Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018




TAHUN 2018 akan segera berlalu. Orang-orang mulai menyusun rencana untuk berlibur. Kompleks perumahan yang saya diami mulai sepi. Banyak yang liburan di kampung halaman. Suasananya seperti libur Lebaran. 

Dalam suasana seperti ini, saya melirik beberapa buku yang saya koleksi di sepanjang tahun 2018. Pilihan buku menunjukkan evolusi perkembangan pemikiran seseorang. Di masa kuliah, hampir semua buku filsafat, saya koleksi. Kemudian, saya mulai meminati humaniora dan sejarah.

Namun, dari buku-buku yang saya baca di sepanjang tahun 2018, sepertinya minat saya bertambah lagi. Tampaknya saya mulai menyukai tema-tema bisnis, marketing, teknologi, media sosial, politik pemasaran, hingga hal-hal yang sifatnya praktis dan populer.

Buku marketing pertama yang saya baca adalah buku yang ditulis Hermawan Kertajaya. Saya tidak menyangka kalau orang-orang marketing sangat memahami antropologi. Buku marketing selalu induktif, memulai dari kasus-kasus, kemudian mencari insight teoritis yang kemudian bisa digunakan kembali untuk memahami kasus lain.

Orang marketing memahami budaya dengan baik, memahami dinamika manusia, demi memasarkan sesuatu. Tema-tema marketing bergeser ke bagaimana membangun hubungan antar manusia yang saling bermakna. Anda tak mungkin bisa memasarkan sesuatu jika tak ada trust atau kepercayaan. 

Saya juga menyukai tema-tema disrupsi dan media baru. Saya melihat ada banyak hal yang berubah di tahun-tahun mendatang. Saya sudah banyak bertemu generasi milenial yang tidak suka bekerja di satu tempat mapan. Mereka suka bekerja di warung kopi atau kafe. Saya pun belakangan mengalami ritme kerja seperti itu.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Internet telah mengubah interaksi manusia, kemudian mengubah banyak hal. Jika tak berbenah, maka semua yang mapan akan tergusur. Beberapa teman produser televisi sudah mengeluh mulai kehilangan pasar dan iklan.  Kampus mulai ditinggalkan karena banyak kuliah praktis online. 

Bahkan mal-mal mulai kehilangan calon pembeli karena kian maraknya belanja online. Media mainstream juga mulai banyak yang keteteran mengikuti cepatnya dinamika di media sosial.

Tapi untuk soal buku, saya masih terbilang generasi lama. Saya masih belum siap untuk membaca buku di Ipad atau laptop. Saya masih menikmati saat-saat mendatangi toko buku demi bertemu banyak buku, kemudian jatuh cinta dengan beberapa di antaranya. 

Buku adalah kekasih yang selalu setia. Dia tak pernah menuntut untuk dibaca, namun pada saat kamu menggenggamnya, dia tak segan-segan membuka banyak gerbang untuk kamu jelajahi dan renangi sejauh-jauhnya. Momen perjumpaan dengan buku adalah momen magis. Terasa seperti bertemu sahabat yang akan menemani kita untuk menjelajah ke satu genangan kata-kata.

BACA: Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Bagi saya yang suka mendatangi toko buku, tahun 2018 adalah tahun yang cukup menyedihkan. Toko buku memang belum punah, tetapi jumlah rak toko buku semakin berkurang. Pihak toko lebih suka memajang stationery hingga alat-alat musik dan olahraga di toko buku. Saya juga merasa kehilangan karena beberapa toko buku besar, di antaranya Toko Gunung Agung, kini punah. 

Bagi penggila buku, ini adalah saat menyedihkan. Di tambah lagi, banyak penerbit yang lebih suka memasarkan buku secara online sebab toko buku terlalu banyak mengambil keuntungan penerbit dan pengarang. Padahal, bagi saya, ada kenikmatan tersendiri ketika datang ke toko buku bersama keluarga, kemudian membuka lembar demi lembar buku yang dipajang. Wanginya khas.

Di tengah suasana sepi itu, saya coba menyusun beberapa buku yang saya sukai di tahun 2018. Buku-buku itu adalah:


21 Lessons for 21st Century (Yuval Noah Harari)



Sejak tahun 2017, saya adalah penggemar berat sejarawan asal Israel Yuval Noah Harari, yang meraih gelar PhD bidang sejarah di Oxford. Saya menyukai semua buku-bukunya, mulai dari Sapiens, Homo Deus, dan kini 21 Lessons. Jika Sapiens membahas sejarah ringkas manusia, Homo Deus membahas sejarah manusia masa depan, maka 21 Lessons membahas dinamika manusia masa kini.

Dia mendiskusikan berbagai topik yang menarik. Mulai dari post-truth (pasca-kebenaran), fenomena big data dan limpahan informasi, hoaks atau penyesatan informasi, hingga bagaimana tatanan dunia yang berkembang sekarang. Saya menikmati uraian Yuval sebagai seorang sejarawan yang spektrum pembahasannya sangat luas.

Benar kata orang, sejarah adalah ibu dari ilmu pengetahuan. Melalui sejarah, kita bisa mendiskusikan semua topik, mulai dari politik hingga kuliner. Bahkan kita bisa membaca masa depan melalui pemahaman yang baik atas masa lalu dan masa kini. Saya setuju dengan Bill Gates, buku 21 Lessons adalah buku terbaik di tahun 2018. (BACA: Dari Big Data Hingga Kediktatoran Digital)


The Great Shifting (Rhenald Kasali)


Judul buku ini berbahasa Inggris, padahal isinya berbahasa Indonesia. Ditulis oleh seorang profesor bidang pemasaran yakni Rhenald Kasali. Saya membaca buku setebal 523 halaman ini tanpa ada jeda. Maksudnya, ketika membacanya, saya tidak berhenti sampai selesai. 

Isinya sangat menarik. Dia membahas fenomena disrupsi yang menyebabkan banyak bisnis ambruk. Namun tidak semuanya menerima takdir ditelan zaman. Banyak yang belajar bertahan serta berselancar di dunia yang serba berubah ini. Rhenald membahas beberapa hal baru, seperti berubahnya platform, sharing economy, teknologi yang mengubah interaksi, hingga esteem economy, yakni ekonomi yang berdasar pada pengakuan.

Dia pun menyediakan peta perubahan untuk bisnis, di antaranya tema-tema seperti insurtech, fintech, online game, hingga belanja online dan factory outlet. Buku ini semacam jendela masa kini dan masa depan. Saya suka kalimat di sampul buku: “Lebih baik pegang kendali daripada dikuasai.” Ini buku bagus bagi semua pihak yang ingin membaca tanda–tanda zaman, tak hanya buat para pebisnis.


The Death of Expertise (Tom Nichols)



Saya membaca buku ini sejak tahun lalu. Tapi ketika edisi bahasa Indonesia, yang berjudul Matinya Kepakaran, muncul di toko buku, saya kembali membacanya. Buku ini ibarat mercon yang meledak di kepala saya sebab mengangkat satu hal yang setiap hari saya saksikan di media sosial.

Kata penulisnya, ini adalah era di mana manusia dikendalikan para produsen informasi, yang tidak semuanya bisa diverifikasi. Di era ini, sekeping informasi di Whatsapp dianggap lebih valid ketimbang riset-riset yang bertebaran. Jangan berharap ada diskusi yang sehat. Jangan berharap ada pencerahan karena berbagai fakta diurai dan didiskusikan. 

Tom Nichols membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara keilmuan dibuang jauh-jauh, sebab orang-orang terlanjur percaya pada satu kebenaran yakni sesuai dengan apa yang dia yakini. (BACA: Saat membaca The Death of Expertise)


Citizen 4.0 (Hermawan Kertajaya)



Buku ini adalah refleksi perjalanan Hermawan Kertajaya yang menyaksikan fenomena pemasaran dalam tingkah laku orang-orang di sekitarnya. Pada usia 70 tahun, Hermawan telah bertransformasi menjadi seorang filosof ataupun begawan yang kerap melakukan refleksi tentang apa pun di sekitarnya. 

Sebagaimana buku sebelumnya, Hermawan menjelaskan fenomena marketing yang terus bergeser. Dunia semakin horizontal, inklusif, dan sosial. Dunia meninggalkan tatanan hierarki dan top-down menjadi tatanan yang egaliter dan horizontal. 

Komunikasi masyarakat serupa komunikasi di media sosial yang sejajar, tanpa ada posisi yang lebih tinggi. Masyarakat kian bergeser dan tidak lagi mempersoalkan perbedaan suku, agama, dan bangsa. Masyarakat perlahan menjadi “citizen of the world.” (BACA: Citizen 4.0 dan Kearifan Hermawan)


Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Reveals Abour Who We Really Are  (Seth Stephens Davidowitz)



Di Amerika Serikat, buku ini terbit tahun 2017. Tapi di Indonesia, buku ini beredar bulan November 2018.  Penulisnya, sering disapa Seth, bekerja sebagai data scientist di Google. Dia meraih PhD bidang ekonomi di Harvard. Buku ini ditulis dengan renyah sebab penulisnya adalah kolumnis New York Times. 

Buku ini menarik sebab menawarkan cara baru untuk memahami satu persoalan. Selama ini, para ilmuwan hanya terpaku pada riset kuantitatif dan survei untuk memotret gejala atau kenyataan (yang disebut di buku ini sebagai small data). Buku ini menawarkan cara baru yakni mengandalkan big data yakni mesin pencari Google.

Kata penulisnya, orang-orang tampak normal dan baik-baik saja di dunia nyata. Tapi saat dia berhadapan dengan Google, orang-orang akan menjadi dirinya sendiri. Makanya, data yang direkam Google sering mengejutkan.  Ini pula penjelas mengapa mengolah big data yakni data-data yang ada di Google lebih akurat dari survei mana pun. 

Buku ini cukup mengejutkan sebab menyingkap banyak hal tabu, misalnya rasisme, tema-tema seks, hingga berbagai kebohongan lainnya. (BACA: Saat Membaca Everybody Lies)


Labu Wana Labu Rope (Susanto Zuhdi)



Saya terbilang subyektif saat menyebutkan buku yang ditulis Profesor Susanto Zuhdi, guru besar ilmu sejarah Universitas Indonesia (UI) ini. Yang dibahas di sini adalah sejarah Buton, kampung halaman saya. Buku ini diolah dari disertasinya mengenai Kesultanan Buton pada abad ke-16 dan 17. 

Susanto berani mengkaji Buton sebagai pulau kecil yang selama puluhan tahun terabaikan dalam peta sejarah nasional. Dia menunjukkan dinamika sejarah di pulau kecil, serta perlunya untuk memahami Indonesia dari tepian, dari pulau-pulau terabaikan.

Susanto meletakkan Buton dalam posisi yang proporsional. Dia mengolah arsip-arsip pemerintah kolonial, tapi tetap juga memberi ruang pada naskah dan tradisi lokal di Buton. Dia mengawinkan arsip kolonial dengan naskah beberapa kabanti, syair tradisi lisan di Buton, demi mencapai pemahaman mendalam atas peristiwa yang sedang dibahasnya. (BACA: Susanto Zuhdi, Sejarawan Pembawa Intan untuk Orang Buton)


Semesta Manusia (Nirwan Ahmad Arsuka)



Sejak membaca tulisan Nirwan Arsuka di rubrik Bentara, Kompas, saya sudah kepincut dengan gaya menulisnya. Dia menulis dengan gaya essai dan membahas berbagai topik-topik filosofis dan sains dengan gaya yang memikat. Dia mendiskusikan Galileo, Einstein hingga Amartya Sen dengan gaya yang memikat.

Tapi, saya lebih menyukai esainya saat membahas tema-tema budaya, khususnya budaya Bugis Makassar, khususnya saat membahas Karaeng Pattingaloang, seorang intelektual asal Makassar di abad ke-17. Dia menempatkan Pattingalloang pada satu setting sejarah di mana ada banyak peristiwa dan situasi yang sedang melanda Makassar dan dunia pada masa itu. Ketika membacanya, saya serasa terlempar ke satu ruang sejarah di mana satu pemikiran selalu dipengaruhi oleh ruh zaman serta dialog dengan berbagai pemikiran.

Buku Semesta Manusia ini adalah koleksi semua esai Nirwan Arsuka, yang pernah terbit di banyak media. Saya ikut terlibat dalam penyusunan buku ini sebab memiliki koleksi tulisan Nirwan. Anehnya, ketika buku ini terbit, saya jarang melihat orang membahas dan mendiskusikannya di media sosial. Padahal ketika saya mengumumkan punya koleksi tulisan Nirwan dan bersedia mengirimkan file, ratusan orang menghubungi saya untuk meminta file koleksi saya itu.


Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara (Janet Steele)



Buku ini ditulis oleh Janet Steele, seorang profesor bidang jurnalisme di George Washington University. Di Indonesia, Janet Steele cukup kondang sebab pernah menulis disertasi yang berjudul Wars Within, yang isinya membahas dinamika Majalah Tempo saat dibredel pemerintah.

Buku ini diolah dari riset yang dilakukannya selama 20 tahun terakhir mengenai praktik reportase para jurnalis Muslim di lima media terkemuka di Indonesia dan Malaysia. Media itu adalah: (1) Sabili, yang disebutnya mewakili Islam skripturalis, (2) Republika yang menjadi representasi dari pandangan atas Islam sebagai pasar, (3) Harakah, media Malaysia yang melihat Islam sebagai politik, (4) Malaysiakini yang melihat Islam secara sekuler, (5) Tempo, yang dianggapnya sebagai representasi Islam kosmopolitan.

Saya menyukai topik mengenai Republika yang kini dimiliki oleh Eric Thohir. Pertanyaan riset Janet Steele sesuai dengan apa yang juga saya pikirkan. Dia menelusuri pertanyaan mengapa Republika memilih haluan kelompok radikal, yang juga pendukung Prabowo Subianto di pilpres lalu? Argumentasinya menarik. (BACA: Erick Thohir di Mata Profesor Amerika)


Political Personal Branding: Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital (Silih Agung Wasesa) 



Buku ini datang pada momen yang sangat tepat yakni jelang pemilihan umum. Ada semacam kebutuhan di kalangan para calon anggota legislatif (caleg) untuk memahami bagaimana kiat melakukan kampanye di dunia digital. Buku ini menyediakan peta jala, apa yang harus dilakukan untuk berkampanye di dunia maya.

Pemilu lalu menjadi pelajaran berharga bagi semua politisi. Bahwa kampanye tidak lagi dilakukan hanya melalui baliho dan poster yang dipaku di pohon-pohon. Bukan pula dengan pengerahan massa melalui konvoi. Kampanye bisa dilakukan melalui cara-cara cerdas yang berbiaya murah, yakni memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan.

Bab favorit saya adalah bab paling akhir, yang membahas mengenai storytelling. Di sini diuraikan sembilan bumbu dasar untuk membuat postingan yang disukai semua netizen. Saya jadi paham mengapa tidak semua caleg sukses berkampanye di media sosial. Selain karena mereka ingin hasil cepat dalam waktu singkat, mereka juga tidak memahami bahwa ada jurus untuk membuat netizen terpikat dan secara sukarela membagikan semua postingan.


Tatang Teh Tong Dji (Triyanto Triwikromo)


Buku ini membahas Tatang, seorang warga keturunan Tionghoa yang memiliki bisnis teh Tong Tji. Gaya penulisannya sangat memikat sebab mengombinasikan antara perjalanan hidup seseorang dengan berbagai bacaan sastra dan novel menarik. Hasilnya, sebuah biografi yang penuh warna-warni.

Pada satu kesempatan, Tatang digambarkan seperti Mushashi. Pada bagian lain, dia seperti David dan Goliat. Saya suka semua ilustrasi di dalam buku sehingga lebih menarik. Saya tak terkejut jika narasinya sedemikian mengalir. Sebab penulisnya dikenal produktif melahirkan banyak cerpen bermutu yang sering masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas.

***

Saya hanya mencatat 10 buku. Tapi kalau saya perhatikan lagi semua buku, ada beberapa buku yang juga saya sukai, tapi tidak sempat dibahas dalam list. Di antaranya adalah Kuasa Media di Indonesia (yang ditulis Ross Tapsell), (2) Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (ditulis Mark Manson), (3) Membaca Indonesia (ditulis tim Kompas), dan (4) Menyibak Tabir Orde Baru (Jusuf Wanandi). 

Saya belum hendak membahasnya karena belum membaca tuntas semua buku ini. Saya hanya senang membuka plastiknya, kemudian mengintip apa saja yang dibahas di dalamnya. 

Selalu ada kenikmatan saat membuka plastik pembungkus buku, kemudian membaui aromanya, setelah itu mulai membuka-buka sampai lembar terakhir. Untuk soal ini, saya bisa berjam-jam melakukannya.

Semoga tahun 2019 nanti, jauh lebih banyak buku bagus.




Pengalaman Ikut Tes Mengaji




DI Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sejumlah orang membentangkan spanduk tantangan kepada seorang capres agar ikut tes kemampuan mengaji. Mungkin kita akan terkejut mendengar ada tes seperti itu. Tapi dalam rentang perjalanan hidup, saya pernah menjalani tes mengaji di hadapan banyak orang.

Malah, saya tiga kali menjalaninya. Pertama, saat hendak maju sebagai ketua komisariat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kedua, saat menjalani tes akhir sebagai pengajar di perguruan tinggi berbasis Islam di Makassar. Ketiga, sebelum membaca ijab kabul di hadapan keluarga mempelai perempuan.

Saya akan mengisahkan ketiganya. Tapi tolong, jangan mencela ilmu saya yang amat rendah ini.

***

HARI itu, teman-teman HMI Komisariat Fisip Unhas mengadakan musyawarah untuk memilih ketua. Saat itu, saya sudah cukup senior di HMI. Mereka yang akan memimpin komisariat adalah para junior, tiga angkatan di bawah saya.

Saya datang sebagai senior yang hendak meramaikan acara. Sejujurnya, niat saya adalah mencari makan siang gratis, juga untuk melirik-lirik beberapa akhwat Kohati (anggota perempuan di HMI) yang manis-manis. Dalam banyak acara, saya dan teman-teman mahasiswa sering berdendang “Kohati.. kohati, alangkah indahmu.”

Begitu saya tiba, semua peserta diminta memasukkan nama yang akan memimpin komisariat. Rupanya, saya datang pada saat yang tepat yakni memilih nama terbanyak yang akan berkompetisi sebagai ketua. 

Entah apa yang terjadi, sejumlah orang bersekongkol untuk memasukkan nama saya dalam bursa ketua. Masuklah nama saya sebagai salah seorang formatur atau kandidat yang akan dipilih sebagai ketua. Padahal saya lebih senior tiga tahun dari kandidat lainnya.

Saat ditanya, apakah bersedia, saya spontan bilang bersedia. Niat saya hanya untuk lucu-lucuan. Saya tak punya niat jadi ketua. Hanya ingin masuk arena dan sedikit bercanda saat penyampaian visi-misi. Kan keren kalau saya bisa pidato di hadapan para Kohati yang cakep-cakep di masa itu.

Tapi saya lupa memperhitungkan satu fakta kalau para calon ketua tidak hanya diminta untuk berpidato, tapi juga harus jalani tes mengaji di hadapan banyak orang. Matilah saya. Kemampuan baca Quran saya masih selevel bacaan metode Iqra. Saya bisa mengaji, tapi sekadar membaca ayat demi ayat. Itu pun tertatih-tatih. 

Bagi organisasi bernapaskan Islam seperti HMI, kemampuan mengaji adalah prasyarat utama bagi para pemimpin organisasi itu. Biarpun anak HMI sering dianggap sekuler dan liberal, tapi untuk memilih ketua, mengaji adalah kemampuan yang wajib dimiliki. Makanya, dalam setiap pemilihan ketua, kemampuan mengaji akan selalu diujikan di hadapan semua peserta, yang selanjutnya memilih siapa kandidat terbaik.

Jika kemampuan mengajinya pas-pasan, maka masih bisa dimaklumi, sebab dia dianggap punya kemampuan dasar. Mengapa mengaji dianggap penting? Sebab seorang Ketua HMI diharapkan bisa membawa materi dalam acara pengkaderan, bisa membawakan dakwah, serta bisa menjelaskan ajaran agama Islam, sebagaimana digariskan dalam Nilai Identitas kader (NIK) dan Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Semua orang yang pernah menjalani aktivitas di HMI, pasti tahu tentang hal ini.

Makanya, ketika menjadi kandidat ketua, saya diminta ikut tes mengaji, mulailah saya keringat dingin. Teman saya, Himar, menjadi steering comittee (semacam dewan pengarah) yang menentukan bacaan dari kandidat ketua. Himar menyilakan seorang kandidat untuk mulai mengaji. Dia diserahkan Quran, tapi teman itu menolaknya. Rupanya dia penghafal Quran. Dia mengaji dengan fasih, dengan mata terpejam, lengkap dengan irama dan lagu-lagunya. Wajarlah, dia keluaran pesantren.

Kandidat kedua dipilihkan bacaan Alif Lam Mim, yang relatif mudah. Maka mengajilah teman kedua. Saya sebagai kandidat ketiga mulai keringatan. Rasanya ingin segera mundur dari pencalonan, tapi saya pasti akan malu dan kehilangan muka di hadapan para Kohati. 

Giliran saya, Himar memilihkan bacaan Quran di bagian tengah. Saya pun mulai membaca dengan tertatih-tatih. Beberapa hadirin senyum-senyum. Saat para dewan pengarah ditanya, apakah saya bisa lolos? Semuanya bilang ya. Bacaan saya dianggap bisa dimengerti. Saya lolos tes mengaji. Alhamdulillah.

***

Pengalaman kedua jalani tes mengaji adalah saat mendaftar dosen di salah satu perguruan tinggi berbasis Islam di Makassar. Waktu itu, saya baru lulus S2. Saya sedang menganggur di Makassar. Saat ada lowongan pengajar di kampus Islam itu, saya ikut mendaftar. Saya mendaftar untuk dosen Ilmu Komunikasi. Anehnya, saya malah diminta tes untuk formasi dosen ilmu politik. Saya jalani saja.

Tesnya mirip Indonesian Idol yang memakai sistem gugur. Tes pertama adalah tes potensi akademik (TPA), setelah itu tes bahasa Inggris. Pada semua tes, banyak yang berguguran. Mungkin karena saya cukup pandai, nama saya selalu teratas. Bahkan terakhir, tinggal dua nama yang akan jalani tes wawancara. Yang akan direkrut satu orang.

Tes selanjutnya adalah wawancara. Saingan saya tinggal satu orang. Saya yakin bisa melaluinya dengan mudah. Biarpun saya bukan anak politik, tapi bacaan saya pada teori-teori politik, saya anggap sangat bagus. Kebetulan, pewawancara sangat mengenal saya. Seusai wawancara dia berbisik “Kalau sisi akademik, kamu lebih bagus. Tapi sainganmu sudah lama jadi asisten dosen di sini.” Peluang saya mengecil.

Nah, tes terakhir adalah tes mengaji di hadapan salah seorang guru besar di kampus itu. Kembali saya keringat dingin. Saya berhadapan dengan seorang profesor bidang ilmu hadis, yang dahulu menjadi tetangga saya di Baubau. Sewaktu saya kecil, perguruan tinggi Islam itu punya kelas jauh di Baubau, sehingga banyak dosennya yang tinggal bertetangga dengan saya. Profesor yang hendak mewawancarai pun mengenal dan sering berinteraksi dengan saya di masjid.

Giliran saya mengaji, dia mendengar dengan wajah yang nampak aneh. Komennya hanya satu, “Saya sering lihat kau di masjid. Siapa yang ajar mengaji?” Saya terdiam. Untuk tes terakhir, poin saya tidak bagus-bagus amat. Gak nyangka juga kalau saya bisa gugur karena tes mengaji. Entahlah. Mungkin ada hal lain yang luput dari pantauan saya.

*** 

TERAKHIR, saya jalani tes mengaji saat hendak menikah. Selama beberapa bulan, saya stres memikirkan biaya pernikahan. Maklumlah, untuk nikah ala Bugis, mesti siap modal. Saya memeras otak memikirkan strategi biar pernikahan bisa jalan. Saya sudah menuliskan pengalaman nikah itu beserta jalan keluarnya. Silakan baca DI SINI.

Satu hal yang luput saya persiapkan adalah proses ijab kabul. Ternyata, untuk nikah Bugis mensyaratkan tes mengaji bagi seorang mempelai pria. Bahkan di lokasi ijab kabul itu sudah disiapkan Quran. Keluarga mempelai perempuan berharap agar lelaki yang menikahi anaknya punya kemampuan agama yang baik, bisa jadi imam, juga bisa membimbing agama bagi keluarga.

Saya pun menjalaninya. Untungnya, pihak penghulu hanya meminta saya membacakan surah Al Fatihah. Nah, kalau cuma itu, jelas saya sangat fasih. Mulailah saya melafalkannya dengan gaya ala Qori di acara Musabaqah Tilawatil Quran. Belum sampai bacaan “wala daalin”, penghulu bilang cukup. Maka berlanjutlah proses jab kabul dengan riang gembira.

*** 

HINGGA kini saya masih mempertanyakan mengapa ada tes mengaji. Menurut saya, keberislaman seseorang tidak perlu disampaikan dengan cara demonstratif seperti itu. Tak ada kaitan secara langsung antara kefasihan mengaji dengan kualitas kepemimpinan. Sebab kepemimpinan adalah soal manajerial, kemampuan mengelola manajemen, serta memastikan semua orang bisa mencapai target yang direncanakan.

Daripada sibuk melihat kefasihan mengaji, lebih baik memantau rekam jejak, visi-misi, dan apa yang sudah dilakukan seseorang. Untuk soal ini bisa terukur dan bisa dipantau. Ini jauh lebih penting sebab sebagai pemimpin, sebab dia akan dituntut untuk bekerja dan mencapai target-target yang direncanakan.

Demikian pula dalam hal seleksi dosen perguruan tinggi. Kriteria paling penting yang seharusnya dicari adalah intellectual curiosity yakni satu hasrat dan sikap untuk selalu ingin menemukan jawaban dari banyak pernyataan-pertanyaan. Yang perlu dicari adalah “rasa lapar akademik” yakni kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu, kemudian merumuskan cara-cara baru memahami persoalan dengan menguasai metodologi dan riset.

Tes kemampuan mengaji hanya akan menunjukkan seseorang mengenali Islam, tapi tidak akan bisa menunjukkan sejauh mana nilai Islam itu mengakar pada diri seseorang, menjadi napas bagi semua gerak, serta menjadi kompas untuk bergerak.

Tes itu tidak bisa menjadi indikator bahwa seseorang menjadikan nilai itu sebagai napas yang selalu mengisi kehidupannya. Padahal, mereka yang menjadikan agama sebagai napas dan mengalir di darahnya inilah yang harus ditemukan.

Tapi saya juga tidak memungkiri kalau ada pandangan yang dominan di kalangan banyak orang, khususnya organisasi berlabel Islam. Mereka punya kriteria sendiri dalam memilih pemimpin atau mereka yang menjadi bagian dari barisannya.

Dulu, saya keringatan saat harus menjalani tes mengaji. Kini, zamannya telah berubah. Cukup menyebut pendukung satu capres, maka tafsir dan penilaian orang akan berubah. Penilaian akan ditentukan dari pilihan capres. Ketika saya menyebut diri sebagai pendukung capres A, maka salah sebut bacaan Al Fatihah langsung akan di-bully habis-habisan.

Tapi jika saya menyebut diri sebagai pendukung capres B, maka ketika saya menolak jadi imam, orang-orang akan membela. Ketika saya salah sebut gelar untuk Rasul, tetap saja dibela habis-habisan. Ketika ikut merayakan natal, semua akan memuji sebagai simbol toleransi. Bahkan ketika diminta tes mengaji, semua akan membela dan mengatakan tidak perlu.

Ternyata, nilai-nilai bisa longgar saat bicara pilihan politik. Saya berpikir, harusnya, saya menjalani ketiga tes itu di masa kini. Biar saya gampang berkelit dengan menyebut diri sebagai pendukung Capres itu. Biar bisa menjalani hidup dengan aman dan nyaman.

Iya kan?




Saat Membaca "The Death of Expertise"




Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan dua orang berdiskusi soal Freeport. Saya mengenal dua orang yang berdebat itu. Satu bekerja sebagai staf honorer di kantor pemda. Satunya lagi, bekerja sebagai pengajar ekonomi di satu kampus negeri. 

Diskusi itu tidak menarik. Teman pertama tidak mau mendengar uraian ataupun penjelasan dari teman kedua. Teman pertama rajin membagikan banyak link yang didapatnya dari berbagai grup whatsapp. Ketika teman itu kehilangan argumen, mulailah dia mengeluarkan dalil untuk menyesatkan teman diskusinya.

Pernah juga saya melihat diskusi di satu grup whatsapp. Pendapat dari seseorang yang mendapatkan gelar doktor bidang hadis pemikiran Islam, tiba-tiba saja dipandang remeh dan ditertawakan oleh warga grup yang justru tidak memperdalam ilmu agama. Rupanya banyak warga grup itu lebih percaya pada satu atau dua paragraf dari ulama yang jadi seleb di media sosial. Padahal, ulama yang dikutip itu tidak jelas apa kompetensi dan keahliannya.

Dalam hati, saya menyimpan tanya. Mengapa kita tak mendengar orang berilmu yang menghabiskan bertahun-tahun usianya untuk memperdalam pengetahuan pada satu topik?

Suatu hari, saya pernah juga menyaksikan poster diskusi sejarah. Yang dibahas adalah sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Lucunya, pembahas utama adalah seseorang dengan gelar S.Ag. Kembali, saya menyimpan tanya, kenapa tak mengundang seorang peraih gelar PhD untuk bidang sejarah, atau orang yang bertahun-tahun mendalami isu PKI? 

Saya selalu teringat buku Tom Nichols yang judulnya The Death of Expertise. Kebetulan, hari ini saya menemukan buku itu dalam versi bahasa Indonesia yang berjudul Matinya Kepakaran. Kata Tom Nichols, di era media sosial, banyak di antara kita yang dikendalikan para produsen informasi. 

Di era ini, sekeping informasi di Whatsapp dianggap lebih valid ketimbang riset-riset sejarah yang bertebaran. Jangan berharap ada diskusi yang sehat. Jangan berharap ada pencerahan karena berbagai fakta diurai dan didiskusikan. 

Dalam buku itu, Tom Nichols telah membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara keilmuan dibuang jauh-jauh, hanya karena dianggap berbeda dengan sesuatu yang diyakini benar.

BACA: Saat Membaca "Everybody Lies"

Saya sangat setuju dengan uraian Tom Nichols. Media sosial penuh dengan para penganalisis abal-abal yang segala hal ingin dikomentari. Kita terus-menerus menyaksikan debat tak produktif di situ. Mulai dari isu vaksin, bumi itu datar, kontroversi ASI, isu PKI, kontroversi Soeharto, hingga seberapa sehat kencing unta.

Dalam rimba raya informasi, suara seorang peneliti dan pakar dengan mudah diabaikan. Orang lebih mendengar mana komen paling sering, serta suara orang awam yang sok tahu, juga pesohor yang menyesatkan. Jawaban dari tokoh yang punya banyak pengikut lebih didengar, padahal bisa jadi jawaban itu membahayakan.

Dari buku Tom Nichols, saya mendapatkan penjelasan yang utuh. Bahwa ada banyak hal yang menyebabkan suara para ahli itu diabaikan. Dia menyebut satu reproduksi sosial ketika kebenaran pelan-pelan menjadi kesalahan. Pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan (misalnya kampus, media massa, hingga para pakar), justru sering kali juga berada dalam sikap arogansi dan merasa paling benar sehingga mengabaikan suara-suara awam.

Saya yakin Tom Nichols tidak melakukan studi mendalam atau riset tentang fenomena di Indonesia. Jika dia melakukannya, saya yakin dia akan menemukan satu fakta penting bahwa pilihan capres akan mempengaruhi penilaian seseorang atas informasi yang diterimanya. Jika dia pendukung capres A, maka semua informasi terkait A akan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Demikian pula sebaliknya.

Tak ada masalah jika mendukung satu politisi. Hal penting yang harus tetap dirawat adalah nalar serta rasa haus untuk melakukan pencarian kebenaran. Pilihan politik tak harus membunuh argumentasi, sebab yang harus dijaga adalah kejernihan dan penalaran yang didapatkan dengan cara dialektis, membaca satu sumber, kemudian melakukan konfirmasi pada sumber lain.

Lebih baik memberi ruang pada orang yang sudah mengkajinya bertahun-tahun ketimbang hanya mendengar godaan pikiran yang terlanjur percaya pada sesuatu. Ketika pakar dimusuhi, ketika suara penalaran diabaikan, maka kita telah membuka pintu bagi praktek korupsi, kediktatoran, hingga tanpa sadar kita menjadi bola yang dipermainkan para politisi atau para pesohor.

Lantas, bagaimana kita harus memosisikan diri di tengah banjir informasi yang sedemikian pekat ini? Bagaimana seharusnya demokrasi memosisikan “expert” dan “citizen” di era keberlimpahan informasi?

Sepertinya saya harus membaca lagi buku Tom Nichols. Saya sudah membaca versi bahasa Inggris, tapi saya ingin membaca lagi versi Bahasa Indonesia. Ingatkan saya untuk bercerita ketika telah membaca buku itu hingga tuntas.






Saat Membaca Everybody Lies




Tadinya saya ingin membeli buku “Everybody Lies: Big Data, New Data, and What The Internet Reveals About Who We Really Are” dalam versi bahasa Inggris. Terbit tahun 2017, buku ini pernah saya lihat di Periplus. Ternyata saat ke toko buku, saya malah menemukan terjemahan bahasa Indonesianya yang diterbitkan Gramedia.

Penulisnya, sering disapa Seth, bekerja sebagai data scientist di Google. Dia meraih PhD bidang ekonomi di Harvard. Buku ini ditulis dengan renyah sebab penulisnya adalah kolumnis New York Times. Entah kenapa, belakangan ini saya tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang Big Data, algoritma, dan internet of things.

Yang dibahas di buku ini sungguh menarik. Kata penulisnya, pada dasarnya semua manusia suka berbohong dalam kehidupan nyata. Tapi saat menggunakan mesin pencari Google, orang akan menjadi dirinya sendiri. Makanya, data yang direkam Google sering mengejutkan. 

Misalnya, di negeri yang semua orang mengaku moralis dan agamis, Google menunjukkan kalau topik paling sering dicari orang-orang di situ adalah situs porno dan seks. Seseorang yang tampak alim dan pendiam, bisa jadi rajin mengetik kata perkosaan di mesin pencari Google. 

Tahukah Anda, data Google menunjukkan, di India, pencarian nomor satu untuk kalimat yang dimulai dengan “my husband wants ...” adalah “my husband wants me to breastfeed him.” Jumlah ini empat kali lipat lebih banyak dari negara lain. 

Jangan juga kaget kalau di banyak negara, laki-laki banyak mencari informasi mengenai ukuran kemaluan, sedangkan perempuan mencari informasi apakah organ kewanitaan bau. Di Amerika Serikat, pencarian tertinggi mengenai “my wife is pregnant” adalah “my wife is pregnant now what” dan “my wife is pregnant what do I do”.

Makanya kata Seth, data-data pencarian di Google selalu lebih akurat dari survei mana pun yang dilakukan para ilmuwan. 

Saya tertarik saat Seth membahas politik. Saat Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, semua media dan komentar orang-orang mengatakan bahwa ini fenomena demokrasi dan penghormatan pada manusia, apa pun rasnya. 

Tapi Google justru mencatat lain. Ketika Obama terpilih, kata paling sering yang diketik di Google adalah kata-kata rasis dan merendahkan, misalnya “nigger president” Bagi orang kulit hitam, kata-kata ini dianggap sangat merendahkan.

Tapi begitulah manusia. Kata Seth, orang-orang tampak normal dan baik-baik saja di dunia nyata. Tapi saat dia berhadapan dengan Google, orang-orang akan menjadi dirinya sendiri, yang bisa jadi punya sisi yang lebih banyak rasis. Nah, timbunan data yang setiap hari dikumpulkan Google inilah yang kemudian dianalisis demi memahami perilaku manusia di dunia digital.

Seth juga membahas Donald Trump. Pada saat banyak survei dan ilmuwan memprediksi Hillary akan menang, dia sudah menduga justru Trump akan menang. Bukan karena isu pengangguran dan kemiskinan. Bukan juga karena banyak problem ekonomi warisan Obama.

Google sudah merekam banyak data, bahwa kemunculan Trump bersamaan dengan semakin banyaknya ujaran kebencian dan rasis yang diketik di mesin pencari. Terbukti, Trump menang di semua wilayah yang warganya paling sering mengetik kata “nigger.”

Penjelasan tentang ini bisa diperluas. Bisa jadi, tim kampanye Trump rajin memantau Google Trend dan piawai mengolah Big Data sehingga tahu persis bahwa sebenarnya kebanyakan orang justru berpikir rasis. Dengan demikian, seorang kandidat presiden mesti terbuka menyatakan marah atau benci pada sesuatu lalu mengeluarkan kalimat kasar. Publik justru menunggu-nunggu kandidat yang seperti itu. 

Tahun depan Indonesia akan memilih presiden baru. Apakah semua kandidat presiden rajin menganalisis big data sehingga kalimat-kalimat presidennya mencerminkan bacaan sosiologis atas perilaku manusia Indonesia paling jujur sebagaimana dicatat Google? Apakah kalimat kandidat presiden, yang katakanlah kasar dan agak rasis, itu juga hasil rekomendasi dari Google Trend demi menjaga loyalitas massanya?

Mohon maaf. Bacaan saya masih di bagian pendahuluan. Ingatkan saya, jika sudah membaca lembar terakhir, saya akan menjawab pertanyaan di atas.



Film Aquaman dan Teka-Teki Atlantis di Indonesia




DI banyak bioskop kita, film Aquaman yang diperankan Jason Momoa dan Amber Heard tengah tayang dan disambut meriah. Banyak orang antre untuk menyaksikan kisah Arthur Curry yang berebut tahta sebagai penguasa Atlantis, kerajaan di bawah laut.

Tahukah Anda, sejak awal reformasi, banyak orang sibuk mendiskusikan posisi Atlantis yang disebut-sebut berada di lautan Indonesia? Tahukah Anda bahwa ada beberapa pakar yang menguatkan teori bahwa benua yang hilang itu ada di sekitar kita?

***

DEMI merebut tahta dari saudaranya, Arthur Curry atau Aquaman bersedia untuk merebut takhta sebagai penguasa Atlantis, kerajaan hebat dengan teknologi canggih yang berada di dasar laut. Bersama Putri Mera, Arthur lalu menaiki kapal selam yang membawanya ke negeri Atlantis.

Dalam film Aquaman yang disutradarai James Wan, Atlantis digambarkan sebagai negeri yang mewah di dasar laut. Dahulu, kerajaan itu berada di permukaan, dan sudah mencapai kematangan teknologi, saat bangsa lain masih percaya bumi itu datar.

Akibat keserakahan, Atlantis tenggelam ke dasar laut. Namun kekuatan tongkat trisula Neptunus yang dipegang King Atlan menyebabkan warga Atlantis bisa bernapas di dalam air. Negeri itu tetap berdiri. Penduduknya tetap membangun peradaban yang mewah dan canggih, meskipun berada di dasar laut.

Aquaman bukan film pertama yang membahas Atlantis. Hampir semua perusahaan film, termasuk Disney, pernah membuat film yang bertemakan Atlantis sebagai peradaban yang hilang. Hingga kini, masih banyak orang yang meyakini bahwa pernah ada masa di mana manusia telah menapak satu kejayaan, namun tenggelam karena alasan yang tidak diketahui.

Di Indonesia, diskusi tentang Atlantis juga marak pada era pasca-reformasi. Maklumlah, pada era reformasi marak perdebatan tentang seperti apa identitas Indonesia. Ada yang kembali menggemakan gagasan tentang Indonesia sebagai negara agama yang berkiblat ke Timur Tengah.

Namun, ada juga sejumlah orang yang menganggap bahwa identitas asli Indonesia bukan tercermin pada budaya yang dipengaruhi agama dari Timur Tengah. Argumentasinya, sebelum era itu, bahkan beberapa abad sebelumnya, Nusantara sudah pernah berdiri dan punya jejak peradaban yang hebat.

Bahkan masa lalu Nusantara dilacak ke era yang disebut filsuf Yunani yakni Plato dan Aristoteles sebagai era Atlantis.

Saya melihat perdebatan itu dimulai sejak seorang profesor berkebangsaan Brazil yakni Arysio Santos menulis buku berjudul Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Profesor Santos dikenal sebagai geolog dan fisikawan nuklir.

Dalam bukunya, dia menyebutkan bahwa setelah melakukan penelitian selama 30 tahun dan membuat peta bawah laut, mengkaji mitologi, hingga arkeologi, dia menyimpulkan bahwa posisi Atlantis berada di Indonesia.

Dalam buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini, Santos menganalisis teks-teks Atlantis yang dahulu pernah dikemukakan Plato dan Aristoteles. Di situ tertera bahwa Atlantis tenggelam karena banjir besar melanda manusia pada satu masa sehingga permukaan laut meninggi.

Dia menyimpulkan Atlantis berada di khatulistiwa, pada wilayah yang banyak memiliki gunung api sehingga ketika terjadi letusan besar, permukaan air naik, wilayah itu tenggelam. Wilayah yang paling memenuhi syarat yang digambarkan Santos adalah Indonesia.

Buku lain yang juga menguatkan Santos adalah Eden in the East yang ditulis ilmuwan biologi molekuler Stephen Oppenheimer. Buku ini membantah versi sejarah tentang nenek moyang kita yang disebutkan dari Cina, sebab DNA orang Indonesia lebih tua dari Cina.

Artinya, orang Indonesia sekarang dibentuk oleh satu peradaban tua yang telah lama menghuni wilayah ini, kemudian memencar karena adanya banjir besar. Setelah dua buku ini terbit, perdebatan tentang Atlantis kian marak.

Umumnya banyak pihak yang setuju dengan pandangan itu dan sibuk memaparkan bukti kehebatan Nusantara di bandingkan bangsa lain. Bahkan beberapa intelektual kita, di antaranya Prof Jimly Ashidique sering mengutip Indonesia sebagai Atlantis yang hilang.

Publik semakin tertarik ketika di zaman SBY, pemerintah membentuk Tim Katastrofik Purba yang dipimpin politisi Partai Demokrat, Andi Arief, yang meneliti bencana purba yang pernah terjadi. Namun dalam perjalanannya, lembaga ini juga mengemukakan banyak hipotesis tentang adanya banyak piramida yang berukuran lebih besar dari piramida Mesir. Di antaranya adalah piramida di Gunung Padang.

Bahkan tim ini sempat melakukan penggalian, namun dihentikan di tengah jalan. Tim ini meyakini bahwa ada banyak artefak hebat di Nusantara yang masih terkubur sebagaimana dahulu Candi Borobudur ketika digali di zaman Raffless. Artefak itu menunjukkan Nusantara pernah berjaya pada masa silam, yang disebut sebagai Atlantis.

Pada tahun 2007, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Umar Anggara Jenny juga menyampaikan pandangan banyak peneliti Amerika Serikat yang meyakini Atlantis ada di Indonesia.

Kata Umar Anggara, arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia.

Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.

Jika Anda menyempatkan waktu ke Toko Gramedia, pasti Anda akan temukan banyak buku yang membahas Indonesia sebagai Atlantis yang hilang. Di antaranya adalah buku Peradaban Atlantis Nusantara yang ditulis Ahmad Y Samantho dan Oman Abdurrahman.

Buku lain adalah yang ditulis pakar geologi yang bekerja di LIPI yakni Dr Dhani Hilman Natawidjaja berjudul Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Masa Pra-Sejarah Indonesia. Masih banyak buku lain yang tak mungkin saya sebut satu per satu di sini.

Saya juga menemukan banyak website yang membahas keterkaitan Indonesia dan Atlantis. Bahkan saya juga mendapati banyak fiksi atau novel mengenai Atlantis di Indonesia. Yang terkenal adalah karangan ES Ito berjudul Negara Kelima, serta dwilogi Gerbang Nuswantara yang ditulis Victoria Tunggono. Ada juga novel yang ditulis Tasaro berjudul Nibiru.



Semua buku itu memaparkan fakta bahwa kemungkinan besar peradaban hebat yang digambarkan dalam banyak naskah orang Eropa sebagai rumahnya orang-orang yang jenius dan punya teknologi tinggi itu ada di Nusantara. Atlantis itu diyakini  tenggelam saat terjadi letusan besar sehingga es di kutub mencair.

Yang menarik buat saya, banyak orang yang kemudian bergerak menelusuri reruntuhan Atlantis itu. Majalah Tempo pernah memuat cerita tentang warga Amerika yang rajin menelusuri pesisir selatan Jawa demi menemukan reruntuhan Atlantis.

Sewaktu kuliah di UI, sahabat saya Diah Laksmi bercerita tentang anak muda keluaran UI dan ITB yang membentuk Turonggo Seto yang rajin melakukan ekspedisi demi membuktikan Indonesia adalah Atlantis.

Tak sekadar diskusi, mereka melakukan jelajah candi, menafsir ulang relief candi, dan mengemukakan teori bahwa ada banyak candi-candi lain yang jauh lebih hebat, namun masih terkubur.  Latar belakang pendidikan mereka adalah pertambangan dan geologi, namun sangat meminati kajian masa silam.

Pendekatan mereka adalah gabungan dari metode saintifik, yakni metode ilmiah dan teknologi untuk mengenali batuan, dan pendekatan klenik. Memang aneh kedengarannya, sebab bagi anak-anak muda itu, klenik adalah metode yang diwariskan sejak lama oleh nenek moyang, dan bisa melengkapi metode ilmiah.

Entah bagaimana menjelaskan persoalan ini secara ilmiah. Bagi saya, diskusi tentang Atlantis selalu terkait dengan diskusi masa kini dan masa silam. Ketika kita membayangkan kejayaan masa silam, maka itu adalah pertanda bahwa kita gelisah melihat masa kini kita yang hanya bisa menjadi penyaksi bangsa-bangsa lain yang unggul.

Ini adalah potret kekalahan kita menyaksikan bangsa lain yang sudah menjangkau ruang angkasa, sedangkan kita tidak punya cerita hebat masa kini. Maka, kita lalu mencari kejayaan itu di masa silam sembari menyesali kenyataan mengapa kita mengabaikan masa silam demi meniru bangsa lain.

Kita memilih bernostalgia pada sesuatu yang masih menjadi wacana, dikarenakan kegagalan kita membangun kejayaan itu di masa kini. Ada satu hal yang saya sepakati dari semua diskusi mengenai Atlantis di Indonesia. Yakni banyak misteri yang perlu diungkap.

Untuk itu, kita mesti mengembangkan berbagai studi dan riset demi mengungkap banyak misteri. Tapi di saat bersamaan, kita juga tak boleh alpa untuk membangun kejayaan di masa kini. Jika bangsa China bisa membangun negerinya menjadi negeri unggul di masa kini dengan memori kolektif kejayaan bangsanya di masa lalu, kita pun bisa melakukan hal yang sama. Iya khan?




Sepenggal Kisah Hardiyanti Rukmana




Hari ini, saya membaca berita tentang Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Biasanya saya hanya melihat sekilas dan sambil lalu. Kisah tentang Mbak Tutut dan ayahnya Presiden Soeharto sudah sering saya baca dalam banyak publikasi para peneliti. Mereka adalah Crazy Rich Asian yang sebenar-benarnya. 

Saya terkejut melihat aktivitas Mbak Tutut sekarang adalah menjadi blogger. Dia secara rutin mengisi catatan harian di satu blog. Dia bercerita tentang ayahnya, perjuangannya membuat jalan tol pertama yang disebutnya sebagai prestasi anak bangsa, hingga cerita tentang ibunya, Tien Soeharto.

Blognya cukup membuat saya betah. Saya baru tahu kalau acara Kirab Remaja Indonesia dihidupkan lagi. Di situ, ada foto dirinya bersama sejumlah remaja dengan baju merah putih, menyanyikan lagu-lagu nasionalis, setelah itu memberi tepuk tangan dan salam ala tentara. 

Silakan cek blognya DI SINI

Saya pernah menyaksikan acara ini semasa kecil melalui layar kaca di TVRI. Pernah saya bertanya pada bapak saya, apa mungkin orang akan cinta pada Indonesia dengan cara baris-berbaris keliling kota sambil sesekali menyanyikan lagu perjuangan? Bapak saya tak berani menjawab. Dia tahu, kritisisme tak diperlukan di zaman itu. Dia bercita-cita agar anaknya jadi PNS. 

Melihat catatan-catatan Mbak Tutut, saya merasakan betapa kuatnya niat beliau untuk “meluruskan” pemahaman tentang masa silam. Saya sebenarnya berharap dia membuka banyak hal apa yang terjadi pada masa itu, bukan mengangkat hal yang remeh-temeh, misalnya pesan-pesan bapaknya sebelum meninggal. 

Berani gak dia cerita berapa uang negara yang kemudian dikelolanya dengan membawa stempel nama bapaknya? Apakah dia akan mengakui proyek-proyek apa saja yang kemudian dikelolanya hanya karena para menteri dan pejabat takut sama bapaknya?

Saya teringat kajian dari Maurice Halbwach, sosiolog Perancis yang terkenal dengan teorinya mengenai ingatan kolektif. Bahwa apa yang kita sebut sebagai ingatan bukan sekadar endapan kenangan atas satu peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada satu masa, melainkan sesuatu yang selalu aktif dan terus mengalami reproduksi makna berdasarkan situasi kesejarahan.

Masih kata Halbwach, orang-orang akan menggunakan medium tertentu untuk melestarikan ingatan. Medium itu bisa berupa ritual, upacara, peringatan, patung, monumen, atau tugu.

Mungkin ini pula yang sedang dilakukan Tutut. Dia melakukan rekonstruksi atas masa silam, dengan mengangkat versinya sendiri, kemudian menggunakan blog sebagai medium. Dia juga membangun museum di kampung ayahnya, menuturkan lagi banyak cerita, dan mengangkat sisi religius dan penyabar ayahnya. 

Dia mengabaikan narasi dari banyak peneliti dan sejarawan yang telah mengangkat masa silam dengan metodologi yang ketat. Dia ingin menafsir ulang masa lalu, dengan mengangkat sisi humanis bapaknya, seakan-akan hendak berkata, “Enak jamanku to?”

Tahun depan, Indonesia akan memasuki pilpres. Saya menganggap momen ini menjadi strategis sebab yang sedang bertarung adalah ingatan dan tafsir masa silam. Ada yang menganggap masa silam itu amat indah dan masa kini begitu terpuruk sehingga solusinya adalah kembali ke masa silam. 

Di kutub lain, saya melihat anggapan bahwa masa silam sudah berlalu, namun masih menyisakan jejak berupa mentalitas yang harus disingkirkan demi Indonesia masa depan. Bahwa Indonesia masa depan adalah Indonesia baru yang tidak pernah melupakan sejarah sebab selalu menyerap banyak hikmah dari perjalanan bangsa sehingga tidak jatuh di lubang yang sama.

Di situ, saya melihat ada ingatan yang sedang berebut mencari tempat di benak generasi baru yang pikirannya serupa ruang kelas yang kosong.




FADLI ZON dalam Tinjauan Peneliti Jepang


Fadli Zon bersama patung empat pendiri bangsa di rumah budaya yang didirikannya

Bulan April lalu, saya diajak Profesor Susanto Zuhdi untuk menghadiri orasi ilmiahnya di kampus Universitas Indonesia, Depok. Di acara itu, saya bertemu Fadli Zon yang ternyata adalah bimbingan Prof Susanto yang belum lama lulus di program doktor bidang sejarah UI. 

Di layar kaca dan media sosial, Fadli Zon terlihat arogan, tidak mau mendengar lawan debatnya, hingga penuh kritik membabi-buta pada rezim. Bahkan dia juga seorang yang produktif buat puisi untuk mengkritik Jokowi. Tapi saat bertemu langsung, dia sosok yang sangat hangat. 

Sebagai murid, dia datang dan menghadiri acara orasi dari Prof Susanto. Dia tidak memosisikan dirinya lebih tinggi sebab semua yang datang adalah murid Prof Susanto. Malah dia ikut berbincang santai dengan banyak orang. Tentu saja, tak ada topik mengenai Jokowi dan Prabowo di situ.

Saya pun teringat dengan sosoknya sebagaimana ditulis Hisanori Kato, seorang peneliti asal Jepang. Tulisan tentang Fadli itu saya temukan dalam buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato, terbitan Kompas 2014. 

Sebagaimana lazimnya para antropolog, dalam buku ini, Kato bercerita pengalamannya ketika melakukan riset tentang Islam di Indonesia. Dalam riset itu, ia tidak fokus pada ajaran dan teks keislaman. Ia fokus pada bagaimana Islam dipersepsi, dihayati, dan dijelmakan dalam sikap hidup para penganutnya.

Kato menuliskan beberapa sosok yang menurutnya inspiratif serta menjadi representasi Islam di Indonesia. Ia menulis pertemuannya dengan Gus Dur, Mohamad Sobary, Ismail Yusanto (Jubir HTI), Ulil Abshar Abdalla, Abu Bakar Ba’asyir, hingga beberapa sosok muda seperti Eka Jaya (anggota FPI) dan Fadli Zon.

Pada beberapa tokoh itu, ia mengaku tidak sekadar wawancara. Ia sedang belajar dan menyerap pengetahuan.
Saya tertarik membaca kisah perkenalannya dengan Fadli Zon. Sebelumnya, saya memang tak punya banyak gambaran tentang sosok ini. Pernah, saya membaca bukunya Politik Huru-Hara 1998, namun saya tak begitu terkesan sebagaimana membaca buku Pretext for the Mass Murder karya John Roosa. 

Kato menggambarkan Fadli sebagai sosok penting di balik peristiwa demonstrasi besar-besaran anti SDSB. Pada tahun 1980-an, pemerintah memiliki program Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Bentuknya adalah semacam lotre di mana setiap orang memiliki iming-iming untuk kaya. Sebagai aktivis, Fadli Zon mengorganisir demonstrasi untuk menentang kebijakan SDSB.

SDSB ibarat taruhan memasang sejumlah nomor. Jika tebakannya benar, maka akan mendapatkan hadiah. Jika tidak, maka bisa pasang nomor lagi pada kesempatan lain. Bagi Fadli, kebijakan memasang SDSB itu ibarat judi. “Hukumnya adalah haram,” katanya.

buku yang ditulis Hisanori Kato

Yang menarik buat saya, penggambaran tentang Fadli adalah sosok generasi muda Muslim yang getol memperjuangkan agama. Di saat wawancara itu, Fadli menginginkan agar Islam bisa diakomodasi di ranah politik. 

“Seharusnya Islam terlibat aktif dalam politik. Saya memimpikan Indonesia menjadi negara yang demokratis. Seperti Anda ketahui, Indonesia adalah negara yang mayoritas warganya beragama Islam. Dalam hal ini keterlibatan warga Muslim sangat diperlukan,” kata Fadli sebagaimana dicatat Kato.

Wawancara ini penting untuk memahami bahwa pada mulanya Fadli memang tokoh yang berniat untuk menempuh jalan politik melalui wacana keagamaan. Padahal, jalan hidupnya agak berbeda. Sebab ia pernah menjalani sekolah menengah di Amerika Serikat (AS), pernah pula memiliki keluarga angkat yang beragama Kristen. 

Dua tahun setelah Soeharto turun, Fadli lalu bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) demi membumikan gagasannya tentang Islam. Ketika terjadi perpecahan di tubuh partai itu, Fadli lalu hengkang ke Inggris untuk belajar di London School of Economic (LSE).

***

Saya juga menemukan beberapa inspirasi tentang Fadli Zon. Sosok ini cukup konsisten pada ranah kebudayaan. Ia rajin berburu koleksi publikasi, kartu pos, dan segala hal menyangkut Indonesia di luar negeri. Bahkan, ia juga mengumpulkan foto-foto bersejarah untuk dipajang di rumah budaya dan perpustakaan yang didirikannya.

Beberapa tahun silam, seorang sejarawan yang saya temui di negeri Paman Sam menyampaikan kekagumannya atas upaya Fadli Zon mendapatkan koleksi foto saat Kartosuwiryo, pemimpin gerakan DI/TII, dieksekusi pemerintahan Soekarno. Dokumen foto itu amat bernilai bagi para sejarawan yang hendak memahami kejadian tersebut demi menyerap tetes-tetes hikmah.

Dia mendirikan Rumah Budaya Fadli Zon di Tanah Datar, Sumatera Barat, daerah kelahirannya. Di situ, ia memajang sekitar 100 koleksi keris Minangkabau yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Ia juga mengoleksi lebih 700 buku bersejarah yang bertema Minangkabau, serta beberapa koleksi bersejarah di antaranya keris Luk Sembilan asal Pagaruyung yang dibuat pada abad ke-18, songket lama, dan lukisan kuno. Ia juga memajang fosil kerbau berusia dua juta tahun di rumah budaya itu.

peresmian patung Tan Malaka
patung Chairil Anwar

Di media online, saya membaca artikel tentang koleksi di rumah budaya ini. Di situ, terdapat empat patung pendiri bangsa, yakni Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Aneh juga sebab Fadli Zon dalam banyak kesempatan mengkritik komunisme dan menjelaskan bahayanya, tapi malah dia sendiri memajang patung Tan Malaka.

Di situ juga ada patung Chairil Anwar, juga banyak koleksi lukisan dan ukiran. Tak hanya itu, di situ juga terdapat koleksi batu akik yang berasal dari banyak wilayah di Indonesia.

Kecintaan Fadli pada ranah budaya dan literasi juga diwujudkan dengan pendirian Fadli Zon Library di Jakarta. Ia memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak 40.000, koleksi koleksi naskah kuno, dan koleksi koran tempo dulu. Beberapa koleksi lainnya adalah: koleksi keris, tombak, pedang dan badik dari berbagai kerajaan Nusantara, koleksi prangko, koleksi uang logam (coin), koleksi patung dan lukisan dari berbagai maestro seniman Indonesia.

Ada juga koleksi piringan hitam (long play) dari musisi atau penyanyi Indonesia, koleksi rokok yang di produksi di Indonesia, koleksi tekstil dan kain tua dari berbagai daerah, serta koleksi kaca mata dari beberapa tokoh.

Bagi saya, perpustakaan dan rumah budaya itu merupakan wujud dari kecintaan Fadli Zon pada kebudayaan. Dia mencintai Indonesia dengan cara menyerap semua artefak dan karya-karya agung dari bumi Indonesia. Melalui koleksi-koleksi yang dikumpulkannya, dia berharap mewariskan sesuatu yang kelak akan menjadi dokumen budaya dan sejarah yang penting untuk Indonesia.

Pada titik ini, Fadli Zon telah menyimpan banyak warisan berharga yang kelak jadi mutiara budaya dan sejarah bagi generasi mendatang. Salut untuknya.

***

Sayangnya, artikel Hisanori tidak menyajikan cerita mengenai bagaimana pertemuan Fadli dengan Prabowo Subianto. Saya menyayangkan mengapa hal ini tak dibedah lebih jauh. Sebab kisah perjumpaan dengan Prabowo serta pilihan politik Fadli untuk mendampinginya pastilah menyimpan cerita yang menarik bagi semua sejarawan dan pemerhati ilmu sosial.

BACA: Luna Maya, Suzanna, dan Narasi Profesor Amerika

Saya penasaran bagaimana transformasi seorang aktivis yang mencintai budaya, menjadi seorang politisi yang amat setia pada satu figur. Mungkin saja, kecintaan Fadli pada Indonesia membawanya pada satu kesimpulan bahwa dirinya harus masuk ke ranah politik, di mana Prabowo menjadi figur yang bisa mewujudkan cita-citanya.

Saya hanya mendengar selentingan kabar kalau perkenalannya dengan Prabowo sudah berlangsung lama. Bahkan Prabowo yang menyekolahkannya ke Inggris. Jika ini benar, maka terjadi simbiosis antara seorang intelektual dengan politisi. Para politisi bisa meng-ijon atau berinvestasi pada para aktivis dan intelektual agar di kemudian hari menjadi partner dan pembela yang setia.

Satu hal yang saya sayangkan adalah Fadli Zon tidak meneruskan tradisi intelektualnya melalui upaya menulis buku-buku bermutu. Rasanya amat sayang, gelar master dari London School of Economic, kampus yang banyak melahirkan para pemikir dunia, hanya berakhir sebagai politisi yang memproduksi puisi-puisi kritik yang diarahkan pada rezim. 

rumah budaya Fadli Zon

Saya membayangkan dia akan melahirkan banyak buku dan artikel bermutu sebagaimana dahulu dilahirkan Sukarno dan Hatta, yang kemudian menjadi artikel penting dalam tapak sejarah pemikiran bangsa ini. Dia punya kapasitas yang memadai untuk mencerahkan negeri dengan gagasannya cemerlang, yang diolah dengan pendekatan budaya serta rasa cinta yang dahsyat pada negeri.

Dia bisa mewariskan catatan sekelas Madilog karya Tan Malaka atau Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno. Bahkan dia bisa menulis topik ekonomi sedalam Mendayung di Antara Dua Karang yang disusun Hatta.

Jika saja dia melakukan itu, maka kelak warisannya pada negeri akan paripurna. Dia mengoleksi artefak budaya. Dia pun mewariskan pemikiran yang cemerlang serta perilaku politik yang berada dalam bingkai keadaban. Tapi, saya masih berharap dia bisa melakukannya. 

Tak sekadar puisi-puisi itu.





Tiga Opsi untuk BUNI YANI




Lama ditunggu, akhirnya kasasi dari Mahkamah Agung (MA) keluar juga. Mahkamah menyatakan menolak kasasi yang diajukan Buni Yani. Dia tetap dinyatakan bersalah sesuai keputusan Pengadilan Negeri Bandung yang telah memvonis Buni Yani 1 tahun enam bulan penjara.

Dia dianggap bersalah karena mengedit dan menyebarkan video Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kemudian heboh dan mengundang reaksi berupa demonstrasi hingga berjilid-jilid. Jika tak ada lagi upaya hukum, maka Buni Yani tinggal menunggu waktu kapan akan dieksekusi.

Saya mengenal Buni Yani sebagai sesama alumni Ohio University. Semasa di Ohio, saya membaca tesisnya yang mengenai politik editorial di harian Kompas dan Republika saat memberitakan konflik Maluku.

Dia menulis tesis di bawah bimbingan seorang profesor yang dikenal sangat mencintai Indonesia. Bahkan Buni tinggal di rumahnya.

Saya beberapa kali bersua dengan Buni Yani dalam berbagai pertemuan alumni, serta berinteraksi di WhatsApp Grup. Di mata saya, dia orangnya baik dan senang berdiskusi. Dia pribadi yang hangat. 

Dia pernah mengirimi saya pesan melalui SMS. Dia tahu kalau saya sedang berada di Lombok. Kebetulan, dia pun menuju ke Lombok, kampung halamannya. Dia mengajak untuk sekadar ngopi dan berbincang. Sayang, jadwal kami tak bertemu.

Tapi sejak momen pilpres, postingannya di media sosial mulai menyengat. Beberapa orang tidak nyaman dengan sebab sering kali merendahkan pihak pendukung capres tertentu. Pernah dia didebat habis-habisan hingga akhirnya mengurangi postingan. Hingga akhirnya, kasus itu bergulir dan kasasi MA keluar.

Kalaupun Buni Yani harus dieksekusi, maka saya berharap itu tidak lantas menenggelamkan seorang Buni Yani. Saya ingin dia tetap produktif dan melakukan banyak hal yang kelak akan menjadi perbincangan banyak orang.

Jika akhirnya dieksekusi, ada tiga hal yang bisa dilakukan Buni Yani.

Pertama, dia harus menulis. Dalam sejarah, kita banyak membaca kisah tentang karya-karya hebat yang lahir dari penjara. Dahulu, aktivis asal Italia, Antonio Gramsci, menulis Prisoner Notebook dari dalam jeruji. Tan Malaka menulis Madilog ketika menjadi buronan.

Nelson Mandela menulis karya terbaiknya Long Walk to Freedom saat berada dalam tahanan. Bahkan karya terbaik sastrawan Pramoedya Ananta Toer lahir di tahanan yang terletak di Pulau Buru.

Kasus Buni Yani bisa dilihat dari banyak sisi. Selama ini kita hanya tahu dari berita yang ditampilkan banyak media. Tapi kita tidak pernah tahu persis apa yang dirasakan Buni Yani, serta bagaimana penilaiannya atas kasus ini sebagai seorang akademisi.

Sebagai alumni Ohio University, dia punya amunisi yang cukup untuk sekadar menulis kasusnya secara jernih, yang selama ini luput dari pantauan media. Andaikan dia menulis kasus ini dari perspektif auto-etnografi, satu perspektif riset yang tengah populer, maka pasti akan menarik dibaca.

Dia bisa menguraikan apa saja lesson learned yang dihadapinya bagi pengembangan kajian tentang media sosial di Indonesia. Dia bisa menyumbang kepingan penting pada the body of knowledge kajian komunikasi di tanah air, yang belakangan ini terkesan mandek.

Di tambah lagi, dia punya kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Dia bisa menuliskan kasusnya dengan bahasa Inggris sehingga diketahui oleh publik luar. Dia bisa populer di kalangan organisasi pelindung hak sipil dan hak asasi.

Jika bebas, undangan untuk menghadiri konferensi ke luar negeri akan laris diterimanya. Dia bisa setenar Malala Yousafzai yang sering diundang di banyak negara karena kisah perjuangannya di tengah tekanan milisi Taliban telah menginspirasi banyak orang.

Kedua, Buni Yani harus tetap aktif sebagai buzzer dari Prabowo-Sandi. Dia bisa mencitrakan dirinya sebagai orang yang dizalimi oleh rezim ini. Dia bisa saja menuding peradilan dan penghakiman pada dirinya sebagai sesuatu yang sengaja di-setting oleh aparat berwenang.

Ujung-ujungnya dia bisa menyalahkan Jokowi, sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh pencinta oposisi,  sebagai kepala negara yang tidak berbuat apa-apa untuk membela dirinya sedang memperjuangkan kebebasan berbicara.

Sebagai buzzer, Buni bisa menjadi simbol dari kesewenang-wenangan penguasa. Buni akan menempati posisi strategis dalam perang wacana di media sosial. Sebagai akademisi yang pernah belajar di Ohio dan Leiden, dia tahu bagaimana memetakan pesan-pesan yang berpotensi viral, serta bagaimana merancang sesuatu menjadi viral.

Di tambah lagi, kasusnya telah melejitkan dirinya sebagai micro-celebrity yang punya banyak penggemar di dunia maya. Dia hanya butuh konsistensi dalam membuat postingan kemudian menyebarkan ke berbagai kanal.

Kalaupun di tahanan dia tidak bisa menggunakan HP, maka dia bisa menempuh strategi Anas Urbaningrum yang menulis bahan postingan di kertas, kemudian dicuitkan oleh sahabat-sahabatnya di Twitter.

Jika saja Prabowo-Sandi menang, maka Buni Yani bisa panen berkah dan keuntungan, sebagaimana aktivis 98 yang dulunya memenuhi penjara di rezim Orba, kini bisa melenggang ke kursi kekuasaan dan duduk nyaman di posisi strategis.

Ketiga, dia bisa fokus sebagai pendakwah. Dia melejit sejak kasus Ahok. Jika Ahok dilabel sebagai penista, maka Buni Yani dilabel sebagai pembela. Sejak kasusnya merebak, saya melihat Buni Yani mulai populer sebagai pendakwah. Dia mulai sering diundang ke acara-acara yang dibuat FPI. Dia juga mulai rajin mendatangi pengajian. Penampilannya mulai agamis.

Jika ditahan, dia bisa kembali memperdalam ilmu agama hingga level magister, setelah keluar dia bisa meramaikan televisi dengan menjadi selebriti. Saat ini, dia sudah menjadi branding yang kuat di kalangan banyak orang. Sebagaimana diakuinya sendiri di satu media, sejak kasusnya merebak, dia mulai laris sebagai penceramah.

Dakwahnya tidak hanya di medsos, kini mulai merambah ke masjid dan beberapa majelis taklim. Dia tidak perlu nyantri selama bertahun-tahun. Dia hanya perlu kembali membaca buku-buku agama, sehingga bisa mengutip ayat dan hadis, setelah itu mulai fokus membahas pembelajaran serta pelajaran agar orang lain bisa setegar dirinya.

Dengan keahiannya di bidang komunikasi, dia bisa jadi pendakwah sekaligus motivator yang akan mengalahkan popularitas Mario Teguh. Dengan sedikit polesan bisnis, branding Buni Yani bisa dikelola untuk memasarkan banyak hal.

Dia bisa jadi duta bagi usaha atau bisnis berlabel 212, sebagaimana Rafi Ahmad menjadi duta promosi bagi Alfamart. Malah dia bisa membuat label sendiri sebagaimana dilakukannya ketika membuat gelas dengan wajah dirinya disertai tulisan Buni Yani Mencari Keadilan.

Yang pasti, Buni Yani bisa tetap melakukan banyak hal. Tahanan hanya akan menjadi terminal sementara yang akan semakin melejitkan dirinya. Sungguh menarik untuk melihat bagaimana transformasi dirinya, serta bagaimana tanggapannya atas banyak hal. Jika ada yang menulisnya, pasti akan menjadi bacaan yang menarik.

Tapi saya berharap dirinya yang menulis tentang itu. Semoga.