Seseorang berdoa di Masjid Tua Tosora, Wajo, Sulsel |
SEULAS senyum nampak di wajah pria itu. Selama setengah jam, dia berdoa di Masjid yang terletak di Desa Tosora, Kabupaten Wajo, Sulsel. Dia jauh-jauh datang dari Tulung Agung bersama 30 rekannya.
Seusai berdoa, pria itu menyempatkan waktu untuk ziarah di makam Syekh Jamaluddin Al-Akbari Al Husaini, yang letaknya berdempetan dengan masjid. Dia berkomat-kamit sembari menyentuh makam. Setelah itu, dia menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Kembali, tersenyum bahagia.
“Saya senang karena bisa berdoa di makam kakek saya,” katanya. Tanpa saya minta, dia merunut silsilah. Syekh Jamaluddin adalah ulama asal Malabar, pesisir Selatan India, yang merupakan keturunan ke-20 dalam silsilah Nabi Muhammad.
Syekh Jamaluddin adalah kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal sebagai wali songo. Keempatnya adalah Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel, dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Di Jawa, makam keturunan Syekh Jamaluddin itu selalu ramai dengan para peziarah. Di Sulsel, tidak seramai itu. Malah sebelumnya tidak banyak diketahui.
Nanti setelah Gus Dur, mantan Ketua Umum PBNU serta Presiden RI ke-4 datang berkunjung, makam itu mulai mendapat perhatian publik. Di tahun 1989, Gus Dur singgah ke Tosora demi melaksanakan pesan dari kakeknya KH Hasyim Asyári untuk menziarahi 27 makam wali. Sayang, saat itu jalan menuju Tosora terhambat karena ada jembatan putus.
Saya ingat foto di Majalah Tempo. Di situ terlihat Gus Dur merentang zajadah di atas sawah kering dan berdoa di situ. Setelah itu, dia berkata, “Rupanya Almarhum belum berkenaan dikunjungi.” Dia berhasil mencapai makam itu, beberapa tahun berikutnya.
Dua pekan silam,, tepatnya 14-15 Oktober 2023, kompleks masjid dan makam itu ramai dengan manusia. Selama dua hari, ada perayaan maulid serta haul Syekh Jamaluddin. Mereka yang hadir tak hanya berasal dari Sulawesi Selatan. Banyak yang datang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Malaysia dan Singapura.
Haul Syekh Jamaluddin di Tosora |
Mengapa jauh-jauh datang ke situ? “Saya datang untuk mengambil berkah,”kata pria itu. Orang Jawa megenal istilah Ngalap Berkah.
Seorang sosiolog menjelaskan, ngalap berkah adalah kegiatan yang dilaksanakan seseorang untuk mencari berkah melalui apa yang mereka percaya dapat mengabulkan permohonannya. Di antaranya adalah mendatangi makam kiai atau ulama besar yang dikeramatkan.
Saya ingat penjelasan George Quinn dalam buku Bandit Saints of Java. Menurutnya, masjid dan makam keramat adalah dua hal yang bisa bertentangan, namun di Nusantara, menjadi mozaik yang menggambarkan corak keberislaman masyarakat kita. Keduanya bisa komplementer atau saling melengkapi.
Masjid mengumandangkan wibawa hukum agama berjangkauan luas, yang disebut syariah, serta ditopang Al Quran dan suri tauladan Nabi. Masjid membingkai wibawa pemimpin Islam, seperti khatib, imam, modin, ulama, kiai.
Sementara di makam keramat, para wali lokal, tempat lokal, sejarah lokal, dan masyarakat lokal menjadi pusat gravitasi dan mendatangkan banyak orang. Ziarah lokal merangkul khazanah sunnah Islam yang berasal dari Timur Tengah, tetapi terentang jauh melebih khazanah tersebut.
Dalam ziarah lokal, ada tradisi penceritaan orang suci, cerita rakyat lokal, mimpi-mimpi, kisah pengalaman mistis, narasi pertemuan pribadi, juga kisah keajaiban.
Antropolog Robert Hefner menyebutnya “khazanah yang belum lengkap, terbuka, tumbuh secara terus menerus tidak terbatas pada kitab tertentu, dan tidak berkiblat sepenuhnya pada kitab tertulis.”
Di Tosora, saya menemukan berbagai kisah-kisah yang dituturkan berbagai orang yang memiliki satu benang merah yakni betapa pentingnya tempat itu. Ada pula mimpi-mimpi tentang pertemuan dengan manusia gaib.
Masih menurut Hefner, semua tradisi itu mengacu pada tradisi penceritaan di Timur Tengah dan India. Di Tosora, semuanya menjadi mozaik yang menghidupkan kawasan itu sebagai lokasi ziarah, memberi ruang bagi mekarnya tradisi dan komunitas, serta memberi sukma bagi kebudayaan.
Di Tosora, semua tradisi menyatu dalam satu semangat yakni mencari berkah. Ritual dan doa ibarat men-charge ulang aktivitas ke titik nol, setelah itu semua penziarah kembali ke kehidupan sebenarnya, dengan membawa spirit baru.
***
MALAM mulai merayap. Di tanah lapang dekat masjid, salawat dan doa dikumandangkan oleh sekitar 3.000 jamaah. Di satu rumah panggung khas Bugis, saya berkumpul dengan banyak orang.
Mereka dari berbagai profesi. Ada pegawai negeri, pedagang, akademisi, anggota dewan, Direktur BUMN, hingga praktisi pengobatan alternatif. Semuanya bersenda gurau sembari melihat kumandang doa di kejauhan.
Seorang kawan bercerita, haul Syekh Jamaluddin yang dilaksakan di Tosora lebih bernuansa Jawa ketimbang Bugis. Makanya, tradisi salawatan ala pesantren itu menjadi atraksi budaya yang sangat menarik di tengah masyarakat Bugis. Perlahan, tradisi ini punya akar dalam budaya Bugis.
Saya menyimak penjelasannya. Saya kembali mengingat beberapa catatan. Corak keberagamaan kita hari ini adalah hasil dari proses sejarah yang panjang. Makam-makam keramat adalah ruang bagi mereka yang mengisi kekosongan batin saat Makkah, sebagai pusat Islam, terlalu jauh.
Para wali dan ulama besar menjadi karakter yang tak pernah mati, tetap memberi kehidupan bagi komunitas, serta menjadi ruang maya untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan di zaman kekinian.
Mungkin ini pula penjelasan mengapa malam itu saya jumpa banyak orang dari berbagai kalangan. Ada pedagang yang ingin cepat kaya, ada politisi yang ingin masuk parlemen, ada seorang nelayan yang ingin tangkapan terus bertambah. Semua orang mencari barakka'atau berkah.
Di situ, mungkin hanya saya seorang yang mengalami kebingungan orientasi di tengah mereka yang datang dengan membawa satu niatan. Minta kekayaan ataukah ketenaran? Saya memilih bukan keduanya. Saya ingin jadi bagian dari mereka yang berziarah untuk meniatkan masa depan manusia yang damai dan sentosa.
Namun saat mendengar orang-orang berdoa, saya tiba-tiba merasa diselimuti dosa dan jauh dari Tuhan. Saat itulah, saya teringat kalimat dari Sunan Giri, salah satu cucu Syekh Jamaluddin. Dia bersyair dalam bahasa Jawa:
“Gusti iku dumunung ana atining manungso kang becik”
Tuhan itu bersemayam di hati manusia yang baik.