|
Marco Van Basten |
BELANDA kalah. Lonceng bergemuruh bertalu-talu di jantung kota Leningrad merayakan sukses negeri Beruang Merah menghempaskan Negeri Kincir Angin. Belanda, tim yang di babak penyisihan memiliki prestasi fenomenal itu, seakan tak berdaya dan sedang belajar berlari ketika anak bawang Rusia sedang belajar bagaimana menorehkan sejarah di pentas Eropa. Tarian menggocek bola dan keindahan formasi yang laksana bunga tulip dari anak-anak turunan Jan Pieterszon Coen itu sontak memudar ketika ditantang skenario apik dari maestro bola Gus Hiddink.
Saya termasuk orang yang tertegun menyaksikan itu. Di tengah hingar-bingar acara nonton bareng di Kota Makassar, saya tiba-tiba merasa kesepian. Selama beberapa saat, saya hanya bisa mematung dan tak bisa berkata-kata. Saya memang pendukung fanatik Belanda dan minggu lalu telah membeli baju kaos tim Belanda dan kukenakan dalam setiap acara nonton bareng. Kekalahan tim ini membuat saya terhenyak. Saya sepi. Ternyata, di sekelilingku banyak juga yang sepi dengan raut wajah sedu-sedan. Betapa tidak, sebuah tim yang menghentak sejak awal kompetisi, tiba-tiba harus jatuh terkapar sebelum puncak pergelaran pesta akbar tersebut berakhir. Sebuah tim yang memesona dunia dengan permainan apik khas total football dan sukses melumat Perancis dan Italia, seakan rontok ketika tim Rusia datang dengan pola yang sama.
Bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya. Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.” Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu.
Di ajang Piala Eropa ini, nujuman Bloch seakan mengejawantah pada tim Belanda. Spektakuler di awal laga penyisihan, namun terkapar justru di titik sebelum titik akhir. Mereka jatuh justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi kincir angin dan bunga tulip yang menjadi darah tim Belanda. Saya menyaksikan rona sedih terpancar di wajah Van Basten. Ia terhenyak dan sesaat kemudian berdiri dan datang menyalami sang guru Gus Hiddink. Usai salaman, Hiddink sempat memegang kepala Basten sembari tersenyum. Drama persaingan dua pelatih asal Belanda itu menemui puncaknya. Van Basten, lelaki kelahiran Uttrecht itu, harus banyak belajar pada ketenangan dan perencanaan yang sistematis dari Hiddink. Dua hal inilah yang menjadi rahasia Hiddink dlam meramu tim. Meski tak menampik, namun Hiddink justru menjawab lain. Ia menyebut tiga faktor yaitu taktik, teknik, dan fisik. "Saya tak tahu seberapa jauh kami melakukan persiapan intensif sejak dihajar Spanyol 1-4. Biasanya, Belanda sulit dikalahkan dalam hal taktik, teknik, dan fisik. Tapi, kami mampu mengalahkan mereka dalam tiga hal tersebut," jelas Hiddink.
Itu adalah kata-katanya. Rusia memang menggila. Meski terseok-seok di awal kompetisi, Rusia sanggup membalikkan situasi dan memenangi laga yang sungguh prestisius itu. Mereka punya semangat untuk menang. Mereka bermain dengan tanpa beban. Mereka bermain bola laksana merpati yang lepas dan membumbung tinggi. Mereka bermain dengan bahagia dan riang sebagaimana seorang bocah yang bermain di taman. Laksana pelukis yang tenang ketika menggoreskan kuasnya pada kanvas. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.
Namun, rahasia kemenangan itu tetap saja bertumpu pada diri Hiddink. Ia selalu rendah hati dan tak banyak sesumbar. Bahkan di saat banyak orang meramal Belanda akan mudah melewati Rusia, Hiddink tetap merendah. “Saya rasa, Belanda masih jauh,” katanya. Ia seakan menyindir pasukan oranye yang tergesa-gesa di babak penyisihan dan tidak cakap mengatur ritme permainan. “Belanda masih di seberang jembatan,” lanjutnya. Ia melihat setitik kepongahan serta sikap hidup yang seakan sudah berada di atas awan kemenangan, padahal perjalanan masih sungguh jauh demi mengenggam gelar juara. Ia sesungguhnya hendak mengatakan terlalu dini jika kejuaraan sudah berakhir hanya dengan berpatokan pada babak penyisihan. Ia menjadikan rasa rendah hati sebagai senjata ampuh baginya untuk memenangkan pertandingan. Kerendahan hati itu tak jauh begitu saja dari langit. Kerendahan hati itu adalah buah yang dipetik dari pengalamannya selama bertahun-tahun ditempa di lapangan sepak bola. Ia memahami bahwa bola bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang pemain maupun pelatih. Bola adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan.
Dan kesiapan memasuki panggung itu, tak perlu digembar-gemborkan. Kerendahan hati di sini adalah “kunci” dari semuanya. Khususnya dalam hal memanfaatkan “waktu”. Sepakbola tak harus dipandang sebagai “pemain-pemain yang berlari-lari.” Tapi sekaligus juga bermain-dalam- “diam”,--yang bagi Guus Hiddink disebut sebagai “mengambil-posisi” alias: positioning. Jadi, bukan soal berlari sebanyak-banyaknya, yang membuat seorang pemain jadi maestro. Tapi bagaimana justru otot bergerak, sambil intuisi dan naluri serta otak, membuat seluruh lini lapangan menjadi “panggung” keindahan. Si pemain tiba-tiba bermetamorfosis menjadi “seniman”. Penonton dan lapangan hijau kemudian menjadi momen upacara bersama, di mana sarkasme kalah menang, takluk di bawah “daulat” upacara bersama itu.
Sekitar 13 tahun yang lalu, di tahun 1995, Hiddink sudah menjadi pelatih hebat. Ia pernah mengunjungi Van Basten yang saat itu tengah bergulat dengan cedera dan memutuskan meninggalkan panggung sepak bola yang telah membesarkan namanya. Hiddink membesarkan hati pria yang pendiam itu. Dia meramalkan Basten akan menjadi pelatih yang sangat berkelas. "Dia akhir kariernya, saya dekati dia dan menasihatinya untuk menjadi pelatih. Dia merasa tak yakin bisa melakukannya. Namun, dia berubah pikiran dan kini dia menjadi salah satu pelatih berkelas," pujinya.
Semalam, rona sedih memancar di wajah Basten. Hiddink datang berjabat tangan sambil memegang kepala Basten. Ia berbisik, sebagaimana bisikan pelatih Kroasia Steven Billic. Sehari sebelumnya,–yang juga kalah di perempat final—mengatakan matahari masih akan bersinar terus. Hiddink juga memibisikkan kalimat itu kepada Basten yang bersedih. “Bukankah bunga tulip masih akan mekar?”….
Makassar, 22 Juni 2008, Pukul 06.00 wita
(saat sedih karena kekalahan Belanda)
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com