Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

FILDAN, Dangdut, dan Etnografi Pemusik Sulawesi Tenggara

penampilan Fildan Rahayu

SUASANA riuh semerbak memenuhi ruangan Studi 5 Indosiar. Di atas panggung, tampil Fildan, kontestan acara D-Academy 4 dari Baubau, bersama sejumlah anak muda penari dari kelompok Stop Dance. Mungkin karena berasal dari kota yang sama, Baubau, mereka memiliki chemistry yang sama. Vokal dan gerak terpadu menimbulkan harmoni yang indah dipandang.

Beberapa hari lalu, Fildan menyanyikan lagu India berjudul Gerua. Gerakan tari dan vokalnya kerap disandingkan oleh para juri dengan Shahrukh Khan. Keesokan harinya, ia berduet dengan German Dmitreiv, violis berkebangsaan Rusia. Ia memainkan gitar dengan nada-nada tinggi yang menyayat perasaan. Ia begitu piawai memikat perhatian semua orang yang rela memelototi layar kaca untuk menyaksikannya.

Tak berhenti di situ, Fildan menyanyikan lagu Tana Wolio, lagu tradisional milik orang Buton. Bersama rekan-rekannya, dia juga menari Malulo jenis tarian muda-mudi yang sangat populer di Kendari, Sulawesi Tenggara. Semua gerak-geriknya menjadi bahan perbincangan di berbagai lokasi di Sulawesi Tenggara dan wilayah lainnya.

Di mata saya, ajang musik D-Academy tidak sama dengan ajang musik lainnya yang mengklaim lebih berkelas semisal Indonesian Idol. Di ajang Indonesian Idol, para kontestan adalah para penyanyi dan lulusan sekolah vokal bergengsi. Pesertanya ditempa sebagai generasi sekolahan yang memahami teknik vokal, baik teori maupun praktik.

Tapi ajang D-Academy berbeda. Pesertanya berasal dari banyak titik di Indonesia. Para pesertanya hadir dengan membawa simbol daerah dan simbol kampung masing-masing. Mereka tak pernah belajar di sekolah vokal. Lagian, mana ada sekolah vokal untuk penyanyi dangdut. Di tambah lagi, dangdut masih dianggap sebagai musik kelas bawah, musiknya rakyat jelata, musik yang iramanya simpel tapi bisa bikin masyarakat terpesona hingga menggerakkan kaki dan tangan di banyak acara joged.

Malam itu, panggung D-Academy seolah menjadi milik Fildan seorang. Pendukungnya memenuhi panggung itu sembari membawa poster dukungan, serta yel-yel yang membahana. Dari tulisan di poster itu, bisa terlihat bahwa pendukung Fildan berasal dari banyak lokasi di kawasan timur Indonesia. Wajah-wajah yang tampil di layar kaca dipenuhi oleh wajah khas warga timur, dengan segala teriakan khas dan histeria yang dibawa untuk Fildan.

Di luar panggung di stasiun televisi Indosiar, Fildan tetap menjadi fenomena. Di Kota Baubau, warga menggelar nonton bareng di banyak titik. Di banyak lokasi itu, makanan dan minuman disediakan gratis. Fildan menjadi pemantik diskusi yang dibahas di mana-mana. Banyak nelayan yang menunda melaut demi menyaksikan Fildan tampil.

Tak hanya Baubau, banyak warga di beberapa kota di lingkup Sulawesi tenggara menggelar nonton bareng. Bisa saya pastikan, jumlah yang menyaksikan nonton bareng Fildan itu jauh melebihi peserta nonton bareng final Piala Dunia 2014, yang mempertemukan Jerman dan Argentina. Fildan menjadi ikon yang lintas generasi. Dia disukai oleh banyak orang, yang rela menghabiskan uang ke Jakarta demi menyaksikan langsung penampilannya.

Tak berlebihan jika menyebut Fildan sebagai ikon kawasan timur, ikon masyrakat bawah yang menyenangi musik dangdut, serta ikon dari warga biasa yang melakukan mobilitas kelas melalui musik dangdut.

***

DI hadapan saya terdapat buku baru berjudul Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu, yang ditulis Jeremy Wallach, terbit di bulan Maret 2017. Saya tertarik membeli buku ini seusai membaca catatan di halaman belakang yang menyebutkan buku ini merupakan riset etnografis yang membumi dengan ketajaman analisis dari teori budaya kontemporer.

Beberapa kajian dalam buku ini mengingatkan saya pada buku Andrew N Weintraub berjudul Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia, yang terbit tahun 2012 lalu. Satu lagi referensi bagus tentang dangdut ditulis oleh William Frederick tahun 1982 berjudul Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesia Popular Culture.

buku karya Jeremy Wallach

Ketiga studi itu laksana tali-temali yang saling terkait. Ketiganya membahas dinamika antara dangdut dan masyarakat menengah ke bawah Indonesia yang menjadi penggemar berat musik itu. Kesamaan ketiganya adalah sama-sama menjelaskan hubungan antara musik itu dengan ruang batin masyarakat Indonesia yang dimediasi dengan baik oleh lagu-lagu berirama dangdut.

Yang baru dari buku Jeremy Wallach adalah pelukisan etnografis yang mendalam. Dia menelusuri panggung musik, toko kaset, konser, studio, dan banyak lokasi demi menemukan pemahaman tentang musik Indonesia. Biarpun tidak spesifik membahas dangdut, kita bisa memahami bagaimana interpretasi masyarakat atas musik, bagaimana identitas direpresentasikan, serta bagaimana globalisasi mempengaruhi musik Indonesia. Etnografi membantunya untuk memahami pengalaman dekat (atau lazim disebut antropolog Clifford Geertz sebagai emic point of view) masyarakat kita terkait musik. Di situ, ada banyak cerita, narasi, dan peristiwa yang juga menarik di balik setiap musik.

Marilah kita melihat Fildan dengan cara pandang etnografis. Biarpun tulisan ini terlampau singkat untuk disebut etnografi, minimal kita bisa melihat bagaimana keseharian, kehidupan di kampung halaman, hingga situasi dan kondisi yang mempengaruhi dunia musik di Sultra. Minimal kita bisa belajar bahwa menjadi pemusik di situ, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Pada titik ini, kita bisa memahami bahwa Fildan telah melakukan mobilitas kelas yang cukup cepat dengan berkiprah di ranah ibukota.

Fildan lahir di Morowali, Sulawesi Tengah, lalu menjalani masa remaja di kota Baubau, kota yang dahulu menjadi jantung Kesultanan Buton. Dia hidup di kota pesisir. Dia tinggal Bonebone, kawasan yang posisinya tepat di pesisir laut. Rumah Fildan dan lautan bisa ditempuh dengan lima menit berjalan kaki.

Sosok Fildan memang unik. Dia tinggal di Baubau, memiliki ayah ibu berdarah Buton dan Muna. Dia juga pernah tinggal di Morowali, Sulawesi Tengah. Sebagaimana halnya warga Buton lainnya yang kerap berpetualang ke kawasan timur, Fildan pun pernah tinggal di Papua demi mencari sesuap nasi di satu pabrik tripleks.

Sejak dahulu, beberapa alat musik dipentaskan di Buton. Yang paling populer adalah gambus, yang dipakai untuk mengiringi lagu dengan irama melayu. Tentu saja, musik paling digandrungi adalah dangdut yang setia dimainkan di banyak momen. Seringkali, dangdut dipakai untuk mengiringi joged, menu hiburan populer di mana-mana.

Fildan lahir dan besar dalam kondisi penuh keterbatasan. Namun, di ajang musik D-Academy, Fildan tak sedang menjual kisah hidup yang menggiriskan, sebagaimana banyak siaran televisi. Ia menampilkan skill musik terbaik yang dimilikinya. Orang-orang menyukainya bukan karena kisah kehidupannya, melainkan penampilan memikat dan rasa bermusik yang selevel dewa dangdut.

Padahal, kisah hidup Fildan tidaklah seindah kisah sinetron, yang tiba-tiba saja tokohnya lahir di keluarga kaya lalu menjalani kehidupan dengan mulus bak berkendara di jalan tol. Kisah hidup Fildan adalah kisah perjalanan dengan roller coaster yang meliuk, mendaki tinggi-tinggi, lalu menukik dan menantang bahaya.

Dia berasal dari keluarga yang bisa terbilang amat sederhana. Ayahnya La Suri, berprofesi sebagai tukang kayu, yang sesekali menyanyi di hajatan pernikahan. Di satu kanal Youtube, saya melihat Fildan berduet dengan ayahnya di kolong rumah panggung. Hari-harinya di sekolah menengah tak bisa lepas dari dunia kesenian. Ia menjadi gitaris sekolah di ajang lomba vokal grup. Ia mendirikan band bersama rekannya. Berkat bakat seninya itu, ia tidak dikeluarkan dari sekolah saat ketahuan tidak membayar uang sekolah selama sekian waktu. Musik menjadi penyelamatnya.

Saya membayangkan bagaimana masa-masa sekolah Fildan. Dalam sistem pendidikan yang hanya menekankan inteligensi, kemampuan Fildan bermusik adalah anomali yang tidak akan pernah menjadi parameter penilaian. Dengan bakat musik seperti itu, dirinya tak akan punya tempat di lembaga pendidikan formal yang lebih menekankan kecerdasan intelektual. Dia hanya menonjol di ajang seni. Di ajang lain, sekolah tak punya ruang untuk menapresiasinya.

Ia diceritakan sebagai murid yang malas, sering tidak membawa buku, dan sepatunya sobek. Bukan berarti dia siswa yang nakal, melainkan sepatu itu hanyalah satu-satunya yang dimiliki. Seorang jurnalis mencatat bahwa dirinya tidak punya tali pinggang untuk sekadar mengencangkan celananya. Kondisi keluarga yang memprihatinkan itu membuatnya tidak leluasa mengembangkan kemampuan inteligensinya.

buku karya Jeremy Wallach

Saat sekolahnya menggelar perpisahan, Fildan tampil bermain gitar. Lagi-lagi, dia tidak punya pakaian yang pantas. Guru-guru berinisiatif meminjamkannya pakaian yang pantas agar kelak dirinya bisa tampil sebagaimana layaknya siswa lain. Dalam kondisi serba terbatas, banyak orang yang menjadi penolongnya sehingga bisa terus bersekolah dan lulus.

Dia lalu membentuk band musik. Namun, sebagai warga Baubau, saya tahu persis bahwa tak ada ruang memadai bagi pemusik sekelas Fildan. Seorang remaja yang menekuni musik sering dianggap aneh sebab tidak bisa dijadikan sandaran bagi masa depan. Tak banyak ajang lomba menyanyi yang bisa melejitkan dirinya. Palingan hanya lomba musik antar sekolah di panggung 17-an. Praktis, di luar itu, Fildan hanya bernyanyi dekker (tempat anak muda nongkrong berupa pembatas jalan terbuat dari tembok), balai-balai bambu yang menjadi ruang kumpul anak muda, hingga berbagai pos kamling.

Sesekali ia tampil di acara khitanan, nikahan, dan acara-acara pemerintah daerah. Sebagaimana kisah para penyanyi dangdut lainnya, bukan rahasia lagi dirinya sering tidak menerima bayaran dari setiap tampil. Mungkin atas dasar itu, ia lalu memutuskan untuk merantau ke Papua, dan berprofesi sebagai buruh di satu pabrik tripleks.

Tujuh tahun berikutnya, ia kembali ke Baubau, lalu memutuskan untuk ikut ajang musik D-Academy. Bintang terang seakan mengikuti langkahnya. Lagu Tum Hi Ho yang dinyanyikannya memikat para juri. Saat di-upload di Youtube, vidio itu disaksikan oleh jutaan pasang mata. Dia pun menjadi pembicaraan di India, yang menjadi asal lagu itu. Jalan hidupnya kian benderang di ajang musik itu.

Kisah Fildan tidak serupa kisah Cinderella yang secara kilat bertransformasi dari pembantu menjadi putri jelita. Terdapat banyak cerita bagaimana anak muda ini menempa diri, dan tampil di banyak acara lokal, hanya untuk sekadar eksis. Dalam buku Outlier, Malcolm Galdwell menyebut kaidah 10.000 jam yang dilalui soerang pemusik hingga mencapai taraf berkelas. Galdwell mencontohkan bagaimana The Beatles tampil di satu kafe secara konstan dan mengembangkan teknik bernyanyinya dengan cara mengamati antusiasme penonton.

Kisah hidup Fildan yang miskin telah mengasah lengkingan suaranya hingga menyentuh hati banyak orang. Suara merdunya lahir dari kesempatan tampil di banyak acara, dilatih saat dirinya bolos sekolah di satu lapak bambu, diasah saat dirinya tengah kelaparan di rumahnya. Suara cengkok dangdutnya itu didapatkan dengan mengamati banyak penyanyi dari televisi kecil di rumahnya. Di situ ia menyiapkan dirinya hingga memasuki ajang kompetisi menyanyi.

***

SAYA sedang menyaksikan Fildan bernanyi di Indosiar. Sejujurnya, saya tak terlalu suka mengamati kontes bermusik. Namun dikarenakan banyak teman, abang, senior, dan warga sekampung saya yang menyaksikan acara kontes itu di Indosiar, saya memutuskan untuk setia mengikutinya.

Banyak wajah yang familiar di televisi itu. Saya menikmai histeria orang-orang yang mengubah Indosiar menjadi tontonan yang menampilkan warga sekampung. Saya suka melihat militansi warga sekampung yang mendukung Fildan dengan mengirimkan SMS sebanyak-banyaknya.

Belakangan ini, banyak anak muda Buton yang mulai tampil di ajang hiburan nasional. Sebelum Fildan, orang-orang mengenal Arie Kriting dan Rahim La Ode yang menjadi ikon dari ajang Stand Up Comedy. Mereka menjadi representasi semua warga timur yang wara-wiri di stasiun televisi orang jakarta.

Saya selalu puas menyaksikan penampilan Fildan. Anak muda ini perlahan menjadi bintang. Penampilannya ditunggu penggemar dangdut seluruh Indonesia. Kejutan-kejutannya dinanti di banyak lokasi. Sentuhan gitar, permainan suling, kemampuan bermain piano, hingga kemampuan menari breakdance adalah senjata yang menembus hati banyak orang. Tak hanya di Baubau, banyak orang memenuhi kapangan di ajang Halo Sultra di Kendari, hanya karena mendengar isu dirinya akan tampil.

Minggu depan, dia akan tampil di ajang tiga besar D-Academy. Saya memprediksi dirinya akan menjadi juara. Kalaupun tak jadi juara, bisa menembus tiga besar sudah merupakan prestasi hebat. Nampaknya, namanya akan semakin sering terdengar di blantika musik tanah air. 

Semoga saja dia tidak bernasib seperti finalis ajang kompetisi ini yang tenggelam seusai tampil. Semoga saja dia tetap menghibur banyak orang, tak hanya di kampungnya, tapi juga di seluruh Indonesia. Semoga saja suara, petikan gitar, suara seruling, hingga lantunan melodinya akan menjadi persembahan terbaik yang abadi bagi semua masyarakat Indonesia.

Semoga.


Bogor, 28 April 2017

BACA JUGA:










Menanti Episode Baru Andi Mallarangeng



TAK ada berita paling membahagiakan hari ini selain dari bebasnya Andi Alifian Mallarangeng, yang kerap disapa Daeng Anto. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini divonis empat tahun penjara dan denda 200 juta rupiah atas tuduhan ikut terlibat dalam kasus korupsi Hambalang.

Saya tak terlalu mengikuti detail-detail persidangan. Seingat saya, persidangan itu menunjukkan beliau tidak mengambil sepeserpun uang hasil korupsi. Uang itu beredar di orang-orang dekatnya, termasuk saudara dan teman-temannya. Dia lalai sebab orang-orang telah memanfaatkan posisinya sebagai menteri untuk satu tindakan korupsi. Saya percaya padanya.

Daeng Anto bukanlah orang baru buat saya. Saya mengenalnya saat beliau masih menjadi staf pengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar. Di masa reformasi, dia punya banyak kontribusi pada gerakan mahasiswa Unhas. Dia yang selalu memberikan informasi, menemani mahasiswa yang sedang melancarkan aksi, juga ikut membuka jaringan bagi para mahasiswa.

Sayang, dia tak lama di Makassar. Dia terjerat pesona Jakarta. Tapi, dia pindah ke Jakarta bukan untuk duit. Orang sekelas Daeng Anto tak mungkin mengejar materi. Dia mencari tantangan serta persentuhan dengan banyak orang di kota itu. Dia ingin lebih banyak waktu untuk membagikan pengetahuannya. Hingga akhirnya ia masuk politik, lalu menjadi juru bicara presiden. Terakhir menjadi menteri, yang tersandung kasus korupsi.

Setelah bebas dari tahanan, saya menunggu-nunggu apa gerangan yang akan dilakukannya. Saya masih ingin mendengar kiprahnya di berbagai media. Saya berharap dia bisa kembali tampil di berbagai forum dan berbagi pengalamannya. Pengalaman di penjara selama empat tahun pastilah mengasah dirinya menjadi lebih religius. Penjara adalah kawah candradimuka yang membasuh semua kesalahannya sehingga kelak bisa kembali berbuat bagi orang banyak.

Saya menduga kuat dia tak ingin kembali memasuki dunia politik. Mungkin ia akan “tahu diri” dan lebih banyak bergrak di ranah aktivitas pendidikan dan kebudayaan. Sebagai alumnus program doktoral di salah satu perguruan tinggi di Amerika, barangkali ia akan kembali menjadi pengajar. Sayang sekali jika ilmu yang demikian luas tidak dibagikan ke orang banyak.

Yang paling saya tunggui darinya adalah catatan-catatan tentang praktik politik. Tak banyak akademisi yang punya pengalaman sepertinya, bisa memasuki panggung politik dan melihat langsung bagaimana orang-orang berdinamika di situ. Dia menyaksikan fragmen di tubuh partai, kementerian, hingga bagaimana kontestasi banyak aktor di panggung kuasa. Jika saja ia membagikan pengalaman itu, maka banyak kisah dan pelajaran yang bisa kita petik. Minimal, kita jadi tahu apa yang terjadi tubuh partai dan lembaga-lembaga negara.

Banyak intelektual yang menghasilkan karya hebat di penjara. Dahulu, Antonio Gramsci menulis karya hebatnya Prisoner Notebook di dalam penjara. Bahkan, Tan Malaka juga menulis buku-buku terbaiknya saat dalam pelarian. Karya terbaik selalu lahir dari perenungan yang dahsyat, tanpa banyak distraksi. Penjara adalah tempat terbaik untuk melahirkan karya-karya bagus.

Selama di penjara, Daeng Anto menulis kolom yang rutin dimuat media online. Kolomnya kemudian diterbitkan. Saya membaca sekilas. Ia membahas hal-hal ringan tentang politik. Mungkin ia meniatkan buku itu bisa dibaca semua kalangan. Ia tak ingin berpolemik, apalagi membahas kasusnya. Saya sih berharap ia menulis tentang Presiden SBY. Ternyata ia justru tak membahas sang presiden. Ia menulis hal-hal yang sederhana, serupa obrolan di warung kopi.

Di satu media online, saya membaca informasi rencana Daeng Anto jika keluar dari penjara. Rupanya ia ingin menulis buku mengenai permainan gaple. Ia ingin mencatat sejarah, taktik, dan strategi bermain gaple. Katanya, gaple tidak sepopuler catur yang telah dibahas banyak orang. Ia ingin menjadi orang pertama yang menulis tentang gaple.

Saya masih berharap ia menuliskan banyak hal tentang politik. Masa-masa pemerintahan SBY menyisakan banyak misteri saat orang-orang dekat di lingkaran SBY satu per satu menjadi tahanan kasus korupsi. Ada banyak peristiwa yang memang tidak sampai ke telinga publik. Pada sosok seperti Daeng Anto, kita berharap mendapat informasi gres mengenai dinamika dan saling sikut di lingkaran inti presiden.

Mungkin Daeng Anto sedang menunggu saat yang tepat untuk bercerita. Boleh jadi, ia ingin menyimpan kisah-kisah seputar istana sebab khawatir akan terjadi konflik yang bisa merobek pertemanannya. Sebagai orang Bugis, bisa jadi Daeng Anto akan meniru Jenderal M. Yusuf yang merahasiakan apa yang terjadi dengan Supersemar, surat sakti yang memindahkan kuasa dari Sukarno ke Suharto.

Ah, semoga Daeng Anto mau bercerita. Untuk itu, saya siap menunggunya.


Bogor, 21 April 2017




James Ferguson yang Memberi Ikan, Bukan Kail!



DI satu blog milik mahasiswa program doktor bidang antropologi di Amerika Serikat, saya membaca ulasan provokatif tentang sepuluh buku antropologi yang wajib untuk dibaca. Ia menuliskan beberapa buku dari nama yang cukup familiar, diantaranya adalah Marcel Mauss, Evan Pritchard, Karl Polanyi, Marshal Sahlins, hingga Marvin Harris.

Di antara nama-nama dan buku-buku yang disebutkannya, saya tertarik dengan buku Give a Man a Fish yang ditulis James Ferguson. Judulnya mengejutkan sebab melanggar kaidah dalam pemberdayaan yang sering dirapal serupa mantra yakni “Jangan beri ikan, berilah kail. Sebab dengan memberi ikan, maka seseorang akan hidup sehari, tapi memberi kail, maka seseorang bisa hidup selamanya.” Dari judulnya, kelihatan kalau James Ferguson menentang anggapan tentang "beri kail, jangan ikan." Menurutnya, berilah ikan.



Yang membuat saya penasaran adalah sosok James Ferguson ini adalah sosok yang sangat kondang di kalangan antropolog yang mengkaji pembangunan. Beberapa tahun silam, saya membaca bukunya yang berjudul The Anti-Politics Machine yang menyajikan kritik atas wacana pembangunan. Buku itu membahas riset tentang kegagalan proyek pembangunan di Lesotho yang didanai Bank Dunia dan CIDA. Buku itu membedah ide-ide “pembangunan,” bagaimana proses penciptaan wacana pembangunan, bagaimana pembangunan dijalankan, hingga efek yang dihasilkan.

Makanya, sesuai membaca ulasan tentang buku terbaru James Ferguson, saya lalu memesannya. Kini, buku itu telah ada di meja belajar saya. Seperti biasa, bagian paling saya sukai adalah pendahuluan, sebab penulis akan menjelaskan posisi teoritisnya, metodologi, serta ide-ide pokok yang menjadi nyawa keseluruhan halaman buku. Bagian awal cukup memesona. Mudah-mudahan saya bisa tuntas membacanya. Mohon maaf, buku sebagus ini tidak untuk dipinjamkan.

Bagi Ferguson, pepatah yang menyebutkan “beri kail, jangan ikan!” tidak selalu benar. Melalui riset dengan metode etnografis, ia mengajak orang berpikir tentang cara lain dalam melihat kemiskinan dan ketidakberdayaan. Studi yang dilakukannya menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat --atau sering disebut direct cash transfer- kepada masyarakat miskin justru memunculkan semangat wirausaha. Masyarakat justru bisa mengelola bantuan dana itu lalu digunakan secara berkelanjutan. Intinya adalah distribusi yang adil, pengelolaan kepercayaan, dan kesempatan.

Riset ini menjadi menarik sebab kita terlalu sering melihat orang miskin dengan cara pandang kita. Padahal, sebegaimana pernah ditulis oleh Robert Chamber, yang sering terjadi adalah begitu banyaknya bias dalam melihat orang miskin disebabkan kuasa pengetahuan yang kita miliki. Kita mendefinisikan mereka dengan cara pandang kita, yang tentu saja, tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Dalam buku ini, Ferguson secara impresif mengajukan pertanyaan, dekonstruksi, dan rekonstruksi atas pandangan klasik tentang kemiskinan, pembangunan dan negara-negara sejahtera. Dengan fokus pada kebijakan “bagi-bagi uang” atau cash transfer, ia menyajikan risalah antropologi di selatan Afrika, termasuk perdebatan mutakhir tentang praktik pembangunan dan anti-poverty activism.

Yang mengejutkan, dia tidak melakukan studi di negara-negara sejahtera, misalnya Eropa Barat dan Skandinavia, yang menerapkan kebijakan ini. Ia membahas negara miskin di Afrika Selatan yakni Namibia. Ia menjelaskan “politik distribusi.” Setiap warga negara adalah pemegang saham, sehingga semua warga berhal mendapatkan penghasilan dasar sebagai bantuan tanpa syarat. Ini berbeda dengan sistem pada masyarakat kapitalis yang hanya memberikan dana bagi hasil kepada para pekerja.

Seringkali kita beranggapan bahwa memberikan dana kepada orang lain secara gratis adalah perbuatan sia-sia. Belum apa-apa kita menduga akan digunakan untuk foya-foya, bersenang-senang, sehingga habis hanya dalam sehari. Melalui studi etnografis, Ferguson menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat justru memberikan kekuatan positif. Di Namibia, dana diberikan kepada istri dan anak. Tindakan ini berakibat positif sebab mengurangi ketimpangan gender. Pemberian dana juga tidak mengakibatkan inflasi karena uang yang diberikan adalah hasil pajak dari ekstraksi tambang dan pajak progresif dari orang kaya.

Ferguson menunjukkan bahwa kewajiban dalam melakukan transfer redistribusi oleh negara dengan merujuk pada contoh-contoh sistem bagi hasil masyarakat primitif dari berburu, yang mana sudah dilakukan sebelum adanya negara. Membaca bagian ini, saya langsung teringat buku Jared Diamond berjudul The World until Yesterday yang begitu detail meriset masyarakat tradisional, yang memberinya banyak pelajaran kepada masyarakat modern. Praktik distribusi dana ini rupanya telah lama dilakukan oleh masyarakat tradisional di Afrika sana.

Selama ini kaum Marxian, pengkaji antropologi ekonomi, dan praktisi pembangunan  melihat bahwa produksi adalah hal dominan. Ferguson melihat justru distribusilah yang menentukan produksi. Dia menganjurkan pergeseran dari produksi ke distribusi. Dia mempertanyakan ulang tentang pasar, livelihood, buruh, dan masa depan politik progresif. Makanya, memberikan ikan lebih penting daripada memberikan kail. Sebab dengan memberikan ikan, artinya, satu masyarakat sanggup melakukan produksi dengan baik, sehingga tahapan berikutnya adalah bagaimana membagikannya secara adil kepada semua warga.

***

SEUSAI membaca buku ini, saya memikirkan banyak hal. Mulai dari dana desa, distribusi bantuan orag miskin, serta bagaimana mengawal penggunaan dana desa itu agar memberi manfaat kepada banyak orang. Bisakah tesis Ferguson digunakan untuk mengkaji kasus-kasus di Indonesia? Tentu saja bisa. Saya menemukan banyak narasi tentang ini.

Namun biarlah itu dibahas di tulisan lain. Untuk saat ini, saya memilih tenggelam dulu di bab-bab lain buku Give a Man a Fish ini.


Bogor, 18 April 2017


BACA JUGA: