Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Saat Habib RIZIEQ Gantikan PRABOWO



PENULIS Simon Philpott dalam buku Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme mengatakan: dunia politik Indonesia laksana kuburan bagi para pengamat dan ilmuwan yang tekun mengamatinya. Banyak asumsi dan prediksi yang kemudian tidak terbukti realitasnya. Banyak pula hal-hal baru yang tiba-tiba memotong di tengah jalan, lalu mengambil alih kendali wacana politik.

Pendapat Philpott sangat tepat untuk memotret dinamika kekinian. Lima tahun silam, adakah yang bisa memperkirakan Joko Widodo, yang menjabat sebagai walikota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI, kemudian sukses menjadi Presiden Indonesia? Kini, kita juga bisa mengajukan pertanyaan lain. Adakah yang pernah memprediksi bahwa Habieb Rizieq akan menjadi tokoh oposisi nomor satu, yang menenggelamkan semua tokoh lain, termasuk Prabowo Subianto?

Politik kita berjalan laksana pendulum yang sukar ditebak ke mana arahnya. Para politisi ibarat berjalan di atas lintasan yang dengan segera bisa berbalik arah tanpa ada aba-aba pendahuluan. Politik kita bergerak zig-zag, dengan pola yang kerap sukar diprediksi.

Tiga tahun lalu, seusai pemilihan presiden, politik Indonesia terbelah dalam dua kubu yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH sukses menaikkan Jokowi sebagai presiden dalam ajang pemilihan presiden yang paling seru. Tokoh-tokoh politik KIH mengambil risiko dengan mendorong Jokowi, figur baru yang dianggap belum banyak pengalaman di ajang politik paling besar negeri ini.

Sebaliknya, KMP berkomitmen untuk menjadi pengimbang di pemerintahan. Meskipun gagal menaikkan figurnya Prabowo Subianto ke tampuk kekuasaan, KMP tumbuh menjadi kekuatan politik baru. Komitmen antar partai dibangun untuk tujuan jangka panjang. Mulanya, kekuatan politik ini diyakini akan sukses menjadi pengimbang, bahkan diyakini bisa menjatuhkan Presiden Jokowi. Modal politiknya adalah posisi pimpinan di parlemen, termasuk pimpinan komisi.

Seiring waktu, KMP ibarat mobil balap yang kehabisan bensin. Rezim Jokowi bergerak lebih cepat. Satu demi satu pendukung KMP menarik diri lalu bergabung dengan pemerintah. Rezim ini tahu persis bagaimana menjinakkan mereka yang berseberangan. Rezim ini bisa memetakan apa yang harus dtawarkan, lalu bagaimana menyiapkan satu palagan yang telah terkunci di mana-mana. Satu demi satu kekuatan oposisi digerogoti hingga akhirnya membuat KMP bubar perlahan-lahan.

Puncaknya adalah Prabowo Subianto, yang tadinya dianggap sebagai sosok kunci yang bisa menjadi juru selamat Indonesia, sosok yang dianggap seagai ksatria dan dirigen bagi irama pergerakan KMP, perlahan suaranya melempem. Sorak-sorai pendukung yang menahbiskan dirinya sebagai macan asia tiba-tiba saja kehilangan auman saat Presiden Jokowi menemui Prabowo dan mengajaknya berdamai. Dengan membawa tema-tema kebangsaan dan keindonesiaan, Jokowi dan Prabowo lalu saling membangun simpul dan menyatakan sikap bersama-sama. Tak ada lagi istilah oposisi

***

POLITIK kita juga menyimpan dua lain realitas yakni dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas yang dimaksudkan adalah dunia yang dihuni para politisi, yang saling berkontestasi di ruang-ruang parlemen, kebijakan, maupun lembaga politik. Inilah dunianya para politisi yang saling sikut, namun bisa berada dalam satu gelak tawa dan canda riang sembari mengamati tayangan media massa. Di dunia atas, para politisi bisa saling mengucapkan ikrar damai dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Namun tidak dengan dunia bawah.

Sejak era reformasi, dunia bawah selalu hiruk-pikuk, penuh kegaduhan, dan penuh konflik. Dunia bawah yang dimaksudkan adalah dunianya rakyat biasa, suporter, pendukung, publik, massa, ataupun para suporter. Jika di era sebelumnya, publik hanya menjadi obyek yang menjadi sasaran, maka pasca-reformasi, mereka adalah bagian penting dari perpolitikan kita.

Nah, dalam konteks politik kita hari ini, massa pendukung KMP yang dahulu berkiblat pada Prabowo Subianto, ibarat anak ayam kehilangan induk. Di masa pilpres, mereka terlibat dalam berbagai tengkar dan debat di dunia maya, maupun dunia nyata demi membela Prabowo dan menjatuhkan Jokowi. Dalam bayangan mereka, semua yang dilakukan Jokowi pasti salah sehingga harus dikrtik, dipertanyakan, lalu digugat.

Seusai pilres, mereka membayangkan Prabowo akan tetap memimpin sikap kaum oposisi yang ingin melihat pemerintahan lebih baik. Para pendukungnya tidak menyadari bahwa Prabowo Subianto jauh lebih bijak ketimbang mereka yang hanya bisa melihat celah dari rezim. Prabowo melihat kepentingan yang lebih besar yakni bagaimana menjaga marwah pemerintahan ini tetap tegak, sembari menyiapkan kekuatan perlahan-lahan untuk maju dalam arena politik selanjutnya.

Para pendukung yang kecewa ini ibarat air yang lalu mencari kanal-kanal baru untuk bergerak. Saat mereka menyaksikan pendukung Jokowi beramai-ramai mendukung Ahok, mereka lalu mencari kubu yang menjadi anti-tesis Ahok. Sejak Ahok menyatakan maju dalam pilkada, segala argumentasi telah ditebar untuk menjatuhkannya.

Puncaknya adalah muncul isu penistaan agama, yang dimulai dari postingan Buni Yani. Indonesia seolah masuk dalam pusaran konflik. Berbagai demonstrasi mulai hadir hingga mengumpulkan massa yang besar. Dalam aksi-aksi besar yang terorganisir rapi ini, para pendukung Prabowo lalu mencari figur lain yang bisa menjadi tokoh perekat. Di titik ini, Prabowo tidak bisa menjadi sosok pahlawan dari mereka yang menginginkan ada kecaman dan palu goam kepada pemerintah. Mereka membutuhkan sosok lain yang berani tampil garang kepada pemerintah.
Mereka membutuhkan sosok Habieb Rizieq, yang dalam rezim sebelumnya justru tak pernah tersorot kamera, tiba-tiba menjadi pemimpin dari kekuatan besar. Rizieq menjadi simpul dari berbagai kekuatan yang mengatasnamakan Islam lalu membangun sikap berseberangan dengan pemerintah.

Rizieq ibarat penyambung lidah bagi mereka yang hendak beroposisi.

***

BARANGKALI, Majalah Tempo yang pertama menulis bahwa kebanyakan pendukung Rizieq dan pengecam Ahok adalah mereka yang dahulu menjadi pendukung Prabowo. Memang, ada juga yang mengecam Ahok karena isu agama, namun riset SMRC menunjukkan bahwa 80 persen masyarakat justru tidak tahu secara persis apa yang diucapkan Ahok hingga dianggap menistakan agama. Dengan kata lain, kebanyakan para pendukung Rizieq bergerak karena mobilisasi serta pengendalian wacana yang dilakukan melalui media sosial.

Rizieq menjadi ikon baru dari keberanian menentang pemerintah. Para pengkaji politik harus memasukkan Rizieq sebagai sosok penting dan ikon pergerakan Islam di abad ke-21. Dari sisi politik, Rizieq mendapat limpahan pendukung yang semakin besar, yang merasa tidak bisa lagi menyalurkan aspirasinya kepada Prabowo. Dengan kemampuannya menyitir pesan keagamaan, Rizieq menjadi simpul dari gerakan massa berbasis agama yang sempat menjadi pengendali wacana di berbagai media. Kekuatan Rizieq adalah dukungan besar yang didapatnya dengan modal kutap-kutip pesan agama, demi memuluskan beberapa tujuannya.

Dia memainkan kartu oposisi, yang dahulu sukses dimainkan Gus Dur pada masa Orde Baru. Namun, apakah Rizieq akan sesukses Gus Dur hingga melesat ke kursi nomor satu negeri ini? Tunggu dulu.

Saya percaya bahwa dunia atas dan dunia bawah politik kita punya langgam budaya berbeda. Gudykunst (1992) membagi komunikasi dalam konteks tinggi dan konteks rendah. Konteks tinggi adalah budaya komunikasi yang cenderung hati-hati, penuh kata-kata bersayap, serta nampak damai dan aman, namun menyisipkan banyak seknario di belakangnya. Sedangkan konteks rendah adalah bicara terbuka, lepas, tanpa harus menutupi sesuatu. Konteks rendah menuntut seseorang untuk menyampaikan maksud secara terbuka, termasuk emosi, dan kemarahan.

Sejauh yang saya lihat, domain dan pengalaman Rizieq berada dalam konteks rendah. Ia bisa garang saat pidato, saat menggerebek diskotik, hingga saat mengeluarkan kecaman dan makian. Namun ia akan serba gagap saat memasuki dunia konteks tinggi, di mana dibutuhkan kemampuan diplomasi, membangun jejaring, lalu menjebak semua lawan politik dengan cara yang elegan. Saat diajak masuk dalam budaya yang penuh dengan argumentasi dan silang argumen, ia bisa mengalami shock culture sebab selama ini dirinya adalah karakter orator jalanan yang terbiasa berbicara terbuka, tanpa ada sensor.

Boleh jadi, dorongan untuk memasuki konteks tinggi itulah yang membuat dirinya penuh dengan celah untuk dijerat hukum. Di dalam dunia konteks rendah yang selama ini dijalaninya, mengecam dan memaki saat aksi adalah hal yang biasa dan lumrah-lumrah saja. Dia bisa saja memerkarakan orang lain atas tuduhan bicara kasar namun hukum ibarat bumerang yang akan berbalik menghantam dirinya. Sebab dirinya juga sosok yang bicara terbuka, tanpa sensor, tanpa etika. Namun dalam dunia konteks tinggi, dia akan berhadapan dengan argumentasi, debat, serta sanggahan. Dia harus bersiap menghadapi pengadilan sebagai medium untuk berdebat dan saling pembuktian. Di titik ini, ia penuh celah dan lubang sana-sini.

Seberapa kuat Rizieq bertahan dari bumerang hukum? Waktu yang akan menjawab semuanya. Setidaknya dia masih punya kekuatan yakni mentransformasi dirinya sebagai representasi Islam. Dengan cara demikian, banyak yang rela menjadi martir untuknya. Yang pasti, kita menyaksikan Habib Rizieq yang tadinya berada di tepian arus politik, kini berada di tengah-tengah. Bahkan ia telah menenggelamkan para oposisi lain, termasuk Prabowo.


23 Januari 2017



Retorika Penjual Obat di Masjid Belopa


beberapa peraga yang digunakan penjual obat

GERIMIS baru saja turun seusai salat Jumat di Masjid Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Saat keluar dari masjid, saya menyaksikan banyak jamaah berkerumun di dekat tempat wudhu. Saya pun singgah melihat-lihat apa yang membuat orang berkerumun. Ternyata, di situ ada para penjual obat sedang beratraksi. Mereka mengeluarkan retorika dengan teknik memukau. Mereka berkisah tentang perjalanan mereka ke belantara, pengetahuannya tentang berbagai jenis penyakit, hingga khasiat obatnya yang bisa mengatasi berbagai penyakit.

Buat mereka yang suka piknik ke desa-desa dan kota kecil Indonesia, penjual obat adalah mereka yang bisa ditemukan di pasar-pasar. Seringkali mereka berlagak serupa pemain sirkus yang sedang memamerkan permainan sulap atau akrobat. Mereka menampilkan atraksi sebelum menggelar dagangan. Berkat atraksi itu massa lalu menyemut dan mengelilinginya.

Penjual obat pertama yang saya saksikan memakai pakaian khas papua. Ia tak berbaju, melainkan rok berupa alang-alang. Kalungnya berupa gigi-gigi hewan yang panjang. Ia memakai hiasan kepala ala Papua. Saya menyaksikan koteka yang tersampir di pinggangnya. Saya bisa melihat beberapa tato unik di bahunya. Di hadapannya, ia meletakkan berbagai kliping berita tentang khasiat obat dari tanah Papua. Beberapa benda aneh juga dipamerkannya.

Beliau tidak memakai pelantang suara sebab suaranya menggelegar dan terdengar hingga jauh. Ia berretorika dalam banyak bahasa. Ia menggunakan bahasa Luwu, bahasa utama yang digunakan di Belopa, lalu bahasa Bugis, hingga bahasa Indonesia. Biarpun demikian, sebagai pendatang di situ, saya bisa memahami jelas apa yang dimaksudkannya.

Bapak ini menjual cairan lintah, yang diklaimnya bisa mengatasi impotensi dan meningkatkan vitalitas laki-laki. Dengan retorika selangit, serta menampilkan atraksi ala ngebor, ia menyebut bahwa khasiat obatnya akan bisa membuat seseorang lengkap sebagai Don Juan, Cassanova, dan playboy yang akan membahagiakan semua perempuan di ranjang. Khasiat obatnya bukan dirasakan laki-laki, sebagai consumer, melainkan dirasakan perempuan sebagai pihak yang merasakan manfaat.

“Kalau kamu pakai obat ini, saya jamin punyamu akan berdiri keras dan kuat. Kalau tidak percaya, minum obat ini, setelah itu tunggu setengah jam. Punyamu akan berdiri keras, trus gantungkan dua butir kelapa di situ. Saya jamin punyamu tidak akan jatuh,” katanya. Saya tersenyum-senyum saat membayangkan apa yang dikatakannya. Mana ada sih orang yang saat itunya lagi “bangun” tiba-tiba mau saja menggantungkan dua butir kelapa.

penjual obat berkostum ala Papua

Penjual obat ini menyebut berbagai bonus yang bisa diberikannya bagi pembeli obatnya. Rupanya di sini berlaku pula promosi “You buy one, you get two” sebagaimana lazim kita mendapatkannya di supermarket. Bonus yang diberikannya adalah benda yang juga punyakhasiat meningkatkan kelelakian. Ia menyebut “kayu ular”, semacam kulit kayu asal papua yang digigit-gigit saat laki-laki melakukan hubungan seksual. Kayu ini akan meningkatkan vitalitas. Bonus lain adalah buluh perindu, juga merupakan obat pusaka asal Kalimantan yang meningkatkan stamina. Lainnya adalah belut yang sudah dikeringkan. Khasiatnya juga sama.

Seusai menyaksikan bapak yang berbaju tradisional Papua itu, saya pindah ke penjual lainnya. Masih dengan retorika yang sama, penjual ini punya positioning berbeda. Ia menampilkan dirinya sebagai seorang ustad yang fasih mengutip hadis-hadis dan ayat-ayat kitab suci. Ia menyebut banyak hadis tentang kesehatan. Setelah itu, pelan-pelan ia mengaitkan hidup sehat ala Rasulullah itu dengan obat yang dibawanya. Obat yang dibawanya adalah jenis herbal yang diyakini bisa menembuhkan begitu banyak penyakit. Saya terheran-heran melihat daftar banyaknya penyakit yang bisa disembuhkan berkat obatnya. Jika obatnya benar berkhasiat, pastilah semua rumah sakit, klinik, dan pusat kesehatan akan tutup.

Kepada sahabat Idham Adhiatmaja yang menemani, saya berbisik, “Tahu bedanya dokter dan penjual obat?” Idham menggeleng. Saya lalu menjawab, “Kalau dokter, satu penyakit akan diatasi dengan banyak obat. Tapi penjual obat, semua penyakit hanya diatasi dengan satu obat.” Idham tertawa ngakak.

Saya masih tertarik dengan bapak berpenampilan ustad ini. Rupanya ia mengajak beberapa orang untuk menbaui aroma obatnya. Setelah itu ia akan berseru, “Bapak sekalian baru saja merasakan bagaimana aroma surga. Seperti itulah nikmatnya kekuatan penyembuhan dari Allah.” Saya tersenyum lalu meninggalkan arena itu.
 
peraga dari penjual obat asal Buton

Tapi sebelum pergi, saya tersentak saat membaca namanya di spanduk: La Ode Akbar Parigi Ternyata dia berasal dari Buton, kampung halaman saya. Hah?


***

BEBERAPA kali saya menulis tentang para penjual obat ini. Di mata saya, keberadaan mereka dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari mahalnya biaya rumah sakit, semakin berjaraknya pelayanan kesehatan ke masyarakat bawah, kalkulasi biaya yang murah jika membeli obat ke penjualnya, kemudahan akses masyarakat untuk menjangkau penjual obat, hingga kekuatan sugesti yang ditiupkan oleh para penjual obat ke benak para penontonnya.

Saya teringat pada catatan sosiolog Daniel Bell, mengenai modernitas yang kerap diiringi irasionalitas. Semakin kita modern, maka semakin banyak hal irasional. Di dunia yang serba rasional, terukur, dan dilandasi pencerahan ini, keputusan-keputusan manusia seringkali susah dijelaskan dengan kata-kata. Makanya, kiprah para ahli retorika, para ideolog, dan para juru kampanye masih efektif dalam menyuntikkan apa yang disebut kebenaran di benak kita. Di titik ini kita bisa melihat kemampuan kampanye para penjual obat.

Kekuatan para penjual obat bukan sekadar atraksi, tapi pada kemampuan retorika yang bisa membuai semua orang. Sang penjual akan memegang pengeras suara lalu mengoceh sepanjang pertunjukan itu. Dia bisa mengklaim dirinya sebagai ahli segala hal. Ketika dia bicara, semua orang akan percaya kalau dirinya adalah kombinasi dari beberapa profesi sekaligus, mulai dari ahli pengobatan, sosok sakti mandraguna, hingga sebagai sosok welas-asih yang hendak membantu orang banyak.

Kita mungkin menyebutnya pembual. Tapi di lingkaran di mana penjual obat beratraksi, sabdanya selalu diamini semua penonton. Kekuatan kampanyenya terlihat saat penonton merogoh kocek dan mengeluarkan pundi-pundinya demi sang penjual obat. Keberhasilannya terlihat pada seberapa banyak orang yang percaya padanya, meskipun boleh jadi ia sedang membual.

Tunggu dulu, apakah ia membual? Entahlah. Sebagai orang kota yang modern, mungkin kita melabelnya sebagai pembual, kampungan, atau irasional. Tapi pernahkah anda melakukan refleksi dan menyaksikan justru masyarakat kota yang paling banyak percaya pada bualan para “penjual obat” yang berjubah sebagai politisi, calon gubernur, calon presiden, hingga calon ketua RT?

Pernahkah kita bertanya pada diri, bahwa dalam setahun kita menerima janji surga berupa kesejahteraan dari para “penjual obat” berbaju politisi dan partai politik? Mulai tingkat presiden, provinsi, kabupaten, hingga desa dan RT, kita menerima banyak janji-janji dan harapan besar. Tapi sudahkah kita mengalkulasi seberapa banyak pengaruhnya bagi kehidupan kita? Entahlah.

Di malam hari, saya masih menimang obat yang dibeli di Masjid Belopa. Saya heran saja mengapa bisa percaya begitu saja. Di layar televisi, saya menyaksikan debat calon gubernur. Jujur, saya lebih menyukai retorika dari penjual obat yang saya saksikan tadi siang.



Belopa, Luwu, 14 Januari 2017

BACA JUGA:



Dari Tanjung Pinang Hingga Tanah Luwu



JIKA satu perjalanan menyimpan satu kepingan puzzle, maka perjalanan demi perjalanan akan menjadi upaya untuk menautkan banyak kepingan puzzle menjadi satu gambaran yang utuh. Dalam banyak kesempatan, saya merasakan perjalanan sebagai sesuatu yang terus bertumbuh.

Pengetahuan kita tentang satu topik kian mendalam seiring dengan perjalanan, yang kemudian mempertemukan kita dengan banyak pengetahuan lain.

Dua tahun silam, saya berkunjung ke Tanjung Pinang, dan menyaksikan jejak sejarah orang Bugis dari tanah Luwu yang datang dan berdiam di tanah Melayu, lalu membangun kerajaan di Malaysia dan Singapura.

Hari ini, saya berkunjung ke tanah Luwu, tanah yang merupakan leluhur dari para raja di negeri tetangga itu. Saya belajar untuk merunut ulang kisah-kisah mereka yang memilih jadi perantau lalu membangun peradaban besar di banyak tempat.

Sekelebat tanya melintas di pikiran saya. Mengapa orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?

***

Hari itu, dua tahun silam.

DARI pompong atau perahu kecil yang saya tumpangi, Pulau Penyengat tampak asri dipandang. Di tengah pulau itu, saya melihat warna kuning keemasan berdiri kokoh. Batin saya tercekat. Entah kenapa, saya merasa seolah pernah berada di sini. Kawan alfiandri berbisik kalau itulah Masjid Pulau Penyengat. Masjid ini adalah saksi dan jejak dari banyak hal.

Di antara yang menggetarkan hati adalah masjid ini ibarat rumah bagi Raja Ali Haji, sosok hebat di tanah Melayu, pahlawan yang menulis gurindam dan puisi tentang kearifan, serta pejuang gigih yang hendak memerdekakan bangsanya.

Bersama sahabat Alfiandri dan Wayu, saya berkunjung ke Pulau Penyengat. Saya ingin melihat langsung pulau yang dahulu menjadi sentrum dari denyut nadi kebudayaan Melayu. Saya ingin berziarah ke makam Raja Ali Haji, sesuatu yang saya yakini sebagai cara terbaik untuk mengenali dan menyerap pelajaran dari seorang tokoh.

Di pulau itu, saya merenungi banyak hal tentang Raja Ali Haji. Dari sekian banyak kisahnya yang mentereng, hati saya selalu saja basah saat mengingat jejaknya di dunia syair. Ia adalah sufi yang menjadi pahlawan nasional.

Kitab yang ditulisnya mengenai bahasa menjadi patokan bagi para peserta Kongres Pemuda saat merumuskan bahasa persatuan. Ia seorang penulis yang produktif, sekaligus pejuang hebat dalam mengasah literasi bangsanya.

Beberapa hari sebelumnya, saat pertama memasuki Kota Tanjung Pinang, saya menyaksikan bagaimana syair yang dibuatnya digurat di banyak lokasi. Pesan-pesannya yang dijejalkan dalam syair telah menjadi ikon dan kebanggan kota itu.

Raja Ali Haji adalah pengendali kata, yang bisa mengubah kata-kata, dari sekadar sehimpunan bunyi, lalu menjadi kecipak sungai mengalir, hingga menggelegar, menggedor, dan menggebrak kesadaran.

Lelaki yang lahir di Selangor, Malaysia, pada tahun 1808. Ia adalah putra Raja Ahmad, yang dikenal sebagai Engku Haji Tua. Ia adalah cucu Raja Haji Fi Sabilillah, yang merupakan saudara Raja Lumu, Sultan pertama di Selangor. Raja Haji sendiri adalah putra Opu Daeng Cella', lelaki Bugis asal Tanah Luwu yang pertama datang pada abad ke-18.

di Masjid Pulau Penyengat

Biarpun Raja Ali Haji adalah sosok besar di tanah Melayu, ia tak pernah melupakan tanah leluhurnya. Selain mengarang syair Gurindam Dua Belas yang tersohor itu, ia juga menulis kitab tentang silsilah Melayu dan Bugis demi mencari jati diri dan garis nenek moyangnya.

Walau tak ada catatan sejarah perjalananya ke tanah Bugis, ia tetap memosisikan Bugis sebagai penanda identitasnya. Ia menulis kitab silsilah Bugis-Melayu, sebelum akhirnya membuat syair-syair yang menaikkan namanya.

Ia menjaga identitasnya sebagai orang Bugis di tanah Melayu.

***

“Kamu berasal dari mana?” Bapak berambut putih itu datang menemui saya lalu menjabat tangan. Sepertinya, dia bisa mengenali saya sebagai orang yang baru pertama berkunjung ke masjid itu. Saat saya menyebut berasal dari Sulawesi, bapak itu tersenyum. Ia mengangguk, lalu merespon singkat,

“Saya juga dari Sulawesi. Saya dari Luwu,” katanya.
“Pernah ke Luwu?” tanya saya.
“Belum pernah. Kakek moyang saya Opu Daeng Cella, berasal dari Luwu,” katanya.

Sahabat saya, Alfiandri, bercerita kalau bapak itu adalah salah seorang keturunan langsung Raja Ali Haji. Pantas saja dirinya tetap menyebut nama Opu Daeng Cella’, sosok yang merupakan kakek Raja Ali Haji. Tanpa saya minta, bapak berambut putih itu lalu menjelaskan banyak hal tentang masjid itu. Mulai dari makna empat pilar, makna syair, hingga beberapa puisi sufistik.

Opu Daeng Cella’ adalah satu dari lima pangeran asal Luwu yang hijrah dari kampung halamannya. Opu Daeng Cella lalu diangkat sebagai raja muda di Riau, yang kemudian mewariskan tahtanya pada anaknya Raja Haji, ayah dari Raja Ali Haji.

Saudaranya yang lain adalah; Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase. Kesemuanya memiliki riwayat yang cukup masyhur, dan diangkat menjadi Sultan di Malaysia, Riau dan Kalimantan Barat.

Masing-masing menempuh takdir berbeda. Opu Daeng Manambong menjadi sultan di Mempawah, Kalimantan Barat. Opu Daeng Parani menikah dengan puteri Raja Selangor, dan adik Raja Kedah. Ia adalah menantu Raja Selangor dan adik ipar Raja Kedah. Opu Daeng Kamase dinobatkan menjadi raja Sambas di Kalimantan Barat, dengan gelar pangeran Mangkubumi. Opu Daeng marewa sebelunya adalah raja muda di Riau, yang kemudian digantikan Opu Daeng Cella.

Kelimanya masyhur dan mewariskan jejak hebat di negeri yang dikunjunginya. Jika hari ini kita mendengar nama mereka, maka kita sedang mendengar kisah diaspora yang tidak saja bertujuan untuk membangun kuasa, tapi juga mewariskan jejak berharga di bumi manapun yang dikunjungi. Kita bisa melihatnya pada sosok Raja Ali Haji yang mewariskan banyak hal baik, tak hanya bagi tanah melayu, tapi juga Indonesia.

***

HARI ini, saya berada di Belopa, ibukota Kabupaten Luwu. Saya teringat banyak pengalaman saat di Pulau penyengat, kepulauan Riau. Saya membatin bahwa sejarah di banyak tempat di Malaysia, Riau, hingga Kalimantan, dimulai dari tanah ini.

Namun, Luwu tidaklah semegah negeri-negeri yang dijelajahi para putra Luwu. Kini, Luwu adalah wilayah yang telah mekar menjadi beberapa wilayah, mulai dari Kota Palopo, Luwu, Luwu Timur, hingga Luwu Utara.

Pertanyaan yang menggelayut di benak adalah mengapa orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?

Saya menyimpan pertanyaan ini, lalu menanyakannya pada Bachrianto Bachtiar, seorang akademisi. Kata Bachrianto, Luwu adalah wilayah yang punya wiayah luas, dengan berbagai kekayaan. Katanya, semua etnik bisa ditemukan di Luwu dikarenakan banyaknya sumberdaya alam yang bisa menopang kesejahteraan.

“Kalaupun ada orang Luwu merantau, maka pastilah itu disebabkan sesuatu yang prinsipil. Mereka memilih memegang prinsip itu, mempertahankannya mati-matian. Kalau perlu, mereka siap binasa demi prinsip yang dipegang erat itu,” katanya.

Saya merenungi penuturan Bachrianto. Sejarah hijrahnya orang Luwu ke Malaysia dan wilayah lain memang tak bisa lepas dari faktor politik. Hijrahnya lima bangsawan Luwu itu tak bisa dilepaskan dari faktor politik.

Seusai Perang Makassar yang ditandai dengan lahirnya Perjanjian Bongaya di tahun 1669, banyak orang Bugis-Makassar yang merasa tercabik harga dirinya. Mereka merasa terhina sebab harus dipimpin oleh orang Belanda, yang telah mengalahkan mereka dalam perang dahsyat.

bersama keturunan Raja Ali Haji

Hijrahnya mereka ke banyak titik menjadi awal dari diaspora orang-orang Bugis Makassar yang lalu tersebar ke mana-mana. Di tanah yang baru, mereka menjadikan kecerdasan dan keahlian perangnya sebagai modal untuk menjadi pemimpin.

Tak heran, banyak di antara mereka yang menjadi pemimpin sebab sukses memaksimalkan semua modal keahlian yang dimilikinya untuk menaikkan posisinya.

Sahabat saya, Helmy Ayuradi Mihardja, menjelaskan tentang dinamika Bugis perantauan itu dengan cara meneropongnya dari sisi pandang filsuf Pierre Bourdieu. Kata Helmy, modal budaya dan simbolik etnik Bugis mempermudah mereka bertarung di arena sosial maupun di arena ekonomi.

Sebab, modal budaya dan simbolik telah menjadi habitus masyarakat Bugis, yang teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan etnik Bugis termasuk prinsip siri’na passe. Prinsip Siri’ merujuk prinsip malu, yang meliputi malu hidup melarat di kampung orang lain dan malu mengambil hak orang lain. Mereka mengamalkan prinsip Passe, tidak tega melihat saudaranya hidup sengsara. Nilai-nilai passe mendorong orang-orang Bugis untuk saling bahu membahu dalam perbaikan nasib.

Di luar itu, orang Bugis punya strategi bertahan dengan memaksimalkan tiga ujung, yakni ujung lidah (cappa lila), ujung badik (cappa kawali), dan ujung kemaluan (cappa lasse). Ujung lidah adalah kemampuan diplomasi dan bersiasat.

Ujung badik adalah kemampuan tempur dan mengalahkan siapapun lawan. Ujung kemaluan adalah metafor dari prinsip akulturasi dengan budaya lain, yag ditempuh melalui perkawinan.

Filosofi tiga ujung ini pernah pula dipaparkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang merupakan keturunan Bugis. Ia memaparkan itu saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Hasanuddin. Najib meyebut filosofi tiga ujung ini sebagai daya-daya adaptasi dalam menghadapi ruang sosial baru.

Kita juga bisa menambahkannya dengan argumentasi tentang spirit rantau. Bahwa mereka yang merantau dibekali optimisme kuat untuk sukses agar kelak tidak membawa rasa malu saat kembali ke kampung halaman.

Spirit ini menjadi kompas yang memandu sejauh manapun kaki perantau Bugis bergerak. Semangat rantau ini telah menggerakkan mereka untuk menjalin persahabatan dengan siapapun. Mereka bersahabat dengan siapapun, tapi bisa menyabung nyawa untuk hal-hal yang melanggar prinsip.

Di sini, di tanah Luwu, saya merenungi perantauan orang-orang Bugis di Luwu yang berkelana hingga jauh. Saya merenungi salah satu pasal dalam gurindam dua belas yang disusun Raja Ali Haji:

cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat

cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru

cahari olehmu akan isteri
yang boleh menyerahkan diri

cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan

cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi.

Belopa, 11 Januari 2017

BACA JUGA: