Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Quraish Shihab, Kontroversi Ulama Bugis di Kampung Buton

Prof Dr Quraish Shihab

DI Masjid Istiqlal, Quraish Shihab menyampaikan pesan-pesan serupa embun yang menyelusup kerongkongan yang kerontang. Dia menjelaskan muasal penciptaan manusia yang berasal dari tanah, bukan dari api. Dikarenakan sifat tanah selalu tenang dan memberi manfaat bagi sekitarnya, maka manusia harusnya stabil, tenang, dan menjadi rahmat bagi sekitarnya.

Di usia 73 tahun, pemilik gelar doktor dari Universitas Al Azhar, Kairo, ini tetap setia dengan ikhtiarnya untuk mencerahkan Indonesia. Dia yang memulai hari di Lotassalo, Rappang, Sulawesi Selatan, lalu  mengikuti ayahnya yang pindah ke Jalan Sulawesi, Lorong 194 nomor 7, di kampung Buton, Makassar, punya banyak kisah. 

Terhadap para pencacinya, ia selalu mendoakan. Malah ia meminta para pencacinya mengadili dirinya sebagaimana Abu Zayd. Siapakah Abu Zayd? Mengapa ia bersedia diadili?

Terdapat banyak keping kisah ulama besar yang di kampung halamannya disapa Odes ini.

***

LIMA tahun tinggal di Rappang adalah masa-masa paling berkesan dalam hidup Quraish Shihab. Dari kota Makassar, jarak Rappang adalah 185 kilometer. Rappang terkenal sebagai penghasil beras yang menyangga lumbung pangan nasional. Rappang identik dengan hamparan sawah luas, padi menguning, dan para petani yang sejak subuh hari telah berkarib dengan sawah.

Di kota kecil ini, Quraish Shihab lahir. Dia lahir dari ayah ibu yang merupakan orang terpandang, namun memilih jadi warga biasa, tanpa embel-embel. Ayahnya Abdurrahman Shihab adalah seorang profesor, guru besar tafsir Al Quran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar.  Malah, ayahnya pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin selama lima tahun (1972-1977).

Ibunya bernama Asma atau Puang Asma. Warga Rappang lebih suka menyapanya Puang Cemma. Puang adalah sapaan untuk keluarga bangsawan.  Nenek Asma, Puattulada, adalah adik kandung pemimpin Rappang. Puang Cemma sangat dihormati masyarakat. Quraish memanggil ibunya dengan sapaan Emma, sapaan khas seorang anak kepada ibunya di lingkaran etnik Bugis.  Kepada ayahnya, ia memanggil Aba.

Biarpun dari keluarga terpandang, sang ayah, Abdurrahman, melarang semua anaknya menggunakan embel-embel atau gelar. Bahkan sang ayah pun enggan dipanggil profesor. Biarpun keturunan Arab, sang ayah tidak pernah memakai embel-embel Arab misalnya jubah putih dan songkok putih. 

Ke mana-mana, ia memakai peci hitam. “Aba mengajarkan anaknya dan sesama keturunan Arab untuk menyatu dengan Indonesia. Dia tidak mengenakan peci putih khas Arab, melainkan peci hitam, khas Indonesia. Dia mengenakan celana, bukan jubah, bahkan berdasi dan berjas jika pergi ke pesta,” kata Quraish mengenang ayahnya.

Kisah-kisah Quraish itu saya temukan dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab, yang ditulis Mauluddin Anwar dkk. Dalam buku setebal 312 halaman ini, terdapat banyak sisi Quraish yang tidak banyak diketahui orang. Tak banyak yang tahu kalau dirinya adalah penggemar berat Real Madrid. Ia pernah berjalan kaki berkilo-kilo meter demi menyaksikan penampilan Alfredo di Stefano saat bertanding di Kairo.

Adik-adiknya memanggilnya Odes. Di masa kecil dia tak bisa melafalkan namanya dengan benar. Mulut mungilnya yang cadel hanya bisa menyebut Odes. Mulai saat itulah ia dipanggil Odes. Ia tumbuh sebagai remaja di rumah yang selalu ramai. Ayahnya selalu menampung siapapun anak muda yang hendak bersekolah di Makassar. Semuanya diperlakukan seperti keluarga sendiri.

Demi menopang kebutuhan keluarganya, Abdurrahman memiliki toko yang menjual berbagai kebutuhan di Pasar Butung. Quraish dan saudaranya kebagian tugas untuk menjaga toko itu, terutama sore hari seusai bersekolah di SD Lompobattang dan SMP Muhammadiyah Makassar. 

Kadang, Quraish bolos karena menonton film di bioskop. Pada masa itu, ia punya banyak aktor idola. Suatu hari, bioskop itu terbakar. Quraish berlari ke rumah sambil berteriak, “Hancur Indonesia.” Keluarganya bingung. Ternyata ia kecewa karena tempat hiburan itu terbakar.

Ia juga punya kebiasaan nongkrong di warung kopi. Terkait hobi nongkrong ini, tetangganya Haji Lancang, pernah melaporkan ke Abahnya. Ia sempat dimarahi karena dianggap menghabiskan waktu di sana. Aba mengira ia bolos sekolah karena nongkrong di warung kopi. Quraish lalu menjelaskan bahwa dirinya menyukai gorengan yang dijual di situ. Sekolahnya tak ada yang terganggu. Barulah Aba tenang.

Sebagaimana ditulis Malcolm Galdwell dalam buku Outlier, orang-orang besar selalu lahir di tengah keluarga yang selalu memberikan dukungan. Ayah ibunya menyetujui dan mendukung rencana Quraish menuturkan keinginan untuk belajar di pesantren saat masih di kelas 2 SMP. Ia lalu berangkat ke Malang dan belajar di Pesantren Al Faqihiyah.  

Di pesantren ini, ia belajar dalam sistem klasikal. Pelajaran dimulai usai salat subuh berjamaah, dengan pengajian secara sorogan yang diasuh langsung Habib Bilfaqih di aula pesantren. Sorogan adalah membaca kitab secara individual. Setiap santri nyorog kepada Habib untuk dibacakan beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya. Santri lalu menirukan dan menghafalnya. Sorogan adalah belajar langsung kepada Habib menjadi idaman semua santri.

Yang mengesankan bagi Quraish adalah kharisma sang Habib. Berkat habib, pada usia 14 tahun, Quraish telah menghafal lebih seribu hadis. Ia juga mulai pandai berbicara dalam bahasa Arab. Pada usia 14 tahun pula, takdir menuntunnya untuk menimba ilmu ke tanah Mesir. 

Bersama saudaranya Alwi Shihab, yang saat itu berusia 12 tahun, mereka menuju Mesir dengan kapal Neptunia. Petualangan baru dimulai. Ia belajar di Mesir mulai dari bangku sekolah menengah hingga menjadi doktor di Universitas Al Azhar. 

Ia menyelesaikan gelar doktor dan mendapat predikat Summa Cum Laude. Ia menjadi doktor ketiga alumni Mesir dari Indonesia. Sebelumnya ada Nahrawi Abdussalam dan Zakiah Darajat. Nahrawi dan Quraish sama-sama dari Al Azhar, sedangkan Zakiah dari Universitas Ain Syam di Kairo.

Anak yang sebelumnya kerap bolos karena menonton film itu, kerap bermain bola hingga lupa waktu itu, kini menyandang gelar doktor di bidang tafsir Al Quran. Babak baru kehidupannya dimulai. Ia hadir di banyak kajian, dakwah, hingga menjadi pendidik di ruang-ruang kuliah. 

Ia pun menjadi rektor hingga menteri agama. Ia produktif menulis hingga melahirkan banyak kitab mengenai bidang tafsir Al Quran yang digelutinya. Terhadap semua perbedaan, ia menjawabnya dnegan menuliskan buah-buah pikirannya.

Bagi banyak orang, Quraish sangat menginspirasi, khususnya saat membaca kitab-kitabnya yang tebal. Sejak masih di pesantren, ia sudah menulis. Pada usia 22 tahun, ia telah menulis Al-Khawathir dalam bahasa Arab. Puluhan tahun kemudian, karya pertamanya itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Logika Agama: Kedudukan Wahyu: Batas-Batas Akal dalam Islam.”

Ia juga banyak mengoleksi tulisan para kolumnis di Mesir. Quraish juga produktif menulis untuk media massa. Ia terkenang ucapan mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Prof Harun Nasution kepada Nurcholish Madjid. “Kamu jangan ceramah terus. Menulislah! Kau punya tulisan itu kekal, Ceramahmu mudah dilupakan orang.”

Buku-bukunya banyak diterbitkan Mizan dan selalu menjadi best seller. Tahun 1973, ia menulis Tafsir Al Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya. Buku ini diterbitkan hingga hingga kali. Ia juga menulis Membumikan Al Quran (terbitan Mizan), yang merupakan kumpulan kolomnya di media massa. 

Setelah itu ia menerbitkan Lentera Hati yang berisi 153 esainya. Kemudian Wawasan Al Quran: Tafsir Mawdhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Ia mengatakan: “Ilmu itu ibarat hewan buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dnegantali yang kuat.”

Beberapa bukunya terus dicetak ulang. Di antaranya adalah Dia Dimana-mana, Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena, yang telah mengalami 10 kali cetak ulang. Yang fenomenal adalah Tafsir Al Mishbah, terbagi dalam 15 jilid, seluruhnya berjumlah 10 ribu halaman lebih. 

Buku ini telah 10 kali dicetak ulang, dengan jumlah cetakan hingga 450 ribu eksemplar. Padahal, buku ini tergolong lux. Dijual seharga 2.430.000 per set atau 15 jilid.

***

SEBAGAI ulama, yang menyampaikan buah-buah pikirannya secara tertulis maupun melalui dakwah, Quraish kerap kali dituding dan dicaci oleh orang-orang yang tidak begitu memahai pikirannya. Paling sering dia dituduh syiah. Bahkan seorang Ketua MUI pernah menuduhnya demikian. Quraish minta agar dirinya diadili. “Saya minta diadili. Silahkan adili saya.”

Ia merujuk kasus Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Muslim yang divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996. Abu Zayd diadili karena pemikirannya yang dianggap menyimpang. Di pengadilan pertama, tuntutan yang didukung oleh dua ribu ulama dari Al Azhar itu ditolak. Namun di pengadilan banding, yang dikuatkan Mahkamah Agung di Mesit, Abu Zayd dinyatakan murtad.

Quraish mempersilakan pengadilan untuk memeriksa semua buku dan karyanya, baik cetak maupun audio-visual. Ia akan meminta seorang syaikh di Al Azhar yang menjadi juri. Mengapa melibatkan syaikh di Al Azhar? Quraish paham betul bahwa ulama Mesir yang mayoritas Sunni akan bersikap objektif dalam menilai pemikirannya. Mereka memiliki parameter kuat dalam memahami pemikiran orang lain.

bersama sahabatnya KH Mustofa Bisri

Paling sering ia dituduh Syiah karena mencintai Ahlul Bait. “Saya memang cinta Ahlul Bait karena saya punya hubungan darah dengan mereka. Jadi cinta saya berganda. Yang pertama karena saya tahu akhlak luhur mereka. Kedua, karena mereka kakek-nenek saya.”  

Cinta itu ditanamkan sejak masa kanak-kanak oleh ayahnya Abdurrahman Shihab dan gurunya Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Ayah dan gurunya sama-sama habib, yang masih punya pertalian darah dengan keluarga Rasul.

Setahu Quraish tak ada cela pada Ahlul Bait. “Kalau ada cela, maka itu bukan dari mereka. Imam Ja’far ash-Sadiq adalah gurunya sekian ulama mazhab. Sayyidina Husein dan Imam Ali Zainal Abidin sangat dijunjung tinggi oleh orang Sunni di Mesir. Bahkan orang NU juga mencintai Ahlul Bait,” katanya.

Namun ia mengaku seorang sunni, bukan Syiah. Ia masih salat dengan cara Sunni, menjalankan ritual sebagaimana orang Sunni lainnya. Ia mempersilakan orang-orang untuk ke rumahnya dan menyaksikan bagaimana ia dan keluarganya menjalani semua ritual keagamaan.

Ia menduga, tuduhan itu muncul sejak tahun 1992, saat dirinya memimpin proyek penyusunan Ensiklopedi Al Quran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, setebal 2.100 halaman. Ia mengutip Tafsir Al Mizan yang ditulis Muhammad Husein Thabathaba’i, cendekiawan Iran. 

Meski sering tak bersepakat dengan ulama Iran ini, Quraish tetap perlu mengutip pendapatnya. “Amanah ilmiah mendorong saya untuk untuk mengutip pendapat yang saya yakini kebenarannya, dan bermanfaat bagi pembaca.”

Ia juga mengutip Al Mizan saat membuat kitab Tafsir Al Mishbah. Meskipun baginya itu hanya satu sumber di tengah berbagai sumber lain dari para ulama sunni terpercaya. Puncak tuduhan syiah muncul saat dirinya ditunjuk jadi Menteri Agama. 

Makanya, ia menilai tuduhan itu lebih bernuansa politis ketimbang ideologis. Demi menyampaikan gagasannya, ia telah menulis panjang lebar dalam buku Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? Baginya, ada banyak perbedaan, tapi jauh lebih banyak kesamannya. Demi tujuan harmonis umat Islam, maka  semua pihak harus bergandengan tangan dan tidak mengedepankan perbedaan.

Kontroversi lain adalah tentang jilbab. Ia menjelaskan pandangannya secara terperinci dalam buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Ia menjelaskan berbagai pandangan ulama yang terbelah mengenai jilbab. Ia tidak menarik kesimpulan, lalu menyilahkan orang-orang untuk memilih sikap agar tidak timbul saling kafir-mengafirkan.

Ia mengatakan, ”Yang memakai jilbab dan menutup selain muka, itu sudah benar. Malah boleh jadi melebihi ketentuan agama. Yang tak berjilbab tapi berpakaian terhormat, belum tentu salah. Kalau mau terjamin, pakaialah jilbab. Tapi jangan lantas menganggap wanita tak berjilbab itu bukan Muslimah.”

Dalam setiap kontroversi, Quraish selalu menuliskan pemikirannya dengan runtut, lengkap dengan argumentasi Al Qur’an serta hadis-hadis yang dijadikannya sebagai dasar. Ia menyilahkan para penentangnya untuk ikut menuliskan gagasan sehingga dialog dan tukar pikiran bisa terjadi. 

Baginya, tafsir terhadap pengetahuan selalu terbuka untuk diperdebatkan. Seseorang harus memahami dengan baik makna setiap kata dalam teks, sebelum akhirnya menyimpulkan makna.

Namun, ia selalu ingin berdebat yang produktif. Ia tak ingin berdebat dengan mereka yang keras kepala dan hanya menganggap dirinya benar. “Jangan berdiskusi, apalagi menasihati siapa yang dapat engkau kalahkan argumentasinya, tetapi dia mengalahkan engkau dengan sikap kepala batunya.”

***

DEMIKIANLAH kisah Quraish Shihab, ulama Bugis yang besar di Kampung Buton, Makassar. Ia adalah aset bagi bangsa Indonesia. Ia seorang ulama yang berusaha mencerahkan umat, yang kisah-kisahnya saya baca dalam buku Cahaya, Cinta, dan Canda

Di usia sepuh, ia masih setia mencerahkan umat melalui buku dan dakwah yang disiarkan melalui televisi. Dia masih membimbing umat melalui buku-bukunya yang dengan mudahnya bisa ditemukan di mana-mana.

Kita boleh tak sepakat dengannya. Namun alangkah baiknya jika kita mengikuti caranya dalam menanggapi perdebatan yakni menuliskan buah pemikiran secara utuh. Dengan hanya menulis sepenggal kalimat di media sosial yang berisi seruan kebencian padanya adalah langkah yang tidak bijak dan kekanak-kanakan. 

Sampaikan ketidaksetujuan padanya di ranah akademis, sebagaimana dilakukannya melalui lembar-lembar kitab. Kita pun bisa menyampaikan semua argumentasi kita melalui lembar-lembar pemikiran yang kelak akan menambah khasanah perdebatan umat menjadi lebih cerdas dan lebih produktif. Kalaupun kita tak sekokoh dirinya saat berargumen, lebih baik kita berdiam diri sembari menyerap apa makna yang hendak disampaikannya.

Saya tak punya niat untuk membantahnya. Ilmu saya hanya level bocah yang baru belajar mengaji, masih amat jauh darinya yang sudah membaca dan menulis sedemikian banyak kitab. Lebih baik saya mengalir sembari menyerap apa-apa yang bisa saya pahami. 

Sejauh ini, saya menyukai kedalaman pengetahuannya saat menjelaskan makna setiap kata dalam Al Quran maupun hadis. Dia adalah guru di dunia literasi, juga guru di layar kaca. Saya hanya penikmat, yang jika kadar pengetahuan dibandingkan dengannya, serupa pesisir pantai dan samudera yang tak terkira kedalamannya.

Jika mencari ilmu adalah perjalanan untuk menemukan kearifan, maka para ulama seperti Quraish Shihab telah menunjukkan peta bagi kita untuk melangkah. 

Selanjutnya, kitalah yang akan menentukan hendak ke mana, apakah perjalanan itu hanya masuk dalam labiran tak berujung yang kesemuanya berpangkal sikap skeptis kita pada kebenaran, ataukah perjalanan itu menjadi pencarian keping-keping pengetahuan yang senantiasa berkilau dan menyebar cahaya kearifan bagi sekeliling kita. 




Profesor CANTIK dan KSATRIA Terakhir dalam Transformers

Vivian saat hendak memasuki Bumblebee

FILM Transformers: The Last Knight adalah jenis film yang mewah, penuh adegan ledakan serta pertarungan antar robot, tetapi miskin kisah. Nyaris tak ada yang baru dalam film ini. Plot kisahnya mengingatkan saya pada film Independence Day. Ada cerita tentang invasi robot yang hendak menghancurkan bumi, lalu muncul para ksatria yang bertarung hingga akhir.

Kisahnya agak garing sebab kita sudah pernah menyaksikannya di film sebelumnya. Di bagian awal film, saya sempat tertidur di bioskop. Tapi menjelang pertengahan, saya langsung tertarik. Ada sejumlah hal yang membuat film ini memiliki magnet yang membuat saya penasaran, dan menyaksikannya hingga tuntas.

***

BAPAK berusia lanjut itu Sir Edmund Burton. Ia adalah astronom dan sejarawan, sekaligus aristokrat Inggris. Ia juga seseorang yang superkaya sampai-sampai memiliki kastil sendiri. Pelayannya adalah robot, sejenis 3PO dalam kisah Star Wars, yang telah melayani dinastinya selama ratusan tahun.

Sir Edmund Burton memiliki pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi tentang masa kiamat yakni hancurnya bumi akibat invasi para robot alien. Ia menjaga rahasia kuno tentang legenda King Arthur dan penyihir Merlin, yang ternyata pernah berinteraksi dengan para robot. Ia tahu bahwa pihak yang mengalahkan alien adalah ksatria terakhir yang akan dibantu oleh keturunan Merlin si penyihir.

Dalam film Transformers: The Last Knight, sosok Sir Edmund Burton ini diperankan oleh aktor legendaris Anthony Hopkins. Ia menjadi sosok kunci dari film ini, menghubungkan banyak karakter, lalu menunjukkan cara mengatasi permasalahan. Ia mempertemukan Cade Yeager (diperankan Mark Wahlberg) dengan perempuan cantik bernama Vivian, yang diperankan aktris Inggris, Laura Haddock.

Saya menyukai chemistry antara Cade dan Vivian. Cade, seorang penemu gagal yang terlibat dalam pertarungan para robot, sementara Vivian adalah profesor sejarah dari Oxford University yang berpikir terlampau rasional. Abad pertengahan dianggapnya penuh mitos yang tak rasional. Sementara Cage masih berpikir penuh mitos, apalagi ia mendapat warisan jimat ksatria yang melekat di badannya. Dialog-dialog mereka menjadi bumbu yang membuat film ini makin menarik, khususnya pada bagian pertengahan hingga akhir.



Jika saja tak ada sosok Vivian dan juga Sir Edmund Burton, kisah ini akan menjemukan. Bagian awal film ini, megisahkan kejar-kejaran antara manusia dan para robot. Kisahnya mulai membosankan. Tapi untunglah, kehadiran Sir Edmund Burton yang membawa teka-teki kehadiran robot pada abad pertengahan, pada masa King Arthur, menjadikan film semakin membuat penasaran. Ditambah lagi, sosok Vivian, yang kecantikannya setara Megan Fox ataupun Angelina Jolie bikin penonton film ini menahan napas.

Saya pun penasaran mengikuti kisah ini. Dikisahkan, King Arthur dan Sir Lancelot hampir saja kalah dalam peperangan yang tidak seimbang. Merlin mendatangi satu situs pesawat alien yang jatuh. Ia berdialog dengan robot alien dan meyakinkannya untuk segera membantu pasukan King Arthur. Merlin dititipi tongkat sihir yang hanya bisa digunakan oleh dirinya dan semua keturunannya. Ia juga dititipi jimat yang akan dimiliki oleh ksatria terakhir yang akan mewarisi gen kepemimpinan King Arthur. Kelak, dunia akan ditimpa kiamat, ksatria terakhir dan keturunan Merlin yang akan menyelamatkannya.

Beberapa karakter robot muncul dalam film. Di antaranya adalah robot vespa yang kikuk, mengingatkan saya pada sosok Wall-E. Juga muncul robot pelayan yang mirip 3PO yang sering bertingkah aneh dan mengubah suasana jadi lucu. Robot lain yang juga keren adalah robot yang bisa berubah jadi mobil Lamborghini. Transformasinya keren.

Bumblebee

Seperti biasa, alur film ini mudah ditebak. Dalam banyak adegan, saya malah tidak fokus karena sudah bisa menebak apa ending-nya. Palingan adegan tembak-tembakan, dan ledak-ledakan. Saya menyukai bagian pertarungan antara Optimus Prime dan Bumblebee. Keduanya selalu hadir sejak film pertama Transformers. Hubungannya sudah serupa kakak-adik. Sedih juga melihat Optimus menjadi jahat, yang berhadapan dnegan Bumblebee.

Dalam film ini, peran Bumblebee menjadi penting. Ia tak lagi sekadar pelengkap, melainkan menentukan bangunan cerita. Terungkap masa lalu Bee yang pernah ikut perang melawan Nazi. Dalam pertarungan melawan Optimus, dia tiba-tiba mengeluarkan suara yang efektif meredakan amarah robot berwarna biru itu. Dugaan saya, akan ada film yang khusus membahas Bumblebee.

Sebagaimana film-film Transformers lainnya, idola saya adalah Optimus Prime. Saya menyukai vokalnya yang sangat berwibawa. Saya suka kalimat-kalimat bijaknya saat memberi pesan kepada manusia dan robot. Dengan warna vokal dan retorika seperti itu, dia menampilkan dirinya sebagai pemimpin berwibawa yang suaranya akan didengarkan siapapun. Ditambah lagi kemampuan berkelahinya yang hebat, Optimus Prime selalu jadi pemimpin hebat yang suaranya menggetarkan.

Biasanya, sehabis nonton film Transformers, saya akan menjelajah di kanal Youtube, hanya untuk mendengarkan suara Optimus Prime yang berwibawa, khususnya saat dia berteriak, “I’m Optimus Prime. Calling the autobots!”



Bogor, 23 Juni 2017

Membaca Catatan Raymond WESTERLING



Di Sulawesi Selatan, nama Raymond Westerling sering dilafalkan dengan penuh kebencian. Perwira pasukan khusus Belanda ini dianggap telah menghilangkan 40.000 nyawa rakyat Sulawesi Selatan. Dia dikenal bengis, kejam, dan lihai menembak. Pribadinya menjadi momok atas peperangan yang sedemikian kejam.

Namun bagaimanakah kesaksian Westerling atas segala tuduhan itu? Apakah ia merasa berdosa telah membunuh rakyat Sulsel demikian banyak? Bagaimanakah pendapatnya terhadap segala informasi tentang dirinya di buku-buku sejarah?

Saya menemukan catatan Westerling dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 yang ditulis Gert Oostindie. Buku ini menjadi catatan paling humanis tentang para serdadu yang dikirim berperang ke tanah air. Peperangan bisa membelah manusia dalam dua kubu. Manusia tak punya banyak pilihan. Namun melihat perang secara hitam putih, tak tepat benar.



Dalam memoarnya, Westerling menyebut tindakan itu memang harus dilakukannya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sebagai pasukan khusus, ia bergerak cepat dalam situasi yang disebutnya runyam. Ia mengatakan:

“Saya juga bersikeras bahwa saya dengan mengorbankan sejumlah nyawa telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa lainnya. Nyawa-nyawa yang saya lenyapkan adalah nyawa para penjahat, puluhan ribu yang saya selamatkan adalah nyawa-nyawa dari para orang yang tak berdosa,”

Bagi Belanda, situasi saat itu sangat runyam. Banyak terjadi kerusuhan. Kriminalitas meninggi. Banyak penjahat yang mengaku seolah-olah mereka adalah pendukung tentara republik. Kehadiran pasukan khusus yang dipimpin Westerling adalah jalan keluar untuk mengamankan situasi. Benarkah korbannya hingga 40.000 nyawa?

Sebelum membaca catatan Westerling, saya membaca catatan Salim Said saat dirinya mewawancarai Westerling di Belanda pada tahun 1970-an. Ia penasaran dengan klaim pemerintah tentang jumlah korban 40.000 nyawa. Masih dalam catatan Salim Said, beberapa upaya pelacakan korban Westerling, hasilnya jauh dari angka itu, Makmur Makka melacak korbannya sekitar 3.000 jiwa. Anhar Gonggong menunjuk angka ribuan, yang tidak semuanya dilakukan Westerling.

Kepada Salim, Westerling hanya menyebut angka 463 jiwa. Itupun tidak semuanya tewas karena pistolnya yang menyalak. Sebagian besar justru dibunuh oleh anak buahnya. Harus diingat, anak buah Westerling di masa itu kebanyakan orang Indonesia. Tak tepat juga menimpakan kesalahan hanya pada Westerling seorang, meskipun ia mengakui sebagai pihak yang memerintahkan pembunuhan itu.

Pada masa itu, Belanda hendak membentuk negara boneka Indonesia Timur ciptaan Van Mook. Belanda ingin menunjukkan bahwa tidak semua wilayah republik tunduk pada Sukarno. Di saat bersamaan, banyak gerombolan yang memanfaatkan situasi itu untuk meneror masyarakat. Demi mengatasi keadaan menjadi tenang dan damai, Jenderal Spoor mengirim sahabatnya Westerling yang membawa 900 prajurit

Yang menarik, dalam buku ini, Westerling menyebut tindakannya secara terbuka. Mungkin ia memang berniat agar sejarah versi dirinya bisa sampai ke publik. Ia resah dengan catatan sejarah yang menyebut dirinya sebagai orang jahat.

“Kadang saya dianggap aneh. Apa yang saya lakukan? Saya telah membunuh empat laki-laki. Kesemuanya pembunuh. Dengan cara ini saya mengakhiri pembunuhan dan kejahatan mereka, yang telah menewaskan ratusan korban tak bersalah,” kata Westerling.

Dalam catatan Belanda, penanganan Westerling itu telah merebut hati masyarakat. Setelah pembunuhan secara terbuka yang dilakukannya, banyak masyarakat yang mendukung dan mau bekerjasama dengannya. Dalam catatan pemimpin militer Belanda, Westerling mendapatkan penghargaan tinggi karena mendamaikan situasi. Mungkin saja ini terkait dengan shock therapy yang membuat orang-orang ketakutan.

“Saya membunuh dengan tangan saya sendiri karena saya ingin mempertanggungjawabkannya sendiri. Saya membunuh para pembunuh yang telah melakukan kekejaman yang tak terhitung besarnya. Saya tidak membunuh orang yang tidak bersalah. Saya membawa kedamaian di wilayah-wiilayah yang dipercayakan kepada saya.“

Catatan Westerling ini memang harus dibaca dengan kritis. Bisa jadi, ia sedang membangun justifikasi atas tindakannya. Point penting yang bisa dipetik adalah dalam situasi peperangan, semua pihak menjalankan apa yang dianggapnya baik. Pada masa itu, Westerling menganggap dirinya sedang menjalankan misi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.

Kata Salim Said, Sulawesi Selatan punya sejarah perlawanan yang cukup heroik. Mereka menolak untuk berada di bawah Belanda, sehingga melakukan perlawanan. Potensi perlawanan itu yang ditakuti Belanda, lalu dipadamkan dengan penanganan ala Westerling. Belanda berpikir, sebelum api perlawanan itu membesar, mereka harus segera diberi efek kejut.

Yang menarik, dalam buku ini, saya baru tahu kalau dalam masa perang, serdadu Belanda yang asli Eropa, malah tak begitu banyak. Yang banyak adalah orang Indonesia yang berada dalam kubu Belanda. Mereka tentara yang dibayar secara profesional. Dalam catatan Salim Said, banyak orang yang benci Sukarno sebab pernah menderita di zaman Jepang, seperti Romusha, Heiho, dan sebagainya, yang merupakan hasil kerjasama politik Sukarno dengan Jepang.

Hal lain yang saya tertarik adalah Wsterling pasca-aksinya di Sulawesi. Ia pensiun sebagai tentara pada tahun 1948. Ia menjalani masa pensiun dengan menjadi pengusaha bidang perkebunan di Jawa Barat. Dia kawin dengan janda keturunan Perancis dan menetap di Puncak. Tapi ia tak lama menjalani pensiun, sebab terlibat dalam gerakan Ratu Adil. Ia menerima posisi pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dikendalikan imam tertinggi Darul Islam, Kartosuwiryo. Hingga akhirnya, Westerling kembali ke Belanda dan melalui masa tuanya di sana.

Kehidupannya di Belanda tak begitu membahagiakan. Ia mencoba jadi penyanyi opera, namun gagal. Pernah ingin jadi penulis, tapi juga tidak berhasil. Dia masih tetap bergaul dengan eks tentara Belanda yang bertugas di Indonesia. Peperangan itu tak menyisakan trauma baginya. Ia mengaku bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.

Saat ditemui Salim Said, kerut-kerut nampak di wajah Westerling. Ia telah berusia tua, namun tetap tegap. Ia masih bisa menembak dengan tepat lima tutup botol yang dilepas, pada satu lomba yang diadakan di satu bar.  Dari sisi kemanusiaan, tindakannya jelas bar-bar. Tak akan dibenarkan dalam kitab manapun membunuh begitu banyak, bahkan terhadap musuh sendiri. Namun saat Salim Said bertanya tentang korban 40.000 nyawa yang dibantainya, ia tertawa ngakak. “Tanyakan pada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus itu dalam waktu singkat.”

Pernyataan terakhir ini, membuat saya terhenyak. 


Bogor, 22 Juni 2017