SETELAH melalui ‘perjuangan’ yang cukup berat, akhirnya semalam saya bisa nonton film Ketika Cinta Bertasbih. Sejak pemutaran perdana film ini di seluruh wilayah Indonesia, massa membeludak di semua bioskop untuk menyaksikan film ini. Tidak terkecuali Kota Makassar. Sejak hari pertama, saya sudah berusaha mendapatkan karcis. Sayang sekali, saat ke bioskop pada jam 1 siang, karcis sudah habis untuk pemutaran film selama dua hari.
Saat surfing membaca berita di internet, ternyata fenomena yang sama melanda banyak kota di Indonesia. Sebuah pertanyaan menyeruak dalam benak saya, apa sih istimewanya film ini? Apakah film ini muncul di tengah kegersangan film yang berbicara khusus tentang Islam di Indonesia? Ataukah ada sesuatu yang berbeda dan ditawarkan oleh film ini?
Rasa kepenasaranan itu seakan memaksa saya untuk nonton film ini. Kemarin, saya menjalankan niat dengan lebih matang. Sejak jam 10 pagi, saya sudah ke M-Tos untuk antri beli karcis. Apalagi, Tiah dan suaminya Kak Syam juga memesan karcis nonton. Jadinya, saya harus membeli empat karcis. Saat tiba di bioskop, saya terkejut ketika menyaksikan antrian yang sangat panjang, sekitar 30 meter. Terpaksa saya memutuskan untuk tidak antri. Saya melihat di loket ada pengumuman, maksimal lima tiket untuk satu orang. Setelah melobi sana-sini, akhirnya berhasil pula saya mendapatkan seseorang yang bersedia membelikan tiket. Yah, saya harus menerabas aturan demi segera mendapat tiket.
Saya akan mengisahkan bagaimana film ini dalam pandangan saya. Tentu saja, catatan ini sifatnya hanya kesan-kesan yang sifatnya subyektif belaka. Saya bukan orang yang memang khusus belajar bagaimana menafsir sebuah film. Makanya, pandangan ini sifatnya hanya kesaksian lepas semata. Ada beberapa hal yang ingin saya ketengahkan di sini. Pertama, aspek sinematografis berupa teknik-teknik pengambilan gambar hingga karakter tokohnya. Kedua, bagaimana skenario serta momentum dirilisnya film ini. Ketiga, wacana keislaman yang hadir dalam film.
Sinematografis
Saya menganggap kekuatan film ini terletak pada deskripsi dan lanskap Mesir yang diambil secara apik dan menawan. Keindahan Mesir dengan piramida yang menjulang tinggi hingga bangunan bernuansa Islam, nampak mencolok mata. Saya paling suka adegan ketika mobil melintasi piramida. Terlihat megah dan menantang untuk dijelajahi. Sayangnya, beberapa kali kameranya goyang, khususnya pada bagian awal. Kemudian, pengambilan gambarnya sangat standar. Tak ada kejutan-kejutan atau eksplorasi gambar yang menawan sebagaimana film Ayat-Ayat Cinta, saat Maria membuka jendela di suatu pagi. Dalam film ini, semuanya serba datar.
Dalam satu adegan, special effect tidak digarap dengan serius. Saat Azzam berbincang dengan Furqon, sangat nampak kalau mereka berbincang di depan blue screen yang diambil di studio, kemudian seolah-olah mereka berbincang dengan latar belakang langit biru. Kelihatan sekali kalau special effect-nya agak kasar dan asal-asalan. Mungkin saya salah, namun saya serasa menemukan banyak adegan yang mengandalkan sulih suara (dubbing), Nampaknya, para pekerja film agak mengabaikan natural voice sehingga suaranya lebih banyak direkam di studio. Apakah ini keterbatasan alat ataukah keinginan untuk menghadirkan suara yang lebih jelas sehingga mudah ditangkap penonton?
Makanya, saat menyaksikan film ini, saya serasa menyaksikan film-film genre tahun 1970-an dan 1980-an. Tak ada yang istimewa dari sisi teknis sinematografi. Mungkin karena sutradaranya adalah Chaerul Umam yang pernah menggarap banyak film lawas seperti Kejar Daku Kau Kutangkap. Kemudian penulis skenario Imam Tantowi dulunya banyak menggarap film laga seperti Saur Sepuh. Ciri khas mereka adalah alur yang simpel, dan mudah diserap oleh siapapun, dari segala lapis usia.
Ketika menyaksikan film ini, saya senantiasa teringat dengan film-film yang dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman. Alurnya mudah ditebak. Di antara dua tokoh utama, dikelilingi sejumlah tokoh yang agak konyol sehingga film berjalan penuh hiburan dan tidak membosankan. Biasanya, dalam film Rano Karno dan Yessi Gusman, sosok konyol itu adalah Pria Bombom atau Dorman Borisman untuk menghangatkan suasana. Ini ciri khas film tahun 1970-an yang saya lihat kembali dalam film ini. Apakah itu salah? Sama sekali tidak. Inilah yang menjadi kekuatan film. Alurnya cepat dan mengandalkan banyak dialog, namun tidak membosankan. Sepanjang menyaksikan film, para penonton tidak beranjak, bahkan untuk kencing sekalipun. Seorang rekan saya harus menahan kencing selama dua jam, sepanjang pemutaran film ini.
Yang juga paling menarik dari film ini adalah soundtrack yang digarap oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Mereka memang piawai meracik musik yang tepat untuk film ini. Pada bagian opening, terdengar musik seperti irama padang pasir. Kalaupun ada cacat dalam hal ilustrasi musik adalah beberapa kali musik langsung serentak berhenti dan pindah adegan. Sebagai penonton saya agak terganggu. Selain itu, lagu soundtrack beberapa kali diulang-ulang. Kenapa tidak dibuat dalam bentuk ilustrasi atau denting piano dan selanjutnya diulang-ulang? Kalau mau lebih canggih, sekalian saja diolah dalam bentuk orkestra biar kesannya lebih megah.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah iklan-iklan terselubung yang masuk dalam film. Misalnya Yamaha Mio, Bank Mandiri Syariah, hingga RCTI. Makanya, banyak dialog yang nampak lucu dan aneh. Misalnya saja dialog antara keluarga di Indonesia yang membahas bagaimana caranya pengiriman uang dari Mesir. Tiba-tiba saja muncul jawaban, “Gampang kok. Hubungi saja ke Mandiri Syari’ah. Ada mobile banking lagi.”
Skenario dan Momentum
Meskipun tema film ini cukup kompleks, namun masih berkisar pada sosok Khoirul Azzam dan Anna Althafunnisa, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Dari sisi akting, penampilan para bintang-bintang baru ini tidaklah mengecewakan. Apalagi, beberapa aktor senior juga ikut bermain sehingga bisa menutupi akting beberapa tokoh yang agak kedodoran. Para aktor senior itu adalah Dedy Mizwar, Slamet Rahardjo Jarot, Niniek L Karim, El Manik, hingga Aspar Paturusi (yang berperan sebagai bapaknya Furqon yang asli Bugis). Kombinasi para aktor senior dan aktor muda ini bisa saling memperkaya dan melengkapi.
Kisah utama yang hendak disampaikan dalam film ini adalah perjalanan Azzam mencari cinta yang kemudian membawanya pada lika-liku pertemuan dengan Anna Althafunnisa. Pertemuannya dimulai ketika Anna ketinggalan buku di satu bis kota, kemudian datanglah sang hero yang kemudian membantunya. Berawal dari ketinggalan buku, berlanjut ke cinta yang bersemi. Namun semuanya tidak mudah. Kisahnya dijalin seperti sinetron. Selalu ada kejutan dan membikin penasaran. Pikiran penonton seakan ’digantung’ tatkala di bagian akhir tertera tulisan to be continued alias bersambung. Sebagai clue, disajikan kilasan-kilasan adegan film Ketika Cinta Bertasbih 2. Yah, mungkin ini pertimbangan pasar. Saya tiba-tiba membayangkan, berapa miliar uang yang ditangguk PT Sinemart dari film ini? Pastilah besar sekali dari dua film ini. Namun saya sebagai pembaca novelnya, tak perlu repot. Cukup membaca ulang novelnya sebab film ini persis sama dengan apa yang ada di novel.
Secara umum, saya melihat film ini cukup berhasil dalam menggiring penonton untuk ke bioskop. Saya melihat banyak keluarga mulai dari ibu, bapak, hingga anak, semuanya sama-sama menonton. Malah, banyak nenek-nenek ikut menonton film ini. Ada pasar besar yang selama ini tidak dijangkau oleh para sineas kita.
Pertanyaan besar yang juga mencuat adalah apakah bagaimana film ini merepresentasikan Islam di Indonesia? Ini yang tidak terlalu dieksplor. Padahal, akan sangat menarik menyaksikan bagaimana nilai-nilai Islam yang dibawa dari tanah Mesir, mengalami sintesa dengan Islam ala pesantren yang berkembang di Jawa. Apakah terjadi benturan, ataukah berjalan seiring dengan menafikan konflik. Mudah-mudahan ini bisa terjawab dalam film Ketika Cinta Bertasbih 2.(*)
Makassar, 14 Juni 2009