Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Ekonomi Bajak Laut dalam Kisah One Piece




KECERIAAN selalu memancar di wajah anak muda yang selalu memakai topi jerami itu. Namanya Monkey D. Luffy. Dia berhasrat untuk menjadi bajak laut terhebat yang menemukan harta karun One Piece. Dia pun mengarungi lautan untuk menggapai impiannya. 

Dia berkawan dengan Roronoa Zoro, sosok tempramental dan ke mana-mana membawa pedang. Dia juga mengajak Nami, sosok perempuan ceria yang lihai membaca peta dan navigasi. Dia juga berkawan dengan Saji, seorang koki yang pandai menendang, juga Usopp sosok yang selalu membawa ketapel.

Mereka adalah tim yang hebat. Mereka memang menyebut dirinya bajak laut, namun mereka tak pernah menjarah dan membunuh. Mereka bertualang untuk mencari harta, serta melindungi yang lemah. Mereka punya misi untuk menggapai impian masing-masing.

Saya menyaksikan kisah Monkey D Luffy dalam serial One Piece yang tayang di Netflix. Ini adalah versi live action dari anime yang dibuat Eiichiro Oda. Dalam versi komik, kisah ini laku keras di berbagai negara. Bahkan versi anime-nya juga laris manis. 

Biarpun saya tidak mengikuti One Piece, serial ini sangat menghibur. Saya menyukai petualangan anak muda bertopi jerami bersama kawan-kawannya. 

Di mata saya, mereka adalah tim yang saling melengkapi. Semua punya keahlian berbeda, dan saling melindungi. Mereka punya solidaritas kuat. Meskipun Monkey D Luffy adalah pimpinan, dalam kehidupan sehari-hari, dia sama halnya dengan anggota lainnya. 

Dia sosok yang selalu ceria dan berpikir positif. Dia pun tidak pernah memberi perintah dan menyuruh-nyuruh. Malah, dia lebih sering dikerjai dan di-bully oleh para anak buahnya. 

Namun saat krisis menerjang, dia akan berdiri paling depan untuk membela rekannya. Dia mengingatkan saya pada sosok Kenshin Himura dalam Ruroini Kenshin, yang saat ada masalah akan bertempur dan menyabung nyawanya, namun saat damai, akan menjadi sosok paling lucu dan menghibur.

Bagi saya, kisah ini bukan sekadar kisah bajak laut. Ada banyak pelajaran bisnis, manajemen, serta team building. Saya ingat kata-kata Eric Barker, untuk melihat manajemen yang rapi serta sukses, jangan malu untuk belajar pada komplotan pencuri. Belajarlah pada bajak laut.

Lihat saja komplotan para maling saat beraksi. Mereka punya pembagian tugas yang rapih. Semua bergerak menjalankan peran masing-masing. Dalam serial Money Heist yang membahas komplotan pencuri di satu bank, semua anggota tim saling berkolaborasi. 


Saya segera teringat buku The Invisible Hook: The Hidden Economic of Pirates yang ditulis Peter Leeson. Menurutnya, manajemen terbaik bisa ditemukan pada komplotan pencuri hingga bajak laut. Mereka semua tahu apa yang menjadi goal (tujuan), lalu punya pembagian kerja yang sangat rapih saat beraksi di lapangan.

Kata Peter Leeson, wacana tentang bajak laut sebagai makhluk haus darah dan barbar adalah konstruksi dari para bangsawan di abad pertengahan yang merasa kepentingannya terganggu. Justru, para bajak laut itu adalah para pebisnis tangguh yang berhasil membangun sistem bisnis, yang bertumpu pada kesetaraan.

Para bajak laut seperti Blackbeard paling paham bagaimana kerja tim. Mereka yang memberontak pada sistem kerja di kapal-kapal angkatan laut kerajaan, yang menempatkan mereka sebagai budak. Mereka membangun sistem baru bagaimana menjalankan skema bisnis, mengenalkan saham, serta bagaimana berbagi kentungan.

Kita mengenal sejarah perusahaan modern, justru dimulai dari kisah bajak laut. Kata Peter Leeson, sejarah perusahaan-perusahaan besar selalu berawal dari organisasi para bajak laut. Bahkan perusahaan seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang serupa bajak laut, sukses menjarah alam Nusantara lalu membuat kota-kota di tanah Nederland tumbuh bak tulip di musim semi.

Demikian pula dengan East Indian Company (EIC) yang menjadi kongsi dagang Inggris dan melebarkan sayap hingga negara-negara dunia ketiga.

Masih kata Peter Leeson, kelebihan organisasi para penyamun ini adalah adanya kesetraaan serta pembagian tugas yang rapih. Berbeda dengan kapal kerjaan yang sangat hierarkis, kapal-kapal bajak laut justru sangat demokratis. Mereka memilih pemimpin yang bisa mengayomi semua kru kapal. 

Mereka membentuk perusahaan yang goal utamanya adalah mengejar profit. Seorang nakhoda atau bos punya pendapatan yang tidak berbeda jauh dengan anggotanya. Bahkan mulai dikenal istilah saham, yang kemudian mempengaruhi berapa keuntungan  yang diterima saat misi telah selesai.

Ini persis kisah Columbus yang ketika hendak berlayar, menemui Raja Spanyol lalu meminta agar pelayarannya dibiayai, dengan konsekuensi Raja akan menerima pembagian hasil yang lebih besar jika dirinya kembali dari The New World atau Dunia Baru. Dari sinilah konsep saham bermula.

Tak hanya itu, konsep asuransi juga bermula dari bajak laut. Saat ada krunya yang tewas, maka akan ada dan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.


Dalam serial One Piece ini, saya melihat bagaimana manajemen bekerja secara praktis. Semua anggota tim tahu tugas masing-masing. Di titik tertentu, semuanya sigap dan saling bantu, serta mengutamakan kepentingan bersama. Mereka menjalankan manajemen yang rapih, juga menghitung seua risiko dari aktivitas mereka.

Selain Nami, gadis seksi di serial ini, tokoh favorit saya adalah Monkey D. Luffy. Dia tipe pemimpin yang mengakar. Dia pandai menjaga ritme kerja dan emosi para krunya. Dia tampil terdepan saat ada masalah. Dia punya rasa setia kawan hebat, yang membela sahabatnya dalam setiap masalah. Dia tipe pekerja, yang siap setiap saat menjadi tameng.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sulit menemukan sosok seperti pemimpin bajak laut ini. Banyak pemimpin hanya duduk di belakang meja dan menunggu laporan perkembangan situasi. Banyak yang hanya duduk manis, namun tiba-tiba menuntut agar perusahaan segera cuan. 

Pemimpin ini lupa kalau kesuksesan tak pernah jatuh dari langit. Namun harus dikejar dengan segala daya upaya, serta kemampuan untuk melihat berbagai peluang.

Kira-kira demikian.



Haz Algebra


Tak disangka, kami jumpa di Kendari. Padahal selama ini dia berumah di Manado. Anak muda ini, Haz Algebra adalah penggiat literasi, penyuka kajian, dan suka berdiskusi tema filsafat dan ekonomi politik.

Usianya masih belia. Basic-nya adalah kedokteran. Tapi dia menerjemahkan buku The Wealth of Nation karya Adam Smith dengan sangat bagus. Padahal, kata seorang profesor ekonomi, buku itu tidak mudah diterjemahkan. Banyak kata2 yang sudah tidak digunakan.

Saya pertama membaca namanya di buku karya sejarawan Yuval Noah Harari yang judulnya 21 Lessons for 21st century. Terjemahannya keluar hanya berselang sebulan setelah buku itu keluar di negara asalnya. Dia punya idealisme. Karya2 bagus harus diterjemahkan sesegera mungkin. Biar anak muda segera mendapat asupan nutrisi wacana baru.

Saya juga membeli terjemahan huku Upheaval dari Jared Diamod, yang diterbitkannya jauh lebih awal dari Gramedia. Saya juga mengoleksi buku Enlightment Now karya Steven Pinker. Ini buku bagus yang membela rasionalisme dan pencerahan Eropa. Saya pun membeli Kapital karya Piketty, yang diterjemahkan dengan apik.

Bukan hanya membaca, dia rajin dan suka berdiskusi. Di Manado, dia rutin mengajak orang2 berdiskusi di satu kafe dan membahas karya2 terbaru dari para ekonom dan filosof. Dia menjadikan aktivitas menulis dan membaca sebagai aktivitas yang tak terpisahkan. Dan anak2 muda harus mengisi masa mudanya dengan tarung ide dan gagasan.

Di ranah digital, dia membuat grup diskusi yang mendiskusikan pemikiran Harari di Indonesia. Anggotanya banyak pemikir bahkan profesor. Saya menduga anggota grup itu tidak tahu kalau adminnya asalah seorang anak muda dengan bacaan keren.

Bagi saya, Haz Algebra telah membongkar banyak hal. 

Pertama, pusat2 diskusi dan pengetahuan itu tidak mesti ada di Jakarta dan kota2 lain di Jawa. Pusat pengetahuan bisa muncul di Manado, Makassar, Ambon, atau Palu. Lihat saja kerja2 Haz dan rekannya di penerbit Globalindo di Manado. Mereka bergerak lebih dahulu dalam menerjemahkan karya literasi lalu menerbitkannya secara swadaya. Ini keren abis.

Kedua, batas2 pengetahuan itu lebur. Dia anak muda lulusan kedokteran yang membaca filsafat dan ekonomi, dengan pengetahuan yang sudah membumbung tinggi dan melebihi para peraih doktor ekonomi, yang disertasinya bisa jadi dibuatkan orang lain. Haz adalah tipe intelektual organik yang menjadikan aktivitas membaca dan menerjemahkan serupa bermain dan bersenang-senang. 

Ketiga, kerja2 literasi tidak selalu dimonopoli pemerintah, tapi kerja yang secara organik ditumbuhkan oleh komunitas dan individu yang suka membaca dan berbagi. Mereka melakukannya karena idealisme untuk menghadirkan secercah cahaya pencerahan di benak semua anak bangsa.

Anak muda seperti Haz membuat kita optimis melihat bangsa ini. Kerja-kerja mereka seperti udara. Tak terlihat tapi telah menjaga napas hidup, merawat pengetahuan, dan menjadi energi untuk menggerakkan bangsa. 

Di titik ini, kita mesti menjura dan berterimakasih atas kerja2 hebat mereka.

Saya berharap dia betah bekerja sebagai dokter di Kota Kendari dan melanjutkan kerja2 intelektual di kota ini. Sayang, dia sudah tidak jomblo lagi. Padahal ada banyak gadis manis yang rela antri untuk mendapat sekeping hatinya.



Mattulada


Sembari menunggu panggilan naik pesawat, saya membaca Manusia dalam Kemelut Sejarah yang pertama diterbitkan LP3ES tahun 1977, di masa saya belum lahir. Kini dicetak ulang dan banyak beredar di toko buku.

Ini buku klasik. Tapi selalu relevan. Malah buku ini akan abadi. Isinya mengenai para founding fathers, mulai Sukarno hingga Tan Malaka. 

Yang bikin spesial, para penulis di buku ini adalah para begawan sejarah. Mereka adalah nama2 besar yang menghiasi kanvas intelektualitas bangsa ini. Di antara nama2 besar di sini, tinggal Taufik Abdullah yang masih hidup. 

Lainnya sudah berpulang. Beberapa di antara mereka adalah Onghokham, YB Mangunwijaya, Nugroho Notosusanto, dan banyak lagi.

Saya tercekat saat membaca nama Mattulada yang menulis tentang Kahar Muzakkar. Rasanya baru kemarin saya melihat dirinya yang penuh kharisma di kampus Unhas. Mattulada adalah guru dari semua pengkaji budaya di Sulawesi Selatan saat ini. Dia menorehkan banyak sapuan indah di kanvas kajian budaya Sulsel.

Namanya harum, bukan saja di Sulsel, tapi juga Sulawesi Tengah. Dia budayawan, periset, hingga sosok guru yang bijaksana. Di masa2 awal reformasi, dia selalu tampil sebagai pembicara kunci dalam semua diskusi budaya.

Saya terkenang suatu masa di mana kampus menghadirkan dirinya sebagai dosen senior dalam satu acara dialog akademik. Seorang dosen muda berbicara dengan berapi-api tentang mahasiswa yang dianggapnya semakin kurang ajar. “Masak anak-anak sekarang memanggil dosennya dengan sebutan anjing. Itu kan bangsat,” kata dosen muda itu.

Di luar dugaan saya, Mattulada malah membela mahasiswa. “Sebaiknya Anda harus introspeksi. Kalau Anda dipanggil anjing, jangan2 ada unsur anjing dalam diri Anda. Karena puluhan tahun saya mengajar di Makassar dan Palu, belum ada orang yang memanggil saya anjing,” katanya.

Semua mahasiswa, termasuk saya, bertepuk tangan. Dosen itu tersipu malu, lalu meninggalkan ruangan.

Kini, saya membaca catatan Mattulada tentang Kahar, sembari menyeka air mata. 


Alfatihah untuk prof.



Creator.Inc


Buku Creator. Inc ini cocok dibaca saat sedang santai sambil menyeruput kopi di sore hari. Isinya tentang mereka yang kekinian, mereka yang hidup dari hobinya. Di antara mereka ada penulis, pembuat animasi, blogger, fotografer, jasa EO, pengembang start-up, marketer, konsultan, hingga video editor.

Saya suka membaca kisah-kisah mereka yang mengaku sebagai independent worker atau mereka yang tidak punya bos, namun punya relasi dan network kuat hingga bisa hidup nyaman di situ.

Di abad ini, definisi bekerja dan berkantor memang sudah lama bergeser. Kantor bisa di mana saja. Bisa di co-working space. Bisa pula di warung kopi. Malah, aktivitas kantor bisa dilakukan sembari camping di satu bukit. Saat menikmati pemandangan, bisa memandang laptop dan menyelesaikan pekerjaan.

Buku ini membagi tiga tahapan yang harus dilalui mereka yang ingin berkarier di dunia kreatif. Pertama, merintis jalan dan tapaki. Kedua, tunjukkan karyamu. Ketiga dari kreator menjadi perusahaan.

Jujurly, tahapan pertama dan kedua yang dianjurkan buku ini sudah pernah saya lalui. Pernah ada masa di mana saya belajar menulis banyak hal, lalu rajin membagikan catatan itu ke mana-mana. 

Beberapa tulisan mengena di hati banyak orang, sehingga berujung pada silaturahmi, pertemuan-pertemuan, lalu berbuah kesepakatan bisnis. Selama belasan tahun, saya hidup dari kemampuan menulis, juga kemampuan membual, di antaranya adalah les piano dan melatih kucing.

Makanya, saya tak pernah khawatir kehilangan pekerjaan. Sebab jejaring dan pertemanan sudah terbentuk. Brand juga sudah kuat. Tinggal merawat jaringan dan terus produktif.

Satu hal yang belum saya jalankan dari buku yakni tahapan ketiga, bagaimana melakukan transformasi dari kreator menjadi perusahaan. Bagaimanapun juga, seseorang harus pindah ke tahapan bagaimana membuat sistem, mencari rekan sevisi, lalu perlahan menambah cashflow.

Buku ini memberi penjelasan menarik. Mendesain, menulis, memotret, membuat program, bikin aplikasi, ataupun merekam dengan kamera merupakan keterampilan teknis, yang merupakan fundasi dari produk atau jasa seorang kreator. 

Namun, kita dituntut untuk mengembangkan keterampilan bisnis, membangun brand, relationship, networking, mengelola sumber daya manusia, menetapkan harga, dan menyusun strategi pasar.

Untuk soal ini, saya mesti belajar banyak. Pernah, saya punya staf yang berprofesi sebagai fotografer. Saat dia menggarap proyek memotret di luar kantor, dia sering dibayar murah. Rupanya, banyak orang di luar sana yang menganggap kerja kreatif adalah kerja gratisan. 

“Kan cuma motret2, kok harus dibayar mahal?” katanya menirukan ucapan seorang klien.

“Itu sih masih mending. Saya pernah dibayar 3 M,” kataku.

“Apaan tuh?”

“3M itu adalah singkatan dari Makasih, Makasih, dan Makasih.”

“Sambarang kau,” logat Makassar-nya keluar.


Selamat Jalan Nirwan Ahmad Arsuka


Serasa baru kemarin saya terkesima membaca catatanmu di Kompas berjudul Bumi Langit Karaeng Pattingalloang. Selanjutnya saya membaca dan mengoleksi esaimu, yang kemudian jadi bahan penting untuk menyusun buku berjudul Semesta Manusia.

Di mata saya, dirimu adalah pembaca dan penulis yang tekun. Sebagaimana halnya gurumu Goenawan Mohammad, tulisanmu menjadi peta jalan untuk berjumpa dengan para filsuf, ilmuwan, sastrawan, dan para penyair. Tulisanmu mendekatkan semua orang dengan Stephen Hawking, Galileo, Amartya Sen, hingga Colliq PujiE, penyalin kitab sastra La Galigo yang masyhur.

Tulisanmu serupa gelora di mana kata-kata saling bertaut lalu menjadi pedang yang menorehkan jejak di hati anak bangsa. 

Dirimu tak sekadar penulis, tapi juga aktivis yang memantik ide cemerlang agar buku-buku tidak hanya beredar di kota, tetapi mengalir hingga pelosok-pelosok. Dirimu membuat Pustaka Bergerak, satu gerakan sosial yang menggerakkan literasi hingga titik terjauh tanah air. 

Berkat kata, pengetahuan hadir di relung terjauh anak bangsa, menemukan potensi terbaik anak bangsa, serta memberi cerah dan terang bagi bangsa kita yang tanpa buku akan selalu berada di alam kegelapan.

Selamat jalan senior, sahabat, guru, dan teman diskusi. Ada rasa sesal karena hanya sekali mengabadikan pertemuan kita di Jakarta. Padahal kita beberapa kali jumpa. Innalillahi.



Buku Terbaru Yuval Noah Harari


Di akhir pekan, saya membaca buku Unstoppable Us: How Humans Took Over the World yang ditulis sejarawan Yuval Noah Harari di tahun 2022. Buku ini ditujukan untuk kanak-kanak, makanya dikemas menarik. Ada ilustrasi komik dan gambar-gambar untuk melengkapi narasi yang dituturkan dengan ringan.

Saya membelinya via kindle seharga 10 dollar atau sekitar 155 ribu rupiah. Lumayan murah dari versi cetak, yang harganya 22 dollar. Selain itu, kalau memesan versi cetak, entah berapa lama buku bisa tiba di tangan.

Bagi yang pernah membaca buku Harari, tentunya paham kalau buku ini tidak menawarkan kebaruan informasi. Semua topik yang dibahas, bisa dtemukan di buku Sapiens. 

Kekuatan buku ini adalah bisa menyederhanakan berbagai penjelasan tentang arkeologi, sejarah, dan geografi dalam bahasa yang mudah dipahami siapapun. Ide-ide dalam buku Sapiens tidak lagi secara eksklusif untuk orang dewasa, tapi juga dipahami anak-anak.

Saya pikir anak-anak perlu mendapatkan bacaan ilmiah, tapi mudah dipahami. Kita tak bisa lagi menjawab pertanyaan anak-anak hanya dengan menunjuk langit. Sedari dini, anak-anak sudah harus diperkenalkan dengan penalaran serta fakta-fakta ekologis.

Di buku ini, dia membahas hal-hal yang agak berat, misalnya bagaimana cerita-cerita telah menyatukan manusia dan membuat manusia bisa bekerja secara kolektif. Dia juga membahas spesies manusia lain, sebelum akhirnya bumi hanya dikuasai oleh spesies manusia sekarang.

Saya menemukan sosok Harari dalam buku ini serupa kakek yang mendongeng pada cucunya mengenai alam semesta. Dia mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi kemudi untuk berlayar di lautan argumentasi.

Saya kutipkan pertanyaan di bab awal. Dia mengatakan: “Kita manusia tidaklah sekuat singa. Kita tidak bisa berenang selincah dolphin, kita tidak punya sayap seperti elang. Lantas, bagaimana kita bisa menjadi makhluk yang memimpin planet ini? Jawabannya ada pada kisah paling aneh yang akan kamu dengar. Yuk, kita ikuti ceritanya.”

Nah, pertanyaan ini memancing rasa ingin tahu untuk masuk ke bab berikutnya yang berjudul “Humans are Animal,” “The Sapiens’Superpower”, How Our Ancestors Lived”, hingga “Where did All the Animals Go?”.

Bagian akhir dari buku ini menampilkan distopia. Manusia digambarkan sebagai makhluk paling kuat, sekaligus paling berbahaya. Kita telah menghancurkan separuh anggota animal kingdom. Kita telah menjajah seluruh daratan, lalu berperang dengan sesama. Kita perlahan menghancurkan bumi.

Semuanya berkat kemampuan nenek moyang dalam menciptakan cerita-cerita, yang menyebabkan kita bisa bekerja bersama dalam skala besar.

Tentunya, buku ini tidak setebal Sapiens. Tapi, pertanyaan-pertanyaan dalam buku ini bisa memandu anak-anak untuk menemukan jawabannya di buku selanjutnya. 

Seusai membaca keseluruhan bab, saya melihat Youtube. Rupanya, ada konten di mana Harari membahas buku ini di hadapan guru-guru sejarah, anak-anak, dan remaja. Mereka menanyakan hal-hal substantial, termasuk mengenai tantangan ekologi, kecerdasan buatan, hingga apa yangbharus dilakukan untuk menghadapi masa depan.

Saya rasa ini tontonan yang sangat edukaif. Di tanah air, kita amat jarang melihat ilmuwan dan penulis buku serius bisa menyederhanakan tulisannya mejadi renyah dan mudah dipahami kanak-kanak. 

Saya bayangkan sejarawan senior kita seperti Profesor Taufik Abdullah bercerita pada kanak-kanak tentang sejarah Indonesia dalam beberapa tahapan, mulai dari tahap purba, tahap terbentuknya etnik, lalu negara bangsa, hingga abad satelit.

Tapi saya juga bayangkan betapa sulitnya menjelaskan banyak peristiwa, mulai dari pemberontakan DI/TII, pemberontakan PKI, hingga berbagai kudeta dalam sejarah bangsa.

Lebih sulit lagi menjelaskan bagaimana ilmuwan sampai mengeluarkan kata dungu, juga makian “bajingan tolol” pada seorang pemimpin negara.

Sepertinya, ilmuwan kita lebih suka mengumpat, ketimbang menulis hal-hal bermakna bagi peradaban hari ini. Entahlah.



Siasat dan Jebakan TESLA untuk INDONESIA

Anwar Ibrahim, Elon Musk, dan Jokowi

Saat Tesla mengumumkan akan berinvestasi di Malaysia, banyak anak bangsa mencibir Jokowi dan Luhut yang telah jauh-jauh ke Amrik untuk melobi Elon Musk. Banyak orang memuji PM Malaysia Anwar Ibrahim yang sukses melobi, meski hanya via zoom selama 25 menit.

Padahal, di media sosial, netizen Malaysia malah menilai Indonesia maju selangkah di banding negaranya yang hanya dijadikan dealer. Belum lama ini, media Jepang, Asia Nikkei, membuka tabir apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana tarung lobi antara Jokowi versus Anwar Ibrahim, serta kegigihan Indonesia untuk membuat Tesla tunduk pada kepentingan bangsa.

Ada apakah?

*** 

DI Kuala Lumpur, Presiden Jokowi jumpa PM Anwar Ibrahim dalam suasana penuh kekeluargaan. Anwar menyebut Indonesia sebagai “Abang besar” yang kemudian banyak diprotes parlemen Malaysia. Anwar mengajak Jokowi untuk blusukan di Pasar Chow Kit.

Kedua kepala negara menandatangani perjanjian tapal batas, yang telah lama menjadi ganjalan diplomasi selama bertahun-tahun. Semuanya baik-baik saja hingga Jokowi meninggalkan negara itu. Saat itulah, Anwar mengumumkan kesepakatan dengan Tesla yang hendak menanamkan investasi ke Malaysia. 

Publik Indonesia terkejut. Sejak tahun 2020, Indonesia melobi Tesla, namun perusahaan itu memilih Malaysia. Tentu, Anwar tak salah apa-apa jika Tesla melirik negaranya. Sebagai kepala negara, dia mengutamakan kepentingan Malaysia. Dia tahu, Indonesia telah lebih dulu melobi, namun dalam bisnis, tak ada kawan abadi. 

BACA: Di Balik Rencana Tesla


Jokowi dan Anwar sama-sama punya ambisi besar untuk bangsanya. Jokowi berambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai powerhouse produksi kendaraan listrik global. Bagi Jokowi, untuk mencapai visi Indonesia emas 2045, Indonesia harus memaksimalkan sumber daya alam dengan cara mengolahnya dulu sebelum dijual ke bangsa lain. Dia menyebutnya hilirisasi.

Anwar pun setali tiga uang. Bisa mendatangkan Tesla masuk Malaysia adalah prestasi besar yang akan mendapat publikasi luas berbagai media. Ini memberinya keuntungan pada pemilihan penting di enam negara bagian Malaysia pada 12 Agustus 2023. Dia ingin membungkam kalangan oposisi dengan memberi banyak bukti pelaburan (investasi) masuk negara itu, sesuatu yang dulu dikritik keras Najib Razak di era Muhyiddin Yasin dan Ismail Sabri.

Saat Jokowi dikritik banyak pihak di dalam negeri karena dianggap gagal melobi, Anwar pun juga mendapat kritik dari netizen Malaysia. Banyak netizen negeri itu yang mempertanyakan kesepakatan dengan Tesla. Pengumumannya demikian heboh, padahal yang dibangun hanya dealer dan pusat penjualan mobil. 

Ada yang mengatakan, Indonesia tidak dilirik karena memiliki nilai buruk dalam aspek tata kelola sosial lingkungan (ESG), yakni seperangkat standar yang digunakan oleh perusahaan untuk menyaring potensi investasi. Masih banyak isu yang belum cukup dipatuhi Indonesia, terutama aspek ESG di sektor pertambangan nikel.

Laporan Nikkei

Dalam banyak kesempatan, pemerintah Indonesia tidak pernah terang-terangan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Baik Jokowi maupun Luhut, atas nama pemerintah Indonesia, mematuhi kesepakatan Non Disclosure Agreement (NDA) untuk tidak membuka apa saja syarat dan kondisi dalam bisnis kedua belah pihak.

Namun keduanya telah memberikan isyarat kalau pihak perusahaan asing terlalu banyak menuntut. Perusahaan asing hanya datang berbisnis, cari untuk bagi diri sendiri, tanpa memberi nilai tambah bagi negeri pemilik sumber daya alam. Mereka ingin untung sepihak. Jokowi dan Luhut tidak merinci siapa yang dimaksud.

Hingga akhirnya media Jepang, Asian Nikkei, mengeluarkan artikel mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dalam publikasi berjudul Tesla's move into Malaysia should be a wake-up call for Indonesia, kolumnis A. Lin Neumann, membuka berbagai hal yang selama ini menjadi misteri.

Media itu mencatat, sangat sedikit yang diketahui publik tentang apa yang dicari Tesla dari Jakarta atau apa yang ditawarkan Indonesia, tetapi dari garis besar kesepakatan Malaysia, apa yang diinginkan pembuat mobil tampaknya cukup mudah.


Di Malaysia, Elon Musk mendapat jaminan bahwa Tesla tidak perlu berbagi keuntungan dengan mitra lokal. Dengan impor bebas tarif, Tesla mulai menjual mobilnya bulan lalu di Malaysia dengan harga di bawah $50.000 -- atau sekitar seperempat harga eceran di Singapura atau Indonesia.

Seorang netizen di Malaysia mengkritik investasi Tesla dalam beberapa poin. Di antaranya adalah: (1) Membenarkan 100% pemilikan asing, (2)  Tidak perlu ada rakan niaga tempatan termasuk dealer dengan orang tempatan, (3) Tiada apa-apa agenda bumiputera, (4) Tiada keperluan ada apa-apa kandungan tempatan, (5) pengecualian 100% cukai import, cukai eksais dan cukai jualan kereta yang kesemuanya diimport dari kilang Tesla di Shanghai.

Bagi otoritas Malaysia, menggratiskan Tesla untuk segala hal gak rugi-rugi amat. Sebab kehadiran brand besar ibarat membuka katup untuk masuknya brand-brand besar lainnya. Setelah Tesla, negeri jiran itu mengincar Amazon, Google, lalu Apple. Ibarat dagang, gratis satu, tapi dua berbayar.

Namun kritik tetap saja mencuat. Netizen lain menyebut Indonesia maju selangkah sebab tidak mengincar dealer, tetapi pabrik. Indonesia ingin Tesla membangun pabrik mobil, agar bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja, menggerakkan ekonomi, serta bisa jadi sentrum untuk memasarkan mobil ke wilayah lain di Asia, khususnya Asean.

Indonesia juga menuntut agar Tesla bermitra dengan pengusaha lokal sehingga keuntungan bisa diraup bersama. Kedua belah pihak bisa sama-sama untung, yang diharapkan bisa menggerakkan ekonomi lokal. Di Asean, Indonesia dan Vietnam adalah negeri yang selalu mendesak perlunya pengusaha asing bermitra dengan pengusaha lokal.

Selain itu, Indonesia juga mengenakan tarif impor 50% pada mobil listrik untuk mendorong investasi manufaktur lokal. Beberapa perusahaan mengharapkan Jakarta untuk menawarkan pembebasan pajak, seperti yang telah dilakukan Malaysia untuk Tesla. Tetapi Indonesia sangat terikat dengan banyak aturan yang menghargai kepentingan lokal dan mempersulit kesepakatan dengan investor. 

Asian Nikkei menilai, kesepakatan Tesla dengan Malaysia menjadi semacam kritik bagi Indonesia yang selalu mendesak perlunya kerja sama dengan mitra lokal di banyak aspek, termasuk produk obat-obatan hingga ponsel. Indonesia diharapkan bisa mengubah beberapa aturan yang mengharuskan perusahaan asing bermitra dengan pengusaha lokal.

BACA: Fantasi Elon Musk


Namun jika di lihat dari kepentingan dalam negeri, Indonesia maju selangkah dari Malaysia. Adalah hal yang wajar jika pemerintah mengharuskan kebijakan ‘local content.’ Selama sekian lama, Indonesia tidak mendapat manfaat dari kekayaan sumber daya alamnya. 

Saatnya Indonesia berdaulat dan menentukan aturan main dalam hal ekspor sumber daya alam. Dunia harus mengikuti aturan di Indonesia jika ingin akses ke pasarnya yang berkekuatan 270 juta, terbesar di Asia Tenggara.

Siasat Bisnis

Saya menduga kuat, ini adalah permainan bisnis. Tesla selama ini dikenal sebagai zero budget dalam hal marketing. Perusahaan ini bisa menjadi salah satu perusahan terkaya, tanpa biaya marketing. Perusahaan ini sering membuat peristiwa atau drama yang membuat publik membicarakannya.

Bisa jadi, Malaysia hanyalah sasaran antara bagi Tesla untuk menundukkan Indonesia dalam kesepakatan bisnis. Perusahaan asal Amerika itu ingin membuat Indonesia terpojok, setelah itu menemui Elon Musk untuk memperbaharui kesepakatan bisnis. Siasat itu hampir berhasil sebab Menteri Luhut lalu mengontak Elon Musk untuk membicarakan kembali niat investasi Tesla.

Namun, bangsa ini tak perlu panik. Di peringkat global, Tesla bersaing ketat dengan beberapa brand asal Cina. Tahun lalu, Tesla malah kalah dari mobil listrik BYD asal Cina. Perlahan, beberapa merk asal Cina mulai menguasai penjualan mobil listrik. Elon Musk sendiri mengakui kalau Cina punya ekosistem mobil listrik yang mengalahkan Tesla.

Elon Musk

Saat ini, para pesaing Tesla itu sudah masuk Indonesia. Selain Hyundai dan Wuling yang sudah membuat pabrik, dalam waktu dekat raksasa mobil listrik BYD juga akan masuk pasar Indonesia. Kesemua brand ini bersedia mengikuti aturan pemerintah, dan memberi nilai tambah bagi bangsa.

Tak hanya itu, industri baterai kita mendapatkan investasi senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 225 triliun (kurs Rp 15.000) hasil kerja sama PT Industri Battery Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan perusahaan China, PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL) dan LG Energy Solution asal Korea Selatan (Korsel).

Malaysia menang selangkah. Namun ini belum final. Belum ada pemenang antara Jokowi dan Anwar Ibrahim. 

Pertarungan selanjutnya adalah memperebutkan investasi pabrik mobil listrik. Indonesia masih punya peluang besar sebab memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan. Indonesia punya sumber daya dan posisi tawar yang tinggi.  

Kalaupun negosiasi itu gagal, Indonesia harus berani tinggalkan Tesla. Jika kita mampu, mari kita kelola sendiri agar bisa memberi manfaat besar bagi semua anak bangsa, sebagaimana dicatat dalam konstitusi: “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah milik negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.”



Duel MEGAWATI versus JOKOWI

Prabowo dan para pendukungnya di Museum Proklamasi

TAK ada yang berubah dari pria itu. Prabowo Subianto masih dengan baju yang sama dikenakannya tahun 2009, tahun 2014, juga tahun 2019, saat menyatakan maju di palagan pemilihan presiden. 

Dia juga masih berhadapan dengan mikrofon klasik, yang dulu digunakan Bung Karno saat berpidato. Suaranya pun masih mengguntur, meskipun mulai serak karena dekapan usia. 

Minggu, 13 Agustus 2023, dia menerima pernyataan dukungan sebagai calon presiden dari Partai Golkar dan PAN. Kini, dia menjadi dirigen dari koalisi besar bersama dua partai lainnya, yakni Gerindra dan PKB.

Di media sosial Twitter, seorang relawan Ganjar langsung menulis cuitan kalau situasi kemarin mengingatkannya pada situasi tahun 2014, saat Jokowi-Kalla dikepung koalisi besar. Saat itu, Jokowi menang pilpres. Partai di koalisi besar itu perlahan memilih bergabung dengan pemerintah.

Relawan itu lupa, kalau situasi hari ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2014. Kali ini, Prabowo lebih full power. Bukan karena dukungan koalisi besar, tetapi dukungan dari Presiden Jokowi, sosok yang dahulu mengalahkannya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi ikut hadir sewaktu partainya mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Dalam banyak kesempatan, Jokowi selalu hadir dalam momen partai bersama Ganjar.

Namun publik melihat kalau dia mengerahkan infrastruktur politik yang bergabung ke pemerintah untuk mendukung Prabowo. Di tambah lagi, Prabowo menyebut nama Jokowi saat menerima pernyataan dukungan dari PAN dan PKB. 

”Kita di sini juga tidak malu-malu mengatakan bahwa kita adalah bagian dari tim pemerintahan yang dipimpin oleh Bapak Joko Widodo. Kita bagian daripada Tim Jokowi yang harus kita berani mengatakan berhasil dalam membawa bangsa dan negara ini sampai sekarang,” kata Prabowo. 

Di atas kertas, orang hanya melihat pilpres ini sebagai pertarungan antara koalisi pemerintah, dalam hal ini Ganjar dan Prabowo, versus Anies Baswedan sebagai figur dari koalisi perubahan.

Namun, pertarungan sesungguhnya adalah Jokowi versus Megawati. Keduanya adalah king maker yang sedang mengarahan bidak catur untuk memenangkan calon yang diusungnya.

Betul, Jokowi lahir dari rahim PDIP dan berhasil menang pilpres berkat dukungan partai banteng. Namun suara yang diraupnya berasal dari banyak kalangan, bukan hanya partai banteng. Kekuatan Jokowi adalah memiliki barisan relawan yang kuat dan mulitan sehingga bisa membawa dirinya di titik sekarang. 

Peristiwa kemarin ibarat menabuh genderang pilpres sekaligus penanda dari kian berjaraknya hubungan antara Jokowi dan Megawati. Dalam berbagai forum, keduanya terlihat akur. Megawati selalu dominan, hingga dengan entengnya menyebut Jokowi sebagai petugas partai. 

Prabowo Subianto

Namun situasi pilpres 2024 memperlihatkan sisi lain dari Presiden Jokowi. Saya menduga, Jokowi membelah kekuatannya menjadi dua. 

Satu bagian dirinya adalah petugas partai yang tunduk pada semua keputusan partai, termasuk dalam mencalonkan presiden. Satunya lagi, Jokowi sebagai king maker yang ingin memastikan para kontestan yang bertarung di Pemilu 2024 adalah all jokowi’s man. 

Jokowi ingin memastikan siapapun yang menang akan melanjutkan program dan agenda pembangunannya. Dia ingin legacy-nya sebagai pemimpin tetap berjalan sehingga Indonesia bisa menggapai banyak kemajuan yang diidam-idamkannya. 

Dengan mengamati berbagai peristiwa politik, terlihat jelas Jokowi ingin perlahan keluar dari bayang-bayang Mega. Setelah lengser, dia ingin tetap signifikan dalan percaturan politik di tanah air. Itu bisa terjadi jika dirinya memiliki parpol yang bisa dia kendalikan, bisa mendukung agenda-agenda politik dinastinya, serta bisa memastikan agenda-agenda pembangunannya akan berjalan.

Jokowi berbeda dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika lengser masih memiliki partai yang cukup besar sehingga perannya tetap signifikan dalam percaturan politik nasional. Di PDIP, Jokowi bukanlah pengendali. 

Di semua acara PDIP, bintangnya adalah Mega, sementara Jokowi hanyalah tamu yang tak punya kuasa menentukan apapun, termasuk dukungan pada Ganjar. Dia tunduk patuh dan tegak lurus pada semua kebijakan Megawati. Untuk berkomunikasi dengan Ganjar, dia harus melalui Megawati sebagai pemilik partai.

Di saat bersamaan, Prabowo Subianto menawarkan kesetiaan serta tegak lurus pada Jokowi. Untuk berkomunikasi dengan Prabowo, Jokowi tak perlu melalui figur lain. Dia bisa saja setiap saat memanggil Prabowo. Di kalangan lingkar inti Jokowi, Prabowo adalah sosok yang bisa dipegang kata-katanya. Dia bukan politisi yang gampang berubah. 

Prabowo menawarkan kemewahan yang tak diterima Jokowi di partai asalnya. Bahkan jika Prabowo melenggang sebagai presiden, Jokowi bisa menguasai Gerindra. Situasi Gerindra juga sedang tidak baik-baik saja. Jika suatu saat Prabowo meninggalkan partai itu, maka dipastikan akan terjadi konflik antara klan Djojohadikusumo melawan figur baru yang mencuat, misalnya Dasco. Jokowi bisa menjadi pengendali yang menjadi titik simpul pertemuan semua kelompok.

Namun, kita juga bisa melihatnya dari sisi lain. Jika politik kita adalah drama dan para politisi adalah aktor yang sedang memainkan perannya masing-masing, maka kita bisa menafsir kalau Jokowi memainkan politik dua kaki untuk meloloskan kedua figur yang mendukungnya.

Saya menduga, Jokowi menerapkan strategi politik dua kaki agar Prabowo dan Ganjar lolos di putaran pertama dan berhadapan langsung di putaran kedua. Selama berbulan-bulan, berbagai jajak pendapat yang kredibel menunjukkan bahwa tidak satu pun dari tiga kandidat utama—Prabowo, Ganjar, atau Anies—akan menjadi pesaing dominan yang menyapu lebih dari 50 persen suara nasional. 

Dengan menggembar-gemborkan Ganjar dan Prabowo sebagai calon penerus, Jokowi mungkin berharap keduanya akan dengan mudah melaju ke putaran kedua. Anies Baswedan, yang mencalonkan diri sebagai kandidat perubahan dan kurang disukai Jokowi, diperkirakan akan kalah dalam pertarungan tiga arah.

Mengingat popularitasnya, dukungan Jokowi terhadap Ganjar atau Prabowo tentu akan memengaruhi hasil pilpres 2024. Dua lembaga survei terkemuka, LSI dan SMRC, baru-baru ini melaporkan penerimaan publik terhadap Jokowi telah mencapai 82 persen. 

Dengan strategi dua kaki itu, Ganjar dan Prabowo sama-sama lolos di putaran kedua. Namun peluang terbesar untuk menang tentunya ada di tangan Prabowo. Sebab pemilih Anies akan bedol desa mendukung Prabowo.

Jika kader partai banteng kalah di pilpres, Jokowi akan tetap signifikan dalam politik Indonesia. Namun dia akan dicap sebagai kader yang tidak setia, membangkang, juga dianggap ‘Malin Kundang’ yang dibahas dalam berbagai perbincangan di partai itu.

Entah, takdir mana yang dipilihnya.



Bisnis Media


Beberapa hari lalu, saya menerima audiensi dari stasiun televisi CNN Indonesia. Mereka datang dengan formasi lengkap. Ada Managing Editor atau Redaktur Pelaksana, Manager Marketing, dan seorang marketing cantik yang tatapannya -entah kenapa- bikin saya deg-degan.

Mereka presentasi tentang aset digital dan keunggulan medianya. Mereka berharap kami bisa saling berjejaring, dan siapa tahu ada hal yang bisa dikerjasamakan. Mereka pikir saya punya relasi bagus dengan politisi, juga sedang ‘memegang’ calon presiden. Padahal aslinya sih cuma pelatih kucing.

Saya menggunakan momen ini untuk belajar banyak dari mereka, khususnya mengenai media siber. Kata mereka, media-media siber punya dua jenis pendapatan. 

Pertama, dari iklan programatik. Media biasanya punya talenta digital yang mumpuni untuk memonetasi konten, melakukan bidding, menemukan ceruk pasar, dan mencari cuan di ekosistem digital. Mereka mengubah traffic, melakukan pertukaran leverage di antara sub domain, dan berbagi pendapatan di ruang digital.

Kedua, pendapatan door to door ke pemerintahan. Tim pemasar membangun link dengan pemerintahan, mulai dari kementerian, lembaga, badan, polisi, hingga TNI. Mereka mengincar proyek jangka panjang yang bisa menjaga napas media. Biasanya sih proyek penunjukkan langsung.

Kata mereka, hampir semua media-media besar di Jakarta hidup dari jaringan dengan kementerian dan lembaga pemerintah. Kue iklan programatik makin berkurang karena penetrasi platform digital seperti Google dan Facebook yang kian massif. 

Media-media berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada platform digital. Sebab dalam mata rantai digital, media tak punya kuasa. Media tunduk pada pemilik platform. Jangan salahkan media yang clickbait, sebab itu tuntutan platform digital. 

Platform digital jadi semacam middle man atau perantara, bisa juga disebut calo, yang memasarkan berita media ke para netizen. Nah, media-media tidak punya akses untuk mengetahui bagaimana cara kerja platform digital dalam distribusi konten. Media hanya terima laporan, yang entah sejauh mana akurasinya masih diperdebatkan.

Upaya membangun jejaring dengan kementerian dan berbagai lembaga ini tidak mudah. Kalau Anda bukan media yang sangat terkenal, Anda harus punya orang dalam. Minimal orang yang bisa menghubungkan dengan berbagai pengambil kebijakan. Anda juga harus punya portofolio yang menunjukkan keahlian serta produk-produk apa yang bisa dijual.

Strategi marketing juga terus berkembang. Sebab yang dijual bukan lagi iklan baris. Biasanya, tim marketing melakukan audiens, lalu menyerap apa yang diinginkan calon klien, setelah itu mulai merancang proposal bisnis. Jadi bukan datang menawarkan sesuatu, tapi berdiskusi mendalam demi menemukan apa yang diharapkan klien.

Pantasan, tim CNN yang saya hadapi ini punya kecerdasan di atas rata-rata. Harus punya visi kuat dan tahu apa yang dibutuhkan klien. Tak sekadar cantik, tapi juga paham trend dan berbagai isu sehingga diskusi bisa mengalir. Di situ, mereka mencari titik temu untuk menawarkan peluang bisnis.

Media-media seperti Kompas Gramedia berinvestasi besar pada sumber daya manusia. Bagi Kompas, SDM adalah aset penting. Pasukan media harus smart sebab yang dijual adalah gagasan. 

“Gimana Bang? Apa kita bisa deal?” tanya salah seorang dari tim CNN di hadapan saya.

“Hmm. Gimana yaa?” jawabku.

Tiba-tiba marketing cantik itu merespon,” Kalau kita deal, saya akan sering ke sini untuk diskusi dengan Abang. Kita juga bisa ketemu di kafe atau tempat lain,” katanya sembari menatap lurus.

OMyGod. Saya tidak kuat dengan tatapan itu. Sepertinya saya hampir masuk perangkap.


Orang Buton Mengenang Tragedi Karbala

Ritual memberi makan anak yatim, setiap 10 Muharram, di Buton

Di Pariaman, orang mengenal peristiwa Karbala dengan ritual Tabuik. Di Pulau Buton, orang mengenang tragedi Karbala dengan ritual pekandeana ana-ana maelu atau memberi makan anak yatim. Orang Buton tak larut dalam sedu sedan. Mereka menyukuri setiap kehidupan dengan menguatkan tali-temali solidaritas. 

Mereka menatap masa depan.

*** 

BAPAK tua itu membaca doa dengan isak tangis. Dia seorang lebe, seorang ulama yang memimpin doa bersama. Dia komat-kamit membaca doa di hadapan talam bertudung yang di dalamnya terdapat banyak makanan. Ada puluhan orang mengelilingi talam itu, ikut berdoa bersama bapak tua itu. 

Namun hari itu, ritual haroa terasa sedih. Ini bulan Muharram. Ritual haroa terasa lebih sedih sebab mengenang sesuatu yang terjadi di masa silam. Sekitar 14 abad silam, terjadi peristiwa asyura, sebuah tragedi terjadi nun jauh di Karbala. Akibat tragedi itu ada banyak duka, khususnya bagi anak-anak yang kehilangan ayah.

Di kalangan orang Buton, haroa berasal dari kata ha (ayo) dan aroa (hadapi). Yang dihadapi adalah Allah dan Rasul. Saat haroa, semua orang khusyuk berdoa, berserah diri di hadapan Allah, menyampaikan cinta kasih dan rintihan suci.

Haroa bisa digelar hingga belasan kali dalam setahun. Ada haroa yang digelar di bulan-bulan tertentu, misalnya maludu (maulid), rajabu (bulan Rajab), Nisifu Sya’ban (Sya’ban), hingga Ramadhan. Ada juga haroa yang digelar untuk menandai peristiwa kehidupan, misalnya alaana bulua (akikah), pedole-dole, posusu, posuo, kawia (kawinan), dan posipo (menyuapi). 

Ada pula haroa untuk kematian, mulai dari menguburkan hingga pomaloa (malam tahlilan). Tak hanya itu, saat bangun rumah, ada banyak ritual haroa yang dilakukan.

Kata seorang ahli agama di Buton, yang dihadapi dalam haroa bukan hanya Allah dan Rasul, tetapi juga mia dadi mia mate (orang hidup dan orang mati). Masyarakat meyakini, mereka yang meninggal tak benar-benar meninggal. Mereka menjadi sumanga, spirit yang terus mendampingi manusia hidup. Mereka turut hadir saat haroa.

Di bulan Muharram, saat ritual pekandeana ana-ana maelu, anak-anak yatim menjadi pusat perhatian. Sepasang anak yatim duduk di dekat bapak tua yang membacakan doa. 

Sebelumnya, sepasang anak yatim itu dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mengapa sepasang? Ada dua tafisr yang saya temukan. 

Ada yang mengatakan, sepasang ini adalah representasi dari kelompok bangsawan (kaomu), dan kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Ada juga yang mengatakan, sepasang itu adalah lambang dari Hasan dan Husain, dua cucu tersayang Baginda Rasulullah.

Sepasang anak itu dimandikan, dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus. Semua yang hadir mendoakan mereka. Setelah itu, semuanya menyalami mereka lalu menyuapkan makanan, kemudian memberikan pasali, berupa amplop berisi bantuan.

Mengapa memberi makan anak yatim di bulan Muharram? Seorang ulama bercerita, ada banyak pesan yang hendak dititipkan dari generasi ke generasi. Dia menyebut banyaknya anak-anak yang yatim saat Husain, cucu Rasulullah, meninggal di Karbala. Sekitar 14 abad silam. Di antara anak yatim itu adalah Ali Zainal Abidin.

Ali Zainal Abidin harus tetap hidup untuk melanjutkan risalah kebaikan dari ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Ali Zainal Abidin mengemban tugas yang berat sehingga dia perlu didukung dan dikuatkan. Dia perlu dibangkitkan semangatnya agar tetap membawa risalah agama Islam.

Dalam buku Haroa dan Orang Buton, yang ditulis Kamaluddin dkk, saya menemukan cerita tentang ritual ini. 

Pernah ada masa di mana Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) bertanya pada pembantu dekatnya: “Padamo sambaheya komiu?” Apakah kalian sudah sembahyang?” Segera dijawab: “Padamo Waopu”. Sudah Baginda. Sultan kembali bertanya hal yang sama, juga dijawab sebagaimana sebelumnya.

Namun Sultan kembali bertanya: “Komanga ana maelu yi tangana kampo siro padhamo abawakea hakuna?” Bagaimana anak yatim di tengah kampung, apakah mereka sudah diberikan haknya? 

Mendengar pertanyaan itu, semua menjawab belum. Saat itu juga, Sultan Idrus membacakan Surah Al Maun 1-7. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yakni orang yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan orang miskin....”

Pesan Tersirat

Dulu, ritual haroa pekandeana ana-ana maelu dilakukan di rumah warga. Kini, ritual ini dilakukan oleh pemerintah daerah, yang dilakukan secara kolosal di satu aula, dan menghadirkan ratusan anak yatim.

Di internet, saya membaca liputan tentang Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Baubau yang menggelar ritual di aula Rujab Bupati dan Walikota, serta menghadirkan Syara dari Masjid Agung Keraton Buton. 




Ritual memberi makan anak yatim yang diadakan di Buton setiap 10 Muharram

Di Kabupaten Buton, pemberian makan kepada anak yatim-piatu itu dilakukan secara simbolis oleh Asisten Satu Setda Kabupaten Buton dan sejumlah perangkat Masjid Agung Keraton Buton.

Usai melaksanakan ritual, Asisten Satu Setda Kabupaten Buton Alimani, S.Sos., M.Si mengatakan tradisi Pakande Ana-ana Maelu merupakan ajaran agama Islam dalam memperingati setiap tanggal 10 Muharram.

"Kegiatan ini dalam rangka memperingati 10 Muharram dan kita tahu berdasarkan sejarah bahwa kita di Kesultanan Buton itu dalam memperingati hari 10 Muharram itu selalu dengan memberikan makan kepada anak yatim," ucap Alimani.

Ritual ini ‘naik kelas’, sebab bukan haya dilakukan di rumah, tetapi juga menjadi agenda pemerintah kabupaten. Hanya saja, saya berharap pesan penting ritual ini tak hanya diamalkan pada bulan Muharram, tetapi juga di semua bulan lainnya.

Bagi saya, ritual ini membawa pesan yang teramat dalam. Ritual ini menghubungkan manusia hari ini dengan masa silam. Manusia hari ini menyerap semua hikmah dan pembelajaran masa lalu agar tidak terulang lagi di masa sekarang.

Di Nusantara, ritual mengenang asyura ini bisa ditemukan jejaknya dalam berbagai kebudayaan. Masyarakat Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Masyarakat Bengkulu mengenangnya dengan tirual Tabot. 

Orang Pariaman melakukan ritual Tabuik.  Dan kami orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Semua ritual ini bertujuan untuk merawat ingatan pada satu peristiwa, membangun benang merah dengan peristiwa itu, serta membangun komitmen di masa kini agar peristiwa serupa tidak terjadi.

Meskipun orang Buton juga menangisi kematian Husain di Karbala, namun ritual mereka fokus pada putra Husain yakni Ali Zainal Abidin. Pesan kuat yang dipetik adalah menangisi kematian memang penting, tapi jauh lebih penting merawat kehidupan, memberinya semangat dan motivasi kuat untuk tetap merawat tradisi kebaikan, serta menghadapi masa depan.

Dengan memberi makan pada anak yatim, yang merupakan simbol dari Ali Zainal Abidin, leluhur Buton memberi pesan kuat, bahwa masalah sebesar apapun akan terasa ringan jika semua anggota masyarakat saling membantu saling menguatkan, dan saling menjaga solidaritas sosial.

Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”, leluhur Buton telah lebih dahulu menyatakan anak yatim dan miskin adalah milik komunitas. 

Mereka disapih dan dirawat komunitas. Mereka akan tumbuh menjadi kembang indah yang semerbak berkat dukungan kuat dari komunitas.

Tarimakasi.


BACA JUGA:

Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton

Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Ulama Besar di Buton

Kisah Raja Bugis di Pulau Buton

Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid di Tanah Buton

Menyibak Kabut di Keraton Buton




Gelar Pasukan NASDEM dan Siasat Mengunci ANIES

Partai Nasdem saat kampanye

Dari seluruh penjuru Indonesia, ribuan kader Nasdem ramai berdatangan ke Jakarta. Diperkirakan ada lebih 70 ribu kader Nasdem akan menyemut di Stadion Gelora Bung Karno pada 16 Juli mendatang. 

Pesan apa yang hendak disampaikan Partai Nasdem dengan melakukan gelar pasukan dengan budget hingga 70 miliar rupiah itu? Apakah Nasdem ingin mengunci Anies agar tidak ikut skenario partai lain di koalisi? 

*** 

WAJAH Surya Paloh tiba-tiba berubah. Dia dan orang-orang dekatnya sedang menghitung dan memetakan situasi politik yang terjadi. Dia tiba pada kesimpulan bahwa Nasdem akan menghadapi situasi yang tidak mudah.

Pada mulanya, partai yang awalnya berupa Ormas itu memulai langkah berani dengan mengajukan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Selanjutnya, berbagai duri terhampar di sepanjang langkah partai itu. Mulai dari kadernya ditersangkakan, hingga bisnis terganggu.

Partai itu yakin Anies akan memenangkan palagan pertarungan pilpres nanti. Pencalonan Anies adalah momen bagus bagi partai untuk keluar dari bayang-bayang PDIP selama dua periode, sekaligus menjadi “ketua kelas”yang menentukan arah bangsa ini selama lima tahun.

Namun belakangan ini, situasinya mulai berubah. Anies Baswedan, calon yang diusung, perlahan makin dekat dengan Partai Demokrat, sesama anggota koalisi perubahan. 

Sejatinya, itu tak menjadi masalah sebab Anies harus berkomunikasi dengan semua partai pengusung. Kedekatan itu berbuah manis. Sejumlah analis mensinyalir kalau satu nama calon wakil presiden yang akan diumumkan adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tadinya, Anies tidak menimbang AHY. Namun pertemuannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membalikkan semua kenyataan. Entah apa yang disampaikan SBY, yang pasti, pasca pertemuan itu, Anies kian mantap memilih AHY sebagai pasangan.

Ada yang mengatakan, SBY berbisik jika Anies memilih AHY, maka dia akan mengerahkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan itu. Anies tak perlu gelar fundrising. Cukup duduk manis dan membiarkan tim bekerja dengan amunisi yang terjaga.

Dua periode jadi presiden, cukuplah untuk mengumpulkan sumber daya. Apalagi, setelah tidak menjabat, hampir tak ada momen di mana SBY habis-habisan mengeluarkan sumber daya.

Sementara bagi Surya Paloh dan semua lingkarannya, bukan uang yang jadi kunci kemenangan. Belajar dari pilpres lalu,jika ingin menang, maka “Djawa adalah koentji.”Jika ingin menguasai Jawa, maka taklukkan Jawa Timur. Sebab Jawa Tengah adalah kandang banteng, sedangkan di Jabar, Anies akan berbagi suara dengan Prabowo. 

Untuk menguasai Jawa Timur, maka tarik kader NU untuk masuk arena. Sebab NU menjadi simpul yang menghubungkan banyak kalangan di Jawa Timur, bisa menggerakkan jamaah yang jumlahnya diperkirakan 100 juta orang, dan membawa kemenangan. Wajar jika Nasdem ingin ajukan Khofifah, juga Yenny Wahid.

Selain itu, pasangan Anies-AHY diyakini tidak membawa dampak signifikan bagi peningkatan suara Nasdem. Partai biru kuning itu tidak akan dapat apa-apa. Sebab Anies tidak identik dengan Nasdem. Anies identik dengan PKS, yang bakalan meraup peningkatan suara dengan mengusung Anies. 

Surya Paloh akirnya tiba pada ide untuk menggelar Apel Siaga Perubahan. Sejumlah kalangan mengatakan, acara ini seakan tandingan dari acara serupa yang digelar PDIP. Palingan isinya adalah pidato-pidato. Mulai dari Surya Paloh hingga Anies Baswedan.

Apel Siaga dengan budget hingga 75 miliar rupiah ini serupa show of force atau pamer kekuatan. Namun kepada siapakah pamer kekuatan itu hendak dilakukan?

Saya menduga, pamer kekuatan itu ditujukan ke Anies Baswedan. Di rapat raksasa nanti, Nasdem bakal menyampaikan satu pesan sederhana kepada Anies: “Kami sudah berdarah-darah untuk mendukungmu. Maka mari kita menari dan menyamakan gerak. Jika tidak, silakan ikut ke sana. Kami akan menentukan masa depan kami.”

Bagi Nasdem, pencalonan Anies adalah pertaruhan besar, sekaligus ujian sejarah. Jika menang, partai akan melejit dan punya kuasa mewarnai kanvas republic. Jika kalah, partai akan siap-siap memasuki babak baru sebagai partai oposisi.

Melihat gerak Nasdem dan Demokrat, kita bisa menyimpulkan kalau politik kita serupa panggung. Di depan, semua elite akan memakai retorika perubahan dan bicara kepentingan bangsa. Namun di balik layar, semua saling mencari posisi paling menguntungkan.

Namun, ada juga sisi positif dari dinamika ini. Kedua partai ini kelak akan menyadari kalau mereka sama-sama tidak punya pilihan. Nasdem membutuhkan koalisi ini untuk tetap bisa mengusung Anies. Sementara Demokrat juga tidak mungkin menyeberang ke koalisi pemerintah.

Memang, AHY sudah bertemu Puan, tetapi jika harus bergabung, maka narasi perubahan yang selama ini digaungkan akan terasa seperti “menggantang asap, mengukir langit.”Narasi itu akan kosong. Hampa makna.

Kedua partai ini akan mencari titik temu, meskipun harus melalui gelar pasukan dengan biaya miliaran rupiah. Itulah tabiat partai kita. Suka hambur-hambur uang, sementara rakyat pemilihnya harus mengais-ngais rejeki yang tak seberapa lalu berharap nasibnya berubah hanya karena percaya dengan 'buang-buang liur' para politisi.



Membaca Ulang Soedjatmoko


Dia belajar di Sekolah Kedokteran Jawa, tetapi lebih banyak membahas ilmu sosial. Dia ikut terlibat dalam aktivisme dan dunia intelektual. Dia bergaul dengan Sjahrir dan Agus Salim. 

Di usia 23 tahun, dia menjadi diplomat ulung termuda yang membela Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar. 

Dia bukan intelektual yang berumah di menara gading. Diplomat senior dan duta besar ini mendirikan banyak majalah, memantik polemik berbagai isu, mulai budaya, filsafat, hingga sastra. 

Pria yang disapa Soedjatmoko atau Mas Koko ini adalah cendekiawan awal negeri ini yang hendak mencari jawaban atas berbagai isu sosial ekonomi.

Jurnalistik adalah rumahnya untuk menyapa banyak orang, membuka diskusi, dan mengajak para cendekia Indonesia memikirkan berbagai tema-tema besar. Dia seorang intelektual publik yang menyapa orang banyak dengan gagasan-gagasan. Sebab gagasan punya kaki untuk bergerak.

Saya masih memendam kagum saat membaca bukunya di tahun 2000-an. Dia membahas pembangunan sebagai kebebasan, teknologi sebagai tradisi, juga ekonomi yang mendorong lahirnya daya cipta. Dia sudah membahas dampak pembangunan, serta posisi ilmu sosial.

Dia seorang intelektual generalis yang berbicara berbagai topik, tanpa disekat oleh satu disiplin ilmu tertentu. Tepat kata Ignas Kleden, kalau dia bukan ilmuwan, melainkan intelektual yang menggumuli setiap persoalan dengan serius.

Posisinya sebagai intelektual publik membawanya berkelana ke banyak negara dan menjadi pengajar di kampus-kampus terkemuka. Hingga dia diangkat sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.

Kini, pemikiran pria yang dikenal sebagai Soedjatmoko ini dibahas dalam edisi khusus Prisma, oleh para intelektual muda yang tidak pernah bersentuhan dengannya. Semoga kelak Prisma juga membahas sosok-sosok cendekia lain seperti Arief Budiman.



Maestro Kuliner


Di Rumah Makan Paotere, saya memilih ikan baronang untuk dibakar. Pelayan menyilahkan saya duduk di salah satu sudut. Beberapa detik kemudian, dia membawakan beberapa bahan mentah, mulai tomat, lombok, daun kemangi, garam, hingga irisan mangga.

Sembari menunggu ikan dibakar, saya mengambil pisau kecil, kemudian mulai mengiris bahan, lalu mencampur jadi satu. Terasa hembusan asap pembakaran ikan dari luar. Saat ikan bakar datang, lalapan sudah siap. 

Jauh sebelum Robert Chambers memperkenalkan pendekatan partisipatif, rumah-rumah makan di Makassar sudah memulainya. Pembeli bukan sekadar obyek yang hanya menerima makanan jadi. Tapi mereka ikut menjadi subyek yang meracik bumbu dan lalapan. Ikut menyentuh tomat, lalap, dedaunan, dan irisan manga.

Dalam suasana yang agak panas, saya makan dengan peluh berceceran. Ada banyak kuliner Makassar yang tidak cocok dimakan di ruang ber-AC. Kuliner itu lebih cocok dimakan diwarung kaki lima, saat panas terasa dari atap seng, namun perlahan lenyap saat angin sepoi-sepoi merambah ke warung.

Di rumah makan ini, saya ingat Haji Tawakkal, pemiliknya. Pria asal Labakkang, Pangkep itu, dahulunya hanya berjualan di dekat Pelabuhan Paotere, yang menjadi tepat kapal-kapal kayu berlabuh.

Saat berbincang dengannya beberapa tahun lalu, dia bercerita tentang usahanya yang dulu cuma warung kaki lima, dan dikelola pamannya Daeng Gassing. Yang dijual di warung itu hanyalah nasi, lalapan, dan sayur. 

“Para pelanggan rata-rata adalah nelayan atau warga yang membawa ikan, cumi, udang dari pelelangan di Pelabuhan Paotere. Mereka bau ikan, kakinya berlumpur, tidak pakai sandal. Istilahnya paku lonting,“ kenang Haji Tawakkal yang sudah yatim piatu sejak kecil.

Seiring waktu, warung itu mulai menyediakan ikan yang diolah oleh Haji Tawakkal. Di warung itu, orang-orang menemukan rasa yang original, juga sentuhan personal saat ikut meracik bumbu dan mengolahnya.

Warung itu menjadi ruang demokratis yang mempertemukan banyak kalangan. Di antara pelanggan warung, ada sosok Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, dua pebisnis hebat di kota Makassar yang menentukan haru biru politik negeri ini.

Sembari menunggu, Jusuf Kalla selalu mengajak Haji Tawakkal berbincang. Aksa Mahmud mengajari Haji Tawakkal untuk bisnis. “Pak Aksa yang memaksa saya untuk beli ruko. Katanya, jangan sewa. Setiap ketemu saya ditanya. Alhamdulillah, bisa beli ruko,”katanya.

Saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, Haji Tawakkal sering dianggil ke Istana Wapres untuk membakar ikan. Di situlah, Haji Tawakkal membakar ikan di tengah sorot mata paspampres. Dia tetap tenang sebab tahu pasti kalau Pak JK percaya 100 persen dengan kualitas menu yang disentuhnya.

Dari warung yang dipenuhi lalat, Rumah Makan Paotere mulai merambah ke mana-mana. Cabangnya dibuka di banyak lokasi, bahkan di Kota Jakarta. Haji Tawakkal menikmati buah dari kerja keras. Dia memulai semua dari nol, kini asetnya kian membesar. Pelanggannya bukan lagi Paku Loting, tapi orang bermobil.

Saya lanjut mencicipi ikan baronang di hadapanku. Ini salah satu olahan kuliner laut ternikmat yang saya cicipi dalam enam bulan terakhir. Tetiba, punggung saya ditepuk dari belakang. Ada suara keras dengan akses Bugis yang pekat.

“Kapan ko datang Ndi. Kenapa ko nda bilang-bilang?”Saya menoleh dan melihat wajah Haji Tawakkal. Dia tersenyum hangat.

Hmm. Sepertinya semua makanan ini akan gratis. Nyamanna!

.



Miftahul Anwar


Pernah ada masa kita setiap hari selalu tumbuh bersama. Pernah ada masa kita saling membesarkan. Sejak kamu masuk kampus Unhas di tahun 1999, kita sudah saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama.

Pernah kita saling ribut. Saat itu, saya kelepasan kalimat: “Saya yang angkat kau dari comberan.” Rupanya kau tertawa ngakak dan mengiyakannya. Kepada banyak orang kau mengulang kalimat itu. Padahal itu cuma kalimat spontan saat sedang ribut.

Saya bersaksi dirimu adalah seorang adik yang paling baik dan paling suka membantu. Saat dibutuhkan, kau selalu hadir. Tak pernah terdengar keluhan, kecuali tawa dan canda. Kamu selalu bisa membahagiakan banyak orang.

Jalan sejarah menuntunmu untuk menjadi aktivis dan demonstran. Hari-harimu adalah turun ke jalan untuk memprotes pemerintah, tentunya di sela-sela itu dirimu ingin melindungi adik Uci yang juga turun ke jalan. Kamu memang heroik.

Pernah ada masa kamu dicari banyak wartawan, saat berani mengusir Jenderal Wiranto yang sedang pidato di kampus Unhas. Kamu mengajukan tuntutan lalu mengusir Wiranto. Itu tindakan paling berani mahasiswa Unhas yang belum bisa ditandingi hingga masa kini. 

Saat itu, saya masih menjadi wartawan, yang tiba-tiba mendapat tugas untuk mewawancarai dirimu. Redakturku memujimu setinggi langit. Saya diam saja, pura-pura tidak kenal. Dalam hati, saya berbisik, “Saya yang mengangkatnya dari … (ups).

Beberapa hari lalu, saya melihat fotomu yang sedang terbaring di satu rumah sakit. Saya nyaris tak percaya, dirimu yang begitu kuat dan kokoh, tiba-tiba terbaring tak berdaya. Hingga pagi ini, saya membaca namamu disebut banyak orang saat mengucap belasungkawa.

Saya tak ingin terjebak dalam sedu sedan. Kata seorang kawan di Afrika, kematian adalah sesuatu yang tidak seharusnya dirayakan dengan bersedih. 

Kematian harus dihadapi dengan tegar, sebab seseorang sedang pindah ke kehidupan yang baru, berlayar menggapai keabadian, lalu menjemput takdir. Kematian adalah perjalanan.

Saya yakin, kamu di sana sedang tersenyum sembari melihat betapa banyaknya kasih dan cinta yang melepasmu. Di sana, kamu tak lagi berdemonstrasi, sebab telah menemukan kebahagiaan sejati dalam pelukan Yang Maha Menggenggam. 

Kamu telah menyatu dengan semesta, sembari menjadi bintang, bulan, dan malam yang mengawasi kehidupan hari ini.

Selamat jalan adindaku Green Cemara sahabatku, kawan seiring seperjuangan, juga kawan yang pernah mengayunkan pedang bersama.


Sultan yang Merawat Masjid Wawoangi

Masjid Wawoangi (foto: Rustam Awat)

Semilir angin berhembus di Wawoangi, Buton Selatan. Di satu bukit, suara azan terdengar sayup-sayup. Suara azan itu mengalun dari satu masjid tua yang terlihat tua. Dinding masjid terbuat dari anyaman bambu. Atapnya dari kayu jati.

Mereka yang berkunjung ke masjid ini membutuhkan waktu sekitar sejam dari kota Baubau. Jika perjalanan dari Batauga, ibukota Buton Selatan, hanya membutuhkan waktu setengah jam. Masjid itu terletak di atas bukit, Desa Wawoangi.

Dari pemukiman warga di Dusun Laguali, jarak masjid mencapai 3 kilometer. Pengunjung bisa menempuhnya dengan kendaraan roda dua ataupun empat. Sebagian jalannya sudah dilapisi aspal, sebagian belum. 

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Dari masjid tua ini, pemandangan sangat indah. Semya wilayah desa di Sampolawa dapat terlihat. Dari kiri masjid, pengunjung bisa menyaksikan pemukiman warga Kelurahan Katilombu, Jayabakti dan sekitarnya. 

Kita bisa melihat Desa Tira. Sejumlah kapal Boti alias Phinisi tampak jelas berjejer terpakir menghiasi bibir perairan Desa Tira.Kita bisa melihat pasir putih menghiasi mata keelokan Pantai Lagundi Desa Bahari.

Dari sisi bagian, kita bisa melihat Pulau Batu Atas, wilayah Buton Selatan paling ujung. Begitupun lautan lepas laut Banda.

Di bagian barat tampak jelas benteng yang hingga kini belum digarap potensi wisatanya dinas terkait.

Masjid Tua Wawoangi ini jauh dari kebisingan kendaraan, maupun pemukiman warga. Beberapa orang datang untuk berzikir. Setiap malam Jumat, masyarakat wilayah sekitar datang untuk menunaikan ritual ibadah.

Masjid yang kokoh berdiri di atas bukit, kesejukan alamnya, kerindangan pepohonan, menambah keheningan bila menunaikan ibadah. Angin sepoi-sepoi bertiup dari segala penjuru, udara yang masih segar alami menambah khususnya para jamaah yang ingin beribadah di Masjid Tua itu.

Penari di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Ini memang masjid bersejarah. Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1527 oleh Syaikh Abdul Wahid, penyebar Islam di tanah Buton. Mulanya, Syaikh Abdul Wahid melihat ada sinar yang turun dari atas. Dia melihat itu sebagai pertanda untuk membangun masjid.

Sebelum ke tanah Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pernah tinggal di Johor. Dia dan isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Setelah itu, mereka hijrah ke Pulau Batu Atas pada tahun 933H/1526M. Batu Atas masuk dalam wilayah Kesultanan Buton.

Di Pulau Batu Atas, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menyebarkan agama Islam. 

BACA: Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid


Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto terkenal dengan kesaktiannya dan bisa mengalahkan bajak laut. Beberapa kali Kerajaan Buton coba ditaklukan para bajak laut demi bisa menguasai perairan menuju Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah.

Sekian ratus tahun, masjid itu tetap berdiri kokoh. Masjid ini tetap didatangi warga dan mereka yang hendak menemukan nuansa yang berbeda. Banyak pula yang sengaja datang untuk mengunjungi dua makan di depat pintu masuk masjid.

Dua makam itu adalah makam Sultan Buton ke-7 La Saparagau. Satu lagi adalah makam ayahnya La Gafari atau Sangia Rauro. Selain itu, terdapat pula banyak makam lain di sekitar situ, yakni kerabat sultan, pengawal, dan masyarakat.

Sultan La Saparagau mendapat julukan Sangia I Wawoangi. Di masyarakat Buton, Sangia bermakna orang yang disucikan. Sangia adalah gelar untuk sosok yang sangat dhormati. Dengan menziarahi kuburnya, masyarakat berharap bisa mendapatkan kearifan sosok ini.

Dalam catatan antropolog Tony Rudyansyah, sangia sering dikaitkan dengan sosok atau figur yang memilih tinggal bersama komunitas. Tadinya, para sangia adalah pembesar kesultanan, yang kemudian memilih tinggal bersama komunitas di dalam wilayah kesultanan. Saat mereka meninggal, makamnya sering dikeramatkan. Masyarakat berziarah untuk mendoakannya.

Bisa disimpulkan kalau sosok La Saparagau adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Wawoangi, tapi di seluruh wilayah Kesultanan Buton.

Kisah La Saparagau

Sultan La Saparagau adalah sultan Buton ke-7. Dia memerintah hanya dua tahun lamanya, yakni 1645—1647. Ada juga sejarawan yang menyebut setahun, yakni 1645—1646. La Saparagau adalah satu dari lima sultan yang berasal dari luar Kamboru-Mboru Talupalena sekalipun oleh dua trah Kaomu saingannya ia dianggap sebagai representasi kaomu Tanailandu.

La Saparagau adalah anak La Galunga Kokoburuna I Wawoangi dari pernikahannya dengan Wa Sugirumpu, yang merupakan amak dari Sultan Murhum. La Galunga berasal dari Katimanuru dan ibunya bernama Watubapala binti Lambaawu. Seterusnya Katimanuru adalah anak dari Raja Mulae Sangia Yi Gola Raja Buton yang ke-5. 

Salah satu acara aday di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

La Galunga bersaudara dengan La Siridatu dan La Kabhaura. Ketiganya adalah anak La Maindo, yang menjabat sebagai Lakina Batauga Mancuana. Saparagau dikenal juga sebagai Sangia I Wawoangi atau gelar lainnya Oputa Kopogaana Pauna. 

Jabatan terakhir Saparagau sebelum diangkat menjadi Sultan adalah Sapati. Sebagai Sapati, dia memegang semua alat kelengkapan dan kebesaran sultan. Semua menjadi tanggung jawabnya hingga waktu penyerahannya kepada pejabat sultan yang baru. Alat kelengkapan dan kebesaran sultan ini dinamakan “Parintana Bhaaluwu o Peropa”

BACA: Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Albino di Buton Selatan


Ketegangan di internal elite tampaknya memicu intrik yang alot, memacu seteru yang tajam di antara para aristokrat Buton. Sebagai Sapati, La Saparagau berhak menyimpan pataka dan alat-alat kebesaran sultan, sampai ada sultan baru terpilih baru ia menyerahkannya.

Tetapi kisruh yang alot itu tampaknya mengeruhkan segalanya. Sekelompok orang dari golongan yang Saparagau mengambil tindakan hendak “merebut” kekuasaan. Saparagau ditekan dan didesak oleh kaumnya sendiri agar kekuasaan itu diambilnya saja ketimbang nanti malah diduduki seorang yang dari luar kaum mereka.

La Saparagau yang awalnya menolak dan mengelak dari desakan sekelompok kaumnya itu, diakhirnya terpaksa memilih menurut saja untuk menghindari berseteru dengan kaumnya sendiri

Akhirnya digelar musyawarah yang dihadiri banyak kelompok. Musyawarah itu tak mencapai kata sepakat. Tekanan dari pengikut La Saparagau yang semakin keras, Sara Kesultanan akhirnya semufakat menunjuk Saparagau menggantikan La Buke.

Keputusan yang diambil oleh Syara Kesultanan itu tidak lagi melalui prosedur sebagaimana biasa lazimnya. Saparagau menaiki kekuasaan dengan tidak melalui upacara pelantikan, ia tidak diputarkan payung kemuliaan di atas kepalanya (lihat Zahari, 1977: 15)

Ada beberapa peristiwa-peristiwa penting terjadi dalam masa La Saparigau memerintah. Di antaranya adalah pemberian gelar Lakina (pemimpin) untuk pemimpin Sorawolio. Sultan Saparagau merasa perlu mengadakan jabatan seorang kepala yang akan menjadi pengawas pada kampung itu dengan gelar “Lakina”. 

Jabatan Lakina Sorawolio ini termasuk dalam jabatan “Pangkat” yaitu pembesar kerajaan. Kemudian pada kampung itu dibangun pula sebuah masjid dengan syarat agamanya terdiri dari seorang imam, khatib, dan bilal. Untuk jaminan keamanan juga dibangun sebuah banteng pertahanan yang dikenal dengan “Kotana Sorawolio”. Lakina Sorawoilo karena tugasnya disebut dalam adat “Ayele-yele Sarana Wolio”

Saparagau mangkat di tahun 1646. Dia dimakamkan di Wawoangi. Makamnya bersisian dengan makam ayahnya La Galunga. Sesudah wafatnya beliau dikenal dengan nama “Oputa Mopogaana Pauna” yang kira-kira berarti Sultan yang bercerai dan meninggalkan paying kesultanannya. Dia juga sering dikenal dengan nama “Sangia I Wawoangi” atau keramat di Wawoangi.

Peristiwa Saparagau yang mengambil sendiri kekuasaan karena kehendak dari kaumnya, menjadi suatu pengalaman bagi syarat kerajaan, khususnya bagi Bonto Peropa dan Bhaaluwu. 

Setelah itu, alat kelengkapan dan kebesaran sultan tidak lagi diserahkan dan dipercayakan kepada pejabat Sapati, melainkan langsung diambil dan dipelihara oleh Bonto Peropa sampai waktu penyerahannya kepada sultan yang baru.

Sultan Saparagau mempunyai enam orang anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Anak-anak Saparagau berturut saya deretkan: Katimanuru (mengambil nama neneknya), La Sugi, La Ngiyangka Yarona Lasaidewa, Wa Ode Lawele, Wa Ode Cirisa, Wa Ode Mabu.

Makna Sangia

Di banyak tempat di Buton, sering kali kita menemukan makam para Sangia atau mereka yang dikeramatkan. Di masa hidupnya, mereka adalah orang penting di kesultanan yang kemudian meninggalkan istana lalu tinggal bersama masyarakat biasa.

Di Lasalimu (wilayah Kabupaten Buton), ada makan Sangia Watole dan Sangia Wasuamba (La Karambau). Di Buton Tengah, ada makan Sangia Wambulu. Sedangkan di Buton Selatan ada Sangia I Wawoangi dan Sangia I Lakambau. 

Makam para Sangia ini selalu dikeramatkan dan menjadi tempat untuk ziarah. Di waktu tertentu, masyarakat akan datang untuk membacakan doa serta memberikan sesajen. Ini menunjukkan bahwa meskipun seorang tokoh sudah lama berpulang, namun sosoknya tetap abadi dan memberikan pengaruh bagi masyarakat di sekitarnya.

Menurut Tony Rudyansjah, keberadaan para Sangia ini bersifat “memberikan kehidupan” dan dekat dengan masyarakat pedesaan. Para sangia ini tetap menjadi role model dan memberikan mata air keteladanan bagi semua orang di komunitas.

Bisa pula dilihat dari sisi lain. Keberadaan Sangia yang terus hidup di hati masyarakat menunjukkan adanya kontinuitas atau ketersambungan sejarah. Masa lalu dan masa kini tetap hidup berdampingan. Masa lalu menyediakan pembelajaran untuk menjadi kompas bagi masyarakat hari ini.

Dilihat dari sisi kekuasaan, para sangia menunjukkan kekuasaan di Kesultanan Buton tidak bersifat mutlak dan satu arah. Semua komunitas punya kuasa sendiri yang dibawa para Sangia sehingga sering kali bisa menjadi pengimbang dari kekuasaan pihak istana.

Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton, posisi kepala pemerintahan dipegang oleh Sultan. Kepala adat dipegang oleh siolimbona (legislatif). Kekuasaan Sultan memiliki ciri utama “mengambil segalanya” dari rakyat dan hambanya. Itu bisa dilihat dari persembahan, upeti, pajak, dan kewajiban yang harus dipenuhi rakyat setiap tahunnya.

Sedangkan kekuasaan spiritual berada di tangan Sangia yang lebih bercirikan “memberikan segalanya” untuk kesejateraan dan keselamatan rakyat. Para Sangia kebanyakan para sultan dan pembesar yang menjelang meninggalnya, tinggal bersama komunitas di pedesaan. Kepercayaan pada mereka berperan dalam memberikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. 

Pesan dari Wawoangi

Masjid Wawoangi ibarat sungai inspirasi yang tidak pernah kering. Masjid pertama yang dididirikan di tanah Buton ini menjadi saksi dari banyak peristiwa dan perubahan sosial. 

Di tanah Buton, Islam pertama diajarkan secara massif di masjid ini. Masjid ini menjadi makam dari salah seorang Sultan Buton. Pada tahun 1960-an, masjid ini menjadi saksi dari kerusuhan yang terjadi di Sampolawa.

Masjid Wawoangi

Di tahun 1973 masjid ini dibangun kembali oleh masyarakat desa. Tahun 1989 dilakukan pembersihan lokasi pembangunan Masjid Tua itu. Pada tahun 2000 masjid ini dipugar kembali dengan tidak merubah bentuk keasliannya.

“Dananya pertama kita dari dana swadaya masyarakat kita kumpul-kumpul, pemugaran masjid ini kita tidak lakukan perubahan bentuk, tinggi, bentuknya rangkanya tidak dilakukan perubahan. Tapi setelah berkembangnya zaman dibuatkanlah tehel ini, dulunya ini lantainya kerikil,” kata seorang warga.

BACA: Buton Selatan yang Lebih Indah dari Maldives


Dengan tidak mengubah keaslian bentuk, masjid tua yang sakral ini berdindingkan bambu yang diikat dengan tali ijuk. Atapnya tersusun rapi terbuat dari belahan papan kayu jati. Tiang utama penyangga terbuat dari jati. Di depan pintu utama masjid ada tulisan Arab kuno. Di beberapa bagian juga ada tulisan lafadz Arab kuno.

Masyarakat setempat meyakini Masjid Tua ini sangat sakral dan menyimpan cerita mistis. Di atas bukit itu, kala azan berkumandang, suaranya terdengar jelas di seluruh wilayah kadie Wawoangi. “Dulu adzannya belum ada mike. Jadi bunyi gendang dan adzan kedengaran di wilayah Wawoangi,” kata warga.

Di sebelah kanan bawah bagian pintu utama masjid terdapat lubang yang bertuliskan huruf lafaz Arab kuno. Disebutkan sejumlah peneliti, di bawah pintu utama terdapat lafaz tulisan gundul arab yang merupakan sisa bukti sejarah masjid tua ini.

Semoga masjid ini tetap lestari, bertahan melintasi zaman, serta selalu menjadi tempat bagi siapapun yang hendak memperdalam pengetahuan mengenai agama. Jika Buton identik dengan keislaman yang kuat, maka masjid ini punya andil untuk merawat pengetahuan itu.