Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Garis Batas yang Memisah selama 22 Tahun

Jose Benu

“Waktu rusuh, saya lari cari selamat, terus menyeberang ke sini,” kata pria itu dengan mata menerawang. Saya menemuinya di dekat perbatasan Indonesia – Timor Leste di Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, beberapa waktu lalu.

Namanya Jose Benu. Sehari-harinya dia bekerja sebagai petani sayuran di dekat embung yang dibangun pemerintah Indonesia. Dia hanya memakan apa yang ditanam dan apa yang dipetik. Sebagian tanamannya dijual.

Tadinya dia warga Timor Leste. Tapi dia memilih ke sisi Indonesia. Baginya, batas-batas negara terlalu samar. Yang dia tahu, semua orang di wilayah itu bersaudara. Mereka satu budaya, satu adat, satu bahasa. Kenapa pula ada yang namanya batas?

Dia jarang mengenang apa yang terjadi di tahun 1999. Namun jika ditanya, dia berhati-hati untuk bercerita. Dia butuh waktu sejenak untuk mengenang kerusuhan dan amarah yang memenuhi udara. Dia melihat kekerasan saat sejumlah sesama manusia saling tempur, saling mencari kata menang.

BACA: Perempuan Timor Leste yang Mengubur Dendam


Dia kehilangan banyak hal. Tapi dia tak ingin tenggelam dalam sedih. Dia sudah lama move on. Dia merajut kenangan baru. Kehidupan harus terus bergerak. Dia menanam sembari melupakan. Dia mulai episode baru dalam kehidupannya.

Mulanya dia bekerja serabutan. Suatu hari, pria yang mulutnya selalu merah karena mengunyah sirih ini melihat tanah kosong di dekat embung. Dia memberanikan diri untuk menemui pemilik tanah yakni Edmundo Lase. 

Dia diizinkan untuk mengelola tanah kosong itu. Dia mengajak rekan-rekannya yang bergabung dalam kelompok tani Tafe’u untuk mengelolanya.

Dia menjelaskan makna Tafe’u dalam bahasa Dawan, bahasa yang dipakai semua warga Napan serta warga desa di wilayah Timor Leste. Tafe’u bermakna selalu memperbarui. Apa yang diperbarui? “Semua hal bisa diperbaharui. Termasuk anggota kelompok tani itu,” katanya.

Maknanya sangat filosofis. Saya ingat filsuf Heraclitus yang menyebut penta rei, yakni segala hal dalam hidup ini selalu berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Kehidupan ini selalu bergerak.

Kini, di desa itu, terbentang satu garis batas yang memisah kita dan mereka. Di satu ruas jalan umum, garis itu jadi penanda dari dua pos jaga. Sebelah sini adalah wilayah Indonesia, sebelah sana adalah wilayah Timor Leste.

Bagi penduduk seperti Jose Benu, garis batas itu membingungkan. Garis itu membelah desa-desa di mana warganya serumpun, berbahasa daerah yang sama, serta saling berinteraksi. Garis itu membelah mereka jadi dua negeri terpisah, padahal mereka sejatinya satu. 

“Saya sering ke sebelah untuk lihat kebun,” katanya. Dia dan warga Napan lain sering melintas batas. Bukan melalui pos yang dijaga militer kedua negara, tetapi melalui banyak “jalan tikus” yang membelah dua wilayah itu.

bunga-bunga yang mekar di perbatasan

Sejarah memang terlanjur mencatat. Tepat pada 30 Agustus 1999 lalu, 22 tahun silam, rakyat Timor Leste telah menentukan pilihan. Di tanggal itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie, hasil referendum untuk penentuan nasib diumumkan. Timor Leste, yang tadinya bernama Timor Timur, resmi keluar dari NKRI dan berdiri menjadi negara baru.

Bagi mereka yang menghargai kemanusiaan, maka berdirinya negeri itu adalah musim semi kebebasan. Sekian tahun didera konflik bersenjata yang menewaskan banyak rakyat tak berdosa, negeri kecil itu bisa hidup dalam damai. Bunga-bunga harapan bermekaran. 

Namun mereka yang melihat “NKRI is dead price” atau NKRI harga mati, hingga kini masih memendam perih. Masih saja menganggap wilayah itu adalah tanah warisan nenek moyangnya sehingga pantang untuk dilepaskan. 

Mereka lupa kalau apa yang disebut nasionalisme itu lahir dari proses membayang-bayangkan sesuatu yang berbeda lalu bergabung. Nasionalisme hasil dari kerja pikiran, yang suka menghubungkan, sementara di lapangan, belum tentu demikian.

BACA: Menenun Damai di Perbatasan Timor Leste 


Kini sekian tahun berlalu, suara-suara sumbang itu masih terdengar. Seseorang kawan dari Jakarta yang pernah  mengunjungi perbatasan hingga ke desa-desa di Timor Leste melihat pemandangan kontras. Dia melihat desa-desa di Timor Leste tampak kering dan meranggas seolah tak ada harapan.

Sementara desa-desa di wilayah Indonesia dilihatnya kian semarak berkat dana desa, program desa broadband, hingga pembangunan bendungan. Desa di Indonesia tampak mulai sejahtera, sementara di sebelahnya tampak jauh dari kata sejahtera. Kemerdekaan itu belum bisa membawa kesejahteraan. “Harusnya mereka tak perlu merdeka,” kata kawan itu. 

Tapi saya justru berpandangan lain. Saya ingat pendapat dari Amartya Sen mengenai “Development as freedom.” Tak ada pembangunan jika tak ada kebebasan. Apalah arti pembangunan berbagai infrastruktur jika kebebasan warganya diabaikan. Apa arti pembangunan, jika setiap saat rakyat dalam cekaman ketakutan. Apa arti kesejahteraan jika setiap saat ada desingan peluru dan suara-suara bom yang menggelegar.

Sekian tahun Indonesia di sana, memang banyak hal dibangun, tetapi banyak hal pula yang hilang. Di antaranya adalah kebebasan. Maka, kemerdekaan menjadi proses untuk membebaskan diri dari semua tekanan, penindasan, hingga dari semua rasa takut. Kemerdekaan adalah awal untuk mulai menanam harapan, memupuknya dengan semua kecintaan pada bangsa, lalu menghadirkan kesejahteraan di hati semua orang.

Antonius Anton

Setelah puluhan tahun berlalu, Timor memang belum sejahtera. Negeri itu masih harus bergulat dengan banyak persoalan internal sebagai bangsa baru. Tapi berjalan-jalan di wilayah itu, ada senyum yang mekar di mana-mana. Mereka menikmati buah manis kemerdekaan yakni bebas dari rasa takut. Warga dua negara bebas saling melintasi, malah ada yang memanfaatkannya untuk bisnis.

“Ah, itu hanya garis. Kita bisa lewat kapan saja untuk bisnis,” kata Antonius Anton yang saya temui di kantor lembaga swadaya masyarakat. Anton adalah tipe pebisnis yang bisa menjual apa saja.

Dia membuat minuman yakni anggur jahe dan anggur kulit pisang yang laris manis di Timor Dia juga membuat kripik labu, sambal, permen asam, hingga berbagai jenis jamu.

BACA: Jembatan Kasih Antonius di Dua Negara


“Di antara semuanya, yang paling laris adalah anggur kulit pisang dan anggur jahe. Setelah itu, minyak kemiri, permen asam, jamu temu lawak. Pelanggan saya tersebar hingga Timor Leste. Kalau di Timor Leste, anggur ini dijual sampai 2 dolar 50 sen. Kalau ditukar dengan rupiah, maka bisa dapat 35 ribu rupiah,” katanya. 

Mata uang yang dipakai di Timor Leste adalah dolar Amerika Serikat. Makanya harga-harga menjadi lebih mahal dibandingkan desa-desa perbatasan di Indonesia. Pantas saja banyak penyelundupan terjadi. Harga BBM di Timor Leste adalah 3 dolar atau sekitar 35.000 rupiah, sementara di Indonesia harganya sedikit di atas 10 ribu rupiah.

Bertemu Anton, juga Jose Benu menjadi pengalaman berharga buat saya. Politik bisa membuat kita saling membangun garis batas dengan orang lain. Tapi di ranah budaya, kita selalu mencari kesesamaan. Di ranah bisnis, kita selalu mencari celah dan keuntungan. Di ranah kemanusiaan, kita adalah satu. 

Hari ini, 30 Agustus 2021, tepat 22 tahun sejak peristiwa referendum dan munculnya garis batas di dua negara. Banyak hal telah berubah, khususnya di perbatasan. Namun, ikatan persaudaraan dan persahabatan itu tak akan pernah tersaput angin. Kita akan memupuknya dengan penuh cinta.



Indonesia - Belanda yang Saling Bertolak Punggung

Raja Belanda, Willem Alexander berama Presiden Jokowi di depan Istana Bogor, yang dahulu kedialan Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia

Setiap kali peringatan hari kemerdekaan, kita sering menemukan beragam ekspresi dan makna. Kita sering menemukan umpatan pada para penjajah. Namun bagaimanakah kesan para penjajah, yang sering diumpat itu, terhadap kemerdekaan kita? 

Pekan lalu, saya membaca artikel berbahasa Belanda yang dibuat oleh Michel Maas. Judul artikelnya adalah: “Hoe denken de Indonesiërs over de Nederlanders?”. Terjemahannya adalah “Apa pendapat orang Indonesia tentang Belanda?” (artikelnya bisa dibaca DI SINI)

Dalam artikel itu, koresponden de Volksradt di Asia Tenggara, Michel Maas menganjurkan adanya percakapan antar dua bangsa. Kemerdekaan seakan menjadi awal dari hilangnya dialog dan percakapan. Padahal kengerian dan trauma bukan hanya milik orang Indonesia. Orang Belanda pun banyak yang masih terkenang-kenang masa itu. Banyak di antara mereka yang masih trauma.

Berkat artikel itu, saya bisa melihat peristiwa itu dari sudut pandang yang lain. Bukan semata apa yang tertulis dalam sejarah kita, serta retorika para pejabat. Tapi perlu memahaminya dari sisi yang lain.

Di antara beberapa fakta yang dikemukakan Michel Mass, saya tertarik dengan penuturannya tentang apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Bagi orang Indonesia, di tanggal itu terjadi proklamasi kemerdekaan. Semua peperangan setelah proklamasi adalah upaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang direbut dengan susah payah. 

Belanda tidak mengakui Proklamasi itu. Dalam versi Belanda, untaian negeri yang dinamakan Indonesia itu masih dalam tanggung jawab mereka. Ketika proklamasi terjadi, banyak laskar sipil yang berdalih mempertahankan kemerdekaan, tapi menggelar teror di sana-sini. Belanda berkewajiban untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.

Sejak 17 Agustus 1945, orang Indonesia dan orang Belanda saling membelakangi. Orang Belanda sering menengok ke belakang, orang Indonesia melihat ke depan. Padahal, selama ratusan tahun Belanda di tanah ini, selalu terjadi kolaborasi dan interaksi. 

Ada perang, tetapi banyak juga kerja sama. Bahkan generasi Sukarno yang membebaskan Indonesia adalah alumni sekolah-sekolah bikinan Belanda, di mana banyak guru-gurunya simpati pada perjuangan.

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia jatuh pada 27 Desember 1949, saat Ratu Yuliana menyerahkan kedaulatan kepada Muhammad Hatta, utusan Indonesia. Belanda menyebut peristiwa ini sebagai “The Transfer.” Ratu Yuliana berdialog dengan Hatta dalam bahasa Belanda. 

Kata Michel Mass, klaim Belanda itu sangat menggelikan. Itu sama halnya dengan Inggris yang tidak mengakui kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776, sebab sesudahnya, terjadi pertempuran antara Amerika dan Inggris dalam waktu yang cukup panjang.

Pernah, Menteri Both, seorang pejabat Belanda, datang ke Jakarta pada tahun 2005 dan menghadiri acara kemerdekaan. Dia ditanya: “Apakah Belanda mengakui 17 Agustus atau tidak?' Dia menjawab: "De facto ya, tapi tidak de jure." 

Selama empat tahun, sejak proklamasi, orang Indonesia terus berjuang. Mereka yang gugur disebut tewas dalam upaya jihad melawan asing. Belanda menjadi pecundang. Banyak prajuritnya yang menyesal disuruh datang pada saat Agresi Militer.

Orang Indonesia menyebut operasi yang dilakukan Belanda sebagai Agresi Militer. Tapi orang Belanda menganggap tindakannya sebagai Aksi Polisionil untuk mengamankan ketertiban.

Namun, ada trauma pada tindakan segelintir orang Belanda di masa itu. Di antaranya adalah Kapten Raymond Westerling. Pria yang sering disebut Turki ini menegakkan keamanan dengan cara membunuh satu per satu setiap warga yang diduga hendak memobilisasi perlawanan.

Tapi, di kalangan orang Belanda, Westerling tidak selalu diterima. Malah Westerling disingkirkan oleh orang Belanda sendiri karena tindakannya dianggap mendatangkan kengerian. Meskipun ada juga orang Belanda yang mendukung Westerling karena tindakannya meredakan teror di mana-mana.

Masa setelah Proklamasi disebut Belanda sebagai “Masa Bersiap.” Ini tidak ada dalam kamus sejarah Indonesia. Belanda menggunakan istilah itu untuk menggambarkan gelombang kekerasan yang meletus tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan. 

Di masa bersiap, propaganda demi propaganda terus terjadi. Para pemoeda (pejuang muda) memburu siapa saja yang orang Belanda atau yang berhubungan dengan Belanda. Dalam hitungan bulan, mereka membunuh antara 20 dan 35 ribu pria, wanita, orang tua, dan anak-anak. 

Dalam buku Gangsters and Revolutionaries, sejarawan Robert Cribb berkata, pada masa revolusi, bukan hanya para nasionalis dan pemimpin pergerakan yang eksis, tapi juga para jagoan, para bandit, dan mereka yang menguasai dunia hitam. Mereka mengatasnamakan dirinya sebagai laskar yang berbaju seperti pejuang, kemudian menebar teror di mana-mana. 

Beberapa kelompok memakai atribut agama, lalu mengatasnamakan jihad, untuk menebar teror sana-sini. Ada yang mengatasnamakan dirinya Lasykar Ubel Ubel. Lasykar artinya tentara dan ubel-ubel adalah sorban yang dipakai jamaah haji di Mekkah.

Mereka menyatroni kantor-kantor dan gedung-gedung milik perusahaan Eropa dan Belanda. Atas nama kemerdekaan, mereka membunuh banyak orang dan mencaplok berbagai gedung, menjarah banyak barang, kemudian menuliskan grafiti “milik repoeblik.” 

Mereka membunuh banyak pegawai kantor pemerintah kolonial, yang saat itu mayoritas adalah orang Indonesia sendiri. Robert Cribb mencatat kesaksian seorang saksi sejarah tentang betapa sulitnya mendapatkan air minum di Klender karena banyak sumur tersumbat mayat orang Cina yang jadi korban pembantaian.

Bagi orang Eropa, bulan-bulan terakhir tahun 1945 adalah masa perampokan, perampasan, penculikan, dan pembunuhan acak di jalanan. Banyak orang Eropa yang menghilang, tiba-tiba ditemukan mengambang di kanal di tengah kota. 

Di banyak daerah, situasinya lebih kelam lagi. Di Kranji, orang Eropa yang bekerja sebagai mandor perkebunan swasta dibunuh. Istrinya lalu diperkosa. Di Karawang, seorang jagoan menduduki kantor bupati dan menyatakan dirinya sebagai bupati. Gangster lain mengambil alih semua perkebunan swasta dan menyatakan miliknya. Di Tangerang, pembantaian pada tuan tanah dan petani Cina terjadi. 

Cribb mengatakan, para pembunuh ini tidak punya agenda politik. Mereka adalah kaum oportunis yang memanfaatkan situasi politik saat Jepang sedang lemah, dan munculnya klaim kemerdekaan dari para pemimpin republik.

Sayangnya, di masa kini, kita membaca sejarah versi Indonesia dan menyebut mereka sebagai pejuang yang hendak membebaskan bangsa. Padahal, dalam catatan Cribb tidak semua berniat untuk berjuang. Banyak yang memanfaatkan situasi.

Mungkin Anda beranggapan bahwa tindakan kekerasan adalah hal yang lumrah dalam satu revolusi. Jika demikian, maka Anda sama saja dengan para kolonialis itu. Anda juga menghalalkan segala cara untuk membunuh yang lain, sebagaimana para kompeni yang datang menjarah di sini. 

Yang membedakan antara Anda dan mereka hanyalah kekuasaan.

Kini, 76 tahun setelah Proklamasi dibacakan, banyak orang Belanda masih mengenang Indonesia sebagai tanah yang dahulu pernah mereka diami. Hati mereka masih hangat saat mendengar ada banyak kosa kata bahasa Belanda yang menjadi bahasa Indonesia.

Banyak di antara mereka yang coba menelusuri ingatan lama tentang Indonesia. Mereka datang mendatangi tempat-tempat, lokasi, hingga kota-kota. Mereka mengenang Indonesia hingga menitikkan air mata.

Saat pemutaran film The East, banyak generasi baru di Belanda, yang terkejut menyaksikan tindakan nenek moyangnya. Mereka tidak menyangka kalau kekerasan bisa dilakukan dengan begitu kejam pada warga pribumi. 

Saya menduga, mereka juga tidak membaca banyak catatan, kalau pribumi pun melakukan itu pada mereka. Pada masa itu, dua kubu saling bertempur. 

Satu merasa memiliki tanah ini dan ingin mempertahankannya. Satu lagi tak sabar untuk segera merdeka, lalu mengusir, membunuh, mencaplok, dan menyingkirkan yang lain. Dua kubu itu tak mau berdialog. Saling bertolak punggung. 

Michel Mass menggambarkan dengan getir tentang orang Belanda yang datang di hari kemerdekaan. Dia mendatangi pemakaman Belanda yang terletak di Menteng Pulo. Dia melihat ada nisan tiga anak dari Van Slooten, yang berusia 7, 8, dan 10 tahun. Mereka dimakamkan dalam satu lubang. 

Mereka tewas akibat kekerasan yang dilakukan bangsa Indonesia, sebagaimana banyak orang Indonesia lain yang juga tewas pada masa itu.  Dan kita yang hidup di masa kini seakan terpenjara oleh masa lalu. Kita masih memelihara kebencian atas sesuatu yang kita ketahui sepenggal. 

Kita pun merasa paling benar.



Fantasi Elon Musk


Di seluruh planet, dia adalah pria yang mengolah semua fantasi menjadi kerajaan bisnis. Dia pria penuh mimpi, yang perlahan mewujudkannya satu demi satu. Dia adalah Elon Musk.

Saya sedang membaca biografinya yang ditulis Ashlee Vance. Kesan saya, Elon Musk bukan manusia yang lahir di abad ini. Saya menduga dia adalah seorang time traveler dari masa depan yang datang ke masa kini untuk meretas jalan ke sana.

Saya sangat tertarik membaca masa kecilnya, semasa di Afrika Selatan. Dia adalah seorang anak yang pendiam. Hari-harinya diisi dengan permainan video game. Dia juga sangat rajin membaca buku-buku yang dibelikan ayahnya.

Konon, dia menghabiskan waktu 10 jam dalam sehari untuk membaca. Bahkan dia juga pengunjung setia perpustakaan. Dia sering ditemukan di sudut perpustakaan bersama buku-buku.

Dia paling suka membaca komik dan kisah science fiction. Di usia lima tahun, dia sudah merancang cerita tentang perang alien melawan manusia. Alien akan datang dengan pesawat yang membawa bom hidrogen dan membawa kehancuran pada manusia.

Dia juga membaca kisah-kisah fantasi. Buku favoritnya adalah Lord of The Ring (LOTR) yang ditulis J.R Tolkien. Kisah ini sangat menyentuh hatinya sehingga ketika dewasa, dia selalu merekomendasikannya. Beberapa kali di Twitter, dia menyebut LOTR sebagai inspirasinya. 

Pernah, seorang siswa muda dari India bertanya kepada Musk melalui Twitter bagaimana bisa buku tebal klasik yang diisi dengan kisah para hobbit, orc, penyihir, dan elf menginspirasinya? 

Dia menjawab: “Don't give up if the cause is important enough, even if you believe you are walking into doom. Good friends really matter.” Para penggemar LOTR akan teringat adegan ketika Frodo Baggins bersama rekan-rekannya berbagai makhluk melakukan perjalanan ke Mount Doom. Mereka kuat karena saling bantu.

Bagi Elon Musk, ada kesamaan antara kisah fiksi sains dan fantasi, yakni manusia mengemban misi penting di alam semesta. Manusia harus merawat alam, dengan cara mewujudkan teknologi dengan energi bersih, serta membangun pesawat antariksa untuk memperluas capaian manusia. Dengan kata lain, manusia harus jadi khalifah.

“Mungkin saya terlalu banyak membaca komik dan fantasi,” katanya. Fantasi itu ibarat kompas yang menentukan ke mana Elon Musk bergerak. Berkat fantasi itu, dia melakukan revolusi pada tiga bidang industri, yakni teknologi, transportasi, dan ruang angkasa. Dia membangun PayPal, Tesla, Zip2, SpaceX dan Solar City sebagai perusahaan yang mengubah dunia.

Bahkan, dia berambisi mengirim koloni manusia untuk tinggal di Mars pada 2025. Mungkin Anda akan menganggapnya gila, tapi dia perlahan mewujudkannya. Perusahaannya SpaceX saat ini jadi perusahaan terdepan dalam peluncuran roket dan satelit untuk NASA dan berbagai lembaga lain.

Dari sisi sains, banyak yang secerdas Elon Musk. Tapi dalam hal imajinasi, Elon Musk seolah penduduk masa depan. Imajinasinya mendorong pada inovasi dan penciptaan. Sains memang bisa membantu manusia menjelaskan banyak hal, tapi imajinasi selalu terkait dengan daya cipta, serta merancang masa depan. 

Pantas saja jika fisikawan Albert Einstein mengatakan: “Imagination is more important than knowledge.”

Mungkinkah ada generasi sehebat Elon Musk yang lahir di negeri ini pada masa sekarang dan masa depan? Saya agak pesimis.  

Betapa tidak, kita jarang melihat anak-anak menggemari fantasi hingga terbawa mimpi. Orang tua pun tidak membekali anaknya dengan berbagai dongeng, hikayat, hingga fantasi.  Kita mengajari anak kita dengan hafalan.  Cukup fasih menghafal lembar demi lembar, kita sudah puas. 

Maka biarlah Elon Musk menguasai masa kini dan masa depan. Kita menguasai kehidupan setelah masa depan. Kita lebih menang di hari akhir.



Kisah Kolaborasi


Jauh dari satu daerah di timur Nusantara, dia datang ke Jakarta. Dia seorang pedagang yang cukup sukses. Saat jumpa dengannya, dia sedang bersama sejumlah anak muda lainnya. Rupanya, dia mengajari anak-anak muda itu cara berbisnis di lini yang sama dengannya.

Dia berbagi ilmu. Dia ikut membuka peluang pasar. Dia merekomendasikan usaha teman-temannya. 

“Apa tidak takut mereka jadi saingan yang kelak bikin bisnismu bangkrut?” Saya bertanya. Dia malah tersenyum. Menurutnya, rumus itu tak berlaku dalam kehidupan. “Semakin banyak kamu memberi, maka semakin banyak rezekimu yang mengalir,” katanya.

Saya merenung. Selama ini kita terlalu sering melihat persaingan. Kita beranggapan semua orang akan saling caplok. Padahal, kehidupan bergerak dengan cara berbeda. Semakin sering berkolaborasi, maka semakin membesar manfaat yang diterima.

Saya terkenang dengan kisah seorang petani jagung di Texas. Dia terkenal karena jagungnya paling unggul. Uniknya, dia tak pernah pelit. Dia bagikan bibit jagung kepada semua petani jagung di sekitar kebunnya. Semuanya menghasilkan jagung paling unggul.

Kenapa dia mau saja membagikan bibit jagungnya? Bukankah dengan membagikannya, dia akan makin miskin karena banyak pesaing? 

Menurutnya, kalau di sekeliling kebun itu ditanami jagung unggul, maka pembuahan yang terjadi karena angin akan selalu menghasilkan jagung-jagung yang juga unggul. 

Jika saja hanya kebunnya yang memakai bibit unggul, sementara kebun di sekitarnya dari bibit yang kurang baik, maka pembuahan jagung di kebunnya akan tidak maksimal. Bibit yang kurang bagus bisa terbawa angin ke kebunnya, dan menghasilkan jagung yang kurang bagus.

Di sinilah letak indahnya kolaborasi. Semakin banyak kawan seiring sejalan, maka semakin banyak tangan dan bahu yang kelak akan menarikmu saat sedang ditimpa masalah. Semakin banyak berbagi kebaikan, maka kebaikan pun akan sering datang dengan cara yang ajaib, sering kali tidak disangka-sangka.

Saya sedang membaca buku berjudul Macrowikinomics, yang ditulis Don Tapscott. Rupanya, ekonomi masa kini dan masa depan selalu berbasis kolaborasi. Jejaring atau networking menjadi kekuatan. 

Pantasan, model pendidikan di negara seperti Amerika Serikat mulai berubah. Tidak lagi menekankan pada tugas-tugas individual, tapi selalu pada kerja sama.

“Saya tak akan miskin hanya karena membantu orang,” kata kawan pedagang itu. Melalui kolaborasi, ada banyak tangan dan otak yang membantunya. Melalui kerja sama, dia membangun sistem. Kelak dia akan menikmati buah dari benih unggul yang ditanam, yang disuburkan oleh guguran daun dari tanaman subur di sekitarnya.


PUAN versus GANJAR di Instagram

ilustrasi

Karakter seseorang selalu bisa dibaca dari sikap dan tindakan. Biarpun seseorang mengaku baik, namun publik lebih percaya pada tindakan yang terlihat. Demikian pula dengan dunia politik. Di era 4.0, sikap politik seorang politisi “Jaman Now” dengan mudah terbaca melalui akun media sosialnya.

Nah, bagaimana membaca sikap politik dua kader partai banteng yakni Puan Maharani dan Ganjar Pranowo di Instagram? Apa pelajaran yang bisa dipetik di situ? 

*** 

Puan Maharani tampak tersenyum cerah. Dalam video yang diunggahnya di Instagram, Kamis (13/8) kemarin, dia terlihat bersama banyak anak muda. Dia bersama mahasiswa, atlet, hingga sejumlah anak muda yang berpakaian olahraga. Terlihat, semua anak muda itu berada di perkotaan.

Dia memberikan pesan-pesan penuh motivasi. Diiringi musik yang membakar semangat, dia menulis kalimat: ‘Wahai kaum muda yang saya kasihi. Mari kencangkan kehendak. Dorong produktivitas.” 

Dia menyampaikan pesan dalam konteks pandemi sehingga perlu mendorong anak muda agar tetap semangat.

Kemarin, Puan hanya mengunggah satu video dalam sehari di Instagram. Itu pun video itu dikemas dari kepingan-kepingan gambar yang diambil di berbagai kesempatan. Pesan yang disampaikan juga standar. Pesannya serupa kalimat motivator. Tak ada pernyataan langsung dari Puan.

Sehari sebelumnya, Puan hanya memajang satu foto berupa dirinya mengenakan kerudung, kemudian mengucapkan ucapan selamat tahun baru Islam.

Postingan Puan Maharani di Instagram

Kemarin, Ganjar Pranowo mengunggah dua video pendek. Video pertama menampilkan dirinya datang ke Mal Paragon di Jawa Tengah. Dia melihat warga yang hendak masuk mal. Setelah itu dia menyampaikan protes tentang kebijakan syarat vaksin untuk masuk mal. 

“Saya menyampaikan, ini sebenarnya tidak fair. Banyak masyarakat yang rindu untuk segera divaksin. Maka tugas kita untuk menyiapkan vaksin lebih banyak,” katanya. Ada nada protes pada kebijakan pemerintah pusat, tapi dia memberikan solusi yakni mempercepat vaksin.

Dalam dunia retorika, kalimat Ganjar ini terbilang aman. Dia mengkritik, tapi dengan bahasa yang santun. Dia pun memberikan jalan keluar yang bisa ditempuhnya sebagai seorang kepala daerah. 

BACA: Perang Robot di Pilpres


Menarik untuk dilihat bagaimana dia menulis caption video. Bunyinya: “Karena aturan sudah dikeluarkan, ya ayo kita terapkan. Tapi kita jg harus bertanggungjawab, vaksinasi wajib dipercepat. Dan di Jawa Tengah, setiap Minggu kuota selalu kita tambah. Semoga kita diberi kesehatan dan diberi kekuatan untuk saling menyelamatkan.”

Di hari yang sama, Ganjar juga mengunggah video mengenai seorang ibu berusia sekitar 50-an tahun yang berprofesi sebagai penjual makanan. Ibu itu curhat tentang pendapatannya di masa pandemi yang terus berkurang. Saat itu juga, Ganjar memesan 100 porsi makanan. Mata ibu itu berkaca-kaca, kemudian mengucap Alhamdulillah.

Dalam video itu, Ganjar menulis: “Mari kita saling menguatkan, sebisa kita. Hal sekecil apa pun, asal bisa melahirkan senyuman saudara kita, ayo lakukan.” 

Pesan ini hampir mirip dengan pesan yang disampaikan Puan Maharani di hari yang sama. Bedanya hanya pada kemasan pesan yang mau disampaikan.

Sebagai politisi, Puan Maharani dan Ganjar Pranowo punya pandangan berbeda tentang media sosial, khususnya Instagram. Namun, netizen tetap menemukan visi keduanya di situ. Di profil Instagram, Puan menulis kalimat: ”Ojo Pedhot Oyot (Jangan Putus Akar).” Entah dia menyindir siapa. Sedangkan Ganjar mencatat: “Tuanku ya Rakyat, Gubernur cuma Mandat"

Jika dibandingkan, Instagram Puan versus Ganjar ibarat Liliput versus Hulk. Jumlah pengikut Puan hanya 526.000 orang, serta hanya menghasilkan 625 postingan. Dalam sehari, dia rata-rata hanya memposting satu konten. Sepertinya, dia menganggap Instagram tidak seberapa penting.

Sedangkan Ganjar punya 3,7 juta pengikut, dengan jumlah postingan 4.624.  Ganjar dan timnya sangat produktif. Rata-rata dalam sehari bisa empat konten atau kadang lebih. 

Perbedaan lainnya adalah kemasan. Mudah terlihat kalau tim medsos Puan bekerja asal-asalan. Kontennya terkesan dibuat oleh pejabat humas, yang sekadar melaporkan peristiwa. Kesannya kayak membaca liputan media di masa Orde Baru. Isinya hanya kegiatan pejabat.

Postingan Ganjar Pranowo

Sementara kemasan konten-konten Ganjar dibuat dengan serius dan perencanaan matang. Tim Ganjar paham pendekatan partisipatoris, sehingga memosisikan Ganjar bukan sebagai seorang pejabat, melainkan sebagai seorang partner yang sejajar dengan siapa saja. Ganjar tidak digambarkan duduk di singgasana, tapi sebagai warga biasa yang menyapa semua orang dengan ramah.

Dalam video, terlihat warga bisa bebas bercanda, malah meledek. Ganjar juga ikut menimpali dengan ledekan sehingga suasananya cair. Hal-hal seperti ini tidak terlalu terlihat pada postingan Puan Maharani yang terkesan kaku.

Padahal, Puan Maharani harusnya bisa jauh lebih kreatif. Sebagai Ketua DPR, dia bisa leluasa menyapa warga dari Sabang sampai Merauke, mendengarkan semua pihak, lalu berbincang santai di warung-warung kopi, sebagaimana pernah dilakukan kakeknya. Puan terlalu nyaman di posisi sebagai Ketua DPR sehingga tidak tampak berkeringat dan berpeluh bersama rakyat.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial


Namun bukan berarti Instagram Ganjar sempurna dan tanpa celah. Segmentasi pesan di Instagram Ganjar hanya menyasar kalangan masyarakat bawah, yang rata-rata bisa berbahasa Jawa. Hal ini bisa dipahami sebab sasarannya adalah masyarakat Jawa Tengah. Instagram bagi Ganjar adalah sarana untuk menyapa warga biasa, sekaligus menyampaikan pertanggungjawaban publik.

Pendekatannya memang menarik, sebab mengedepankan teknik bercerita atau storytelling.. Namun, kalangan tertentu, khususnya menengah ke atas dari sisi pendidikan, berharap lebih. Akan lebih baik jika sesekali Ganjar menampilkan infografis berupa data atau informasi sehingga bisa mengedukasi publik. 

Ganjar harus memperluas segmen pengikutnya di media sosial. Jika dia ada niat jadi presiden, maka dia pun harus pandai mengemas konten yang sesuai untuk semua kalangan, bukan hanya mereka yang fasih bahasa Jawa.

Selain itu, kontennya harus lebih variatif dan tidak monoton. Timnya bisa lebih kreatif dan membuat berbagai jenis konten, yang tidak hanya storytelling semata, tetapi bisa pula menampilkan meme, karikatur, foto bercerita, hingga infografis. 

*** 

Data terbaru di Indonesia menunjukkan, platform media sosial terpopuler tetaplah Youtube, kemudian WhatsApp, lalu Instagram. Setelah itu Facebook, lalu Twitter. Masing-masing media sosial punya karakteristik netizen yang berbeda. Sehingga pesan yang disampaikan haruslah dikemas dengan cara berbeda.

Instagram adalah platform medsos yang terus tumbuh dan banyak didominasi kalangan muda. Banyak politisi memilih untuk memperkuat Instagram sebab ada banyak pembatasan di Facebook, sejak kasus Cambridge Analytica terkuak.

BACA: Digital Storytelling untuk Menang Pilkada


Yang pasti, penguatan Instaram menjadi agenda penting bagi politisi yang ingin menguasai ranah digital. Di era internet of things, kerja-kerja politik akan fokus pada keseimbangan antara kerja-kerja offline dan kerja-kerja online. 

Seorang politisi mesti membangun infrastruktur teknologi dalam mengelola semua isu dan jaringan relawan. Suara publik bisa dipantau melalui percakapan media sosial. Bahkan publik pun memantau politisi melalui algoritma media sosial.

Benar kata Eric Schmidt dalam The New Digital Age, kita perlahan pindah ke dunia maya. Kita semua ingin bangun rumah nyaman di situ. Kita pun ingin popular di situ.



Laba-Laba Bukalapak

 


Bukalapak akhirnya melantai di bursa saham, 6 Agustus lalu. Sejak pagi, saya berusaha untuk membeli secara eceran. Dapat sih, tapi tidak banyak. Main recehan. Tak ada artinya dibandingkan 96.000 investor lain yang berebut membeli saham. Semua antusias mengikuti IPO unicorn asal Indonesia itu.
Media lebih tertarik dengan hal2 sensasional. Misalnya, kekayaan Ahmad Zaky yang bertambah 1 triliun dalam sehari. Benar-benar wow. 
 
Bagi saya, Bukalapak bukan sekadar marketplace atau pasar. Bukapalak adalah ide-ide, kreativitas, juga kecerdikan.
 
Pernah, seorang kawan terheran-heran mengapa Bukalapak bisa begitu kaya. Padahal tidak bangun mal atau pusat bisnis. Tidak sibuk cari pelanggan. Bahkan tidak punya barang.
 
Bukalapak hanya membangun rumah di internet. Dia hanya siapkan ruang. Para penjual berdatangan memenuhi lapak. Pembeli berdatangan bak laron mengerumuni sumber cahaya. Semua transaksi berlangsung kasat mata.
 
Semua terjadi di dunia maya. Kita tak melihat ada tawar-menawar. Tapi perlahan, duit Ahmad Zaky bertambah bak sungai mengalir deras. Dia hanya duduk-duduk di rumah, tapi cuan terus berdatangan.
Bagaimana memahami model bisnisnya? Saya pikir perumpamaan paling tepat adalah membandingkan cicak dan laba-laba.
 
Kita mencari duit seperti cicak. Kita keluar di pagi hari, sibuk menangkap mangsa, malamnya kembali ke rumah. Besoknya kita melakukan hal yang sama. Kita adalah karyawan, pegawai, staf, personalia, admin, atau anak buah
 
Kita ibarat ambtenaar atau pegawai di masa kolonial Belanda yang berpakaian seragam jas putih, dan topi besi ala mandor, lalu petantang-petenteng di tengah masyarakat. Kita merasa keren, apalagi orang-orang menatap segan. Saat melamar anak orang, kita begitu bangga menyebut diri sebagai karyawan.
 
Sementara pendiri Bukalapak mencari duit seperti laba-laba. Dia tidak menangkap mangsa. Dia menghabiskan waktu untuk membangun jaring atau net, setelah itu menunggu mangsa yang terjerat satu demi satu. Dia tak perlu keluyuran ke mana-mana. Cukup tidur-tiduran. Mangsa yang berdatangan.
Laba-laba membangun sistem, yang kemudian bekerja untuknya. 
 
Di dunia bisnis, karakter laba-laba bisa dilihat pada pemilik bisnis, agen asuransi, para pembuka lapak, investor, dan pemilik usaha. Mereka berdarah-darah saat membangun sistem, setelah itu bisa berleha-leha siang malam.
 
Tapi, jangan berkecil hati. Kita yang pegawai dan karyawan punya sedikit kebanggaan. Kita punya seragam, baju dinas, baju safari, hingga jas yang dipakai saat pelantikan.
 
Di titik ini, kita lebih gagah dibandingkan pemilik Bukalapak yang harus bersusah payah mengejar klien dan pelanggan. Lihat, saja, pemiliknya selalu pakai baju kaos, mirip Mark Zuckerberg.
Bagaimana pun juga, jadi cicak lebih keren. Punya lidah panjang untuk menangkap mangsa. Bisa pula dipakai menjilat ke atasan. Iya kan?

Dunia Game


Di suatu siang yang terik, di satu gedung tinggi di kawasan SCBD, saya diajak ketemuan oleh sejumlah anak muda. Usia mereka masih belasan tahun hingga awal dua puluhan. Mereka memperkenalkan profesinya yakni Gamer. Hah?

Selama ini saya pikir game hanya untuk main-main. Rupanya, ada sejumlah orang yang berkecimpung di dunia game, lalu mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari honor yang saya terima sebagai pelatih kucing.

Seorang di antara mereka menunjukkan apa yang dibuatnya. Dia membuka laptop lalu menunjukkan desain animasi yang dibuat. Saya melihat ada gambar kapal serta di dalamnya ada orang-orang berbaju ala prajurit Jawa masa lalu, lengkap dengan tameng dan keris. Rupanya, anak muda itu adalah game developer.

Dia tahu kalau saya lama belajar antropologi. Dia minta masukan tentang jenis-jenis kapal, keris, hingga pakaian. Dia juga minta bantuan saya untuk membuatkan cerita menarik di permainan itu sehingga setiap pemain game punya misi yang harus dikejar. Saya menyanggupi.

Anak muda lainnya mengaku sebagai game tester. Ceritanya, ketika ada produk game yang diluncurkan, baik di dalam maupun luar negeri, dia akan menjadi pihak yang diminta mencoba permainan itu. Untuk aksi-aksinya, dia dibayar pakai dollar. Wow.

Ada juga yang menjadi anggota tim e-sport. Dia dibayar profesional oleh tim yang merekrutnya. Saya malah baru tahu kalau dunia e-sport itu seperti kompetisi sepakbola, di mana ada klub yang merekrut banyak pemain, setelah itu rutin latihan, lalu tampil dalam kejuaraan. Ini benar-benar dunia baru buat saya yang hanya jago memainkan game ular di HP jenis Nokia.

Anak paling muda di situ tersenyum-senyum saat ditanya apa yang dia lakukan di dunia game. Dia menjadi joki karakter. Misalnya, ada pemain game yang ingin mengubah karakter petani jadi prajurit, dia bisa bantu dengan cara menjadi joki. Setelah dia main, skill petani dengan cepat bisa di-upgrade. Sesekali dia jual poin atau mata uang yang berlaku di game.

Lainnya mejadi kreator konten. Mereka bermain game, merekam permainan itu, lalu membagikannya di platform Yutub. Follower-nya banyak. Mereka mencetak banyak cuan. Saya langsung ingat anak saya yang rutin mengikuti kanal Obit, si anjing, yang selalu me-review game terbaru. Jangan-jangan, salah satu dari mereka adalah Obit si Anjing.

Saya lihat mereka nampak sukses dan kaya. Mereka memakai gadget terbaru, juga sepatu mahal. Dunia game menjadi profesi yang cukup mapan bagi anak muda usia belasan tahun. 

Tentu saja, saya tak ingin menghakimi apa yang mereka lakukan dengan cara pandang generasi ala baby boomer. Malah saya kagum sama mereka. Dahulu, Mark Zuckerberg adalah seorang game developer yang mengunduh bank data semua cewek se-Harvard, lalu memasukkan foto-foto cewek itu ke aplikasi Facemash dan meminta mahasiswa lain untuk memvoting siapa paling cantik. 

Saya ingat Don Tapscott dalam buku Grown Up Digital, tentang lahirnya NetGen yang mengenal internet sejak kecil, menggunakan teknologi untuk menjadi lebih cerdas dibanding orangtuanya.

Kata Tapscott, generasi ini cepat merespon berbagai informasi yang masuk dengan cara-cara yang unik. Mereka berpikir dan mengolah informasi dengan cara berbeda. Mereka mengolah wawasan-wawasan baru, yang lalu membawa banyak implikasi pada sistem pendidikan, iklim bisnis, serta bagaimana mempengaruhi kebijakan. 

Tapscott memberi contoh tentang anak-anak muda Amerika yang rata-rata paham sejarah dan mitologi gara-gara main game. Ada juga hasil riset yang menyebutkan para pemain game jauh lebih cepat merespon informasi visual di pikirannya, ketimbang mereka yang tidak bermain game.  Para pemain game jauh lebih banyak melihat berbagai target seperti bujur sangkar, lingkaran, wajik, limas, kerucut, yang ditampilkan di layar komputer. 

Riset ini menunjukkan, kemampuan mengolah data-data visual sangat berpengaruh pada keterampilan spasial, kemampuan memanipulasi obyek 3-D secara mental, yang sangat berguna bagi para arsitek atau perancang bangunan, dokter, pemahat, insinyur, pekerja desain interior, fashion designer, pembuat animasi dan kartun, para seniman, hingga para ahli matematika. 

Saya pun teringat guru saya, Profesor Vilbert Cambridge, yang bercerita bagaimana game menjadi tools yang sangat penting untuk kampanye hidup sehat di Afrika. “Game itu bisa jadi sarana edukatif. Makanya kita harus bikin banyak game untuk melatih anak-anak kita,” katanya.

Yang saya pikirkan, bagaimana anak-anak ini menjelaskan profesinya kepada orang tuanya. Di kampung saya, yang namanya profesi, kalau bukan polisi, tentara, dokter, pe en es, yaa pedagang. Saya bayangkan respon keluarga di kampung saat saya beritahu profesi saya sebagai gamer. "Apa ko bikin? Main-main ji? Lebih baik ko pulang."

Hmm. Dunia memang terus berubah.