Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pilih Mana: Segera Menikah Atau Telat?

MENGAPA perempuan lama menikah? Barusan saya ngobrol dengan teman perempuan yang dekat dengan saya saat kuliah dulu. Ia memberi info bahwa banyak teman-teman perempuan yang belum menikah. Saya terkejut dan terheran-heran. Perkiraan saya usia teman-teman adalah sekitar 32 tahun. Jika saat ini belum menikah, bukankah itu agak telat?

Di masyarakat Bugis-Makassar, usia 30-an tahun bagi perempuan dan belum menikah, sudah disebut telat. Ini mungkin bisa disebut ketidakadilan gender. Sebab lelaki dalam usia segitu belum menikah, dianggap sebagai hal yang biasa. Beda dengan perempuan. Biasanya, sang perempuan dan keluarganya mulai gelisah dan sibuk mencarikan jodoh bagi anak gadisnya tersebut. Malah, di beberapa tempat, situasi demikian bisa menjadi aib sebab seolah sang perempuan dianggap tidak “laku.“ Itulah masyarakat kita yang kadang aneh dalam memberikan penilaian.

Mungkinkah ada kecenderungan bagi perempuan di kota besar untuk menunda pernikahan? Mungkin juga. Saya banyak membaca liputan media tentang fenomena seperti itu. Namun, saya mengenal teman-teman saya tersebut. Saya tidak terlalu yakin kalau mereka punya niatan untuk menunda pernikahan. Saya yakin mereka adalah tipe perempuan yang ingin mensegerakan pernikahan. Mereka adalah tipe perempuan baik-baik yang berjilbab dan tidak banyak terseret oleh laju modernisasi. Bahkan, beberapa teman saya tersebut tidak pernah mengenal apa yang disebut pacaran. Lantas, mengapa? “Bukan berniat menunda. Tapi hingga saat ini belum ada lelaki yang datang,” kata seorang teman perempuan tersebut.

Jika itu soalnya, barangkali ada sesuatu dalam kebudayaan kita yang menghalangi mereka untuk segera menemukan jodoh. Perempuan dibesarkan dengan tata krama dan etika yang kukuh yang tidak banyak memberikan ruang bagi mereka untuk berkenalan secara lebih dalam dengan lelaki. Tatkala orang tua memberikan aturan yang tegas tentang jam malam, serta disiplin agar anak perempuannya selalu ke rumah pada jam tertentu, maka itu sama saja dengan mempersulit sang perempuan. Akhirnya, sang anak perempuan tidak terbiasa bersosialisasi atau bergaul dengan sesamanya. Yang terjadi kemudian, sang perempuan jadi minder dan hanya menunggu saja seorang pangeran yang kelak akan datang ke rumah untuk melamarnya. Trus, sampai kapan hendak menunggu?

Saya melihat perempuan dalam posisi yang dilematis. Ada begitu banyak nilai-nilai yang mengungkung mereka. Boleh jadi, itu adalah doktrin teologis yang menempatkan mereka dalam posisi sebagai sumber petaka bagi lelaki. Ketika teman-teman saya belum menikah dan gelisah, mereka seakan tak berdaya mengekspresikan kegelisahan tersebut. Saat saya menawarkan gagasan untuk membantu mereka dengan menjodohkan, tawaran itu diterima dengan senang hati. Ada harapan kalau solusi itu bisa menjadi jalan keluar bagi mereka. Namun saya kira, hal mendesak yang harus dilakukan adalah segera mendekonstruksi kebudayaan kita yang membuat perempuan terkungkung. Biarkan mereka bersosialisasi dengan penuh etika. Jangan kungkung mereka dalam rumah dengan doktrin dan etika...(*)



Waktu Luang dan Kesepian

TULISAN ini kembali memecahkan rekor untuk bulan ini. Ini adalah tulisan ke-40 lebih banyak dari bulan kemarin yang hanya 37 tulisan. Saya sungguh produktif selama beberapa bulan ini. Seorang teman pernah menanyakan mengapa saya begini produktif? Jawabannya adalah karena belakangan ini saya punya banyak waktu luang. Belakangan ini saya nggak banyak tugas kerjaan atau tugas kuliah. Makanya saya bisa menulis dalam jumlah banyak.

Waktu luang adalah sesuatu yang amat mahal bagi manusia modern. Manusia boleh saja punya banyak duit hingga bertumpuk-tumpuk, namun belum tentu memiliki waktu luang. Meski seseorang menjadi pejabat berpengaruh, belum tentu punya waktu banyak. Dalam contoh dua hal tersebut, masing-masing pihak menghabiskan waktu demi menjaga pundi-pundi uang atau mempertahankan pengaruh. Makanya, waktu luang adalah sesuatu yang mahal. Sepertinya saya harus banyak mensyukuri waktu luang yang berlimpah ini.

Hal lain yang membuat saya produktif menulis blog adalah karena saya sedang kesepian. Pada saat lagi ramai atau banyak senang-senang dengan teman, saya kerap alpa menulis. Namun saat kesunyian, ide-ide dengan cepat mengalir bagai anak sungai yang tak henti. Menulis adalah cara membunuh sepi. Lewat tulisan, saya berkelana ke mana-mana, mengurai pikiran secara sistematis, kemudian mengangkasa menggapai mega-mega. Tulisan itu membunuh sepi dan mengajak saya ke mana-mana, meski kaki tetap terpancang di satu titik.(*)

Gugatan untuk Goenawan Mohammad

SALAH satu novelis yang saya sukai ES Ito menulis tema yang menarik. Ia mengkritik tulisan budayawan kondang Goenawan Mohammad (GM) tentang pilihannya yang mendukung Boediono sebagai cawapres. Yang menarik adalah di tengah puja-puji para penulis terhadap kualitas tulisan GM, Ito justru mengkritik pedas cara GM menulis hingga pilihan politiknya.

Saya kira pilihan-pilihan Ito ini masih layak diperdebatkan. Tetapi, saya menangkap point penting yang saya senangi dari tulisannya. Ada emosi serta jiwa muda yang hendak berontak dari kemapanan berpikir. Mungkin saja Ito melihat GM sebagai kemapanan yang sudah saatnya digusur. Barangkali pula Ito melihat GM sudah lelah dan mulai tertatih-tatih berjalan. Sekian lama GM hanya bisa menulis dari pinggiran, kini tarikan politik telah membawanya ke kanan. Mungkinkah GM sudah lelah melihat sesuatu dari pinggir? Apakah ia tergoda dengan hasrat kuasa di ajang pemilihan presiden? Akan sangat bijak jika GM menulis pleidoi atas segala pilihan-pilihan politiknya.

Nah, inilah tulisan Ito yang menggugat GM itu. Selamat membaca...!!!

Tuan Goen, masih hidup dia rupanya. Walaupun uban tidak lagi sanggup diperam perawan, dia masih kuasa berjalan. Tuan Goen hidup dari kata dan mantera. Dia menyisipkan pesan mingguan, bagai khutbah manusia prasejarah pada zaman yang tidak lagi menghendakinya. Lihatlah Tuan Goen menapaki jalan, dari belukar Utan Kayu hingga rindangnya Salihara. Dia renta, tertatih dengan langkah terseok tetapi Tuan Goen percaya dia lah pengemban wahyu untuk menyelamatkan peradaban. Tetapi pada zaman ini, siapakah lagi yang mengerti dengan mantera Tuan Goen. Generasi kami, Tuan Goen, bukanlah pemamah biak mantera berbalut estetika. Dan kami tidak punya waktu melayani orang tua cengeng yang sepanjang hidupnya bermimpi menjadi Albert Camus.

Kami bukanlah pelayan mimpi-mimpimu Tuan Goen. Tiap minggu kau bisa menggoda kami dengan rayuan gombal catatan pinggirmu, tetapi kau tahu Tuan Goen, karena kami terlahir durhaka maka mudah bagi kami memisahkan dusta dari kata. Lagipula, bukankah tulisanmu lebih banyak kutipan mantra asingnya daripada mantra mu sendiri. Tuan Goen tidak mendapat tempat di generasi kita, lalu dia beralih pada penguasa. Tertatih mendaki tangga istana, Tuan Goen mendapati dirinya dilarikan kereta. Di Bandung sana, Tuan Goen berikrar akan melanggengkan kekuasaaan dengan warna-warni Amerika. Ohh Tuan Goen, sudah pikun dia rupanya, ini Indonesia bukan negara bagian Amerika. Mari ucapkan mantera generasi kita; sudahlah Bro, secara lo udah tuwir gitu loch…

Di Bandung sana, Tuan Goen gagah menyampaikan orasi budaya. Dia memulai orasi dengan pekik merdeka tetapi panggungnya dihiasi triwarna merah putih biru. Dia mengungkit Soekarno untuk menyanjung Boediono. Tuan Goen memberi garansi kepada kita, bahwa Boediono dan tentu saja SBY layak untuk dipilih sebab dia bukan politisi juga bukan pemain sinetron. Dan yang lebih penting sepanjang hidupnya, Boediono dihidupi oleh negara bukan lewat bisnis yang menjadi haram dalam panggung itu. Bagi Tuan Goen yang katanya sering berjuang untuk menghilangkan Islamophobia bangsa barat, mengumpulkan kekayaan dari pajak atas jasa pada negara jauh lebih mulia daripada berniaga. Tuan Goen dan anak-anak salah asuhannya tentu, sebagaimana Boediono, sangat percaya pada tangan tidak terlihat yang bisa melakukan intervensi terhadap pasar. Masyarakat sipil perlu diperkuat dengan melemahkan fungsi negara. Wajar bila pengidap sipilis semakin meningkat.

Tetapi pernahkah Tuan Goen berpikir, dalam konsep kami masyarakat awam, di pasar-pasar rakyat tangan tidak terlihat itu wujudnya sangat jelas yaitu copet. Itulah jenis manusia yang selalu menerima curiga, sebab senantiasa mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Tuan Goen, apakah tangan tidak terlihat yang Tuan suka itu tiada beda dengan tangan tidak terlihat yang kami mengerti? Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat jurang antara yang miskin dan kaya semakin besar. Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat genera
si kami mulai bosan dengan ketidakadilan. Bah, lupa aku, Tuan Goen tentu tidak akan sanggup menjawabnya, sebab dalam referensi Albert Camus, pertanyaan ini belum pernah muncul. Begitulah di Bandung sana, Pak Tua Goen tidak ingin menerima takdir usia senja.

Politik adalah sebuah tugas. Tanpa diminta, Tuan Goen menuliskan pembelaannya, kenapa dia memihak. Sang Albert Camus wanna be ini seperti biasa merangkai kata dari beragam kutipan yang panjangnya melebihi gagasannya sendiri. Sederhana bukan, sama sederhananya dengan merangkai meja belajar olympic, bahan dan sekrup sudah tersedia kau tinggal menyatukannya. Lantas kau memuji kerja kau yang tidak seberapa itu sebagai sebuah prakarya pribadi. Tuan Goen tidak usah berkecil hati, kau punya tulisan masih ciamik punya. Bagai rokok, nikmatnya masih melebihi kadar Tar dan Nikotin. Tetapi inilah hukum rokok Tuan Goen, kita menikmatinya tetapi kemudian kita lupa gunanya untuk apa. Kau menulis, Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras - dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri. Aku menghisap mantera mu dalam-dalam Tuan Goen, tetapi nafasku sesak. Paru-paru ku memberontak sementara jantung menginginkan revolusi.

Di usia senjamu, kau masih jumawa berkehendak membuka jalan yang tidak kami butuhkan. Kau tahu politik itu kotor Tuan Goen, kau memasukinya lewat rusuk penguasa, ah betapa tambah kotornya kau ini. Kau menyebut nama Munir, berharap keadilan pada penguasa yang tidak kunjung mampu menyelesaikannya. Kau, yang menganggap dirimu intelektual publik, menolak untuk ongkang-ongkang kaki bermatabatkan mahligai. Tetapi Pak Tua, kenapa baru sekarang kau berani berkata, justru pada saat kau menyokong penguasa. Kenapa dulunya mahligai mu itu susah sekali digapai pada saat banyak sekali hal yang tidak sesuai. Tuan Goen yang bercita-cita menjadi martir kebebasan di Indonesia justru di usia senja terpenjara oleh kepikunannya sendiri.


Tuan Goen, sudahlah, aku lihat kau sudah lelah. Tiada guna lagi kau berulah. Mantera-mantera mu tidak lagi bisa mengobati sakitnya generasi kami. Tidak usah pula tubuh rentamu itu kau paksakan untuk memikirkan masa depan kami. Masa-masa dimana kau sudah tidak ada lagi dan kami tidak tahu, akankah kami mengenangmu sebagai seseorang, atau hanya sebuah bidak biasa dalam panggung kampanye presiden Amerika di Bandung sana. Pak Tua Goen, saatnya undur diri, bagi kami kau tiada guna lagi. Perawan-perawan generasi kami tidak lagi tersihir oleh mantera mu. Mereka suka yang praktis Pak Tua, bukan yang rethoris. Kau sudah berbuat, kami tidak akan menghapus jejakmu. Masalah penilaian serahkan kepada masa depan.

Pak Tua Goen sudahlah, kau tidak akan pernah lagi bisa mencatat dari pinggiran.


Rindu Bioskop Kampung


SAYA ingin bercerita tentang film. Semalam saya nonton film Transformer 2: Revenge of The Fallen di Bioskop M-Tos Studio, Makassar. Namun, bukan filmnya yang bikin saya sangat menikmati suasana. Saya menikmati ekspresi para penonton bioskop yang rata-rata adalah mahasiswa. Mereka beberapa kali tepuk tangan dan berteriak histeris sepanjang film. Sepanjang nonton film, beberapa kali mereka juga bersorak-sorai dan bersiut-siutan. Saya juga ikut-ikutan tepuk tangan seperti mereka.

“..... Ah, kampungan semuanya,“ kata seorang kawan di sebelah saya.

Saya hendak memprotes. Namun, akhirnya saya memilih diam saja. Bagi saya, sikap yang ekspresif ketika menonton film bukanlah ciri kampungan. Justru itu adalah tanda bahwa para penonton di situ sangat menghargai seni. Mereka paham kalau adegan-adegan tertentu dalam film itu susah dikerjakan. Makanya, mereka bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atau kekaguman. Jangan-jangan, mereka yang diam saja, justru tipe penonton yang tidak berselera. Buktinya, ekspresinya datar-datar saja bagaikan robot yang tak punya reaksi khas manusia.

Para penonton di M-Tos terbilang unik. Mungkin karena bioskop itu terletak di sekitar kampus Unhas, makanya rata-rata yang nonton film adalah para mahasiswa. Menonton film bagi mereka adalah aktivitas yang menyenangkan. Makanya, kalau singgah ke bioskop ini, jangan kaget kalau melihat banyaknya rombongan mahasiswa yang hendak menonton. Jangan heran pula ketika melihat mereka yang datang dengan membawa tas kuliah. Itu pemandangan biasa di M-Tos.

Nah, sikap ekspresif para mahasiswa itu mengingatkan saya pada suasana nonton film di kampung saya, di Pulau Buton. Sebelum jauh bercerita tentang bagaimana perbandingan ekspresi para penopntoin bioskop di kampung saya dan di Makassar, izinkan saya bercerita tentang bagaimana suasana menonton film di kampung. Di kampung saya, hanya terdapat dua bioskop yang bernama Bioskop Anda serta Bioskop Wolio Star (belakangan ganti nama jadi Buton Theatre). Bioskopnya tidak terlalu besar. Kira-kira hanya bisa menampung sekitar 300 orang.

Bentuknya seperti kotak. Saat berada di dalam, suasananya panas dan penuh asap. Maklumlah, di bioskop ini tak ada larangan merokok. Siapa saja bisa merokok, berteriak-teriak, atau malah kencing di tempat duduk. Pihak bioskop tak punya satpam yang patroli menyaksikan pengunjung dengan wajah galak. Kursi penonton yang ada di belakang dan depan, nyaris sama tinggi. Makanya, banyak penonton di belakang yang terganggu karena terhalang oleh kepala penonton di depan. Apalagi, saat itu banyak yang mode rambutnya mirip Achmad Albar.

Saat itu, partner nonton saya yang paling setia adalah La Satar. Kami sama-sama pencandu semua film bioskop. Saat La Sattar dihalangi seseorang lebih tinggi yang duduk di depannya, saya melihat ekspresinya yang unik. Ia akan bersungut-sungut atau menggerutu hingga orang yang menhalanginya itu gelisah dan pindah tempat duduk. Strateginya cukup kreatif.

Sewaktu kecil, hampir setiap hari saya nonton film. Bukan karena banyak uang, namun karena saya datang ke bioskop dan melobi seorang pengunjung. Dikarenakan saat itu saya masih kecil, saya melobi supaya saya bisa ikut nonton bersamanya. Aturan di bioskop itu, anak kecil boleh tidak bawa tiket ketika datang bersama ayah atau om. Nah, saya melobi agar diakui sebagai ponakan, dan setelah tiba dalam biskop, saya langsung ngacir ke dalam. Hehehehe....

Film yang paling heboh di kampung saya adalah jenis-jenis film laga yang dibintangi Barry Prima, George Rudi, ataupun jenis film-film musikal seperti yang dibintangi Rhoma Irama. Ketika saya mulai remaja, jenis film yang digandrungi adalah jenis film kungfu yang dibintangi Jet Lee. Sementara film Hollywood justru sama sekali tidak laku. Makanya, bioskop tidak mau memutar jenis film Hollywood. Sewaktu kecil saya fasih menyebut film-film laga nasional atau film kungfu, namun sama sekali bingung ketika disebutkan nama bintang film Hollywood.

Kembali ke soal ekspresi menonton. Hal yang paling saya suka adalah para penontonnya. Saat menonton film Barry Prima, ketika sang aktor muncul di layar, sontak para penonton bertepuk tangan dengan riuh. Bahkan ketika Barry Prima tiba-tiba berkelahi dan mengeluarkan jurus-jurusnya, para penonton langusng histeris dan bersiul nyaring. Teman saya La Satar langsung menjepit bibir bawahnya dan bersiul dengan suara yang paling keras yang bisa dilakukannya. Jika tiba-tiba sang aktor kalah, ia akan ikut kecewa dan sedih. Dan jika Barry Prima balas dendam, La Sattar langsung lompat-lompat kegirangan. Ia memberi semangat ketika Barry Prima sedang berkelahi. Ia tidak peduli bahwa Barry Prima saat itu tidak mendengarnya. Ia juga tidak peduli bahwa yang disaksikannya adalah sebuah film di mana aktor berperilaku sesuai skenario. ”Pokoknya harus disemangati supaya menang,” katanya.

Biasanya, ketika keluar dari bisokop, para penonton merasa puas. Namun jika sad ending, maka semua penonton langsung jengkel. “Sialan, kenapa harus begitu akhirnya,“ kata La Sattar. Saya juga marah-marah.

Puluhan tahun itu berlalu. Kemeriahan nonton bioskop di kampung langsung lenyap ketika film nasional mati suri. Bioskop kampung langsung gulung tikar dan digantikan Studio 21. Kemeriahan yang dulu menyenangkan, kini tinggal cerita.

Semalam, saya serasa kembali ke masa kecil yang girang dan bersorak-sorak. Menonton film di bioskop itu adalah nostalgia yang kembali mendengung di pikiran saya. Masa lalu serasa hadir kembali. Sangat membahagiakan.(*)


Tentang Para Intelektual Tukang

SEPERTI apakah posisi intelektual? Pertanyaan ini menyeruak saat menyaksikan begitu banyaknya debat antar tim sukses calon presiden (capres). Saat ini, saya sedang menyaksikan debat antara tiga intelektual yaitu Fadli Zon, Rizal Mallarangeng, dan Dradjad Wibowo. Anda tahu seperti apa posisi mereka? Saya yakin anda benar. Posisi mereka adalah membela apapun yang dikatakan oleh calonnya. Pokoknya harus bela sampai titik darah penghabisan! Salah sekalipun!

Jika dipikir-pikir, sebenarnya ada hikmah positif dari suhu politik yang kian memanas. Setidaknya, kita sebagai warga bisa setiap hari menyaksikan talkshow di televisi. Namun, apakah benar dengan tiap hari nonton tivi kita akan semakin cerdas? Saya tidak terlalu yakin. Saya justru semakin bingung. Makin sering nonton tivi, kita semakin bimbang dengan situasi yang kita hadapi. Rasanya, kebenaran yang ada di situ, selalu dipelintir ke sana ke mari oleh para tim sukses atau para intelektual. Semua membusungkan dada. Semua mengaku benar. Semua mengeluarkan angka statistik tentang negeri ini. Lantas, siapa yang benar?

Saya teringat ilmuwan Jerman, Karl Mannheim. Puluhan tahun lalu, hal ini telah menggelisahkannya. Di ujung perenungannya, ia lalu mengatakan bahwa di zaman seperti ini, kita tidak lagi menyaksikan kebenaran melawan kesalahan. Duel klasik itu sudah lama tamat. “Sekarang ini kita hanya menyaksikan kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain,“ katanya. Maknanya adalah kebenaran menjadi satu kategori yang cair. Kebenaran bisa berada di mana-mana sebab sudah menjelma menjadi kepemilikan yang diklaim oleh siapa saja. Makanya, saat menyaksikan debat capres tersebut, kita tidak sedang menyaksikan kebenaran lawan kesalahan, namun menyaksikan kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain.

Dalam posisi yang dilematis seperti ini, di manakah posisi seorang intelektual? Kata Mannheim, intelektual mesti melakukan pemihakan. Bukan pada satu kebenaran, sebab ada pula kebenaran yang lain. ”Kebenaran harus dikembalikan pada fungsinya untuk membebaskan. Kebenaran harus bisa membebaskan mereka yang tertindas,“ katanya. Nah, pembebasan kaum tertindas ini mestinya menjadi pemihakan. Mereka seyogyanya harus menyuarakan suara yang tertindas, kemudian menemukan formulasi untuk membebaskan mereka.

Nah, apa yang sudah dilakukan para intelektual kita dalam berbagai talkshow? Mereka memang menyebut kaum yang tertindas. Namun, itu hanya sebagai lip service untuk memikat jutaan rakyat Indonesia agar memilih calonnya. Intelektual kita lebih suka menjadi intelektual tukang yang kerjanya adalah menjadi stempel atas apapun kebijakan yang dipilih seseorang. Intelektual kita hanya menjadi alat legitimasi atas suatu kebijakan. Bahkan ketika sang calon presiden bertindak ngawur dan bodoh, para intelektual itu akan sibuk mencarikan sejumlah alasan pembenaran. Mereka tidak mencerahkan. Mereka justru menyesatkan.

Mestinya, para intelektual itu harus tetap menyuarakan kebenaran yang diyakininya. Tak usahlah menampilkan sang capres seperti Tuhan yang selalu benar. Mereka harusnya menyadari sampai batas mana sang capres benar dan pada batas mana melakukan kesalahan. Justru dengan cara mengakui kesalahan atau kebodohan, mereka mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu bersikap jernih dalam melihat seorang tokoh. Mereka menyadari bahwa sang capres adalah manusia biasa yang sangat wajar melakukan kesalahan dan dengan cara demikian, ia bisa belajar melangkahkan kaki.

Mungkin anda bisa menjawab enteng. Ini khan soal pemasaran? Jika soalnya adalah pemasaran, maka tentu saja anda dituntut untuk menjual sesuatu hingga laku sebanyak-banyaknya, tak peduli apakah anda sedang membohongi para konsumen. Jika politik adalah soal pemasaran, para intelektual kita tak beda dengan para tukang penjual obat yang menjajakan obat di pinggir jalan. Sama-sama mengandalkan retorika dan kesan penonton, sesekali melakukan atraksi ular untuk memikat penonton. Intelektual kita tak beda jauh dengan para penjual obat.

Tatkala kebenaran hanya menjadi stempel semata, maka saat itu kebenaran takluk oleh politik. Tatkala politik menjadi panglima, kebenaran menjadi nisbi dan bisa diplintir ke sana ke mari. Jika situasi kian parah dan membusuk, mungkin inilah saatnya kita menantikan seorang rasul akan turun untuk memimpin perubahan. Seorang messiah sebagaimana yang dijanjikan dalam berbagai kitab suci. Tul nggak?...(*)


Internet dan Fenomena Copy Paste

INTERNET adalah candu bagi para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang sudah tidak mau berpayah-payah membaca buku. Mereka hanya mengandalkan internet untuk mengerjakan tugas kuliah dengan cara mengumpulkan keping demi keping yang kemudian disusun menjadi satu. Mahasiswa dan generasi muda jadi tidak peduli dengan proses. Mereka gampang saja mencomot sesuatu yang sudah jadi, kemudian mengklaim sebagai karyanya.

Kesimpulan ini saya dapatkan setelah memeriksa tugas final test mahasiswa. Saya mengamati betapa banyaknya mahasiswa yang suka menjiplak melalui internet. Mestinya internet itu dilihat sebagai ensiklopedi untuk menemukan inspirasi. Bukannya untuk mencari bahan, kemudian copy paste. Saya tidak sedang ngarang. Sangat mudah melacak dari mana seorang mahasiswa mendapatkan bahan untuk menyelesaikan tugasnya. Cukup klik google dengan kata kunci tertentu, maka akan nampaklah dari mana para mahasiswa menjiplak tugasnya.

Ini menjadi fenomena yang selayaknya direspon oleh para pengajar kita. Sepuluh tahun lalu, internet belum menyediakan bahan yang kaya bagi mahasiswa dan para dosen belum terbiasa dengan internet. Malah, hingga kini masih saja banyak para dosen yang belum paham internet. Akibatnya, mereka jadi bulan-bulanan dari mahasiswanya sendiri. Saya membayangkan sang dosen yang memeriksa tugas mahasiswanya. Pastilah ia terkejut ketika melihat betapa cerdasnya sang mahasiswa saat membaca tugas kuliahnya.

Jika ia teliti, pasti ia akan penasaran dari mana sang mahasiswa bisa berargumentasi dengan cerdas, sementara dalam kenyataan sehari-hari sang mahasiswa biasa-biasa saja. Jika sang dosen teliti, maka ia akan menginvestigasi sang mahasiswa dan menanyakan bagaimana sampai ia bisa menulis dengan baik. Andaikan itu betul-betul karya mahasiswa, tentunya sang dosen berhasil mengajar dengan baik sehingga mahasiswa bisa mengerjakan tugas. Namun, bagaimana kalau itu bukan karya mahasiswa dan hanya jiplakan saja? Nah, jika bertemu kondisi seperti ini sang dosen selayaknya berintrospeksi dan mencari model-model soal yang kira-kira tidak bisa dijiplak sang mahasiswa.

Di zaman internet seperti ini, para dosen seyogyanya pandai-pandai membaca siasat mahasiswanya. Di saat para mahasiswa punya banyak siasat, sang dosen pun harus pandai-pandai membaca siasat mahasiswa. Sudah saatnya dikembangkan satu metode untuk menilai kemampuan mahasiswa di mana sang mahasiswa tak bisa menjiplak. Mungkin cara terbaik adalah dengan cara memberikan ujian secara lisan atau tertulis dalam kelas. Sudah tidak tepat memberikan tugas yang ekmudian dikerjakan di rumah. Hal lain yang juga mendesak adalah harus ditanamkan secara tegas kepada mahasiswa bahwa penjiplakan adalah suatu pelanggaran. Penjiplakan adalah virus yang bisa merongrong hidup sang mahasiswa ketika meninggalkan kampus. Penjiplakan itu sama dengan pencurian. Iya nggak?



Ngefans sama Gita Gutawa


SUNGGUH! Saya tidak sedang bercanda. Akhir-akhir ini saya ngefans dengan Gita Gutawa. Saat dia menyanyikan ulang lagu Chrisye yang judulnya Aku Suka Dia, saya jatuh cinta dengan penampilannya. Gita mewakili spirit muda yang energik, riang, serta selalu gembira. Gita mewakili gambaran perempuan muda yang ceria. Ia membawa spirit zaman untuk selalu riang dalam kehidupan sehari-hari.

Sudah beberapa kali saya lihat penampilannya. Ia identik dengan warna-warni seperti pink, merah, atau biru. Pilihan lagunya selalu disesuaikan dengan usianya yang tengah mekar. Ketika menyanyikan ulang lagu-lagu lawas, ia menyanyikan dengan gayanya sendiri. Ia tak pernah mengikut-ikut gaya penyanyi senior. Ia tidak seperti para finalis Idola Cilik, anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu dewasa. Masak, anak kecil sudah bicara cinta pada sesama jenis? Aneh juga melihat anak-anak kecil bicara tentang pengkhianatan cinta. Tapi Gita berbeda. Ia tampil dengan spirit zaman dan usianya. Irama musiknya selalu saja riang dan ada jingkrak-jingkrak.

Mungkin, faktor paling penting dalam karier musiknya adalah ayahnya Erwin Gutawa. Ayahnya mengaransemen musik, menentukan pilihan lagu yang tepat, serta gaya bernyanyi. Mungkin juga, di belakang Gita ada sejumlah orang yang membantu menata koreografi serta para penari latar. Mereka memberi kontribusi pada penampilan Gita yang sangat ceria. Mereka mengemas Gita menjadi sosok penyanyi yang membius para fans yang merayakan masa mudanya dengan bahagia.

Yang bikin saya kian tercengang adalah Gita juga mencipta lagu yang bagus. Ia mencipta lagu Parasit yang didalamnya ada kerinduan untuk terbang jauh hingga ke kutub utara dan terkena hypotermia, pergi berkelana ke Gurun Sahara, hingga akhirnya lenyap ke Segitiga Bermuda. Gita adalah sosok yang imajinasinya berkelana ke mana-mana dengan gembira. Saya suka spirit itu.(*)



Diskusi tentang Antropologi Pengetahuan

DI zaman seperti ini, bisakah kita bicara tentang antropologi pengetahuan? Ketika para sosiolog bicara tentang sosiologi pengetahuan, tentang pengetahuan yang seakan tak lepas dari konteks sosial, maka bagaimana menjelaskan pengetahuan yang sifatnya individual dalam diri seseorang?

Para sosiolog seperti Karl Mannheim banyak menjelaskan tentang proses-proses sosial yang kemudian memberi warna pada corak berpikir individual. Namun, cara berpikir itu seolah menempatkan individu sebagai taklukan dari masyarakat. Individu ibarat tabula rasa yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Ibarat kanvas yang digambari sesuka hati oleh masyarakat. Seolah individu senantiasa berpikir seragam, serta bertindak karena dipandu oleh nilai-nilai yang sifatnya sosial. Lantas, bagaimana menjelaskan tentang pengetahuan yang menyimpang dari kecenderungan umum?

Saya ingin mendiskusikan sebuah istilah yang tidak populer di ranah antropologi yaitu antropologi pengetahuan. Entah kenapa, istilah antropologi pengetahuan bukanlah istilah yang baku dan populer sebagaimana istilah antropologi kesehatan, antropologi ekologi, atau antropologi biologi. Akan tetapi, istilah ini mulai mencuat ketika munculnya pemahaman bahwa proses-proses berpikir manusia dalam interaksinya dengan semesta.

Dari bacaan yang tidak terlalu banyak, saya pertama menemukan banyak uraian tentang proses berpikir ini dari buku karya Celia Loew yang judulnya Wild Profusion: Biodiversity Concervation in an Indonesian Archipelago. Meski Celia tidak secara spesifik menyebut antropologi pengetahuan, namun ia menguraikan secara holistik bagaimana proses-proses berpikir penduduk suku Bajo dan dibandingkan dengan cara berpikir manusia –yang menyebut dirinya modern. Dengan mengutip uraian Imannuel Kant tentang tahap-tahap perkembangan rasio mulai dari empiris hingga rasio kritis, selanjutnya Celia mengurai bagaimana proses berpikir semacam itu juga muncul dalam masyarakat Bajo.

Barangkali Imannuel Kant adalah pemikir yang harus diurai pandangannya demi menyibak antropologi pengetahuan. Pemikiran Kant yang dikategorikan sebagai pintu utama mazhab kritis dalam ilmu sosial bisa menjadi pijakan epistemologis untuk memperkuat bangunan pemikiran tentang antropologi pengetahuan. Tatkala Kant membahas kritik atas fundasi pengetahuan modern, maka sesungguhnya kritik itu bisa ditempatkan sebagai pijar awal dari posisi antropologi pengetahuan.

Seperti halnya Kant, Celia Loew juga menolak konsep rasionalitas yang hanya mengacu pada proses metode ilmiah sebagaimana termaktub dalam paradigma positivistik. Ia menawarkan suatu rasionalitas bentuk lain yang lebih arif dalam memandang bagaimana konsep berpikir orang-orang Bajo di Togean. Meski tak menyebut kata antropologi pengetahuan, namun saya kira uraian Celia hendak menjelaskan bagaimana proses-proses berpikir manusia yang ada pada satu komunitas kecil.

Nah, secara spesifik istilah antropologi pengetahuan saya temukan dalam etnografi karya Thomas Gibson yang terbit tahun 2005 dan berjudul The Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Judul bab 2 buku itu adalah Menuju Pengetahuan Antropologi Simbolik menjadi judul yang menarik dan merepresentasikan posisi teoritis Gibson. Menurutnya, pengetahuan tidak sekedar satu ruang dalam pikiran sebagai data yang dperoleh dari panca indra maupun rasio. Pengetahuan bisa saja melekat di dalam jaringan relasi sosial, praktik-praktik berwujud, perkakas, bahan-bahan baku, dan pengetahuan implisit tentang dunia alamiah. Ia hendak mengatakan bahwa pengetahuan bisa melekat dalam beragam kenderaan simbolik (mengingatkan kata Geertz tentang symbol is vehicle of meaning), dan hanya sebahagian yang terbahasakan.

“Saya percaya bahwa terdapat sebuah hierarki jenis pengetahuan, dari pengetahuan praktis sehari-hari yang implisit hingga pengetahuan ideologis eksplisit yang dipakai oleh agen-agen secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan individual. Di antara dua ekstrem ini, ada lapisan pengetahuan yang cukup luas yang saya namai pengetahuan simbolik,” katanya.

Tiga lapis pengetahuan yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan ideologis, dan pengetahuan simblik adalah gagasan besar Gibons ketika menjelaskan bagaimana warga Makassar berupaya mempertahankan ritual sejak masa silam, dan bagaimana pengetahuan itu bernegosiasi dengan kehadiran VOC yang hendak mempertahankan ritual. Seiring dengan nasionalisme Indonesia, VOC mempertahankan ritual itu sebagai strategi untuk tetap merebut dukungan dari kelompok tradisional atas VOC.

BELUM SELESAI.....



Buku dan Kearifan

BULAN ini layak kunobatkan sebagai bulan buku buatku. Betapa tidak, volume belanja buku bulan ini sungguh banyak jika dibandingkan biasanya. Setelah minggu lalu membeli buku, kemarin lagi-lagi aku membeli dua buku. Kali ini, dua buku motivasi yang kuharapkan bisa melecut semangat untuk tetap membaca dan menulis. Kedua buku itu adalah Ngeblog dengan Hati (Ndoro Kakung), dan Simfoni dalam Diri (Gede Prama).

Aku tak paham, kekuatan apa yang menggerakkanku untuk membeli buku tentang motivasi. Mungkin aku butuh sesuatu yang beda. Aku butuh suntikan motivasi untuk menantang samudera hidup. Mungkin pula, aku sedang ingin berkarib dengan sepi, menyelam ke dalam lubuk hati demi menemukan air jernih dan membasuh diriku. Entahlah.

Buku karya Ndoro Kakung adalah buku pertama yang kubeli tentang blog. Dari sekian banyak blogger yang berseliweran di dunia maya, Ndoro Kakung adalah blogger yang istimewa buatku. Tulisannya singkat, namun pernuh makna. Ia menulis dengan passion dan empati yang dahsyat terhadap sesuatu. Mungkin karena latar belakangnya sebagai jurnalis, memungkinkannya untuk selalu melihat sesuatu dengan mata hati. Dalam pandanganku, seorang jurnalis adalah penyaksi yang setiap hari mengamati lalu-lintas peristiwa. Seorang jurnalis adalah seseorang yang menautkan setiap kepingan peristiwa kemudian mengolahnya menjadi makna. Itulah kekuatan Ndoro Kakung.

Sayangnya, buku ini tidak seperti ekspektasiku. Isinya lebih banyak kiat tentang bagaimana menghasilkan tulisan-tulisan yang bermakna di blog. Padahal, aku mengharapkan sesuatu yang lebih. Aku berharap ada kisah-kisah di balik setiap kejadian. Aku berharap ada inside story atau kisah-kisah behind the scene yang hanya bisa diketahui oleh para jurnalis senior. Mereka bisa membantu kita untuk mengetahui duduk perkara sesuatu secara jelas sekaligus menjadikan sesuatu peristiwa sebagai cermin untuk diambil hikmahnya buat kita semua.

Namun, aku tetap harus salut pada kepiawaiannya memotivasi orang untuk tetap menulis di blog. Ada kalimatnya yang menyentuh. “..... Mengisi blog bukan seperti ikut lomba lari jarak pendek; melejit begitu bendera start dikibaskan untuk berhenti segera dalam tempo singkat. Mengelola blog itu ibarat lari maraton, mungkin lebih jauh lagi. Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tak perlu buru-buru berhenti...“

Lain lagi dengan buku karya Gede Prama. Aku agak terlambat mengenal penulis ini. Sebelumnya, aku mengidolakan Emha Ainun Nadjib. Namun karena karya Emha sudah jarang, aku lalu berpaling ke sejumlah penulis dengan visi kuat. Nah, saat inilah aku menemukan Gede Prama. Kalau tulisan Emha punya emosi yang kuat serta keberanian menyingkap sesuatu yang tampak, maka Gede Prama seolah mengajak kita memasuki keheningan dan melihat sesuatu dengan mata lebih tajam. Tulisan Gede Prama menggugah dan usai membacanya, kita seolah bahagia karena telah menemukan makna. Jika Emha menghentak dan mengejutkan, maka Gede Prama lebih kontemplatif dan mengasah kalbu kita. Sisi inilah yang kutemukan dalam tulisan-tulisan Gede Prama.

Aku masih ingin berkisah banyak. Namun biarkanlah aku menyelami dulu buku Gede Prama hingga tuntas. Semoga ada kearifan yang bisa direguk di situ. Semoga kearifan itu mengalir masuk dalam semua nadi, menjelma dalam darah, dan menelusuri semua tubuhku hingga ke sum-sum terjauh.(*)



Hari-hari yang Bermakna

HARI-hariku kian bermakna. Mama dan adikku datang dan menyemarakkan hari-hari. Keluargaku nyaris lengkap karena kami sama-sama kumpul di Kota Makassar. Kemarin, kami seharian ngobrol dan sesekali tertawa tatkala mengingat banyak kelucuan-kelucuan yang pernah kami lewati. Aku selalu senang dengan suasana seperti ini. Meskipun ada sisi lain dari hatiku yang dicekam sepi. Aku merindukan perempuan itu. Semoga waktu bisa dipintas dan saat pertemuan kian dekat....



Kasih yang Tak Pernah Kering


DUA hari lagi mama akan tiba di Makassar. Betapa senangnya hati ini karena bisa kembali bersama-sama dengan mama yang kian sakit-sakitan. Saya senang karena bisa kembali bersama mama yang melahirkan dan membesarkan. Saya bahagia karena inilah kesempatan emas untuk kembali membahagiakannya, mencarikan makanan kesukaannya, mengantarnya ke tempat-tempat yang disukainya. Membelikannya bubur ayam, menu favoritnya.

Setiap mengingat mama, terasa ada genangan air di kelopak mata ini. Saya bisa merasakan bagaimana kasih yang menggedor-gedor dada ini. Andaikan saya bisa menggendongnya, saya ingin melakukannya. Saya ingin melindungi mama dari semua bahaya dan bencana. Saya ingin membalas semua kebajikan yang ditanamnya pada diri ini. Saya ingin mengganti butiran cinta yang dialirkan dalam darah, kemudian menyelusup ke sela-sela nadi hingga seluruh tubuh. Saya benar-benar tak sanggup menggambarkan bagaimana kasihnya. Sewaktu kecil, saya selalu teringat kata-katanya.”Yus, andaikan saya ini seperti ikan yang bisa melindungi anaknya dengan cara menelan, maka itu sudah lama saya lakukan. Saya ingin melindungi kamu dalam mulutku. Saya ingin kamu aman dari semua bahaya,” katanya.

Seorang mama adalah kisah tentang kasih yang menghampar luas dan tak bertepi. Seorang mama bukan sekedar sosok yang memberi jiwa, memberi napas, dan memberikan nyawa, melainkan sosok yang menjadi malaikat penjaga sekaligus matahari yang menuntun ke mana saya ingin bergerak. Ia tak hanya menghalau hantu-hantu di masa kecil, namun menumbuhkan sikap dan karakter saya untuk teguh mendayung di bahtera kehidupan. Ia adalah semesta yang melingkupi, satu jagad raya yang melingkupi ke manapun saya bergerak. Saya hanyalah satelit yang belajar cinta darinya. Seorang mama adalah dunia dan dimensi tempat saya tumbuh, menghirup oksigen, dan belajar melangkahkan kaki, hingga memandang dunia.

Betapa terkutuknya saya ketika mengabaikan seseorang yang terbangun di malam hari ketika saya menangis karena lapar. Betapa bangsatnya saya ketika mengabaikan seseorang yang memberi saya selimut satu-satunya ketika saya sedang kedinginan sewaktu bayi. Seseorang yang memompa semangat saya untuk melangkah menuju masa depan tanpa rasa takut. Seseorang yang datang memeluk ketika saya ketakutan di malam hari. Seseorang yang ikut menangis tersedu-sedu ketika saya sakit. Seseorang yang jika seluruh lautan dijadikan tinta untuk menulis kebajikannya, maka lautan akan mengering dan masih tetap belum bisa menggambarkan dahsyat cintanya.

Seorang mama adalah api yang membakar semua ketakutanku. Seorang mama adalah embun yang menghangatkan dahaga dalam gersangnya padang pencarian akan setetes cinta. Ia adalah kata pertama di cakrawala pengetahuan yang mengajarkan tentang aksara hidup. Ia membesarkan, namun tak pernah menuntut balas atas apa yang sudah diberikannya.

Saya memang sudah beranjak dewasa. Mestinya inilah saat bagi saya untuk melindunginya dari segala bahaya. Mungkin inilah saat yang tepat bagi saya untuk menggantikan semua tugas-tugas mulianya sebagaimana getar pernah saya dengar dalam syair lagu Buton, “Kugora kumaoge.. bolosi kangulena... palapasi dosaku.. pekangkilo karoku...“ Artinya: “Semoga saya besar ... untuk mengganti lelahnya.... melepas semua dosaku.... membersihkan ragaku…”


Jumat, 19 Juni 2009



Belajar Arif dari Parsudi Suparlan

SAYA pernah mengenal seorang dosen paling killer di Universitas Indonesia (UI). Seorang dosen yang selalu marah-marah pada mahasiswa. Namanya Prof Parsudi Suparlan. Ia memang tidak pernah mengajar saya secara langsung. Tapi namanya selalu menjadi buah bibir. Semua mahasiswa takut sama beliau. Parsudi mengajar dengan penuh disiplin. Ketika mahasiswa sok pintar langsung didampratnya habis-habisan dengan kalimat yang kasar-kasar.

Dulu, saya termasuk mahasiswa yang membenci Parsudi. Saya gabung dengan barisan mahasiswa yang menganggap Parsudi bukanlah dosen yang baik. Ia tidak mengispirasi sebab lakunya adalah marah-marah, meski tanpa alasan yang jelas. Namun, saat ini saya berbalik merindukan Parsudi. Ia memang pemarah, namun sebenarnya ia sedang mengajarkan disiplin kepada mahasiswanya yang suka menggampangkan sesuatu.

Ia memang selalu menghina mahasiswa yang sok pintar, sebab ia ingin mengajarkan sikap intelektualitas yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dipahami. Kepongahan bahwa kita sudah menguasai sesuatu adalah benih awal dari jatuhnya kita ke lembah kebodohan. Pada akhirnya, pengetahuan kita hanyalah tepian pantai dari samudera pengetahuan semesta yang sangat luas. Kita hanya mengais-ngais di kerikil pengetahuan itu, sembari mengintip-intip saat yang tepat untuk memperkaya pengetahuan dengan cara bergerak ke kedalaman samudera pengetahuan itu sendiri.

Saya tiba pada pemahaman ini setelah mengalami langsung bagaimana peran Parsudi. Saya bisa memahami perasaannya, karena saat ini saya juga menjadi pengajar di satu kampus kecil. Di sini, mahasiswa tidak terlalu peduli dengan pijar pengetahuan. Mereka hanya berpikir bagaimana mengejar gelar, setelah itu bekerja di satu tempat bergengsi. Sebenarnya ini tidak mengapa, asalkan mereka bekerja keras untuk mendapatkan nilai. Namun di sini, tidak demikian. Mahasiswa bekerja asal-asalan, malah sama sekali tidak bekerja alias belajar untuk mendapatkan nilai terbaik.

Betapa sulitnya menjadi seorang yang idealis di tempat ini. Betapa sulitnya menjadi seorang yang teguh di tempat ini. Hampir setiap hari saya berhadapan dengan mahasiswa yang menggampangkan sesuatu. Mereka jarang hadir di kelas, tiba-tiba saja muncul satu per satu di saat ujian final test. Banyak yang tak pernah hadir di kelas, namun tiba-tiba saja menelepon dan meminta tugas sebagai pengganti kehadiran. Padahal, saya tidak pernah mengumumkan bahwa ketidakhadiran bisa diganti dengan tugas. Ketika mahasiswa sering tidak hadir di kelas, seyogyanya mahasiswa itu bisa introspeksi dan menelisik apakah dirinya bisa memahami materi ataukah tidak.

Saya dalam posisi yang sangat dilematis dalam menghadapi mahasiswa dengan tipe seperti ini. Jika saya tetap teguh dan bersikap adil dalam memberikan nilai, maka semestinya mereka tidak lulus mata kuliah saya. Bagaimana mungkin memberikan nilai maksimal untuk seseorang yang tak pernah hadir. Sedangkan yang hadir saja belum tentu bisa memahami kuliah itu dengan baik. Apalagi kalau sampai tidak hadir?

Saya dalam posisi dilematis. Barangkali saya mesti banyak berdoa pada Tuhan untuk bisa bersikap adil. Barangkali saya harus meminjam sifat Parsudi yang killer supaya mahasiswa itu bersikap serius dan tidak menggampangkan sesuatu. Mungkin, saya harus meyakinkan diri saya bahwa memberi keadilan adalah bagian dari proses pembelajaran di kampus ini. Namun, seberapa banyak orang yang paham tentang pembelajaran? Apakah mereka-mereka yang buta hati di kampus itu paham bahwa nilai tinggi bukanlah tujuan utama, ketimbang mereguk sesuatu yang bermakna buat hidup kita sendiri?

Mungkin saya harus banyak refleksi. Selama beberapa bulan menjadi pengajar, saya makin paham bahwa sikap marah Parsudi disebabkan oleh banyak hal. Bgarangkali refleksi dan introspeksi bukan cuma sesuatu yang dituntut oleh mahasiswa pada pengajarnya. Namuns esuatu yang sifatnya timbal balik. Sang pengajar berhak menuntut sikap seperti itu kepada sang mahasiswa yang terus saja bebal dan menganggap dirinya sudah hebat setinggi langit.(*)

Jumat, 19 Juni 2009


Perkenalan dengan Sastra dan Sejarah

HARI ini adalah hari yang cukup melelahkan. Sejak pagi sudah ke Pusat Kajian Penelitian (PKP) Unhas dan memimpin rapat tentang Festival Seni Tradisi. Aneh, saya tak punya pengalaman mengkoordinir sebuah pagelaran seni. Tiba-tiba saja ditunjuk jadi ketua panitia. Saya tak mampu menolak. Terpaksa, saya harus belajar mengkoordinir sebuah pementasan. Lagian, waktunya masih lama, Oktober nanti.

Saya ingin berbicara tentang seni dan sastra. Sejak kecil, orang tua tidak memperkenalkan dengan hal-hal yang berbau seni. Mungkin karena orang tua juga tidak berbakat seni, makanya hal itu diwariskan pada anaknya. Konsep kesenian yang saya pahami hanya menyanyi lepas di kamar mandi. Tanpa instrumen. Sekedar berteriak dengan nada yang tidak beraturan. Makanya, saya tumbuh sebagai generasi dengan apresiasi seni yang rendah.

Sewaktu masih di Sekolah Dasar (SD), ada rasa suka pada hal-hal yang menyangkut kata-kata indah. Saya mulai menyukai kegiatan baca puisi atau syair. Apalagi, beberapa buku pelajaran bahasa Indonesia di SD juga memuat beberapa petikan puisi, novel ataupun peribahasa. Sesekali, saya menggunakan kalimat-kalimat indah itu dalam surat yang dikirimkan kepada gadis-gadis. Sayangnya, surat itu tidak berbalas. Saya berprasangka positif: gadis-gadis itu cukup bodoh. Mereka tidak berselera sastra. Padahal, boleh jadi sang gadis yang tidak berselera. Hehehehe….

Saya juga cukup beruntung karena bapak adalah guru sejarah di SMA. Ia banyak menyimpan buku yang di dalamnya penuh dengan cerita rakyat bernuansa sejarah. Semua buku itu saya lahap dengan penuh keasyikan. Makanya, sejak kecil saya sudah cukup hafal bagaimana kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Bagaimana kronik Kerajaan Gowa serta posisi Raja Bone Arung Palakka. Malah, bapak juga menceritakan perang dunia ke-2 dengan gaya yang hingga kini tak bisa saya lupakan. Serasa melihat langsung perang itu, lengkap dengan endingnya yang mencekam ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki.

Jika saya mengingat bacaan itu, rasanya baru kemarin bapak menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah dan manusia di dalamnya. Bapak adalah pencerita yang hebat. Hingga kini, saya masih terkesima dengan kisah-kisahnya tentang revolusi Perancis. Andaikan saya bertemu dengan bapak hari ini, pastilah akan seru. Saya akan mempertanyakan kembali berbagai fakta sejarah yang dikemukakannya hari ini. Bacaan saya sudah jauh melampauinya, namun saya sangsi, apakah saya semempesona bapak ketika mengisahkan sejarah pada seorang anak kecil? Mungkin tidak. Kharisma itu dibawanya ke liang kubur sejak Maret tahun 1997 lalu. Sebuah peristiwa horor yang sempat menghancurkan semua mimpi-mimpi.

Kembali ke soal seni. Harus saya akui bahwa seni, khususnya sastra, adalah sesuatu yang saya temui melalui tuturan bapak dan melalui buku pelajaran. Saya berkenalan dengan Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, hingga Atheis. Saya masih ingat, guru bahasa Indonesia di SMP bernama La Mane Masrul, yang berasal dari Pulau Siompu. Suatu hari, ia menceritakan tentang novel Tenggelamnya Kapal Van Derwick. Yang bikin saya kagum, ia menceritakan kisah itu lewat tutur katanya sendiri, mulai dari awal sampai akhir. Saya terkesima. Bahkan, saya masih ingat kalimat La Mane Masrul yang menceritakan bagaimana kalimat Zainuddin (tokoh utama dalam novel itu) kepada Hayati. “Pantang pisang berjantung dua. Pantang lelaki diberi sisa,“ kata Zainuddin sebagaimana dituturkan La Mane. Saya terkesima. Kata-kata itu saya hapal hingga kini.

Kini, saya harus mengasah kembali bakat di bidang seni. Bukan untuk memainkan seni, namun untuk mengelola pagelaran seni. Saya merasa tidak mampu. Namun jika mengingat kehebatan bapak mengisahkan sastra dan sejarah, saya jadi semangat. Setidaknya, jiwa itu masih mengalir di sini. Dalam darahku!

Tasbih, Cinta, dan Islam Indonesia


SETELAH melalui ‘perjuangan’ yang cukup berat, akhirnya semalam saya bisa nonton film Ketika Cinta Bertasbih. Sejak pemutaran perdana film ini di seluruh wilayah Indonesia, massa membeludak di semua bioskop untuk menyaksikan film ini. Tidak terkecuali Kota Makassar. Sejak hari pertama, saya sudah berusaha mendapatkan karcis. Sayang sekali, saat ke bioskop pada jam 1 siang, karcis sudah habis untuk pemutaran film selama dua hari.

Saat surfing membaca berita di internet, ternyata fenomena yang sama melanda banyak kota di Indonesia. Sebuah pertanyaan menyeruak dalam benak saya, apa sih istimewanya film ini? Apakah film ini muncul di tengah kegersangan film yang berbicara khusus tentang Islam di Indonesia? Ataukah ada sesuatu yang berbeda dan ditawarkan oleh film ini?

Rasa kepenasaranan itu seakan memaksa saya untuk nonton film ini. Kemarin, saya menjalankan niat dengan lebih matang. Sejak jam 10 pagi, saya sudah ke M-Tos untuk antri beli karcis. Apalagi, Tiah dan suaminya Kak Syam juga memesan karcis nonton. Jadinya, saya harus membeli empat karcis. Saat tiba di bioskop, saya terkejut ketika menyaksikan antrian yang sangat panjang, sekitar 30 meter. Terpaksa saya memutuskan untuk tidak antri. Saya melihat di loket ada pengumuman, maksimal lima tiket untuk satu orang. Setelah melobi sana-sini, akhirnya berhasil pula saya mendapatkan seseorang yang bersedia membelikan tiket. Yah, saya harus menerabas aturan demi segera mendapat tiket.

Saya akan mengisahkan bagaimana film ini dalam pandangan saya. Tentu saja, catatan ini sifatnya hanya kesan-kesan yang sifatnya subyektif belaka. Saya bukan orang yang memang khusus belajar bagaimana menafsir sebuah film. Makanya, pandangan ini sifatnya hanya kesaksian lepas semata. Ada beberapa hal yang ingin saya ketengahkan di sini. Pertama, aspek sinematografis berupa teknik-teknik pengambilan gambar hingga karakter tokohnya. Kedua, bagaimana skenario serta momentum dirilisnya film ini. Ketiga, wacana keislaman yang hadir dalam film.

Sinematografis

Saya menganggap kekuatan film ini terletak pada deskripsi dan lanskap Mesir yang diambil secara apik dan menawan. Keindahan Mesir dengan piramida yang menjulang tinggi hingga bangunan bernuansa Islam, nampak mencolok mata. Saya paling suka adegan ketika mobil melintasi piramida. Terlihat megah dan menantang untuk dijelajahi. Sayangnya, beberapa kali kameranya goyang, khususnya pada bagian awal. Kemudian, pengambilan gambarnya sangat standar. Tak ada kejutan-kejutan atau eksplorasi gambar yang menawan sebagaimana film Ayat-Ayat Cinta, saat Maria membuka jendela di suatu pagi. Dalam film ini, semuanya serba datar.

Dalam satu adegan, special effect tidak digarap dengan serius. Saat Azzam berbincang dengan Furqon, sangat nampak kalau mereka berbincang di depan blue screen yang diambil di studio, kemudian seolah-olah mereka berbincang dengan latar belakang langit biru. Kelihatan sekali kalau special effect-nya agak kasar dan asal-asalan. Mungkin saya salah, namun saya serasa menemukan banyak adegan yang mengandalkan sulih suara (dubbing), Nampaknya, para pekerja film agak mengabaikan natural voice sehingga suaranya lebih banyak direkam di studio. Apakah ini keterbatasan alat ataukah keinginan untuk menghadirkan suara yang lebih jelas sehingga mudah ditangkap penonton?

Makanya, saat menyaksikan film ini, saya serasa menyaksikan film-film genre tahun 1970-an dan 1980-an. Tak ada yang istimewa dari sisi teknis sinematografi. Mungkin karena sutradaranya adalah Chaerul Umam yang pernah menggarap banyak film lawas seperti Kejar Daku Kau Kutangkap. Kemudian penulis skenario Imam Tantowi dulunya banyak menggarap film laga seperti Saur Sepuh. Ciri khas mereka adalah alur yang simpel, dan mudah diserap oleh siapapun, dari segala lapis usia.

Ketika menyaksikan film ini, saya senantiasa teringat dengan film-film yang dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman. Alurnya mudah ditebak. Di antara dua tokoh utama, dikelilingi sejumlah tokoh yang agak konyol sehingga film berjalan penuh hiburan dan tidak membosankan. Biasanya, dalam film Rano Karno dan Yessi Gusman, sosok konyol itu adalah Pria Bombom atau Dorman Borisman untuk menghangatkan suasana. Ini ciri khas film tahun 1970-an yang saya lihat kembali dalam film ini. Apakah itu salah? Sama sekali tidak. Inilah yang menjadi kekuatan film. Alurnya cepat dan mengandalkan banyak dialog, namun tidak membosankan. Sepanjang menyaksikan film, para penonton tidak beranjak, bahkan untuk kencing sekalipun. Seorang rekan saya harus menahan kencing selama dua jam, sepanjang pemutaran film ini.

Yang juga paling menarik dari film ini adalah soundtrack yang digarap oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Mereka memang piawai meracik musik yang tepat untuk film ini. Pada bagian opening, terdengar musik seperti irama padang pasir. Kalaupun ada cacat dalam hal ilustrasi musik adalah beberapa kali musik langsung serentak berhenti dan pindah adegan. Sebagai penonton saya agak terganggu. Selain itu, lagu soundtrack beberapa kali diulang-ulang. Kenapa tidak dibuat dalam bentuk ilustrasi atau denting piano dan selanjutnya diulang-ulang? Kalau mau lebih canggih, sekalian saja diolah dalam bentuk orkestra biar kesannya lebih megah.

Hal lain yang cukup mengganggu adalah iklan-iklan terselubung yang masuk dalam film. Misalnya Yamaha Mio, Bank Mandiri Syariah, hingga RCTI. Makanya, banyak dialog yang nampak lucu dan aneh. Misalnya saja dialog antara keluarga di Indonesia yang membahas bagaimana caranya pengiriman uang dari Mesir. Tiba-tiba saja muncul jawaban, “Gampang kok. Hubungi saja ke Mandiri Syari’ah. Ada mobile banking lagi.”

Skenario dan Momentum

Meskipun tema film ini cukup kompleks, namun masih berkisar pada sosok Khoirul Azzam dan Anna Althafunnisa, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Dari sisi akting, penampilan para bintang-bintang baru ini tidaklah mengecewakan. Apalagi, beberapa aktor senior juga ikut bermain sehingga bisa menutupi akting beberapa tokoh yang agak kedodoran. Para aktor senior itu adalah Dedy Mizwar, Slamet Rahardjo Jarot, Niniek L Karim, El Manik, hingga Aspar Paturusi (yang berperan sebagai bapaknya Furqon yang asli Bugis). Kombinasi para aktor senior dan aktor muda ini bisa saling memperkaya dan melengkapi.

Kisah utama yang hendak disampaikan dalam film ini adalah perjalanan Azzam mencari cinta yang kemudian membawanya pada lika-liku pertemuan dengan Anna Althafunnisa. Pertemuannya dimulai ketika Anna ketinggalan buku di satu bis kota, kemudian datanglah sang hero yang kemudian membantunya. Berawal dari ketinggalan buku, berlanjut ke cinta yang bersemi. Namun semuanya tidak mudah. Kisahnya dijalin seperti sinetron. Selalu ada kejutan dan membikin penasaran. Pikiran penonton seakan ’digantung’ tatkala di bagian akhir tertera tulisan to be continued alias bersambung. Sebagai clue, disajikan kilasan-kilasan adegan film Ketika Cinta Bertasbih 2. Yah, mungkin ini pertimbangan pasar. Saya tiba-tiba membayangkan, berapa miliar uang yang ditangguk PT Sinemart dari film ini? Pastilah besar sekali dari dua film ini. Namun saya sebagai pembaca novelnya, tak perlu repot. Cukup membaca ulang novelnya sebab film ini persis sama dengan apa yang ada di novel.

Secara umum, saya melihat film ini cukup berhasil dalam menggiring penonton untuk ke bioskop. Saya melihat banyak keluarga mulai dari ibu, bapak, hingga anak, semuanya sama-sama menonton. Malah, banyak nenek-nenek ikut menonton film ini. Ada pasar besar yang selama ini tidak dijangkau oleh para sineas kita.

Pertanyaan besar yang juga mencuat adalah apakah bagaimana film ini merepresentasikan Islam di Indonesia? Ini yang tidak terlalu dieksplor. Padahal, akan sangat menarik menyaksikan bagaimana nilai-nilai Islam yang dibawa dari tanah Mesir, mengalami sintesa dengan Islam ala pesantren yang berkembang di Jawa. Apakah terjadi benturan, ataukah berjalan seiring dengan menafikan konflik. Mudah-mudahan ini bisa terjawab dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2.(*)


Makassar, 14 Juni 2009

Surat Terbuka buat Ahmadinejad


Tuan Ahmadinejad…. Teriring selamat atas kemenangan anda pada pemilihan Presiden Iran. Saya merasa bangga karena 68 persen bangsa Iran telah menjatuhkan pilihannya kepada anda dengan penuh keyakinan. Sebagaimana saya, mereka juga sama-sama meyakini bahwa anda adalah pria terpilih yang mengemban tugas berat, tidak hanya menghadirkan rasa bangga bagi bangsa Iran, namun kepada umat Islam di seluruh dunia.

Hari ini umat Islam tercerai-berai dan porak-poranda oleh berbagai kepentingan yang datang dari luar. Umat Islam seakan tak punya harga diri ketika menjadi bulan-bulanan mereka yang hendak mengincar minyak dan kekayaan umat Islam. Umat Islam tak berdaya ketika saudaranya bangsa Palestina menjadi sasaran rudal dan bahan peledak bangsa-bangsa lain. Umat Islam menjadi nestapa di negeri sendiri tatkala ekonomi dan keuangan adalah makanan empuk dari negara-negara maju. Umat Islam terpuruk dalam satu lembah kemiskinan dan keterbelakangan, kemudian laksana bola yang dipermainkan bangsa-bangsa lain.

Tuan Ahmadinejad... Anda telah telah menunjukkan kepada bangsa lain bahwa umat Islam laksana singa yang mengaum tatkala kepentingannya diporak-porandakan. Tuan Ahmadinejad telah menghadirkan Islam yang berkerakter kuat. Satu agama yang tidak hanya memiliki tradisi kearifan sebagaimana landasannya telah diletakkan Rasulullah dan seluruh para imam, namun telah ditegakkan oleh umat Muslim di sekujur peradaban sejarah. Tuan telah menunjukkan kepada dunia bahwa Islam membawa damai yang diterbangkan merpati ke seluruh semesta, dan di atas kata damai itu terletak hak untuk menentukan nasib sendiri.

Saya tersentuh dengan sikap anda yang tegas ketika Amerika Serikat melarang penggunaan nuklir. “Mengapa mereka harus melarang kami, sementara mereka terus menimbun nuklir? Siapapun tak boleh menghalangi bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi,“ kata anda dengan suara berapi-api. Lewat ketegasan itu, anda hendak megumumkan kepada dunia bahwa keberanian Ayatullah Khomeini ibarat matahari yang menerangi sisi tergelap peradaban hari ini. Kebajikan dan kecerdasan para imam adalah mercusuar yang membangkitkan kesadaran seluruh bangsa Islam bahwa kita juga punya hak yang sama dengan bangsa manapun.

Tuan Ahmadinejad..... Anda adalah singa yang berhati lembut. Saya tersentuh menyaksikan foto anda yang sedang shalat di pinggir jalan tatkala iring-iringan kenderaan kepresidenan melintas. Saya tersentuh dengan kesederhanaan anda sebagai dosen yang mengajarkan ilmu sebagai jalan pembebasan. Saya tersentuh dengan tindakan anda ketika mengosongkan istana dari segala perabot mewah. Pada akhirnya, --sebagaimana diajarkan Rasul dan para imam—kekayaan bukanlah kekang yang mengendalikan manusia. Anda dan semua pemimpin besar telah mengajarkan bahwa kekayaanlah yang semestinya dipasangi kekang dan diarahkan untuk menyempurnakan hidup manusia.

Tuan Ahmadinejad....... Saya membayangkan anda memimpin negeri ini. Saya membayangkan anda memimpin Indonesia dengan kesederhanaan, kebijaksanaan, dan karakter yang kuat. Mungkin saat itu, saya akan pongah dan menepuk dada sembari berkata, “Inilah bangsa yang saya banggakan. Sebuah bangsa yang melindungi semua rakyatnya. Sebuah bangsa yang menolak pelecehan. Bangsa yang perkasa...“


Makassar, 15 Juni 2009


Peneliti Asing dan Belantara Ketidakmampuan Kita


BARUSAN saya membeli buku baru yang ditulis Thomas Gibson berjudul Kekuasaan Raja, Syekh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000. Buku ini adalah terjemahan dari The Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Tadi, saya sengaja singgah ke Penerbit Ininnawa untuk membeli buku ini. Harganya cukup mahal Rp 70.000, namun tidak semahal bagaimana perjuangan penulisnya untuk menghadirkan buku sejenis.

Sebelum membeli buku ini, bulan lalu saya juga membeli sejumlah buku bagus. Di antaranya adalah Kuasa dan Usaha di Sulawesi Selatan (diedit oleh Roger Tol dan Heather Sutherland), serta buku Navigasi Bugis (karya Gene Ammarell). Kesemua buku ini ditulis oleh para ilmuwan asing tentang Sulawesi Selatan. Karya mereka sangat mumpuni sebab menampilkan hal-hal yang selama ini jarang disentuh oleh ilmuwan setempat.

Setiap kali melihat karya penulis asing tentang Indonesia, saya selalu sakit hati. Saya iri karena kenapa karya sehebat itu tidak dihasilkan oleh para penulis bangsa ini. Apakah kita sama tidak menyadari bahwa kekayaan bangsa kita sendiri telah dinarasikan oleh bangsa lain? Apakah kita tidak punya ‘nasionalisme’ untuk menuliskan sendiri semua hal-hal yang menarik di bangsa ini? Mengapa dalam dunia humaniora, kita masih saja menjadi pemamahbiak atas karya-karya ilmiah yang dituliskan bangsa lain tentang bangsa kita sendiri?

“Kita para peneliti lokal tidak setekun peneliti asing,“ demikian kata kawan seorang staf penerbit Ininnawa. Menurut saya, alasan seperti ini terlalu dibuat-buat. Bukankah ilmu pengetahuan memiliki metode yang bisa dipelajari siapapun yang intens mengkaji fenomena sekitar? Jika soalnya adalah ketekunan, lantas apa sih yang dilakukan oleh para profesor yang saat ini gajinya Rp 13 juta di negara ini?

Mungkin ini bukan cuma soal ketekunan. Tapi ini adalah hasil interaksi dari berbagai unsur yang membuat kondisi dunia riset sosial dan humaniora di negara ini menjadi demikian parah. Soal ketekunan hanyalah satu dari begitu banyak aspek yang saling melengkapi, seperti kinerja para ilmuwan yang lebih sibuk mengurusi dunia politik, ketimbang membikin jejak di dunia ilmiah. Para ilmuwan lokal kita terlalu merasa di atas angin sehingga mereka tidak menyadari bahwa pada field penelitian yang sama, ada sejumlah ilmuwan asing dari berbagai penjuru yang kian menyempurnakan sejumlah kajian dengan berbagai tema. Kita terlalu pongah seolah kitalah ahli waris yang berhak menginterpretasikan suatu kebudayaan.

Di tengah kepongahan itu, kita tak mampu menghasilkan publikasi dengan kualitas sehebat para peneliti asing itu. Publikasi ilmiah kita demikian parah. Karya-karya terbaik di bidang ini justru dilahirkan oleh mereka yang berasal dari negeri lain yang datang meneliti dengan penuh ketekunan dan kesungguhan.

Hal lain yang juga memperparah kondisi ini adalah karena tiadanya kultur akademik yang memadai di kampus-kampus. Seorang ilmuwan di kampus tidaklah diukur dari seberapa banyak publikasi risetnya, namun sedekat apa dia dengan seorang penguasa. Ini negeri yang aneh. Kehebatan seorang ilmuwan bukan dari publikasi akademis, melainkan dari kedekatan dengan politisi. Makanya, saya seringkali menemui para ilmuwan yang sangat bangga karena dekat dengan pejabat dan punya banyak proyek riset pesanan. Riset pesanan itu justru tidak memperkaya body of knowledge dalam diskursus intelektual di Indonesia. Riset itu hanya untuk menambah pundi-pundi keuangan dan hasilnya hanya untuk sekedar legitimasi bahwa satu instansi pemerintah telah menyelenggarakan riset.

Makanya, jangan berharap akan lahir seorang intelektual yang mumpuni di kampus-kampus di tanah air. Pastilah jumlah mereka sangat minoritas, jika dibandingkan berapa kuantitas para pengajar perguruan tinggi. Jangan kaget pula ketika datang serbuan para peneliti asing yang mengkaji kebudayaan kita sendiri. Sementara kita –sebagai pemilik kebudayaan itu—hanya bisa pasrah, termangu dan tak bisa berbuat apa-apa. Kaciaaann deh lo.....!



Laptop Jadul, Laptop Setia

LAPTOP saya ini sudah jadul. Andaikan dia bisa berbicara, barangkali dia akan merintih karena sudah tua dan sakit-sakitan. Mungkin dia akan protes karena sudah renta, masih dibawa ke mana-mana dan digunakan untuk segala keperluan yang vital. Saya selalu trenyuh melihat usia laptop ini. Namun, saya juga bangga setiap melihatnya. Saya merasa puas menggunakannya. Sejak pertama saya beli di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, laptop ini belum pernah dirawat di tempat servis.

Saya membeli laptop ini pada akhir tahun 2006, sekitar bulan November. Saya masih punya catatan di blog, suasana ketika saya membeli laptop ini (lihat http://timurangin.blogspot.com/2006/11/laptop-dan-kos-baru.html). Begitu bahagianya saya ketika membeli benda ini. Tak hanya itu, benda ini juga membuat iri banyak orang. Teman-teman saya di Makassar dan Bau-Bau memandang iri pada benda ini. Beberapa orang, tak malu-malu mengungkapkan rasa irinya dengan benda ini.

Bahkan, adik saya di Kolaka juga ingin memilikinya. Setahun setelah saya beli, ia ingin sekali membelinya. Saya merasa berat hati. Sebab laptop ini sangat vital menemani semua urusan saya. Laptop ini adalah satu-satunya benda yang saya bawa ke manapun saya pergi. Saat mengunjungi banyak tempat, saya jarang membawa banyak baju, melainkan senantiasa membawa laptop ini. Setiap pulang kampung, keluar daerah, malah mengerjakan proyek di Ternate, laptop ini selalu dibawa. Bahkan, saya pernah ke Pulau Moti di Maluku Utara dan menumpang kapal kecil yang nyaris tenggelam. Saat kapal itu oleng, saya tidak memeluk pelampung sebagaimana penumpang lainnya. Saya memeluk laptop ini.

Andai laptop ini bisa bicara, pastilah dia akan bercerita ke mana saja ia pernah dibawa. Laptop ini juga jadi saksi bagaimana perjalanan saya selama kuliah. Mulai dari semester satu, laptop ini sudah menemani saya untuk buat tugas, sampai pada momentum ketika saya mengerjakan tesis. Lagi-lagi, laptop ini yang setia menemani di saat-saat penting seperti itu, hingga akhirnya saya lulus jadi magister.

Anda bisa bayangkan, betapa akrabnya saya dengan laptop ini. Saya menyayangi benda yang kian tua ini. Ketika melihat laptop banyak teman yang makin canggih, saya tak pernah iri. Saya tahu dan saya bangga memiliki benda yang tahan lama dan menemani saya pada berbagai momentum.

Ketakutan terbesar saya adalah jangan sampai usia laptop ini tak lama lagi. Konon, menurut seorang teman di Jakarta, usia maksimal penggunaan laptop adalah sekitar dua tahun. Setelah itu, sebuah laptop akan ‘sakit-sakitan’ hingga akhirnya akan dijual karena tidak sanggup lagi dioperasikan. Saya takut kenyataan itu akan terjadi. Saat ini, saya belum punya niat untuk menggantinya. Andaikan itu benar terjadi, barangkali saya ingin memiliki sebuah netbook. Saya ingin memiliki laptop kecil yang ringan dan bisa dibawa ke mana-mana. Inilah obsesi saya jika kelak laptop ini sudah rusak.

Hari ini, saya memandang laptop ini dengan tatap bangga. Barusan saya belikan modem internal biar bisa menangkap sinyal hotspot. Kasian, laptop ini dan generasinya tak dilengkapi perangkat untuk mendeteksi sinyal wireless. Tapi tak apa. Saya sudah membelikan modem wireless. Kini, laptop ini naik pangkat atau naik status. Dari laptop tanpa modem hotspot, menjadi laptop yang sanggup menangkap hotspot. Nah, tulisan ini adalah tulisan pertama yang diposting dengan menggunakan modem yang baru ini.

I Love U My Laptop....


Perempuan yang Pergi Sesaat


HARI ini, perempuan itu akan meninggalkan Makassar. Ada raung yang tertahan di batu karang hati ini. Ada sedih yang tak bisa dilepas ke udara. Ada banyak suara yang tak terucap. Mungkin hari ini adalah hari yang berat untuk kulalui. Namun, apa daya. Tarikan mimpi, idealisme serta keinginan untuk bergerak ke depan jauh lebih kuat menariknya ke kota lain, kota yang jauh dari jangkauanku.

Aku berharap banyak. Pada suatu kepulangan nanti, perempuan itu tak pernah lupa dengan ikrar yang pernah kami dengungkan pada suatu saat, ketika sama-sama membuat pahatan ingatan di satu mal. Aku hanya bisa menitipkan harapan sebagaimana yang pernah kuucapkan pada seorang gadis yang belum mandi di suatu pagi. Pada seorang dara yang selalu merengek dan minta dimanjakan.

“Bukankah ini hanya sementara?” katanya. Ya benar. Ini hanya sesaat. Namun pernahkah ia sadar bahwa sesaat baginya adalah bertahun-tahun bagiku. Sesaat baginya adalah ibarat kemarau panjang yang menggersangkan semua padang hatiku, mengeringkan seluruh mata air dan sungai kebehagiaanku. Sesaat baginya adalah limit waktu yang tak bisa ditakar dengan detik demi detik serta batasan waktu yang dirumuskan para fisikawan.

Kami memang harus terus berjalan. Mungkin setelah ini, aku harus kembali memulai hari, titik nol dari rentang panjang ambisi dan rencanaku. Sebagaimana dirinya, akupun harus bergerak menuju matahari. Mungkin, hal yang tidak boleh kulalaikan adalah menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk kelak sama-sama berperahu di samudera kkehidupan. Bekal yang kelak akan memadamkan haus, mengatasi lapar, mengisi tabung oksigen keceriaan kami. Pada suatu masa kelak..... Sebuah masa yang –semoga—tak lama lagi. Semoga Yang Kuasa membukakan pintu langit untuk beribu mantra yang kami rapalkan.(*)

Kembali Modifikasi Blog

PARA pembaca yang budiman. Ini sekedar pemberitahuan. Blog ini kembali mengalami modifikasi. Tujuannya adalah agar tidak jenuh dengan pemandangan yang itu-itu saja. Saya paham bahwa dalam dunia blog, tampilan bukan segalanya. Tampilan cuma sekedar teras kecil di mana setiap orang bias singgah sejenak untuk melepas lelah. Hal paling penting di dunia blog adalah kemampuan untuk terus menulis berbagai hal baru dalam kehidupan. Kesediaan untuk berbagi dengan sesama, baik itu pikiran lepas, resah, ataupun sedih yang berkarat. Dengan cara berbagai, semua beban itu jadi ringan, dan kita menjadi lebih baik, lebih terang melihat hari.

Namun, saya juga sadar bahwa modifikasi blog tetap penting agar saya sendiri tidak bosan. Bagi saya, modifikasi ini hanyalah cara untuk menstimulasi diri saya agar tetap setia menulis segala hal-hal yang menarik, hal-hal yang mungkin luput dari perhatian kita, maupun perhatian media konvensional. Untuk itu, modifikasi hanyalah strategi untuk tetap semangat dan keinginan untuk melihat hal-hal yang baru.

Kali ini, modifikasi yang saya lakukan adalah pada tampilan foto latar. Saya sengaja menganntinya dengan gambar perahu sebagai metafor bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang dilalui serupa orang berperahu. Ada riak ombak, gelombang, serta sesekali bahaya yang mengintai. Kemampuan untuk melewati berbagai masalah itu adalah bagian dari seni kehidupan yang memperkaya khasanah pengalaman kita sendiri.

Modifikasi lain yang saya lakukan adalah penambahan bloglist yaitu daftar yang memuat perkembangan blog rekan-rekan kita. Kali ini, saya cuma memasang beberapa blog sebagai partner yaitu terasimaji (dwi), atun, ismet, goenawan mohammad, dewi lestari, dan es ito. Mereka adalah orang dekat yang sedang belajar ataupun mereka yang sudah lama eksis di dunia blog.(*)




Foto Lucu




FOTO-foto lucu bersama seseorang. Kami sedang nongkrong di Kedai Bumi, sembari main internet. Lihat ekspresinya yang aneh-aneh, seperti Pat Kay dalam legenda masyhur Sun Go Kong. Sementara saya sendiri mirip dengan Biksu Thong. Hehehehe....



Gambar Raksasa


SEORANG sahabat –tanpa seijin saya—mengambil foto di fesbuk, kemudian mengolah foto itu dengan software. Sahabat itu adalah seorang ahli di bidang desain. Ia lihai dan laksana pelukis mempermak foto itu dan mengolahnya sehingga tampak mencengangkan. Seolah-olah, foto itu dilukis di satu dinding besar oleh sejumlah pekerja. Saya terkejut melihat olahannya. Nampaknya, sahabat ini sangat profesional dalam mengolah gambar. Tampak begitu hidup, seolah-olah gambar asli. Lewat blog ini, saya ingin mengucapkan terimakasih atas kreasinya. Thanks.....



Traveler, Pekerjaan yang Paling Asyik


SALAH satu pekerjaan yang paling menyenangkan adalah menjadi jurnalis majalah wisata atau menjadi penjelajah (traveler). Kita bisa berkeliling melihat-lihat banyak tempat, menuliskan kesan kita, kemudian memotret sana-sini. Betapa menyenangkannya pekerjaan itu. Jika ada begitu banyak manusia yang rela membayar mahal untuk hobi jalan-jalan, maka seorang jurnalis atau penulis laporan perjalanan bisa keliling-keliling secara gratis dan dibayar. Duh....Senangnya!!....

Hari ini saya bincang-bincang dengan seorang mahasiswa saya di kelas eksekutif, Universitas Fajar (Unifa). Mahasiswa yang sebaya dengan saya ini adalah pemimpin redaksi majalah Potret Wisata yang isinya adalah catatan perjalanan mengunjungi lokasi-lokasi wisata di Indonesia Timur. Ia bercerita tentang begitu padatnya jadwal perjalanannya, sampai-sampai ia kerepotan mengatur waktu. Di akhir ceritanya, ia mengajak saya untuk sesekali membantunya meliput perjalanan ke satu lokasi wisata.

Ia sedang kerepotan mengatur jadwal di majalahnya. Sebab begitu banyak pekerjaan dirangkapnya, mulai dari reporter hingga pemimpin redaksi. Pekerjaan itu mulai melelahkan baginya. Mulai membawa stres. Perjalanan tidak lagi menyenangkan sebagaimana dirasakan seorang reporter pemula. Belum lama ini, ia menolak ajakan ke Hongkong karena tidak tahu siapa yang akan membantunya untuk menulis liputan perjalanan di Hongkong. Lagian, jika ia ke Hongkong, jadwal kerja di majalahnya bisa kacau dan tidak ada orang yang dipercaya untuk mengurusi itu. Makanya, ia mengajak saya berbincang-bincang. Ia berharap agar saya bisa membantunya untuk sesekali menulis artikel tentang perjalanan.

Saya langsung senyum-senyum ketika mendengar kisah dan permintaannya. Siapa sih yang menolak ajakan jalan-jalan melihat kekayaan budaya, aneka ragam manusia, serta keindahan panorama di satu tempat? Orang bodoh mana yang akan menolak ajakan untuk bepergian secara gratis ke mana-mana, termasuk sewa hotel, serta biaya menyaksikan tempat-tempat eksotis? Saya menatap mahasiswa ini dengan tatap kagum. Betapa senangnya menjalani profesi yang sebagaimana dikatakannya, “Saya jalan-jalan ke mana-mana dan dibayar. Enak khan?”

Sayangnya, saya tidak bisa membantunya selama 24 jam. Ada sejumlah hal-hal yang juga sedang saya lakukan. Namun, saya berjanji untuk membantu sebisa-bisanya. Sebagai dosennya, saya akan mengupayakan segala hal untuk membantunya. Saya sangat bahagia bila mendengar ada seorang mahasiswa yang bisa survive di tengah susahnya lapangan kerja. Saya senang karena ia bisa mandiri dan bisa mendapatkan duit dari hobinya jalan-jalan.

Nah, saat berbincang dengannya, saya tiba-tiba teringat seorang perempuan yang kini bekerja di bank. Sebut saja namanya Saraswati. Salah satu obsesinya adalah bisa bekerja di satu majalah wisata dan keliling-keliling mengunjungi banyak tempat. Bahkan obsesi itu sempat dicatatnya di buku curhat yang isinya adalah daftar keinginan. Ada banyak keinginannya. Selain menjadi peliput laporan perjalanan, ia juga ingin sekali bisa bergondola di Venesia. Lantas, andaikan perempuan itu yang mendapatkan tawaran ini, apakah gerangan reaksinya? Mungkinkah ia akan melompat-lompat seperti anak kecil yang dapat layangan baru? Mudah-mudahan perempuan itu akan menjawab semua pertanyaan melalui blog ini. Gimana Saras...?



Perih Perempuan saat Kampanye Pilpres

MANOHARA dan Sitti Hajar adalah perempuan yang sama-sama menjadi korban keberingasan para majikan di Malaysia. Meskipun keduanya berbeda latar sosial, namun sama-sama mengalami beban penderitaan yang sama sebagai perempuan. Keduanya adalah potret dari perempuan negeri ini yang merantau ke negeri asing, kemudian menjalani nasib yang mengenaskan.

Betapa tak adilnya jika kita harus mengabaikan mereka. Keduanya adalah puncak gunung es dari banyaknya kasus serupa yang menimpa warga Indonesia. Sedemikian banyaknya kasus sehingga membuat kita tidak peka pada penderitaan sesama anak bangsa. Anehnya, pemerintah negara ini seperti tutup kuping dan tutup mata atas banyaknya kasus serupa. Idealnya, pemerintah harus melindungi warganya tanpa pandang bulu, dan di saat apapun. Bukankah perlindungan itu menjadi esensi utama mengapa kita bernegara? Ketika negara tidak lagi melindungi warga, lantas untuk apa kita hidup bernegara? Bubarkan saja negara jika hanya menjadi ladang korupsi dan memperkaya sejumlah orang. Mendingan kita bikin negara baru dengan sistem yang jauh lebih adil.

Saya melihat kasus Sitti Hajar --yang tengah hangat di media massa—sangatlah menarik. Betapa tidak, kasus penyiksaan TKI ini mencuat, saat Indonesia tengah memasuki masa-masa kampanye pemilihan presiden (pilpres). Kasus Sitti Hajar mencuat ketika Presiden SBY tiba-tiba menelepon dan memberikan simpati. Andaikan Sitti Hajar tidak menangis perih di ajang kampanye, mungkin soalnya akan lain. Mungkin saja kasusnya akan tenggelam sebagaimana yang pernah dialami Nirmala Bonat, seorang TKW yang disiksa majikannya di Malaysia hingga luka parah.

Jika kesadaran pemerintah untuk melindungi warga hanya lahir pada monetum tertentu, lantas apakah semua TKW yang selanjutnya disiksa akan mendapat perlindungan yang sama? Saya khawatir jika jawabannya adalah tidak. Bangsa kita belum bisa menjelmakan laku kebajikan sebagai bagian dari kewajiban bersama. Solidaritas sosial untuk membantu sesama lebih peka dirasakan oleh warga biasa, ketimbang pemerintah. Buktinya, ketika kasus Prita mencuat, maka masyarakat yang lebih dahulu ribut-ribut dan memaksa negara segera turun tangan.

Artinya, di negara ini, peran negara adalah sebagai “pemadam kebakaran” atau pemadam sebuah isu yang sudah menyebar. Negara tidak bisa memprediksi atau mengkalkulasi apa yang seharusnya menjadi kewajibannya. Negara ini bisa hadir tatkala kita sama-sama mencambuk atau menghardiknya dengan cara demonstrasi ramai-ramai sambil meneriakkan kalimat desakan pada negara. Ini negara keledai yang harus dicambuk dulu baru mau meringkik.(*)