Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Dunia Aktivis, Dunia Kebohongan


SAYA agak stres bekerja dengan teman-teman mahasiswa ataupun para mantan aktivis. Mereka tak pernah bisa menghargai waktu dan suka menggampangkan keadaan. Jika diberi target, mereka akan menganggap remeh target tersebut dan pikirannya selalu mau menggampangkan sesuatu. Mereka suka mengerjakan tugas pada detik terakhir dari target yang diberikan, kemudian suka mencari alasan (apologi), tanpa berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya.

Dunia aktivisme itu ternyata tidak banyak mengajarkan apa-apa selain dari kelelahan berpikir (seolah-olah besok akan kiamat), sikap pongah, serta ambisi untuk selalu mencari jalan pintas. Dunia aktivis kemahasiswaan hanya mengajarkan orang sedikit kebanggaan karena merasa dekat dengan pejabat A atau pejabat B. Lihat saja gaya bicara para aktivis mahasiswa. Seakan-akan merasa bangga ketika menyebut nama presiden seolah-olah presiden itu adalah temannya sendiri. Ketika menyebut menteri atau panglima TNI seolah-olah sangat dekat dan membanggakan kedekatannya itu.

Siapa bilang dunia ini mengajarkan intelektualitas? Tidak. Kalau tak percaya, coba hitung berapa banyak intelektual yang dulunya aktivis. Pasti sangat jarang. Atau coba cek ke mana para aktivis yang dulunya vokal. Pasti, mereka jadi politisi dan tidak jadi intelektual. Kalaupun ada yang jadi intelektual, pastilah jumlahnya bisa dihitung jari. Sedangkan sebagian besar dari mereka akan menjadi calo baik calo politik maupun calo pasar. Makanya, tak banyak aktivis yang benar-benar cerdas. Mereka sok cerdas. Mereka hanya berani ketika memaki-maki seorang pejabat atau akademisi yang berseberangan pendapat dengannya. Diskusi yang dihadiri para aktivis, pasti kacau dan heboh kayak kelas TK sebab mereka akan berteriak-teriak kalau tidak diberi kesempatan bicara, memaksakan bahwa pendapatnya yang paling benar, dan tidak siap dengan perbedaan pendapat.

Dunia aktivisme mahasiswa sesungguhnya tidak mengajarkan apa-apa. Dunia itu hanya mengajarkan sedikit kepongahan karena merasa hebat dan punya banyak peran bagi perubahan masyarakat. Dengan sering melakukan demonstrasi, seolah-olah mereka adalah pahlawan yang harus diperlakukan secara khusus dan istimewa. Padahal, mereka tak melakukan apa-apa selain dari berteriak-teriak dalam pesta demonstrasi (kemudian minta bayaran pada pemesan demo). Usai demo, mereka merasa cukup puas ketika media massa memuat foto atau berita tentang aksinya. Kalau media tidak memuatnya, maka mereka lalu anarkis, membakar mobil polisi biar semua media memuatnya. Mereka merasa keren ketika membakar mobil polisi atau memecahkan kaca di kantor pemerintah. Mereka merasa sudah hebat ketika berhasil memacetkan jalan raya dan membuat banyak orang susah.

Dunia aktivis adalah dunia penuh intrik, dunia penuh hipokrit, dunia penuh kebohongan. Makanya, mantan aktivis susah bekerja dalam satu sistem. Mereka merasa dirinya paling hebat. Saya stres kalau bekerja dengan mereka. Selalu pintar cari alasan di tengah ketidakbecusannya mengurusi hal-hal yang sepele.(*)

Makassar, 28 Juni 2008
(saat sedang stres)


Sandra Dewi, Cantik, Putih dan Ohhhhh…..



HANYA ada beberapa kata untuk mengatakan artis Sandra Dewi yang tengah naik daun. Ia cantik, putih, genit, aduhai, dan ohhh…… Kata-kata terlalu miskin untuk menggambarkan cantiknya. Setiap kerling dan senyumnya langsung menghadirkan desir aneh dalam diriku. Setiap kali ia menangis, saya tiba-tiba ikut geram dan ingin menjadi hero dan melawan lelaki jahat yang membuatnya demikian. Dan setiap bahagia, selalu saja ada rasa aneh yang menjalari hatiku hingga kian betah menyaksikannya berlama-lama.

Busyettt!!! Apakah saya jatuh cinta padanya? Entahlah. Belakangan ini, saya kelewat sering menyaksikannya tampil di televisi. Saya bisa puyeng dan mabuk cinta. Bagiku, Sandra Dewi punya kecantikan yang khas sebagaimana anak negeri. Di banding banyak artis lainnya yang separuh Eropa dan kalau berbicara dicampur dengan aksen asing (misalnya kalau menyebut kata becek dengan beychek), maka Sandra justru sangat Indonesia. Memang, ia punya wajah oriental atau kecina-cinaan. Tapi, bukankah wajah seperti itu sudah ada dalam khasanah kultural bangsa ini sejak lama dan didengungkan dalam berbagai teks kuno? Bahkan lontara atau kitab kuno orang Bugis –yang terbuat dari daun lontar-- menyebut kata cantik dengan kata mattappa cina atau berwajah seperti orang Cina. Artinya, wajah itu sangat khas dan bersifat kultural dan sejak dulu sudah menjadi khasanah kekayaan negeri ini.

Ditambah dengan fakta bahwa ia berasal dari Pangka Pinang, di dekat kota Palembang. Palembang adalah pemukiman yang didirikan orang Cina dan berasal dari kata Po Lim Pang yang –kalau tak salah—dibangun oleh murid Laksamana Cheng Ho. Apalagi, ia berasal dari latar keluarga yang secara ekonomi termasuk golongan menengah ke bawah yang datang ke Jakarta demi mencari peruntungan nasib. Dengan berbagai fakta tersebut, kian bertambah rasa simpatiku pada Sandra Dewi.

Mungkin saya agak berlebihan. Mungkin saya sudah menjadi korban media yang dengan sukses telah menanamkan imaji terhadap seseorang. Cara berpikir dan kesukaan saya pada sesuatu telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga saya ikut larut di dalamnya. Saya tahu bahwa Sandra Dewi itu produk televisi dan media massa, namun saya merasa suka dan senang memandang wajahnya. Saya tahu bahwa semua teori cultural studies akan mencibir dengan tindakan saya ini, namun rasa-rasanya saya lebih memilih berkubang dengan efek media ini ketimbang spekulasi akademis yang hanya bisa bikin pusing. Media memang mengkonstruksi sesuatu, namun saya justru merasa happy dengan konstruksi kultural tersebut.

Meskipun saya tahu bahwa besok lusa, akan hilang rasa suka pada Sandra Dewi. Kelak Sandra akan terhempas oleh artis-artis baru yang datang dengan wajah yang mungkin jauh lebih fresh dan muda. Inilah tabiat pasar yang bisa lembut pada seseorang, namun bisa juga sangat kejam. Sementara saya di sini, tetap senang dengan efek konstruksi kultural tersebut. Malah, saya merasa aneh dengan mereka yang mengusung gagasan media literacy atau melek media. Mereka kurang kerjaan dan tak mau membiarkan gelora hatinya mengalir. Gelora itu ditundukkan oleh spekulasi rasionalitas. Mereka tak tahu rasanya menjadi bahagia dan mengidolakan seseorang. Namun di tengah malam, saya suka berefleksi. Inikah yang disebut hegemoni?

Makassar, 27 Juni 2008


Sejarah Lahirnya Kota Bau-Bau


SAYA ingin bercerita tentang sejarah, khususnya sejarah kotaku, Kota Bau-Bau. Orang yang mendengar kata Bau-Bau membayangkan bau yang busuk atau hal lain yang berkonotasi negatif. Nama ini cukup aneh, padahal sejarahnya cukup unik dan mengandung sejumlah kontroversi. Saya hanya bisa memaparkan satu versi sejarah yang baru-baru ini saya temukan.

Ikhwal lahirnya Kota Bau-Bau bisa dilacak sejak kedatangan empat imigran pertama di Tanah Buton yang berasal dari Johor yang disebut Mia Patamiana di akhir abad ke-13. Saat datang, mereka menetap di sepanjang pesisir Pantai Bau-Bau, kemudian pindah beberapa kilometer ke pebukitan, pada daerah di mana Benteng Keraton sekarang berdiri. Setelah itu, kawasan itu dijadikan tempat tinggal oleh sejumlah penduduk dan semakin ramai sejak kedatangan Raja Bone bernama Arung Palakka ke tanah Buton bersama sejumlah bangsawan Bone pada bulan Desember 1660.

Arung Palakka hendak meminta perlindungan kepada Sultan Buton dari ancaman Gowa. Arung Palakka datang bersama sembilan arung mattola (pangeran) dari Soppeng dan Bone. Antara lain: Arung Billa, Arung Appanang, Arung Belo, Arung Pattojo, dan Arung Kaju. Usai perjanjian Bungaya dan kekalahan Gowa, sejumlah bangsawan Bone dengan latar etnis Bugis memilih menetap di Buton sebagai warga sebab dirasanya aman ketimbang Sulawesi Selatan yang penuh konflik.

Kondisi politik di Sulawesi pada periode abad ke-17 sampai awal abad ke-20 ditandai oleh terjadinya konflik internal antar kerajaan di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa dengan Bone. Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa dan Bone) dengan Belanda dan Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi Tenggara, khususnya Buton menjadi sasaran para imigran dari Sulawesi Selatan karena wilayah ini selain mudah dijangkau, juga karena dianggap aman. Kebanyakan bangsawan Bugis yang datang ke Buton memiliki gelar Andi Bau di depan namanya sebagai tanda kebangsawanan. Selanjutnya, mereka lalu menetap di pinggiran laut pada wilayah dekat pelabuhan demi memudahkan akses mereka untuk berdagang hingga ke Singapura. Berawal dari para banyaknya bangsawan bernama Bau inilah yang kemudian menyebabkan daerah di pinggiran laut dan kali itu disebut Bau-Bau. Jadi, awal kelahiran Kota Bau-Bau, bisa dirujuk sejak tahun 1660.

Persoalan awal pertumbuhan kota ini sangat penting sebagai identitas. Kebanyakan kota di Indonesia mengambil pijakan sejarah untuk melihat awal lahirnya kota dan tidak mengambil patokan pada lahirnya kota berdasarkan dikeluarkannya undang-undang terbentuknya kota tersebut dari pemerintah RI. Misalnya Jakarta yang lahir sejak kemenangan Pangeran Jayakarta atas Portugis, kemudian Ternate yang mengambil momen 700 tahun lalu ketika Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis, kemudian Kota Makassar yang telah ditentukan kelahirannya sejak 400 tahun silam. Namun ini hanya satu versi yang saya interpretasikan setelah membaca beberapa versi sejarah. Semua orang bisa punya versi masing-masing.(*)


Makassar, 27 Juni 2008


Mamaku Datang ke Makassar


SUDAH beberapa hari ini mamaku datang ke Kota Makassar. Meskipun dia agak sakit, namun semangatnya cukup besar. Sebagai guru, ia sedang mengisi masa liburannya dengan cara mengunjungi anaknya di Kota Makassar. Kedatangan mamaku membuat saya harus mengatur ulang semua jadwalku. Saya sekarang lebih banyak di rumah dan menemaninya tentang berbagai hal. Semakin lama berbincang, saya tahu satu hal: saya sayang mamaku dan merasa belum banyak berbuat untuk kebahagiaannya.(*)

Makassar, 27 Juni 2008


Terpaksa Harus Menolak Pekerjaan

BEBERAPA hari yang lalu, seorang senior yang kini menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar, Maqbul Halim, mengajakku terlibat di kegiatan KPU. Ia memintaku menjadi konsultan media dan merancang semua informasi tentang KPU yang akan ditampilkan di media massa. Ia ingin agar saya juga bisa merancang press release kemudian menjadi moderator dalam setiap acara tersebut.

Pendeknya, ia ingin agar saya menjadi konsultan media dan juru bicara KPU Makassar yang sebentar lagi akan menggelar pilkada Kota Makassar. Sebenarnya saya tertarik dengan tawarannya. Namun, saya tidak sepakat dengan ritme pekerjaan yang mengharuskan saya untuk masuk kantor setiap hari hingga bulan November. Kok saya menjadi kayak PNS saja. Di sisi lain, saya juga tidak sepakat dengan jumlah salary yang ditawarkan. Bukannya mau sok materialis, namun konsekuensi yang akan saya tanggung jika menerima pekerjaan itu adalah saya harus rela jika kelak masa studiku tertunda. Rencanaku, bulan Agustus hingga Desember akan saya fokuskan untuk konsentrasi menyelesaikan tesis dan jadi magister. Jika rencana besar itu harus tertunda, maka saya ingin nilainya setara dengan pengorbanan tersebut.

Kemarin, lagi-lagi ada pekerjaan yang datang menghampiriku. Saya ditelepon Mbak Hajar dari Elsim yang memintaku untuk menjadi konsultan media dari seseorang yang akan menjadi kandidat wali kota Makassar. Lagi-lagi saya tidak bisa menerimanya karena masih fokus untuk menyelesaikan studi. Mungkin jika studi ini kelar, saya bisa lebih menyelesaikan beberapa pekerjaan sekaligus. Terlalu banyak investasi yang sya keluarkan untuk studi ini, makanya saya harus fokus untuk menyelesaikannya.(*)

Makassar, 27 Juni 2008


Ely, Ketampanan, dan Tubuh Berbulu

ELY namanya. Mahasiswa berusia 19 tahun dan berasal dari Ambon, Maluku. Fisiknya gempal, kulitnya hitam legam, dadanya bidang, dan rambutnya awut-awutan seperti rambut Bob Marley, penyanyi asal Jamaika yang terkenal itu. Meski tubuhnya agak pendek, namun ototnya cukup besar dan mungkin alasan itu menyebabkan dirinya suka lebih suka mengenakan baju yang menampakkan otot bisepnya yang cukup besar.

Saya mengenalnya sejak tiga tahun lalu, saat ia pertama terdaftar sebagai mahasiswa baru. Waktu itu, saya melihat para mahasiswa baru berdisko dan mengikuti irama musik. Ely sangat menonjol jika dibandingkan dengan yang lain. Gerakannya atraktif dan sangat terlihat kalau ia mahir untuk urusan disko dan joged. Saat kutanya dari mana asalnya, ia menjawab “Ambon.” Saya langsung maklum sebab pemuda Ambon dikenal sangat pandai berdisko.

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang agak lama dengannya. Kami banyak diskusi masalah ketampanan. Saya bercerita bahwa defenisi ketampanan dan kecantikan berbeda-beda di masing-masing kebudayaan. Selama ini, kecantikan sangat identik dengan kulit putih, tubuh kurus, dan rambut lurus. Padahal, di banyak tempat, tubuh seperti itu justru sangat jauh dari ideal. “Waktu diadakan kontes Miss Universe di Afika, banyak perempuan Afrika yang memprotes defenisi cantik tersebut. Mereka bilang, defenisi cantik bagi wanita Afrika adalah tubuh yang gemuk, wajah bundar dan berminyak, serta rambut keriting,” kataku.
Mendengar kalimatku, Ely banyak terdiam dan kemudian mengangguk-angguk. Ia lalu bercerita bahwa di kampungnya tampan dan cantik punya defenisi yang juga agak berbeda. Menurut Ely, defenisi tampan di kampungnya adalah tubuh yang hitam dan berbulu. “Kalau ada cowok yang banyak bulu kaki dan tangannya, maka dibilang ganteng sama orang-orang di kampung,” katanya saat menerangkan. Cowok demikian, kata Ely, menjadi idola gadis-gadis. Makanya, pemuda di kampungnya sangat suka memelihara bulu di tangan dan kaki. Bahkan ketika banyak salon yang menawarkan jasa untuk mencabut bulu kaki, salon tersebut langsung bangkrut.

Lagi kata Ely, kecantikan punya defenisi yang juga berbeda. Kecantikan dalam ukuran warga kampungnya adalah hidung yang mancung. Meskipun sang gadis punya kulit yang kusam dan banyak panu, kalau hidungnya mancung, maka akan dikatakan cantik. “Saya pernah mengenal gadis yang giginya agak mancung (maaf), namun semua orang kampung bilang cantik karena hidungnya mancung kayak film India,” katanya sambil tersenyum.

Bagiku, semua informasi yang disampaikan Ely adalah data kultural yang penting. Ia sedang menyibak fenomena pembakuan defenisi dan konsep yang dimapankan oleh media massa. Ely mengajukan contoh yang menurutku kian menguatkan asumsi bahwa sesungguhnya cara berpikir kita mengalami penyeragaman oleh dunia sosial. Interaksi beragam kebudayaan dalam satu komunitas global ternyata sangat kejam pada berbagai konsep lokal. Bahkan konsep tampan dan cantik di tingkat lokal perlahan digerus oleh defenisi yang dibakukan pada tingkat global. Lantas, apakah selamanya defenisi itu harus kalah? “Saya paham tentang pembakuan itu. Namun saya tidak mau ikut arus. Saya hidup dengan dunia saya sendiri,” kata Ely.

Makanya, Ely memilih hidup nyentrik, ia memilih hidup urakan dan berpenampilan cuek, meskipun ia sesungguhnya berasal dari latar keluarga yang cukup mapan. Dengan cara bepikir dan bertindak demikian, ia sedang melakukan perlawanan pada globalisasi. Hidup Ely!!!!


Makassar, 27 Juni 2008


Anarkisme dan Imajinasi Kolektif Mahasiswa Indonesia

MAHASISWA kembali mengamuk. Jakarta seolah lumpuh total dan macet di mana-mana. Mahasiswa mengepung gedung DPR kemudian berusaha menghancurkan pagar pembatas. Mereka menerjang dan membakar beberapa mobil berpelat merah yang melintas, kemudian bersorak-sorak dan meneriakkan kalimat “hidup rakyat”. Mereka tidak sedang berdemonstrasi. Mereka sedang melawan rezim melalui teriakan dengan tangan terkepal sambil mengenakan kaos bergambar Che Guevara dan lagu-lagu revolusi. “Hanya ada satu kata… LAWAN!!!!!”

Puluhan tahun negeri ini berdiri, namun teriakan ketidakpuasan selalu saja berkumandang. Hingar-bingar perlawanan tak pernah berakhir seiring dengan menjamurnya pengemis yang menadahkan tangan di jalan-jalan dan tangisan lirih orang-orang yang tak sanggup membeli sesuap nasi. ementara penguasa negeri ini selalu saja berdalih kalau apa yang mereka lakukan adalah demi kepentingan rakyat, namun siapa sih sebenarnya rakyat yang mereka wakili? Apakah sejumlah orang kaya di partai politik? Ataukah kroni bisnis yang berharap dapat keuntungan ekonomi karena kedekatannya dengan pejabat?

Anak-anak muda yang sedang mengamuk itu sedang dilanda frustasi. Mereka ingin meninju tembok dengan tangan yang berdarah-darah. Mereka stress karena demonstrasi sudah tidak mampu menggelitik perhatian pemerintah untuk segera berpaling dan merendahkan hati untuk melihat jerit rakyat yang ekonominya semakin terhimpit. Di negeri ini, demonstrasi adalah teriak ramai yang ditanggapi sebagai nyanyi sunyi. Penguasa seakan tebal kuping dan tidak perduli. Meskipun di berbagai penjuru negeri rakyat bunuh diri secara massal, belum tentu kaum penguasa akan berpaling untuk sekedar melirik. Makanya, demonstrasi seolah hanya teriak-teriak yang tidak perlu. Sekali lagi, penguasa masih tebal kuping!!!

Mereka yang masih muda itu menyangka kekerasan adalah salah satu jalan keluar. Ketika demonstrasi tak digubris, maka kekerasan adalah bahasa universal yang sanggup menembus segala lapisan social. Mereka berharap semua orang akan berpaling dan memandang kekerasan yang mereka lakukan, kemudian mencari tahu apa yang sesungguhnya mereka teriakkan. “Maka biarkanlah seluruh anak negeri ini mendengar teriakan kami. Biarkanlah seluruh anak negeri ini merasakan perih yang kami rasakan. Kami tak akan henti berteriak hingga keadilan benar hadir di muka bumi ini.”

Saya mendengar teriakan itu dari seorang demosntran melalui televisi. Teriakannya sangat heroik, namun dampaknya bisa jadi sangat mengerikan. Seakan-akan revolusi akan segera memangsa anak-anaknya sendiri. Saya bisa memahami gejolak samudera semangat mereka. Namun, saya tak pernah bisa memahami mengapa mobil harus dibakar, mengapa jalanan harus maacet, mengapa harus berkelahi dengan polisi. Namun, segalanya terjadi dengan cepat. Seolah-olah, kekerasan adalah bumbu penting dalam meracik demonstrasi. Seolah-olah sebuah demonstrasi harus “heboh” dan bisa membuat semua orang terbelalak kemudian ikut bergerak bersama mahasiswa.

Anak-anak muda itu tengah dibakar angan-angan untuk melakukan revolusi. Mereka memang tidak pernah menyaksikan revolusi Cina yang terkenal dengan strategi desa mengepung kota. Mereka juga tidak pernah menyaksikan bagaimana Rusia bergolak karena pidato yang membara dari Lenin, mereka tak juga menyaksikan ribuan massa yang bergerak bagai air bah ketika Khomeini menggerakkan revolusi

Namun, anak muda itu dibimbing semacam imajinasi yang membuatnya seolah berada di ruang sejarah dan menyaksikan Khomeini atau Lenin tengah berteriak membakar massa. Boleh jadi, mereka yang muda itu pernah membaca baris perlawanan dari Soekarno hingga Karl Marx yang punya kekuatan “membakar” semangat. Mereka dibimbing oleh sebuah imajinasi atau angan-angan untuk segera merubuhkan tatanan melalui revolusi.

Istilah imajinasi atau angan-angan kolektif dijelaskan Appadutai sebagai sesuatu yang sifatnya lintas Negara dan bangsa. Imajinasi bias lahir dari mana saja, mulai dari pamphlet politik, maupun dari iklan sabun colek di pinggir jalan. Hampir semua manusia bergerak karena dibimbing oleh imajinasi tersebut. Ketika penguasa berimajinasi tentang kestabilan dan situasi tenang dan tanpa konflik, namun mereka yang muda itu juga dibimbing oleh imajinasi ketidakstablian dan penghancuran tatanan yang rusak. Semua sama digerakkan oleh imajinasi .....

BELUM SELESAI (Saya keburu ngantuk....)


Orang Buton dan Bius Semangat Eropa

INI adalah gambar Sultan Buton pada awal tahun 1920-an. Bagi saya, foto ini bisa menjelaskan semangat zaman (zeitgeist) pada masa itu yang ditandai dengan ketakjuban pada segala hal yang datang dari Eropa. Periode ini adalah periode ketakjuban terhadap segala atribut yang dikenakan bangsa Belanda. Pertautan dengan modernisasi menyebabkan orang Buton mulai silau dengan kemajuan yang datang dari luar khususnya Eropa.

Foto ini menampilkan sultan yang begitu gagah mengenakan jas ala Eropa, dasi kupu-kupu beserta sepatu, sementara di kiri kanannya berjajar para petinggi Kesultanan Buton yang mengenakan pakaian adat (lihat sultan pada posisi keenam dari kiri). Jas serta dasi kupu-kupu itu menjadi simbol kebanggaan mengenakan pakaian seperti bangsa Eropa. Seakan-akan mengenakan pakaian tersebut adalah mengidentifikasikan diri sebagai bangsa yang lebih maju dan lebih berperadaban.

Busana dan atribut sultan yaitu balahadada seakan diabaikan ketika sultan lebih memilih mengenakan jas. Balahadada seakan menjadi tanda (ikon) dari tradisionalitas, sedangkan jas dan dasi kupu-kupu adalah tanda kemajuan. Ternyata dominasi bangsa asing tidak sekedar mengincar sumber daya alam (resource), melainkan juga membawa imperialisme kebudayaan ketika menjadikan bangsa barat sebagai kiblat kemajuan. Melalui tanda-tanda kemajuan itu, bangsa-bangsa lain harus ditaklukan dan selanjutnya harus memilih jalan sebagaimana yang ditempuh oleh barat. Bagi saya, foto itu bisa menjelaskan semangat zaman: bahwa pertautan dengan modernitas selalu saja mengakibatkan kekalahan bagi komunitas lokal dalam mempertahankan eksistensi kebudayaannya. Ketika bangsa Buton silau dengan berbagai atribut modernitas, maka segala sistem dan pranata nilai perlahan mulai mengabur sebab semua hendak bergerak mengejar nilai-nilai baru.

Sayangnya, adopsi nilai-nilai moderen itu hanya pada aspek life style (gaya hidup) dan tidak pada ranah intelektualitas. Di luar sejumlah karya sufistik dan keagamaan, hampir tak pernah tercatat sebuah prestasi besar di bidang sains atau ilmu pengetahuan moderen. Memang, orang Buton tak harus menjadi pihak yang kalah dalam dialektika dengan bangsa barat, namun setidaknya ada semacam upaya untuk menguasai semua sumber pengetahuan itu, kemudian disintesakan dengan segenap pengetahuan lokal sehingga pengetahuan lokal bisa berdialog secara terbuka. Yang terjadi kemudian adalah secara perlahan-lahan nilai ke-Buton-an memudar sebab berada pada posisi kalah dan digantikan dengan nilai baru yang kelihatan lebih mentereng. Persentuhan dengan modernisasi ini juga tidak diikuti dengan upaya mengadopsi berbagai aspek pendidikan moderen melalui upaya menyekolahkan banyak orang Buton ke luar daerah atau ke luar negeri.

Meskipun ada juga sedikit orang Buton yang menikmati keistimewaan disekolahkan ke luar negeri, namun ini tidak menjadi satu gerakan yang massif untuk menyekolahkan sebanyak-banyaknya orang Buton. Konsekuensinya adalah orang Buton tidak banyak “berbicara” di pentas nasional atau tidak banyak memberi kontribusi ketika terjadi peralihan secara perlahan-lahan dari masa Belanda, Jepang, hingga ke Republik Indonesia. Seakan-akan orang Buton hidup dalam satu ruang hampa sejarah, tanpa mengambil sikap dan peran pada berbagai kejadian besar di negeri ini. (*)


Misteri Tongkat Bung Karno


Majalah Kartini Edisi 1-15 Mei 2008, menurunkan liputan tentang pusaka Bung Karno di Istana Blitar. Salah satunya adalah tongkat komando yang sering dibawa-bawa Bung Karno yang dinamakan bernama La Sangkabala dan disebutkan berasal dari Buton. Saya agak tercengang mendengarkan informasi ini. Seorang teman mengirimkan SMS. Katanya, Presiden pertama RI, Soekarno, adalah turunan ke-16 dari Syaikh Sulaiman atau Haji Padha, salah seorang ulama Buton di masa lalu.

Saya tak mau bersepekulasi dan membahas kebenaran cerita ini. Versi cerita tentang tongkat Bung Karno ini bermacam-macam. Dalam salah satu buku, saya pernah membaca versi yang menyebutkan kalau tongkat itu berasal dari kayu pucang kalak yang hanya tumbuh di Gunung Gede, Jawa Barat. Tampaknya, seorang tokoh sering diiringi dengan mitologisasi di berbagai kebudayaan. Mungkinkah ini adalah strategi dari Soekarno untuk mengintegrasikan berbagai kebudayaan di Indonesia?

Terlepas dari benar tidaknya cerita ini, saya punya analisis: Soekarno berupaya membangun mitologi atas dirinya dalam berbagai kebudayaan demi membangun integrasi kultural atas wilayah Indonesia yang sangat luas dan beragam kebudayaannya. Dalam hal ini, ia enteng saja mengklaim tongkatnya berasal dari Buton dan membiarkan semua spekulasi tentang keturunannya demi membangun satu bentuk pertautan dengan elemen kultural yang ada di satu tempat. Dalam hal tongkat, ia mengaku berasal dari Buton, namun dalam hal lainnya, ia akan mengaku hal yang berbeda. Di zaman ketika militer Indonesia belum kukuh, ia sanggup menemukan perekat yang lain sehingga dirinya bisa diterima di mana-mana. Dan itulah salah satu kelebihannya.(*)


Ilmuwan Sosial yang Hanya Bisa Memamah Biak Teori

TADI siang, saya mengikuti sidang seminar salah seorang pengajar yang hendak menjadi doktor. Menurutku, presentasinya tidak begitu menarik sebab di sana-sini terjadi pengulangan ide (redundancy). Meskipun risetnya diniatkan kualitatif, namun observasi partisipatoris serta depth interview hanya disinggung sambil lalu. Beliau lebih banyak memaparkan tinjuan pustaka serta penguasaannya pada berbagai teori sosial.

Saya tidak begitu antusias mengikuti presentasinya. Tak begitu menarik. Saya melihat ada yang salah terhadap logika dan cara berpikir kebanyakan ilmuwan Indonesia. Kebanyakan mereka hanya berpikir dari umum ke khusus, tanpa mengamati realitas dengan baik kemudian menemukan pola-pola, dan selanjutnya mengkonstruksi sebuah teori. Maksudnya adalah mereka selalu memulai tulisan dari gambaran yang sifatnya makro, kemudian melihat hal yang mikro. Ini kan, sama saja dengan memaksakan suatu teori pada kenyataan. Seolah-olah riset hanya bertujuan untuk menguatkan atau menunjukkan cacat sebuah perangkat teoritis.

Apakah ada yang salah dengan cara berpikir demikian? Tak ada salahnya. Namun, cara berpikir ini punya implikasi yang cukup serius. Pertama, dengan banyak mengutip teks dan teori asing, maka ilmuwan sosial kita hanya menjadi “pemamahbiak” dari berbagai teori asing, tanpa membangun karakter sendiri. Maksudnya adalah mereka hanya menjadi pengutip sejati, tanpa membangun hipotesis teoritik yang bisa menjelaskan realias. Lagian, ini kan cara berpikir yang otoritarian yang sangat angkuh pada suara subyek penelitian yang sudah dibungkam hingga voiceless. Kedua, mereka justru memaksakan realitas sesuai dengan teori. Seorang peneliti tidak lagi setia dengan disiplin ilmiah atau intellectual curiosity, namun lebih percaya teori ketimbang merasakan langsung denyut nadi sebuah realitas. Ketiga, cara berpikir demikian membuat posisi peneliti sedemikian otoritatif sehingga peneliti menjadi mahluk yang paling sakti dalam menjelaskan satu kenyataan social. Dalam skala yang lebih jauh, peneliti seakan membisukan realitas yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah sebuah hubungan yang otoritarian. Peneliti seolah menaklukan realitas dengan kuasa pengetahuannya.

Masih banyak celah yang saya lihat. Tapi, saya capek dan mau tidur. Zzz…zzz…

Menghapus Sedih di Wajah Van Basten

Marco Van Basten


BELANDA kalah. Lonceng bergemuruh bertalu-talu di jantung kota Leningrad merayakan sukses negeri Beruang Merah menghempaskan Negeri Kincir Angin. Belanda, tim yang di babak penyisihan memiliki prestasi fenomenal itu, seakan tak berdaya dan sedang belajar berlari ketika anak bawang Rusia sedang belajar bagaimana menorehkan sejarah di pentas Eropa. Tarian menggocek bola dan keindahan formasi yang laksana bunga tulip dari anak-anak turunan Jan Pieterszon Coen itu sontak memudar ketika ditantang skenario apik dari maestro bola Gus Hiddink.

Saya termasuk orang yang tertegun menyaksikan itu. Di tengah hingar-bingar acara nonton bareng di Kota Makassar, saya tiba-tiba merasa kesepian. Selama beberapa saat, saya hanya bisa mematung dan tak bisa berkata-kata. Saya memang pendukung fanatik Belanda dan minggu lalu telah membeli baju kaos tim Belanda dan kukenakan dalam setiap acara nonton bareng. Kekalahan tim ini membuat saya terhenyak. Saya sepi. Ternyata, di sekelilingku banyak juga yang sepi dengan raut wajah sedu-sedan. Betapa tidak, sebuah tim yang menghentak sejak awal kompetisi, tiba-tiba harus jatuh terkapar sebelum puncak pergelaran pesta akbar tersebut berakhir. Sebuah tim yang memesona dunia dengan permainan apik khas total football dan sukses melumat Perancis dan Italia, seakan rontok ketika tim Rusia datang dengan pola yang sama.

Bola sungguh menunjukkan rigoritas kuasanya: Manusia tak bisa memastikan kemenangannya. Di sini jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan. Persis, seperti dikatakan Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya. Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.” Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitasnya. Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib ini, bola mengharuskan mereka mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas manusia itu.

Di ajang Piala Eropa ini, nujuman Bloch seakan mengejawantah pada tim Belanda. Spektakuler di awal laga penyisihan, namun terkapar justru di titik sebelum titik akhir. Mereka jatuh justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi kincir angin dan bunga tulip yang menjadi darah tim Belanda. Saya menyaksikan rona sedih terpancar di wajah Van Basten. Ia terhenyak dan sesaat kemudian berdiri dan datang menyalami sang guru Gus Hiddink. Usai salaman, Hiddink sempat memegang kepala Basten sembari tersenyum. Drama persaingan dua pelatih asal Belanda itu menemui puncaknya. Van Basten, lelaki kelahiran Uttrecht itu, harus banyak belajar pada ketenangan dan perencanaan yang sistematis dari Hiddink. Dua hal inilah yang menjadi rahasia Hiddink dlam meramu tim. Meski tak menampik, namun Hiddink justru menjawab lain. Ia menyebut tiga faktor yaitu taktik, teknik, dan fisik. "Saya tak tahu seberapa jauh kami melakukan persiapan intensif sejak dihajar Spanyol 1-4. Biasanya, Belanda sulit dikalahkan dalam hal taktik, teknik, dan fisik. Tapi, kami mampu mengalahkan mereka dalam tiga hal tersebut," jelas Hiddink.

Itu adalah kata-katanya. Rusia memang menggila. Meski terseok-seok di awal kompetisi, Rusia sanggup membalikkan situasi dan memenangi laga yang sungguh prestisius itu. Mereka punya semangat untuk menang. Mereka bermain dengan tanpa beban. Mereka bermain bola laksana merpati yang lepas dan membumbung tinggi. Mereka bermain dengan bahagia dan riang sebagaimana seorang bocah yang bermain di taman. Laksana pelukis yang tenang ketika menggoreskan kuasnya pada kanvas. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.

Namun, rahasia kemenangan itu tetap saja bertumpu pada diri Hiddink. Ia selalu rendah hati dan tak banyak sesumbar. Bahkan di saat banyak orang meramal Belanda akan mudah melewati Rusia, Hiddink tetap merendah. “Saya rasa, Belanda masih jauh,” katanya. Ia seakan menyindir pasukan oranye yang tergesa-gesa di babak penyisihan dan tidak cakap mengatur ritme permainan. “Belanda masih di seberang jembatan,” lanjutnya. Ia melihat setitik kepongahan serta sikap hidup yang seakan sudah berada di atas awan kemenangan, padahal perjalanan masih sungguh jauh demi mengenggam gelar juara. Ia sesungguhnya hendak mengatakan terlalu dini jika kejuaraan sudah berakhir hanya dengan berpatokan pada babak penyisihan. Ia menjadikan rasa rendah hati sebagai senjata ampuh baginya untuk memenangkan pertandingan. Kerendahan hati itu tak jauh begitu saja dari langit. Kerendahan hati itu adalah buah yang dipetik dari pengalamannya selama bertahun-tahun ditempa di lapangan sepak bola. Ia memahami bahwa bola bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang pemain maupun pelatih. Bola adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan.

Dan kesiapan memasuki panggung itu, tak perlu digembar-gemborkan. Kerendahan hati di sini adalah “kunci” dari semuanya. Khususnya dalam hal memanfaatkan “waktu”. Sepakbola tak harus dipandang sebagai “pemain-pemain yang berlari-lari.” Tapi sekaligus juga bermain-dalam- “diam”,--yang bagi Guus Hiddink disebut sebagai “mengambil-posisi” alias: positioning. Jadi, bukan soal berlari sebanyak-banyaknya, yang membuat seorang pemain jadi maestro. Tapi bagaimana justru otot bergerak, sambil intuisi dan naluri serta otak, membuat seluruh lini lapangan menjadi “panggung” keindahan. Si pemain tiba-tiba bermetamorfosis menjadi “seniman”. Penonton dan lapangan hijau kemudian menjadi momen upacara bersama, di mana sarkasme kalah menang, takluk di bawah “daulat” upacara bersama itu.

Sekitar 13 tahun yang lalu, di tahun 1995, Hiddink sudah menjadi pelatih hebat. Ia pernah mengunjungi Van Basten yang saat itu tengah bergulat dengan cedera dan memutuskan meninggalkan panggung sepak bola yang telah membesarkan namanya. Hiddink membesarkan hati pria yang pendiam itu. Dia meramalkan Basten akan menjadi pelatih yang sangat berkelas. "Dia akhir kariernya, saya dekati dia dan menasihatinya untuk menjadi pelatih. Dia merasa tak yakin bisa melakukannya. Namun, dia berubah pikiran dan kini dia menjadi salah satu pelatih berkelas," pujinya.

Semalam, rona sedih memancar di wajah Basten. Hiddink datang berjabat tangan sambil memegang kepala Basten. Ia berbisik, sebagaimana bisikan pelatih Kroasia Steven Billic. Sehari sebelumnya,–yang juga kalah di perempat final—mengatakan matahari masih akan bersinar terus. Hiddink juga memibisikkan kalimat itu kepada Basten yang bersedih. “Bukankah bunga tulip masih akan mekar?”….


Makassar, 22 Juni 2008, Pukul 06.00 wita
(saat sedih karena kekalahan Belanda)
www.timurangin.blogspot.com
www.yusrandarmawan.multiply.com

Beratnya Menanggung Beban Kultural

SETIAP orang menanggung beban kultural untuk menjadi orang penting. Setiap orang menginginkan berada pada puncak tertinggi dari strata sosial masyarakat. Setiap orang menginginkan bisa berdiri di titik atas, kemudian memandang yang lain dengan pandang sebelah mata, atau memaksa yang lain untuk melayani sembari menjilati telapak kaki demi mendapatkan belas kasihan. Olehnya itu, banyak orang yang akan belajar dan berusaha keras demi menggapai titik yang selalu diidam-idamkan tersebut. Banyak orang yang menghabiskan masa muda untuk tumbuh di lembaga pendidikan dan berupaya melicinkan jalan menuju bahagia.

Sejak masih kecil, setiap orang Indonesia seakan memanggul harapan untuk menjadi orang terpandang dan sukses di mata masyarakat. Sejak kecil, seorang anak sudah diazani di telinga kanan agar kelak dirinya bisa menjalani hidup sesuai norma agama yang diyakini sebagai jalan yang lurus dan ideal dijalani. Kemudian pada umur seminggu dibuatlah acara aqiqah (potong rambut) dan kemudian datang banyak orang demi mendoakan keselamatan serta kemaslahatan. Setelah berumur lima tahun, digelarlah sunatan agar anak tersebut memahami akan nilai yang seharusnya dijalani. Semua nilai itu telah menjadi koridor penjara yang kadang harus dilewatinya dengan selamat, jika ingin mendapatkan respek dari dunia sosial.

Berbagai mitos dan dongeng yang dituturkan kepada anak kecil, kebanyakan bertemakan kisah para raja dan aristokrat yang menjadi penguasa dan beristrikan gadis cantik seperti bidadari. Semua orang ingin seperti raja-raja yang punya kastil besar serta didalamnya ada banyak pelayan yang siap menjalankan perintah, meskipun perintah itu disampaikan melalui petikan jari atau kedipan mata. Mitos dan dongeng selali mengisahkan mereka yang menjadi bangsawan serta dengan seenaknya memperbudak yang lain. Seolah-olah, itulah gambaran ideal yang harus dicapai seorang manusia. Mitos dan dongeng tersebut telah menjadi kompas dan navigasi seseorang untuk menggapai mimpi. Sayang, tak semua memiliki amunisi serta senjata yang sama untuk mengalahkan logika jaman.

Artinya, setiap orang adalah budak dari dunia sosial --yang dengan sewenang-wenang—telah mengkonstruksi apa yang baik dan tidak baik untuk dijalani. Dunia sosial itu jualah yang telah menyematkan harapan di bahu hampir semua anak Indonesia agar kelak anak tersebut bisa menjadikan harapan itu sebagai tujuan. Sejak kecil, hampir semua orang sesungguhnya sudah kehilangan kemerdekaan sebab pilihannya ke depan telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh dunia sosial. Ketika tindakan seseorang menjauh dari titik ideal itu, maka sejumlah instrumen normalisasi mulai dari prosedur hukuuman hingga sanksi dijatuhkan kepada orang tersebut sebagai tanda bahwa dirinya telah menyamping. Tanda bahwa dirinya telah liar dari tujuan sosial.

Tak hanya itu. Untuk mendisiplinkan segala prilaku manusia, dunia sosial kemudian membangun banyak infrastruktur dan mekanisme pendisplinan prilaku seperti sekolah, perpustakaan, hingga lembaga pendidikan. Semuanya menawarkan mimpi dan ilusi kemajuan. Seolah-olah, menghabiskan waktu di lembaga tersebut adalah langkah tepat untuk mendaki tangga impian. Namun apakah benar demikian? Saya kira tidak selalu benar. Tingginya fenomena bunuh diri dan stres di banyak tempat menjadi lonceng yang memberi tanda bahwa antara ekspektasi (pengharapan) dan pencapaian tidaklah selalu berjalan seiring. Antara pengharapan dan takdir pencapaian tidak selalu kompak dan saling mempengaruhi. Makanya, mereka yang tidak siap menghadapi kenyataan (realitas), harus siap-siap menuai kekecewaan. Dunia sosial tidaklah berjalan seperti logika Aladin yang mengusap lampu wasiat kemudian keluar jin yang mengabulkan semua permintaan. Tidak juga seperti Cinderella yang sabar menunggu peri dan menyihirnya menjadi putri istana.

Dunia sosial tidaklah demikian. Dunia sosial punya tabiat sendiri yang kadang sngat sukar dipahami. Dunia sosial meniscayakan kompetisi sehingga setiap orang harus melakukan berbagai cara demi keluar hidup-hidup dari arena kompetisi. Sebagaimana galibnya hukum alam, kompetisi selalu berujung pada logika menang dan kalah. Muistahil semuanya menjadi pemenang. Pada titik inilah kita bisa memaknai mengapa banyak orang yang jadi pecundang (looser).

Dalam berbagai kebudayaan, kesuksesan di ranah kompetisi dunia sosial menjadi indikator untuk membangun perbedaan status di masyarakat. Pelapisan sosial masyarakat kita, masih belum bisa keluar dari dua kategori yaitu logika oposisi biner kaya dan miskin atau bangsawan dan rakyat jelata. Status kaya atau kebangsawanan (ningrat) adalah kategori yang bersifat genetis atau turun-temurun. Seseorang yang terlahir di tengah keluarga bangsawan, tak membutuhkan upaya dan kerja keras untuk menyandang status bangsawan tersebut. Sedangkan kepemilikan material terkait seberapa banyak kekayaan yang dimiliki seseorang. Meski seseorang bukan bangsawan, namun kekayaan yang banyak akan menempatkan dirinya pada posisi yang istimewa di masyarakat.

Seiring dengan gerak zaman dan leburnya berbagai otoritas tradisional, status ningrat itu seakan menabur pada masyarakat tertentu. Seorang pejabat, tiba-tiba menjelma menjadi bangsawan baru yang menuntut penghormatan berlebih. Yah, seperti itulah kecenderungan pelapisan sosial masyarakat kita. Jika bukan hal yang bersifat genetis atau turun-temurun, maka tentunya faktor kekayaan. Begitu kasihannya masyarakat kita. Sejak kecil, sebagian besar dari mereka sudah dibebani dengan citraan-citraan tentang orang penting. Setiap anak seakan-akan menanggung beban kultural dari orang tua serta lingkungannya untuk menjadi orang terpandang atau orang sukses. Ketika niat menjadi orang terpandang itu tidak terpenuhi, maka seorang tua akan merasa gagal dan dirundung sedih, malah ada yang depresi hingga meninggal dunia.(*)

Sekeping Ingatan di Kampus Unhas

LAMA juga saya tidak mengisi blog ini. Sudah hampir tiga minggu saya berada di Kota Makassar, demi menuntaskan kerinduanku pada setiap inchi memori yang tertata rapi di kampus ini. Meskipun saya pernah tinggal di kota ini sudah cukup lama, namun kedatanganku kali ini masih saja menghadirkan keterkejutan saat menyaksikan fisik kota yang terus berubah. Saya suka kaget melihat banyak hal yang baru dan meriah, khususnya di Tamalanrea. Dan di saat bersamaan, saya selalu rindu dengan angan-angan masa silam, masa silam yang sunyi senyap, namun romantis..

Dulunya, kampus Unhas yang terletak di kawasan Tamalanrea merupakan kawasan pendidikan yang sunyi. Pusat kota Makassar hanya sampai di Tello, sekitar tiga kilometer dari Tamalanrea. Jika naik kenderaan umum (pete-pete) dari Pasar Sentral, memasuki Tello maka jalanan sudah sunyi senyap. Dan di kiri kanan, pemandangan yang tampak hanyalah padang alang-alang dan rumput. Memang, ada satu atau dua bangunan seperti kampus UIM (dulunya merupakan kampus STP AL Ghazali), namun bangunan itu tidak banyak sehingga tak banyak pemandangan gedung atau rumah hingga mencapai kampus Unhas.

Saya cukup lama tinggal di kawasan pondokan di Jl Perintis Kemerdekaan 8. Jalan ini terletak di depan kantor Dinas Pendidikan (dulunya bernama Depdikbud) atau tepatnya di jalan menuju perumahan dosen Unhas. Saya tinggal bersama kakakku pada pondokan yang diberi nama nama Pondok King. Di depannya ada pondok putri yangbernama Pondok Kong. Sementara di samping pondokku, ada pondokan putra bernama Pondok Kreatif. Hampir semua pondokan di kawasan itu, memiliki nama-nama yang unik. Mungkin ini adalah cara agar nama pondok itu lebih mudah diingat.

Pada malam hari, di kawasan tempat tinggalku masih kerap terdengar bunyi katak yang menggerung serta desir angin yang melintas di sela-sela dedaunan. Ketika hari beranjak malam, saya kadang diselimuti ketakutan. Rerimbunan pohon dengan daun yang rapat, serta jarak pondokan yang jauh dari jalan raya, telah menambah derajat kekhawatiranku jika terpaksa harus meninggalkan rumah. Masyarakat sekitar kampus, masih percaya dengan mitos seperti setan atau hantu --yang konon katanya-- selalu mengitari kawasan sekitar kampus demi menakut-nakuti semua warga. Bagi saya, semua ingatan itu sungguh romantis dan meninggalkan kesan yang dalam.

Di tengah suasana malam yang gelap itu, saya melewati hari sebagai mahasiswa. Saat ke kampus, saya kadang-kadang jalan kaki dan “memotong jalan” melalui Kantor Diknas. Dulunya, kantor diknas tidak dipagari tembok sehingga jika lewat di sampingnya hingga ke belakang, kita bisa langsung smpai di danau Unhas. Nah, di danau itu, dulunya ada jembatan yang melewati danau dan menghubungkan gedung GPA dengan kantor diknas.

Dulunya, wartel hanya ada satu yaitu Wartel Jayanti. Kalau tak salah, jumlah teleponnya hanya sekitar 10 buah. Di malam hari, wartel ini sungguh ramai. Sebagian besar warga pondokan datang ke wartel ini demi menggunakan fasilitas telepon. Pada jam 22.00 wita, keramaian di wartel mencapai puncaknya, sampai-sampai banyak yang ngantri pada kursi yang lebih banyak tidak muatnya.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Kampus Unhas sudah rimbun dengan berbagai rumah toko (ruko) serta menjelma menjadi kawasan bisnis baru. Jumlah 26 ribu civitas academica, ternyata dilihat sebagai peluang bisnis oleh sejumlah investor sehingga perubahan bergerak bagaikan seseorang yang sedang berlari. Tamalanrea secara perlahan telah bergegas menjadi kawasan komersial. Barisan etelase bisnis seakan memaksa semua mahasiswa dan civitas academica agar menjadi kaum konsumtif yang setiap harinya selalu mencari pemenuhan hasrat konsumtif. Sekeliling kampus sudah tidak sunyi seperti dulu. Tidak lagi terdengar suara katak yang menguak di tengah pekatnya malam. Kawasan ini sudah hingar-bingar dan bising dengan deru kenderaan. Saya merasa kehilangan.(*)

20 Juni 2008