Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saat Rasul Memilih Bumi

Di malam sunyi itu, Muhammad melesat laksana kilat dari Masjidil Aqsa (Mekah) ke menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Setelah itu, pria yang menyandang tugas suci sebagai Rasulullah itu melesat menuju langit, menembus segala batas kosmos dan sentrum semesta. Ia meleburkan dirinya dalam bahtera kecintaan dengan Sang Pencipta. Ia menerima perintah salat, lalu kembali ke bumi membawa amanah itu kepada umat manusia. Ilmuwan asal Pakistan Dr Sir Muh Iqbal berujar lirih. "Andaikan aku yang bertemu Allah, aku tak akan kembali ke muka bumi. Bukankah itulah tujuan hidup manusia selama ini? Bisa bertemu dengan Sang Pencipta." 

Senada dengan Iqbal, andaikan diriku adalah Rasul, barangkali akupun memilih untuk tetap bersama-Nya. Bukankah seluruh ibadah, kebajikan, dan segala keikhlasan semata-mata ditujukan kepada-Nya? Lantas, mengapa pula Rasul memilih untuk bersama umatnya, yang diselubungi kedunguan di era jahiliyah? Aku bukan seorang ulama yang pandai menafsir. Kisah yang paling menggetarkan diriku dari kisah Isra dan Mi’raj ini bukanlah episode ketika Rasul bertemu Allah. Bukan pula episode ketika Rasul melesat bagai kilat. Kisah yang menakjubkan adalah saat bertemu dengan Tuhan, Muhammad memilih untuk kembali ke bumi demi memberikan pencerahan kepada umatnya. 

Kembalinya Muhammad ke muka bumi usai bertemu Allah menyimpan makna tersendiri. Sebagai seorang messenger atau pembawa pesan, ia jauh dari sifat egois. Ia masih meletakkan basis sosial dan aktivisme kemasyarakatan sebagai salah satu elemen dasar ajaran Islam. Ia meletakkan fundasi atas ketaatan spiritual lewat bangunan kecintaan kepada masyarakat. 

Inilah tujuan hidup sebagai seorang manusia, yang tidak melulu dipenuhi nuansa ketaatan pada ritual. Spiritualitas adalah kualitas kecintaan pada sesama manusia, terletak pada ikhtiar untuk menjadi api kecil yang menerangi pekatnya kegelapan. Spiritualitas adalah kecintaan atas sesame manusia yang dimanifestasikan dalam upaya melebur segala egoism demi menjadi bagian masyarakat banyak.

Melalui proses kembali itu, Rasul bergerak melampaui sesuatu. Ia memilih bumi, ketimbang semesta langit. Ia mampu mengatasi situasi-situasi material dalam kehidupan duniawi, lalu "naik" untuk "manunggal" dengan Kenyataan yang Benar (al haqq). Kata pemikir Iran, Ali Syari'ati, tidaklah sempurna keimanan seseorang jika hanya berhenti menjadi manusia sebagai jasad material. Manusia harus bergerak menjadi "insan" atau manusia sebagai "roh" yang sadar dan bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik. Peristiwa kembali ke bumi itu menandai keadaan di mana Rasul menjadi "insan" sepenuh-penuhnya, yang kembali setelah bertemu sumber kebenaran. 

Maafkan. Diriku bukanlah seorang ulama yang bisa menafsir sebuah kisah sejarah. Diriku hanya seorang pendosa yang belajar memahami jantung sebuah kejadian masa silam, demi memperkaya masa kini melalui hikmah-hikmah yang bertaburan di sekujur kisah itu.(*)


Novel Terbaru Andrea Hirata dan Dewi Lestari

sampul Madre karya Dee (Dewi Lestari)


SUKAKAH Anda membaca novel? Saya seorang pembaca novel. Meskipun bukan seorang yang rajin membaca setiap kali novel terbaru keluar, namun saya cukup rajin melihat informasi novel terbaru, serta mengoleksi karya beberapa penulis seperti Dee (Dewi Lestari), Andrea Hirata, Tasaro, ES Ito, dan Seno Gumira Adjidarma. Saya pun sedang mempertimbangkan untuk mengoleksi karya Clara NG dan Fira Basuki. Merekalah para penulis yang karya-karyanya selalu ingin kukoleksi.

Saya membaca karya terbaik mereka, kemudian meresapi rasa bahasa yang indah, mengaduk-aduk kesan di pikiran, hingga terpesona oleh kemampuan mereka memainkan kata yang serupa lempung dan tiba-tiba menjelma sebagai keramik yang indah. Mereka adalah penulis yang sukses membuat saya kepincut sehingga menanti-nanti karya terbaru mereka.

Saya paham bahwa tidak semua orang (khususnya kritikus) akan mengapresiasi karya mereka, sebagaimana saya. Tapi saya berpandangan bahwa sebuah karya sastra selalu punya sisi-sisi yang subyektif. Sebuah karya bisa dicaci seorang kritikus, namun di sisi lain bisa menyentuh hati seorang pembaca di satu sudut bumi ini. Saya adalah salah satu pembaca yang tersentuh dengan karya para penulis di atas. Namun saya tidak akan menjadi pembela buta atas semua karya itu. Saya akan tetap kritis ketika menemukan hal berbeda.

Saya menyukai karya mereka untuk sesuatu alasan yang subyektif yakni mereka telah meneteskan embun di batin saya. Mereka telah mengajarkan saya sebuah hikmah, moral serta kearifan dari sebuah kepingan adegan yang dijejalkan dalam teks. Mereka mengajarkan sesuatu dari hal-hal sehari-hari yang kita saksikan, namun sarat makna dan kesan. Tapi di sisi lain, saya akan tetap kritis pada apapun yang mereka tuliskan.

Bulan depan, dua di antara penulis itu akan meluncurkan karya terbaru. Dewi Lestari akan meluncurkan Madre, dan Andrea Hirata akan meluncurkan Sebelas Patriot. Saat ini, kedua novel itu sudah bisa dipesan secara online. Tapi saya tetap setia menanti penjualan di berbagai toko buku.

Madre, karya terbaru Dewi, terdiri dari 13 prosa dan karya fiksi. Madre merupakan kumpulan karya Dewi selama lima tahun terakhir. Untaian kisah apik ini menyuguhkan berbagai tema: perjuangan sebuah toko roti kuno, dialog antara ibu dan janinnya, dilema antara cinta dan persahabatan, sampai tema seperti reinkarnasi dan kemerdekaan sejati. Novel ini direncanakan akan beredar di awal bulan Juli. 

novel terbaru Andrea Hirata
Sebelas Patriot, karya terbaru Andrea Hirata, mengisahkan pengorbanan seorang ayah, cinta seorang anak, kegigihan menggapai mimpi menjadi pemain sepak bola nasional, serta patriotisme. Kata Andrea Hirata, novel ini merupakan novel pertama yang dibuatnya setelah menjalani pendidikan sastra di University of Iowa, Amerika Serikat. 

Duh! Rasanya tak sabar untuk membacanya.

Jakarta, 24 Juni 2011

saat istriku bertemu Dewi Lestari


Tertidur di Busway

foto: yusran darmawan

MEREKA sedang tertidur di Busway saat saya memotretnya. Saat ini Busway menjadi transportasi favorit yang menjanjikan kenyamanan serta kecepatan dalam menjangkau banyak tempat di Jakarta. Sayapun ikut menikmati perjalanan lewat busway, hingga akhirnya memotret penumpang yang sedang tertidur.

Saat Mengemis Bersama Bayi Mungil

seorang pengemis bersama bayinya

DI jembatan penyeberangan dekat Sarinah, saya menyaksikan sebuah pemandangan yang kontras. Di tepi perbelanjaan yang memajang barang-barang mahal itu, saya menyaksikan seorang ibu bersama bayinya yang sama tertidur di atas kardus yang didekatnya ada gelas plastik berisikan beberapa uang receh. Saya tak sempat menanyainya. Tapi saya tahu bahwa ibu itu sedang mengemis bersama bayinya, menadahkan tangan selama seharian hingga tertidur di jembatan itu dan ikhlas menjadikan dirinya tontonan banyak orang.

Entah berapa receh yang didapatnya dalam sehari. Tapi saya amat yakin kalau sebulan pendapatannya di jembatan itu tidak akan sama dengan harga barang-barang mahal yang dilajang di mal itu. Saya sedang menyaksikan sebuah paradoks. Di negeri ini ada banyak orang yang bermewah-mewah di apartemen dengan kekayaan yang bertimbun-timbun, sementara pada bagian lain ada sosok seorang ibu bersama bayinya sedang menadahkan tangan demi sekeping uang receh.


Pada saat seperti ini, di manakah posisi negara yang berjanji akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat? Di manakah posisi politisi yang setiap saat menjual nama rakyat demi jabatan dan kuasa yang disimbolkan mobil-mobil mewah di jalan raya. Di negeri ini, mereka yang miskin adalah obyek dari berbagai kebijakan politik yang berganti-ganti dari rezim satu ke rezim yang lain. Mereka yang miskin adalah obyek yang dibahas di hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi berharga triliun, di istana-istana mewah di mana para presiden duduk bagai para kaisar masa silam. Sementara mereka yang miskin mesti bertarung demi hidup, berjuang demi menghidupi sesosok bayi mungil yang tak berdaya dan tak paham kalau ibunya tengah mengharap belas kasihan dari mereka yang lewat hingga sang ibu lelah dan tertidur.(*)



Jakarta, 22 Juni 2011

Negeri yang Tak Peduli Nasib Warganya

masih adakah tersisa kebanggan buat bangsa ini?


NEGERI ini sedang heboh. Ada warga yang dihukum pancung di Arab Saudi. Pemerintah malah tidak peduli. Pemerintah tak puya daya-daya dan upaya untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan warganya yang ada di sana. Konon, sang warga dituduh membunuh majikan yang lalim. Tapi apakah lantas negara ini hanya bisa diam saja dan berpangku tangan?

Hakekat sebuah negara adalah sebagai tembok besar yang memagari keselamatan warganya. Konstitusi mengatakan bahwa tujuan negara ini melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ketika Indonesia malah tidak peduli dengan nasib warga yang menyabung nyawa di negeri lain, lantas apa perlu kita mempertanyakan ulang apa makna dan tujuan bernegara?

Sebagai warga, kita sedang dihadapkan pada sebuah paradoks. Kita menyaksikan wajah negara yang serupa malaikat, namun serupa iblis di sisi lain. Ada ambiguitas serta ambivalensi yang ditampakkan ketika para pemerintah menyapa warga dengan berurai air mata. Negara berurai air mata dan mengaku peduli, tapi di sisi lain tak ada daya-daya dan upaya untuk menyelamatkan warga itu. Tak ada pula tekanan agar negara lain tidak seenaknya menghardik rakyat kita. Inilah negeri yang tidak peduli pada nasib rakyat yang amanah konstitusi telah mewajibkannya untuk membela.

Dan kita hanya bisa menjadi penyaksi yang bersuara kian parau. Jutaan warga yang memilih jadi TKI itu adalah potret ketidakmampuan negara untuk menyediakan lapangan kerja bagi jutaan warganya. Hijrahnya mereka ke negeri jiran adalah gambaran betapa carut-marut negara ini dan kegagalan pemerintah untuk memberikan penghidupan yang layak buat warga.

Entah apakah masih ada tersisa sesaput kebanggaan untuk negara yang kemerdekaannya direbut dengan berdarah-darah ini. Entah, apakah kita masih bangga menerima warisan sebuah negeri yang pemerintahnya tak peduli pada warganya sendiri. Entah.(*)

Saat Si Cantik Mencintai Si Buruk Rupa

si cantik Vanessa Hudgens, bintang High School Musical, dalam film Beastly

SEBUAH dongeng selalu saja berisi kisah yang mengharukan. Apalagi jika dongeng itu berkisah tentang cinta seroang putri dan seorang pangeran. Semuanya serba sempurna. Namun bagaimanakah kisah antara seorang putri jelita dengan pria buruk rupa? Bisakah mereka dipertemukan dalam satu biduk cinta? Salah satu kisah populer tentang ini adalah kisah Beauty and the Beast, tentang si cantik dan si buruk. Kita mungkin menganggap ini kisah khas ala dongeng. Tapi bisakah kisah ini dibumikan dalam dunia modern?

Kemarin, saya menonton film Beastly di Metropole, Jakarta. Film ini adalah versi modern dari kisah Beauty and The Beast. (dalam bahasa Perancis disebut La Belle et la Bête). Kisah ini adalah dongeng Perancis yang ditulis ulang oleh Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve, dan diterbitkan pertama kali pada salah satu media di tahun 1740. Kisah ini sedemikian popular dan telah beberapa kali difilmkan dalam berbagai versi berbeda. 

Film Beastly mengisahkan seorang pria buruk yang berusaha dengan segala cara demi mendapatkan cinta seorang gadis cantik. Dalam versi dongeng, pria buruk itu sejatinya adalah seorang pangeran yang dikutuk karena tindakannya. Ia bisa memunahkan kutukan apabila berhasil membuat seorang gadis jatuh cinta. Jika itu terjadi, ia akan kembali tampan sebagaimana sebelumnya. Anehnya, dalam versi modern, sang pria tetap saja tampan pada awalnya dan selanjutnya dikutuk seorang wanita gothic yang dipanggilnya penyihir. Ia dikutuk karena suka meremehkan mereka yang secara fisik dikategorikan jelek.

salah satu adegan dalam Beastly

Dari sisi cerita, saya menganggap film Beastly adalah jiplakan total dari Beauty and the Beast. Tak ada kreativitas atau inovasi yang kemudian membuat film ini jadi lebih berisi. Setting-nya memang modern, tapi mitosnya dipertahankan sama persis dengan fairytale atau kisah dongeng. Tak ada penjelasan tentang sihir atau transformasi dari tampan ke jelek, lalu kembali tampan. Kisahnya ala dongeng tentang putrid-putri sehingga ketika disaksikan di zaman ini menjadi sangat hambar. Saya tak menemukan alasan logis tentang transformasi wujud itu. Semuanya terjadi begitu saja, dengan tanpa tongkat sihir.

Saya berharap ada inovasi pada kisah ini. Yang paling saya inginkan adalah bagian ending yang lebih menyentuh. Dalam versi dongeng dan modern, sang pria buruk itu tiba-tiba saja berubah menjadi pria tampan. Saya selalu menyesalkan adegan ini. Sebab pada akhirnya cinta menjadi hal yang amat material dan tunduk oleh apa yang tampak oleh mata. Cinta menjadi sesuatu yang sederhana ala sinetron Indonesia, yang menampilkan wajah bagus dan tubuh indah, lalu cinta tumbuh.

Bagi saya, cinta yang agung adalah sesuatu yang melampaui apa yang tampak. Demi menggambarkan kekuatan cinta, saya lebih senang jika pria itu tetap dalam wujud yang buruk rupa, namun memiliki daya juang untuk melindungi si gadis dari segala bahaya. Pria buruk itu adalah samurai yang setiap saat bisa menghunus pedang demi si gadis, namun di saat lain bisa menjadi embun yang menyejukkan hati, dan mengatasi dahaga cinta sang gadis. 

Inilah cinta yang melintasi segala batasan fisik. Inilah cinta yang tumbuh sebagai kembang yang mekar di hati dua insan, disuburkan oleh rasa yang sama, serta keinginan untuk saling menjagai, saling mengasihi, dan keikhlasan untuk sama dibakar oleh api demi menyelamatkan sosok yang dicintai. Cinta yang sejati melampaui batasan fisikal dan menjelma sebagai debar-debar indah yang berdetak di jantung ketika melihat sosok tempat cinta kita berlabuh. Cinta adalah desir yang berhembus dalam hati ketika membayangkan kekasih hati, dan sesekali bisa berubah menjadi badai ketika menyadari kekasih terancam bahaya. Cinta adalah kekuatan yang hadir di tengah kesunyian dan memberikan semangat untuk terus menggapai firdaus terjauh dan mahligai demi tempat bernaung.

Mungkin inilah pesan moral yang hendak disampaikan. Sayangnya, ending yang buruk itu --tatkala si buruk menjadi si tampan—telah merusak indahnya bangunan cinta antara si cantik dan si buruk rupa.(*)


Jakarta, 20 Juni 2011

film Beauty and The Beast yang dibuat Disney


Cukur Madura Versus Cukur Salon

UNTUK pertama kalinya saya memangkas rambut di satu salon di Jakarta. Biasanya, saya selalu memotong rambut pada anggota PERCUMA (Persatuan Cukur Madura). Dalam hal cukur, saya gak mau ribet. Makanya saya butuh yang simple sehingga lebih suka ke anggota Percuma. Namun hari ini saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Makanya, saya lalu berkunjung di satu salon demi merasai bagaimana sensasi bercukur di satu salon. Nah, dari pengalaman tersebut, saya bisa menuliskan apa saja perbedaan antara cukur ala Madura dengan cukur versi salon. 

tukang cukur madura
Pertama adalah penampilan sang tukang cukur. Di salon, saya dilayani seorang perempuan muda yang cantik dan enak dipandang mata. Ia tidak sekadar mencukur, tapi juga mengajak berbincang banyak hal. Sebagai pelanggan, saya merasa betah sebab disapa dan diajak ngobrol. Lain dengan anggota Percuma yang rata-rata adalah laki-laki. Entah apakah ini terkait gender, tapi saya tak pernah menemukan pendukur Madura yang jenis kelaminnya perempuan. Mungkin pula ada semacam konsensus untuk tidak banyak ngomong. Mereka lebih fokus mengerjakan tugasnya dan tidak terlalu suka ngobrol. Tapi dari sisi hasil, saya tidak melihat perbedaan signifikan. Malah banyak aggota Percuma yang punya kualitas hebat. Saya selalu merasa lebih ganteng kalau dicukur mereka.

suasana sebuah salon di satu mal

Kedua adalah kebersihan. Bicara soal kebersihan, salon jelas jauh lebih baik daripada cukur Madura. Kebanyakan ruangan yang dipakai untuk cukur Madura adalah ruangan kecil yang kebersihannya tidak terlalu diperhatikan. Hal yang paling menganggu saya adalah kain yang digunakan untuk disampirkan di badan. Saya sering kesal dalam hati saat sang tukang cukur.tiba-tiba saja menyampirkan sebuah kain yang baunya bikin mual untuk menyelubungi badan untuk melindungi badan dari rambut yang berjatuhan. Saya sering protes, kok tiba-tiba kain lap disampirkan ke badan saya? Saya juga terganggu dengan gunting yang digunakan untuk mencukur, lalu pisau untuk memotong rambut di leher. Saya takut kalau pisau itu pernah digunakan seorang penderita HIV dan hepatitis, sehingga berpotensi untuk menularkan penyakit tersebut. Selain itu, saya juga gak nyaman ketika usai dicukur, sang pencukur lalu mengeluarkan kuas (lagi-lagi kuas yang gak pernah dicuci) dan dicelup di satu cairan, kemudian dioleskan ke tengkuk dan cambang. Cairan itu disimpan di wadah yang agak bau sehingga mempengaruhi kenyamanan.

pemandangan di satu salon
Ketiga adalah prosedur bercukur. Kalau di cukur Madura, begitu datang, langsung dicukur. Tak peduli apakah kita datang dalam keadaan rapi atau kotor. Sementara di salon, kita terlebih dahulu dikeramas. Kita merebahkan badan di satu kursi khusus. Lalu sang karyawan salon mulai membilas rambut. Setelah itu kita lalu duduk di kursi khusus dan mulai dicukur. Setelah dicukur, rambut juga langsung dibilas, kemudian dikeringkan dnegan hair dryer. Keluar dari salon, badan juga langsung segar. Sementara ketika keluar dari cukur Madura, maka saya harus langsung mandi demi menetralisir bau serta ketidaknyamanan.

Demikian pengalaman saya saat dicukur di salon. Bukan berarti bercukur di salon lebih baik, sebab saya sering menemukan langganan pencukur Madura yang memahami selera saya. Tapi, ada hal-hal yang membuat para pelanggan merasa lebih nyaman ketika bercukur di salon. Akan sangat baik jika para anggota Percuma bisa meng-upgrade pelayanan dan memperhatikan banyak hal. Mulai dari kebersihan, prosedur bercukur, hingga senyum yang ramah saat bercukur.(*)


BACA JUGA:


maukah anda dicukur gadis ini?




with the dancer....


DI depan Taman Budaya Yogyakarta, yang berdekatan dengan kompleks Taman Pintar, saya bertemu dengan perempuan ini. Ia hendak bersiap-siap menari di depan walikota dan semua undangan. Malam itu, beberapa tari akan dipentaskan demi membuka secara resmi pekan kebudayaan. Saya tidak tahu apa nama tarian yang akan dipentaskan perempuan ini bersama rekannya. Saya hanya tertarik untuk ngobrol dan mengabadikan moment penting pertemuan ini. Sayangnya, sepulang dari Taman Budaya, saya malah lupa nama perempuan ini. 

Tapi tak apa. Setidaknya saya telah berpose dengannya.

Vitalitas Budaya Yogyakarta

poster kegiatan

KESENIAN adalah nyawa bagi Kota Yogyakarta. Kalimat ini bukanlah isapan jempol tentang sisi eksotisme kota Yogyakarta. Sejak masa silam, kesenian menjadi nyawa warga kota. Inilah sebuah kota yang warganya adalah para penampil, mulai dari penari, pemain teater, hingga pemain sandiwara. Sementara penduduknya adalah para penikmat seni yang menghabiskan hari demi mencicipi kesenian, membeli produk industri kreatif sekaligus melahirkan karya kreatif terbaru.

Yogyakarta serupa oasis dan lahan subur bagi pencinta kesenian. Di sini, pameran kesenian dilakukan hampir setiap minggu. Di sini, sebuah produk budaya hasil industri kreatif bertebaran di mana-mana, semudah menghirup udara segar yang asri di kota ini. Di sini, produk batik, busana, ataupun kain bisa ditemukan di banyak ruas jalan. Nampaknya kota ini adalah surga buat para seniman untuk berekspresi dan mencipta. Kota ini ibarat lahan subur penuh humus penciptaan buat mereka.

Dalam kunjungan singkat ke kota ini, saya menyempatkan diri untuk menyaksikan pemetasan Laskar dagelan di Taman Budaya Yogyakarta. Sayang karena harga tiketnya cukup mahal (Rp 150.000), saya batal menonton pagelaran. Saya hanya berkeliling menyaksikan pameran serta melihat pementasan tari yang dibawakan sejumlah remaja berbaju tradisional. Kata seorang kawan, hampir setiap hari ada pagelaran seperti ini. Sebab para pelaku seni tradisi bertebaran di berbagai penjuru kota dan semuanya menanti kesempatan untuk tampil.

anak-anak kecil yang bermain musik tradisional
sebuah tari yang dibawakan sejumlah gadis
beberapa produk seni kerajinan
walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, saat membuka acara

Semalam, saya juga menyaksikan anak-anak yang bermain musik bak pemain orkestra yang amat profesional. Mereka memainkan gendang serta aneka musik tradisional dengan amat piawai hingga beberapa kali mengundang aplaus. Saya paham bahwa anak-anak itu kelak akan mewariskan khasanah budaya yang demikian agung, sekaligus menjaga vitalitas atau daya hidup kebudayaan Jawa yang berpusat di Yogyakarta. 

Mungkin atas alasan ini pula, saya tiba-tiba saja merasa iri pada mereka yang berdiam di sini. Betapa bahagianya menjadi bagian ari kekayaan khasanah tradisi Yogyakarta yang terus dirawat oleh generasinya hari ini.(*)

BACA JUGA:
Wow..!!! Kecil-Kecil Udah Bisa Main
Merawat masa Silam di Yogyakarta 
Wuihh!!! Cantiknya Gadis Yogyakarta


Posyandu Balita, Posyandu Lansia

ilustrasi

DI negeri ini, Pos Pelayanan terpadu (Posyandu) hanya untuk bayi dan anak-anak. Tapi di Yogyakarta, tersedia pula Posyandu untuk lansia atau mereka yang sudah berusia lanjut. Di Yogyakarta, para lansia bak raja yang diberikan pelayanan. Tidak heran jika kota ini menjadi surga para lansia.

Yogyakarta memang menjadi kota yang selalu menjadi magnet buat para lansia. Situasi kota yang adem serta kohesi sosial yang tinggi menyebabkan kota ini selalu menjadi pilihan untuk menghabiskan hari tua. Tak heran jika angka harapan hidup di kota ini juga tertinggi di Indonesia. Tahun 2005 lalu, jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun ada 31.701 jiwa atau 6,13% dari total jumlah penduduk. Jumlah yang banyak ini menyebabkan Pemerintah Yogyakarta lalu membentuk Posyandu buat para lansia.

Ketika mendengar berita ini, saya seakan tidak percaya. Malah, saya bertanya-tanya apakah gerangan pelayanan yang diberika saat Posyandu. Menurut info di satu website, pelayanan kesehatan itu meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. 

Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu Lansia adalah pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya. Selanjutnya adalah pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit. Setelah itu pemeriksaan status gizi, gula darah, kadar protein, dan air seni.

Saya rasa program ini merupakan program yang brilian. Sebab memosisikan para lansia bukan sebagai sumber masalah atau penyakit. Mereka juga tidak dibiarkan sendirian menghadapi hidup, namun memiliki sahabat, teman untuk sharing atau berbagi, serta kesempatan untuk mengungkapkan uneg-unegnya bersama para sahabatnya. Mereka juga melakukan banyak hal secara bersama, menemukan tantangan baru, serta kebahagiaan untuk berbagi dengan sesamanya.

Saya mengangkat jempol untuk program ini. Semoga semua anggota masyarakat, siapap0un itu, baik anak kecil, remaja, orang dewasa hingga orang tua bisa memiliki kesempatan serta akses kebahagiaan yang sama. Inilah tujuan hidup berkomunitas dalam sebuah kota. Jika di kota lain Posyandu hanya untuk bayi dan anak, maka di Yogya berbeda. Di sini ada Posyandu balita, ada pula Posyandu Lansia. Mengapa program sebrilian ini tidak diterapkan di seluruh Indonesia?

Muhammad: Lelaki Pengeja Hujan

NOVEL kedua dari seri Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro telah terbit. Kali ini berjudul Muhammad: Para Pengeja Hujan. Sampulnya nyaris mirip. Sama-sama gambar abstrak, namun maknanya sangat dalam. Novel kedua ini hampir sama tebalnya dengan novel pertama. Saat melihatnya, saya membayangkan betapa lelahnya menghabiskan novel setebal itu. Jika novel pertama bisa saya tuntaskan dalam seminggu (karena membacanya cuma beberapa jam dalam sehari), maka novel kedua ini akan menelan waktu yang sama. Tapi saya juga membayangkan sungai kata-kata yang jernih serta kerinduan atas sosok Muhammad. Di tengah gersangnya tokoh yang penuh dedikasi pada sesama, Muhammad menjadi oasis dan mata air yang tak henti mengalirkan kejernihan dan kerinduan.


Mengingat kesibukan selama dua minggu ini, saya urungkan dulu untuk membelinya. Saya akan membacanya pada waktu yang tepat, pada saat pikiran bisa lebih fokus, di sela-sela kerinduan atas sosok Muhammad, sosok yang disebut penulis Michael Hart sebagai manusia paling luar biasa yang terlahir di jagad ini, manusia yang dengan segala kesederhanannya telah mewarnai peradaban, tidak hanya saat hidupnya, namun ratusan tahun setelah kematiannya. Muhammad seorang lelaki masa silam yang melukis masa depan, melalui dedikasi, ketulusan, serta pengetahuan yang serupa api telah membakar kegelapan manusia.

Saya selalu menikmati kisah Muhammad yang disajikan seindah puisi dengan kata-kata yang mengalir bagai anak sungai. Dalam buku pertama, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan, Tasaro sukses menjinakkan lempung kata menjadi keramik yang amat indah. Ia sukses mencairkan segala kebekuan kata demi mengngkapkan kembang kecintaannya pada Muhammad. Saya menikmati segala keindahan yang dipersembahkan kepada sang rasul. Saya tahu bahwa kata-kata pun bisa demikian miskin untuk menggambarkan kedahsyatan serta keikhlasan manusia luar biasa ini. Tapi setidaknya upaya Tasaro adalah upaya untuk memuliakannya, seacam shalawat yang diucapkan dengan lirih dan menggetarkan pada suatu malam senyap.

Di sampul novel kedua ini, terdapat kutipan yang berbunyi, “Diakah Atsvat Ereta? Lelaki yang kelahirannya telah lama diramalkan dalam gulungan-gulungan perkamen kuno? Sosok Maitreya yang memiliki tubuh semurni emas, terang-benderang dan suci?” Bagi yang tidak membaca novel pertama mungkin akan kebingungan. Untungnya, saya sudah membaca tuntas novel pertama. Di situ digambarkan tentang berbagai nujuman tentang sosok Muhammad sebagaimana bisa ditemukan dalam perkamen-perkamen kuno. 

Para penganut Zoroaster menyebutnya Astvat Ereta, seorang nabi yang dijanjikan. Seorang Pendeta Kristen bernama Bahira malah menujum Muhammad sebagai Himada, sosok yang akan membawa keagungan di rumah Tuhan. Kemudian kitab kuno umat Hindu, Kuntap Sukt, meramalkan hadirnya sosok yang menghadirkan hujan wahyu, seorang lelaki pengenggam hujan yang kelak memberikan kesegarannya kepada seluruh umat manusia. Lelaki itu adalah manusia yang lahir di tengah bangsa yang jahiliyah. Ia membawa hujan dan pencerahan sebagai jalan terang bagi siapapun untuk meniti kehidupan dunia dan akhirat. Ia menampilkan kebajikan dan ahlak, dan menjadikan dirinya sebagai prasasti hidup atas kebijaksanaan dan prototipe ideal serang Muslim yang menjadi rahmat bagi semesta. Sementara penganut Buddha juga menujum lahirnya sosok Maitreya yang membawa pencerahan di tengah masyarakat jahiliyah.

buku pertama
Sayang sekali, saya belum membaca novel kedua ini. Saya menunggu momentum yang tepat untuk mengungkapkan kerinduan tentangnya. Hingga kini, saya masih terpesona dengan penuturan salah satu intelektual Muslim asal Pakistan, Sir Muh Iqbal, dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kata Iqbal, “Tuhan dapat kau ingkari, namun Rasul tidak.” Anda bisa mengabaikan keberadaan Tuhan, namun tidak dengan Rasulullah. Iqbal hendak menegaskan bahwa Rasul adalah prasasti hidup yang telah membumikan semua pesan Allah di muka bumi. Rasul Muhammad adalah segi aktivitas Allah yang dapat dilihat. Muhammad adalah potensi ketuhanan yang mengaktual, seorang manusia sempurna, yang seumpama cahaya bersinar terang benderang dan memberi suluh bagi seluruh umatnya. Dalam syairnya, Iqbal mengatakan, ”Duhai Rasul Allah, dengan Allah aku berbicara melalui tabir-tabir, denganmu tidak. Dia yang tersembunyiku, dikau yang nyataku.”

Saya paham bahwa ribuan lembar buah tangan manusia modern, tetap saja akan teramat miskin untuk menggambarkan lelaki yang kasih sayangnya telah menginspirasi manusia bahkan ratusan tahun setelah ia berpulang ke pangkuan Ilahi. Benarkah ia berpulang? Maaf, saya tidak yakin. Saya selalu percaya bahwa dirinya tidak benar-benar berpulang. Jazad materialnya mungkin telah terurai. Tapi segala kisah dan kasih sayangnya ibarat pelita yang terus bersinar di kalbu mereka yang selalu membasahi lidahnya dengan menyebut nama Muhammad, lelaki penggenggam hujan.(*)

Meraih Beasiswa Ibarat Ikut Lari Maraton

DULUNYA, saya berpikir bahwa ketika kita mendapatkan beasiswa, maka segalanya akan mudah. ternyata tidak demikian. Beasiswa hanya sebuah pintu. Kita mesti menemukan kunci yang tepat untuk membuka pintu tersebut. Beasiswa itu hanya satu jalan menuju apa yang dicita-citakan. Tetap saja kita harus melangkahkan kaki, mengatasi segala ragu demi meniti di jalanan yang tidak selalu mulus, namun bisa terjal dan penuh batu-batu.


Dulunya, saya berpikir bahwa penguasaan bahasa Inggris adalah segala-galanya. Ternyata yang jauh lebih penting adalah sejauh mana kita bisa meyakinkan kampus-kampus bahwa kita punya kapasitas untuk diterima sebagai mahasiswa. Bahasa Inggris tidak begitu penting, meskipun beberapa kampus mensyaratkan skor Toefl atau IELTS yang tinggi. Banyak sahabat yang punya skor pas-pasan, bisa pula berangkat dan terdaftar sebagai mahasiswa internasional. Kita pun mesti meyakinkan lembaga pemberi beasiswa bahwa pilihan kampus kita sudah tepat, sesuai dengan visi dan misi lembaga penerima beasiswa. Di luar negeri, kampus ingin tahu apa rencana perkuliahan, apa tujuan studi, rencana riset, serta rencana ketika kembali ke negara asal. Mereka butuh informasi yang detail dan akurat. 

Ternyata, semua berpulang pada strategi yang tepat serta perencanaan yang matang. Adalah sebuah kesalahan berpikir jika kita hanya fokus pada bahasa Inggris. Kita mesti membuka mata, melihat-lihat peluang, serta menyiapkan banyak skenario ketika hendak mengajukan tawaran ke universitas yang kita idam-idamkan. Ketika satu skenario gagal, maka kita mesti menyiapkan banyak skenario lain demi menggapai segala rencana. 

Ternyata, mendapatkan beasiswa ibarat ikut lomba lari maraton. Kita mesti pandai mengatur ritme dan tidak memforsir tenaga. Kita mesti punya strategi kapan harus berlari kencang, dan kapan harus berlari pelan. Mungkin ini semacam pelajaran hidup bahwa kelak segala sesuatunya tidak seindah yang diimpikan, namun mesti digapai dengan kerja keras, strategi, serta kesungguhan. Inilah pelajaran bagi siapapun yang meraih beasiswa.(*)

Nak! Ayahmu ini Pria Biasa

Anakku sayang...
Setiap mengingat dirimu, ada sesuatu yang menggenang di pelupuk mataku. Ada rasa rindu yang bagai samudera telah menjebol bendungan hatiku hingga diri ini selalu membayangkan dirimu. Pada ibumu aku berjanji jika diriku akan menjadi ayah yang membahagiakanmu. Diriku akan bekerja keras sekuat tenaga demi menghadirkan tawa ceria di wajahmu.

Anakku sayang...
Di sini, pada jarak puluhan kilometer darimu, aku selalu mengingatmu. Ayahmu ini bukanlah seorang yang luar biasa. Ayahmu ini hanya seorang pria biasa, namun memiliki tekad untuk ceriamu. Demi senyummu, ayahmu ini akan melakukan apapun, meskipun itu menjangkau bulan. Ayahmu ini berasal dari latar keluarga biasa, yang lahir dan besar di pulau kecil, tapi memiliki asa agar dirimu kelak bisa sebahagia diriku. Ayahmu dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta. Kelak dirimu akan dibesarkan dengan penuh cinta pula. Kasih sayang sepanjang hayat adalah janjiku yang kuikrarkan agar dirimu melesat bagai anak panah, dan diriku menjadi busurnya.

Anakku sayang ...
Kata-kata jadi miskin untuk menggambarkan sesuatu yang menggenang di hati ini.

Arung Palakka, Sang Penjelajah Buton

BEBERAPA hari ini saya berusaha menulis tentang sosok Arung Palakka di Tanah Buton. Ini bukan pekerjaan mudah sebab sumber-sumbernya tidak terlalu banyak. Tapi saya berusaha untuk tetap menulisnya. Saya berusaha keluar dari gaya penulisan para sejarawan yang terlampau ketat dengan sumber dan literatur hingga aspek cerita terabaikan. Makanya, saya tidak ingin menggapai kebenaran historik, tapi saya ingin mencapai pemahaman tentang konteks dan masa itu serta berempati pada apa yang dipikirkan seorang tokoh di masa silam.

Sebenarnya, yang ingin saya tulis bukan Arung Palakka. Saya ingin menulis lanskap kota kuno Buton, namun meminjam mata dan pikiran Arung Palakka. Saya berimajinasi tentang apa yang dipikirkan Arung palakka saat memasuki tanah Buton dan di saat bersamaan saya lalu menggambarkan detail dan lanskap kota yang saat itu berpusat di pebukitan, pada daratan yang sekarang dikelilingi Benteng Keraton Wolio.

Ini bukan sesuatu yang mudah. Sebab pada akhirnya yang muncul adalah tulisan imajinatif, serupa fiksi, tapi data sejarahnya ada dan tersaji dengan kuat. Tulisan ini saya niatkan sepanjang 30 halaman dengan spasi satu. Dan saat ini sudah berjumlah sekitar 24 lembar. Nah, sebagai bocoran, saya tampilkan dua paragraf awal tulisan tersebut. Silakan menyimak!


.....................
INI tahun 1660. Terik masih membakar tatkala perahu pria bernama Arung Palakka itu menyusuri Sungai Baubau menuju tepian. Lelaki perkasa berambut panjang yang ditahbiskan sebagai pahlawan Tanah Bugis itu, memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan. Ia bukanlah seorang pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang. Perjalanannya didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan sepenting urat leher bagi manusia. Ia tidak sekadar berkunjung sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan napas dan detak jantung baginya. 

Nenek moyang Bugis dan nenek moyang Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk saling menjaga kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan persaudaraan itu dalam kalimat “Bone ri lau, Butung ri aja.” Bone di Barat dan Buton di timur. Ini  adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung. Hikayat kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan dalam memahami realitas geografi di masa silam.
..................
..................
..................
BACA JUGA

Arung Palakka, Sang Jagoan Batavia


Saya Ingin Mewariskan Pengetahuan. Bukan Kekuasaan! Bukan Kekayaan!

DI negeri ini para penguasa selalu berusaha mewariskan kekuasaan kepada anaknya. Ketika menjabat pada posisi penting, maka mati-matian seorang pejabat mewariskan kekuasaan kepada anaknya. Meski sang anak punya kapasitas yang payah, pejabat itu tidak peduli. Di Indonesia, tema politik dinasti sedang marak-maraknya. Ada banyak pejabat yang hendak mewariskan jabatan pada anak atau keluarganya. Tak ditiliknya sejauh mana kapasitas sang pewaris. Pokoknya, kekuasaan harus diwariskan. Uang juga harus tetap di kelompok itu. Payah!


Masyarakat kita sedang digiring ke era kebodohan massal. Jaringan dan uang yang dimiliki pejabat itu diarahkan segenap rupa untuk mendukung sang anak. Polanya sederhana. Sang pejabat akan memperbanyak proyek, kemudian uang lalu mengalir, lalu uang itu dipakai untuk 'membeli' jaringan demi memperkuat diri. Maka mendekatlah para penjilat dan masyarakat yang pikirannya telah ditumpulkan. 

Berdatangan pulalah para intelektual yang lalu mengemas pencitraan, mengemas sesuatu yang bego hingga nampak seolah-olah cerdas. Jaringan penjilat ini lalu bekerja untuk membodohi rakyat. Mereka menyerahkan segepok uang sambil dititipi pesan agar kelak memilih si bodoh itu. Rakyat terpedaya. Berkat uang segepok, harga diri tergadaikan. Gara-gara uang ratusan ribu, miliaran rupiah uang pajak akan dikeruk oleh si bodoh dan komplotan bodoh itu.

"Mungkin kelak ketika kita menjadi bapak, kitapun akan melakukan itu pada anak kita," demikian kata seorang kawan. Tapi maaf! Saya berjanji pada diri saya untuk tidak melakukan tindakan bodoh itu.  

Jika kelak saya membesarkan seorang anak, saya ingin memperkenalkannya pada kerja keras serta upaya menghargai hal-hal kecil atau tahap-tahap menjadi manusia paripurna. Saya ingin menyekolahkannya pada tempat tertinggi, tempat-tempat yang dahulu hanya bisa saya khayalkan. Saya ingin memenuhi semua kebutuhan bacaannya untuk menjadi manusia hebat hingga kelak akan menjadi kaki-kaki yang memberinya kemampuan untuk bergerak ke manapun.

Maaf! Saya tidak ingin mewariskan kekuasaan. Saya tidak ingin mewariskan kekayaan. Saya ingin mewariskan khasanah kemampuan, serta sikap menghargai proses atas kerja keras yang tak pernah surut. Saya ingin mengajarinya sikap menghargai segala pencapaian, serta hasrat untuk terus memyempurna. Saya ingin mewariskan kapasitas, sesuatu yang kelak membedakannya dari orang lain, dan menjadi kail untuk menjerat banyak peluang-peluang emas di masa mendatang. Saya ingin mendedikasikan diri saya sebagai busur dan dirinya adalah anak panah yang akan melesat mengikuti garis takdirnya.

Kelak, masa depan akan mencatat. Saya ingin menjadi pihak di belakang semua kisah-kisah yang akan dituliskan orang lain tentang dirinya. Saya ingin dirinya mengenang saya sebagai ayah yang memberinya kekuatan, mengisi tubuhnya dengan semangat serta mimpi-mimpi untuk merebut sesuatu, mimpi untuk menaklukan dunia. 

Mungkin orang lain akan menganggap tulisan ini sebagai bualan. Mungkin orang lain akan menganggap ini sebagai dongengan di siang bolong. Saya sudah terbiasa dengan cap pendongeng, tapi secara perlahan tapi pasti saya akan mewujudkan apa yang disebut dongengan itu. Bukankah sayapun berhak untuk menganyam impian untuk anak saya kelak?

Keajaiban Li Na


TAK ada berita heboh seminggu ini selain berita tentang petenis asal Cina, Li Na. Ia dielu-elukan publik negaranya setelah sukses mengukir sejarah sebagai juara Perancis terbuka. Li Na dianggap mencetak keajaiban karena menjadi petenis Asia pertama yang menjuarai turnamen grand slam.

Media-media Cina langsung mengaitkannya dengan nasionalisme serta etos kerja. Ia dianggap sukses dalam hal membangkitkan harga diri bangsa Cina di lapangan tenis. Petenis yang dijuluki "Bunga Emas" ini disebut-sebut sebagai pembuat keajaiban. "Ini sebuah keajaiban, sebuah terobosan, pertama selama lebih dari 100 tahun tenis," ujar presenter stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung pertandingan tersebut dengan terengah-engah ketika Li melakukan winning shot.

Bagi banyak anak muda di China, Li Na sudah menjadi seorang panutan. Dengan tekadnya yang kuat, senyum lebar, dan kemampuan berbahasa Inggris, dia menjadi simbol kepercayaan diri negara berkembang. "Aku akan meneriakkan kemenanganmu dengan keras sampai suaraku serak! Anda layak mendapatkannya!" tulis Janefree Big Love di Weibo, situs microblogging yang populer di China.

Kita menyebutnya sebagai nasionalisme. Antropolog Benedict Anderson menyebutnya sebagai rasa bersama yang menautkan berbagai kelompok menjadi sebuah kesatuan. Melalui Li Na, bangsa Cina mengokohkan nasionalisme serta hasrat kuat untuk menciptakan keajaiban pada level manapun. Mereka mentransformasi kemenangan Li Na sebagai kekuatan positif yang melejitkan harga diri, membangkitkan imajinasi akan keunggulan, serta memecut semangat kerja keras. Melalui tayangan media itu, kita bisa menebak apakah yang terjadi di masa depan. Tentu saja, Li Na baru akan bermunculan bak cendawan di musim hujan dan membangkitkan kebanggan bangsa itu.

Pertanyaan siang ini; seberapa seringkah kita mendengar kata keajaiban di media kita tentang torehan anak bangsa ini?


Sesobek Catatan Bung Karno

SEBUAH renungan terkirim melalui internet. Seorang sahabat menyilahkan saya untuk membaca sebuah sobekan paragraf dari salah satu pendiri negara (founding father) negeri ini Ir Sukarno. Dalam sobekan kertas itu, Sukarno mengingatkan tentang jiwa bangsa ini adalah Pancasila.

Yang membuat saya terkagum-kagum adalah kutipan atas pemikiran Ernest Renan tentang bangsa yang memiliki satu jiwa. Kutipan ini menunjukkan wawasan serta kapasitas intelektualnya yang menguasai bacaan para pemikir hebat di masa itu. Sukarno membaca Ernest Renan lalu membumikan pemikiran itu dalam konteks kebangsaan.

Sobekan kertas ini kian menebalkan kekaguman saya pada Sukarno. Ia adalah presiden paling cerdas yang produktif menghasilkan banyak karya baik naskah novel seperti Sarinah, ataupun kumpulan tulisan yang diterbitkan dengan judul Di Bawah Bendera Revolusi. Semua karya tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Sukarno seorang penulis hebat, cendekia, yang kemudian menjadi manusia pilihan untuk memanggul tanggungjawab sebagai pemimpin pertama. Ia pembuka jalan bagi kemerdekaan bangsa ini.

Pertanyaannya, apakah di masa depan kita akan memiliki tokoh sekaliber Sukarno? Mungkin tokoh itu akan lahir. Tapi saya pesimis kalau tokoh itu akan muncul dalam waktu beberapa tahun ini. Beberapa nama yang disebut-sebut sebagai calon pemimpin bukanlah tokoh yang sanggup membuat kita berdecak kagum akan kapasitas intelektualnya. Tokoh yang muncul sekarang bukanlah yang terbaik. Di tengah sistem politik yang diramaikan para pemodal, maka kepala negara yang naik adalah para petualang politik yang memiliki kekayaan tak terhitung.

Maka Sukarno akan menjadi monumen. Ia adalah mitos yang sukar untuk diulangi. Mungkin pula takdir kita sebagai manusia jaman ini adalah menerima kenyataan bahwa pemimpin kita bukanlah tokoh yang akrab dengan dunia refleksi. Takdir kita adalah menyaksikan pemimpin yang bisanya hanya menghitung untung rugi dari sebuah proses politik.(*)


Baubau, 1 Juni 2011

Asuransi, Lumbung, dan Masyarakat Penuh Risiko

kartu askes Dwiagustriani
SATU misi telah tercapai yakni menguruskan kartu Asuransi Kesehatan (Askes) untuk Dwiagustriani. Tadi, kartu itu sudah kelar dan langsung bisa digunakan. Seiring dengan kelarnya kartu itu, satu kecemasan juga sudah teratasi. Jika kelak Dwi sakit, maka biaya pengobatan bisa segera teatasi berkat kartu Askes. Mudah-mudahan ketika si kecil lahir, sayapun bisa segera membuatkan kartu Askes untuknya.

Mengapa asuransi penting? Sosiolog Anthony Giddens pernah menjelaskan fenomena itu. Menurutnya, dikenakan manusia tidak bisa membaca masa depan, maka butuh sesuatu yang bisa mengatasi keadaan darurat. Kata Giddens, asuransi muncul dikarenakan kesadaran kita akan masa depan yang penuh ketidakpastian serta risiko yang setiap saat bisa dihadapi. Seorang karyawan berhadapan dnegan risiko semisal sakit atau terluka, maka asuransi akan menjadi obat mujarab untuk mengatasi segala risiko.

Pada masyarakat tradisional, konsep asuransi sudah muncul. Itu bisa dilihat dari konsep lumbung pada beberapa masyarakat agraris. Mereka sengaja membuat lumbung dan meletakkan bahan makanan demi berjaga-jaga jika kelak akan masuk musim paceklik di mana panen gagal atau situasi tiada hujan selama beberapa bulan. Dalam situasi seperti ini, sebuah lumbung akan sangat berharga untuk mengatasi krisis pangan di satu komunitas. Lumbung serupa asuransi bagi masyarakat modern.

Belajar pada konsep lumbung, manusia modern punya asuransi sebagai untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan. Asuransi di sini bukan hanya menyangkut kematian, namun juga untuk kesehatan, biaya pendidikan, ataupun biaya lainnya. Asuransi menjaminkan sesuatu; bahwa dalam situasi yang serba tidak pasti itu, manusia punya harapan untuk mengatasinya melalui apa yang dimiliki. Demikian pula dengan Dwi. Dalam situasi sakit, ia bisa lega karena punya kartu Askes. Iya khan?

lumbung padi di NTB

Bahaya Otoritarianisme

SIKAP merasa diri paling benar adalah benih-benih otoritarianisme yang tumbuh di sanubari. Sikap ini menihilkan dialog, menutup telinga dari kebenaran lain, serta cenderung memandang enteng mereka yang berbeda sikap dengan kita. Pandangan ini berangkat dari asumsi yang hanya meyakini satu kebenaran yakni kebenaran yang berangkat dari dalam diri.


Bahaya dari cara berpikir otoriter ini adalah ketika memberangus semua pemikiran lain yang berbeda. Sebab  kebenaran ditafsirkan secara tunggal, sesuai dengan apa yang kita yakini dan percayai. Benar juga apa yang dikatakan Karl Marx yakni kita selalu melihat kebenaran sesuai dengan apa yang ingin kita lihat. Maka mau tak mau, interpretasi kita akan selalu dominan dalam melihat kebenaran. Ketika melihat sesuatu, kita mungkin meyakini bahwa inilah fakta, tapi pada tataran realitas, apa yang kita lihat tidak lebih satu sudut pandang atas realitas, yang kemudian kita generasilisasi sebagai realitas tunggal. Lantas, bagaimanakah mendefinisikan kebenaran dalam ranah sosial?

Peter L Berger menawarkan gagasan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang. Sebab apa yang kita sebut kebenaran adalah satu tafsir atas kenyataan. Orang lain bisa memiliki tafsiran yang berbeda atas kenyataan itu. Inilah sebab mengapa dalam riset sosial, seorang peneliti mesti mendengarkan suara-suara yang berbeda. Tapi tesis Berger tidak mudah untuk dipraksiskan. Tesis ini mesti diikuti dengan sikap rendah hati untuk bersedia mendengar semua pendapat berbeda, meskipun pendapat itu justru amat berbeda dengan pendapat kita sendiri. Kita mesti terbuka dan meyakini sesuatu itu benar dengan cara mengumpulkan berbagai opini yang berkembang. Melalui benturan opini, rantai dialektis akan muncul, dan kebenaran akan lahir dari tarikan argumentasi serta bukti yang berseliweran.

Dalam rentang panjang sejarah manusia, otoritarianisme adalah produk berpikir yang selalu lahir dan mengiringi peradaban. Dan otoritarianisme selalu membutuhkan sebuah rezim untuk menjaga dan mengamankannya. Mungkin inilah sebab muncul adagium terkenal: bahwa setiap rezim selalu menciptakan sejarahnya masing-masing. Namun otoritarianisme gagal memprediksi bahwa sebuah pemikiran yang ditolak oleh rezim cenderung mencari kaki-kakinya sendiri untuk bergerak. Mustahil untuk memberangus sebuah ide sebab ide akan selalu menemukan jalannya, menemukan hulu ledaknya sendiri-sendiri.

Saya pikir, langkah terbaik adalah kesediaan untuk saling mendengarkan, kesediaan untuk berdialog dan memahami yang lain. Ini memang tidak mudah, sebab melihat kebenaran tidak sebagai es batu yang keras, namun sebagai air yang mengalir dan selalu menemukan jalannya. Pada titik ini, saya lebih mengapresiasi keberadaan demokrasi. Sebab demokrasi menawarkan sikap rendah hati untuk mendengarkan gagasan yang lain. Demokrasi yang saya pahami bukanlah mayoritas menentukan minoritas, sebab ini sama saja dengan rezim otoritarianisme. Yang saya pahami sebagai demokrasi adalah kesediaan untuk mendengarkan, kesediaan untuk tidak menjadi tironi mayoritas, juga kesediaan untuk mengapresiasi perbedaan pendapat. Namun, sanggupkah kita melakukannya?