KEMARIN ada lagi yang tewas dihakimi. Tiga orang dihakimi massa hingga modar. Kendaraannya dibakar, hingga semua buku dan pakaiannya. Apakah ketiganya kriminal? Tidak. Apakah mereka menyakiti dan merugikan orang lain? Juga tidak. Apakah mereka koruptor yang merugikan negara? Tidak. Ketiganya dihakimi karena mereka adalah warga Jamaah Ahmadiyah. Ketiganya dihakimi hanya karena dianggap berbeda.
Mereka yang sedang menghakimi itu merasa sedang menegakkan kebenaran. Mereka merasa sedang memurnikan ajaran Tuhan yang mengirimkan rasul sebagai berkah bagi alam semesta. Di situ ada takbir berkumandang. Ada harapan yang dikuatkan dengan bara keyakinan untuk menegakkan kebenaran. Dan bara itu selanjutnya serupa magma yang panas dan memuntahkan amarah. Maka mengamuklah mereka, lalu menyebut-nyebut nama Tuhan, tanpa menyadari bahwa jangan-jangan justru setanlah yang sedang menari kegirangan di situ.
Umat Islam Indonesia tengah mencari bentuk. Di sini, Islam bukan saja keyakinan yang dimanifestasikan untuk merawat kehidupan yang lebih baik. Bukan sekadar pedoman atau kompas ke mana kehidupan ini bergerak. Tapi di sini Islam dijelmakan sebagai sebuah kategori sosial. Semacam penanda atau identitas sebuah kelompok. Mungkin saja, mereka yang membunuh itu hendak berkata, aku Islam dan kamu bukan. Ketika kamu bukan Islam, maka kamu tidak berhak atas cinta kasihku. Kamu tak berhak atas keadilanku. Kamu tak berhak menerima rahmat atas seru sekalian alam, serta kedamaian yang terpancar dari hati.
Mungkin mereka hendak berkata kamu layak menerima amarahku. Mungkin mereka hendak berteriak ketika kamu berbeda, maka kamu telah mengancam diriku. Maka sesatlah kamu dan bakal menerima nasib para umat yang pernah diperangi dan ditimpakan azab. Mungkin saja mereka membaca kitab dan menemukan catatan tentang para umat yang ditenggelamkan ke dasar bumi, diberi azab berupa banjir besar atau api yang turun dari langit.
Tuhan, sebagaimana yang diyakini para pembunuh itu, adalah Tuhan yang berwajah kejam seperti Adolf Hitler. Tuhan --betapa banyaknya konsepsi tentang-Mu-- dianggap sebagai satu sosok yang semakin sempurna ketika disembah dan disucikan dalam ritual di atas altar yang suci. Tuhan yang dalam pahaman mereka serupa permata, semakin digosok, maka semakin berkilau.
Namun, benarkan Tuhan serupa permata yang kian digosok kian berkilau? Saya tidak yakin. Bagi saya, Tuhan adalah sebuah kesempurnaan itu sendiri. Akal kita hanya sanggup menalar gejala dan tanda-tanda kebesaran-Nya, tanpa melakukan penyaksian atas diri-Nya. Jangan-jangan, Tuhan tak pernah butuh disembah. Ia tetap sempurna di manapun Ia berpijak. Maha Dahsyat yang tak pernah bergantung pada segala puja-puji dan persembahan di atas altar. Ia adalah Maha Aksara yang pengetahuannya tak terbetik dalam benak kita, tak sanggup disederhanakan dalam numerik dan eksplanasi. Ia mengatur alam semesta dan menciptakan para malaikat yang bertindak sebagai hukum dan ketentuan yang berlaku.
Tentu saja, Ia tak butuh sanjungan. Ia tak butuh sikap heroik seolah kehormatan-Nya perlu dibela dan dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Tuhan, sebagaimana kata Gus Dur, tak perlu dibela sebab dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Segala upaya yang bermaksud membela Tuhan adalah laku yang justru kian merendahkan eksistensi-Nya. Seolah Tuhan akan tercemar dengan hinaan sebuah kelompok. Tuhan tak pernah tercemar. Justru manusialah yang mencemarkan dirinya dengan berbagai kedunguan, yang kemudian diselesaikan hanya dengan mengucap kata tobat.
Ketika seseorang hendak menegakkan ajaran dan membunuh sesamanya, maka ia berpikir Tuhan serupa kaisar yang mesti dijaga harga dirinya. Mereka yang hendak menghakimi sesama atas nama persembahan kepada Tuhan adalah manusia-manusia dungu yang justru sedang menghancurkan ciptaan Tuhan, sekaligus mengingkari pesan kudus dan damai yang terselip dalam setiap ajaran yang dibisikkan para Rasul.
Namun, betapa sulitnya menanamkan kesadaran spiritualitas yang menjaga bumi dan seisinya sebagai bagian dari diri kita. Umat Islam Indonesia hidup dalam arena ketika Islam hanya dilihat sebagai kosmetika politik dan kebanggan semu. Kita bangga menyebut diri sebagai bangsa Muslim terbesar, tapi kita tak pernah bertanya, apakah ajaran islam yang indah itu sanggup kita jelmakan dalam tatanan hukum, serta keadilan yang menjadi payung buat semua anak bangsa. Kita mempunyai kementerian agama, namun kementerian ini tidak pernah melakukan transformasi sosial, menanam benih kesadaran bahwa agama hadir hanya sebagai jalan untuk menemukan diri-Nya yang penuh kuasa dan mengatur bumi dengan hukum-hukum-Nya.
Mungkin kita sedang bebal-bebalnya. Kita telah mengambil alih tugas Rasul yang menyandang tugas suci untuk sebuah ajaran. Bagi saya, kisah-kisah para rasul yang umatnya ditenggelamkan adalah kisah yang penuh ironi dan teka-teki semiotik yang perlu disibak dan ditemukan maknanya. Mungkin, point utama kisah itu adalah para Rasul telah gagal melakukan transformasi kesadaran dan pencerahan spiritual. Mungkin para Rasul lemah metodologi dalam persuasi, serta tidak berpikir kreatif dan mengajarkan sesuatu secara doktriner.
Namun, kuasa untuk menenggelamkan umat itu justru berpulang pada Tuhan. Para Rasul tak pernah mendorong batu ke puncak gunung lalu menggelindingkannya ke sebuah perkampungan penduduk dan melindas mereka yang tidak patuh. Para Rasul tak pernah mendatangi orang-orang lalu membunuh dan menyakiti. Mereka bekerja secara diam-diam dalam sunyi dan hening saat “menghadirkan” Tuhan dalam setiap ajarannya.
Mereka menyampaikan isyarat, dan ketika umat membangkang, Tuhanlah yang menjatuhkan vonis dengan caranya sendiri. Mungkin ia menenggelamkan umat tertentu. Tapi saya meyakini bahwa tenggelam di sini bukan dalam artian harfiah ketika Tuhan serupa Zeus yang melemparkan petir demi menenggelamkan satu kota. Ia bekerja dengan hukum sebab akibat yang sering tak terdeteksi oleh nalar. Serupa dengan kisah masyarakat tradisional, bahwa ketika kamu merusak hutan, maka azab Tuhan akan datang. Memang, banjir akan datang. Tapi banjir tersebut hadir karena hukum dan ketentuaan Tuhan bahwa hutan punya keseimbangan ekosistem yang terkait erat dengan sekitarnya. Dan ketika manusia merusaknya, maka ia merusak keseimbangan. Banjir adalah akibat sekaligus ketentuan Tuhan.
Hari ini, sebagian dari kita mengidap penyakit serius ketika hendak mengambilalih tugas Tuhan demi menenggelamkan sesama. Mereka berperan sebagai Rasul sekaligus Tuhan. Mereka tak mau sabar dengan segala ketentuan-Nya dan kausalitas yang ditetapkannya di atas bumi. Tuhan dilihat sebagai sosok yang hanya diam dan menyaksikan, tanpa menunjukkan kuasa sebagaimana diperlihatkan ketika menenggelamkan umat terdahulu. Maka, mereka mengambil alih tugas Tuhan. Mereka membunuh sesamanya yang diberi label sesat. Setelah itu mereka tersenyum karena berpikir misi kerasulan telah ditetapkan. Dan Tuhan akan semakin tersenyum nun jauh di sana. Benarkah?
Ah,.. jika itu Tuhan yang dimaksudkan, maka saya memilih tak bertuhan.