Di satu sudut Jakarta, saya jumpa pria yang digadang-gadang sebagai calon presiden itu. Dia bersama rekan-rekan lintas partai sedang mendiskusikan tahapan rencana untuk pilpres 2024. Mereka hendak membuat relawan.
Di pertemuan itu, saya serasa kembali ke lima tahun lalu. Sebab semua pendekatan yang dipilih adalah pendekatan yang pernah dipakai saat pilpres 2019. Pola bermain tak banyak berubah. Semuanya berbasis relawan. Mereka serasa merencanakan kampanye partai politik di situasi normal.
Jika saja mereka membaca buku Marketing 5,0 yang ditulis Philip Kottler dan Hermawan Kartajaya, akan menemukan banyak insight penting, betapa berubahnya realitas lima tahun lalu dan kekinian. Untuk itu, model dan strategi kampanye harus terus berubah. Harus terus menyesuaikan perkembangan zaman.
Mengacu pada buku itu, ada lima trend yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, munculnya generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini.
Mereka adalah anak-anak muda yang lebih suka menghabiskan waktu bersama handphone ketimbang hangout bersama teman-temannya. Mereka tidak terlalu suka bahas politik. Mereka suka bermain game online, memosting di Instagram, dan TikTok, serta suka membuat konten digital.
Generasi yang disebut Net Gen oleh Don Tapscott ini mewarnai dunia dengan caranya sendiri, sehingga mau tak mau semua orang dan semua perusahaan harus pandai berselancar di abad yang baru.
Kedua, gaya hidup Phygital semakin berkembang. Phygtal adalah singkatan dari Physical dan Digital. Di era ini, interaksi tidak lagi fisik, tetapi lebih banyak digital. Hampir semua kegiatan, mulai dari belanja, ngobrol, rapat, seminar, perkuliahan, hingga diskusi dilakukan melalui daring.
Interaksi fisik semakin berkurang, apalagi sejak masa pandemi. Kita berhubungan dengan orang lain bukan lagi melalui pertemuan fisik, tetapi melalui avatar atau profile picture yang kita pilih di ruang digital.
Ketiga, dilema digitalisasi. Kian massifnya penetrasi ruang digital dalam kehidupan kita menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada banyak pekerjaan yang akan hilang. Ada banyak kecakapan baru yang dibutuhkan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang keamanan dan ruang privasi yang kian terancam di era digital.
Dalam konteks politik, tidak semua masyarakat punya akses pada digital. Ada kendala jaringan dan teknologi yang membuat banyak anak bangsa tidak bisa online setiap saat. Di masa pandemic, kita menyaksikan banyak siswa yang harus ke tebing tinggi demi mendapatkan sinyal. Ini adalah dilemma sekaligus tantangan.
Keempat, makin sempurnanya perangkat teknologi. Berkat Google yang menyediakan platform gratis atau rumah bagi beragam aplikasi, setiap hari kita menyaksikan berbagai aplikasi yang memudahkan kehidupan manusia. Banyak bermunculan perusahaan baru yang menawarkan teknologi baru. Kita lihat makin cepatnya internet, cloud computing, big data, dan munculnya banyak software.
Penggunaan teknologi juga semakin luas. Bahkan para nelayan pun bisa memanfaatkan fish-finder atau aplikasi yang menentukan posisi ikan melalui satelit. Petani juga bisa menggunakan peta satelit untuk melihat kesuburan lahan, kalender tanam, serta penggunaan drone untuk penyiraman lahan.
Kelima, munculnya simbiosis antara manusia dan mesin. Kolaborasi manusia dan mesin telah menjadi penanda abad ini. Mesin membantu manusia untuk menganalisis semua data dan memberi rekomendasi banyak kebijakan ekonomi baru.
Dalam konteks pemasaran, mesin membantu manusia untuk membaca target lalu merumuskan cara terbaik untuk mengemas pesan. Mesin menyediakan big data untuk dianalisis lalu digunakan sebagai senjata untuk menyebar pesan.
Dalam konteks kampanye politik, maka dibutuhkan satu kampanye cerdas, yang bisa menentukan sasaran dengan tepat, lalu mengemas pesan dengan baik. Targetnya adalah pesan bisa menyebar secara luas dan bisa menjangkau sebanyak mungkin orang.
***
“Tembok besar itu dimulai dari satu batu bata,” demikian pepatah Cina klasik. Demi Menyusun strategi untuk pilpres tahun 2024, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan.
Pertama membentuk relawan yang kuat, berbasis pada kompetensi dan kemampuan menguasai jaringan informasi dengan cepat. Tim relawan bisa bermain di dua ranah yakni online dan offline, saling terhubung dan menguatkan.
Yang baru dari strategi untuk tahun 2024 adalah porsi relawan digital akan lebih besar ketimbang pilpres sebelumnya. Namun pola main juga harus berubah. Tidak semata membangun konten dan brand, tapi harus memastikan diseminasi konten bisa menjangkau target dan khalayak luas.
Kedua, membangun infrastruktur tim yang kuat. Tim harus memiliki satu command center yang kuat. Secara umum, saya melihat ada tiga unsur utama di setiap pusat komando informasi. Pertama, digital listening tool, yang berisikan perangkat untuk memetakan semua percakapan di media sosial. Kedua, digital media platform, yang isinya berbagai platform media sosial, juga media mainstream. Ketiga, mobile apps, yang digunakan relawan secara mobile di berbagai lokasi.
Ketiga, membangun strategi marketing politik yang terdesentralisasi. Skema kerjanya bukan hierarki, melainkan serupa jaring laba-laba yang terkoneksi dan membangun ekosistem digital yang kuat. Isu-isu harus terdesentralisasi, dalam artian, setiap tim di berbagai daerah bisa memiliki isu dan strategi untuk mendekatai public.
Sinergi antar orang harus dibangun melalui platform digital. Para kreator konten harus terhubung dengan satu tim litbang yang rutin menganalisis isu dan memberikan rekomendasi postingan. Litbang bekerja dengan memanfaatkan big data dan analisis intelijen yang rutin dipasok.
Data pemilih bisa di-breakdown untuk menentukan siapa yang potensial menjadi pendukung. Semua relawan bekerja untuk mengenali kebutuhan khalayak, merancang strategi untuk mendekati khalayak itu.
Semua relawan berinteraksi dalam ekosistem data, sehingga kerja-kerja pemasaran politik akan lebih presisi, membaca target lapangan, serta terhubung dalam satu ekosistem data yang kuat.
Di tanah air kita, pemasaran melalui media sosial sering kali hanya berisi gimmick. Dalam bahasa Inggris, gimmick adalah alat atau trik untuk menarik perhatian. Banyak orang mengira, menjadi viral adalah identik dengan popularitas, lalu elektabilitas. Demi viral, orang rela masuk gorong-gorong, juga rela merayap di haling rintang. Padahal tidak sesederhana itu.
Keempat, membangun ekosisten kreatif. Semua data dan analisis lapangan hanya akan berhenti menjadi laporan jika tidak ada ekosistem kreatof yang bisa mengolah dan mengembangkannya menjadi materi kampanye. Untuk itu dibutuhkan satu tim kreatif dengan energi kreatif meluap-luap yang bisa segera bekerja dalam segala situasi.
“Lantas, berapa biaya yang kami butuhkan untuk membangun semua tim itu?” tanya capres itu.
Saya terhenyak dari
lamunan. Satu hal yang bikin kesl dari politisi adalah sering mengira uang bisa menyelesaikan apapun. Untuk sesaat, saya kehilangan kata. Tiba-tiba saja terngiang sebaris puisi
dari WS Rendra: “Dan kerja adalah pelaksanaan kata-kata.”