah puluhan tahun saling mengenal.

Saat diajak membahas makanan, ia penuh antusias. Kata Bondan, hampir semua daerah memiliki khazanah pusaka, yakni aneka kuliner yang hingga kini masih lestari. Ia menolak anggapan bahwa masuknya berbagai kuliner impor akan mematikan semua kuliner lokal. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kuliner asing itu yang terancam gulung tikar oleh kuliner lokal.

“Kita sering khawatir sama pengaruh McDonald. Padahal, gerainya di seluruh Indonesia nggak lebih dari 115. Malah jumlahnya makin berkurang. Demikian pula dengan Starbucks yang bangkrut di mana-mana. Orang Indonesia berpikir, ngapain ngopi di Starbuck dan harus bayar sampai 50 ribu rupiah. Mending ngopi di pinggir jalan. Di Bali ini, harga ngopi di pinggir jalan cuma dua ribu rupiah. Padahal kenikmatannya sama saja,” katanya.

Bondan juga menjelaskan betapa tangguhnya para pengusaha kuliner kita. Saat krisis menerjang, justru para pengusaha kuliner yang paling tangguh menghadapinya. Mereka tangguh karena yakin publik tanah air kita akan selalu mencari kuliner lokal. “Sejauh-jauhnya manusia Indonesia berkelana, tetap saja lidahnya akan lebih suka nasi goreng ketimbang spageti,” katanya sembari terkekeh.

Jika dihitung, maka jumlah pengusaha kuliner bisa sampai separuh dari jumlah pengusaha di Indonesia. “Pengusaha kuliner itu bukan cuma tukang masak saja. Sebab semua peternak, pedagang ayam, juga masuk dalam kategori pengusaha kuliner. Demikian pula petani. Mereka semua menyediakan bahan untuk kuliner,” katanya.

Sayangnya, pemerintah tidak begitu peduli dengan pusaka kuliner. Padahal, jika kuliner dikelola dan dikemas secara kreatif, maka akan menjadi satu kekayaan budaya serta potensi wisata yang sangat besar.

“Sebenarnya, ini kan soal kemasan. Kita tidak mengemas kuliner kita secara kreatif. Misalnya saja di bali ini kita mengenal menu bernama Pencong. Ini masakan ayam yang amat enak. Pada masa lalu, resep ini hanya dibuat ketika ada ayam aduan yang kalah. Andaikan sejarah ini diceritakan, pastilah semua orang akan ngiler dan penasaran untuk mencoba,” lanjutnya lagi.

Nah, saat ia membahas ini saya tertarik. Saya setuju dengannya. Semua daerah punya kuliner yang resepnya diwariskan dari zaman ke zaman. Di setiap kuliner itu, ada banyak kisah, narasi, dan sejarah yang jika dikisahkan akan membuat semua orang penasaran. Saat ia mengisahkan menu Pencong di Bali, saya jadi penasaran untuk mencicipinya. Tapi saya membayangkan pasti akan sulit menemukan adu ayam di masa kini. Padahal, kata Bondan, menu pencong itu akan dikeluarkan saat ada ayam mati.

Berpose dengan Bondan Winarno

Ternyata di balik setiap masakan atau kuliner, terselip demikian banyak kisah-kisah yang bisa dieksplorasi dan menunjukkan bagaimana sebuah kebudayaan tumbuh dan berkembang. Kuliner bisa menjadi sebuah jendela atau pintu masuk untuk menjelaskan banyak hal. Mulai dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di suatu tempat, bahan-bahan alami yang mudah ditemukan, hingga pelapisan sosial ketika satu kuliner di masa silam hanya dikonsumsi oleh keluarga bangsawan.

Kuliner bisa menjadi starting point untuk menjelaskan kebudayaan secara lebih luas. Dalam khasanah ilmu sosial yang menganut logika induktif, kuliner menjadi pintu masuk yang akan membawa seseorang memasuki jantung sebuah kebudayaan melalui pengenalan akan khasanah alam, serta dinamika dan interaksi antar manusia yang ada di dalamnya.

Melalui kuliner bernama Pencong tersebut, kita bisa mengenal lebih jauh tradisi sabung ayam, potensi alam Bali, serta bagaimana dinamika manusia-manusia Bali yang mengolah kuliner tersebut.

Saya teringat penuturan seorang sejarawan, mengapa makanan Jawa selalu terasa manis. Ada dua argumentasi yang bisa dikemukakan.

Pertama, rasa manis telah lama dikenal sebagai rasa yang wajib ada dalam makanan. Dalam teks Jawa kuno, terdapat ajaran tentang enam rasa yakni manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepat. Keenam rasa ini harus ada dalam setiap makanan demi menghasilkan rasa yang sempurna.

Kedua, rasa manis itu diduga terkait dengan banyaknya suplai gula di Jawa akibat didirikannnya banyak pabrik gula.  Sejarah mencatat, pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan kebijakan tanam paksa untuk mengisi kas pemerintah yang kosong karena habis digunakan untuk perang melawan Pangeran Diponegoro. Para petani di Jawa hanya dibolehkan menanam komoditas tertentu yang laku di pasaran internasional, di antaranya adalah tebu dan kopi.

Lebih 100 pabrik gula lalu didirikan di Jawa. Sejuta petani menanam tebu, yang kemudian berimbas pada menipisnya stok beras. Di saat kekeringan, petani memasak dengan air perasan tebu. Sejarawan Onghokham menulis bahwa setelah tanam paksa dihapus, bisnis gula lalu beralih ke pedagang Tionghoa dan swasta. Melalu kerjasama dengan raja-raja Jawa, semua kerajaan lalu mengalami kemakmuran. Para abdi dalem, lalu mendapatkan konsesi tanah yang kemudian ditanami gula.

Walaupun bisnis gula kemudian meredup akibat krisis ekonomi tahun 1930-an, para priyayi dan bangsawan telah telanjur memiliki lifestyle sebagai warga kelas atas. Kebiasaan kuliner, khususnya yang manis-manis, menjadi gaya hidup masyarakat. Tak heran jika banyak yang terkena sakit gula. Konon, Sultan Hamengku Buwono VIII meninggal karena sakit gula. Ia menjadi satu dari banyak orang yang terkena dampak dari makanan berasa manis.

Ternyata, di balik setiap rasa makanan terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa diserap. Melalui makanan, kita bisa memasuki rimba kebudayaan, merambah tepian sejarah, lalu membawa pulang demikian banyak inspirasi pengetahuan di sana. Melalui tradisi, kita bisa menyerap segenap masa lalu untuk memahami segala dinamika di masa kini.

***

PADA diri Bondan, saya temukan idealisme untuk mengangkat kuliner lokal. Melalui acara-acara yang diasuhnya, ia mempromosikan berbagai khasanah kuliner lokal yang cita rasanya selalu maknyuss. Tak terhitung betapa banyak restoran yang memajang fotonya yang pernah singgah dan mencicipi makanan di situ. Ia meninggalkan banyak jejak di hati pengusaha kuliner yang jualannya mendadak laris karena disinggahi dan dipromosikan Bondan.

Hari ini, saya membaca berita tentang Bondan yang sudah berpulang. Saya rasa Bondan sedang memulai perjalanan baru. Andaikan bisa kembali berdialog dengannya, saya berharap dirinya bisa bercerita seperti apa nikmatnya menu di surga. Apakah manis, asin, ataukah asam?

Biarlah Bondan yang merasakannya di sana.




Ada Apa dengan Sandiaga dan Dewi Perssik?



JIKA semua orang yang melanggar jalur busway akan diangkat menjadi duta atau mitra, berapa banyak mitra yang akan dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta? Ataukah karena pelanggar itu seorang Dewi Perssik makanya mendapatkan tawaran menjadi Duta Transjakarta?

Dua hari terakhir, nama Dewi Perssik kembali mencuat ke permukaan. Mulanya, dia menerobos jalur Busway. Dia mengaku kondisinya sedang darurat sebab harus membawa asistennya yang sedang sesak napas.

Di Instagram, ia mengaku dikawal seorang anggota kepolisian, klaim yang lalu dibantah petinggi polisi. Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno memberi komentar berbeda.

Alih-alih menegakkan aturan dengan memberlakukan sanksi, sebagaimana diberikan kepada warga biasa yang melanggar, ia justru mengangkat wacana tentang perlunya mengangkat Dewi Perssik sebagai Duta Tertib Berlalulintas. Publik heboh. Media-media langsung meradang. Infotaiment ibarat kucing lapar yang disodori ikan.

Yang dipersoalkan publik adalah pernyataan Sandiaga yang dengan mudahnya mengangkat seorang pelanggar menjadi duta atau representasi pemerintah. Benar, seorang duta adalah seorang public figur yang dikenal publik sehingga pesan-pesan komunikasi bisa lebih mudah disampaikan. Tapi, penunjukannya, tetap melalui mekanisme. Seseorang tidak serta-merta diangkat begitu saja hanya karena melanggar.

Mungkin saja, yang dilakukan Sandiaga adalah bentuk lain dari pembelajaran. Ia sedang memberikan hukuman, tapi dengan cara yang kreatif. Tindakannya ibarat seorang guru yang menemukan seorang anak melanggar, kemudian memberinya sanksi dengan cara menjaga agar temannya tidak melanggar. Hanya saja, ia tetap harus mengamati rekam jejak seorang selebritis sebelum memintanya menjadi wakil pemerintah.

Tapi, saya justru berpikir lain. Saya menduga Sandiaga tidak begitu serius dengan pernyataannya. Dia sengaja mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia benar saat mengatakan bahwa persoalan ini tidak perlu diperpanjang. Tapi di bagian akhir kalimatnya, ia menyelipkan diksi perlunya mengangkat Dewi Perssik sebagai duta yang segera menyita perhatian semua media. Ia membuat hal yang sederhana itu menjadi ramai sehingga seolah-olah besar. Padahal ini perkara yang sering terjadi dan berulang.

Sepekan terakhir, saya banyak mengamati pernyataan Sandiaga yang justru banyak menjadi “gorengan” media-media massa. Saya menangkap kesan kuat kalau Sandiaga lebih populer di media karena pernyataan-pernyataannya yang cenderung spontan dan lepas begitu saja.

Media membutuhkan sensasi. Sandiaga melempar banyak umpan. Maka ramailah jagad media dengan pernyataan Sandiaga. Dari sisi politik, posisi Sandiaga sebagai Wakil Gubernur justru memberinya keleluasaan. Sebagai Wagub, ia tidak dalam posisi politik yang rawan sebab tidak menandatangani kebijakan apapun. Ia hanya mendampingi seorang Gubernur. Sandiaga memainkan posisi sebagai playmaker yang selalu diburu oleh semua bek lawan, dan di saat bersamaan, sang striker berlari sendirian untuk mencetak gol.

Ia memainkan peran Lionel Messi yang diburu semua bek lawan, dan di saat bersamaan, posisi Luis Suarez tidak terjaga sehingga leluasa saat menjadi target man di depan gawang.

Lihat pula media-media sepekan ini. Anies Baswedan justru tak banyak dibahas. Ia sepi dari kejaran media. Posisi ini memberinya keleluasaan untuk melakukan banyak hal.

Ia juga sukses “bersembunyi” dari kejaran media yang ingin mengorek beberapa hal darinya. Entah apa yang dikerjakan Anies, yang pasti ia bisa lebih leluasa dalam menyusun taktik dan strategi.

Memang, ada juga berita tentang Anies mengucurkan anggaran untuk PAUD 63 miliar, serta istrinya jadi Bunda PAUD. Namun, berita tentang Sandiaga selalu lebih heboh.

Sejauh ini kita jarang mendengar pernyataan Anies mengenai APBD DKI Jakarta yang amburadul. Kita juga tak pernah mendengar responnya atas berbagai dinamika yang dihadapinya. Dalam banyak hal, ia memilih no comment. Bahkan, tak ada juga pernyataan apakah ia akan bergabung dengan aksi reuni 212 ataukah tidak.

Bagaimanapun juga, aksi ini punya kontribusi pada kemenangannya. Ia bisa “bersembunyi” dari kejaran media, dengan cara mendorong Sandiaga bermain lebih agresif dan mengeluarkan diksi-diksi yang segera akan menyita perhatian publik. Dengan cara ini, Anies tidak menjadi sasaran tembak. Perhatian publik dipecah.

Langkah ini jelas mengundang risiko. Jika tidak dikendalikan dengan baik ritmenya, bisa-bisa banyak blunder yang dibuat. Dunia politik kita ibarat permainan baseball.
Ada spin dan counter spin. Ada permainan isu, dan ada pula counter atas isu. Sandiaga menjaga ritme dan melempar pernyataan yang bisa menggiring semua wacana.

Ia menjalankan peran yang dilakukan para konsultan manajemen media yakni moulding the image atau merancang serangkaian kata-kata untuk didengar dan dilihat, juga menyita ketertarikan media.

Sebagai pubik, tugas kita adalah tidak ikut larut dalam hal remeh-temeh seperti ini, namun tetap memelihara sikap kritis dan peka terhadap hidden agenda yang bisa saja terjadi di belakang. Kita harus tetap fokus mengawal agenda-agenda yang menyangkut publik, sembari tetap kritis untuk mengamati sejauh mana kartel berperan dan menyokong rezim terpilih di ibukota ini.

Mengingat terpilihnya Anies-Sandi karena dukungan dari banyak kekuatan, maka pola-pola kompromi akan dipilih demi mengatasi rasa dahaga banyak pihak, yang tentu saja berpotensi untuk membuat masyarakat semakin terpuruk. Publik harus tetap waras biar selalu waspada.

Btw, pola spin dan counter spin ini bukan hal baru. Pernah, dalam satu persidangan penting di Makassar pada akhir tahun 1990-an, saya melihat pengacara OC Kaligis membawa artis Sarah Azhari dan Zarima di ruang sidang.

Sidang, yang tadinya dipenuhi kemarahan atas terdakwa yang diduga menilep uang petani, berubah menjadi tenang. Semua massa dan demonstran yang marah itu tak berdaya saat Sarah Azhari datang dengan pakaian seksi dan menyilangkan kaki.

Di akhir sidang yang memenangkan klien-nya, OC Kaligis berkata dengan pongah. “Saya tunjukkan apa yang tidak mungkin kalian pelajari di semua kampus. Saya sengaja bawa Sarah Azhari untuk meredakan emosi massa. Lihat persidangan itu. Semuanya tenang karena fokus pada pakaian seksi artis yang saya bawa.”

Entah kenapa, saya menemukan strategi berulang sedang dimainkan Sandiaga. Ia memecah perhatian publik dengan cara melempar diksi tertentu yang bikin geram banyak orang. Jika Dewi Perssik masuk balai kota, maka fokus dan perhatian publik akan mengarah ke pedangdut seksi itu.

Hari ini, saya membaca respon Dewi Persik yang cukup cerdas. Ia menolak permintaan Sandiaga. Melalui akun instagram-nya, ia mengatakan:

Kepada bapak yang terhormat bapak wagub @sandiuno terimakasih atas kepercayaannya pak utk menjadikan saya DUTA TRANSJAKARTA (BUSWAY) tapi dengan tidak mengurangi rasa hormat dan kerendahan hati sepertinya sy blm ada kemampuan dan berani mjd duta. Lain hal kalau duta goyang dan nyanyi blh.. krn itu bidang saya,

Respon Dewi Perssik menunjukkan bahwa ia tahu peran apa yang harus dimainkannya, tanpa harus terjebak dengan retorika seorang politisi. Pedangdut seksi ini cerdas.




Senjata Digital untuk Aktivis "Jaman Now"




DAHULU, para aktivis hanya mengandalkan strategi demonstrasi dan perlawanan melalui perlemen jalanan. Di banyak kota, para aktivis, khususnya mahasiswa, seringkali hanya bisa berekspresi melalui aksi menutup jalan sembari menyampaikan tuntutan melalui megaphone

Ada anggapan bahwa jalan aktivis paling heroik adalah jalannya para demonstran. Ada asumsi bahwa untuk jadi seorang pembela hak rakyat, anda harus berpanas-panas di jalan raya sembari membawa spanduk.

Seiring dengan dinamika zaman, banyak hal yang berubah. Aktivis Jaman Now yang hanya mengandalkan demonstrasi justru menjadi lelucon. Pergerakan aktivis harus lebih canggih. Mereka tidak cuma mengandalkan demonstrasi dan parlemen jalan, tapi bergerilya melalui tulisan-tulisan menggugah di media sosial. 

Mereka bisa mengkoordinir ribuan massa melalui ujung jemari saat mengirim pesan di Facebook dan Twitter, kemudian menggerakkan banyak orang.

Aktivis sekarang bekerja melalui banyak jalur di media sosial. Mereka bergerak jauh lebih cerdas. Mereka bisa memonitor dinamika sosial melalui perangkat teknologi yang dimilikinya. Mereka menjadikan ujung jemari sebagai senjata yang menggugah kesadaran. Senjata mereka bukan lagi spanduk dan megaphone. Senjatanya adalah menulis di ranah digital.

***

PERNAHKAH anda mendengar nama Wael Ghonim? Di usia 31 tahun, anak muda Mesir ini telah dinominasikan untuk meraih hadiah Nobel. Majalah Time pernah memasukkan namanya ke dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di tahun 2011. World Economic Forum juga menyebutnya sebagai salah seorang Young Global leader pada tahun 2012. Apakah yang dilakukan anak muda ini?

Anak muda ini seorang penggerak demonstrasi. Jutaan warga Mesir turun berdemonstrasi di jalan-jalan lalu menumbangkan rezim berkat provokasi anak muda ini. Ia menggalang dukungan, mengorganisir, membuat petisi serta membuat postingan yang menyentuh agar rakyat Mesir turun ke jalan dan berkumpul di Tahrir Square memulai revolusi yang disebut Arab Spring.

Dengan cara apa ia bisa menggerakkan jutaan orang? Ia menggunakan semua kanal media sosial. Wael Ghonim adalah seorang karyawan Google yang resah melihat rezim otoriter di negaranya. Dia lalu menggunakan Facebook dan Twitter untuk menggerakkan orang-orang. 

Dia membuat kampanye di Facebook Page yakni “We are all Khaled Saeed” yang isinya adalah simpati kepada Khaled Saeed yang tewas saat diinterogasi oleh polisi. Massa tersentuh oleh postingan Wael Ghonim.

Revolusi disulut anak muda ini. Masyarakat Mesir saling berkoordinasi lewat Twitter. Semua orang bergerak serentak mengikuti komando anak muda ini. Orang-orang tidak saling kenal, bahkan tidak mengenali siapa dan seperti apa wajah anak muda ini. Tapi semua ikut dengan semua skenario dan rencananya. Semua bergerak demi menumbangkan rezim. 

Melalui media sosial, pesan Wael Ghonim bergema lebih kuat. Ia tidak menjangkau sekumpulan orang. Ia bisa menyentuh jutaan orang yang sibuk dengan ponsel ataupun sedang terkoneksi internet. Pesannya menggugah dan menyentuh hati untuk melakukan sesuatu.

Di dalam buku yang ditulisnya Revolution 2.0, Wael Ghonim mengatakan, “Our revolution is like Wikipedia, okay? Everyone is contributing content, [but] you don't know the names of the people contributing the content. This is exactly what happened. Everyone contributing small pieces, bits and pieces..” Revolusi kita seperti Wikipedia. Setiap orang berkontribusi pada konten. Tapi kamu tidak tahu nama-nama orang yang berkontribusi tersebut. Inilah yang terjadi. Setiap orang berkontribusi melalui kepingan-kepingan kecil.

Seperti halnya kontributor Wikipedia, yang tidak saling mengenal tapi bisa bersama-sama mengisi konten, masyarakat Mesir yang digerakkan Wael Ghonim juga tidak saling kenal. Tapi mereka semua terhubung lewat Twitter, saling memperkaya informasi, lalu sama-sama mengajak semua orang untuk bergerak. Mereka berkoordinasi secara spontan, dan bergerak juga secara spontan.

buku Revolution 2.0 yang ditulis Wael Ghonim

Wael Ghonim adalah potret dari aktivis Jaman Now. Banyak aktivis di berbagai negara yang kemudian mengikuti jejak langkahnya dalam merancang perubahan melalui tulisan. Kita bisa melihat kenyataan itu di Hongkong, Korea, hingga negara-ngara-negara Amerika Latin. Semuanya punya obsesi revolusi dan melakukannya melalui tulisan menggugah di media sosial.

Di Indonesia pun, seorang aktivis seyogyanya memahami karakter zaman yang kini saling terhubung. Bergerak melalui tulisan memang tidak lantas membuat seseornag bergerak dan meneriakkan revolusi. Namun seiring waktu, orang-orang bisa tergugah lalu menjadikan seseorang sebagai influencer, ataupun role model yang dikuti untuk perubahan.

Pernah, saya ngopi dengan beberapa mantan aktivis senior. Para aktivis senior ini marah-marah karena generasi masa kini tidak pernah lagi menutup jalan dan berdemonstrasi. Dia membandingkan dengan zamannya. Dalam hati saya berbisik, aktivis senior ini tidak memahami karakter zaman. 

Dia tidak tahu bahwa di era ini, oramg-orang tak perlu turun ke jalan untuk sekadar memperjuangkan satu isu. Banyak cara-cara lebih elegan dan efektif untuk menyatakan sikap.

Kita bisa menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menggugah kesadaran. Kita bisa bergerak menggunakan petisi online. Bisa pula mengumpulkan dana melalui crowdsourcing. Melalu instagram, seorang aktivis bisa memasarkan idenya dan menggalang dukungan. Melalui Facebook, ia bisa membentuk barisan di mana anggotanya adalah para follower yang rutin mengikuti postingannya.

Senjata utama yang dibutuhkan aktivis Jaman Now adalah kemampuan menulis di ranah digital. Senjata ini jauh lebih canggih dari semua senjata yang dimiliki militer. Jika satu senjata hanya bisa menembak satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus jutaan pikiran orang lain. Satu tulisan bisa tersebar secara viral lalu mempengaruhi opini orang demi satu kalimat perubahan.

Kekuatan Internet

Di Indonesia, ruang-ruang maya yang dibangun teknologi digital juga punya sejarah menumbangkan rezim. Internet mulai hadir saat Indonesia berada dalam iklim politik yang otoritarian pada masa Orde Baru. Saat itu, negara mengontrol semua informasi yang ada di media massa. 

Kehadiran internet disambut gembira oleh semua aktivis pro-demokrasi, sebab media ini tidak bisa dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Di masa itu, pemerintah kerap memberikan ancaman berupa sensor atau pencabutan izin cetak kepada media-media yang anti-pemerintah.

Sebagaimana dicatat David T Hill dan Krishna Sen dalam buku The Internet in Indonesia’s New Democracy yang terbit tahun 2005, internet memainkan peran penting dalam transisi demokratis. Pemerintah tidak bisa mengontrol internet, sekaligus menyeleksi lalu lintas informasi yang ada di dalamnya. 

Semua aktivitas di internet, seperti email, newsgroup, website telah menjadi senjata bagi aktivis karena karakteristik real-time dalam tindak oposisi terhadap pemerntah melalui tukar-menukar informasi serta ajang konsolidasi gerakan.

Tak mengherankan jika internet memainkan peran penting untuk menjatuhkan kediktatoran Soeharto dari kekuasaannya. Internet memasuki ruang-ruang publik, membayangi proses demokratisasi. Semua aktivitas politik, mulai dari kampanye dan pemilihan umum tak bisa dilepaskan dari kehadiran internet. 

Bahkan pendekatan terbaru dalam kampanye adalah melalui media online, yang dilakukan hampir semua partai politik. Ini menjadi bukti bahwa semua partai politik menggunakan internet untuk menopang aktivitas politiknya.

Gazali (2014) menyebut fenomena ini sebagai “new media democracy” atau “social media democracy” yang kadang-kadang sering pula disebut “networking democracy”. Dalam hal ini, internet –khususnya media sosial—dianggap sebagai katalis demokratisasi. 

Media sosial memiliki potensi untuk menyusun ulang relasi kuasa dalam komunikasi. Dengan menggunakan media sosial, warga bisa memfasilitasi jejaring sosial (social networking) dan memiliki kemampuan untuk menantang kontrol monopoli produksi media dan diseminasi yang dilakukan negara dan institusi komersial.

Keterbukaan platform media sosial bagi individu dan kelompok telah menjadi sumber inovasi dan ide-ide dalam praktik demokratik. Bersetuju dengan Gazali, kita bisa menyebutnya sebagai “demokrasi media sosial” yakni proses demokratis yang secara substansial dipengaruhi oleh penggunaan media sosial. 

Dalam hal ini, setiap ‘click’ yang dakukan warga bisa disebut sebagai ekspresi dalam iklim demokratisasi yang wadahnya berlangsung di media sosial.

Tak hanya digunakan oleh para aktivis pro-demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa internet juga digunakan oleh elemen gerakan sosial yang lain sebagai wadah untuk membangun konslodasi. Di antaranya adalah studi yang dilakukan Yanuar Nugroho (2012) yang dipublikasikan dengan tajuk Localising the Global, Globalising the Local: The Role of the Internet in Shaping Globalisation Discourse in Indonesia NGOs.

Ia menunjukkan bahwa pihak aktivis NGO menggunakan internet untuk merespon berbagai wacana antiglobalisasi. Mereka menggunakan konteks lokal untuk merespon wacana global, menggunakan teknologi secara strategis sebagai pelempar isu ke dunia luar.

Terlepas dari itu, beberapa suara kritis penting pula untuk disampaikan. Merlyna Lim (2013), pengajar di Arizona State University, menilai bahwa khalayak media sosial hanya heboh saat membahas kasus-kasus tertentu. Makanya, ada gerakan sosial yang berhasil, misalnya kasus Prita Mulyasari dan gerakan “cicak versus buaya” untuk mendukung KPK. 

Hanya saja, dalam banyak kasus lain, yang terjadi adalah riuh di media sosial, tapi tidak begitu nampak aksinya. Merlyna Lim menyebutnya “many click but little sticks.” Banyak klik, tapi sedikit tongkat pemukul. Artinya, lebih banyak orang yang meng-klik ketimbang turun ke jalan untuk bergerak.

Namun, lagi-lagi ini sial momentum. Tidak menutup kemungkinan, akan muncul satu sosok generasi seperti Wael Ghonim yang punya kemampuan sebagai influencer di ranah digital, bisa menggerakkan orang-orang, yang kemudian membatalkan satu kebijakan publik yang tidak adil kepada rakyat.

Melalui postingan, para aktivis Jaman Now bisa memberikan advokasi kepada masyarakat. Satu kekeliruan yang kerap melanda aktivis adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, para aktivis bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, seorang aktivis telah membuka pintu gerbang perubahan, ketika masyarakat tercerahkan dan bisa menyampaikan apa yang dirasakannya. Dan kita bisa berharap pada dunia yang warganya punya sikap jelas, tanpa terombang-ambing!

Di Jaman Now, kerja-kerja seorang aktivis tidak selalu terkait dengan bagaimana ‘menggoreng’ isu sehingga menjadi wacana besar. Tapi bagaimana mengubahnya. Penguasaan atas teknologi bisa membantu seseorang untuk menguasai ranah dunia maya secara cepat. 

Jika saja teknologi itu berada di tangan seorang baik yang di kepalanya penuh gagasan revolusioner, maka perubahan bisa berlangsung dengan cepat.

Yang pasti, tidak semua mereka yang berselelancar di ranah digital adalah mereka yang sekadar curhat, berbagi info makanan, atau berbagi foto sedang melakukan perjalanan. Di balik aktivitas itu, terdapat banyak postingan yang mencerahkan, menggetarkan batin kita, lalu mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang keliru di negeri ini. 

Peran-peran aktivis Jaman Now adalah memfasilitasi orang lain untuk menulis dan berbagi informasi. Dia harus bisa bergerak, sebagaimana dikatakan penyair WS Rendra, “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”