Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Thanksgiving: Tradisi Mudik ala Bule

foto: Rashmi Sharma


DULUNYA saya menyangka bahwa mudik adalah tradisi khas Indonesia. Ternyata, bule-bule Amerika Serikat (AS) pun memiliki tradisi yang serupa dengan mudik. Namanya adalah thanksgiving. Pada hari ini, seluruh warga yang berumah di tanah rantau akan berusaha kembali demi makan kalkun (turkey) bersama keluarga, menguatkan kembali hubungan kekeluargaan, serta kembali menghangatkan api kasih di antara sesama.

Menurut banyak sahabat di Athens, Ohio, thanksgiving jauh lebih penting dari acara natal. Jika natal bernuansa religius dan dipayungi ajaran kasih sebagaimana tercatat dalam kitab, maka thanksgiving lebih bermakna kultural, sebagai tradisi yang berdenyut di masyarakat dan dirayakan setiap tahun. Acara ini dirayakan di Amerika Serikat setiap kamis keempat di bulan November. Biasanya, acara ini diadakan jelang musim dingin.

Seminggu silam, saya menerima banyak ajakan untuk merayakan thanksgiving. Menurut beberapa teman di Athens, thanksgiving menguatkan fakta bahwa masyarakat Amerika pada dasarnya adalah masyarakat agraris yang menjadikan pertanian sebagai ujung tombak. Meskipun belakangan Amerika telah bertransformasi sebagai negeri industri yang fokus ke jasa, namun warganya tetap merayakan tradisi ini sebagai bentuk kebahagiaan serta ucapan terimakasih pada semesta yang telah menganugrahi panen serta makanan yang berlimpah buat mereka.

Belakangan, tradisi ini kian meriah karena menjadi arena yang menguatkan hubungan kekeluargaan, mempererat buhul solidaritas sosial, serta hasrat untuk kembali ke native, mendengarkan kembali musik khas Amerika, makanan, ataupun saling bertukar kabar antar warga komunitas. Yup, acara ini identik dengan kembali ke asal, makan kalkun bersama keluarga, cowboy, ataupun musik country khas Amerika.

Saya beruntung karena bisa ikut dalam perayaan thanksgiving di Milford, desa kecil di Cincinnati, yang terletak di negara bagian Ohio, AS. Bersama beberapa sahabat dari Indonesia dan India, saya mengunjungi rumah Emily, seorang ibu berusia 70-an tahun. Ia amat bahagia sebab anak dan cucu-cucunya yang tnggal di California, ikut datang merayakan thanksgiving. Ekspresi bahagianya terpancar jelas dari raut wajahnya yang selalu tersenyum dan menyediakan smeua makanan buat kami.

bersama Emily sekeluarga (foto: Rashmi Sharma)

Emily mengajak saya dan teman-teman menghadiri jamuan makan malam di desa kecil dekat Milford yang terletak di Little Miami. Rumah yang saya hadiri untuk makan malam ini ditinggali oleh sebuah keluarga yang memiliki ranch atau peternakan kuda. Pantas saja ketika masuk rumah ini, saya melihat banyak lukisan, foto, atau ornamen yang berhubungan dengan kuda. Bahkan majalah di atas mejapun adalah majalah Cowboy. Saya serasa berada di dalam setting film Tombstone, Bonanza atau Wild Wild West. Ini menjadi pengalaman berharga buat saya

Pemilik rumah bernama Paddy. Saat makan malam, ia mengundang seluruh kerabatnya, termasuk kedua orang tua, serta semua saudaranya. Sebelum makan malam, kami berdiri melingkari meja makan, kemudian mendengarkan Paddy menyampaikan kebahagaiaannya karena telah mengundang banyak orang. Beberapa kali ia melemparkan harapan agar kelak rumahnya bisa lebih lebar dari sekarang. “Tahun lalu, sewaktu thanksgiving, rumah ini kecil. Mudah-mudahan tahun depan, rumah ini bisa lebih besar,” katanya.

Paddy (berkacamata) sebelum makan bersama (foto: Rashmi)
acara menyanyi bersama (foto: Rashmi)

Usai makan malam, kami banyak berbincang-bincang. Setelah itu, kami membentuk lingkaran. Dua anaknya yang masih remaja lalu mulai bernyanyi. Suaranya sangat merdu. Usai anak itu bernanyi, Paddy lalu meminta saya dan teman-teman memberikan persembahan. Meskipun saya bukan penyanyi, saya bersama dua teman yakni Yuyun dan Eka lalu maju ke depan. Sahabat Yazid memetik gitar dan selanjutnya kami menyanyikan lagu Ibu dari Iwan Fals. Dengan suara yang fals, saya pun ikut bernyanyi. Apalagi, lagunya memang syahdu. Sayang, suara kami tak seindah Iwan Fals. Tapi setidaknya kami sudah mencoba. Setelah itu kami menyanyikan lagu Mari Berjoged dari Koes Plus.

Elizarni bersama bayi Juliet
saat saya mengamati kuda kekar bernama Tornado

Meski dengan suara pas-pasan, semua orang bertepuk tangan usai bernyanyi. Emily memeluk kami semua sambil membisikkan kalimat penuh motivasi. Semuanya lalu bergembira dan melanjutkan obrolan. Saya lalu memilih duduk di dekat perapian sambil mencatat dalam hati betapa indahnya kebersamaan. Tiba-tiba saja, dalam keramaian itu saya dicekam kesunyian dan bertanya dalam hati, bagaimanakah kabar keluarga besar di tanah air sana? Apakah bayi Ara sedang merindukan diriku di sini?


Athens, Ohio, 29 November 2011

Saat Muslim Indonesia Mengunjungi Gereja Katolik di Amerika

bersama pastor dan beberapa warga Milford


Bagaimanakah rasanya jika dirimu adalah seorang Muslim 
dan tiba-tiba masuk ke dalam gereja katolik?

Minggu (27/11), saya diundang seorang sahabat warga Amerika mengunjungi Gereja St Andrew di Milfrod, Cincinnati, yang terletak di negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Seminggu ini, desa kecil Milford kedatangan banyak warga yang sebelumnya merantau ke banyak kota di AS.

Mereka kembali mudik ke kota kecil itu demi merayakan momen thanksgiving, di mana acara utamanya adalah makan ayam kalkun (turkey) bersama seluruh anggota keluarga. Di tanah air, momen ini serupa dengan mudik, di mana seluruh warga pulang kampung demi berkumpul bersama keluarga.

Bersama beberapa sahabat asal Indonesia dan India, kami ikut ke Milford demi memenuhi undangan seorang sahabat. Di sini, kami disambut sebagaimana layaknya keluarga. Beberapa orang sengaja berkunjung demi berbincang dengan kami. Banyak yang terheran-heran karena kami semua paham bahasa Inggris. Makanya, mereka betah diskusi banyak hal.

lilin di dalam gereja (foto: Rashmi Sharma)

Setelah mengunjungi beberapa rumah, saya punya dua kesimpulan; (1) tidak semua warga Amerika tahu negara-negara lain, sehingga ketika bertemu warga negara lain, mereka lalu penasaran dan selalu ingin bertanya banyak hal; (2) di mana-mana, khususnya di kawasan pedesaan, selalu saja bisa ditemukan kehangatan dan persaudaraan. Buktinya, kami disambut seperti saudara jauh yang datang. Kami mendapat perhatian dan kasih sayang banyak orang di kota kecil itu.

Di kota kecil inilah, saya berkesempatan untuk memasuki sebuah gereja katolik yang tertua di situ. Gereja ini merupakan tempat bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah federal dan dilestarikan.

Dikarenakan bangunan tua, maka bangunan gereja ini tidak terlalu mentereng, namun suasananya sangat asri. Tujuan saya ke gereja ini adalah demi memenuhi undangan sahabat tersebut, yang dalam beberapa minggu sebelumnya, selalu bersedia menemani saya ke masjid atau Islamic Center di Kota Athens, tempat saya berdomisili. Saya juga penasaran untuk menyaksikan bagaimana proses ibadah umat Katolik. Juga ingin tahu bagaimana mereka menilai saya yang Muslim dan tiba saja memasuki gereja.

Saya memperhatikan pengunjung gereja yang kebanyakan di antaranya adalah warga berusia lanjut dan anak-anak. Entah kenapa, saya tidak banyak menyaksikan anak-anak muda atau mereka yang berusia sebaya dengan kami.

Saya tiba-tiba teringat sahabat akrab saya, Novita Sianipar, yang hendak menulis bagaimana situasi gereja Inggris yang kian kehilangan jamaah. Kata Novita, di Medan, tempatnya berdomisili, hampir semua pemuda dan pemudi selalu meramaikan gereja. Pemandangannya sangat kontras dengan apa yang dilihatnya di Inggris. Di sinipun, saya membenarkan kalimat Novita.

Saya melihat ini sebagai fenomena global. Bahwa setiap religi atau agama mengalami dilema terkait dengan ekspansi sains yang sedemikian jauh hingga mengobrak-abrik keyakinan.

Jika sejatinya, ilmu dan religi bisa saling menguatkan, namun realitasnya justru cukup menggiriskan ketika warisan sains yang rasional itu malah kian mengaburkan peran-peran agama. Ritual agama jadi hilang makna, tanpa didasari iman atau kepercayaan yang semakin dalam.

Teman Berjilbab

Yang menarik, saya memasuki gereja ini bersama beberapa orang sahabat asal Indonesia yang mengenakan jilbab. Entah apakah saling mengunjungi ini dilakukan di tanah air, saya tidak banyak tahu. Padahal, ini bisa jadi kegiatan yang positif sebab bisa mempererat silaturahmi.

Apalagi, belakangan ini, hubungan antar agama sering diwarnai berita yang tidak begitu bagus. Maklumlah, tidak semua orang bisa berprasangka baik untuk selalu melihat positif apapun yang dilakukan orang lain. Saat memasuki gereja ini, saya tidak menemukan satupun pandangan yang aneh terhadap kami. Saat berada di pintu, beberapa orang datang menyalami kami sambil mengucapkan selamat datang. Saya menemukan kehangatan dan persaudaraan di sini.

Sebagaimana yang saya saksikan dalam film Hollywood, suasana di dalam gereja selalu saja sakral. Di dinding sebelah kiri, saya melihat banyak patung Yesus, serta gambar-gambar dinding tentang perjalanan Yesus ketika disalib.

Semua pengunjung menduduki kursi yang berbaris menghadap ke depan. Pada bagian bawah kursi, ada bagian yang bisa ditarik. Ternyata itu menjadi tempat untuk meletakkan lutut saat hendak bersimpuh. Pada balkon sebelah belakang, terdapat paduan suara yang beranggotakan penyanyi bersuara merdu. Saya senang mendengar nyanyian mereka.

Bersama sahabat asal India, saya duduk di satu kursi dan mengikuti ibadah. Kami mengikuti khutbah seorang pastor. Ia mengemukakan pesan spiritual yang amat indah tentang pentingnya pengorbanan serta pentingnya solidaritas social.

Dikarenakan bahasa Inggris saya masih amat terbatas, saya tak terlalu menangkap pesan lainnya. Usai khutbah, semua pengunjung lalu berbaris ke depan. Sang pastor memberikan sesuatu yang kemudian dikunyah, lalu masing-masing minum air dari piala kecil (gelas berwarna emas). Saya tak paham maknanya. Saya sendiri tidak ikut berbaris dan hanya menyaksikan saja dari kursi tempat duduk.

Usai ibadah, saya lalu bergabung dengan beberapa teman yang berjilbab. Uniknya, banyak orang yang datang dan menyalami kami. Saat hendak mengambil gambar, sang pastor mendatangi kami lalu memperkenalkan diri. Saat kami menyebut Indonesia dan India, ia tampak terkejut, lalu mempersilakan kami ke depan untuk mengambil gambar semau kami.

Dengan senang hati, ia ikut berpose sambil berseloroh kalau dirinya adalah bagian paling tidak penting dari proses pengambilan gambar itu. Kami tersenyum lalu berjabat tangan dan saling mendoakan kebahagiaan masing-masing.

saat di dalam gereja

Keluar dari gereja itu, keluarga Amerika yang kami kunjungi sudah menyambut. Sang ibu, yang sudah berusia lanjut itu, lalu mengajak kami ke rumahnya. Ia telah memenuhi meja makan dengan berbagai makanan, termasuk ayam kalkun. Kami lalu makan dengan lahap. Beberapa tetangga juga ikut bergabung dan banyak bertanya tentang Islam, agama yang kami anut.

Kami diskusi dalam suasana kekeluargaan. Mereka juga bercerita tentang beberapa ritual dalam gereja yang amat berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Mereka menganggap itu sebagai satu bentuk perubahan atas ajaran yang sudah ada sejak ratusan tahun silam.

Namun, mereka juga sama sadar bahwa beberapa perubahan mungkin perlu dilakukan oleh pihak Vatikan (sebagai induk kaum Katolik seluruh dunia) demi menjaga api ajaran agar tetap hangat di hati semua umat.

Mungkin inilah dinamika dari ritual yang terwariskan dari zaman sebelumnya. Bagi saya ritual lebih pada dimensi transendetal di mana terdapat dialog langsung antara manusia dengan Tuhan. Saya tak mau larut dalam diskusi tentang ritual. Sebab mereka sendiri amat menghormati keyakinan saya dan teman-teman. Saat hendak makan, kami diminta memimpin doa dengan cara Islami.

berpose di luar gereja

Makanya, saya lebih suka belajar pada kehangatan serta kebahagiaan yang dipancarkan warga Amerika yang sedang saya kunjungi ini. Saya amat tersentuh dengan ketulusan yang mereka miliki. Kami diperlakukan sebagai sebagai keluarga sendiri yang sengaja datang ke tempat itu untuk menyapa dan menjabat hati dengan mereka.

Sepulang dari tempat itu, usai menunaikan salat isya, saya lalu merenungi kebaikan keluarga itu. Mungkin, yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan doa yang tulus, semoga Yang Maha Menggenggam tak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang kepada mereka yang berbuat kebaikan pada sesama, kepada mereka yang mencintai sesamanya sebagaimana dirinya. Dan betapa damainya dunia ini jika semua manusia mencintai sesamanya. Amin!


Athens, Ohio, 28 November 2011

Menjejak Sisi Lain INDONESIA

KEMBALI, saya diserang hasrat untuk membaca sebuah buku. Di tanah air, jika hasrat ini mengepung, maka saya dengan segera akan ke toko buku, lalu membelinya. Atau tidak, saya akan memesan buku itu dengan cara online. Ada banyak cara yang saya tempuh untuk memiliki sebuah buku.


Tapi di sini, di tanah Amerika Serikat (AS), saya harus berdamai untuk tidak banyak membaca buku berbahasa Indonesia. Saya tak punya banyak pilihan dan harus meneteskan 'liur' saat melihat ada buku bagus terbit di tanah air, dan saya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memiliki buku tersebut. Walhasil, saya hanya bisa gigit jari.

Saya ingin membaca buku baru berjudul "Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965." Ini buku baru yang belum banyak ditemukan di toko buku, namun sudah dibedah di mana-mana. Buku ini berisikan tentang periode sebelum tahun 1965, periode sebelum malam tanggal 30 September, yang disebut sejarawan Taufik Abdullah sebagai 'malam jahanam.' Buku ini spesifik pada tema kebudayaan, politik, dan sejarah, dan hendak menautkan jejak tentang serpih keindonesiaan yang hilang sebelum tahun 1965. Keindonesiaan yang dimaksud bukanlah sebuah lanskap geografis, melainkan sebuah jiwa, semangat, hasrat yang menggelegak, serta dinamika perhelatan gagasan serta serpih kebudayaan yang kemudian remuk dan nyaris hilang jejaknya.

Di rentang waktu itu, sebagian orang hanya mengetahui tahun 65 yang identik dengan gerakan 30 september yang kemudian dikenal dengan G-30-S PKI. kisah yang berdarah-darah itu merenggut jutaan nyawa dengan waktu beberapa bulan saja. Buku yang masih terbit di akhir tahun 2011 dan dieditori Jennifer Lindsay ini memutar kembali drama dalam babakan yang silam di rentang waktu yang singkat (1950-1965). Lantas, warisan apa yang penting dari drama yang disebut sebagai 'tragedi' itu? Jawabnya mungkin sejarah. Sejarah yang ditulis kembali. Hilmar Farid menyebutnya teleologi dalam sejarah. Saya tak paham apa maksud Hilmar (saya menyapanya Fai) dengan pernyataan itu. Mungkin yang dimaksudkan dengan teleologi sejarah adalah mereduksi sebuah peristiwa sejarah dalam hal-hal yang simplistis sehingga mengaburkan banyak realitas sejarah lain. Entah, saya hanya bisa menduga-duga.

Menurut info dari sahabat Patta Hindi Azis, buku setebal 606 halaman ini menghimpun hasil kajian indonesianis dan sarjana Indonesia tentang riwayat kebudayaan di tahun 1950-1965 an itu. "Buku ini memanfaatkan lanskap Indonesia sebagai cerita. Tak hanya tragedi 65, juga perang dingin, hubungan intenasional, aspirasi kolonial hingga terciptanya kehidupan budaya dan intelektual semarak hadir dalam sejarah tahun-tahun itu," kata Patta.

Sayang sekali, saya hanya bisa berharap agar buku itu segera tiba di Alden Library. Saya ingin sekali membacanya sebab berkesesuaian dengan tesis saya saat belajar di kampus Universitas Indonesia (UI). Yah, apa boleh buat. Mungkin saya harus banyak bersabar dan rajin membaca ulasan dari beberapa sahabat serta media yang menuliskan telaah atas buku ini. Atau, adakah di antara Anda yang bisa membantu saya?


Athens, Ohio, 24 November 2011

Selamat Pagi Colombus!

DI tepi sungai Scioto, kota Colombus bermandikan kabut. Saya menyaksikan kota ini di dekat gedung tempat kantor imigrasi Amerika Serikat (AS). Pemandangannya sangat khas sebuah kota-kota besar, mulai dari gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan sibuk, serta pemandangan sungai jernih serta lapangan hijau di tepi sungai itu.

lanskap Kota Colombus

Nama Colombus diambil dari nama Christopher Colombus, sang penemu benua Amerika. Dari pemilihan nama ini, saya mengambil kesimpulan kalau kota ini bukanlah kota yang dahulunya perkampungan bangsa asli Amerika. Kota ini adalah kota yang dibentuk para pendatang kulit putih, yang kemudian menamainya berdasarkan nama seorang toko masyhur. Kini, kota yang terletak di tepi sungai Ohio ini menjadi kota kelimabelas terbesar di Amerika Serikat (AS).

Apa yang menarik dari kota ini? Sebagai warga Athens, kota ini menjadi kota besar terdekat yang menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Ohio. Sebagaimana kota lainnya, kota ini hendak merawat masa silam melalui bangunan tua, serta merawat masa kini dengan menata kota yang indah dan asri dipandang mata.

replika kapal Colombus
Sayang sekali, saya tidak bisa berlama-lama di kota ini. Saya hanya singgah sejenak saat menemani seorang senior yang megurusi dokumen imigrasi. Selanjutnya saya singgah ke Asian Market demi membeli kebutuhan sehari-hari. Sejatinya, saya ingin ketemu banyak sahabat di sini. Saya ingin bertemu beberapa teman yang sedang belajar di Ohio State University (OSU), mendiskusikan isu-isu terbaru, sekaligus membangun networking yang kuat dengan mereka. Niat ini tak kesampaian.

Sejauh ini, OSU, menjadi salah satu tujuan beberapa intelektual Indonesia. Dari rahim universitas ini, banyak lahir nama-nama popular di jagad politik Indonesia. Banyak pula para pengamat yang lebih mirip para ‘selebritis’ di dunia televisi kita, tanpa banyak melahirkan karya bermutu dan membangun dedikasi. Alumni OSU kini malang-melintang di dunia survey politik, serta ikut pula menjadi tim sukses calon presiden dari partai berwarna kuning. Mungkin ini cuma amatan sekilas saja, sebab saya yakin banyak yang memilih bekerja diam-diam, namun membangun prestasi. Yang jelas, kampus OSU cukup populer bagi warga Indonesia.

Tapi saya dapat banyak informasi kalau tak semua fakultas di OSU bagus. Kajian ilmu politik mereka cukup populer. Namun, untuk kajian Asia, antropologi, dan komunikasi, maka Ohio University (OU) yang di Athens bisa dibandingkan. Selain itu, koleksi buku Asia Tenggara di Alden Library OU di Athens, masih jauh lebih lengkap. Kata banyak sahabat, koleksi buku Alden Library hampir sama dengan  koleksi buku di Cornell University, Ithaca, New York, yang banyak disebut sebagai salah satu kiblat kajian Indonesia. Entah, apakah sekarang ini masih bisa dibulang kiblat.

balai kota

Pada akhirnya, semua kampus punya keunikan masing-masing, sesuatu yang kemudian menjadi ciri dan membedakannya dengan kampus lain. Mudah-mudahan dalam perjalanan berikutnya, saya bisa menulis tentang sejarah, lanskap, dan budaya warga Ohio, termasuk menjawab misteri mengapa namanya Ohio? Ataukah ini terkait sapaan dalam bahasa Jepang Ohio Gozaimatsu yang berarti selamat pagi? Nampaknya tidak. Ini sapaan khas Indian, sebagai bangsa asli. Pagi ini saya hanya berucap selamat pagi Colombus! Semoga keanggunanmu tetap abadi.


Athens, OHIO, 23 November 2011

Selimut yang Membingkai Cinta

DI satu apartemen seorang sahabat, saya menyaksikan sebuah selimut yang unik di satu sofa. Warnanya merah jambu (pink), dan di situ terdapat rajutan baju bekas. Setelah bertanya sana-sini, saya mendapat jawaban kalau selimut itu dimiliki mahasiswi asli Amerika Serikat (AS) yang juga tinggal di situ. Namun bukan bentuk unik yang hendak dikisahkan di sini. Ada kisah yang menyentuh hati saya saat menelusuri kisah yang disimpan selimut tersebut.


Saya memperhatikan selimut itu. Pada ujung sebelah kiri, terdapat baju bayi yang dilekatkan ke selimut, kemudian semakin ke kanan, baju remaja, hingga baju dewasa. Paling ujung adalah baju bertuliskan Ohio University. Apakah makna selimut itu? Ternyata selimut itu berisikan baju yang dipakai sang mahasiswi, sejak masih bayi hingga saat terdaftar di Ohio University (OU).

Ibu sang mahasiswi itu menjahitnya hingga jadi satu kemasan yang unik, lalu menghadiahkannya kepada sang anak. Saya melihatnya dengan seksama. Bagi saya, selimut itu bukan sekadar selimut, namun sebuah kenangan yang diabadikan dan dibingkai menjadi satu. Ibu mahasiswa itu telah merajut memori masa silam, dan mengabadikannya sebagai penanda keberadaan sang anak.

Mungkin ini adalah soal keluasan hati untuk menyayangi. Saya merenungi betapa luar biasanya ibu sang mahasiswi itu. Ia menyimpan perca kenangan masa silam, mengemasnya menjadi satu kado yang amat indah agar sang anak tak pernah melupakan asal-usulnya. Selimut itu adalah ikon dari kecintaan sang ibu pada anak, sekaligus kesediaan merawat kenangan. Ia menyimpan baju sejak bayi sebab baju-baju tersebut menjadi simbol tentang suatu momen yang mungkin telah lewat, namun masih berdenyut hingga kini.

Selama ini, saya sering beranggapan kalau di negeri seperti Amerika, hubungan antara ibu dan anak adalah satu hubungan yang hambar dan kehilangan nilai-nilai purba yang abadi yakni cinta, kasih, dan rindu. Gambaran saya tentang negeri ini adalah himpunan kenangan yang saya temukan melalui film dan catatan yang berserakan di media. Ternyata, tak semua gambaran itu berkesesuaian dengan kenyataan di sini.

Beberapa minggu lalu, saya berkunjung ke satu keluarga di Cincinnati demi menemani seorang sahabat yang hendak menemui ibunya. Sahabat itu tak malu-malu mencium ibunya di hadapan saya dan teman-teman, padahal usia sahabat itu lebih 40 tahun. Demikian pula sang ibu yang tak pernah malu memeluk dan mengusap anaknya, seolah sang anak masih berusia kanak-kanak. Saya melihat sebuah kehangatan. Saya semakin disadarkan bahwa nilai-nilai seperti cinta kasih adalah sesuatu yang universal dan bisa ditemukan di mana-mana, bahkan di negeri yang penduduknya disergap individualisme sekalipun.

Selimut itu menunjukkan pada saya bahwa ikatan seorang ibu pada anaknya adalah ikatan abadi yang jauh lebih kuat dari baja paling hebat sekalipun. Ibu itu telah menyimpan semua pakaian sang anak sejak bayi hingga dewasa, lalu mengemas ulang laksana monumen. Ia mengubahnya menjadi sebuah kado luar biasa. Ia bukan saja menyentuh hati sang anak. Ia juga telah menyentuh hati saya yang secara perlahan dirayapi kekaguman pada sang ibu. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk bertemu dengannya.

Saat memikirkan selimut dan kenangan dibaliknya, sebuah tanya tiba-tiba saja menyeruak di benak saat membayangkan anak saya Ara. Saya merenungi cinta ibunya kepadanya. Apakah kelak Ara akan mendapatkan memori indah tentang baju yang dikenakannya sejak bayi hingga saat kuliah di Harvard?



Athens, Ohio, 19 November 2011

Memangkas Kerinduan

HINGAR-bingar pertandingan sepakbola tim nasional, sampai juga ke Athens, Ohio. Di sini, saya masih bisa menyaksikan kemeriahan itu, meskipun hanya bisa melalui internet. Saya beruntung karena internet amat cepat di sini. Makanya, saya masih bisa menyaksikan tayangan pertandingan sepakbola itu melalui internet. Kebetulan pula, saya menemukan situs yang menayangkan semua televisi Indonesia hingga bisa menyaksikan semua pertandingan tim nasional.

Internet telah mendekatkan segalanya. Saya tinggal di negeri jauh, namun wacana dan pemikiran saya tak pernah beranjak dari Indonesia. Setiap kali saya online, maka saya akan segera terkoneksi dengan tanah air, mengikuti tema-tema perbicangan yang menarik, serta membahas wacana-wacana terbaru.

Dengan cara itu, saya bisa memangkas kerinduan, mendekatkan jarak dengan semua keluarga di tanah air, serta kembali memperbarui nasionalisme sebagai warga Indonesia. Saya meniatkan semua hal positif yang saya raih untuk negeri tercinta. Semoga saya tidak ikut larut menjadi seorang pedagang yang jauh berkelana demi mengumpulkan pengetahuan untuk kelak mencari uang sebanyak-banyaknya. Amin.

Jika saya di sini setiap saat bisa menjalin kontak dengan semua sahabat dan wacana di tanah air, lantas bagaimanakah halnya dengan mereka yang datang belajar pada masa ketika internet tak ada? Apakah mereka akan kesepian? Ah, saya tak mau membayangkannya. Setiap masa memiliki kesepiannya masing-masing.

Mencari Hiu buat Sarasvaty

Anakku sayang,.
Bulan ini dirimu telah berumur empat bulan. Sebulan lagi, ibumu berencana untuk membawamu ke Baubau di Pulau Buton. Kamu akan melewatkan usia enam bulan di sana. Saat itu pula, dirimu akan segera mendapatkan makanan sebagai pendamping air susu ibu yang setiap hari kamu minum. Ibumu sempat gelisah memikirkan apa makanan pertama yang akan kamu rasakan. Ia ingin agar makanan pertama itu bisa menjadi sejarah dan simbol penuh makna yang kelak memberi warna bagi dirimu, membentuk karaktermu, dan menguatkan hatimu kelak.

The beautiful Ara

Kamu beruntung sebab terlahir di sebuah masyarakat kota yang telah menyediakan semuanya. Kamu terlahir berkat bantuan seorang dokter ahli kandungan yang menyiapkan segalanya dengan matang di sebuah rumah sakit yang cukup mewah. Sementara diriku terlahir berkat bantuan seorang bidan desa di sebuah dusun kecil di utara Pulau Buton. Tak secanggih alat-alat yang mendeteksi keberadaanmu sejak dini, kemudian membantu proses terpisahnya dirimu dari ibumu. Bahkan, sebelum dirimu menggapai usia enam bulan, para dokter dan ahli gizi telah memiliki rekomendasi tentang makanan apa yang sebaiknya kamu makan.

Anakku sayang,.
Aku ingin mengisahkanmu tentang kekuatan sebuah tradisi. Aku menyebut tradisi sebagai himpunan kearifan yang kemudian diejawantahkan dalam sebuah ritual. Kita sering melihatnya sebagai sebentuk ritual, namun pada lapis-lapis terdalam, terdapat himpunan kearifan dan pengetahuan yang berurat akar pada kebudayaan dan pahaman filosofis manusia untuk menggapai kesempurnaan.

Di negeri kita, hampir semua kebudayaan memberikan definisi tentang pemberian makanan pertama bagi bayi. Orang Melayu Aceh atau Tamiang punya tradisi membawa bayi keliling rumah keluarga dan di setiap rumah, sang bayi akan disuapi. Mungkin ini dimaksudkan agar si bayi dikenal seluruh warga komunitas tersebut. Orang Jawa juga punya rupa-rupa tradisi untuk bayi yang pertama mendapatkan makanan tambahan. Pada usia tujuh bulan, sang bayi akan menjalani prosesi Tedak Sinten, atau turun ke tanah sebagai perlambang kehidupan yang kelak akan dijalani. Nah, bagaimakah halnya dengan dirimu kelak? Apakah kamu pun akan menjalani ritual pemberian makanan tambahan?

Dulu, ibuku (kelak kamu akan memanggilnya nenek) juga memikirkan hal sebagaimana ibumu. Betapa beruntungnya ibuku karena diriku lahir di tengah perkampungan nelayan sederhana di mana tradisi dan adat adalah tangan-tangan lembut yang menuntun hidup masyarakatnya di Buton Utara. Kami tak punya pengetahuan kesehatan yang memadai. Kami hanya keluarga nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada kemapuan meniti buih dan menaklukan samudera. Laut adalah ibu sekaligus semesta yang menyapih dan membesarkan semua manusia, sebagaimana ibu menyapih diriku di masa kecil.

Kami punya warisan pengetahuan berharga yang dijaga sejak masa ratusan tahun silam, termasuk bagaimana memberikan makanan pertama pada bayi. Tahukah kamu apa makanan yang pertama diberikan padaku saat berusia enam bulan? Ibuku berpegang pada tradisi untuk memberikan ikan hiu sebagai makanan pertama.

ritual memberi makanan pada laut oleh nelayan Buton

Aku tidak sedang bercanda. Aku sedang serius, duhai anakku sayang. Mungkin kamu ketakutan mendengarnya. Di sini, di tanah Amerika Serikat, ikan hiu adalah salah satu hewan yang paling ditakuti. Siapapun yang berenang di pantai, selalu saja mengkhawatirkan ikan bergigi runcing yang kecepatannya laksana torpedo demi menelan mangsa. Bahkan sutradara kondang Steven Spielberg (mungkin di masamu kelak namanya sudah menjadi sejarah) membuat film Jaws yang berisikan horor tentang ikan yang beringas setiap melihat darah. Ia menangkap momen ketakutan publik dunia terhadap ikan beringas itu, lalu mengemasnya jadi tontonan horor.

Tapi di Pulau Buton, tempatku tumbuh sebagai bayi, ikan hiu justru menjadi makanan pertama yang diberikan pada bayi. Hiu bukanlah santapan untuk orang dewasa. Dagingnya keras dan tidak nikmat. Nelayan Buton hanya menangkapnya saat tertentu, khususnya ketika ada hajatan untuk memberi makan buat bayi-bayi di kampung. Mereka menangkap ikan mengikuti tradisi yang telah berurat akar, termasuk kapan saat tepat menangkap hiu. Mereka juga mengikuti pantangan menangkap lumba-lumba dan ikan duyung.

Nak, aku tahu persis kalau pelaut dan nelayan Buton adalah para bahariwan luar biasa yang melintasi laut hanya dengan perahu cadik, berkelahi dengan ikan pari, bermain-main dengan ikan hiu, dan sesekali menyapa ikan duyung di tengah laut dalam. Lautan adalah semesta yang melingkupi kehidupan, dan menyapih kami sebagai warga yang berumah di pesisir lautan itu.

Almarhum kakekku (kamu memanggilnya kakek buyut. Ah, andaikan beliau masih hidup) adalah nelayan hebat yang hanya dengan perahu kecil jenis koli-koli bisa melintasi samudera selama berhari-hari dan kembali dengan perahu penuh ikan. Memori terindah masa kecilku adalah saat menungguinya di tepi laut, melihat-lihat setiap perahu yang datang, dan ketika kakekku yang datang, aku akan bersorak dengan penuh kemenangan lalu mengambil ikan paling besar untuk dibakar ramai-ramai.

Mereka tak menyisakan ketakutan pada ikan ganas itu sebab mereka memiliki pengetahuan tentang bagaimana menaklukannya, dan membawanya pulang sebagai santapan. Mereka yakin bahwa lautan adalah ibu yang sesekali mengutus ikan hiu bukan sebagai penganggu, namun sebagai santapan untuk bayi yang pertama. Lautan ibarat Dewa Poseidon yang memerintahkan semua hiu sebagai armada untuk menyerahkan dirinya kepada nelayan Buton untuk diserahkan pada bayi-bayi.

hiu amat ditakuti. tapi aku pernah memangsanya saat masih bayi

Apa makna pemberian ikan hiu buat bayi? Mungkin di situ tertera harapan kalau kelak sang bayi akan menjadi manusia dewasa yang gesit melintasi samudera kehidupan. Di situ ada harapan bahwa kelak sang bayi akan tumbuh menjadi manusia yang tak pernah takut menghadapi ancaman. Mungkin di situ ada symbol keberanian dan doa yang dirapal ke angkasa agar diriku menjadi petualang yang berkelana jauh demi membawa sesuatu yang berguna bagi masyarakat.

Anakku sayang..
Ibumu gelisah memikirkan ikan hiu yang kelak diberikan padamu. Aku sudah menghubungi ibu di kampung menanyakan apakah ikan hiu masih mudah ditemukan sebagaimana diriku dahulu. Ibuku bilang, ia sudah lama tidak mendengar ada nelayan menangkap hiu.

Mungkin kampanye lembaga internasional tentang pelestarian laut itu sudah berhasil. Ataukah ini pertanda kalau keluarga kita di kampung mulai kesulitan menemukan hiu di lautan bebas sana? Ataukah Poseidon tak lagi ramah buat kita? Entahlah. Aku sudah menghubungi ibumu dan berkata ikan hiu sudah tak mau lagi menepi untuk nelayan. Tapi ibumu tiba-tiba menjawab, dengan tidak putus asa. “Jika hiu tak ada, siapa tahu kelak anak kita akan mendapatkan daging ikan duyung?”



Athens, OHIO, 16 November 2011
Saat memikirkan paper yang belum kelar

Pahlawan-Pahlawan Kehidupan

Bung Tomo

SETIAP kali mengenang hari pahlawan, saya akan selalu mengingat tokoh Bung Tomo. Saya tak pernah bertemu dengannya. Saya hanya mengingat sebuah foto hitam putih, dirinya sedang menunjuk ke satu titik dengan mata menyala-nyala. Hari itu, tanggal 10 November 1945, ia memberikan pidato yang amat menggetarkan. Ia membakar semangat semua orang hingga akhirnya bangkit menyerbu.

Kita tidak sedang berada di zaman penuh retorika. Bung Tomo adalah satu dari sejumlah manusia besar bersenjatakan kata serupa petir, yang membelah angkasa, lalu menggelorakan semangat untuk revolusi dan menjebol apapun. Masa itu adalah masa di mana republik harus dipertahankan dengan tetes darah penghabisan. Masa itu adalah masa di mana republik ibarat bayi mungil yang mesti dipertahankan dengan cara apapun. Masyarakat Surabaya di masa itu tak punya banyak harta. Tapi mereka punya nyawa, satu-satunya milik yang paling berharga. Dan milik itu ikhlas diperaruhkan demi republik.

Kita memang tak bisa kembali ke masa itu. Kita hanya bisa mengkhayalkan masa-masa yang dahsyat itu. Gelora dan semangat itu seakan lenyap seiring dengan perputaran roda zaman. Tubuh republik kita mulai digerogoti dengan berbagai penyakit seperti ketimpangan, kemelaratan, dan ketidakadilan. Tubuh republik kita dipenuhi parasit, yang sejatinya bersumber pada keangkuhan dan keserakahan kita.

Ada semangat yang hilang ketika membahas para pahlawan. Kita kehilangan api dan semangat yang sejatinya dulu pernah membakar barisan warga Indonesia hingga dnegan ikhlas menyerahkan nyawa, sebagai satu-satunya milik yang paling berharga. Di masa kini, pengorbanan hebat itu serupa nyanyian pengantar tidur yang kehilangan greget. Kehilangan makna.

Pada mulanya adalah semangat baja, setelah itu perlahan mengeropos. Masalah besar yang sering melanda kita semua adalah kita seringkali tak sanggup menjaga sukma sebuah kejadian. Kita gagal mempertahankan dan mentransformasi semangat itu sehingga selalu adaptif dengan zaman. Kita hanya sanggup menjebol. Kita tak sanggup mengisinya. Kita tak sanggup meniupkan sukma dan ruh bagi bangsa yang hingga kini masih tertatih-tatih ini.

seorang ibu pada anaknya. potret pahlawan masa kini

Namun, jangan-jangan kita berpikir bahwa kepahlawanan adalah kategori yang seolah sudah selesai. Kita tak melihat kata pahlawan itu sebagai kualitas yang seyogyanya dimiliki untuk setiap orang pada zaman apapun. Kepahlawanan adalah potensi yang bisa melekat pada siapapun, namun kita keliru karena menganggapnya sudah final. Maka zaman ini adalah zaman punahnya para pahlawan. Kita hanya mengenang Bung Tomo, tanpa tahu bahwa kitapun sanggup menjadi Bung Tomo di abad ke-21.

Jika masa kini melahirkan para pahlawan, siapakah yang pantas menyandang gelar itu? Tentu saja, mereka yang bekerja dengan hati, mereka yang ikhlas mengorbankan apapun demi kepentingan yang lebih besar, mereka yang rela tidak nyaman hidup di satu rumah bagus, di saat tetangganya harus mengemis demi sesuap nasi. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, tanpa mengharapkan gaji atau imbalan. Pahlawan adalah mereka yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Pahlawan adalah para bapak dan ibu yang menyayangi anaknya sepenuh hati. Pahlawan adalah para guru yang mengabdi di ujung pelosok negeri ini. Pahlawan adalah para tukang sayur dan penjual ikan yang saban hari sudah memenuhi pasar demi sesamanya. Pahlawan adalah mereka yang bahagia ketika membantu sesama, meskipun dirinya ibarat lilin yang memberi nyala terang, namun selanjutnya punah terbakar.

Adakah pahlawan di zaman ini? Banyak. Mereka tersebar di masyarakat kita, dan bekerja dengan diam-diam, tanpa berharap untuk dikenal orang lain. Merekalah pahlawan zaman ini yang tak butuh popularitas, sebagaimana politisi kita hari ini. Anda pun bisa menjadi pahlawan yang mengabdikan diri pada sesama dengan berbekal tetes demi tetes cinta kasih pada sesama, hati yang bening, semangat dan kekihlasan berbagi, serta harapan kuat untuk memberikan kekuatan bagi orang lain. Inilah pahlawan zaman ini. Pahlawan kehidupan! 



Athens, Ohio, 11 November 2011


Pidato Bung Tomo yang menggetarkan

Ada Lagi yang Mati Muda

ADA lagi seorang kawan yang meninggal di Makassar. Saya mendengar berita ini kemarin dan tiba-tiba saja saya lama terdiam. Hanya dalam waktu tiga bulan, dua orang sahabat di kampus meninggal dunia dalam usia yang relatif muda. Yang satu karena kecelakaan, dan satu lagi karena sakit. Mereka masih dalam usia yang teramat produktif. Mereka telah berbuat banyak untuk sekitarnya. Tapi takdir berbicara lain.


Saya tiba-tiba memikirkan kematian. Kita bisa berkelana ke mana saja, mencapai puncak-puncak yang melejitkan nama kita, namun kematian laksana malaikat yang setiap saat datang menghampiri. Dua sahabat muda itu tentunya tidak punya pilihan. Ketika saatnya tiba, maka mereka akan bergegas untuk segera berpindah tempat. Mereka ibarat mendapat panggilan yang wajib ditaati, tanpa ada pilihan untuk menolak.

Sahabat yang pertama belum lama menikah. Istrinya tengah mengandung bayi mungil sebagai prasasti cinta mereka. Sedang sahabat kedua, memiliki putra semata wayang. Dua bulan sebelum ia meninggal, suaminya telah lebih dahulu berpulang ke Rahmatullah. Kini anak itu sebatang kara. Kini anak itu tak tahu ke mana harus memanggil mama papa.

Bagaimanakah kita harus memandang kematian? Saya teringat orang tua di kampung yang tahu persis kapan saatnya tiba. Saya teringat kakek yang mempesiapkan semuanya sebelum saat itu tiba. Ia memilih sarung dan kain yang akan dikenakannya ketika ke alam kubur. Dulu, ayah saya sudah tahu bahwa waktunya tak lama lagi. Mereka punya pengetahuan yang tak terjangkau rasio tentang kapan waktunya akan berpulang. Dan sebelum saat itu tiba, mereka telah mempersiapkan semuanya.

Kita manusia modern tak punya kemampuan itu. Maka, menyiapkan diri setiap saat adalah cara terbaik untuk menghadapinya. Lantas, apakah kematian memang harus dipersiapkan? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Mungkin sebagian dari kita merasa wajib mempersiapkan diri, namun sebagian dari kita justru melihatnya sebagai kejutan-kejutan dari Yang Maha Kuasa yang menginginkan agar seorang hamba bisa bersatu dengan diri-Nya.

Saya sepakat dengan kedua-duanya, tapi saya tak ingin punya pengetahuan tentang kapan waktunya tiba. Biarlah itu menjadi rahasia-Nya. Mungkin yang terbaik adalah menyiapkan segala sesuatu sehingga ketika saatnya tiba, anda tak meninggalkan beban dan utang. Mungkin yang terbaik adalah berbuat hal-hal luar biasa semampu mungkin agar kelak saat tiba saatnya, anda meninggalkan jejak yang menggurat di hati sipapun yang mengenali.

Saya teringat kalimat seorang sahabat yang arif. “Wahai manusia. Ketika dirimu lahir, semua orang tertawa bahagia, dan dirimu yang menangis seorang diri. Maka berusahalah semampumu, sehingga ketika dirimu berpulang, semua orang menangisimu, dan dirimu seorang diri yang tertawa bahagia.”


Athens, Ohio, 8 November 2011

Mengabadikan Momen Fall

Tulisan ini sejatinya tak berjudul. Saya hanya ingin membekukan momen-momen berakhirnya fall di Athens, Ohio. Maafkan jika nampak narsis. Saya tak bermaksud demikian. Saya hanya ingin saat-saat fall tetap membekas dalam pikiran. Minimal saya mengabadikan saat-saat ini.

saat di ruang kelas
bersama Mbak Eka
saat mengunjungi markas Superboy
bersama Eka Novita


Saat Dicium Orang Arab

bersama warga Indonesia di Athens, Ohio

UNTUK pertama kalinya, saya melaksanakan salat Idul Adha di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Untuk pertama kalinya saya berinteraksi dengan komunitas Islam internasional, khususnya warga Arab, saat salat bersama. Yang unik, saat berjabat tangan,mereka tidak sekedar menjabat tangan. Mereka menempelkan pipi sambil bibirnya mengecup.

Saya merasa risih. Namun tak elok juga menolak tradisi mereka yang sudah berakar ratusan tahun. Tak enak juga menolak kecupan setelah sebelumnya mereka menghidangkan semua makanan dan menyilahkan makan. Terpaksa, saya hanya mengikuti ritual kecup-kecupan ini, meski dengan perasaan agak aneh. Yah, apa boleh buat.

Di Athens, Ohio, salat dimulai pukul 08.30, disesuaikan dengan waktu di musim dingin. Entah kenapa, begitu memasuki permulaan musim dingin, waktu telah dimundurkan sejam. Saat keluar apartemen, saya melihat rumput-rumput berwarna putih. Setelah saya sentuh, ternyata embun itu telah membeku saking dinginnya. Sementara di kaca-kaca mobil yang diparkir juga dipenuhi es.

para jamaah
saat mendengar khutbah
makan-makan usai salat

Saya keluar apartemen hanya dengan memakai baju koko yang tipis. Dinginnya sangat terasa. Saya lalu menjemput dua sahabat sesama warga Indonesia, selanjutnya kami menunggu di depan leasing office. Rencananya, kami akan menuju Islamic Center dengan cara diantar seorang sahabat asal Thailand, yang memiliki kendaraan pribadi.

Perjalanan ditempuh hanya dalam waktu 10 menit. Islamic Center terdiri atas dua lantai, di mana lantai satu hanya diperuntukkan buat lelaki, sedangkan lantai dua untuk perempuan. Gedungnya tidak seberapa besar, dan jika dilihat dari luar, bentuknya seperti rumah. Mungkin ini disebabkan karena jumlah warga Muslim di Athens, tidak sebanyak wilayah lain di AS. Tapi, positifnya karena kami saling mengenal sehingga saat ke Islamic Center sering menjadi saat bertemu banyak orang dan berdiskusi.

Tadi, saya melihat pemandangan yang agak berbeda. Rata-rata orang Arab memakai pakaian kebesaran masing-masing berupa kain putih panjang. Sementara para bangsawan Arab sendiri, selain kain putih panjang, juga mengenakan penutup kepala khas, serta kain jubah berwarna hitam dengan pinggiran disulam benang emas. Tampak beda.

Saya lalu bergabung dengan jamaah. Di sebelah saya, datang seorang pria yang mengenakan songkok serta kain sarung. Saya tidak kenal pria itu. Tapi saya bisa pastikan kalau beliau berasal dari Malaysia. Sebab pemakai songkok dan sarung hanyalah warga Indonesia dan Malaysia.

Kecupan di Pipi

bersama Muslim asal Senegal dan Malaysia

Usai salat, kami lalu makan bersama. Pihak Islamic Center menyediakan masakan ala Arab untuk semua pengunjung. Setelah itu semua lalu berjabat tangan. Tapi, sebagaimana dikatakan di atas, warga Arab tidak cuma berjabat tangan. Mereka juga mengecup. Meskipun kadang hanya pipi yang menempel, namun bibirnya seolah mengecup dengan suara yang terdengar. Saya merasa risih. Tapi demi nasi kebuli dan ayam panggang yang nikmat itu, saya pasrah saja. Hehehe…

Di tempat itu, saya merasakan benar suasana internasional. Kami berasal dari berbagai negara, namun dipertemukan dengan keyakinan yang sama. Kami sama-sama menapaktilasi pengorbanan Nabi Ibrahim dan kesabaran Ismail. Kami sama-sama belajar bahwa religiusitas itu didasari oleh pengorbanan atas ego, individualistis, serta keserakahan atas materi. Ibrahim dan Ismail berhasil mengajarkan bahwa apa yang disebut spiritualitas itu adalah keyakinan yang sedalam-dalamnya, yang rela melepaskan segala yang dicintai demi menggapai kesejatian.

Tentu saja, saya masih amat jauh dari Ibrahim. Saya hanyalah seorang manusia biasa yang masih bergelut dengan perkara duniawi. Saya hanya seorang pejalan yang berjalan lambat, di saat banyak orang berlari kencang menggapai kesempurnaan. Tapi, setidaknya saya sedang mencoba untuk terus berjalan, meskipun langkah kaki ini amat tertatih-tatih.

Di saat merenungi hal ini, tiba-tiba saja, datang Abdullah, mahasiswa asal Arab. Ia lalu memegang tangan saya sambil berbisik, “Happy Eid Mubarak.” Saya lalu menarik tangan dan hendak menjauh. Tapi ia sudah memajukan pipinya dengan bibir yang agak monyong. Saya lalu menggumam, “Oh God… Please help me. Yah.. Dicium lagi deh."

Saat Daun-Daun Berguguran

daun-daun merah yang berguguran (foto: Yuyun)

MUSIM gugur akan segera berakhir. Setiap kali keluar apartemen, aku menyaksikan pohon-pohon dengan daun berwarna merah dan kuning yang kemudian berguguran. Ini siklus alam, pada negeri yang sinar mataharinya tak selalu memadai. Di sini orang-orang menganggapnya sebagai hal biasa. Namun tidak denganku. Di Tanah Air, semua daun berwarna hijau. Di sini, daun-daun bisa berganti warna hingga berguguran satu per satu. Aku sering takjub memandangnya.

Seringkali, apa yang menakjubkan selalu bergantung pada preferensi kebudayaan. Aku mengagumi daun-daun merah. Tapi warga Amerika justru mengagumi daun-daun hijau dan basah, sebagaimana yang mereka saksikan di negeri dengan iklim tropis. Mereka justru merindukan perjalanan ke negeri tropis, pantai-pantai berpasir putih dengan laut biru, hingga gunung-gunung yang misterius.

dari kampus menuju apartemen (foto: Rashmi Sharma)

Sementara kita yang berumah di iklim tropis, seringkali tidak sadar betapa kita sebenarnya hidup dan tumbuh di atas tanah yang ajaib, yang menumbuhkan semua tanaman, mengalirkan air-air, dan menghadirkan sinar matahari yang tak berkesudahan. Mungkin inilah dinamika zaman. Kita berkelimpahan dan menginginkan pemandangan sebagaimana di sana, sementara mereka yang di sana justru bosan dengan alamnya, dan merindukan alam kita yang lebih semerbak.

Di sini, aku masih harus banyak adaptasi, khususnya dengan cuaca dingin. Setiap hari, cuaca menjadi dingin menyengat. Kata teman-teman, mungkin akhir bulan ini salju akan segera turun. Aku sudah mesti bersiap-siap. Saat ini, aku mesti mengenakan baju longjohn demi menahan dingin. Aku wajib memiliki kaos tangan yang bisa menghangatkan tangan sehingga tidak ikut membeku. Untungnya, aku sudah memiliki kupluk untuk menutup kepala, sekaligus menutup telinga. Pakaian-pakaian itu menjadi tameng bagi diriku untuk menghadapi hawa dingin serta cuaca buruk di luaran sana.

Tempat terhangat bagiku adalah saat berada dalam ruangan. Satu yang unik di Amerika karena semua gedung memiliki AC yang bekerja secara otomatis. Mereka bisa mendeteksi suhu, kemudian mengeluarkan panas sesuai dengan suhu tersebut. Dikarenakan saat ini cuaca sedang dingin-dinginnya, maka AC mengeluarkan hawa panas. Dengan cara inilah aku betah di apartemen.

Aku serupa beruang kutub yang tinggal dalam gua demi menjaga hawa tubuhnya, kemudian berhibernasi selama dingin. Namun, tak mungkin aku berhibernasi. Tugas-tugas semakin bertumpuk. Aku mesti bergegas dan menyelesaikannya satu per satu sebelum quarter ini berakhir. Semoga semuanya berjalan lancar. Amin!


Athens, OHIO, 5 November 2011

foto: Rashmi Sharma


Musik, Hening, dan Semesta yang Mengalir


DI ruangan besar yang hening itu, ia terdiam sesaat. Jemarinya menggenggam tongkat kecil sepanjang 30 centi yang kemudian diketukkan pada perkusi di hadapannya. Suara mengalun mulai terdengar lembut. Perempuan itu hadir bersama beberapa rekannya dari Akademie Percussion Ensemble Korea  demi menunjukkan daya jelajah dan eksplorasinya di ranah musik perkusi. Ia datang untuk bermusik dengan seniman Amerika yang malam itu tampil dengan amat matang. Hasilnya, sebuah kolaborasi yang menggetarkan!

Di ruangan Templeton-Blackburn Alumni Memorial Auditorium, Athens, Ohio, Senin (31/10) itu, saya menyaksikan sebuah kolaborasi yang amat menggetarkan. Saat perempuan Korea itu memainkan perkusi, saya seolah tidak sedang mendengar suara perkusi. Saya mendengar denting embun yang jatuh di dedaunan, kemudian beringsut lirih lalu jatuh ke tanah, mengalir bersama air lalu menuju sungai, lalu ke samudera, menjadi ombak yang bergulung-gulung. Suara perkusi itu ibarat kecipak air disentuh daun cemara yang menderai sampai jauh.


Sementara musisi-musisi Amerika yang tampil malam itu hadir dengan filosofi bahwa musik itu tidak selalu hadir dari instrumen. Musik bisa hadir dari apapun, termasuk kayu yang digesek, kertas yang diremas, atau dengan tepuk tangan. Sesekali, mereka tampak diam, tanpa saling menatap, namun tiba-tiba saja memainkan gerakan yang sama. Di sini, keheningan adalah bagian paling esensial. Dalam kesunyian itu, mereka bisa berkomunikasi, bisa bermusik, serta bisa saling memahami.

Saya terkenang film Hero yang digarap Zhang Yi Mou. Dalam film itu, ada adegan ketika Nameless (diperankan Jet Lee) berhadapan dengan Sky (diperankan Donnie Yen). Pertarungan kedua pendekar tanpa tanding ini tiba-tiba terhenti ketika datang seorang tua yang memainkan alat musik kecapi. Kedua pendekar ini lalu diam, kemudian menutup mata dan seolah sedang berkelahi dalam pikiran masing-masing ditingkahi suara musik dan hujan yang menetes-netes. Dan ketika si orang tua berhenti memainkan kecapi, keduanya membuka mata, lalu saling terjang dengan senjata terhunus. Sungguh dramatis!

Sikap diam dalam hening itulah yang kemarin saya saksikan. Baik pemusik Korea maupun pemusik Amerika itu seakan sudah paham arah bermusik masing-masing. Mereka ibarat Lionel Messi dan Andreas Iniesta, dua pemain bola kesohor asal Barcelona, yang seolah bisa menebak ke mana arah gerak masing-masing. Sikap tenang dalam hening, serta kemampuan memainkan ritme itulah yang kemudian menjadi elemen dasar dari bangunan music yang tengah mereka dirikan. Di dalam bangunan itulah mereka saling bersua, bertukar pikiran, dan saling menginspirasi.

Satu yang disayangkan, saya tak suka melihat ekspresi para pemusik itu. Jika musik adalah sebuah energi, maka saya membayangkan energi musik itu mengalir melalui ekspresi para pemainnya. Kemarin, ekspresi pemainnya datar. Tak ada gejolak. Tak ada emosi. Seolah mereka sedang membaca sebuah partitur musik dan memainkan sesuai not yang tertera di situ.

Kitaro
Saya teringat seorang seniman Jepang, Kitaro. Saya amat suka dengan gayanya yang energik dan kontemplatif. Saat irama yang diadopsi dari suara alam mengalir, ekspresinya berubah. Baik mimik, gerak tubuh, serta sikap seolah menyatu dengan musik yang mengalir deras bak samudera. Dalam karya-karya orisinalnya seperti Matsuri dan Dance of Sarasvaty, Kitaro seolah menyatu dengan alam, mengikuti gerak semesta yang mengalir, kemudian mendedahkannya dalam irama yang amat memukau.

Kitaro adalah yang terbaik di bidangnya.




Saat Bersama Pumi dan Papi

Papi, Pumi, dan saya

KEMARIN, saya menghadiri ajakan para sahabat Thailand untuk penggalangan dana bencana banjir di sana. Saya bergabung dengan mereka di sebuah kafe di dalam kampus, kemudian ikut meramaikan acara tersebut. Acaranya adalah penggalangan dana yang digelar dengan sangat kreatif yakni diawali musik serta karnaval kebudayaan Thailand.

Warga Thailand yang berada di Athens, Ohio, menjual beberapa benda seni seperti kain, selendang, serta pernak-pernik. Mereka melelang barang tersebut kepada siapapun penawar tertinggi. Saya hanya datang meramaikan, demi memenuhi ajakan sahabat Saweitree Cheevasart (nama panggilannya agak aneh yakni Papi) dan Pompui Nantida (nama panggilannya juga aneh yakni Pumi). Mereka menjelaskan bahwa Bangkok bermakna The City of Joy, namun sejak banjir, kota itu sudah ganti nama jadi The City of Water. Saya cukup terkesima.

saat Papi memperagakan kain khas Thai
Pada kesempatan tersebut, saya mencatat dengan hitungan agak kasar bahwa populasi mahasiswa asal Thailand masih lebih banyak dari mahasiswa asal Indonesia. Malah, jumlah mereka dua kali lipat lebih banyak. Namun, anehnya, mereka amat jarang menggelar kegiatan di tingkat universitas. Situasinya sangat berbeda dengan mahasiswa Indonesia yang jumlahnya sedikit, namun sangat aktif dengan banyak kegiatan seperti pemutaran film, diskusi, latihan menari, dan malam ramah-tamah.

Mungkin ini adalah watak dasar kita warga Indonesia yang suka berkumpul-kumpul. Saban hari, lantai satu Alden Library, sering jadi tempat kumpul mahasiswa Indonesia yang suka membahas apa saja, mulai dari masalah kuliah, atau rencana jalan-jalan. Bagi saya, tak ada yang salah di situ. Setidaknya, kami sama-sama berbagi nasib dan pengalaman serta mengenang kampong halaman yang jauh di sana. Tapi, saya mesti pandai-pandai mencari celah untuk belajar bahasa. Keseringan kumpul bisa membuat kemampuan bahasa saya jadi pas-pasan.

Masih masalah kendala bahasa. Sahabat Pumi dan Papi punya kendala yang sama, malah lebih parah dari saya. Saat berbincang dengan Papi dalam bahasa Inggris, saya kesulitan menangkap apa yang sebenarnya diinginkannya. Bukan cuma saya, beberapa sahabat asal Amerika juga kesulitan menangkap apa yang dikatakannya. Mungkin karena aksen bicaranya bercampur dengan aksen Thailand, yang rada-rada mirip dengan aksen Cina. Sementara teman-teman asal Indonesia justru punya kelenturan dalam hal bahasa. Mereka lebih mudah menyesuaikan dengan aksesn ala warga asli Paman Sam.

Tapi, saya selalu belajar untuk tidak melihat seseorang dari kemampuan bahasa. Saya belajar untuk menangkap makna di balik setiap ucapan ataupn perkataan seseorang, sesulit apapun apa yang dikatakannya. Saya belajar untuk menghargai setiap butir pemikiran yang disampaikan melalui bahasa, meskipun saya agak kesulitan di situ. Setidaknya, saya bisa menangkap ekspresi dan sesekali pakai bahasa ala Tarzan.

Kepada Pumi dan Papi, saya hanya bisa membisikkan doa semoga korban banjir di Bangkok bisa mendapatkan bantuan yang layak. Semoga!

dua bule berbusana khas Thailand