DI antara semua kandidat yang maju bertarung di
pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta, Anies Baswedan adalah kandidat
yang telah lama memikat semua media. Sejak mendapatkan gelar doktor dari
Northern Illinois University (NIU) di Amerika Serikat, Anies adalah sosok yang paling
memahami kekuatan media, lalu memaksimalkannya untuk menjadi senjata pemenangan
dalam setiap momen politik. Dia pandai memilih diksi, kalimat, serta untaian
kata yang memikat, bisa membuat orang lain berkata “yes” lalu menjadikan
dirinya sebagai idola baru. Ia seorang pemenang dalam banyak palagan peperangan
gagasan.
Namun arena pilkada DKI diprediksi banyak orang
tidaklah semulus palagan yang sebelumnya ditandainya dengan bendera kejayaan. Kiprah
dan track-record-nya akan menjadi
sorotan publik. Ia juga mesti bekerjasama dengan sosok-sosok yang dahulu pernah
dipetakan kekuatannya, lalu dicegat di banyak lini. Dia juga harus berhadapan dengan
banyak penumpang gelap yang mengunggangi isu SARA demi merobek tenunan
kebangsaan yang lama dirajutnya. Dalam banyak sisi, Anies justru terlihat diam
saja demi menjaga irama tim dan keutuhan orang dan partai yang mendukungnya. Ia
meniti di antara idealisme dan oportunisme politik.
Bisakah Anies memenangkan duel di arena dengan
mengandalkan para panglima yang dahulu pernah digempurnya habis-habisan?
Bisakah ia menjadi sosok pemenang di satu arena pilkada yang serupa pilpres? Marilah
kita mengkalkulasi pergerakan spin doctor yang selama ini mengendalikan citra
Anies. Marilah kita menelaah Anies dengan hati riang gembira.
***
SEBUAH buku terkirim ke rumah saya. Buku itu
berjudul Kilasan Setahun Kinerja
Mendikbud, November 2014 – November 2015. Buku itu memuat bagaimana kiprah
dan jejak yang ditorehkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
di bawah pimpinan Anies Baswedan. Isinya menarik. Kalimat-kalimatnya ringkas,
padat, dan jelas. Gambar-gambarnya juga eye
catching.
Buku ini menjadi penanda betapa banyaknya
hal-hal yang telah dilakukan Anies. Ia menjadikan pendidikan sebagai satu
bidang yang seharusnya menjadi perhatian banyak orang. Dahulu, pemerintah
menjadi satu-satunya aktor yang mengurusi pendidikan. Anies mengundang
partisipasi banyak orang, termasuk orang tua, masyarakat, bahkan berbagai organisasi
guru.
Buku ini serupa kaleidoskop yang membahas
apa-apa yang sudah dilakukan, dan apa-apa yang akan direncanakan. Sebagai orang
awam, saya bisa mendapatkan gambaran ke arah mana kapal bernama pendidikan
Indonesia hendak digerakkan. Tim media Anies bisa mengemas kerja-kerja Anies
menjadi sedemikian menarik dan penting, sekaligus informatif bagi banyak
kalangan.
|
buku yang memuat kinerja Anies Baswedan |
Memang, kerja-kerja Anies belum seberapa terlihat.
Kerjanya lebih banyak meletakkan landasan kuat untuk masa depan. Barangkali ia
meniatkan kerja itu hasilnya bisa segera dipanen dalam waktu satu periode. Dalam
satu diskusi di Kompasiana, saya mendengar langsung kalimatnya bahwa
kerja-kerja pemerintah di bidang pendidikan ibarat memutar kemudi satu kapal
tanker berukuran raksasa. “Biarpun anda lama memutarnya, kapal belum akan
bergeser. Anda butuh kesabaran untuk terus memutar kemudi, hingga kapal itu
benar-benar berputar,” katanya. Sayang, ia hanya menjabat setahun sebagai
menteri.
Saya mengenal baik beberapa staf khusus yang
membidani lahirnya karya ini. Beberapa bulan sebelumnya, saat Anies masih
menjabat sebagai menteri, saya pernah berkunjung ke ruang kerja staf khususnya
di gedung kementerian. Saat itu, saya diminta seorang staf khusus untuk
memberikan pelatihan bagi tim social
media Anies agar lebih berdaya dalam mengolah beragam informasi dan
mengubahnya dalam berbagai format.
Meskipun pelatihan itu urung digelar karena
kesibukan saya di tempat kerja, saya berkesempatan untuk melihat langsung dan
berdiskusi dengan tim-tim kerja yang mengawal kegiatan Anies. Alumnus
Universitas Gadjah Mada itu tengah berada dalam pusaran kekuasaan. Sebagai
seorang menteri, kerja-kerjanya harus terdiseminasi dan diketahui banyak
kalangan. Ke manapun ia bergerak mestinya direkam dengan baik lalu dibagikan
kepada publik. Bahkan, setiap potongan kalimatnya, lalu dikemas menjadi
postingan untuk twitter, facebook, juga kanal media sosial lainnya.
Kerja-kerja itu adalah kerja para spin doctor dalam pengertian positif.
Tim Anies bisa memoles dirinya menjadi sosok yang dibutuhkan bangsa ini.
Informasi demi informasi mengalir ke publik, baik melalui kanal media
mainstream ataupun melalui media sosial. Seorang spin doctor menempatkan spin
untuk mempengaruhi opini publik dengan cara mencoba menempatkan sebuah berita
bias yang menyenangkan dalam informasi yang disampaikan kepada masyarakat, dan
informasi tersebut bisasanya dilakukan melalui media. Kerja spin doctor adalah kerja komunikasi. Kata Manuel Castells, pengaturan atas komunikasi adalah kunci mengendalikan kekuasaan.
Istilah spin tidak muncul dari dunia akademisi,
melainkan dunia olahraga, khususnya baseball, di mana seorang pelempar bola (pitcher) melempar bola ke arah penerima
bola sesuai dengan arah yang diinginkannya. Acapkali, bola dilempar dengan cara
diplintir (spin) sehingga arahnya
seakan berbelok. Istilah ini lalu digunakan oleh New York Times saat pemilihan
Presiden Amerika Serikat tahun 1984. Istilah spin doctor lalu digunakan dalam dunia konsultan media management,
yakni sebagai upaya mengontrol agenda media dengan cara “moulding the image” yakni merancang serangkaian kata-kata untuk
didengar dan dilihat.
***
SAYA tak terlalu terkejut melihat kerja hebat
tim-tim media Anies. Jauh hari sebelum Anies menjadi menteri, tim-tim dan
sahabat Anies telah lama bekerja. Nampaknya mereka paham betul bahwa personal branding yang kuat harus
diimbangi dengan upaya diseminasi dan menyebarluaskan pengetahuan tentang
seseorang. Entah, apakah tim kerja Anies membaca pakar manajemen Philip Kotler atau
tidak. Yang pasti, gagasan Kotler tentang branding sebagai sesuatu yang tidak
terlihat (intagible), tapi efeknya
sangat nyata, bisa dengan gampangnya dilihat pada diri Anies. Namanya identik
dengan inspirasi, kerja-kerja kebaikan, dan juga sosok yang tenang dan santun.
Branding Anies tidaklah dibangun dari
berbagai iklan dan advertorial yang penuh puja-puji sebagaimana para pemilik
media di stasiun televisi. Ia juga tidak serupa dengan para politisi yang
sebaik malaikat saat ditampilkan di layar kaca. Anies melakukan satu gerakan
nasional, yang kemudian menempatkan dirinya dalam sentrum gerakan itu. Ia
menginisiasi lahirnya gerakan Indonesia Mengajar yang mengajak alumni perguruan
tinggi untuk merasakan bagaimana menjadi pengajar di daerah terpencil.
Ia juga menginisiasi kelas-kelas inspirasi yang
menggerakkan kaum menengah perkotaan untuk tidak duduk nyaman di kantornya,
melainkan turun lapangan dan merasakan langsung bagaimana bersentuhan dengan
anak-anak republik ini. Ia juga membuat Gerakan Turun Tangan, yang mewadahi
anak-anak muda di seluruh Indonsia agar melakukan banyak hal yang positif bagi
sekitarnya.
Dengan semua kerja-kerja itu, Anies menjadi sosok
populer. Ia adalah idola dari kelas-kelas menengah Indonesia yang lebih banyak
patis pada kondisi perpolitikan bangsa. Anies selalu mengajak semua orang untuk
berpartisipasi dalam banyak hal.
Namun tak semua orang mengidolakan Anies. Seorang
sahabat yang menjadi kandidat doktor di satu perguruan tinggi yang pernah
dimasuki Anies di Amerika Serikat malah tidak begitu respek. Di matanya, Anies bukan
tipe pelaku gerakan sosial yang membangkitkan kesadaran rakyat perkotaan.
Baginya, Anies adalah sosok yang bisa melihat celah dan peluang, memanfaatkan
celah-celah media, lalu menjadikan dirinya sebagai hero. Kerja-kerja Anies
tidak dilihatnya sebagai upaya mengorganisir dan mendampingi masyarakat sehingga lebih berdaya.
Ia bercerita tentang artikel jurnal ilmiah yang
dibacanya mengenai Indonesia Mengajar. Ia membahas anak-anak muda yang
menjadikan program itu hanya sebagai batu loncatan untuk karier di beberapa
perusahaan multi-nasional. Demi karier hebat, anak-anak muda itu menjadikan
masyarakat sebagai obyek yang sesaat disinggahi, setelah tiu mengucapkan
sayonara. Dia juga mengkritik peserta program itu yang diasah wawasan
nasionalismenya oleh Kopassus.
Baginya, amat lucu melihat militer meningkatkan
nasionalisme melalui baris-berbaris, lalu melalui halang-rintang. “Nasionalisme
harus dibangun melalui tindakan-tindakan organik, dengan cara melihat langsung
wajah anak bangsa yang menginginkan kehadiran negara. Nasionalisme harus membumi,
tumbuh dari kesadaran saat melihat peluh seorang petani, perjuangan seorang
pedagang sayur yang di pagi buta menuju pasar, hadir dalam keluhan seorang
petani garam yang kian terpinggirkan,” katanya.
Ditambah lagi, program itu sukses memikat
banyak perusahaan multi-nasional untuk bergabung dan menggelontorkan dananya. Kata
teman itu, Anies serupa seorang yang rajin membuat program lalu mengantarkan
proposal ke banyak korporat tambang, yang beberapa di antaranya punya jejak sebagai penghisap kekayaan bumi Indonesia, agar menjadi bagian program itu. Anies sendiri tak
pernah ke desa terpencil untuk mengajar. “Dia mendorong anak muda untuk ke
daerah terpencil, lalu dia sendiri tiba-tiba saja mencalonkan diri sebagai
calon presiden di konvensi Partai Demokrat. Setelah itu jadi tim sukses Jokowi hingga
akhirnya menjadi menteri.”
Di matanya, Anies menjadikan semua program itu
sebagai credit point untuk melejitkan dirinya di panggung politik. Apalagi,
Anies tak punya track record sebagai tokoh pendidikan. Dia bukan pengajar yang
setia berdiri di depan kelas. Perannya adalah inspirator dan motivator program.
Ia serupa Mario Teguh yang membangkitkan semangat. Bedanya, Mario Teguh memberi
motivasi agar penggemarnya bersemangat dan terus mencari rezeki
sebanyak-banyaknya, Anies melakukannya agar anak-anak muda keluar dari zona
nyamannya, dan di saat bersamaan ia nyaman memasuki panggung politik.
Saya tak hendak berdebat dengan sahabat itu.
Bagi saya, memasuki ranah politik adalah bagian dari tanggungjawab untuk membumikan
berbagai idealisme. Berdiri di tepian memang nyaman, namun memasuki jantung
kekuasaan lalu melakukan perubahan di situ memiliki efek yang jauh lebih
dahsyat ketimbang hanya melakukan kerja-kerja kecil. Lgian, seorang Nelson Mandela sekalipun memasuki dunia politik demi mengawal ide-ide besarnya.
Demikian pula posisi politik seorang Anies Baswedan. Bukankah politik akan bermakna positif ketika diarahkan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan orang banyak?
***
HARI itu, Jumat, 23 September 2016, deklarasi
pencalonan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai baru saja digelar. Petinggi
Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersenyum ceria. Mereka
saling berangkulan. Anies menjadi calon gubernur yang diusung partai itu.
Namanya masuk dalam daftar sejumlah calon yang punya elektabilitas tinggi. Ia
paling layak diusung sebagai gubernur, jika dibandingkan kader partai-partai
itu. Demi kemenangan, nama Anies diusung, meskipun secara politik, Anies pernah
berseberengan dengan mereka.
|
saat Fadli Zon membaca puisi. Perhatikan wajah Anies yang berbeda dengan orang lain |
Wakil Ketua Umum Partai
Gerindra, Fadli Zon, di acara
itu. Ia ikut bicara dan berkesempatan membacakan puisi. Puisi berjudul "Tukang Gusur" itu
dibacakan di depan para awak media usai cagub dan cawagub
memberikan sambutan. Puisi
itu bercerita
tentang masalah penggusuran di Jakarta itu, rupanya Anies memperlihatkan
ekspresi wajah yang tak seperti biasanya.
Tak banyak ekspresi muncul
dari wajah Anies. Mantan menteri ini lebih banyak menutup mulutnya sendiri.
Bahkan saat puisi selesai dibacakan, Anies tak bertepuk tangan seperti
dilakukan rekan-rekannya. Tak
sedikit netizen yang mengomentari perihal ekspresi wajah Anies. “Anies memang politisi hebat
di mana dia bisa menerima kompromi-kompromi yang dulu bersebrangan dia bisa
kompromikan jadi kawan, tapi tentu ada batasnya, itu yang membuat dia tidak
bisa menikmati puisi fadli zon," ujar pemilik akun Facebook Haposan
Manurung.
Sepintas, tak ada yang salah dari penayangan
itu. Hanya saja, ekspresi Anies yang tak biasa itu bisa ditafsir dari banyak
sisi. Anies berhadapan dengan satu dilema yang harus diatasi demi memuluskan
niat baiknya di panggung politik. Anies memang memasuki palagan politik baru. Tapi
palagan yang dimasukinya ini masih hangat dengan intrik, saling serang, dan
saling menyabet di dunia maya. Seiring dengan masuknya dirinya di panggung
politik, ada banyak penumpang gelap yang turut bersamanya lalu membawa beragam
hal yang berpotensi untuk menyobek keindonesiaan.
Anies memang mengingatkan bahwa pilpres telah
usai. Tak ada yang abadi dalam politik. Bahwa pilkada adalah ajang festival
gagasan-gagasan. Pernyataannya memang menyejukkan. Namun ia mesti
menunjukkannya dalam banyak sisi. Ia mesti tetap menyatakan sikap saat ada
pihak-pihak yang hendak menjadikan pilkada sebagai ajang untuk menyobek tenunan
kebangsaan. Ia mesti mewaspadai banyak pihak yang membonceng di belakangnya,
lalu mengangkat isu-isu sektarian.
Anies berada ditengah tarikan-tarikan partai
politik dan beragam kepentingan. Di tengah tingginya kartu SARA yang dimainkan
oleh berbagai aktor, Anies nampak tidak memberi respon apapun. Entah, apakah
dirinya tidak ingin mengecewakan simpatisan partai pendukung, atau barangkali
ia melihat isu itu akan menguntungkan dirinya. Masalahnya, ia sedang membiarkan
tindakan-tindakan yang justru berpotensi menyobek tenunan kebangsaan. Dalam
situasi ini, ia seharusnya tetap menjadikan kebangsaan sebagai sesuatu yang
harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Ia mesti mempertegas bahwa
Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila.
Segala upaya yang hendak menghinakan satu etnik ataupun agama lain hanyalah
virus-virus yang bisa membuat anak bangsa terpecah.
Dalam banyak sisi, Anies berhadapan dengan irama
politik yang cukup asing baginya. Ia harus membangun kompromi-kompromi yang
harus melegakan banyak pihak, termasuk para pendukungnya. Jika politik adalah
area membumikan idealismenya, ia harus mengalahkan tudingan oportunisme politik yang diangkat berbagai
kalangan atasnya. Saya berharap ia menunjukkan kepada sebagian anak bangsa yang
membonceng dirinya bahwa kebhinekaan dan keragaman adalah sesuatu yang harus
dipandang sebagai kekuatan, sehingga setiap kali ada friksi, harus diselesaikan
dengan kepala dingin, bukan melalui ancaman ataupun pembunuhan yang diucapkan
sembari mengutip ayat Tuhan.
Di titik ini, Anies harusnya jadi tokoh
pemersatu yang menyejukkan situasi. Track-record dan pengalaman panjangnya di
ranah pergerakan menjadi modal kuat baginya untuk menenangkan semua pihak. Dia
harus siap menjadi sasaran caci-maki, sebagaimana pernah dialami Gus Dur, demi
satu idealisme untuk Indonesia yang berkeadilan bagi semua pihak. Langkah itu
memang penuh risiko, akan tetapi bisa menjadi preseden dalam sejarah betapa
dirinya pernah menegakkan pilar penting keindonesiaan, tanpa harus tunduk pada
kaum yang suka mengatasnamakan agama demi kepentingan sendiri.
Jika ia gagal membumikan indahnya kerja politik,
maka “bulan madu” kelas menengah perkotaan kepadanya akan segera berlalu.
Beberapa waktu lalu, lembaga surbei SMRC telah menunjukkan betapa dirinya telah
disalip oleh Agus Yudhoyono, yang di lapangan, terbukti lebih santun, lebih
toleran, dan bekerja dengan senyap. Di titik ini, kerja-kerja spin doctor dan tim media Anies akan
porak-poranda sehingga negeri ini kembali jalan di tempat, dan Anies bisa
berhadapan dengan risiko dikutuk oleh sejarah.
Bisakah Anies menjadi pemersatu yang
menyejukkan semua amarah lalu menunjukkan cahaya terang agar Indonesia
terus berjaya? Biarlah sejarah yang akan mengungkapnya dalam waktu yang tidak
seberapa lama lagi. Sebagaimana halnya sejarah, kita pun sama-sama akan menjadi
penyaksi atas sejauh mana jejak Anies Baswedan. Teriring banyak doa untuknya dan semua orang yang mencintai Indonesia.
Bogor, 27 Oktober 2016
BACA JUGA: