Antara Rumah Hiburan dan Rumah Suci

BARU saja saya menyaksikan film Sister Act yang dibintangi Whoopi Goldberg. Film ini sudah lama tersimpan di laptopku dan sudah beberapa kali saya tonton, tanpa sedikitpun rasa bosan. Saya suka mengulang-ulang adegan ketika ketika Whoopi memimpin paduan suara gereja. Penampilannya atraktif, paduan suaranya luar biasa menawan, dan gereja itu penuh dengan pengunjung. Padahal, sebelumnya gereja itu amat sepi, tak ada jamaah.

Film ini juga menyuguhkan perbedaan antar aliran pemikiran dalam gereja. Ada yang tetap konservatif dan menganggap paduan suara haruslah tertib, teratur, berbaris rapi seperti aubade. Namun, ada pula yang menganggap bahwa suasana yang entertaint dan menghibur, mutlak ada dalam gereja. Saya suka dengan pernyataan Whoopi dalam film ini yang membandingkan antara gereja dengan bar atau kasino. “Kenapa bar dan kasino selalu penuh manusia? Karena di sana ada hiburan yang mereka butuhkan. Sementara gereja seperti lorong sunyi yang jauh dari hal-hal yang menghibur. Lantas, kenapa kita tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Unsur religiusnya tetap kental, namun unsur menghibur hati yang gulana harus tetap ada juga.“

Saya suka dengan kalimat ini. Saya bukan penganut Kristen, namun tiba-tiba saja saya tersentuh dengan kalimat-kalimat seperti itu. Saya teringat dengan fenomena banyaknya masjid yang sepi jamaah. Sementara tempat hiburan selalu penuh manusia. Pertanyaannya, tidak bisakah rumah suci sekaligus menjadi tempat hiburan? Mengapa aktivitas berdoa harus khusyu dan sepi? Tidak bisakah kita tergetar saat berdoa sebagaimana histeria orang-orang yang menyaksikan konser musik rock? Bisakah kita lebih histeris saat mendengar nama Rasul disebut sebagai idola kita?

Saya tak tahu, sejak kapan rumah suci dan rumah hiburan saling bermusuhan. Rumah suci identik dengan kesepian dan sikap diam sambil merenung. Ketika memasuki rumah suci, kita siap-siap memasuki dunia yang penuh keterikatan. Kita tak boleh ribut dan berprilaku seenaknya. Kita sedang diawasi Tuhan sebab ini adalah rumah-Nya. Sementara rumah hiburan adalah sebaliknya. Di rumah hiburan ada suasana yang hingar-bingar, ribut, dan kebebasan. Rumah hiburan adalah rumah setan yang menawarkan kebebasan. Bebas berekspresi, bebas minum apa saja, bebas mau ngapain.

Mungkin alasan kebebasan inilah yang membuat rumah hiburan begitu ramai, sementara rumah suci justru ditinggalkan. Manusia mencari kebebasan, sekaligus pelepasan dari hidup yang penuh keterikatan atau penuh hierarki. Baik di rumah, kantor, atau dunia sosial lainnya, selalu saja ada aturan yang mengikat. Sementara di rumah hiburan, semua keterikatan itu dijebol. Anda bebas mau ngapain. Bahkan memukul orang lain di situ juga bebas. Meskipun anda harus siap dengan konsekuensi ketika orang tersebut balas memukul. Namun prinsip kebebasan itu menjadi jantung dari semua rumah hiburan. Prinsip inilah yang membuat semua rumah hiburan ramai dengan manusia. Mereka mencari pelepasan dari rasa stres dan dunia yang penuh keterikatan.

Pertanyaannya, bisakah kita merayakan kebebasan ketika berada di rumah suci? Mengapa berdoa tidak dilakukan dengan penuh kebebasan, dan tidak semata ketundukan atau penyerahan diri? Maksud saya, isakah kita mengattakan bahwa pilihan ketertundukan atau penyerahan itu adalah kebebasan yang sengaja kita pilih?

Mungkin saya sedang bingung saja....

2 komentar:

lawan.us mengatakan...

sama pak saya juga bingung mankanya munkin kita harus bisa membedakan keduanya jangan sampe di samain ook?

Info kita mengatakan...

Sangat menarik

Posting Komentar