Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Debat Anak UI Versus Polisi



Besok pagi aku harus siap-siap pergi ke Perguruan Tinggi lmu Kepolisian (PTIK). Bersama lima orang kawanku, aku diminta untuk menjadi anggota delegasi Universitas Indonesia (UI) untuk hadir dalam acara debat dengan para polisi yang sedang kuliah di PTIK. 

Lagi-lagi harus pakai jaket kuning sebab membawa nama almamater. Aku tak paham apa substansi perdebatan nanti. Hanya saja, kami disuruh untuk memerankan peran tertentu di ajang role play tersebut. 

Ada yang berperan sebagai anggota parlemen, ada pula yang berperan sebagai hakim ataupun jaksa. Pesertanya adalah beberapa mahasiswa UI, aktivis LSM, dan para polisi. Aku tak paham. Tapi aku penasaran untuk tahu ada apa di situ. 

 Minggu ini begitu berat dilalui. Maklumlah, ada dua ujian mid test dan harus diselesaikan di kelas. Minggu depan, akan sama beratnya sebab harus menuntaskan riset pada mata kuliah metodologi. Ada juga ujian mid test untuk mata kuliah Antropologi Hukum. 

Di sisi lain, persediaan uang di kantong kian menipis. Yah, aku harus bisa melalui semester ini, yang tinggal tiga bulan lagi. Aku juga bingung hendak menulis tentang apa. Apakah mau menulis tentang etnografi sejarah ataukah etnografi politik. Dua-duanya cukup menggoda untuk dijalani Apapun yang aku pilih, aku harus bisa menuntaskan etnografi yang satunya. 

Siapa tahu, itu bisa menjadi buku yang kelak akan menjadi pencapaian intelektual. Yah, aku harus optimis.

Tangis Berderai di Taman Mini


HARI ini, aku menangis tersedu-sedu. Ada bulir-bulir air yang menetes perlahan-lahan dari kelopak mataku. Di bawah Tugu Api Pancasila Sakti di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), batinku tiba-tiba dibasahi berjuta rasa haru yang sukar dilukiskan. Aku menyaksikan sebuah peristiwa yang menurutku sungguh menggetarkan. Mungkin yang lain akan melihatnya sebagai peristiwa kecil. Namun, apa sih defenisi peristiwa yang besar dan kecil? Bukankah keharuan adalah sebuah pertanda kalau manusia terbawa sebuah gelombang rasa dan empati yang sungguh dalam. Rasa itu membawa manusia dalam siklus yang demikian dahsyat di mana manusia lebur dengan peristiwa, menghilangkan jarak antara subyek dan obyek yang dimapankan secara angkuh oleh sains.

Aku akan kisahkan secara berurutan. Hari ini, aku singgah ke Taman Mini setelah sebelumnya begadang semalam suntuk bersama sahabat-sahabat saat di Makassar dulu. Aku sengaja ke Taman Mini karena diajak responden penelitianku untuk menyaksikan konser Agnes Monica. Agnes dihadirkan untuk memeriahkan Ulang Tahun ke-32 dari Taman Mini. Ia manggung di Lapangan Parkir yang terletak di tengah-tengah dan diapit banyak bangunan seperti Graha Lukisan, Museum Purna Bakti Pertiwi, Teater Tanah Airku, Keong Mas, hingga Taman Bunga.

Tak sedikitpun aku tertarik dengan Agnes. Aku lebih tertarik menyaksikan histeria massa yang membeludak. Aku penasaran untuk menyaksikan fenomena massa yang seakan dihipnotis oleh seorang artis. Massa –yang kebanyakan ABG—membeludak dan berteriak-teriak “Agnes, we love u.” Ah, aku sedang melihat apa yang disebut penganut cultural studies sebagai hysteria of mass.

Usai menyaksikan Agnes, aku lalu bergerak menuju Tugu Api Pancasila. Di situ ada karnaval budaya. Aku singgah menyaksikan ajang tersebut dan mengamatinya di tengah-tengah massa yang sedang berkerumun. Di ajang ini, berbagai daerah menampilkan atraksi yang budaya yang begitu fantastis. Ada atraksi reog dari Jawa Timur, karnaval budaya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, hingga atrasi keraton Riau, Jambi dan Kalimantan Timur yang benar-benar megah.

Aku teringat antropolog Perancis, Levi Strauss. Menurutnya, ada sesuatu yang universal dalam semua peradaban manusia. Kebudayaan hanyalah varian-varian saja dari narasi besar yang merupakan manifestasi dari universalitas itu. Narasi besar itu disebutnya sebagai the deepest structure of mind (struktur terdalam dari pengetahuan manusia). Dalam konteks pagelaran ini, struktur terdalam itu adalah kejayaan dan kemegahan. Makanya, semua menampilkan pakaian yang dominan dengan warna emas. Semuanya tampil dengan kostum yang terbaik. Wanita-wanitanya tampil cantik dengan bedak dan lipstik yang begitu indah. Berbagai putri dan pangeran dari berbagai budaya dihadirkan silih berganti. Malah, banyak yang merupakan model di daerah masing-masing. Masing-masing bagaikan pangeran dan putri yang turun dari khayangan sana. Semua kontingen menampilkan beragam atraksi saat berada di depan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Bukan itu yang bikin aku menangis. Batinku tiba-tiba tercekat ketika menyaksikan rombongan dari Suku Wana, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Mereka datang dengan begitu sederhana. Di tengah kontingen yang berdandan cantik penuh polesan, mereka hadir tanpa riasan dan polesan. Dandanan mereka adalah dandanan sebagaimana saat mereka di hutan. Benar-benar alamiah. Mereka berjumlah puluhan orang. Pakaian mereka masih asli dan kumal. Mereka juga terlihat begitu kotor dan tidak mandi. Aku menyaksikan ekspresi mereka yang datar. Wajah mereka menunduk seakan tak mampu memandang mata dan ekspresi orang-orang yang menyaksikan wajah mereka seakan-akan mereka adalah warga zaman purba yang terkejut melihat zaman baru yang banyak berubah. Tak ada tarian atau atraksi kolosal. Mereka hanya berjalan biasa saja. Tertunduk dan terdiam saja ketika banyak orang yang memandang mereka dengan tatapan aneh.

Rata-rata mereka adalah orang tua. Mereka memelihara janggut dan sorot matanya tajam. Ada yang datang dengan memikul buah-buahan seperti pisang, ada pula perempuan yang memegang ubi jalar. Aku agak tersentuh saat melihat wajah mereka yang terus tertunduk seakan tak mampu menatap matahari. Saat itu, protokol langsung berteriak melalui pengeras suara,”Inilah Suku Wana di Sulawesi Tengah. Mereka kami datangkan dari hutan. Mereka adalah peladang berpindah yang baru kali ini menginjakkan kaki di Jakarta. Mereka bangsa yang liar dan marginal. Ini adalah bukti akan kepedulian pemerintah pada suku terasing dan marginal.”

Batinku bertanya, “Apa sih yang disebut sebagai marginalitas? Apakah ketika mereka punya pandangan hidup yang begitu sederhana, membuat mereka dikatakan sebagai warga terasing?” Aku tersentuh menyaksikan mereka. Massa seakan mencemooh mereka yang tak menampilkan atraksi. Apa yang ada di benak Suku Wana? Apakah mereka sedang minder di tengah massa yang mencemooh. Mereka hanya diam dan tak berkata. Apakah hidup ini adalah sebuah permainan penuh kemenangan sehingga mereka harus diciptakan sebagai sesuatu yang kalah. Apakah tertunduknya mereka adalah refleksi dari ketidakberdayaan mereka di depan sombongnya kekuasaan dan rezim pengetahuan? Di Taman Mini, batinku begitu tersentuh oleh kesederhanaan dan kehadiran mereka.

Aku tahu, dalam mata yang diam itu terletak selaksa pengetahuan dan kearifan lokal yang dahsyat. Mereka punya semua bentuk pengetahuan untuk bisa bertahan di tengah hutan. Pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yang perkasa dan hidup di tengah alam. Sayangnya, pengetahuan itu diinjak sedemikian rupa oleh modernisme. Suku Wana kian menjadi penonton yang kesepian. Mereka kehilangan hutan yang kian dikapling oleh HPH. Kehilangan ruh dan habitat mereka. Maka datanglah mereka ke Jakarta, dengan segala keluguannya dan menerima nasib sebagai orang yang kalah. Apakah mereka benar kalah? Aku rasa tidak juga. Di tengah diam dan cemoohan serta tatapan sinis orang-orang, tiba-tiba, dua orang anak muda Suku Wana mengeluarkan sumpit dan mengarahkannya pada balon yang terletak di tengah-tengah karnaval budaya. Hup...!!!! Sesuatu melesat dari sumpit. Pyar...!!! satu dari sejumlah balon yang terletak di tengah itu langsung meletus. Semua terpengarah. Hey... mataku basah.

Depok, 16 April 2007

Pukul 01.00 dini hari


Ahmadinejad Bukanlah Xerxes


Sejarah laksana patahan yang penuh manipulasi dan memuat kisah orang besar

(Thomas Carlyle, 1834)


BAIT lirih dari sejarawan Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), terus mengiang di benakku malam ini. Sejarah laksana sebuah kanvas dan di dalamnya tergores epos serta kisah heroik yang dituturkan sejumlah tokoh. Sebagai kanvas, sejarah jelas tidaklah netral sebab tergantung pada siapa yang menggoreskan warna dan jejak. Sejarah selalu terkait dengan berbagai relasi sosial dan kekuasaan. Sejarah adalah panglima dan alat pembenar dari sebuah rezim berkuasa yang menjadikan para sejarawan sebagai ritus yang melengkapi siklus kekuasaan.

Aku hendak bertutur tentang sejarah. Semalam, aku nonton film berjudul 300 yang disutradari oleh Zack Snyder di Mal Margo City, Depok. Sejak awal, aku agak enggan menyaksikan film yang diprotes keras oleh Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Kata Ahmadinejad, bangsa Eropa sedang membangun konstruksi kebencian pada bangsa Iran melalui beragam stigma dan simbol yang memojokkan. Konstruksi itu berupa gambaran kalau Iran adalah bangsa yang buas, ganas, serta penuh dengan bara permusuhan yang menggelegak.

Namun, seorang temanku meyakinkan kalau sebuah penilaian adalah babakan terakhir dari proses mengamati realitas, mengolahnya dalam benak, memilah-milah, mengkategorisasi, kemudian membuat beragam interpretasi dan berakhir pada penilaian. Memvonis tanpa menyaksikan adalah upaya jump to the conclution yang tergesa-gesa dan terburu-buru dalam memandang realitas. Yah, apa boleh buat. Argumen temanku itu memaksaku untuk menyaksikan film 300.

Film ini bertutur tentang sejarah pertempuran besar di Thermopylae, Yunani, tahun 480 Sebelum Masehi (SM). Kisahnya adalah pasukan Kerajaan Sparta (Yunani) yang hanya berjumlah 300 orang mempertahankan diri hingga akhir hayat dari serbuan Kekaisaran Persia yang berjumlah jutaan dan datang bagaikan tsunami air bah yang mengalir deras. Persia yang dipimpin Xerxes (dalam bahasa Persia disapa Khshayarsha) hendak mencengkeram Eropa demi menebarkan kegemilangan serta puncak dari kejayaan dan supremasi bangsa Asia. Namun, 300 pasukan Sparta yang dipimpin Leonidas tidaklah hanyut dan modar begitu saja. Ada perlawanan luar biasa serta drama yang begitu mencekam saat 300 prajurit Sparta membunuh jutaan prajurit Persia hingga mayatnya menggunung dan dikelilingi burung pemakan bangkai. Ada konstruksi tentang kengerian sekaligus kekaguman akan semangat yang tak pernah padam.

Aku kagum dengan penataan kompugrafik film ini. Namun dari segi substansi cerita, film ini biasa-biasa saja. Tak ada motif penjelas pertempuran. Tak ada lanskap sosio historis serta kultural. Malah, yang ada adalah berbagai manipulasi simbol sejarah. Ada banyak kepingan realitas yang menarik dianalisis. Tapi aku cuma mengambil beberapa bagian. Aku agak membenci pada gambaran tentang Persia serta berbagai manipulasi sejarah yang ada pada film itu. Film ini menggambarkan pasukan Persia sebagai pasukan Arab yang bersurban dan menyerang dengan cara pengecut. Seolah-olah, pasukan Persia hanya berani karena berjumlah banyak. Gambaran tentang Xerxes adalah gambaran seseorang berkulit gelap yang botak, culas, dan penuh cincin di wajahnya. Xerxes digambarkan sebagai kaisar yang punya banyak budak, memiliki banyak pelacur dan wanita penghibur di tendanya, serta punya wajah yang ngeri sebagaimana monster. Kalau diperhatikan dengan detail, sosok Xerxes persis seperti tokoh India yaitu Dhalsim dalam versi video game berjudul Street Fighter. Sosoknya kurus, berkulit gelap, baju penuh rumbai dan kalung, punya banyak cincin di wajahnya serta seringai seperti monster. Ketika Xerxes berhadapan dengan Leonidas, sempat melintas adegan ketika Leonidas kecil berhadapan dengan srigala seolah-olah Xerxes adalah personifikasi srigala.

Xerxes juga punya pasukan berupa monster yang bertubuh tinggi dan berwajah menyeramkan. Pasukan elite Persia punya wajah yang seram kayak monster Gollum dalam film Lord of The Ring. Pasukan itu digambarkan memakai pakaian baja ala samurai Jepang dan berwajah khas Asia. Ada pula dukun Cina yang melemparkan mesiu. Sepanjang film, ada narator yang beberapa kali menyebut pasukan itu sebagai bangsa Asia yang culas dan hendak menguasai Eropa. Waduh....... aku ikut sakit hati mendengar kata-kata naratornya.

Usai menonton film, aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku sejarah dan melihat langsung bagaimana sosok Xerxes serta peristiwa itu sesungguhnya. Aku mencatat kalau para sejarawan banyak berdebat tentang peristiwa itu. Namun, sejarawan Eropa membahas peristiiwa itu berdasarkan catatan dari filsuf Yunani kuno yang juga bapak sejarah yaitu Herodotus. Pria ini mencatat kalau Persia membawa pasukan sebanyak 2.641.610 prajurit. Menurutnya, jumlah yang sesungguhnya bertarung dengan 300 pasukan Sparta adalah sekitar 200 ribu orang. Artinya, argumen film ini kalau ada jutaan pasukan adalah nol besar. Itupun, 200 ribu itu bisa mengundang perdebatan. Sebab Herodotus adalah filsuf asal Yunani yang jelas-jelas akan mengkonstruksi realitas yang menguntungkan bangsa Yunani. Dalam versi sejarah yang lain, disebutkan kalau pasukan Persia hanya berjumlah 2 ribu orang. Sejarawan Persia malah menyebut peristiwa itu hanya rekaan saja. So, ada dramatisasi yang terlalu berlebihan.

Menurut Herodotus, lama pertempuran itu adalah sekitar 10 hari. Leonidas agak licik saat menggiring pasukan Persia ke dekat jurang di Gunung Athos dan membantainya di situ. Sejarah mencatat, usai mengalahkan Leonidas, Xerxes lalu membakar Athena. Pada tahun 480 SM, ia dikalahkan pasukan Yunani yang dipimpin oleh Themistocles. Ia kembali ke Asia dan membiarkan pasukannya dipimpin oleh saudaranya Mardonius. Aku sempat melihat lukisan Xerxes (dalam bahasa Persia disapa Khshayarsha) tidaklah seseram monster. Justru Xerxes berwajah damai dan ada janggut di wajahnya. Ia adalah putra Kaisar Persia yaitu Darius I dan Attosa, yang merupakan putri dari tokoh masyhur Cyrus The Great. Sepintas, aku melihat Xerxes seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Malah, wajah Leonidas yang agak seram dengan mata yang liar serta janggut panjang ala Socrates. Ia memakai topi perang yang terbuat dari besi dan menutupi separuh wajahnya.

Begitu banyak proses pembelokan sejarah. Aku tak mungkin mengurai satu per satu. Yang jelas, aku sepakat dengan idolaku Ahmadinejad kalau krisis nuklir Iran telah mendorong bangsa barat untuk membuat konstruksi yang demikian buruk tentang dunia Arab dan Persia. Gambaran itu menjelaskan pandangan dunia serta pilihan ideologi dari segelintir orang di barat. Para penganut mazhab konstruktivisme dalam studi komunikasi telah banyak menjelaskan kalo film itu selalu terkait dengan social practice (praktik sosial). Realitas dalam film adalah realitas yang sengaja dibuat berdasarkan pandangan dunia (world view) tertentu. Film ini tak pernah netral sebab menjadi lanskap dari perbenturan diskursus dan ideologi.

Dalam konteks kekinian, film ini hendak membangun kebencian pada bangsa Iran. Gambaran tentang Xerxes yang seperti monster membuat bangsa barat seakan membangun paralelisasi dengan Ahmadinejad. Padahal, film itu hanyalah sebuah propaganda dan menjadi jembatan bagi kita untuk mengenali bagaimana bangsa Eropa yang melihat kita sebagai bangsa barbar. Melihat kita sebagai para pengecut yang masih percaya mistik, punya monster, serta haus kekuasaan. Makanya, pembacaan ala teori spin doctor atau membaca realitas secara terbalik mungkin bisa menjadi solusi untuk menafsir film ini. Yang jelas, aku berkesimpulan kalau Ahmadinejad bukanlah Xerxes sebagaimana konstruksi film ini. Justru Xerxes di film itu adalah gambaran dari sosok Eropa yang culas dan cenderung ekspansif. Lesson learned (hikmah) dari film ini adalah realitas film yang tak pernah netral. Film adalah lanskap dari berbagai benturan ideologi. Setuju nggak??

Depok, 9 April 2007

Pukul 11.37 malam


Isi Lagi Deh


Setelah sekian lama tidak mengisi blog ini, kini saya coba mengisinya kembali. Sejak ada perubahan di blog yaitu harus daftar di google, saya agak kesulitan mengisinya. Maklumlah, saya agak gagap teknologi.