Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Berguru Menulis pada Tiga Blogger Amerika




DI saat kemalasan menulis mendera, saya selalu memilih untuk berselancar di internet dan membaca berbagai situs, demi menemukan motivasi kuat untuk menggerakkan jemari demi menulis sesuatu. Dari beberapa blog kepenulisan, saya memfavoritkan tiga blog menulis dari Amerika Serikat. Ketiganya punya ciri yang sama; menjadikan menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan.

Yuk, kita berkenalan dengan ketiganya.

Pertama, blog yang dikelola Jeff Goins. Nama blognya adalah goinswriter.com. Beliau adalah seorang blogger terkemuka yang amat rajin membagikan berbagai kiat-kiat menulis. Saya menyukai tulisannya yang sederhana, tidak berbelit-belit, serta sangat mudah dipahami. Ia sangat populer. Setiap postingannya bisa dikomentari hingga ratusan orang.

Kesan yang saya tangkap setiap kali membaca blognya adalah ide-ide tulisan selalu berseliweran di sekitar kita. Ia tidak pernah menekankan pada gaya dan teknik menulis. Baginya, menulis itu soal motivasi dan kemauan. Sekali seseorang punya kemauan, maka pastilah akan ada jalan untuk menghasilkan tulisan. Namun sekali seseorang terjebak mitos kalau menulis itu sulit, maka seseorang pasti tidak akan menghasilkan apapun.

Ia menyederhanakan hal-hal yang dianggap rumit. Ia menerabas semua mitos yang membuat orang-orang kesulitan untuk memulai tulisan. Kemarin, saya membaca tulisannya tentang perbedaan antara penulis yang baik dan penulis yang buruk. Katanya, perbedaan keduanya tidak pernah terkait skill atau gaya menulis. Seorang penulis yang buruk akan mudah menyerah dan berhenti. Sedangkan penulis yang baik akan terus menulis. Simple khan? Silakan baca artikel itu DI SINI.

Kedua, blog yang bernama thewritepractice.com. Blog ini adalah blog keroyokan yang diisi oleh para master menulis di Amerika, termasuk Jeff Goins. Meskipun penulisnya banyak orang, kesemua artikel di blog ini punya kesamaan, yakni menulis dengan ringan, serta bisa dimengerti siapa saja. Saat membaca banyak artikel di sini, saya seakan membaca tulisan yang dibuat oleh satu orang.

Barusan, saya membaca satu artikel berjudul Two Essential Words for Writer (dua kata utama bagi penulis). Tadinya saya pikir tentang kiat menulis yang akan susah diterapkan. Ternyata dua kata yang dimaksud adalah don’t quit (jangan berhenti). Kelihatannya kata ini sepele, tapi bagi seorang penulis, kata ini punya makna yang dahsyat. Mengapa? Sebab setiap tulisan bisa berpotensi untuk dikiritik dan dicaci, yang kemudian melemahkan hasrat menulis. Hanya seorang penulis yang sabar dan tangguh, yang akan bisa selalu bangkit dari berbagai kritikan. Artikel itu menjelaskan:

When your trusted friend hears your story idea and tells you it’s not good, don’t quit.
When you get the fifth (or fiftieth or five-hundredth) rejection from an agent, don’t quit.
When your story doesn’t even place in that contest, don’t quit

Ketika teman dekatmu mendengar ide ceritamu dan mengatakan itu tidak bagus, Jangan Berhenti!
Ketika kamu mendapatkan penolakan kelima, atau penolakan ke limapuluh, bahkan penolakan ke limaratus dari seorang agen, Jangan Berhenti!
Ketika kisahmu tidak menang di satu lomba, Jangan Berhenti!

Setelah itu, penulisnya mengutip kalimat Walt Disney, “Keep moving forward.” Kalimat lain yang juga dikutip adalah pepatah Jepang: “Fall Seven times, stand up eight” (Jatuh tujuh kali, dan bangkit delapan kali). Nampaknya, yang paling penting dari kegiatan menulis adalah motivasi yang kuat. Tanpa motivasi, seseorang akan mudah menyerah.

Nah, untuk tahu lebih banyak, silakan baca artikel itu DI SINI.


Ketiga, saya menyukai blog Write to Done yang dimoderatori Mary Jaksch. Alamatnya DI SINI. Sebagaimana dua blog di atas, di sini saya menemukan banyak kiat-kiat dan motivasi agar kegiatan menulis bisa menjadi kegatan yang menyenangkan dan membahagiakan.

Kiat-kiat itu biasanya dibuat berdasarkan pertanyaan audience. Misalnya, ada yang bertanya tentang bagaimana menempatkan waktu yang tepat untuk menulis, bagaimana memulai tulisan, serta bagaimana mengakhirinya.

Malam ini, saya tertarik dengan artikel tentang bagaimana membagi waktu saat menulis. Terus terang, saya sering sekali terganggu oleh banyak hal, sehingga tak bisa menulis dengan penuh konsentrasi. Penulis artikel ini menyarankan tiga hal:

-        Ketika kamu ingin menulis, menulislah. Jangan terganggu oleh apapun. Matikan internet. Jangan memulai kegiatan menulis dengan melihat facebook lebih dahulu. Kamu bakal keasyikan sehingga lupa pada tujuan utamamu yakni menulis.
-     Minimalisir interupsi atau gangguan. Misalnya menelepon seseorang, berbicara ngalor-ngidul, lalu mengirim pesan-pesan tidak penting. Usahakan saat menulis kamu punya privasi sehingga tidak terganggu apapun. Jika kamu tinggal di kos-kosan, usahakan kamu punya waktu khusus yang tak boleh diganggu orang lain.
-     Ketika tidak sedang menulis, usahakan kamu punya waktu istrahat yang cukup. Baca buku-buku bagus. Istirahat yang cukup. Sering-sering membuat catatan. Jangan kebanyakan mengedit tulisan. Perbanyak membuat perencanaan hendak menulis apa.

Sebagaimana halnya blog lain, di sini ada banyak artikel dari berbagai penulis yang kesemuanya memiliki benang merah yang sama yakni bagaimana membangkitkan motivasi serta keberanian untuk memulai menulis. Intinya adalah bagaimana menumbuhkan percaya diri untuk menulis, dan tidak gampang menyerah hanya karena kritik atau ucapan sinis orang lain.

***

Di luar ketiga blog ini, saya suka berkunjung ke beberapa blog kepenulisan yang lain. Dari semua blog itu saya mengambil kesimpulan bahwa kebiasaan menulis tak ada kaitannya dengan teknik, gaya, skill, ataupun keahlian tertentu. Semua orang bisa menjadi penulis. Semua orang bisa melahirkan karya tulis, apapun pendidikan, latar belakang, serta pengalamannya.

Menulis adalah soal bagaimana mengalirkan ide-ide yang ada di kepala kita ke dalam medium tulisan. Menulis adalah soal keberanian untuk menggoreskan sesuatu di kertas atau layar putih. Menulis adalah soal mendengar kata hati dan mengikuti hasrat untuk jadi penulis, dan tidak terlalu peduli pada kritikan ataupun cacian orang lain. Menulis adalah soal kebebasan. Menulis adalah keikhlasan untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Menulis adalah upaya untuk mengalahkan rasa takut dan mitos-mitos. Menulis adalah soal bagaimana membangkitkan motivasi, lalu menjadikan berbagai kiat menulis hanya sebagai salah satu varian dalam berbagi kegelisahan.

Menulis, sebagaimana kata Pramoedya, adalah bekerja untuk keabadian.


Bogor, 29 Maret 2016

BACA JUGA:









Suatu Hari di Kantor INSIST


ilustrasi

DARI sedemikian sedikit organisasi non-pemerintah yang bisa bertahan dan melewati berbagai zaman, Institut Transformasi Sosial (Insist) adalah satu di antaranya. Organisasi ini melalui fase-fase penting dari fase otoritarian ke periode reformasi, melahirkan demikian banyak pemikir dengan aliran progresif, serta menginspirasi banyak peneliti muda yang rela untuk lama berpeluh di desa-desa demi hasrat untuk perubahan sosial.

Dalam kunjungan singkat ke Yogyakarta, saya sangat terkesan saat berkunjung ke kantornya. Di Jalan Kaliurang, Km 18.5, saya berkunjung ke kantor yang melahirkan buku-buku bertemakan transformasi sosial, yang memenuhi koleksi perpustakaan saya. Harus saya akui kalau beberapa buku terbitan Insist pernah menyulut banyak api yang lalu membakar pikiran masa muda saya, mengarahkan pada jalan pedang pengetahuan demi menebas ketidakadilan, lalu mengingatkan tentang betapa banyaknya bahaya yang bersembunyi di balik kebijakan pemerintah, ataupun ketidaktahuan.

Saya menemui sahabat Ishak Salim, yang kini menjabat sebagai salah satu anggota “majelis syuro” di Insist. Dahulu, Ishak adalah teman diskusi serta teman seperjuangan di kampus merah. Terakhir bertemu Ishak beberapa tahun silam, saat beliau riset lapangan di Buton, Sulawesi Tenggara. Saya bersyukur karena bisa menemani dan memberinya inspirasi untuk memberi judul buku Hikayat Sabangka Sarope yang isinya menyorot berbagai elemen gerakan sosial di Sulawesi Tenggara.

Ishak mengajak saya berkunjung ke kantor penerbitan Insist. Kembali, saya menemukan keasyikan tiada tara saat melihat-lihat buku yang telah diterbitkan. Hampir semua buku bertemakan isu sosial politik, lingkungan, budaya, ataupun ekonomi, yang selalu terkait dengan transformasi sosial. Insist punya reputasi sebagai penerbit yang fokus pada transformasi sosial, lalu menjadikan penerbitan sebagai jantung dari semua kegiatan diseminasi pengetahuan.


Saya membuka-buka jurnal Wacana, buku-buku Mansour Fakih, salah satu pendiri Insist. Saya terpikat dengan tulisan Roem Topatimasang yang sederhana namun menggebrak nalar kita yang terlanjur mapan. Beberapa seri terbitan Insist telah lama menjadi koleksi yang sering saya baca, sering pula saya sarikan untuk mengisi materi di satu lembaga penelitian.

Tentu saja, Insist tak hanya menguatkan lini penerbitan. Malah, penerbitan itu adalah bagian dari mata rantai kegiatan intelektual di situ. Insist memiliki divisi riset yang tangguh, bisa mengorganisir peneliti dalam satu jaringan kerja bersama, lalu membagikan sebuah buah-buah pengetahuan yang disuburkan proses riset dan mengkaji secara bersama-sama.

Di Insist, saya menemukan riset yang serius pada upaya-upaya advokasi. Kata Ishak, mereka kerap melatih seorang peneliti hingga tiga bulan, setelah itu ditempatkan di desa-desa selama 2 tahun. Di berbagai kampus, saya jarang menemukan riset yang dikerjakan selama 2 tahun. Kebanyakan adalah riset terapan berlangsung singkat sebab selalu terkait dengan pesanan dari lembaga pemerintah.

Siapa yang mendesain peatihan riset dan pengorganisasian masyarakat di Insist? “Kebanyakan didesain oleh Roem Topatimasang,” kata Ishak. Dahulu, Roem berduet dengan Mansour Fakih, guru dari semua aktivis transformatif di Indonesia. Meninggalnya Mansour Fakih tak lantas memadamkan semangat Roem. Ia masih saja produktif menyeleksi tulisan untuk terbit di jurnal Insist. Ia juga fokus pada pengembangan

Salah satu buku Roem yang paling berkesan adalah Mengubah Kebijakan Publik. Selama belasan tahun, buku ini menjadi pegangan bagi semua aktivis. Pantas saja jika Roem akan mengunjungi beberapa lembaga atau orang-orang yang akan menjadikan bukunya sebagai bahan ajar. Ia ingin menyempurnakan metode pelatihan yang pernah dibuatnya, serta diperkaya dengan berbagai metode baru. “Ia ingin membuat etnografi buku,” kata Ishak yang mengutip pandangan Noer Fauzi, salah seorang intelektual Insist yang kini mengajar di IPB.


Bagi saya, pengalaman ke kantor Insist adalah pengalaman yang cukup berkesan. Inilah dapur dari berbagai gerakan transformatif di tanah air. Di sinilah digodok banyak aksi-aksi pendampingan dan pemberdayaan pada masyarakat. Di sinilah ditemukan banyak hasrat kuat untuk membagikan secuil gagasan demi membuka mata banyak orang bahwa ada banyak kabut dan jelaga yang terus membodohi masyarakat. Di sinilah terdapat dapur gagasan bagi para demonstran yang ingin menguatkan masyarakat, memandirikan mereka, lalu meneriakkan revolusi di jalan-jalan.

Keluar dari situ, saya tiba-tiba saja dipenuhi obsesi untuk membuat lembaga serupa. Saya tahu bahwa tak mudah untuk tetap menjaga tradisi intelektualitas di tengah hidup yang serba pragmatis. Tak mudah untuk terus mengasah diri dalam riset-riset yang lama di lapangan, di antaranya adalah Participatory Action Research (PAR) yang tengah dikembangkan Insist. Tak mudah untuk bersetia di jalur diseminasi gagasan transformatif, serta menjaga kecintaan pada masyarakat melalui aksi pendampingan dan pemberdayaan, di saat banyak orang sibuk menggalang opini untuk politik lokal, di saat banyak orang hanya melihat satu celah untuk perubahan yakni menjadi pejabat publik.

Ah, kalaupun tak bisa, minimal saya bisa membangun jejaring untuk saling belajar dengan banyak orang di lembaga itu Ah, semoga saja obsesi itu punya kaki-kaki untuk bergerak.


Yogyakarta, pertengahan Maret 2016

BACA JUGA:






Perempuan-Perempuan BANJARMASIN


seroang ibu di pasar terapung, Banjarmasin

DI atas sungai-sungai deras di Banjarmasin, terdapat kisah-kisah tentang perempuan hebat yang berperahu. Mereka tak mau hanya duduk diam di rumah lalu menunggu suami. Mereka mengayuh perahu dan berdagang berbagai komoditas. Sungai-sungai dan pasar terapung menjadi saksi atas kemandirian dan ketangguhan mereka untuk menopang nafkah keluarga.

Sayangnya, di pasar terapung itu, saya menyaksikan fenomena lain. Saya menyaksikan sesuatu yang pernah menjadi urat nadi peraaban, yang kini terasa sunyi-sepi dan tak lama lagi akan punah. Rupanya, ada sesuatu yang berlari kencang ketimbang kayuhan perahu perempuan-perempuan itu.

***

PEREMPUAN tua itu mendatangi perahu yang saya tumpangi. Ia datang dengan menaiki perahu kecil yang disebut jukung. Tak ada sedikitpun rasa gentar di wajahnya saat mengayuh di air sungai yang deras mengalir. Ia datang sembari tersenyum saat menawarkan dagangan di perahunya. Hari itu, ia berjualan berbagai buah-buahan, mulai dari rambutan, jeruk, hingga beberapa buah lokal.

Dia menawarkan buah itu dalam bahasa Banjar. Saya tak paham kalimatnya. Saya hanya tersenyum dan menggeleng. Ia lalu kembali menawarkan buah itu dalam bahasa Indonesia. Kali ini, ia menawarkan buah yang namanya cukup asing di telinga saya. Ia menawarkan buah mentega. What? Baru saya tahu kalau ada buah yang namanya mentega.

Ia lalu mengupas buah itu, kemudian menawarkannya. Saya lalu mencobanya. Rasanya seperti buah mangga yang manis. Kembali, ia “merayu-rayu” saya agar membelinya. Saya tergoda. Saya lalu mengambil beberapa buah untuk dibeli. Selembar uang lima puluh ribu berpindah dari dompet saya ke tangan ibu itu.

“Sudah berapa lama ibu berjualan di pasar terapung?” tanya saya.
“Lebih 35 tahun,” katanya.

Hah? Ibu ini telah puluhan tahun menjadi pedagang kecil di perahu itu. Tapi ia tetap saja melakoni profesi itu dengan gembira. Dugaan saya, ibu ini tak sedang mencari uang. Mungkin saja ia melakoni profesi itu sebagai rutinitas yang membuat otot-ototnya selalu kuat. Mungkin saja ia hanya sekadar ingin mencari rutinitas yang akan mengisi hari tuanya. “Saya bekerja untuk keluarga. Penghasilan di sini bisa untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.

dua orang pedagang
berdagang di sekitar timbunan kayu

Ibu ini sungguh mengagumkan. Barangkali, para pejuang gender harus banyak menyerap kearifan dan kemandirian ibu ini. Dia melakukan sesuatu yang menurutnya biasa, tapi justru luar biasa bagi mereka yang hidup di iklim patriarkis. Di banyak tempat, kaum perempuan justru terpasung dan tak punya akses pada ruang publik. Berbagai naskah dan publikasi tentang perempuan telah lama ditulis. Bahkan gerakan perempuan juga muncul di mana-mana.

Tapi di Banjarmasin, saya menyaksikan satu keping kenyataan yang menarik. Hampir semua pedagang di pasar teraung adalah perempuan. Mereka menjadi pemain utama yang mencukupi nafkah keluarga. Mereka melakukan banyak hal penting untuk mencukupi nafkah keluarga. Mereka berjibaku dnegan sungai deras demi keluarga.

Ibu ini membuat saya memikirkan banyak hal. Di antaranya adalah betapa tak mungkin kita menyeragamkan kondisi perempuan di manapun. Di mana-mana selalu ada variasi, sesuatu yang unik, yang tak bisa disederhanakan dengan sejumlah kategori dan konsep. Ibu ini mengetuk kesadaran saya dengan banyak inspirasi untuk selalu peka pada dinamika kultural, dan melihat persoalan dengan cara pandang lokal, lalu mendialogkannya dengan berbagai hal lain.

***

Dalam kunjungan singkat ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan, saya berkunjung ke pasar terapung yang terletak di Kuin. Saya datang sejak azan subuh belum berkumandang. Saya sempat singgah salat subuh di Masjid Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Banjarmasin, sebelum akhirnya menumpang kelotok kecil yang membawa saya ke pasar terapung.

Dua anak muda dari HMI Banjarbaru menemani perjalanan. Saat saya tanya, apakah pasar terapung masih ada, ekspresi wajahnya terdiam, lalu tersenyum. Rupanya, mereka sendiri ragu apakah pasar itu amsih bisa ditemukan ataukah tidak. Anak-anak muda ini tak tahu persis apakah masih banyak pedagang di pasar itu. Rupanya, mereka lama tak berkunjung ke tempat yang cukup populer itu.

Di tahun 1990-an, pasar terapung Banjarmasin tenar di seantero Indonesia. Popularitas itu ditopang oleh RCTI, satu tivi komersial yang menayangkan iklan berupa pasar terapung, serta ada seorang ibu yang mengacungkan jempol lalu tersengar suara musik dan nyanyian “RCTI Okee.” Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah pasar itu masih seramai apa yang saya lihat di iklan itu?

perahu di tengah tumpukan kayu
mainan untuk anak-anak
perahu yang berdagang soto banjar. mau coba?

Matahari perlahan muncul. Saya berada di atas perahu bermesin yang menyusuri Sungai Barito. Di sekitar, saya melihat rumah-rumah yang masih menghadap sungai. Kata teman yang mengantar, dahulu semua rumah menghadap ke arah sungai, sebab sungai adalah urat nadi transportasi. Kondsi geografis Banjarmasin memang dilalui oleh banyak sungai. Pantas saja jika perahu menjadi alat transportasi utama.

Di banyak tempat, saya melihat banyak kayu-kayu yang mengapung di sungai. Di situ, terdapat banyak gudang-gudang yang berisi kayu. Rupanya, kayu-kayu sengaja direndam agar lebih kuat dan lebih tinggi nilainya saat dijual. Saya langsung teringat beberapa riset tentang pembalakan liar serta laju deforestasi yang sangat tinggi di Kalimantan. Rupanya, pohon-pohon rimbun yang dahulu menjadi paru-paru bumi borneo itu telah lama menghilang dan bisa ditemukan di ssungai-sungai, sebagaimana yang saya saksikan. Pohon-pohon itu telah ditebang, dipotong-potong, lalu direndam dalam air agar lebih kuat dan lebih mahal nilainya.

Saya teringat pada kalimat Gandhi, “Bumi selalu cukup untuk memberi makan manusia, tapi tidak dengan keserakahan kita.” Kalimat itu sesuai benar dengan apa yang muncul di sini. Jika tak ada keserakahan, barangkali kayu-kayu yang nampak merana ini masih akan berdiri kokoh sebagai pohon di rimba raya Kalimantan. Jika tak ada keserakahan, barangkali sungai ini masih akan jernih, ikan-ikan berkecipak di dalamnya, tanpa harus berjejalan dengan kayu yang sengaaj direndam.

Kalimantan telah lama menjadi lanskap bagi sesuatu yang disebut kemajuan, kekayaan, dan keberhasilan. Bumi Kalimantan telah lama dijarah demi mengalirkan gaya hidup kelas atas, yang sejatinya bermuara pada hasrat manusia untuk menguasai kapital. Yang bersemi di sana adalah penumpukan modal, konsentrasi aset pada sejumlah orang, lalu berimbas pada bumi yang dijarah. Alam semesta dikuliti dan digali-gali demi memenuhi hasrat sedikit orang yang menggunakan kuasa untuk ketamakan. Alam semesta dipreteli demi menggapai apa yang disebut kemajuan.

***

“Bang, lihat itu!” Teman seperjalanan lalu menunjuk satu perahu yang berjualan soto banjar. Di saat matahari masih malu-malu menampakkan diri, perahu kami singgah di dekat perahu itu. Kami memesan soto banjar serta sate dari atas perahu. Penjualnya pun membawa perahu sendiri. Saya merasakan suasana yang membahagiakan. Makan soto di atas perahu menjadi pengalaman berharga hari ini. Selanjutnya, kami menuju ke tempat perahu-perahu berkumpul.

Di situ, saya merasa sedih. Jumlah pengunjung dan pedagang di pasar terapung ini tidak sebanyak yang saya bayangkan. Saya agak kecewa saat melihat sekeliling. Di pasar terapung ini saya tak melihat banyak perahu. Saya menghitung kalau jumlah perahu yang ada hanya belasan. Ke manakah gerangan para pedagang pasar lainnya? Rupanya, ada banyak hal yang terjadi di sekitar situ, yang kian membuat pasar terapung ini terpinggirkan.



Modernisasi berlari lebih kencang dan mengubah banyak hal. Dahulu, sungai adalah nadi peradaban, kini peran sungai semakin menciut. Peradaban dibangun di darat, bukan lagi di sekitar sungai. Jalan-jalan dibuat lebar, lalu menghubungkan berbagai kampung di dekat sungai. Perlahan, rumah-rumah tak lagi menghadap sungai. Masyarakat lalu memiliki kenderaan bermotor yang membuat mobilitasnya semakin lincah di daratan.

Para pedagang sendiri lebih memilih berdagang di darat daripada tetap disungai. Selain karena faktor keuntungan yang diperoleh, pembangunan infrastruktur yang tidak seimbang antara darat dan perairan menjadi alasan lain. “Lebih mudah berdagang didarat daripada di sungai” kata salah seorang mantan pedagang pasar terapung kuin.

Ciri khas urang banjar (suku asli Kalimantan Selatan) yang dulunya sempat melegenda pun sekarang memudar. Ironisnya, orang banjar sendiripun terkadang masih banyak yang tidak tahu sama sekali kehebatan para leluhurnya. Diantara ciri khas urang banjar behari, leluhur suku banjar, adalah pengelolaan sungai yang sangat mengagumkan. Dahulu orang banjar mengarungi Kalimantan cukup hanya dengan sebuah jukung. Selain bertransportasi, kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain pun tidak terlepas dengan yang namanya sungai. Tak heran jika nantinya salah satu kota di Kalimantan Selatan dijuluki sebagai “kota Seribu Sungai”.

Yang tersisa hari ini adalah jejak-jejak peradaban yang nyaris punah. Benar kata seseorang di Jakarta, kita terlampau lama memunggungi air. Peradaban kita berlangsung di daratan. Peradaban kita ditopang oleh pilar-pilar kemajuan serta bangunan megah yang berdiri di atas daratan, sementara kebersahajaan dan sifat mengalir sungai perlahan dianggap sebagai masa silam.


Seorang teman menjelaskan kalau belakangan perhatian pemerintah untuk mempertahankan pasar ini cukup besar. Para pedagang dimodali. Pedagang diberikan jukung yang baru. Hanya saja, langkah itu akan sia-sia saja. Langkah itu hanya berorientasi proyek, tanpa berniat serius untuk menjadikan sungai-sungai sebagai semesta kembali memiliki nadi penting bagi kehidupan. Saat semua urusan kehidupan beralih ke darat, sungai-sungai menjadi masa silam yang hanya sesekali ditengok untuk pariwisata.

***

“Nak, saya punya rambutan yang maniiis sekali. Mau coba?”

Ibu itu kembali merayu saya untuk membeli dagangannya. Saya tersenyum kepadanya. Dia pun tersenyum. Di daratan sana, saya melihat kota yang mulai hiruk-pikuk. Di sungai ini, pikiran saya digelayuti banyak hal, mulai dari kerusakan hutan, tercemarnya sungai, kian terpinggirkannya pasar terapung, serta nasib dari pesisir. Tapi saat melihat senyuman ibu ini, ada banyak bahagia yang tiba-tiba mekar di hati ini.(*)



Penolakan SEKS yang Memicu REVOLUSI



DI balik setiap revolusi ataupun perubahan sosial, selalu terdapat kisah-kisah tentang manusia-manusia yang gelisah, lalu berikhtiar untuk melakukan sesuatu. Di balik cerita tentang perubahan besar, selalu ada cerita tentang tindakan-tindakan kecil yang memicu perubahan tersebut.

Pemicunya tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah publik. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu melalui hal-hal kecil, yang dilakukan para jelata.

Tak heran, jika aksi mencuci bendera bisa menggetarkan rakyat Peru, pesan tersembunyi pada desain mata uang bisa menggelisahkan rakyat Myanmar, permainan sepakbola Didier Drogba bisa mengharu-biru Pantai Gading, hingga kalimat petinju Muhammad Ali bisa menghempas warga Amerika untuk mempertanyakan ulang makna nasionalisme negara yang memaksa warganya untuk menempur warga belahan bumi lain.

Jangan terkejut kala mengetahui gerakan emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Mari pula beri ruang pada Malala, perempuan berusia 25 tahun yang pidatonya menggetarkan rezim otoriter yang selalu menebar teror.

Tak hanya itu, gosip-gosip bisa memukul rezim yang memulai perang di Darfur, Sudan Selatan. Jangan terkejut kalau menemukan fakta jatuhnya rezim Slobodan Milosevic dimulai dari aksi mengutak-atik program photoshop, jatuhnya rezim Ferdinand Marcos berawal dari sejumlah perempuan yang menolak untuk mengubah suara pemilu, revolusi di dunia Arab dimulai dari aksi meneruskan pesan di twitter, aksi perempuan Serbia yang tetap berdandan seksi dengan lipstick merona demi menghentikan perang, hingga aksi menolak hubungan seks dari perempuan Sudan bisa menghentikan perang saudara selama 20 tahun. Hah?

Saya membaca kisah-kisah menggetarkan itu pada buku Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and Ingenuity Can Change the World yang ditulis Steve Crawshaw dan John jackson. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Roem Topatimasang, dan diterbitkan Insist dengan judul Tindakan-Tindakan kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia. 

Membaca buku bagus ini membuat mata saya lebih jernih dalam melihat banyak hal. Batin saya beberapa kali tersentuh membaca 15 kisah perubahan sosial, yang kesemuanya dimulai dari tindakan-tindakan kecil.

Saya mengamini kalimat di awal buku: “Seseorang yang berjiwa bebas, dengan segenap ingatan dan juga ketakutannya, adalah sebatang tetumbuhan air yang rantingnya membelokkan arah deras arus sungai.” Kutipan lain yang juga menyentuh saya adalah kutipan dari Bertolt Brecht. “Kata anak lelaki itu, ia belajar tentang bagaimana air yang lembut menitik, selama sekian tahun akan melubangi batu yang keras sekaipun. Dengan kata lain, kekerasan akan kalah juga akhirnya.”

Yang saya rasakan dari kutipan ini adalah perubahan selalu dimulai dari individu yang gelisah, lalu punya sedikit keberanian untuk menyatakan sikap. Keberanian itu serupa api kecil yang membakar ilalang kesadaran, yang terus membesar lalu menjadi gerakan sosial.

Dalam buku ini, saya membaca cerita tentang anak muda kulit hitam yang berani memasuki restoran dan duduk di kursi yang hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih. Di tengah iklim politik yang menindas kaum kulit hitam, tindakan itu akan berdampak pada penangkapan.

Anak muda itu memang ditangkap, tapi tindakannya menggugah orang lain, yang juga datang untuk duduk di kursi itu. Ratusan orang lalu bergantian duduk, hingga akhirnya memenuhi penjara. Aksi duduk itu lalu membakar eksadaran, memicu perlawanan, yang lalu berkembang jadi revolusi.

Buku ini bisa menjadi pegangan bagi semua praktisi gerakan sosial. Di dalamnya kita tak menemukan satupu teori yang berat-berat, melainkan kisah-kisah inspirasi yang mengisahkan tentang banyaknya perubahan yang justru dimulai dari hal-hal sederhana. Beberapa kali nurani saya basah saat menemukan kegelisahan yang lalu dijemakan dalam tindakan biasa, namun sukses menggugah banyak orang.

Saya suka kisah tentang perempuan Bosnia. Di tengah peperangan, mereka tetap berdandan modis, dengan lisptik merah merona. Di taun 1993, warga Bosnia yang benci perang mengadakan kontes kecantikan. Para gadis-gadis cantik itu berpose di atas panggung , yang terdapat spanduk besar bertuliskan “Don’t let them kill us!” Pesan itu bergema ke mana-mana. Grup musik U2 lalu membuat lagu berjudul Miss Sarajevo, yang liriknya adalah:


Is there a time for kohl and lipstick
Is there a tme for cutting hair
Is there a time for high street shopping
To find the right dress to wear


Apakah di sana ada waktu untuk maskara dan gincu
Apakah di sana ada waktu untuk memotong rambut
Apakah di sana ada waktu untuk belanja
Untuk mendapatkan busana yang pantas disandang

Bisa Anda bayangkan, sebuah lomba miss kecantikan yang diselenggarakan di tengah desingan peluru. Para perempuan Bosnia itu hendak menyatakan sikap benci pada perang yang berdampak luas. Siapa sangka, revolusi bisa dipicu oleh lipstick merah dari perempuan seksi.

Hal yang sama juga terjadi di Afghanistan ketika protes disuarakan melalui kontes Afghan Stars, lalu aksi protes warga Estonia atas rezim otoriter yang dilaukan dengan cara bernanyi, hingga memicu The Singing Revolution.

Yang membuat saya terhenyak adalah revolusi bisa dimulai dari hal-hal yang mungin dianggap sederhana oleh banyak orang. Di Sudan, Lubna Hussein divonis bersalah dan akan diberi hukuman cambuk hanya karena mengenakan celana panjang, yang dianggap tidak sopan.

Ia melalui proses di pengadilan, lalu menjelaskan argumentasinya tentang perempuan. Ia membaca banyak kitab, dan mengejutkan orang-orang dengan pertanyaan kritis, yang lalu mengubah pandangan orang-orang.



Hal-hal besar sering kali dimulai dari hal-hal kecil, hal biasa, hal terabaikan. Yang barangkali bisa dilakukan adalah senantiasa konsisten, tetap mengikuti jalan nurani dan kebenaran, serta menyatakan sikap di tengah ketidakadilan.

Bagi saya, ini bukan hal yang mudah, sebab seringkali pernyataan sikap bisa menggerahkan orang lain, yang lalu membuat hidup jadi tak nyaman. Di buku ini, saya belajar pada Muhammad Ali. Di puncak kariernya, ia justru menolak wajib militer. Kalimatnya menghujam, “Mengapa pula saya disuruh memerangi Vietcong, sementara mereka tidak pernah mengatakan saya negro?”

Pernyataan itu membuat Ali disekap, dicabut gelarnya, dilarang mengikuti kejuaraan dunia. Selama tiga tahun, ia kehilangan hak untuk bertinju, justru di tengah-tengah masa keemasannya. Aktor Richard Harris mengatakan,” Setiap petinju selalu beusaha dan bersedia menjual jiwanya demi gelar sebagai juara tinju. Apa yang Ali lakukan? Dia justru menemukan kembali jiwanya dengan melepaskan gelar juara dunia itu.”

Kisah lain yang juga mengejutkan adalah perempuan di Sudan Selatan. Perempuan bernama Samira Ahmed gelisah dengan perang saudara yang tak kunjung usai. Dua wilayah, yakni utara dan selatan, dibakar dendam berkepanjangan hingga memicu perang selama 20 tahun.

Samira ingin menghentikan perang. Dia muak dengan perang yang tak kunjung usai. Dia lalu mengorganisir perempuan di dua wilayah itu untuk bersatu. Mereka lalu membuat gebrakan melalui penolakan hubungan seks.

Aksi itu memang menggemparkan. Aksi itu adalah ‘penelantaran seksial’ (sexual abandoning) yang lalu membuat para lelaki sejenak berhenti berperang lalu memikirkan hal-hal lain yang lebih penting. “Perempuan-perempuan itu sama berpikir bahwa dengan menolak hubungan seks dengan suami, mereka bisa menekan lelaki untuk mengusahakan perdamaian. Taktik itu berhasil,” kata Samira.

Di tahun 2009, taktik ini juga dilakukan oleh para perempuan Kenya. Aksi mogok seks itu bisa memaksa presiden dan perdana menteri untuk ikut berunding dengan para perempuan itu.

***

SAYA sungguh terpikat dengan begitu banyaknya contoh-contoh dalam buku ini yang membuka mata kita semua. Saya teringat pada buku James Scott yang berjudul Weapon of the Weak. Bahwa perlawanan orang lemah bisa diartikulasikan dnegan banyak cara.

Mereka menyalurkannya melalui simbol, gosip, hingga pesan yang lalu ditangkap oleh banyak kalangan. Perlawanan itu melalui cara-cara kultural yang pesannya lebih cepat tersebar dan memicu gerakan yang lebih besar.

Kita mungkin bisa mengembangkan buku ini untuk konteks Indonesia. Ada banyak orang hebat di sekitar kita yang perlu digali ksiahnya demi menjadi nutrisi bagi anak-anak muda untuk melakukan perubahan.

Tahun lalu saya bertemu Maria Loretha, atau kerap dipanggil Mama Tata, yang menginspirasi warga untuk menanam sorgum di Pulau Adonara. Dengan cara itu, ia mengajarkan kemandirian pangan, serta sikap tidak tergantung pada pasokan beras, yang diimpor dari Jawa.

Saya juga pernah bertemu dengan Ismail, anak muda di Berau yang mendirikan bank ikan lalu mengajak para nelayan berpartisipasi, serta tidak tergantung pada lintah darat.

Di sekitar kita ada banyak para champion atau juara yang bekerja dalam diam, menggugah kesadaran, lalu melakukan hal-hal luar biasa. Kita hanya butuh menajamkan semua rasa demi mengenali orang-orang hebat di sekitar kita.

Mereka tak suka dengan publisitas. Yang mereka kejar bukanlah kemasyhuran atau popularitas, lalu memajang wajah di berbagai baliho di banyak sudut kota. Orang-orang ini melakukan banyak hal-hal besar dengan langkah-langkah kecil demi membumikan pohon-pohon gagasannya agar tumbuh kokoh dan menginspirasi orang banyak.

Orang-orang ini bekerja untuk keabadian, bekerja untuk sesuatu yang jauh lebih bermakna. Meskipun nama mereka tak dicatat sejarah, tapi nama mereka tergurat di hati banyak orang di sekitarnya.

Yang pasti, di buku setebal 262 halaman ini, saya menemukan banyak pelajaran berharga. Seusai membacanya, tanpa sadar saya mendendangkan lagu Bob Marley:

Emancipate yourself from mental slavery,
None but ourselves can free our minds.
Have no fear for atomic energy,
'Cause none of them can stop the time.
How long shall they kill our prophets,
While we stand aside and look?
Some say it's just a part of it,
We've got to fulfill the book.

Won't you help to sing
These songs of freedom?
'Cause all I ever have,
Redemption songs,
Redemption songs,
Redemption songs.(*)


BACA JUGA:







Kisah Manusia Batu dan Bidadari


bersama Idris di Kota Tua

SUATU sore di Kota Tua, Jakarta, saya bertemu “manusia batu”, sosok yang menyerupai prajurit beku, yang menanti ajakan berpose. Sungguh mengejutkan karena ia membaca blog saya, mengikuti setiap postingan yang diurai, serta masih pula mengingat pertemuan kami beberapa tahun silam. Tak jauh darinya, saya melihat beberapa bidadari yang tersenyum menggoda.

***

NAMANYA Idris. Dia menyebut dirinya sebagai manusia batu. Kehadirannya mengingatkan saya pada frozen soldiers, prajurit beku yang pernah saya saksikan di depan Lincoln Memorial, di Washington DC. Bedanya, jika prajurit di Lincoln Memorial memang benar-benar beku. Idris tidak demikian. Dia sengaja melumuri tubuhnya dengan cat tertentu hingga nampak seperti batu.

Tiga tahun silam, saya bertemu dengannya. Saat itu, saya datang ke Kota Tua, lalu berpose dengannya. Kami tak sempat berbincang. Setiba di rumah, saya lalu menuliskan episode pertemuan itu. Di mata saya, Idris hendak mengingatkan semua orang tentang sesuatu yang amat penting. Ia hendak mengingatkan perlunya kesadaran sejarah serta mengingat episode yang telah lewat. (Baca: Kisah Manusia Batu di Tepi Jakarta)

prajurit beku (frozen soldiers) yang saya potret di Washington DC

Bermula dari tulisan itu, saya berkawan di media sosial. Di kanal Instagram, saya rajin mengikuti apa yang dilakukannya. Barulah saya tahu kalau dirinya pernah mendapat prestasi sebagai juara manusia patung. Malah, dirinya terpilih mewakili Indonesia pada perlombaan di level dunia yang diadakan di Belanda. Sayang, ia batal berangkat ke sana.

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengannya. Ia langsung tersenyum lebar saat saya menyebutkan nama. Kalimat pertama yang keluar dari bibirnya, “Saya baca tulisan abang terbaru tentang Saiful jamil. Saya langsung mikir-mikir, wah benar juga yaa?” katanya sembari tersenyum. Mendengar kalimatnya, saya juga tersenyum. Rupanya, ia membaca tulisan terbaru saya tentang penyanyi dangdut yang dituduh melakukan hap hap itu.

Rupanya, ia masih mengingat pertemuan kami tiga tahun lalu. Ia masih mengingat apa yang saya tulis tentang pertemuan kami. Malah ia berterimakasih, sebab tanpa saya sadari, ia semakin populer berkat tulisan itu. Entahlah.

Kota Tua menjadi kawasan yang terus berbenah. Dahulu, Idris sendirian menjadi prajurit beku di situ. Kini, kawasan itu penuh dengan seniman. Tak hanya para prajurit beku, saya melihat banyak orang dengan pakaian berwarna-warni. Beberapa di antaranya melakukan atraksi dengan geakan melayang di udara. Banyak pula pesilat yang bergaya seolah sedang mengambil jurus. Para pengunjung bisa memiuh hendak berfoto dengan siapa.

Semuanya bermula dari selfie. Rupanya, hasrat orang untuk datang ke Kota Tua tak lagi sekadar berpose di bangunan tua, tetapi juga berpose dengan para penampil. Seingat saya, di Korea, terdapat satu museum yang isinya adalah berbagai pernak-pernik untuk selfie. Anda bisa berpose di atas papan luncur, yang diletakkan di atas ombak besar. Tentu saja, ombak dan papan luncur bukan asli. Anda hanya seolah-olah sedang meluncur di awan.



Kini, jumlah mereka yang serupa Idris ada sekitar 70-an orang. Kata Idris, jumlah mereka akan dirampingkan hingga 21 orang. Mereka berasal dari berbagai kelompok seniman yang mencari nafkah dengan cara berpose bersama pengunjung. Hebatnya Idris tak merasa tersaingi. Dengan keramahan, interaksi, dan berbagai pose unik, ia akan selalu mendapatkan audience.

Saya melihat dirinya berpose dengan seorang wanita. Ia bergaya serupa patung yang mencium tangan sang wanita. Kamera lalu mengabadikan momen itu. Idris lalu mengganti gaya. Kali ini, ia menoleh ke samping sembari mengokang senjata. Klik, kamera lalu membekukan momen itu.

Di sebelah Idris, saya melihat seorang perempuan memanggil-manggil. Rupanya, ia pun sama dengan Idris. Beberapa orang datang berpose dengan perempuan cantik yang berpakaian serupa nona Belanda pada masa kolonial. Rupanya, pakaian perempuan itu, bangunan tua, juga prajurit tempo dulu, ada persenyawaan yang tepat. Mereka membentuk nuansa tua yang ada di tempat itu, serupa mesin waktu telah mengembalikan kesadaran kita ke masa silam.

Saya merenungi tentang Jakarta yang serupa ruang hidup bagi banyak orang. Di kota seluas ini, ada begitu banyak orang yang kesemuanya berebut ruang dan sumberdaya. Mereka yang bertahan adalah mereka yang kreatif, pintar melihat momentum, lalu melakukan banyak hal unik yang tak bisa dilakukan manusia lainnya. Saya membayangkan daya-daya tahan dalam menghadapi situasi bisa ditemukan pada manusia-manusia Jakarta. Mereka secara perlahan keluar dari kantong kemiskinan melalui kreatifitas yang terbukti telah menyelamatkan mereka dalam berbagai situasi.

Saya membayangkan pemerintah yang sedang menyebut data-data statistik tentang kemiskinan yang terus berkurang. Tentu saja, laporan pemerintah itu mengabaikan satu fakta penting betapa lapis bawah negeri ini terus beringsut untuk keluar dari rimba kemiskinan. Laporan pemerintah itu seolah mengklaim semuanya berkat pemerintah, tanpa melihat betapa gighnya orang-orang untuk lepas dari berbagai jeratan ekonomi.


manusia batu Idris dan seorang pengunjung (atas). Bidadari di Kota Tua (bawah)

Pada sahabat seperti Idris dan bidadari Kota Tua itu, saya menyaksikan daya-daya tahan. Tidak saja kemampuan bertahan dari panasnya sengatan matahari, tapi juga daya tahan menghadapi kehidupan yang serupa badai dan angin kencang yang bisa membenamkan kita, namun bisa pula menerbangkan kita untuk menggapai mega-mega impian dan cita-cita.

“Abang mau foto bareng saya?”. Saya menoleh. Bidadari itu tersenyum sembari mengembangkan payung. Ah, dia tahu kalau saya pun ingin berpose dengannya. Mungkin dia tak tahu kalau saya ingin sekali mencatat nomor hp-nya.



Bogor, 13 Maret 2016