Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saat Athens Dicekam Kepanikan


DI saat saya sedang sibuk membaca di Alden Library, tiba-tiba saja sirine berbunyi. Setelah itu, ada suara petugas perpustakaan yang terdengar di seluruh sudut bangunan. Ia meminta agar semua penghuni perpustakaan meninggalkan bangunan itu dan segera pulang. Kampus dinyatakan ditutup. What? Ini baru jam 11 siang. Ada apakah gerangan?

Saya hanya bisa mneduga-duga. Pagi ini, ketika saya membuka email, pihak Ohio University Police Department (OUPD) mengirimkan informasi tentang seorang buronan yang menodong di satu apartemen, lalu melarikan diri di dekat kawasan Stocker. Pesan itu juga saya terima melalui ponsel. Bahkan lewat facebook-pun, saya menerima pesan yang sama.

Ternyata, bukan hanya perpustakaan saja yang tutup. Rektor telah mengumumkan untuk menutup kampus dan mahasiswa diminta untuk pulang ke rumah. Pantesan saja jika semua orang bergegas pulang dalam keadaan panik. Informasi baru beredar kalau sang buronan bersenjata itu berkeliaran di sekitar kampus.

Saat bergegas keluar, saya bertanya pada seorang mahasiswa Amerika. Ia berkata kalau pihak kampus khawatir kalau buronan itu akan menembak. “Kupikir pihak kampus khawatir kalau akan ada penembakan sebagaimana yang terjadi di Virginia atau Sandy Hook,” katanya dengan nada cemas.

Amerika memang tengah dihantui sebuah musuh baru. Dahulu, yang ditakuti adalah musuh dari negeri lain yang bisa menyerbu atau menebar terror setiap saat. Hari ini, musuh tersebut adalah warga sendiri yang dipengaruhi berbagai aspek, entah itu depresi, kesulitan hidup, ataukah moralitas yang kian tercabik. Berbagai kasus pembunuhan massal yang dilakukan warga biasa mestinya menjadi alarm bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem sosial.

Sebagai pendatang, saya hanya melihat bahwa nampaknya debat tentang kepemilikan senjata akan kembali menghangat. Minggu silam, Obama telah menganjurkan adanya batasan kepemilikan senjata, yang kemudian ditentang habis-habisan oleh National Riffle Association (NRA), yang mengklaim didukung banyak warga.

Saya tak hendak membahas polemic itu. Biarlah itu menjadi bahan diskusi warga Amerika. Saya hanya mencatat betapa negeri ini sangat melindungi warganya. Ketika ada info tentang kejahatan atau buronan, pemerintah dan pihak kepolisian Athens lalu bergerak.

Selain ada tim yang bertugas mengejar sang buronan, polisi juga menelepon seluruh warga kota dan memberi peringatan agar tidak berkeliaran di areal tertentu. Jangan tanya dari mana polisi mengetahui nomor telepon semua warga, sebab seluruh nomor itu terregistrasi dalam catatan kepolisian dan pemerintah.

Polisi menyampaikan pengumuman melalui beragam jalur komunikasi. Mereka juga mengirimkan email ke semua warga tentang buronan ini. Semua diminta waspada dan hati-hati kalau buronan itu bisa menyakiti warga. Polisi benar-benar bekerja untuk mengatasi kepanikan warga. Mereka menjadi terapis yang rajin memberikan informasi agar warga tidak panik dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Terhadap apa yang barusan terjadi, saya tiba-tiba saja membayangkan apa yang terjadi di tanah air. Apakah polisi dan negara hadir di sisi kita saat kita sedang takut tentang adanya seorang jahat yang berkeliaran? Ketika kita ketakutan akan kerusuhan dan manusia yang bersenjata di jalan, apakah kita pernah menerima telepon atau pesan dari polisi agar tidak panik?

Entahlah. Kita terlampau sering berada pada situasi yang tak aman. Bahkan tangan-tangan kekar penegak hukum pun sering tak sanggup menghadirkan rasa aman di hati kita. Dalam keadaan seperti itu, kita hanya bisa berharap adanya keajaiban serta keberuntungan. Lewat ketakutan itu, kita mengasah diri kita untuk tahan terhadap segala masalah. Namun, bukankah tugas negara adalah melindungi segenap warganya?

Athens, 31 Januari 2013

Mengubah Tampilan Blog


LELAH dengan tampilan blog yang lama, hari ini saya kembali mengubah tampilan blog. Bukan karena bosan dengan yang lama, namun semata-mata untuk mengasah kreativitas dan mencari hal-hal lain yang bisa menambah semangat. Mudah-mudahan saja tampilan kali ini tidak membosankan dan membuat blog ini jadi lebih dinamis. Semoga saja.


Petualangan Terbaru Robert Langdon

Robert Langdon yang diperankan Tom Hanks

PENGARANG Dan Brown merilis novel baru berjudul Inferno. Hari ini, saya menerima email dari Amazon yang berisi ajakan untuk pre-order, atau memesan buku sebelum dikeluarkan pada tanggal 15 Mei mendatang. Meskipun belum tertarik untuk memesan, namun saya suka dengan promosi seperti ini.

Saya penggemar serial petualangan Robert Langdon dari Dan Brown. Bagi saya, Langdon adalah seorang detektif yang punya wawasan sejarah yang hebat. Ia bisa menjelaskan kode dengan analisis simbologi, budaya, lalu menghubungkannya dengan sejarah. Pikirannya bisa menembus kode dan apa yang tampak demi menemukan saling kait antara satu fakta dengan fakta lainnya.

Sayangnya, belum ada satupun pengarang Indonesia yang bisa sepiawai Dan Brown dengan karakter Robert Langdon. Padahal, sejarah dan budaya Indonesia demikian kaya dan penuh teka-teki di dalamnya. Kita punya ribuan misteri dalam aneka ragam candi, atau tradisi yang hingga kini masih hidup dan tersimpan rapi di benak setiap penghayat kebudayaan. Kita juga punya khasanah dongeng, yang bisa dilihat sebagai bahan baku naskah untuk menyusun teka-teki masa silam, lalu menerka-nerka, apa yang sesungguhnya hendak dibisikkan para leluhur untuk kini.

Sayang, belum ada pengarang yang sepiawai Dan Brown di tanah kita. Di jajaran yang muda, ada pengarang E.S Ito yang menulis dua novel yang berisi teka-teki sejarah yakni Negara Kelima, dan Rahasia Meede. Selain itu, saya belum menemukan satu nama lain yang berani mengaduk-aduk sejarah kita. Sayangnya, Ito belum seproduktif Brown. Tapi harapan harus tetap dikerek tinggi-tinggi, agar kelak banyak pengarang baru yang bermunculan dan mengolah bahan baku sejarah serta kebudayaan kita yang amat kaya. Semoga.


Athens, 28 Januari 2013

“Sometime u need a long road to understand that your destination is the first step of your journey.”




JELANG penghujung semester terakhir, saya sudah harus mulai menimbang-nimbang hendak ke mana. Banyak teman yang mulai mengajukan aplikasi untuk lanjut sekolah. Saya pun mulai tergoda. Namun setelah berpikir matang-matang, saya merasakan keinginan yang sangat kuat untuk pulang kampung. Saya ingin kembali menjalani hari-hari yang tidak bergegas. Saya ingin agar anak saya berkembang di rumah saya, bersama ibu saya, bersama keluarga kecil kami.

Saya bukan berasal dari satu keluarga besar. Jumlah keluarga kami tak banyak. Makanya, hampir setiap saat saya rindu rumah. Di sana banyak yang berubah. Ada banyak kejadian sedih yang bertubi-tubi menimpa rumah. Sebagai seorang anak lelaki, kehadiran saya akan sangat berharga. Minimal, saya bisa menghadirkan sedikit rasa aman, atau bisa menguatkan orang-orang atas segala keputusan.

Saya ingin sekali kembali ke rumah selama beberapa saat. Ini bukan soal karier. Tapi keberadaan saya akan memberikan rasa aman dan sedikit keberanian di rumah kecil itu. Saya merasa terpanggil untuk sejenak mengabaikan ego tentang batas tertinggi yang bisa saya capai.

Saya ingin sesaat menjadi ordinary people, yang bergelut dengan hal keseharian yang remeh-temeh. Saya tak ingin memikirkan bangsa, atau memikirkan hal yang lebih besar. Mungkin atas alasan itulah saya ingin pulang. Saya ingin membawa anak saya untuk tinggal bersama neneknya. Kami akan mengisi hari kami dengan tawa riang serta permainan yang mendatangkan gelak tawa.

Saya tak ingin terjebak dengan para alumni luar negeri yang berlomba-lomba untuk bekerja di lembaga internasional. Saya ingin kembali menjadi diri saya sebelumnya, yang saban hari selalu bangun siang dan terlambat memulai hari.

“Sometime u need a long road to understand that your destination is the first step of your journey.”


Athens, 27 Januari 2013

Apakah Kisah Rangga-Cinta adalah Plagiat?

 

JIKA saja saya bertemu dengan Jujur Prananto, penulis scenario film Ada Apa dengan Cinta? (AADC), saya ingin sekali bertanya, film apa sajakah yang mempengaruhinya dalam menyusun scenario film AADC? Apakah kisah Rangga dan Cinta itu adalah kisah yang orisinil?

Lewat Youtube, saya menyaksikan film lawas Roman Picisan yang dibintangi Rano Karno dan Lydia Kandou. Saya menemukan betapa alur cerita ini tak banyak beda dengan alur film AADC. Yang membedakannya hanyalah suasana zaman berupa kebudayaan, ujaran, humor, atau lifestyle. Yang juga tak sama adalah dialog-dialog serta kejadian-kejadian kecil yang memberi sukma bagi film. Tapi dari sisi plot, saya melihatnya sama persis. Mengapa?

Keduanya sama-sama kisah tentang pemuda yang suka buat kata-kata indah. Pemuda ini sering bertengkar dengan seorang gadis manis. Hingga akhirnya keduanya menyadari bahwa mereka saling cinta. Adegan terakhirnya sama-sama di bandara. Memang tak sama persis, tapi aliran kisahnya tak jauh beda. Saya malah bisa menebak sebelum film itu berakhir.


Jika saja saya duluan nonton Riman Picisan, maka alur kisah AADC akan sangat mudah tertebak. Kembali ke pertanyaan awal, apakah AADC menjiplak Roman Picisan? Para sineas pasti menjawab tidak, sebab dialog, tokoh, dan kisahnya memang beda. Tapi kok, jalan ceritanya hampir mirip? Bagaimanakah menjelaskan kemiripan ini?



Alam Semesta sebagai Guru

 

TERLAMPAU banyak energi di negatif di sekeliling kita. Di media sosial, terlampau banyak orang yang suka menghina sesamanya. Banyak pula yang suka mencaci-maki pemimpinnya sendiri. Ada juga yang benci dengan orang lain lalu melepaskan kebencian itu di media sosial. Ada yang menyakiti, membicarakan, atau meghakimi orang lain atas nama dalil atau pengetahuan.

Mereka yang suka menjelekkan orang lain adalah mereka yang gagal membangun kebaikannya sendiri. Dengan menjelekkan orang, seseorang berpikir bahwa dirinya lebih baik. Padahal, boleh jadi, keburukan justru ada pada diri orang itu. Semesta mengajarkan bahwa buah yang jelek pasti akan jatuh dengan sendirinya. Maka kejelekan tak perlu disebarkan atau dihakimi. Biarlah semesta yang akan menghukumi lalu menjatuhkannya.

Jika memang seseorang jelek hatinya, lambat laun dunia akan tahu. Namun jika seseorang yang dijelekkan itu ternyata baik dalam tafsiran dunia, maka saat itu juga semua orang akan tahu keburukan hati yang menebar kisah. Saat itu juga dunia akan tahu bahwa si penebar cerita adalah seseorang yang tak bisa lepas dari rasa culas dan iri hati, sehingga tak bisa terang melihat orang lain.

Salah satu kalimat indah yang dituturkan nenek moyang adalah alam terkembang sebagai guru. Alam semesta mengajarkan demikian banyak tanda-tanda yang bsia diserap untuk memperkaya kemanusiaan. Burung dan kelelawar tak pernah memakan buah yang busuk. Ia hanya bersedia memakan buah yang masak. Sementara kita manusia jarang teliti dalam berkata. Kita sering tak menyadari bahwa kalimat kta mengandung racun dan menyakiti yang lain.

Lantas, apakah kita masih bangga menjadi manusia ketika burung dan kelelawar lebih arif dari kita?

Marilah kita belajar dari seekor ulat. Jalannya serba pelan. Ia kerap dihina karena bentuknya yang dianggap menjijikkan. Tapi ulat tak pernah putus asa. Ia tetap saja memakan daun demi pertumbuhannya. Pada suatu titik, ia akan menjelma sebagai kepompong. Ia bersabar dengan segala hal di sekitarnya. Ia tak peduli dengan cacian manusia yang melihatnya bersembunyi.


Ketika tiba waktunya, ia akan keluar dari kepompong dan menjadi kupu-kupu yang indah. Sayapnya merentang, dan membuatnya bisa mengangkasa. Ia menunjukkan bahwa kesabaran selalu membuahkan hasil. Ia mengajarkan bahwa menahan diri demi mematangkan diri adalah jauh lebih baik dari mengumbar kalimat kasar tentang yang lain.

Lantas, apakah kita masih bangga menjadi manusia ketika seekor ulat lebih sabar dari kita dalam mematangkan diri?

Alam semesta menyimpan ribuan kisah. Alam semesta menyimpan lautan makna, bagi mereka yang sanggup mengurainya. Pelajaran terbaik dari alam adalah pelajaran untuk melihat segalanya sebagai proses. Mereka-mereka yang belajar dari alam adalah mereka yang menajamkan mata dan telinga demi menyerap kearifan, lalu melihat semuanya secara positif. Semesta memberikan energi positif, yang kemudian dilepaskan kembali menjadi kebaikan-kebaikan pada sesama.

Mereka yang tak belajar dari alam adalah mereka yang sering memelihara pikiran negatif. Mereka yang membenci sesama adalah mereka yang tak bisa membangun energi positif pada dirinya, tak bisa membangun kebaikan-kebaikan dari dirinya, tak bisa memperkaya nuraninya dengan refleksi, sehingga tak sanggup untuk belajar dari sekelilingnya. Mereka gagal sebagai manusia yang menginspirasi. Mereka memusuhi semesta, dan kelak akan dihukumi oleh semesta.

Lantas, di manakah posisi kita?


Athens, 26 Januari 2013

Tafsir Baru Kebahagiaan



 
KUTEMUKAN definisi baru tentang bahagia. Apa yang disebut bahagia adalah saat-saat ketika kamu menemukan namamu pada sebuah buku yang diterbitkan. Bahagia adalah momen ketika kamu melihat karya bermunculan, dan memiliki kesempatan untuk menginspirasi publik. Tolok ukurnya bukanlah materi, tapi momen indah ketika kamu berusaha menggapai sesuatu, kemudian kamu telah menggapainya. Simpel, tapi penuh makna.

 

Mengalir Bersama Sungai Kehidupan

 

SUATU hari, perempuan itu menemui saya di tepi sebuah rumah. Ia lalu bercerita tentang cintanya yang remuk. Ia putus asa dan hendak bunuh diri. Ia ingin menemukan cinta sejatinya di alam sana. “Aku telah memberikan segalanya untuknya. Tapi ia memilih bersama orang lain. Dunia ini telah menampikku,” katanya.

Seringkali kita merasa kehilangan cinta. Sering kita merasa terabaikan. Kehidupan terasa hampa, sehingga kita kehilangan semangat. Kita seakan terjebak pada satu pusaran masalah, sehingga kesulitan untuk menemukan jalan keluar. Kita tak melihat cahaya. Kita terjebak dalam kegelapan. Benarkan kita tak punya harapan?

Kita sering tak berkaca di telaga jernih. Bahwa apa yang disebut cinta adalah sesuatu yang kita ciptakan dalam diri lalu kita inginkan untuk abadi. Cinta adalah kemelekatan atas sesuatu. Cinta adalah sesuatu yang ingin kita abadikan sehingga selalu memberi rasa hangat di hati. Ketika sesuatu itu lenyap, maka kita seolah kehilangan segalanya. Kehidupan jadi tak menarik tanpa sesuatu itu. Kita mudah depresi. Stres. Kita mudah merasa kehiangan segala-galanya.

Pantas saja jika seorang arif selalu menganjurkan bahwa demi mencapai kebahagiaan, maka kita mesti berani melepaskan kemelekatan atas sesuatu. Semakin kurang kemelekatan kita, maka semakin berkuranglah potensi rasa sedih atas potensi kehilangan sesuatu itu. Secara praktik, ini jelas tidak mudah, sebab kita terlalu sering memaknai diri kita berdasarkan sesuatu yang kita miliki dan belum kita miliki, atau sesuatu yang pernah dimiliki, kemudian lenyap tak berbekas. Namunkah haruskah kita mengorbankan masa kini dan masa depan demi sebuah kenangan indah di masa silam?

Baru saja saya membaca berita tentang seorang anak yang bunuh diri karena tak dibelikan sepeda motor. Anak itu melihat sepeda sebagai citra diri yang ingin ditujunya. Ia tak beda dengan bankir yang bunuh diri karena merasa kehilangan uang sebanyak miliaran rupiah. Atau seorang perempuan yang gantung diri karena dotinggal kekasihnya. Apakah kehidupan demikian tak berharga sehingga sepeda motor, uang, serta kepergian seseorang bisa merenggut kehidupan?

Kita sering ingin mengendalikan kehidupan. Kita sering ingin memaksakan sesuatu sebagaimana apa yang disaksikan di sinetron atau dalam imajinasi. Tapi kita hanya seorang yang rapuh dan tak akan pernah bisa mengendalikan kehidupan. Kehidupan memiliki bahasanya sendiri. Kita tak pernah bisa menebak jalan nasib. Kita akan berhadapan dengan banyak hal yang sering tak sesuai dengan cita-cita.

Lantas, adakah harapan untuk bahagia? Kunci kebahagiaan itu tak terletak pada sesuatu. Bahagia itu terletak pada keikhlasan untuk melihat kehidupan sebagaimana air mengalir. Air tak pernah ambisi untuk mendaki ke tempat tinggi. Air akan setia dengan takdirnya ke tempat rendah. Air tak pernah marah pada batu karang yang menghalangi langkahnya. Ia memilih untuk jalan memutar lalu tetap melanjutkan langkahnya hingga akhirnya berhimpun dalam telaga. Ketika matahari mengakrabkan diri, ia akan ikut bersama uap, dan kelak akan kembali ke lingkaran kehidupannya.

Kehidupan yang seperti air bermakna menerima sesuatu apa adanya. Kita adalah anak panah yang mengikuti arah busur. Kita hanya berencana, bekerja, dan berusaha sekuat tenaga, namun kehidupanlah yang kelak menentukan akhir dari usaha tersebut. Kehidupan seperti air mengalir bermakna bahwa diri dan jiwa akan bergerak menggapai sesuatu, namun hasil akhir akan ditentukan sang nasib. Kita tak akan menangis ketika karang menghadang, tapi kita akan tetap rendah hati untuk memilih jalan memutar demi menggapai telaga kehidupan. Kita akan menemukan jalan lain dalam ikhtiar untuk tetap melaju.

Dalam proses perjalanan, hasil akhir menjadi tak penting. Sebab yang penting adalah proses untuk menemukan hasil akhir itu. Memang, ada sedih, tawa, senang, dan benci. Semuanya adalah bunga-bunga kehidupan yang memberi warna-warni. Semuanya membentuk satu konsep yang utuh tentang diri kita. Kehidupan seperti air adalah menerima segala hal yang terjadi, dan memandangnya dengan terang mata jernih bahwa kehidupan memilih jalannya sendiri, dan kita hanyalah satu tetes air yang ikut mengalir bersamanya.



Athens, 26 Januari 2012

Tak Ada Skripsi di Amerika

kampus Ohio University

BEBERAPA orang teman di Athens, Ohio, akan segera menjalani ujian akhir. Tak ada ketakutan di raut wajah mereka. Saya melihat wajah mereka yang biasa-biasa saja, seolah ujian akhir adalah perkara yang biasa saja dalam kehidupan. Mengapa demikian?

Di Tanah Air, ujian akhir atau ujian meja menjadi ajang ‘pembantaian.’ Di banyak kampus di negeri kita, ujian meja menjadi ajang bagi para pengajar untuk menunjukkan superioritas akademiknya. Tujuan ujian adalah mencari sebanyak mungkin kesalahan si anak didik, apakah itu kesalahan menulis, kesalahan menganalisis, atau kesalahan-kesalahan kecil, misalnya tidak menulis nama-nama penguji di ucapan terimakasih.

Pendidikan kita dibangun di atas satu landasan yang memosisikan para penguji sebagai dewa-dewa penentu segala hasil kerja seorang mahasiswa. Pendidikan kita dibangun di atas pilar-pilar pencarian kesalahan seorang siswa didik. Mengapa harus mencari kesalahan? Mengapa ujian tak harus menjadi arena untuk menemukan inspirasi-inspirasi dari pengalaman seorang mahasiswa yang sedang belajar menemukan dirinya di tengah peta kehidupan yang demikian sulit?

ini ujian skripsi ataukah pengadilan?

Di beberapa kampus di tanah air, ujian menjelma sebagai pengadilan atas mahasiswa. Ujian akhir menjadi ujian apakah mahasiswa layak melangkahkan kaki di semesta kehidupan. Pernah, seorang teman di tingkat magister tiba-tiba saja meninggal, beberapa hari usai ‘dibantai’ oleh para penguji tesisnya. Entah apakah ia meninggal karena ujian itu atau tidak. Yang pasti, sepulang dari ujian, ia seakan linglung dan kehilangan api semangat.

Mengapa harus ada ujian skripsi atau tesis? Mengapa harus ada pengadilan? Apakah pendidikan memang identik dengan ujian?


Saat berkesempatan ke Amerika, saya agak terkejut saat mengetahui bahwa di tingkat sarjana dan magister di AS, ujian bukanlah hal yang wajib. Mahasiswa di tingkat sarjana dan magister bisa memilih untuk tidak ujian. Di sini, ada tiga pilihan; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) professional project, bisa dalam bentuk film documenter, tulisan jurnal, atau presentasi ilmiah, bisa pula berbentuk karya lainnya, (3) ujian komprehensif, biasanya dalam bentuk tulisan. Dosen akan memberikan soal, yang kemudian dijawab di satu ruangan tertentu.

Di tingkat sarjana, saya belum pernah mendengar ada mahasiswa yang memilih skripsi. Setelah mencapai kredit kuliah tertentu, maka mahasiswa itu bisa mendaftar wisuda. Sangat mudah. Demikian pula di tingkat magister. Dari sejumlah 12 orang di angkatan saya, hanya dua orang yang memilih tesis. Yang lain akan memilih project atau ujian komprehensif.

Pertanyaannya, mengapa di Indonesia, semua mahasiswa wajib menulis skripsi? Bukankah mereka sedang dalam taraf belajar untuk mengenali paradigm riset serta mengimplementasikannya di lapangan? Saya tak ingin menghakimi. Tapi banyak di antara skripsi itu yang cuma kopi-paste atau mengandalkan jasa orang lain. Atau malah dibuat asal-asalan, tanpa menghasilkan rekomendasi yang bagus di dunia akademik.

Dengan model ujian ala pengadilan, yang tidak didukung dengan proses yang benar, kita tak bisa berharap banyak. Kita hanya bisa mengurut dada melihat sengkarut pendidikan kita yang entah harus diurai dari mana. Bisakah kampus-kampus kita melahirkan para pemimpin hebat? 

Kembali ke teman-teman saya yang santai-santai saja saat ujian tesis. Mengapa demikian santai? Sebab, ternyata ujian bukan menjadi ajang pembantaian. Ujian menjadi momen di mana para pengajar akan memberikan motivasi untuk berbuat terbaik. Jika ada keliru, mereka akan membetulkan dengan bahasa yang bijak. 

Mereka paham bahwa perjalanan menuju pengetahuan tidak mudah, dan seorang mahasiswa telah belajar untuk meniti di jalan itu. Mereka paham bahwa proses menuju pengetahuan itu jauh lebih penting, ketimbang pengetahuan itu sendiri. Para pengajar menjadi sosok-sosok yang menginspirasi dan mengulurkan tangan ketika mahasiswa sedang kesulitan. Mereka menjadi mata air di tengah kegelisahan mahasiswa untuk menemukan jalan terang di belantara pengetahuan. 

Entah jika ada kisah yang tak menyenangkan di ujian akhir. Tapi setidaknya, itulah yang saya saksikan di Athens, kota kecil yang saat tulisan ini dibuat, tengah dihujani salju yang turun bak kapas.(*)


Athens, 23 Januari 2013

Learning from Dances with Wolves


Dances with Wolves


Twenty years ago, I watched Dances With Wolves, a movie that was starred by  Kevin Costner. This movie tells about John J Dunbar, a U.S. soldier who served on the frontier and had frequent contact with the Sioux, one of American Indians tribe.
At first, John thought like other American soldiers who saw Indians as primitive, barbaric and should be abolished. He also saw the Indians as a group of people who lived with ancient ways. At the border, he was often faced with a situation when an Indian tried to steal his horse. In order to solve the problem, he visited the Indian village to start a dialogue with them.
Interestingly, John recorded all his experiences through personal diaries. Every time he met the Indians, he would write about experience and made sketches of clothing, weapons, equipment used by some Indians. Late, John learned the language and some of the rituals, including dances that were often performed by the Indians and was given the name Dances with Wolves. After several meetings, he changed his views about the Indians. He no longer saw them as a barbaric or primitive group. He began to learn the knowledge of the Indians, including the customs and way of life.
He learned to see the world through an Indian perspective. He began to ask many questions about why the Indians should be hunted down and eliminated. He questioned the Indian history, and built a sense of empathy for them. At the end of the film, he chose to be one of the Sioux Indians. He played his role as a hero who helped them escape.
I remembered the story in this movie when I read the articles from Joseph-Marie Degerando, Franz Boas and Bronislaw Malinowski. They are important figures in the history of ethnography. Their articles describe about the position of a researcher or ethnographer in a native community. I see a similarity among them since both rejected the view from the top approach. For them, the society must be explained with a grass roots view. An ethnographer is someone who learns from the community and illustrates the knowledge using the values learned from the community.
I was especially very interested while reading the Joseph-Marie Degerando. This paper criticizes travel notes made ​​by explorers or researcher in 1800. At that time, the European people entered a period of enlightenment. They repeatedly questioned dogmas taught by religion. The industrial revolution was also on the rise so there was a need for a variety of natural resources to sustain the industry. Various explorations were conducted in other continents such as Asia and Africa to gather natural resources.
As a philosopher, Degerando questioned how the scientists conducted the data collection. He recommended thinking inductively while using data collection methods. He emphasized the importance of observation, and how the data should be collected through first-hand, unbiased, holistic, and should always be confirmed.
The method that was offered by Degerando is a scientific method, as applied by biologists when they conduct research. However, often a biologist sees nature as an object to be conquered by the scientific method. Unlike biologists, Degerando recommended inductive methods to understand society. He placed people as a subject that should be firstly understood. This is the reason why he said that the data should always be confirmed. In this way, human beings are not like objects in biological research. A human being is a thinking subject, and sees the world with his or her own view.
Degerando contribution is to provide a roadmap for ethnography. Although Degerando suggestions were not used as a method of data collection for scholars and traveler of the period, he has recommended some principles that became a handbook for ethnographic research. These principles are participant observation, first hand observations, use an emic point of view, understanding the local meaning, immerse in the host society, learning the native language etc. Degerando’s idea affects two modern thinkers; Franz Boas and Malinowski, particularly in terms of the development of ethnographic research.
Franz Boas is a very important figure in anthropology. He contributed scientific methodology to the modern anthropological study its scientific methodology and emphasized the importance of empiricism, that is theories must be developed only after research and not the other way around. At the time it was common to base research on preconceived theories, which led to stereotyping, false generalizations, and racial bias. Boas had previously rigorously studied natural sciences and adapted their empiricism to anthropology for the first time.
Boas was also among the first to reject the linear progression of cultures across the globe. Boas proposed that evolution is based on adaptations that are unique to their circumstances. As result he contributed to anthropology the term “cultural relativism” and the idea that each culture is a product of its own history and circumstances, not by race and environment.
I think the concept of cultural relativism is an important concept in the study of culture. This concept explains that all people have different values​​. A researcher must try to understand the different values ​​in order to gain a holistic understanding. In research, this concept uses the emic point of view that puts the researcher as a person who studies the community from within.
Boas significantly contributed to the development of methodology in anthropological research, makng extensive survey of variety of cultural aspects, such as religion, marriage, physical appearance, food, art, and so on. He emphasized the importance of ethnographic work on site, learning the language, and use of extensive surveys, which became the minimum standard for later anthropological studies.
Similar to Boas, Bronislaw Malinowski also developed ethnography. He conducted field research on the Trobriand Islands for several years. He stayed with the local community, followed their daily activities, and learned to understand their way of thinking. In 1922, he wrote a book called Argonauts of the Western Pacific.

Several years ago, I read this book. The first question that arose was who were the Argonauts? After reading the book, I got the information that the Argonauts term is derived from Greek mythology. Argonauts were a group of people who accompanied Jason to sail and to face danger. Malinowski used this term to describe people who sailed across the Trobriand islands for trade.
Later Malinowski developed his ideas on fieldwork. In his writings, he always stressed the importance of experience and living with local communities. I like Malinowski’s article, entitled Method and Scope of Anthropological Fieldwork. He wrote a reflection on his experiences in the Trobriand. He explained that an ethnographer should do fieldwork, living with local people and build rapport. I also like the idea to reject the use of the term 'savage' culture because the term is so biased and derogatory.
One of his most important contributions was that he popularized fieldwork and ethnography. Most anthropologist before him based their research on structured interviews and did not mix their work with the daily life of their subjects. In contrast, Malinowski more than any other researcher before immersed himself in studying the mundane aspects of his subjects’ life.
He based all his work and subsequent revolutionary theories on participant observation, particularly in his famous studies of the Trobriand Islanders of New Guinea. The emphasis on fieldwork and immersion in daily life, as well as other aspects of Malinowski theories, were adopted by the American School of Anthropology, particularly through the work of Franz Boas.
            In the future, I hope to follow in this ethnographic tradition by continuing similar fieldwork in my own country.


Athens, January 22, 2013

Mengubah Benci Menjadi CINTA



….dari manakah datangnya kebencian?


MEREKA yang membenci orang lain adalah mereka yang membiarkan dirinya dihisap oleh penyakit yang secara perlahan menggerus tubuhnya. Telah banyak riset dikemukakan bahwa rasa benci bisa menimbulkan penyakit, tapi tetap saja ada orang yang memendam benci pada sesamanya. Tetap saja ada yang tak suka melihat orang lain melangkah maju, menanam benci yang berkarat hingga menahun. Aneh!

Mereka yang membenci orang lain adalah mereka yang tak memahami hakekat tentang kehidupan. Mereka berpikir bahwa segalanya abadi. Padahal, semuanya terus bergerak. Bahkan benci itupun bisa bergerak. Kemanapun anda bergerak, benci itu akan mengejar-ngejar. Benci itu akan bisa beranak-pinak. Anda sedang membatasi ruang gerak di planet yang serba terbatas ini. Bukankah akan sangat tidak nyaman ketika tak bisa ke mana-mana hanya karena seorang yang anda benci ada di situ?

Mereka yang menanam benci adalah mereka yang menanam sebuah belukar di sekeliling hatinya. Belukar itu akan menjerat kaki ke manapun bergerak. Benci itu akan menjadi duri-duri yang menghalangi gerak di rimba kehidupan. Benci itu akan menjadi lumpur hidup yang kelak akan menghisap dirimu, menarik-narik kakimu, tak membiarkanmu untuk melangkah maju.

Mereka yang menanam benci adalah mereka yang menyimpan nestapa. Benci itu akan jadi timbunan yang berisikan kisah sedih. Dunia dilihat dengan penuh kecurigaan. Benci itu adalah awal. Selanjutnya adalah berbagai prasangka yang kian menutupi hati dari cahaya putih kebijaksanaan. Benci itu adalah kanker yang memangsa seluruh tubuhmu. Benci itu adalah bencana yang secara perlahan menelan tubuhmu lalu membiarkanmu menderita dan terpuruk.

Apakah Anda seorang pembenci? Saatnya untuk menghentikan sikap bodoh itu. Saatnya untuk menanam bunga-bunga kedamaian. Saatnya untuk menyuburkan benih bahagia. Ikuti dunia sebagaimana air mengalir. Segalanya tak harus berjalan mengikuti keinginan. Ketika seseorang bergerak di luar patok yang kita tanam, maka benci tak perlu ditanam. Justru damai yang harus terus kita payungi.


Semua orang adalah anak panah yang mengikuti ke mana busur merentang. Semua orang mengikuti garis edar takdirnya masing-masing. Semua tindakan akan dicatat oleh Pemberi Kehidupan untuk kelak akan menerima hukum sebab-akibat. Seorang pencinta akan dicintai di mana-mana. Takdir seorang pembenci adalah dibenci di mana-mana. Takdir seorang baik akan menerima kebaikan di mana-mana. Dan takdir seorang jahat adalah tak menerima tatap hangat dari orang lain.

Seorang musuh terlalu banyak. Sejuta sahabat terlampau sedikit. Kehidupan yang kelak akan mencatat seberepa banyak benih kebaikan yang kita tanam. Kelak, kehidupan pula yang akan memberikan hukuman atas segala goresan benci yang kita tanam. Bukankah dunia ini akan amat indah ketika kita disambut senyuman di mana-mana? Lantas mengapa pula kita harus menanam benci?


Athens, 21 Januari 2013


Penulis, Pendekar, dan Selembar Daun

 


“Mati kafir seseorang yang tak pernah menulis buku,”


DI akhir tahun 1990-an, saya mendengar ungkapan itu dari pengajar Universitas Hasanuddin, Alwy Rahman. Saat itu, ia sedang menyindir para akademisi yang tak punya hasrat untuk menghasilkan sesuatu. Padahal, pada hakekatnya, tugas mereka adalah mentransfer pengetahuan, memberikan pencerahan pada mahasiswa. Tanpa proses reroduksi pengetahuan lewat tulisan, apa gerangan yang mereka hasilkan? Apakah sekadar cuap-cuap di hadapan mahasiswa? Ataukah hanya sekadar mengutip karya-karya orang lain?

Pada masa itu, saya menganggap kalimat Alwy Rahman menjadi semacam lecutan untuk menghasilkan sesuatu. Saya ingin menulis sesuatu dan menerbitkannya. Saya bermimpi untuk melihat nama saya tertera di satu buku di sebuah rak toko buku. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk membekukan jejak-jejak pemikiran tentang sesuatu, pada suatu masa. Saya ingin berbuat banyak hal. Ingn meninggalkan jejak bagi generasi selanjutnya. Saya bersetuju dengan Pramoedya yang mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Sayangnya, pada masa itu, saya serasa berhadapan dengan tembok tebal untuk menghasilkan sesuatu. Ada semacam rantai panjang dunia penerbitan yang ketika didaki terasa terjal. Ada pula semacam kegentaran atas nama-nama para penulis kondang yang saban hari mengisi media massa kita.

Selain itu, pikiran juga dipenuhi dengan hantu-hantu atau ketakutan yang sengaja diciptakan, lalu menghambat semua proses kreatif. Takut dibilang tulisan jelek, takut dikira bego, takut dikira ngawur, takut dihakimi pembaca, takut dianggap sok-sokan melalui tulisan.

Demi mengatasi segala ketakutan, saya belajar untuk menulis di koran kampus. Saat itu saya berpikir nothing to loose. Mau dibilang bagus, saya santai saja. Mau dihina jelek, atau dibilangi hancur, saya cuek saja. Sebab mungkin demikianlah kenyataannya. Demi alasan keren, saya menulis tema-tema berat, semisal eksistensialisme, atau kapitalisme. Jika saja saat ini saya membaca tulisan-tulisan itu, saya akan senyum-senyum sendiri. Betapa tidak, gaya menulis saya di masa mahasiswa laksana seorang filsuf yang suka membentur-benturkan banyak teori. Di masa itu, saya melihat teori sebagai sebuah jurus silat yang amat asyik untuk diperkelahikan dengan teori lain. Menurut beberapa teman, tulisan saya adalah tipe tulisan berat, penuh istilah akademik, serta sukar dimengerti. Benarkah?

Pada masa itu, saya masih memelihara anggapan bahwa semakin hebat satu tulisan ketika semakin sulit dimengerti. Kecanggihan satu tulisan adalah ketika banyak mengutip istilah bahasa asing, serta sering mengutip pendapat pakar-pakar. Saya tak peduli jika pembaca tidak mengerti. Malah saya bangga dengan kenyataan itu. Malah, saya merasa pintar ketika orang lain tak mengerti apa yang hendak saya katakan. So what gitu lho?

Namun, anggapan ini berubah drastis saat saya menjadi jurnalis. Tugas sebagai jurnalis menuntut saya untuk menulis sesuatu yang berguna serta ingin diketahui publik. Di sini, saya belajar untuk menuliskan sesuatu dengan cara paling sederhana yang mudah dimengerti siapapun. Penulis terbaik adalah penulis di majalah kanak-kanak, sebab ia bisa menyederhanakan idenya hingga dipahami kanak-kanak dan orang dewasa.

Saya belajar banyak bahwa hal paling substansial dalam dunia kepenulisan adalah ketika tulisan itu dipahami, menginspirasi, dan melahirkan semacam kilatan-kilatan ide dalam benak pembacanya.

Ketika kita menulis dengan bahasa yang amat rumit (sebagaimana dilakukan para akademisi), maka kita adalah seorang yang angkuh. Kita telah menyiksa semua pembaca agar berusaha memahami jalan pikiran kita sendiri. Kita memaksa pembaca agar memahami ide-ide yang disampaikan, lalu membiarkan pembaca untuk merenungi apa yang sedang kita inginkan. Kita berumah di atas awan, tanpa paham bagaimana mereka yang tinggal di lapis bawah awan, tanpa tahu bagaimana mengulurkan sinar buat mereka yang di bawah sana..

Jika benar berumah di awan, mungkin akan bagus. Bagaimana halnya jika saya mengatakan bahwa mereka yang suka mengutip istilah adalah mereka yang tak paham dengan apa yang dikatakannya? Jika paham benar, maka seseorang akan sanggup untuk meremukkan sekaligus menaklukan kata-kata sehingga meluncur dalam ungkapan yang bisa dipahami banyak orang. Bukankah demikian?

Ibarat pendekar, seorang penulis hebat tak perlu membawa pedang ke mana-mana. Namun ketika pendekar itu berhadapan dengan perkelahian yang tak terelakkan, maka ia cukup memetik selembar daun, yang menjelma sekuat pedang. Ia tak perlu petantang-petenteng dengan istilah bangsawan akademik serta membawa pedang yang menyilaukan. Ia tak perlu membawa apapun. Ia cukup menjadi dirinya sendiri, dan sanggup untuk menuturkan sesuatu dengan pandangan yang sederhana, namun telak menembus ulu hati. Ia cukup memetik selembar daun. Hebat khan?

Ibarat tugas kependekaran, menulis adalah panggilan moral yang menuntut pertanggungjawaban pada publik yang membaca tulisan itu. Menulis adalah cara untuk menyapa hati banyak orang dan membisikan satu atau dua kata tentang dunia yang sedang kita pikirkan. Menulis adalah cara untuk meniupkan benih-benih gagasan yang kelak aka tumbuh dan berbiak dalam pikiran kita dan pikiran orang lain. Menulis adalah panggilan jiwa untuk menata ulang bangunan kenyataan yang nampak porak-poranda agar kembali bersemi dan semerbak sebagaimana mawar.

Dan jalan kepenulisan itu masih amat terjal buat saya. Tapi setidaknya saya telah belajar memetakan jalan untuk menulis dengan gaya bahasa yang renyah dan bisa dipahami banyak orang. Itu saja.

Ah, maafkan saya yang sedang mengigau dan tahu hendak menulis apa.


Athens,  19 Januari 2013