Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Refleksi buat Syarif Amir

Seorang kakak bernama Syarif Amir pergi jauh ke Bandung. Seseorang yang begitu berarti di sini. Tak lelah mengajarkan makna dan ikhtiar menjadi jurnalis sejati. Tak bosan membangkitkan semangat untuk tetap berdiri tegak memandang matahari kehidupan dan belajar tidak silau.

Pernakah ia berpikir kalau kehadirannya dinantikan di sini? Pernahkah ia berpikir kalau hadirnya adalah berkah buat kami di sini?

Kantor Tribun seakan mati dan kehilangan getarnya. Menjadi kantor yang kehilangan geliat dan nuansa kebudayaan. syarif Amir menorehkan sesuatu yang berarti di sini. Satu jejak yang sedianya dirunut dengan hati-hati oleh Yusran, Ibe, Taufik, Kambie.

Spirit Qahhar Mudzakkar di Serambi Mekah

DARI Masjid Baiturrahman, Aceh, sorak-sorai terdengar membahana. Kalam damai yang berdengung di Helsinki, Finlandia, ikut menjalar hingga negeri itu. Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat untuk merajut kata damai. Menautkan dua hati yang terbelah sejak 29 tahun yang lalu.

Bumi Serambi Mekah itu dibalut suasana semarak sebab telah menuntaskan satu perhelatan besar yang tertoreh dalam jilid buku sejarah. Warga Aceh larut dalam gelora kebahagiaan. Satu kerja keras yang diretas sejak masa Daud Beureuh kini lempang terhampar di depan mata.

Padahal, Daud Beureuh adalah sahabat karib tokoh Islam Sulsel Qahhar Mudzakkar. Mereka berdua sama-sama mendirikan Negara Islam di tempat berbeda. Jika Daud di Bumi Serambi Mekah (Aceh), maka Qahhar di Bumi Serambi Madinah (Sulsel). Namun spirit dan semangat perjuangan mereka berasal dari kawah perjuangan yang sama.

Kini, Aceh menganyam semangat baru. Nota kesepahaman RI-GAM itu berisikan substansi tentang posisi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai konsep politik, Aceh tetap berada dalam bingkai Indonesia.

Namun sebagai konsep kebudayaan, Aceh memiliki otonomi untuk menata bentuk dan pahatan kebudayaannya. Dalam istilah sejarawan Benedict Anderson, Aceh memiliki nation (bangsa) sendiri sebab ikatan kebangsaan terbentuk dari perasaan senasib antara berbagai etnis. Dalam konteks ini, rajutan bangsa Indonesia telah lama memudar di sana.

Poin kesepakatan Helsinki memberikan keleluasaan masyarakat Aceh untuk kembali memperkokoh bangunan syariat Islam di sana. Dalam satu pasal perjanjian, tertera kalau qanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum Aceh.

Istilah qanun juga tercantum dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Istilah ini bermakna peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah NAD dalam konteks otonomi khusus.

Qanun menjadi jembatan untuk penerapan syariat Islam di sana. Sejak hari Jumat, 1 Muharram 1423 Hijriah atau 15 Maret 2002 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) resmi memberlakukan syariat Islam.

Tonggak sejarah yang dimulai pada Tahun Baru Islam itu antara lain akan ditandai dengan dimulainya kawasan wajib tutup aurat dan penulisan nama-nama toko, jalan, dan bus dengan huruf Arab dan Latin.

Tak hanya itu, penamaan satu wilayah pun disesuaikan dengan istilah lokal yang berakar pada tradisi. Mereka mulai memberi nama ulang pada wilayah, misalnya provinsi dengan nama nanggroe, kota dengan banda, kabupaten dengan nama sagoe.

Puncak dari penegakan syariat ini terjadi ketika di bulan Juni lalu, sebanyak 15 dari 26 penjudi divonis Mahkamah Syariah di Bireun bersalah karena melanggar qanun tentang maisir (perjudian). Mereka lalu dieksekusi dengan hukuman cambuk sebanyak sepuluh kali.

Memang, semuanya masih simbolik. Hanya saja, ada ikhtiar yang tampak secara perlahan-lahan untuk menjadikan Islam sebagai nafas utama kehidupan. Di Aceh, Islam menjelma menjadi elemen utama yang menyangga masyaakanya dalam ritus ke-Ilahi-an. Sebuah semangat yang pernah dipercikkan Daud Beureuh.(yusran darmawan)

Refleksi buat Haji Zaenal Dalle

Seorang kakak bernama Haji Zaenal Dalle pergi jauh ke Bandung. Seseorang yang begitu berarti di sini. Tak lelah mengajarkan makna dan ikhtiar menjadi jurnalis sejati. Tak bosan membangkitkan semangat untuk tetap berdiri tegak memandang matahari kehidupan dan belajar tidak silau.

Pernakah ia berpikir kalau kehadirannya dinantikan di sini? Pernahkah ia berpikir kalau hadirnya adalah berkah buat kami di sini?

Kantor Tribun seakan mati dan kehilangan getarnya. Menjadi kantor yang kehilangan geliat dan nuansa kebudayaan. Zaenal Dalle menorehkan sesuatu yang berarti di sini. Satu jejak yang sedianya dirunut dengan hati-hati oleh Yusran, Ibe, Taufik, Kambie.

Kami semua merindukannya...

Catatan tentang Saraswati

AKU masih ingat betul. Ketika aku masih kecil, bapak pernah memberiku buku cerita. Aku membaca tentang seorang anak kecil yang tinggal di tengah hutan. Ia sangatlah jauh dari akses akan dunia luar. Hidupnya dihabiskan hanya bersama ibunya.

Anak itu diwariskan sebuah buku oleh ayahnya yang sudah meninggal. Ibunya tak pandai membaca, namun anak itu tak henti menyalakan api pengetahuan di dalam jiwanya.

Mulailah anak itu belajar membaca. Ia kesulitan laksana orang berjalan yang terus terantuk. Suatu malam, seorang Dewi bernama Saraswati hadir di depannya. Dewi Saraswati adalah dewi ilmu pengetahuan yang kerap hadir dan memberikan ilham bagi siapapun yang menyalakan keingintahuan dalam dirinya.

Saraswati berdiri tegak dengan anggun. Ia memakai mahkota dan baju kebesaran. Baju khas India berupa kain sari yang membalut tubuhnya

Tangannya ada empat dan dua di antaranya memegang sebuah kecapi, sejenis gitar khas India dengan suara merdu.

Saraswati menuntutun anak itu saat belajar. Anak itu mendapatkan sebuah pelita di tengah kegelapan hutan. Ia akhirnya pandai membaca dan memasuki gerbang baru yang begitu indah befrnama ilmu pengetahuan.

Kurang lebih, 23 tahun yang lalu, aku membaca cerita itu dengan takjub. Saat itu, aku juga sedang belajar membaca. Hampir setiap hari, aku membayangkan hadirnya Saraswati. Sampai-sampai, aku juga ikut memimpikannya.

Hingga memasuki masa SMA, Saraswati tak juga lenyap dari benakku. Saat berada di Yogyakarta, aku sempat terpaku di depan UGM, saat menyaksikan poster Saraswati dipajang.

Saat itulah aku mulai merasakan keanehan. Tiba-tiba saja, aku serasa melihat araswati dalam setiap jejakku. Mulai dari Yogya hingga Makassar, Dewi Pengetahuan itu terus menemani dan menjadi teman dialogku.

Sewaktu kuliah, aku pernah mewakili Unhas di ajang Lomba Karya Ilmiah yang digelar Dirjen Dikti. Acara itu digelar di Bali. Aku melihat patung Dewi Saraswati berdiri megah di depan Dinas Pendidikan di Bali. Patung itu membuatku terhenyak.

Patung Dewi Saraswati berdiri dengan anggunnya. Patung perempuan putih itu disertai torehan tinta emas pada mahkota, kalung, gelang, dan ornamen kecapi, kemudian bertangan empat, dengan masing-masing tangan memegang wina (kecapi), aksamala (tasbih), damaru (kendang kecil), dan pustaka suci. Kata temanku, Saraswati dikenal sebagai Dewi Pendidikan. Dan di Bali, hari lahir Saraswati dirayakan setiap tahunnya.

Apakah aku sakit? Mungkin. Kata teman-teman, aku sering bicara seorang diri. Seakan-akan aku sedang berbicara dengan orang lain.

Barangkali itu benar. Yang jelas, pengalaman itu agak aneh bagiku. Anehnya, setiap aku mulai akrab dengan seorang gadis, aku selalu memanggilnya dengan Saraswati. Aku senantiasa mengidentikkan gadis itu dengan Saraswati.

Ketika aku gagal membangun hubungan cinta dan putus dengan beberapa orang, bagiku itu tak mengapa kok. Aku menerimanya sebagai satu keniscayaan. Aku jarang sedih karena yakin kalau Saraswati pasti datang kepadaku. Bagaimana pun, perempuan bisa datang dan pergi, namun Saraswati tetap hadir di hatiku.

Anehnya, Saraswati tidak setiap hari hadir dan mengunjungiku. Ia hanya hadir di saat-saat tertentu khususnya ketika aku sedang kesepian. Ia akan datang dan menjadi obat bagi seluruh kesunyianku.

Saat menyaksikan film Beautiful Mind, aku baru tahu kalau penyakit itu di sebut schizophrenia. Ternyata, itu benar-benar penyakit.

Namun, anehnya, aku justru tidak merasa terganggu dengan itu. Justru aku merasa bahagia karena di saat-saat tertentu, ada yang meredam segala sedihku.

Saraswati menjelma menjadi sebuah ideologi yang samar-samar menuntunku ke satu titik. Secara jujur, aku justru terbantu dengan hadirnya sosok itu. Setidak-tidaknya hari-hariku kian bermakna.

Berbagai Saraswati hadir dalam kehidupanku. Namun Saraswati yang sekarang ini adalah yang terindah bagiku. Sungguh bahagia aku karena pernah mengenalnya dalam hatiku.

Saraswati

Yos, jangan sekali-sekali menyakiti Saraswati
Yos, jangan sekali-sekali menyakiti Saraswati
Yos, jangan sekali-sekali menyakiti Saraswati

Langgam Tradisional

Hari ini tak banyak yang berubah. Aku agak malas menuliskan berbagai pengalamanku. Nyaris seminggu, tak ada pengalamanku yang tertuang di sini. Entahlah, mungkin ada yang salah dengan diriku. Hari-hari berjalan begitu monoton. Aku seakan kehilangan getar. Sesuatu yang terus memelihara seluruh energi dan gerakku.

Kalaupun hariku berwarna, itu karena Saraswati. Ia mengalirkan nafas dan oksigen buat hari-hariku. Tak henti-hentinya aku bersyukur pada Allah atas segala rezeki dan karunia-Nya kepadaku.

Malam Minggu kemarin, aku mengajak Saraswati untuk nonton konser musik merdeka. Lagu dengan langgam dan irama keroncong kedengaran begitu syahdu. Kelompok musik I La Galigo bermain begitu kompak. Iringan musiknya terdengar begitu syahdu.

Setiap kali pemain biola menggesek biolanya, aku mendengar suara yang begitu melengking bahkan terdengar menyayat-nyayat jiwaku. Aku menggenggam tangan Sara dengan erat seakan ketakutan kalau-kalau ia akan pergi.

Lagu-lagu diperdengarkan dengan apik. Seakan-akan Makassar hadir dalam kemasan tempo dulu. Ada lagu Bugis, Makassar, bahkan Toraja. Semuanya menyatu dalam satu kesatuan. Terdengar pula lagu Cina dan barat.

Bagiku, musik ini begitu langka. Kesempatan untuk mendengarkannya sangatlah jarang. Kalau pun ada, maka biasanya itu menjelang 17 Agustus, seperti momen kini.

Padahal, bagiku, lagu tradisional dan perjuangan dalam balutan irama keroncong memiliki kekuatan. Sesuatu yang meghadirkan spirit besar untuk mengembalikan khasanah berpikir kita ke masa silam, sebuah masa yang begitu romantis ketika idealisme berkobar dan membakar.

Lepas dari itu, aku sempat merenung, kalau-kalau akan ada suatu massa di mana sebuah artefak kebudayaan akan menjadi fosil dan hanya bisa dilihat dari suatu museum. Akan ada saat ketika kebudayaan membeku dan tertahan di balik jerui ingatan atas nama masa silam.

Barangkali Arnold Toynbee benar ketika berbicara tentang kebudayaan sebagai challenge and response (tantangan dan jawaban). etika satu kebudayaan kehilangan jawaban terhadap berbagai tantangan yang ada, maka itu adalah pertanda matinya kebudayaan itu.

Dalam konteks langgam tradisional, barangkali tak benar-benar ada ikhtiar untuk terus melestarikannya ke dalam kontinuitas ruang sejarah. Mungkin tak betul-betul ada gerak untuk melakukan jawaban atas berbagai tantangan modernitas di ranah musik.

Tapi, keraguan menyeruak pula. Barangkali segala khasanah itu harus dibiarkan tetap dalam bentuknya yang asli. Upaya manusia untuk merubahnya, hanyalah upaya yang menghilangkan kadar kemurniannya.

Hanya saja, argumen ini jelas lemah. Bagaimanapun, zaman teruslah bergerak. Manusia terus berbenah. Manusia hari ini bukanlah manusia kemarin sebab melalui berbagai evolusi kebudayaan yang berimplikasi pada lahirnya berbagai produk dan artefak kebudayaan.

Mungkin, ada baiknya jika langgam itu mendapatkan sentuhan sesuai dengan zaman kini. Malah, kalau perlu langgam musik tradisional itu harus bisa menjadi instrumen untuk mengiringi band populer semacam Peterpan, Padi, ataupun Sheila On7, sejumlah grup musik yang menjadi ikon modernitas.

Jika tidak mampu beradaptasi, barangkali langgam tradisional itu kelak akan benar-benar menjadi fosil dan hanya bisa disaksikan di museum. Seperti halnay berbagai artefak kebudayaan Bugis, Buton, ataupun Makassar. Sebab dunia ini tak pernah berhenti beringsut. Sejara terus mencatat setiap ritme dalam buku putihnya.



Matinya Kebudayaan

SETIAP menjelang penerimaan mahasiswa baru, publik akan disuguhi dengan pemandangan yang nyaris sama: baliho selamat datang serta simbol-simbol penyambutan mahasiswa baru. Ada yang lembut, ada yang bergambar seram berupa tengkorak menyeringai. Bahkan ada yang berupa kalimat ancaman.

Tak hanya simbol, warna pun seakan menjadi kata wajib yang perlu dipertontonkan. Hampir setiap fakultas, selalu menghadirkan warna tersendiri. Parahnya, semua fakultas itu mengklaim kalau Unhas adalah kampus dengan embel-embel warna itu. Padahal, tak pernah ada konsensus warna di kampus ini. Pun dengan warna merah.

Momentum Ospek menjadi milik semua mahasiswa. Tiba-tiba saja, semua mahasiswa masuk kampus dan bersama ikut merayakan sebuah hari di mana relasi kuasa tampil secara kasat mata. Tiba-tiba saja, semuanya mengaku sebagai aktivis mahasiswa dan merasa memiliki otoritas untuk mendoktrin mahasiswa baru atas nama label aktivis.

Mereka lalu mengajarkan mahasiswa baru tentang demonstrasi dan pergerakan, sembari menutupi realitas, betapa mereka tak pernah berpanas-panas ria demi sebuah tuntutan. Mereka yang benar-benar aktivis harus pasrah dan kehilangan ruang.

Lembaga kemahasiswaan yang mati suri perlahan mulai ramai dengan mahasiswa. Maklumlah, lembaga menjadi akses untuk mendapatkan label dan bisa terlibat dalam pesta akbar itu. Meskipun, seusai Ospek, lembaga kemahasiswaan kembali mati suri dan tak satu pun mahasiswa yang mau menggubrisnya.

Setiap tahun, pemandangan yang sama selalu berulang. Padahal, dunia kemahasiswaan adalah dunia yang sangatlah dinamis. Namun di Unhas, geliat itu seakan stagnan. Tak ada pencerahan. Tak ada renaissance dan setiap tahun ritual yang sama dan membosankan selalu terulang.

Nanti sa lanjutkan.......................