BARUSAN saya membaca Kompas tentang artis Lola Amaria berangkat ke Hongkong untuk persiapan syuting film Minggu Pagi di Victoria Park yang berkisah tentang kehidupan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di negeri asal Jacky Chan tersebut. Rencananya, tiap hari ia akan duduk mengamati bagaimana perilaku para TKW, kemudian mewawancarai mereka tentang perasaannya, hari-hari yang dilewati, serta bagainana mereka beradaptasi dengan berbagai situasi. Ia akan belajar berprilaku sebagaimana TKW itu demi aktingnya dalam film itu.
Saya sempat tertegun membaca berita ini. Bagi saya, apa yang dilakukan Lola adalah bagian dari metodologi penelitian kualitatif. Ia melakukan observasi ke jantung realitas dengan cara berpartisipasi pada kegiatan TKW, kemudian melakukan wawancara mendalam (depth interview) sembari membiarkan pikirannya memotret gejala (snapshot), menganalisis kejadian, dan belajar berpikir sebagaimana yang dilakukan oleh para TKW. Semuanya akan menjadi elemen dalam ruang berpikirnya yang kemudian menyusun konsep tentang TKW itu sendiri.
Beberapa tahun lalu, saat menyusun skripsi tentang film Pasir Berbisik, saya sering sekali membaca berita tentang aktor kawakan Christine Hakim yang kerap berkontemplasi di lokasi syuting, membaur dengan peran yang hendak diperankannya. Jelang syuting film Pasir Berbisik, Christine harus ‘live in’ atau mencebur dalam kehidupan para penjual jamu di satu desa yang tandus kering kerontang. Setiap hari ia menemani wanita penjual jamu, sehingga ketika memainkan karakter tersebut seakan-akan dirinya menjelma jadi penjual jamu. Ia menangkap spirit penjual jamu dan memasukkan spirit itu sebagai kesadaran yang mengendalikan raganya. Makanya kita sebagai penonton melihat Christine yang baru, Christine yang penjual jamu.
Seperti halnya yang dilakukan Lola dan Christine, dunia riset kualitatif adalah sebuah dunia yang amat dekat dengan kehidupan siapa saja. Tak hanya para artis, para nelayan di Wakatobi juga tidak serta-merta menjadi pelaut handal dan memegang kemudi. Mereka harus mulai dari posisi junior, ikut dalam kapal sebagai juru masak atau awak magang, sembari memasang ‘radar’ di kepalanya, mengamati apa yang dilakukan para nelayan senior, hingga tiba suatu titik di mana dirinya dianggap cakap memegang kemudi. Inilah dunia riset kualitatif. Kita belajar dan berkarib akrab dengan realitas, sehingga kita menjadi bagian dari realitas itu.
Inilah bagian dari riset kualitatif. Tanpa sadar, kitapun sering melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Anehnya, di mata para peneliti atau mahasiswa, riset kualitatif seolah menjadi momok yang menakutkan. Mereka menganggapnya sukar karena tidak terbiasa berpikir out of the box. Mereka terbiasa memaksakan realitas berjalan sesuai apa yang ada di pikirannya, atau memaksakan sesuai dengan apa yang tercatat dalam berbagai buku teori. Makanya, saat melakukan riset kualitatif, mereka kesulitan untuk berpikir sebagaimana yang dilakukan subyek riset, atau menanggalkan cara kita memandang persoalan, dan bersikap humble atau rendah hati untuk menerima kemungkinan melihat cara pandang sesuai dengan yang dilakukan orang lain.
Banyak yang memandang riset kualitatif amat sulit dilakukan sebab kita adalah generasi yang dibesarkan oleh keangkuhan bahwa kita menguasai pengetahuan, dibesarkan dalam tradisi iklim akademik sehingga kita seolah merasa sebagai malaikat yang selalu benar. Dunia akademik telah menjadi pupuk bagi suburnya keangkuhan dalam diri kita seolah kitalah yang benar dan selalu akan benar, sementara cara berpikir orang lain selalu keliru.
Makanya, dunia riset kualitatif adalah dunia yang mengajarkan kita sikap rendah hati. Kita rendah hati dan menyadari bahwa pengetahuan kita tidak lebih dari ceceran pengalaman yang amat terbatas. Dunia kita adalah dunia yang dibatasi oleh cara berpikir sebagai hasil bentukan dari pengalaman serta bacaan kita selama bertahun-tahun. Di saat yang sama, orang lain juga membangun dunianya sendiri yang dilukisnya melalui pengalaman serta kuasnya adalah pengetahuan. Melalui riset kualitatif, sedang terbenatng jembatan antara dunia dan melabrak batasan keangkuhan pengetahuan. Terbentang jembatan hati untuk berbagi dengan sesama dan sikap saling memahami satu sama lain.
Ini persis yang dialami Lola saat berempati dengan TKW. Ia berhasil membangun jembatan hati sehingga memahami apa yang dilakukan para TKW itu. Di akhir observasinya, ia membela prasangka yang tak adil pada para TKW. Ia mengatakan, “Mereka itu pahlawan devisa. Kita harus menghormatinya.”
Bau-Bau, 27 September 2009
0 komentar:
Posting Komentar