Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sebuah Getar di Balik Masjid




BERSAMA teman-temannya, pria itu nampak berpakaian safari. Di saat orang-orang datang untuk beribadah di Masjid Kubah Emas yang nampak megah di tengah hamparan pemukiman di Depok, pria itu sibuk mengatur posisi kendaraan. Sempritannya sesekali dibunyikan untuk mengingatkan para pemarkir yang sering tak patuh aturan. Pria itu bekerja sebagai juru parkir yang saban hari mengatur mobil dan motor. Atas jasanya, ia kerap menerima tip yang tak seberapa dari pengunjung masjid.

Seusai salat Idul Fitri, aku memandang masjid yang megah ini. Kubahnya yang mentereng itu dilapisi emas. Beberapa bagian dalam masjid juga dilapisi emas. Interior dalamnya serba mewah. Konon, beberapa perabot mewah sengaja didatangkan dari luar negeri. Pemilik masjid adalah seorang yang menerima anugerah berlimpah berupa materi dan kekayaan. Barangkali, pemilik masjid sengaja membangun masjid itu sebagai prasasti kecintaan yang didedikasikan sebagai rumah bagi Sang Pencipta.

Sang juru parkir itu tiba-tiba saja ada di sebelahku. Tanpa kuminta, ia memberi sekelumit penjelasan tentang masjid. Katanya, suatu hari, perempuan kaya-raya itu ditimpa sakit yang gawat. Perempuan yang berasal dari Banten itu lalu bernazar jika sakitnya sembuh, ia akan membangun masjid megah di tanah luas yang dimilikinya. Nazarnya serupa telaga yang kemudian menampung mukjizat. Perempuan itu sembuh. Demi sebuah ucapan terimakasih, masjid besar dengan kubah-kubah yang dilapisi emas berdiri di tanah itu.

Kisah masjid itu serupa kisah Taj Mahal di India. Hanya saja, Taj Mahal dibangun sebagai perlambang cinta dari seorang raja pada kekasihnya, sementara masjid ini adalah tanda terimakasih serta rasa bahagia karena melalui satu penyakit berat yang serupa ujian. Masjid ini didedikasikan sebagai tanda syukur pada Dia yang mencipta semesta.

Masjid itu serupa teratai yang mengambang di tengah lautan hijau. Di sekitarnya, ada rerimbunan bonsai serta pohon-pohon rindang. Aku tiba-tiba saja berandai-andai. Barangkali, taman-taman yang tak boleh diinjak sebab rumputnya tertata rapi itu dibangun sebagai tanda kecintaan pada Dia yang telah menyembuhkan. Barangkali masjid ini serupa altar untuk mempersembahkan cinta pada-Nya.

Namun, ada tanya yang tiba-tiba menghujam dan menusuk-nusuk ke dasar hati. Apakah Dia kerap hadir dalam bangunan semewah itu? Apakah Dia bahagia menerima ungkapan terimakasih dalam rumah semegah itu? Apakah Dia justru berumah di hati mereka yang ikhlas dan bening hatinya di tengah situasi ketika tak ada sepeserpun uang di kantong? Apakah Dia memilih tinggal bersama mereka yang tak pernah menunggu momen tertentu untuk mengucapkan terimakasih?


Takbir berkumandang. Aku bergabung dengan orang-orang yang salat di samping masjid. Ribuan jamaah memenuhi masjid ini hingga meluber ke jalan-jalan.  Imam masjid amat fasih ketika berdoa. Seusai salat, sang khatib juga fasih menyeru kepada semua jamaah untuk menghayati kemenangan setelah berpuasa selama sebulan penuh.

Tak disangka, kembali aku bertemu pria itu seusai salat. Ia kembali sibuk sebagaimana sebelumnya. Katanya, ia tak ikut salat sebab mesti memastikan semua mobil-mobil mewah itu dalam keadaan aman. Kuperhatikan dirinya yang memandu sebuah mobil mewah. Sungguh dada ini sesak ketika beberapa mobil mewah itu justru tak menggubrisnya. Pemilik mobil mewah itu tak mengulurkan tip untuk lelaki yang memandu mobilnya untuk keluar dari kerumunan.

“Tak apa. Memang, tip bukan kewajiban,” katanya.

Tapi aku merasa ada yang salah. Seharusnya, seorang petugas parkir berhak mendapatkan apresiasi atas kebaikan yang dilakukannya. Ia berdedikasi dengan pekerjaannya. Ia melaksanakan amanah dan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Bahkan di saat ia tak mendapatkan sejumput rezeki atas jerih payahnya, ia memiliki keluasan dan kelapangan hati, lalu memaafkan mereka yang tak menggubrisnya.

Aku melihat sekeliling. Masjid ini adalah potret kemegahan, sekaligus potret keterasingan. Masjid ini terletak justru di tengah begitu banyak warga miskin yang mengais rezeki dari sosok berpunya yang datang untuk sekadar berfoto narsis, lalu meng-upload di media sosial. Mereka yang hanya bisa bermimpi bisa sehebat pemilik masjid itu justru punya keluasan hati dan kebesaran jiwa untuk selalu memaknai setiap gerak dalam hidup memiliki hikmah-hikmah yang bisa mengayakan batin. Orang-orang kecil yang amat baik hati itu telah menjadi pilar-pilar utama yang menguatkan kokohnya masjid.



Jangan pernah meremehkan mereka yang nampak biasa itu. Tanpa mereka yang penuh kebaikan itu, masjid akan kehilangan embun-embun hikmah. Tanpa warga miskin di sekitar masjid itu, tak bakal ada kisah dedikasi dan keteladanan dalam wujud kesetiaan pada tanggungjawab, serta kebesaran hati untuk memaklumi orang lain. Mereka yang biasa itu adalah getar indah yang terasa dalam setiap masjid. Mereka membuat kita tergetar kala menyadari bahwa jantung utama sebuah masjid adalah niat tulus untuk memakmurkannya, serta hasrat untuk membumikannya dalam setiap tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan.

Seorang teman pernah bercerita kalau dirinya tak pernah tergetar ketika mendengar bacaan fasih dari imam di masjid-masjid megah. Sefasih apapun bacaan salat di masjid megah, ia tak tergetar. Tapi, suatu hari, teman itu diliputi rasa haru yang amat tebal ketika singgah di satu pemukiman kumuh yang tengah diguyur hujan. Dari sebuah mushalla reyot yang atapnya bocor dan berdinding bambu yang bolong sana-sini, teman itu mendengarkan suara bening seorang anak yang tengah mengaji. Suara lirih anak itu menembus suara hujan dan menggetarkan sanubarinya. Saat itulah, teman itu tergetar dan merasa amat kecil di hadapan-Nya.

Apakah Anda pernah merasa tergetar ketika berada di satu masjid hebat?


 

Kisah Haru Jokowi - JK di Kapal Phinisi


perahu phinisi yang belum kelar di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan (foto: tempo.co)

DI atas Kapal Phinisi Hati Buana Setia, si kurus yang menjadi presiden terpilih itu berpidato bersama wakilnya. Tak ada kalimat berapi-api yang menembus langit. Tak ada kalimat penuh gelora yang menghujam ke dasar samudera. Ketika si kurus itu usai berpidato, ia menuntun wakilnya untuk menemui sang nakhoda, sosok yang mengenali setiap inchi di kapal itu dan setiap saat menyabung nyawa di laut lepas. Maka di atas phinisi khas suku Bugis-Makassar itu, terpampang satu episode paling mengesankan di penghujung fragmen pemilihan presiden.

***

LELAKI itu bernama Gasaling Madali (54). Ia baru saja mengarungi samudera di daratan Sumatera bersama kapal phinisi. Nakhoda yang telah kenyang makan asam garam ini mengantarkan muatan berupa berbagai barang. Hari-harinya adalah meniti di tengah lautan yang seringkali tak ramah. Ia mesti mengemudikan kapal yang setiap saat harus siap menghadapi ombak bergulung-gulung dan hendak menelan. Di tengah keadaan itu, ia harus tenang, lalu membuat banyak keputusan.

Seorang nakhoda adalah seorang pengambil keputusan tertinggi di atas kapal. Ia adalah pengendali serta pengarah ke mana kapal itu hendak melaju. Tak ada satupun orang yang bisa mengingkari keputusannya di lautan lepas. Bahkan seorang jenderal sekalipun harus tunduk padanya ketika berada di kapal itu. Jenderal bisa punya kuasa atas pasukan. Tapi di atas kapal, kekuasaannya mesti tunduk pada seorang nakhoda yang paling mengenali dan memahami laut sebagaimana dirinya.

Tujuh layar pada phinisi adalah simbol dari tujuh samudera. Pantas saja jika pelaut Bugis Makassar bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh. Mereka mengikuti hukum laut yang diterapkan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.” Maka berkelanalah para pelaut itu sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan pengetahuan memahami lautan.

Hari itu, Gasaling dipanggil pihak syahbandar. Ia diberitahu kalau kapalnya akan dipakai untuk pidato kemenangan politik. Barangkali ia tak paham tentang ajang pilpres dan siapa saja yang bertarung. Ia lebih tertarik membahas ombak bergulung atau formasi bintang-bintang yang dipahami para nakhoda Bugis Makassar sebagai peta untuk mengarahkan kapal. Tapi ia sangat mengenali Jusuf Kalla, tokoh masyarakat Bugis yang sekampung dengan Gasaling. Barangkali ia mengenali pria yang dipanggil Joko Widodo atau kerap dipanggil Jokowi itu.

Jokowi lalu menaiki ke kapal itu bersama Jusuf Kalla. Gasaling menyambut mereka. Tim sukses Jokowi – JK, Arya Bima, mengatakan bahwa penyambutan itu berjalan dengan alamiah, tanpa banyak direncanakan. "Yang menyambut bukan pejabat. Tapi kapten kapal yang langsung menyambut Pak Jokowi dan Pak JK sewaktu masuk ke kapal. Jadi penyambutan oleh kapten kapal, sebagaimana wajarnya," jelasnya.

saat Jokowi - JK berpidato di atas phinisi (foto: tribunnews.com)

Orang-orang luput mengenali bahwa fragmen ketika dua pemimpin bangsa yang bertemu soernag nakhoda laut ini adalah episode paling menarik dari fragmen yang sedang berjalan. Betapa seorang nakhoda laut seperti Gasaling mendapatkan kehormatan ketika berhadapan langsung dengan seorang calon nakhoda di kapal yang lebih besa bernama Indonesia. Pertemuan mereka adalah pertemuan pemimpin di dua medan, namun sama-sama saling mengapresiasi keberadaan masing-masing.

Jokowi lalu berpidato tentang Indonesia masa depan yang tak lagi berbicara nomor satu atau nomor dua, angka yang digunakan saat pilpres. Ia meminta semua orang untuk menyongsong sebuah zaman baru, ketika politik menjadi arena kegembiraan sekaligus arena pembebasan bagi semua. Sebuah harapan hadir laksana lumba-lumba yang berkejaran di laut lepas.


***

MEDIA massa mengulas analisis tentang makna pidato di atas phinisi itu. Ada pengamat yang mengaitkan kapal itu dengan Jusuf Kalla sebagai seseorang dengan latar budaya Bugis. Tapi banyak juga tim sukses menyebut pidato itu sebagai penegasan tentang visi maritim yang akan mewarnai kanvas pemerintahan baru nantinya. Tapi saya melihatnya dari sisi berbeda.

Pertama, Jokowi – JK hendak menegaskan tentang kepemimpinan berbasis maritim, yang membenci segala hal menyangkut feodalisme. Di laut, tak ada kepemimpinan yang berbasis kekerabatan atau penunjukan dari atas. Seorang nakhoda adalah seseorang yang memulai karier dari bawah. Tolok ukur seorang nakhoda adalah pengalaman dan kecakapan membawa kapal phinisi, yang tak hanya anggun serupa angsa di atas air, namun juga bisa tangguh dan perkasa ketika menantang ombak.

Barangkali, seorang nakhoda bisa ditunjuk. Akan tetapi samudera akan menjadi penentu sejauh mana kecakapan dan kemampuan seseorang mengendalikan kapalnya. Sebagaimana dicatat antropolog Amerika Serikat Gene Ammarell, nakhoda kapal phinisi lauh lebih ulung dibandingkan nakhoda di negeri-negeri barat. “Nakhoda barat terlalu mengandalkan alat modern seperti kompas dan GPS. Sementara nakhoda phinisi bisa membaca bintang-gemintang, langit, gelombang, angin, hingga hewan laut sebagai peta yang menunjukkan arah.”

Budaya lautan adalah budaya yang anti feodalisme. Tak ada istilah kebangsawanan di laut. Semua orang memiliki tanggungjawab masing-masing. Sekali seseorang berikrar menjadi anak buah kapal (ABK), ia mesti siap sedia dengan berbagai situasi yang kadang susah diprediksi. Hari-hari adalah bekerja serta kesiapan untuk menjadi satu tim yang bekerja sama demi menggapai pelabuhan.

Sebagaimana nakhoda laut, Jokowi bukanlah orang baru di kapalnya. Ia telah lama berkiprah pada berbagai level pemerintahan. Demikian pula dengan Jusuf Kalla. Ia juga telah lama melintang sebagai pebisnis, kemudian menjadi meneteri dan wakil presiden. Mereka menunjukkan pentingnya keja keras dari bawah demi menggapai karer di level yang lebih tinggi.

Kedua, Jokowi – JK ingin menunjukkan filosofi pemimpin lautan yang hendak menjiwai karakter kepemimpinannya. Seorang nakhoda atau kapten laut adalah mereka yang bersedia untuk mengorbankan dirinya pada saat-saat kritis. Para nakhoda memikirkan keselamatan lebih dahulu, setelah itu barulah memikirkan keselamatannya. Melalui pengorbanan, para nakhoda menunjukkan dedikasi bahwa mereka telah mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang lain.

replika phinisi di Pulau Barranglompo, Makassar

Dalam berbagai budaya, terdapat satu pahaman universal bahwa nakhoda dan kapal adalah senyawa yang tak terpisahkan. Jika suatu saat kapal itu mengalami nahas dan karam, maka pantang bagi nakhoda untuk menyelamatkan diri. Ia akan ikut bersama kapalnya ke dasar laut demi sebuah tindakan pengorbanan diri, setelah sebelumnya memastikan semua penumpangnya selamat.

Nakhoda kapal Titanic Edward Smith memilih untuk berada di kapal ketika lautan dingin menelan kapal itu. Sikap yang sama juga nampak pada Kapten Rifai, nakhoda kapal Tampomas II yang karam di Kepulauan Masalembo. Nakhoda hebat adalah mereka yang memikirkan orang lain, setelah itu memikirkan dirinya. Keselamatan para penumpang jauh lebih penting dari keselamatn diri. Inilah esensi kepemimpinan maritim.

***

GASALING menyambut Jokowi dan JK. Ia sempat menangis ketika berjabat tangan dengan mereka. Ia sering merasa dirinya hanyalah warga biasa, rakyat kecil yang tak punya kesempatan bertemu seorang kepala negara. Tapi ia merasa amat berbangga sebab seorang nakhoda dari kapal besar bernama Indonesia telah datang mengunjunginya.

Setelah itu, seorang tim sukses mendatanginya. Seseorang itu menyodorkan segepok uang sebagai tanda terimakasih karena mengizinkan kapalnya digunakan. Gasaling langsung menolak. Baginya, kehormatan ketika kapalnya disinggahi jauh lebih bermakna ketimbang segepok materi. Ia mengatakan bahwa keramahan di atas laut itu jauh lebih penting dari apapun. Lautan ibarat kanvas bagi para pelaut untuk saling bersilaturahmi, berbagi inspirasi, bertukar budaya, serta saling memperkaya kebudayaan.

kapal yang berlayar di laut Sulawesi

Sekali lagi ia menunjukkan kearifan di atas laut. Ia seakan menampar orang darat yang begitu tergila-gila dengan materi dan melakukan apapun untuk materi. Baginya, materi adalah konsekuensi dari penjelajahan di atas lautan. Ia menunjukkan bahwa kearifan dan kebesaran jiwa adalah kekayaan terbesar bangsa Indonesia yang selama ini terabaikan. Hanya mereka yang membuka pikiran dan hatilah yang bisa menemukan bahwa kekayaan itu tersebar di mana-mana, termasuk pada diri pelaut tangguh sebagaimana Gasaling.(*)



Menemukan Asa pada Si Kurus


DARI sedikit pemilihan presiden (pilpres) yang pernah kusaksikan, pilpres kali ini adalah yang paling meriah, penuh gegap gempita, dan paling menegangkan. Sejak kandidat belum jelas, aku sudah menceburkan diri ke dalam arus perbincangan publik, mengamati isu demi isu, hingga akhirnya memutuskan menjadi relawan di luar struktur.

Entah kenapa, aku menjadi sedemikian antusias. Namun setelah kutimbang-timbang, ada beberapa penjelasan mengapa aku mendukung pria kurus yang menjadi pemenang itu.


Pertama, aku simpati karena dirinya menjadi sasaran kampanye hitam dan segala celaan negatif. Rasanya sungguh menyedihkan sebab dirinya menjadi sasaran dari berbagai isu negatif. Mulai dari asal-usulnya, latar keluarganya yang miskin, tuduhan sebagai minoritas Tionghoa, hingga tuduhan sebagai anggota PKI.

Bagiku, semua energi negatif dan fitnah itu tak akan membuat kualitas pilpres ini semakin menarik. Entah kenapa, banyak yang beranggapan kalau satu cara untuk mengalahkan pria kurus itu adalah sebanyak mungkin menyebar semua cerita dan rumor tentang dirinya. Soal kebenaran adalah soal lain. Yang penting hancurkan reputasinya, lemahkan karakternya, serta buat dirinya jadi seorang pecundang. 

Gerah dengan kampanye hitam itu, aku memutuskan untuk berkampanye dengan cara positif yakni memperkenalkan semua kebaikan-kebaikannya. Menebar energi negatif ibarat menikam pisau ke diri sendiri. Yang dirusak oleh fitnah itu bukan sekadar reputasi orang lain, tapi juga diri sendiri, khususnya hati yang sebening cermin dan bisa menjadi tempat nurani untuk menjawab semua pertanyaan kita. Melalui tindakan menyebar fitnah, seseorang sama dengan menikam dirinya berkali-kali dan mengaburkan cermin nuraninya sendiri.

Kedua, sejak dahulu aku sangat memperhatikan rekam jejak (track record) seseorang. Ketika lawan si kurus itu adalah seorang jenderal yang tak punya prestasi hebat, aku tak simpatik. Aku tak tertarik dengan visi dan retorika. Bagiku, retorika bisa diasah dan dilatih hingga mahir. Malah, aku seorang pengajar retorika di perguruan tinggi. Hal yang tak bisa dilatih adalah kejujuran, keikhlasan, serta kebajikan hati. Unsur-unsur inilah yang membuat nama seseorang bisa mengendap dalam hati banyak orang. Tanpa rekam jejak yang baik, tak ada jaminan seseorang akan bisa menjadi pemimpin yang hebat.

Ketiga, aku tak suka gaya kampanye kandidat lain yang selalu menonjolkan sisi militerisme dan pembelaan atas masa Orde Baru yang sedemikian bobrok. Bagiku, Indonesia harus terus bergerak. Kita tak boleh mundur dan kembali pada romantika zaman itu. Rata-rata publik tahu bahwa masa itu adalah masa yang sangat kelam bagi para aktivis pergerakan. Kebebasan diberangus. Penguasa arogan dan sewenang-wenang. Rakyat sipil sering jadi korban kekerasan negara. Demi pertumbuhan ekonomi, negara tak seharusnya menghilangkan harapan mereka yang bersuara kritis.

Makanya, ketika kandidat itu selalu bicara tentang ketegasan ala militer, aku semakin yakin untuk tidak memilihnya. Aku ngeri dengan reputasinya yang pernah menghilangkan kebebasan orang lain. Bagiku, kebebasan itu amatlah penting. Tanpa kebebasan, tak akan lahir kemerdekaan, serta keberanian untuk mengemukakan pikiran. Di zaman fasis berkuasa, kebebasan itu lenyap. Banyak orang yang kehilangan hidup hanya gara-gara berbeda pendapat. Dan Indonesia tak boleh mundur. Indonesia harus maju terus dan meninggalkan semua kisah kelam pada masa itu.

Keempat, aku kepincut dengan gerak-gerik si kurus itu. Ia memang tak jago retorika. Ia juga lebih banyak diam. Tapi rekam jejaknya amatlah mengesankan. Ia bisa menghargai rakyat kecil dan memosisikannya sebagai saudara dekat. Ia tak memakai bahasa ilmiah ala perguruan tinggi. Bahasanya adalah bahasa rakyat jelata yang kemudian menjadi identitas serta style politiknya yang sering turun ke pasar-pasar tradisional dan berdialog dengan banyak pedagang.

Idenya unik-unik. Ia bicara tentang ekonomi kreatif. Ia bicara tentang maritim. Ia juga bicara tentang rakyat kecil yang terabaikan di pusaran pembicaraan politik. Ia berbicara tentang hal-hal sederhana yang jarang dibahas para politisi kita. Tema-tema yang sederhana itu semakin meyakinkanku bahwa ia akan menjadi pemimpin yang tak melupakan akarnya. Ia bisa menjadi tumpuan ketika banyak orang kecil negeri ini yang menjadi warga kelas dua. Aku tak hendak angkuh sebagai kelas menengah kota yang hidup nyaman. Aku menginginkan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Bagiku, kKeberpihakan pria kurus itu adalah wakil dari idealisme yang harusnya ditanam oleh semua pemimpin, yang kelak akan berbuah manis bagi seluruh rakyat.

***

AKU hanya mencatat empat alasan sederhana. Ada beberapa penjelasan lain mengapa aku memutuskan untuk jadi relawan yang tak dibayar. Dari banyak alasan itu, aku menyederhanakannya menjadi satu. Aku bermimpi melihat Indonesia yang lebih baik. Demi cita-cita itu, aku menaruh kepercayaan pada si kurus yang penuh kekurangan itu. Ia tak sempurna. Ia penuh celah. Tapi ia membawa harapan, sesuatu yang nyaris sirna dalam kehidupan sehari-hari. Ia menunjukkan dirinya sebagai seorang pekerja keras yang bisa memanusiakan orang lain. Pada dirinya, kusimpan banyak harapan.

Sungguh membahagiakan ketika mengetahui bahwa dirinya terpilih sebagai presiden. Semoga saja ia mengemban amanah. kelak, aku akan bercerita pada anakku. "Nak, belajarlah dengan giat. Kita memang orang kecil. Tapi kita punya harapan kelak bisa menjadi orang besar. Kita punya peluang menjadi pemimpin, sebagaimana sosok kurus itu. Nak, dia orang biasa sebagaimana kita. Tapi dia punya harapan kuat yang kemudian menjadi kompas baginya untuk menggapai impiannya."


Selamat kepada Joko Widodo - Jusuf Kalla yang terpilih menjadi Presiden dan Wakul Presiden RI. Tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa bangkit!



Sekuntum Reputasi, Secerah Masa Depan



PELAJARAN berharga dari ajang pemilihan presiden (pilpres) adalah pentingnya menjaga reputasi. Anda bisa memiliki pangkat dan kekayaan setinggi langit, namun jika tak punya reputasi dan trackrecord yang baik, maka pastilah anda tak akan mendapat simpati publik. Yang disukai publik adalah mereka yang punya catatan pernah membela banyak orang, meskipun catatan itu masih secuil.

Setiap orang membutuhkan reputasi. Lembaga survei sekalipun membutuhkan reputasi. Bahkan lembaga konsultan politik pun membutuhkan reputasi. Logikanya, jika anda pernah punya catatan berbohong, maka itu sama dengan memberi alasan kuat bagi orang lain untuk tak percaya Anda. Kejujuran, kebaikan, dan prestasi adalah unsur-unsur yang menjelaskan siapa diri Anda. Suatu saat, kita mesti siap-siap untuk dinilai berdasarkan kriteria itu. Mereka yang tak memilikinya akan menggunakan jasa lembaga konsultan demi mendongkraknya. Namun apakah bisa bertahan? Apakah efektif?

Tentunya tidak. Segala sesuatu yang instan, pasti akan berakhir dengan cara instan pula. Sebaliknya, sesuatu yang ditanam sejak jauh hari, pastilah akan jauh lebih kokoh dan bertahan. Alam semesta telah mengajarkan hal itu. Tanaman yang dicangkok memiliki dahan yang rapuh dan mudah patah. Sementara tanaman yang dipelihara sejak kecil memiliki akar yang menghujam bumi, dengan dahan serta ranting yang menjangkau mega-mega.

Tak perlu menunggu waktu yang tepat untuk membangun reputasi. Detik ini juga Anda harus membangunnya.  Lakukan hal-hal sederhana, namun penuh makna bagi orang lain. Belajarlah pada pohon yang ramping, namun memberikan oksigen dan kekuatan bagi alam, serta bisa memberikan buah yang lezat bagi sekitarnya. Jadilah seperti tanaman bunga yang tenang, akarnya tumbuh bersahabat dengan bumi, dan kuntumnya mempersembahkan keindahan kepada langit. Ia tak berharap sesuatu. Ia hanya ingin berbagi keindahan bagi sekelilingnya.

Membangun reputasi memang sulit. Namun sekali tumbuh, ia akan jadi sesuatu yang mendefinisikan siapa diri Anda sesungguhnya. 



Putri Ungu di Istana Merah


saat Ara di Istana Anak-Anak


MIMPI dan bahagia itu sederhana. Tak perlu menempuh perjalanan sebagaimana yang dilakukan Eric Weiner ketika mengunjungi Bhutan. Tak perlu mengikuti jejak Elizabeth Gilbert yang berkunjung ke Italia, India, dan Indonesia. Kita bisa menggapainya dengan melakukan hal-hal sederhana, namun penuh makna.

Dua bulan silam, anakku Ara menyaksikan foto ibunya ketika berkunjung ke Istana Anak-Anak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Melihat foto istana itu, Ara langsung sesunggukan. Ibunya lalu bertanya kenapa sedih, Ara menjawab singkat, “Ara ingin ke istana. Mau jadi putri.”

Ara memang bukan anak kecil lagi. Pada usia menjelang tiga tahun, ia keranjingan menonton semua film tentang putri-putri. Ia mengikuti kisah para putri yang dibuat Disney. Ia juga suka menyanyikan lagu Let It Go, yang merupakan soundtrack film Frozen. Ia suka menjentikkan jarinya, dengan harapan akan ada sihir atau keajaiban. Ia juga suka memakai baju putri berwarna putih dan ungu yang dibelikan ibunya.

Dirinya hari ini adalah akumulasi dari seluruh daya-daya khayal dan imajinasi yang didapatnya dari sejumlah animasi, pergalan dengan ibunya, serta kisah-kisah dongeng yang rajin kubelikan, lalu dibacakan ibunya. Ia ingin terbang. Ia ingin bermain di awan. Ia ingin menembus langit. Ia ingin menjadi putri biru yang berdiam di kastil-kastil dengan menara tinggi menjulang dalam kisah Rapunzel.

Ara dan "Paman Kelinci"

Makanya, ketika mendengar dirinya sesunggukan saat melihat gambar istana, aku hanya bisa diam. Maklumlah, saat itu kami terpisah. Ia berada di Sulawesi Selatan bersama ibunya, sedang aku sendiri berada di Bogor, Jawa Barat. Rencananya, mereka akan mengikutiku ke sini, namun ada beberapa urusan administrasi yang mesti diselesaikan dahulu.

Seperti apakah gerangan makna impian bagi anak kecil?

Dahulu, aku kerap memandang remeh impian. Tapi belakangan kusadari bahwa seorang anak memiliki imajinasi serta daya khayal yang seharusnya serupa balon yang dilepas ikatannya agar membumbung tinggi ke udara. Imajinasi itu serupa kaki-kaki yang bisa menggiring seorang anak untuk menggapai mega-mega dan impiannya.

Kesalahan pendidikan kita adalah seringkali memadamkan imajinasi seorang anak. Pendidikan kita terlampau memaksa seorang anak untuk membumi di pijakan realitas, sebagaimana halnya orang dewasa. Padahal, imajinasi bisa menggiring seorang anak pada daya-daya dan kemampuan menciptakan segala hal yang baru. Tak salah jika fisikawan Albert Einstein berujar “Imagination is more important than knowledge.” Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan.

Di negeri barat, imajinasi selalu dirawat dalam semesta pendidikan. Aku masih ingat persis, seorang siswa sekolah dasar di satu negara sering diminta menggambar serta melahirkan karya-karya reatif. Hasrat penciptaan dimulai dari impian-impian yang diwujudkan melalui imajinasi. Pernah, aku terheran-heran melihat betapa kreatifnya mereka membuat satu karya berupa kerajinan tangan. Belakangan barulah kuketahui kalau kreativitas, yang dituntun oleh imajinasi, adalah tunas bagi penciptaan sebuah teori dan cara pandang baru dalam sains.


***

DUA hari silam, aku dan ibunya membawa Ara ke TMII. Ia sering tak paham hendak diajak ke mana. Ia tak pernah protes ketika aku dan ibunya membawanya ke mana-mana. Ketika memasuki kompleks TMII, ia sudah berteriak kegirangan. Melihat badut, ia langsung histeris. “Ayah, itu clown. Itu rabbit,” katanya.

Aku lalu mengajaknya berfoto dengan “kelinci” itu. Ia amat kegirangan dan tak henti-hentinya bercerita kalau ia pernah bertemu Paman Kelinci. Aku mengikuti aliran semangatnya yang serupa sungai deras. Aku bahagia melihatnya tersenyum ceria.

Setelah itu, kami lalu naik shuttle bus menuju ke Istana Anak-Anak. Bagiku, tempat itu biasa saja, tidak seistimewa kastil di Disneyland atau kastil Harry Potter di Universal Studio. Bagiku, yang hilang dari TMII adalah aktivitas serta keceriaan. Selama beberapa tahun ini, tempat wisata itu pelan-pelan ditinggalkan oleh mereka yang dahulu setia ke tempat itu. Istana Anak-Anak itu menjadi bangunan yang kosong-melompong, tanpa ada kegiatan yang bisa mengasah imajinasi dan kreativitas seorang anak.

Ara dan Mama
 
patung Gadjah Mada

Tapi tidak bagi Ara. Ketika melihat istana itu dari kejauhan, ia melompat kegirangan. Ia tak henti-hentinya tersenyum. Ia serupa seseorang yang berjalan di tengah padang pasir dan kehausan, tiba-tiba melihat telaga berisi air segar di hadapannya. Ia amat girang karena akhirnya bisa menyaksikan kastil-kastil yang dahulu hanya bisa dibayangkannya. Kini, semua impian itu jadi kenyataan. Kini, semua khayalan itu akhirnya terwujud.

Ia telah memakai baju putri berwarna ungu. Ia melangkah anggun memasuki kastil itu. Ada badut kelinci yang datang menyapa, lalu menggendongnya. Ia lalu menaiki tangga dengan penuh semangat. Ia bahagia sebagaimana tumbuhan yang tertima matahari pagi. Kastil itu memang sederhana, tapi telah mengingatkannya pada banyak hal . Kini, ia serupa Putri Elsa dalam kisah Frozen yang bisa mengeluarkan es setiap kali menjentikkan jari. Ara tak sesakti Putri itu. Tapi ia bisa menyihir dan meletakkan sebening embun dalam sanubariku yang tiba-tiba saja merasakan kebahagiaan serupa.

Yup. Ada embun yang tiba-tiba jatuh di sanubariku. Sebagai orang dewasa, aku lama tak mengalami keriangan seperti itu. Aku terlanjur menjalani hidup sebagaimana masyarakat kota yang selalu bergegas agar tak terlambat. Hari-hariku adalah berpikir, menganalisis, memahami sebuah persoalan, lalu mencari jawabannya. Batinku kering dengan hasrat dan petualangan baru, serta keriangan karena menemukan mainan baru.

Melihatnya bahagia, aku sempat tertegun. Hingga akhirnya, suaranya mengejutkanku, “Ayah, Ara mau ke bulan.”

Hah?




Kisah Ibnu Sina yang Menyesakkan Dada


poster film the physician (2013)



KETIKA bangsa barat tenggelam dalam dunia magis dan mitologis, bangsa timur telah mencapai puncak kemajuannya dalam sains. Dalam film The Physician, terselip kisah tentang Ibnu Sina, intelektual timur yang memberikan sumbangsih besar sebagai peletak dasar ilmu kedokteran di barat. Kisah Ibnu Sina, yang kondang dengan nama Avicenna, di film ini sungguh menginspirasi. Sayang, bagian akhir film terasa amat getir dan menyesakkan dada.


***

ANAK muda itu, Rob J Cole, bertekad meninggalkan London, Inggris. Di abad ke-11, ia memutuskan meninggalkan rumah ketika ibunya meninggal dunia. Ia didera rasa kesal karena pihak gereja gagal menyembuhkan ibunya. Ia hendak mencari jawab atas sakit yang merenggut nyawa ibunya. Ia lalu mengikuti perjalanan seorang tabib yang sesekali menipu warga dengan dalih pengobatan.

Suatu hari, penyakit katarak sang tabib semakin parah. Tabib itu tak bisa melihat. Rob bertemu rombongan warga Yahudi yang sedang melintas, dan mengklaim bisa menyembuhkan sang tabib. Tadinya Rob menganggap itu sebagai bualan. Ternyata mereka benar-benar sanggup menyembuhkannya. Penasaran, Rob bertanya di manakah mereka belajar mengobati. Orang Yahudi lalu membuka peta, kemudian menunjuk satu titik, “Kami belajar di Isfahan, Persia. Kami belajar pada seorang penyembuh yang hebat. Namanya Ibnu Sina.”

Rob lalu berikhtiar untuk menggapai Isfahan. Namun jalan ke Isfahan tak mudah. Ia mesti melalui Mesir. Di masa itu, perang agama kerap terjadi. Orang Islam dan Kristen terlibat pertengkaran sengit yang membuat mereka saling bunuh. Tak hilang akal, Rob menyamar sebagai orang Yahudi. Ia bisa diterima di dua kelompok itu. Hingga akhinya ia bisa mencapai Isfahan dan bertemu Ibnu Sina yang kharismatis.

Dalam film yang dikembangkan dari novel karya Noah Gordon ini, Ibnu Sina digambarkan sebagai seorang dokter yang juga filosof. Ia memperkenalkan tradisi rumah sakit (hospital) di mana seorang pasien dirawat di sebuah gedung, dan senantiasa dipantau perkembangannya. Ia juga mendirikan sebuah universitas, yang dinamakan madrasah, sebagai tempat para mahasiswa belajar, serta menerapkan pengetahuannya pada pasien.

Saya menyukai metode yang diajarkan Ibnu Sina. Selain mengajar kedokteran, ia mengajarkan filsafat dan logika, khsuusnya logika Aristoteles, yang banyak memberi kontribusi pada sains Islami. Ibnu Sina juga mengajarkan tentang musik, serta kontemplasi sembari memandang bintang. Hal-hal seperti itu bisa mengasah dimensi rasa bagi seseorang sehingga bisa menjadi penyembuh yang handal.

Bagian yang paling menarik adalah ketika film ini memaparkan secara jujur tentang kontribusi besar Ibnu Sina di bidang kedokteran. Film ini tak terjebak pada bias barat yang memandang timur sebagai bangsa yang tenggelam dalam bidang kebodohan. Di saat barat terjebak dalam lembah keterbelakangan, Islam justru mencapai puncak kejayaannya.

Scott Roxborough dari The Hollywood Reporter mengabarkan dengan kalimat yang sangat menarik. Katanya:

The Physician could be thought of as the antithesis of the propaganda hate film Innocence of Muslims. Instead of portraying Islam as a force of extremism and oppression, it offers a look at the religion at a point in history — the 11th century — when Muslims were on the cutting edge of science, culture and religious tolerance. “You have to remember, what we in the West call the Dark Ages was, simultaneously, the Golden Age of Islamic science, art, astrology, astronomy, physics, chemistry and medicine,” says Kingsley.

Yup. Ben Kingsley memang memerankan Ibnu Sina dalam film ini. Sebelumnya, saya melihat penampilan gemilang Kingsley ketika memerankan Ghandi. Sebagai Ibnu Sina, aktingnya lumayan bagus. Ia bisa menghadirkan sosok kharismatis, pencnta ilmu pengetahuan, serta seorang guru yang arif bagi semua mahasiswa di madrasah.

Satu yang harus dicatat bahwa film ini adalah fiksi. Makanya jangan dilihat sebagai satu film sejarah. Namun pesannya sangat kuat bahwa ilmu pengetahuan itu serupa mutiara berharga yang bisa dipelajari oleh siapapun. Ilmu pengetahuan itu ibarat cahaya yang bisa menerangi kegelapan dan mencerahkan mereka yang mempelajarinya.

Bagian akhir film ini amatlah menyesakkan. Konflik aliran dalam Islam semakin merebak. Terjadi peperangan antar kerajaan, serta pemberontakan dari kaum yang mengklaim dirinya lebih Islami. Ilmu kedokteran Ibnu Sina pun dianggap sebagai ilmu sihir dan potret kemunduran. Madrasah dihancurkan. Ibnu Sina pun tetap bertahan di tengah madrasah yang dilalap api, setelah sebelumnya menyerahkan sebuah kitab pada Rob Cole. Mungkinkah kitab itu yang kemudian terbit dengan judul The Cannon of Medicine yang sedemikian legendaris itu? Entah.

Ibnu Sina dan murid-muridnya di madrasah




Yang pasti film ini membukakan satu fenomena yang terus terjadi hingga kini. Bahwa kehancuran peradaban Islam itu tidak selalu karena hantaman atau serangan dari luar. Kehancuran itu disebabkan oleh sikap yang kaku, pandangan yang selalu merasa diri benar, serta menganggap yang lain sebagai sesat.

Ibnu Sina akhirnya hanya bisa menatap nanar. Ia amat bersedih melihat kitab-kitab kedokteran yang ditulisnya dibakar secara mengenaskan. Tapi, saya tiba-tiba merasa bahwa kesedihan itu adalah sesuatu yang terus aktual hingga kini. Pada hari ini, umat Islam justru menjadi pengikut dan pengagum dari barat, yang dahulu justru banyak belajar pada dunia timur. Pada hari ini justru dunia timur dan dunia Islam sedang mengalami zaman kegelapan ketika banyak yang mengklaim dirinya layak masuk surga, lalu mengafirkan dan memerangi sesamanya. Di saat bersamaan, ilmu pengetahuan tak bisa berkembang dan baik. Generasi hari ini hanya menjadi pengikut dari ilmu pengetahuan yang terus direproduksi orang barat.

Entahlah. Mungkin inilah takdir di zaman kini. Bahwa mereka yang bertahan, menang, serta berjaya bukanlah mereka yang kuat. Melainkan mereka yang bisa menjaga tunas-tunas ilmu pengetahuan, membesarkannya hingga menjadi pohon rindang yang kokoh dan melindungi semua orang.

Namun, apakah kita paham tentang pentingnya menjaga tunas pengetahuan ini?




Tafsir Senyum Dua "Pemenang"


ekspresi dua capres (foto: Adek Berry/ AFP PHOTO)

JIKA politik adalah sebuah panggung, maka para politisi serupa aktor yang mempersiapkan diri dan merias dirinya demi memesona publik. Di balik panggung itu, terdapat wajah yang sesungguhnya dan tanpa polesan. Kemarin, seusai pengumuman quick count hasil pilpres, publik melihat dua wajah kontras di panggung politik. Ada yang merasa menang dan amat gembira merayakan pengumuman. Tapi ada juga yang mengklaim menang, namun justru nampak murung dan bersedih. Ada apakah gerangan? Bagaimanakah memahami senyum tim Jokowi dan tim Prabowo?

***

LELAKI itu Fadli Zon. Dahulu, ia seorang aktivis organisasi Islam yang kemudian bergabung dengan partai nasionalis berlambang burung garuda. Kemarin, ia datang sebagai narasumber pada acara pengumuman quick count yang ditayangkan Trans TV dan Trans 7, televisi yang dimiliki Para Group, kepunyaan Chairul Tanjung. Ketika layar pengumuman menunjukkan data yang masuk sekitar 10 persen, ia tersenyum sepanjang acara. Maklumlah, posisi Prabowo dan Hatta Radjasa, kandidat capres dan cawapres yang didukungnya, menang sekitar 55 persen.

Di acara itu, Fadli Zon diminta ke panggung untuk dipanel dengan Maruarar Sirait dari tim Jokowi – Jusuf Kalla, yang menjadi pesaing Prabowo. Moderatornya adalah Rosiana Silalahi. Mulanya Fadli tersenyum-senyum ketika melihat data yang terpampang. Malah, ia menyalami beberapa orang yang duduk di depan panggung. Wajahnya berseri-seri.

Hanya dalam tempo satu setengah jam, data yang terpampang berubah. Kali ini, quickcount yang digelar Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Cyrrus-CSIS itu menampilkan kemenangan Jokowi – JK dengan persentase 52.34 persen, sedangkan Prabowo Hatta hanya memperoleh 47.66 persen. Di tempat berbeda, Litbang Kompas telah mengumumkan hasil hitung cepat secara resmi. Sebagaimana LSI dan Cyrus – CSIS, pengumuman itu sama menempatkan Jokowi – JK sebagai pemenang pilpres.

Wajah Fadli sontak berubah. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Lain halnya dengan Maruarar Sirait. Ia justru banyak tersenyum. Ketika Fadli ditanya, bagaimana pendapatnya tentang hasil hitung cepat, ia langsung menjawab diplomatis. Bahwa hitung cepat hanya sebuah pendekatan, bukan merepresentasikan kebenaran yang sesungguhnya. Saat Maruarar ditanyakan hal yang sama, ia menyindir Fadli, “Andaikan Fadli dalam posisi memang seperti saya, pasti ia akan mengucapkan terimakasih bagi rakyat Indonesia.” Semua orang tertawa. Barangkali hanya Fadli seoang yang raut wajahnya bersedih.

ekspresi gembira (foto: Agus Susanto/ KOMPAS)

Layar televisi lalu menampilkan suasana di kediaman Megawati Soekarno Putri. Di situ, hadir capres Joko Widodo dan cawapres Jusuf Kalla. Hadir pula ketua partai koalisi yakni Surya Paloh (Ketua Nasdem), Sutiyoso (Ketua PKPI), dan perwakilan PKB. Tampak pula beberapa politisi muda PDIP,yang di antaranya adalah Budiman Sudjatmiko. Mereka nampak terharu. Air mata terlihat di wajah Megawati. Setelah berjabat tangan dan dipeluk banyak orang, Mega memulai jumpa pers didampingi tokoh tadi. Intinya, ia mengucapkan terimakasih sekaligus pernyataan kemenangan Jokowi.

Jokowi sendiri mendapat giliran untuk bicara. Ia nampak terharu. Bahasanya pelan, sebagaimana biasa. Ia mengucapkan terimakasih. Semua orang bertepuk tangan. Ia juga meminta semua relawan untuk mengawal kemenangan itu. Cawapres Jusuf Kalla juga berbicara. Ia lebih banyak tersenyum. Ia juga sesekali tertawa lepas. Ia sangat percaya diri dan yakin bahwa kemenangan telah di tangan. Jusuf Kalla berkata bahwa segala perbedaan harus dihilangkan. Kini, semua harus fokus dengan hal-hal menyangkut bangsa. Tak lama sesudah acara itu, Jokowi menuju Tugu Proklamasi. Senyumnya tapak lebar ketika semua orang memberi sorak-sorai dengan meriah.

Tak lama setelah jumpa pers itu, semua media lalu menyiarkan apa yang terjadi di markas Prabowo. Kali ini giliran Mahfud yang berbicara. Ia nampak lebih banyak diam. Jika biasanya ia berbicara tanpa konsep, hari itu, ia membaca konsep. Ia menyatakan bahwa kelompoknya juga menang. Tapi wajahnya datar. Ia sama sekali tak tersenyum. Kalaupun senyum, maka otot matanya sama sekali tidak berkontraksi. Di samping Mahfud ada Akbar Tandjung. Ekspresinya juga datar. Bibirnya ditekuk Aneh, bukankah ini adalah jumpa pers yang hendak menyatakan diri sebagai pemenang pilpres? Mengapa pula menampilkan suasana murung serta suasana seolah menjadi pasukan kalah perang?

Tak lama setelah Mahfud, capres Prabowo pun memberikan pernyataan pers. Ia didampingi beberapa ketua partai. Tepat di sampingnya adalah Aburizal Bakrie, yang lebih banyak menunduk. Saat memandang ke depan, mata Ical nampak kosong. Di dekat Prabowo, berdiri pula cawapres Hatta Radjasa. Hatta memandang ke kiri ke kanan. Sebagaimana Prabowo dan Ical, tak ada senyum di wajahnya. Raut wajahnya nampak tanpa ekspresi, seolah sedang memendam sesuatu.

pengumuman kemenangan

Sebagaimana halnya Mahfud, Prabowo juga membaca teks saat menyampaikan pernyataan sikap. Padahal, dalam semua event, ia selalu mengandalkan spontanitas. Bahkan saat debat capres pun, Prabowo selalu tampil berpidato tanpa teks. Entah kenapa, ia membaca konsep pada hari itu. Yang saya perhatikan, senyum Prabowo nampak datar. Bibirnya mencoba tersenyum, namun otot matanya tidak berontraksi. Ini pula yang nampak pada Mahfud.

Saya pernah membaca uraian psikolog Guillaume Duchenne tentang ekspresi senyum. Dalam risetnya, ia mengidentifikasi tentang senyum yang terkait kegembiraan. Katanya, senyum yang tidak menimbulkan kontraksi otot di sekitar mata, serta tidak menaikkan tulang pipi, adalah senyum yang menampilkan emosi negatif. Seseorang yang tersenyum dengan cara demikian justru tidak sedang berbahagia. Ia sedang memendam sedih yang berusaha untuk disembunyikan. Senyum itu bukan simbol ketulusan, melainkan simbol dari keadaan yang tak diinginkan, namun tetap harus dijalani.

***

AJANG pengumuman quick count bisa menjadi jendela untuk mengamati apa yang sesungguhnya terjadi. Bahasa tubuh dan senyum dari tim Jokowi bisa ditafsir sebagai keyakinan akan kemenangan. Mereka merasa puas atas pengumuman yang didengarnya, serta merayakannya secara lepas. Ekspresi itu nampak pada program acara di Metro TV yang menampilkan acara musik serta bincang santai dengan Najwa Shihab. Sangat terlihat kalau tivi itu sedang berbahagia.

Kontras dengan itu, ekspresi Fadli Zon, Prabowo, dan Mahfud bisa ditafsir sebagai tanda keterkejutan atas kenyataan yang terjadi. Kalaupun muncul klaim menang, maka itu bisa ditafsir dalam beberapa hal. Pertama, mereka hendak menjaga semangat tim sukses dan semua relawan agar tidak mudah putus asa dan mengawal semua suara. Kedua, boleh jadi, sikap itu adalah pertanda bahwa “Kami tahu bahwa kenyataan ini tidak mengenakkan, namun kami sedang melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan.” Ketiga, dengan menyerahkan keputusan pada real count KPU, maka ada jeda untuk melakukan sesuatu, melakukan manuver di daerah. Dengan sistem penghitungan manual, maka segala kemungkinan bisa terjadi.

Puncak dari pentas politik itu adalah acara TV One dikemas serupa nyanyan lirih yang berusaha menghibur para prajutrit yang kalah. Di acara itu, semua anggota tim kembali mengemukakan keyakinannya akan menang. Tapi bahasa tubuh mereka justru lebih banyak diam, tanpa ekspresi. Tak ada keceriaan dan kehangatan laksana seseorang yang baru saja mendapat berita gembira.

Sebagaimana ditulis psikolog Erving Goffman, politik kita laksana panggung. Di atas pentas, semuanya berjalan baik-baik saja, seolah tanpa gejolak. Semuanya bisa terlihat santun, serta muncul kalimat bahwa menang dan kalah adalah kehendak rakyat. Tapi di balik pentas itu, tim sukses Prabowo dan tim sukses Jokowi bisa memainkan intrik, strategi, serta berbagai manuver demi membalikkan keadaan.

Yang pasti, bahasa tubuh dan senyum mereka bisa menjelaskan banyak hal. Mulai dari seberapa yakin mereka akan kemenangan, serta apakah gerangan langkah yang hendak dilakukan di masa depan. Mungkin hasilnya akan datar hingga pemilihan, atau boleh jadi, ada kejutan yang menanti dalam waktu tak lama lagi. Semuanya akan tergantung dari seberapa cerdik tim sukses mengelola politik menjadi orkestra yang menguntungkan buat mereka.




Mencari Pelangi di Stadion Gelora


mereka yang menghadiri Konser Dua Jari

ANAK muda itu memegang sebuah kamera pocket. Ia tiba-tiba saja menghentikan langkahku di depan Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Bersama istri dan anak, aku datang untuk menghadiri konser dua jari. Anak muda itu meminta kami memegang kertas bertuliskan salam dua jari, lalu memotret kami. Setelah itu ia lalu menghadiahkan beberapa sticker bergambar Jokowi-JK. Apa harus membayar? Tidak. Hah?

Rupanya anak muda itu bergabung sebagai relawan. Ia sengaja meminta banyak orang untuk berpose. Ia lalu membuat video yang berisikan rangkaian gambar yang merupakan testimoni banyak orang. Aku tak banyak bertanya tentang karya yang sedang dipersiapkannya. Yang pasti, ia seorang pekerja kreatif yang dipandu oleh gagasan-gagasan.

Tak jauh dari anak muda itu, aku melihat dua orang yang sedang menggambar di jalan aspal. Dua orang itu menggunakan jalan raya sebagai kanvas untuk menggambar sesuatu. Nampaknya, mereka sedang menggambar pose Jokowi dan JK. Iseng, kutemui dan kuajak berbincang. Kutanya, apakah mereka mendapatkan bayaran dari apa yang mereka lakukan? Keduanya menggeleng.  Mereka melakukannya secara sukarela.

Keduanya hendak memberikan setitik kontribusi bagi bersemainya gagasan-gagasan tentang kebaikan. Mereka merindukan perubahan. Mereka membumikannya melalui karya-karya yang diharapkan bisa menggugah orang lain. Mereka bekerja dengan cara sederhana, menginspirasi orang lain, lalu menggerakkan yang lain untuk jalan bersisian. Mereka --meminjam isilah Anies Baswedan-- melakukan gerakan ‘turun tangan.’

Stadion Gelora Bung Karno dipenuhi massa yang menyemut. Aku melihat banyak orang berdatangan dengan berbagai atribut. Yang menarik, atribut itu tak seragam. Banyak atribut yang dibuat sendiri. Ada seorang bapak membawa bendera dari kain kotak-kotak yang mirip dengan baju kebesaran Jokowi. Aku melihat sejumlah dokter datang dengan baju kerja yang masih terpasang. Di bahagian lain, tiga orang wanita cantik dengan sepatu hak tinggi datang pula meramaikan GBK. Apakah gerangan yang dicarinya? “Kami ingin jadi saksi perubahan,” katanya.

Ini bukan kampanye pertama bagiku. Tahun 2012, aku dan anak-istri juga menghadiri kampanye Barrack Obama di Ohio, Amerika Serikat. Suasananya sama persis. Ada banyak kelompok kreatif yang meramaikan kampanye. Partisipasi publik muncul secara spontan. Orang-orang membuat fundrising, gerakan mengumpulkan sumbangan dari warga. Ada gerakan ‘One Dollar for Obama.’ Lewat fundrising itu, kampanye diorganisir hingga ke berbagai sudut kota. Kampanye-kampanye itu memantik kesadaran bahwa perubahan harus dikerjakan bersama-sama. Bahwa perubahan harus sama-sama diciptakan. Setiap orang adalah pelaku sejarah, yang lalu beramai-ramai mendatangi lokasi kampanye Obama dengan membawa karton bertuliskan “Forward”.

saat aku dan keluarga menghadiri kampanye Obama di Ohio, Amerika Serikat

Di Gelora Bung Karno, aku merasakan semangat yang sama. Aku bertemu sahabat yang dahulu menjadi aktivis di satu kampus di Makassar. Dahulu, sahabat itu amat kerap di hadapan massa yang sedang berdemonstrasi. Jelang runtuhnya kekuasaan Soeharto, sahabat itu beberapa kali ditahan aparat. Saat lulus, ia bekerja sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat. Ia tetap apatis dengan politik. Bahkan ia selalu nyiyir melihat politisi, yang dianggapnya sebagai pemburu rente dan remah-remah kekuasaan.

Kemarin, sahabat itu nampak berbeda. Ia masih terliat garang seperti dahulu. Ia membawa karton bergambar dua jari. Wajahnya bersinar-sinar. Aku tiba-tiba saja melihat dirinya belasan tahun silam ketika masih mengorganisir para mahasiswa. Aku seolah terpental dalam satu lembah sejarah yang sama tatkala sama-sama menjadi pejuang kesepian di masa-masa akhir kejatuhan Soeharto. Kami pernah sama-sama mengorganisir aksi massa, membujuk orang-orang untuk bergabung di barisan yang sama, lalu menjalani hari bersama pada demonstran lainnya. Di stadion itu, sahabatku berbisik:

“Kita punya satu kesempatan untuk menggapai impian kita dahulu. Kita punya satu suara. Kita bisameyakinkan orang-orang untuk satu suara dengan kita. Suara-suara itu akan menjadi air bah yang bisa menjebol apapun. Kamu harus yakin,” katanya dengan berapi-api.

Aku memandang sekeliling. Mereka-mereka yang berbondong-bondong dan membanjiri stadion itu dari berbagai lapisan sosial. Ada yang datang dengan mobil sekelas alpard, ada yang menumpang bis umum, ada pula yang berboncengan. Semuanya berada pada satu semangat yakni sama-sama menginginkan Indonesia yang lebih baik. Semua berada dalam barisan yang sama menginginkan perubahan!

dua orang anak muda sedang menggambar di jalan raya

dua orang peserta kampanye

Yup, begitu abstrak dan luasnya kata perubahan. Barangkali kata itu tak tuntas didiskusikan dalam semalam. Di ajang pilpres, semua bicara tentang perubahan. Semua memberikan janji dan klaim. Namun tak semua para penjanji itu memiliki track record yang memadai sebagai seorang pelaksana janji. Malah, ada yang terjebak dengan nostalgia masa silam, yang justru bisa menjadi jerat di masa kini.

Bisakah kita lepas dari masa silam? Bagiku tidak. Masa silam itu seyogyanya cermin untuk melihat diri kita hari ini, sekaligus untuk melihat sisi kelam yang pernah kita lakukan di masa silam. Dengan belajar dari masa kelam itu, kita belajar untuk tidak mengulangi kekelaman yang sama di masa depan. Kita memaafkan masa silam, tapi tidak akan pernah melupakannya. Melalui sejarah, kita merawat ingatan untuk selalu jernih melihat isi lain diri kita. Kita memaafkannya, namun berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi.

Untuk itulah kami hadir. Kami dan mereka di GBK itu berpijak pada garis yang sama. Kami sama sekali tak dimobilisir. Kami datang bukan karena instruksi. Kami datang demi menyatakan satu sikap untuk tidak kembali berada pada bayang-bayang nostalgia sebuah masa. Kekuatan kami adalah ingatan tentang pedihnya satu masa, dan harapan tentang masa depan yang lebih baik.

aku dan keluarga di konser Salam Dua Jari

salam dua jari

massa yang memenuhi stadion

Kami memang menginginkan bangsa yang kuat, dengan ekonomi perkasa. Tapi kami jauh lebih menginginkan bangsa yang humanis, yang menghargai dan melayani serta memberikan rasa aman kepada semua warganya. Kami sama menginginkan tangan-tangan negara yang serupa tangan lembut seorang ibu ketika anaknya sedang ditimpa musibah. Kami ingin negara yang hadir dalam wajah baik hati pada warganya yang ditimpa kesulitan ekonomi. Kami ingin negara yang menjaga simpul silaturahmi warganya lewat penegakan hukum yang menjangkau semua orang.

Kami punya setitik harapan. Bagi kami, harapan laksana kupu-kupu yang diterbangkan ke angkasa raya. Harapan itu serupa pelangi yang menjadi tangga-tangga untuk menggapai langit. Memang, tak semua harapan bisa menggapai langit. Ada yang tergelincir, dan ada yang terjerembab. Namun, bukankah harapan-harapan yang kait-mengait dan dirajut bersama-sama bisa menjadi kekuatan terhebat untuk menggapai mega-mega impian? Bukankah kekuatan besar itu akan hadir ketika semua orang menyatukan dirinya dalam satu barisan?

Di Gelora Bung Karno, kami melihat pelangi harapan. Ia tidak terletak pada retorika yang mengguntur dan merobek langit. Ia nampak pada ketulusan dan keikhlasan mereka yang hadir dan secara sukarela bergabung pada barisan yang sama. Ia terletak pada kejernihan hati untuk membaca masa silam, melihat masa depan, lalu menggerakkan jari-jemari untuk memilih.

Salam Dua Jari!


BACA JUGA: