Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Komunitas Epistemik dan Belukar Intelektual

APA arti seorang cendekiawan? Apa arti
menjadi intelektual? Intelektual adalah sosok yang mengobarkan api ilmu dan membakar belukar ketidaktahuan manusia. Mereka adalah sosok yang membawa pencerahan demi membawa terang peradaban.

Sosok ini bukanlah mereka yang duduk tenang di bangku akademis sembari memamah biak seluruh bangunan teori asing dan mengutipnya secara asal. Ia bukanlah mereka yang terjebak dalam kegenitan intelektual sembari menatap sinis pada tradisi negeri yang berdenyut dalam darahnya.

Intelektual adalah kupu-kupu harapan bagi sebuah negeri yang tengah beringsut menuju kemajuan. Sosok yang menjadi pembebas dan tercatat dengan gemilang dalam berbagai kitab suci dan kitab peradaban manusia.

Jika seseorang hanya bisa mengucapkan nyanyi sunyi ketika ketidakadilan dan ketimpangan bersemayam di depan mata, maka tentu dia bukan intelektual. Sebab intelektual memiliki apa yang disebut filsuf Heidegger sebagai sesuatu yang bisa membawa terang dan memisahkan gelap dalam hidup.

Luka bagi masyarakat adalah luka bagi kaum intelektual. Pedih bagi masyarakat adalah pedih bagi kaum intelektual. Di saat bersamaan lahir ikhtiar untuk merefleksikan seluruh gejolak masyarakat dengan penuh kejernihan dan tanpa takut.

Jumlahnya tentulah tidak banyak. Sebab kehadiran mereka semata-mata adalah membawa pesan suci untuk membangkitkan kerajaan Ilahi di muka bumi.

Bagi saya, intelektual tidak sekedar kategori capaian intelektual. Ia juga merangkum kategori eosional serta spiritual. Faktor yang paling penting adalah ia harus punya andil dalam mereleksikan zaman serta membangun upaya sistematis untuk melakukan rekayasa sosial untuk zaman yang lebih baik.

Saya selalu berkeyakinan kalau jumlah intelektual itu tidak banyak. Sejarah mencatat kalau mereka tidak banyak sebab hanya menjadi noktah kecil dalam perjalanan sejarah.

Barangkali asumsi ini terlampau berlebihan. Mungkin. Namun, jika melihat pemetaan intelektual Indonesia kontemporer, akan terang benar kalau mereka adalah mahluk yang langka di republik ini.

Di negeri ini, kategori intelektual hanyalah menjadi label dari mereka yang mendedikasikan ilmunya sebagai alat kekuasaan. Sekadar menjadi sekrup kecil dari mesin raksasa bernama pembangunan. Sekadar meneguhkan kekuasaan dan mempreteli hak-hak rakyat.

Jangan heran jika menemukan fakta akan banyaknya mereka yang mengatasnamakan intelektual. Mereka menempati banyak posisi penting baik di pemerintahan maupun parlemen.

Mereka menjadi pengabsah dan tim ahli di balik lahirnya sebuah kebijakan. Mereka menjadi komunitas epistemik yang meramaikan debat dan wacana di dalam jantung sistem bernama negara.

Komunitas epistemik ini beranggotakan sejumlah orang yang mengaku intelektual dan menjalankan berbagai kegiatan demi meneguhkan rezim yang dibelanya. Tugas mereka adalah merefleksikan berbagai kebijakan yang hanya mendukung pemerintah.

Studi dari Daniel Dhakidae berhasil memetakan sejumlah intelektual di zaman Orde Baru yang memiliki peran dalam negara. Di seberang temberang dari intelektual pro negara, ada pula sejumlah intelektual yang memposisikan dirinya untuk membangun wacana tanding (counter discourse) pada berbagai kebijakan negara.

Demikian pula dengan studi Yudi Latif tentang intelektual Indonesia pasca-Orde Baru. Kita diosodori dengan fakta betapa jumlah mereka hanya seperti bilangan jari di tengah warga Indonesia yang mencapai 240 juta orang.

NANTI SAYA LANJUTKAN

Disuruh Garap Disertasi S3

AKU akan mencatat hari ini sebagai peristiwa yang sangat penting. Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif jadi sangat berbeda dan menorehkan kesan mendalam di benakku.

Dosenku yaitu Dr Iwan Tjitradjaja hari ini memberikan tugas kepada mahasiswa magister dan doktoral untuk menganalisis berbagai tesis dan disertasi. Menurutnya, itu berguna agar kami bisa melihat sejauh mana konsistensi penerapan teori dan analisis.

Ia lalu melihat ke sekeliling ruangan. "Khusus Yusran, kalau bisa menggarap disertasi S3. Kamu punya kemampuan lebih," katanya. Menurutnya, aku seharusnya ambisius dan menulis disertasi doktoral.

"Sebaiknya Yusran harus ambisius karena kemampuannya. Ia tidak tepat jika cuma menganalisis tesis S2. Ia harus menganalisis disertasi S3," katanya.

Alumnus University of California, Berkeley ini, melanjutkan," Kalau bisa ngasih saran, Yusran harus selesai di semester tiga kemudian lanjut ke program doktoral. Ini bisa dilakukan karena Yusran punya kemampuan untuk itu."

Tiba-tiba saja, aku serasa tidak menginjak tanah. Aku terlampau girang oleh pujian itu. AKu terlampau bahagia. Apalagi, semua orang melihatku sambil iri. Rasanya, aku menjadi raja dunia.

Jangan-jangan ia sedang bercanda ya? Ah, peduli setan!!! Yang penting aku bahagia oleh pujian itu. Itru benar-benar melecutkan semangatku untuk terus belajar dan berusaha agar bisa lebih baik.

Akibat pujiannya, aku menjalani perkuliahan dengan rasa sungkan. Jika ada pertanyaan yang sukar, maka Pak Iwan akan menoleh ke arahku dengan harapan agar aku bisa menjawabnya.

Ia seakan berharap agar aku selalu punya jawaban atas pertanyaan sulit itu. Meskipun aku sendiri tak tahu jawabannya, ia selalu ingin agar aku bisa menjawabnya. Ah, aku benar-benar sungkan.

Indahnya Puasa Pertama

INILAH puasa pertamaku di Kota Jakarta. Puasa yang begitu indah hingga terasa ada getar yang memenuhi ruang-ruang kalbuku. Puasa yang indah karena dilakukan saat aku lagi punya fokus mencapai sesuatu. Lagi mendekati Tuhan untuk bermanja-manja dengan harapan agar ada rahmat dan karunia. Puasa ini berbeda bagiku.

Untuk pertama kalinya aku menjalani puasa dengan penuh keprihatinan. Menjalani puasa dengan semangat yang lagi pasang naik untuk mencicipi indahnya religiusitas.

Barangkali aku agak berlebihan. Saat di Makassar setahun lalu, puasa juga berat. Namun aku sangat kuat karena aku berada di tengah orang-orang yang mencintaiku. Ada Kak Tia, Kak Syam, hingga Dwi. Semuanya memancarkan cinta yang mengalir bagai sungai. Tak henti-henti.

Di sini, aku harus belajar untuk menyimpan semua kenangan itu sebagai sesuatu yang berdenyut di hatiku. Aku harus merangkum semuanya menjadi getar yang membuatku harus tetap bertahan di tengah pekatnya Kota Jakarta.

Aku menjalani sahur di rumah kos-kosan teman-teman asal Makassar. Di sana, ada keramaian khas anak muda yang riuh dan menyambut puasa dengan gegap gempita. Semuanya senang dan tiba-tiba menjadi anak kecil lagi yang begitu menyambut Ramadhan.

Aku makan sahur dalam suasana yang begitu ramai bersama teman-teman. Menunya sangat sederhana yaitu nasi, indomie, serta ikan sardens. Menu itu dikemas dalam suasana yang begitu ramai. Kami saling mengganggu dan mengerjai. Suasana riuh tercipta ketika ada teman yang diolok-olok dan menimpalinya dengan lelucon segar.

Usai sahur, tiba-tiba saja semuanya langsung berwudhu. Tiba-tiba saja semua laki-laki memakai sarung dan songkok ala haji. Kami mengaji di lantai dua rumah itu dengan suara yang dikeraskan.

Suasananya begitu indah. Rumah itu menjadi pekat dengan aroma religiusitas. Sesuatu yang lama tak terlihat di situ. Aku yakin, warga di sekitar situ agak heran menyaksikan tingkah kami yang tiba-tiba saja berubah.

Kami seakan larut dalam arus besar yang melihat Ramdhan dengan begitu romalistis. Mungkin kami memaknai Islam dengan begitu simbolik. Seakan-akan indahnya Islam direduksi menjadi perkara yang sifatnya ritual belaka.

Tapi, semuanya tidaklah sesederhana itu. Ada suasana emosi yang sukar untuk didefinisikan. Ada aspek psikologis yang sukar untuk dijabarkan dalam teks. Namun rasa itu benar-benar ada dan berdenyut dalam batin kami.

Sebuah keindahan religiusitas yang lahir dari kesadaran akan adanya sesuatu yang begitu perkasa di luar diri kami. Kesadaran kalau ziarah material kami begitu menjauh dari upaya untuk merengkuh indahnya pelukan dan atmosfer keberadaan-Nya. Perjalanan kami begitu jauh dan menjauhi-Nya.

Kami ingin pulang. Kami ingin kembali mereguk indahnya cawan karunia-Mu. Meski kami malu dengan semua dosa dan angkara yang kami sebar di bumi ini.

Entah kenapa, aku dan teman-teman tiba-tiba menjelma jadi anak kecil. Aku tak bisa lupa ketika menjalani puasa di masa kecil. Bagaimana hebohnya bapakku membangunkan aku dan selalu meledek kalau aku tak kuat berpuasa. Sehari sebelum puasa, rumahku seakan berbenah seolah ada hajatan besar.

Bapakku mulai mengecat rumah, ibu mulai memasak yang enak-enak. Kakakku Ismet dan aku membersihkan rumah. Tia dan Atun ikut mengelap kaca hingga bersih hingga tak nampak debu di situ. Puasa menjadi kenduri kultural yang sangat langka dan disambut meriah.

Aku masih ingat menu kesukaanku saat itu. Nasi dengan ikan cakalang yang udah dibakar dan ditumis dengan santan. Wow, menuliskannya saja sudah membuatku tiba-tiba lapar dan rindu dengan masakan ibuku.

Usai sahur, bersama saudara, aku langsung menuju Masjid Nurul Abidin yang terletak di kompleks Depag. Di sana, kami salat berjamaah.

Usai itu, kami lalu jalan subuh menuju pelabuhan,. Entah kenapa, warga kampungku suka menjalani ritual jalan subuh di saat usai salat berjamaah. Massa menyemut menuju kawasan itu. Ada pertemuan dengan saudara-saudara yang lain sembari mempererat kembali benag silaturahmi yang sudah mulai berjauhan.

Malam hari jadi begitu meriah. Tak bosan-bosannya aku ke masjid untuk salat jamaah dan bermain-main bersama kawanku.

Ramadhan benar-benar menjadi momentum untuk kembali pada hakekat beragama yaitu peneguhan secara eksistensial kalimat Ilahi dan menjadikannya sebagai ruh atau nafas dalam bertindak.

Sebuah keindahan yang hadir bagai oase bagi batin yang kian jauh dari spiritualitas. Yah, keindahan yang saat ini mulai kusarasakan lagi. Thanks God....

Seminggu di DPR

AKU menjalani hari-hari yang sangat melelahkan. Kembali aku menjalani rutinitas yaitu kuliah dan kerja. Dua entitas yang kugeluti selama berada di Jakarta, kota tempat aku melabuhkan semua impianku.

Tak ada yang istimewa minggu ini. Kecuali aku banyak menyampaikan gagasanku di beberapa mata kuliah di kelas. Sampai-sampai, dosen favoritku yaitu Ignas kleden harus menoleh terus padaku selama materinya berlangsung.

Seakan-akan aku akan terus bertanya dan berdebat dengan dia. Bahkan, ketika Ignas memaparkan banyak contoh, ia selalu menyebut nama saya sambil menoleh. Ah, aku jadi tidak enak kepada teman-teman yang kuliah di program doktoral karena perhatian Ignas padaku yang begitu besar. Seakan-akan, Ignas terpesona denganku. (geer nih)

Pada mata kuliah yang diasuh Iwan Tjitradjaja, aku selalu tak bisa menahan keinginanku untuk selalu mengacungkan jari. Aku berpendapat dan mengajukan jawaban atas berbagai hal. Aku melihat kalau Pak Iwan tersentak juga karena selama ini aku dikenalnya sebagai mahasiswa magister yang pendiam dan tak banyak omong. Hari Senin lalu benar-benar berbeda.

Minggu ini juga, aku resmi masuk kantor. Aku resmi menjadi Staf Ahli DPR RI. Aku ditempatkan sebagai staf ahli di panitia Ad Hoc III. Selain itu, aku juga diminta menjadi asisten pribadi dari Faisal Mahmud, Wakil Ketua PAH III yang juga merupakan anggota DPD asal Sulawesi Tengah.

Aku agak mengalami gegar kultur (shock culture). Bayangkan, setiap hari aku harus berpakaian rapi dan mengenakan batik atau kemeja ketika masuk kantor. Aku juga harus mengenakan celana kain agar terlihat rapih saat berada di kantor.

Tahu sendirilah kalau aku seorang jurnalis yang terbiasa berpenampilan cuek. Terbiasa berpenampilan berantakan. Bagiku, penampilan hanya aspek keseribu dan tidak mencerminkan prilaku dan kecerdasan seseorang.

Tapi itu dulu. Aku memasuki dunia lain yang menbutuhkan semua derajat formalitas. Tapui tak hanya itu kok.

Terus terang, aku juga canggung karena tidak punya banyak pakaian. Terpaksa, aku meminjam baju dan celana yang dimiliki teman-teman. Aku pinjam sepatu kulit dan baju batik dari si Antar. Celana dari Indra, hingga parfum dari Fiar. Yah, pakaianku serba pinjaman.

Aku terlihat bergaya. Saat menuju Press Room di DPR, teman-temanku banyak yang heran dengan penampilanku. Malah, si Jannes (Rakyat Merdeka), juga Aco (Kompas), serta Fajri (Detikcom) menuduhku sebagai borjuis baru. Kata mereka,"Wah, sama sekali tak nampak penampilan dari seorang mantan aktivis. Yang ada adalah sang borjuis." Ah, mereka bisa saja. Aku hanya bisa tersenyum-senyum.

Kerjaan selama seminggu ini belum banyak. Mungkin karena aku masih diberi kesempatan untuk beradaptasi terhadap situasi yang aku hadapi. Makanya, yang aku lakukan hanyalah mengikuti rapat yang digelar PAH III yaitu tentang RUU Anti Trafiking (perdagangan manusia), hingga rapat paripurna.

Aku merasa bisa belajar banyak hal di situ. Pak Faisal menyarankan aku untuk mempelajari semua Tatib DPD serta tugas-tugasnya. Ini berguna agar kelak aku bisa membantunya menyusun berbagai aturan perundang-undangan serta mempertajam debat yang terjadi di ruang sidang.

Saat rapat paripurna, aku merasa mulai bisa mengenali apa yang sesungguhnya terjadi dengan DPD. Makanya, aku banyak cerita sama temanh-teman kalau posisi DPD sungguh memprihatinkan. Lembaga ini seakan-akan tak berdaya sebab tak punya kekuasaan. Lembaga ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada DPR. Malah, dalam banyak hal, DPD justru dilecehkan atau dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Kasihan !!!

Aku justru melihat kalau ini adalah manifestasi dari tidak konsistennya negeri ini menerapkan sistem bikameral. DPD dibentuk tapi sama sekali tak diberi kewenangan untuk merumuskan banyak hal. Yang terjadi adalah lembaga ini hanya berfungsi sebagai pemberi stempel terhadap berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.

dalam paripurna itu, aku mendengar berbagai keluhan dari anggota DPD yang posisinya serba tanggung. Posisi mereka seakan tak jelas sebab hanya membahas berbagai hal namun itu hanya bersifat rekomendasi kepada pemerintah. Pembahasan yang tak punya kekuatan hukum untuk menetapkan sesuatu.

Mungkin ini adalah ironi negeri ini. Berbagai sistem dicoba, berbagai mekanisme dibangun, berbagai strategi digelar, namun ujung-ujungnya hanya untuk memboroskan anggaran. Negeri ini tak pernah bisa belajar banyak dari berbagai lembaga serta pranata yang dibentuk namun tak punya substansi yang jelas.

Inikah Ironi Kapitalisme?


KADANG aku merasa malu dengan isi pesan di friendster ini. Nyaris tiap pesan hanya berisi gugatan pada situasi yang aku jalani. Lebih berisi lagu sunyi tentang pilihanku meniti karier di Jakarta. Pilihan untuk "berdarah-darah" demi sesuatu yang hingga kini tak terang benar dalam pikiranku.

Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku benar-benar tak tahu hendak bercerita apa dalam menghadapi situasi yang aku sendiri tak menduganya. Situasi yang memaksaku untuk bertahan hidup di kota ini sembari menahan lapar dan belajar keras. Itu dalam suasana prihatin.

Aku khawatir kalau-kalau Allah sedang menurunkan cobaan. Mungkin aku pernah melakukan sebuah kesalahan hingga hukum kausalitas tiba-tiba berlaku atasku. Yah, aku cuma bisa menelusuri seluruh belukar pengalamanku. Mencari kalau-kalau ada hal yang terlewatkan dan bisa berakibat fatal. Tapi... ah, biarlah aku belajar mengatasi ini.

Namun, tetap saja ada yang positif dari menulis di blog ini. Ini bisa menjadi curhat yang sangat efektif. Setiap aku selesai menulis di sini, terasa beban berat itu benar-benar berkurang. Tiba-tiba saja, aku sedikit tenang dan napasku sedikit lega. Sebuah himpitan perasaan seakan lepas sebagaimana sayap elang yang mengangkasa.

Yah, kembali ke inti masalah. Sebuah kesedihan kembali mengiris sisi relung hatiku. Gaji yang semestinya udah cair sejak kemarin di PT VSM, kembali tertunda. Tak ada jawaban atau pemberitahuan tentang alasan penundaan. Tak ada juga sebuah kata yang bisa ngasih ketenangan kalau terjadi kesalahan teknis.

Ini adalah untuk kelima kalinya. Sejak tanggal 1 September, beberapa bos perusahaan itu tak henti mengumbar janji dan harapan kalau gaji akan segera cair. Kini, udah tanggal 19 September. Artinya, selama 19 hari aku terus diberi janji kalau gaji akan segera mengucur.

Mungkin ini adalah manifestasi langsung dari berbagai teori tentang kapitalisme. Betapa kapitalisme hanya bisa menginjak-injak nasib semua karyawannya tanpa bisa memberikan solusi atas apa yang terjadi. Nasib buruh laksana bola salju yang dengan bebasnya ditendang ke sana-sini.

Tapi itulah watak zaman. Selalu saja ada pertaruhan hendak memilih sikap yang mana dalam hidup. Selalu saja ada kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk memilih posisi dan sikap tegas, apakah memilih jadi anak buah yang tertindas ataukah bisa mencari alternatif dan menerabas tembok penindasan itu.

Di kota yang asing ini, aku merasakan situasi menjadi korban kapitalisme. Tiba-tiba saja aku menjadi buruh yang hingga kini tak berdaya dan hanya bisa berujar lirih tentang situasi.

Apa aku harus berteriak? Mungkin itu bisa jadi solusi. Beberapa kali aku telah berteriak demi melepaskan semua bebanku. Apa aku harus lapor polisi? Ah, aku tak punya duit. Sudah bukan rahasia lagi jika berurusan dengan kepolisian, kita harus berani mengeluarkan duit demi mengongkosi perkara.

Lagian, aku merasa tidak enak jika harus lapor polisi. Seolah-olah sudah tak ada lagi pertemanan. Bagaimanapun, semuanya harus bisa kuatasi dengan cara bagaimanapun. Episode terakhir dari pilihanku adalah minta uang sama kakak. Meski itu harus dilakukan jika benar-benar tak ada pilihan.

Ah, aku agak heran dengan sikap sahabatku Si Adi. Tak henti-hentinya ia menjelaskan kondisi perusahaan yang morat-marit hingga memaksa bos menunda pembayaran gaji. Aku heran kok pembelaannya pada perusahaan itu begitu besar sementara dia tak mau mendengar apa masalahku.

Apakah dia tahu kalau aku betul-betul tak punya duit untuk makan? Apakah dia tahu kalau aku harus tinggal di tempat teman-teman Makassar dan selalu minta ditraktir lantaran tak punya duit? Apa dia tahu kalau beberapa kali aku menangis lantaran benar-benar tak punya duit.

Dalam satu kesempatan, ia pernah protes. "Kenapa hanya kamu yang stres pikir gaji sementara anak-anak lain di perusahaan itu tidak stres?"

Apakah Si Adi tahu kalau rata-rata teman-teman di situ punya rumah sendiri sehingga tidak masalah jika gaji tidak dibayar. Sementara aku cuma seorang rantau yang hanya bisa melakukan refleksi sedih atas apa yang terjadi.

Yah, pada akhirnya aku cuma bisa mengeluh. Orang kecil adalah mereka yang menyadari kalau suaranya seakan tak berdaya. Mereka yang menyadari kalau dirinya hanyalah bagian terkecil dari bekerjanya sebuah sistem bernama semesta. Mereka yang hanya sudah bekerja keras dan bisa menjelmakan kesedihan dalam benak. Sementara di tempat lain ada majikan yang berdalih "Tak ada uang perusahaan. Sorry karena sudah kerja tanpa digaji. Kita lagi bangkrut," katanya dengan nada angkuh.

Research Day di Fisip UI

SELAMA beberapa hari aku rajin ke kampus UI meski bukan waktu kuliah. Selain untuk mengurus kartu anggota perpustakaan, aku juga datang hendak mengikuti presentasi tentang Research Day.

Sekitar 100 penelitian terbaik baik di jenjang s1, s2, maupun S3 dipresentasikan. Terasa betul kalau kampus ini benar-benar diarahkan pada dunia riset, sesuatu yang selama ini diabaikan oleh banyak kampus di Indonesia.

Tak hanya itu, ada pula ajang seminar yang menghadirkan berbagai topik penting. Aku benar-benar merasakan pekatnya aroma intelektualitas di kampus UI. Tradisi ini jelas bisa merangsang siapapun untuk belajar keras dan mencintai dunia ilmiah.

Semua presentasi itu dilakukan di beberapa tempat yang strategis. Ada pula pameran yang menghadirkan beberapa perusahaan besar. Kampus Fisip UI benar-benar berbenah.

Aku menghadiri beberapa presentasi yang kuanggap penting. Mulai dari riset antropologi berupa identitas Betawi yang kian mengalami pengaburan, hingga analisis ideologi terhadap buku PPKN bagi siswa SMA.

Khusus analisis ideologi ini, aku segera teringat pada risetku ketika menyusun skripsi dulu. Secara metodologis, sama persis caranya. Yaitu sama-sama menggunakan analisis wacana kritis dari Norman Fairclough.

Analisis ini melewati tiga tahapan mulai dari teks, produksi teks, hingga socio cultural practice. Ujung dari analisis ini adalah melakukan pembongkaran atas ideologi yang ada di balik sebuah teks.

Hebatnya, penelitian itu dilakukan oleh mahasiswa S1 dan cewek lagi. Ia begitu jago menguraikan temuan-temuannya. Di antaranya adalah ada rekayasa politik identiitas hingga dominasi negara yang begitu besar.

Namun yang lebih hebat adalah presentasi riset kemarin. Dipanel tiga orang peneliti dengan tema yang begitu menggugah dan inspiratif.

Yang pertama adalah riset tentang gay, selanjutnya riset tentang lesbian, terakhir adalah riset tentang waria se Kota Jakarta. Nah, yang terakhir inilah yang paling menantang.

Ketiga-tiganya berasal dari latar belakang antropologi. Riset mereka sungguh mengejutkan sebab didasari atas observasi serta analisis yang sangat kuat.

Ketiga-tiganya, membutuhkan pendekatan yang intens serta merupakan kerja yang tidaklah ringan. Namun, jujur saja kalau riset tentang waria jauh memiliki tingkat kerumitan dibandingkan dengan riset tentang lesbi atau gay.

Sang peneliti bercerita tentang begitu sulitnya dia memasuki dunia waria. Butuh pendekatan yang intens agar bisa diterima di komunitas itu. Ia juga harus siap untuk berlelah-lelah saat melakukan observasi demi menganalisis kebudayaan waria itu.

Saya sangat salut dengan kegigihan itu. Sampai-sampai, saya langsung berbisik sama teman saya dan berkata,"Luar biasa ya. Saya bayangkan betapa beratnya melakukan itu," kataku.

Sepanjang perjalanan pulang di kereta, aku selalu berpikir, apa yang kelak akan kuriset. Apakah tentang agama lokal ataukah tentang ideologi. Ah, nanti aja deh. Toh, masih lama waktunya.

Semoga kelak, aku juga bisa mempresentasikan hasil riset serupa. Insya Allah... semoga Tuihan memberi jalan lempang.

Diajari Ignas Kleden

AKHIRNYA aku bertemu dengan Ignas Kleden. Ia benar-benar sosok yang luar biasa dan telah memantik rasa ingin tahu serta ketertarikanku akan ilmu sosial.

Tahun lalu, ia menerima penghargaan dari Freedom Institut atas dedikasinya pada pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Penghargaan yang tahun ini diterima oleh sosiolog Arief Budiman.

Kini, ia kembali melecut rasa ingin tahuku untuk menelisik dunia sains sosial secara lebih jauh. Upaya untuk menjelajah secara intens pada dunia realitas sosial yang demikian penuh belukar.

Ignas menjadi dosen mata kuliah Hermenetika dan Teori Interpretasi. Mata kuliah yang semestinya diajarkan oleh istrinya sendiri yaitu Ninuk Kleden. Rencananya, ia akan mengajar untuk tiga kali pertemuan.

Aku benar-benar tak menyangka kalau Ignas akan mengajar pada mata kuliah itu di kampus Universitas Indonesia (UI). Makanya, ketika ia masuk, aku benar-benar surprised dan tidak menyangka bakal diajari intelektual yang selama ini aku idolakan.

Pada saat ia mulai mengajar, aku sengaja duduk di depan dan memandanginya. Aku tak bosan memandang sosoknya. Ia menjelaskan tentang teori hermenetik dan tradisi filsafat Jerman.

Fisiknya tak semuda yang kubayangkan. Ia terlihat sudah tua. Kulitnya hitam legam. Rambut putih tumbuh jarang di kepalanya yang plontos. Ia mewakili wajah khas warga Indonesia timur.

Kata-katanya meluncur deras secara tajam. Rupanya, ia sangat efektif dalam berbicara. Ia tak bertele-tele namun lugas dan penuh dengan selaksa makna.

Ignas menjadi gambaran dari sejauh mana penjelajahan ilmu sosial. Ia lebih banyak bermain di tataran teoritik. Sebuah dunia yang sangat melangit dan butuh abstraksi yang tinggi.

Hari Senin itu, ia membahas tentang hermenetika dari sisi historis. Saat ia bertanya siapa yang bisa menjelaskan tentang hermenetika, aku langsung mengacungkan tangan dan menjelaskan tentang hermenetika.

Setelah itu, beberapa teman ikut menjelaskan. Tapi, kayaknya pendapatku yang paling dalam dan lebih bisa mendekati kebenaran. Aku nggak geer lho.

Sepanjang kuliah, aku banyak bertanya. Ia juga tak bosan-bosan menjelaskan semua yang kutanyakan. Aku bahagia bisa diajar oleh Ignas. Setidaknya rasa hausku akan pengetahuan bisa teratasi.

Sesudahnya, mulailah Ignas menjelaskan lanskap teoritik hermenetik. Ia membedah empat filsuf Jerman yang menjadi nabi hermenetik. Mereka adalah Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, hingga Gadamer.

Yah, ia memang hebat, malah lebih hebat dari tulisan-tulisannya.

Usai perkuliahan, aku langsung memperkenalkan diri pada Ignas. Awalnya ia mengira kalau aku lulus S1 di Universitas Indonesia (UI). Saat aku menjelaskan kalau aku lulus di Unhas, Ignas tampak senang.

Ia lalu bercerita tentang kegiatannya yang melakukan training bagi warga jeneponto akan demokrasi. Ia mengajari mereka bagaimana proses demokrasi diterapkan dalam skala yang kecil. Aku benar-benar kagum pada Ignas.

Beberapa tahun yang lalu, aku membaca karya Ignas yang judulnya Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Karya ini demikian bagus dan bisa menggambarkan bagaimana dinamika serta problem metodologis yang melanda ilmu sosial.

Analisisnya tajam serta penuh dengan referensi teoritis yang tetap aktual hingga kini. Ignas benar-benar sosok yang bisa menjelaskan secara filosofis apa yang sesungguhnya terjadi dalam konteks Keindonesiaan.

Dalam buku itu, ia berbiacara tentang tema Relevansi Sosial dan Relevansi Intelektual. Ia berbicara tentang sifat sains yang terbatas pada aspek spasio dan temporal. Mesti ada titik temu antara kebenaran intelektual dan kebenaran sosial.

Ia juga menjelaskan tentang Juergen Habermas, Popper, Clifford Geertz serta sejumlah intelektual lainnya. Ia benar-benar hebat ketika menjelaskan itu.

Buku kedua dari Ignas yang aku baca berjudul Indonesia Sebagai Sebuah Utopia. Buku ini membuat kumpulan tulisannya di Harian Kompas dan media lainnya. AKu paling suka dengan bahasannya tentang Komunisme. Ia terlihat sangat menguasai persoalan.

Aku tersentak saat membaca analisisnya atas kolom Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad. Ia bisa menyibak sisi kelemahan yang selama ini tidak disadari ketika membaca esai yang katanya terbaik di Indonesia tersebut.

Bahkan, pengamat budaya Nirwan Ahmad Arsuka juga menilai analisis Ignas adalah tilikan yang paling bisa menjelaskan tentang kelemahan Goenawan. Sebuah tilikan yang terbaik jika dibanding tokoh lainnya yaitu William Liedle, Aswab Mahasin, hingga Ariel Heryanto.

Yah, semoga aku bisa menjadi Ignas Kleden di masa mendatang. Apa saya bisa?

Hengkang ke DPR RI

HARI-hari ini agak berat kurasakan. Sejak lima hari lalu, aku resmi menyandang status sebagai jobless alias pengangguran. Untunglah, aku mengisi waktu dengan membaca berbagai bahan kuliah.

Dari sisi finansial, tampaknya sudah ada sedikit perbaikan. Ternyata, aku masih punya honor dari Kompas sebesar Rp 415.000. Jumlah itu dihitung berdasarkan biaya transportasi ketika ke Makassar hingga fee berita yang memang belum kuambil.

Itupun dana dari Kompas itu sudah kugunakan untuk melengkapi buku yang harus dibaca berdasarkan silabus perkuliahan. Beberapa hari lalu, Ismet menelepon. Entah kenapa, aku masih bertahan untuk tetap tidak meminta uang. Meskipun, danaku juga terbatas alias pas-pasan. Yah, mungkin untuk lain kali.

Persoalan yang menderaku adalah karena sekarang ini aku masih berstatus pengangguran. Memang sih, untuk bulan ini aku masih bisa hidup, meski dengan duit pas-pasan. Tapi bulan depan, aku pasti kesulitan kalau tidak segera dicari jalan untuk mengantisipasi itu.

Terus terang, aku senang bekerja di PT Visual System Multimedia (VSM). Di situ aku bisa belajar banyak hal. Sebuah dunia yang begitu asing bagiku. Entah kenapa, aku selalu merasa kalau dunia itu sangat prospektif. Aku punya feeling kalau perusahaan itu bisa besar kelak di kemudian hari.

Hanya saja, itu tergantung pada bagaimana bos perusahaan itu bisa mengelola hari ini untuk masa depan. Di perusahaan yang bergerak di bidang IT itu, aku kebagian tugas untuk mengelola media serta training.

Sejak awal bekerja, aku benar-benar membangun sebuah sistem baru. Betapa sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT tiba-tiba saja hendak membuat media. Ada banyak prosedur yang masih harus dipelajari bersama.

Aku menjadi bos dari seorang sahabat sejak masa kuliah yaitu Iwa Ahmad Sugriwa. Namanya mengingatkan pada seorang raja kera dalam epos klasik Ramayana yaitu Prabu Sugriwa. Dikisahkan kalau Sugriwa punya saudara yaitu Subali. Keduanya lalu bertempur untuk memperebutkan siapa yang bakal menjadi raja kera.

Kembali ke soal pekerjaan. Saat masuk perusahaan itu, aku sudah negosiasi minta gaji Rp 3,5 juta. Jumlah itu disetujui. Entah kenapa, saat terima gaji justru jumlah yang aku terima hanya mencapai setengahnya. Setelah aku tanya sama wakil direktur, katanya jumlah itu sudah final. Aku agak stress mendengarnya. Terpaksa aku memutuskan untuk keluar.

Besoknya, bos perusahaan itu beberapa kali meneleponku. Ia minta maaf atas kejadian itu dan berjanji akan membayar gaji itu sesuai dengan perjanjian. Tapi aku udah terlanjur kecewa dan memilih tetap keluar.

Dalam keadaan luntang-lantung dan tak punya kerjaan, aku serba bingung. Kembali aku mendatangi gedung DPR, tempat di mana aku pernah diajak menjadi staf ahli. Aku datang lagi untuk menanyakan peluangku yang dulu sempat kutolak.

Dengan wajah penuh malu, aku datang menyapa. Untunglah, gayung bersambut. Aku tetap diterima bekerja di tempat itu, meskipun pekerjaannya sendiri tak begitu kugemari.

Rencananya, aku akan mengisi posisi staf ahli pada Panitia Ad Hoc III DPR RI yang menangani persoalan pendidikan dan kesehatan. Aku merasa bidang ini tidak baru bagiku. Setidaknya, aku pernah menjadi peneliti pada dua bidang ini.

Sebagai staf ahli, tugasku adalah menyiapkan berbagai draft, undang-undang serta berbagai instrume lain yang terkait persoalan kebijakan yang menjadi rekomendasi dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tugasku adalah menyiapkan semua bahan-bahan itu.

Kelihatannya, pekerjaan itu cukup keren. Tapi sebenarnya biasa saja. Malah, aku lebih suka menyebut pekerjaan itu sebagai "Pembantu Ahli". Sebab pekerjaannya benar-benar sebagai pembantu dari anggota DPD yang lebih banyak tak memahami persoalan yang sesungguhnya terjadi.

Setidaknya, inilah gambaran dari bobroknya istem di negeri ini. Mereka yang justru mengemban tugas membawa aspirasi rakyat justru hanya bisa berleha-leha. Sementara anak buah dan staf ahli bekerja keras untuk bisa mengemas pencitraan mereka menjadi lebih baik.

Aku selalu memikirkan kuliah. Aku tak bisa bayangkan bagaimana menjalani perkuliahan dengan tingkat kesibukan yang begitu padat. Kalau kesibukannya seperti ini, aku bakal gagal menjadi cum laude di Universitas Indonesia (UI). Sesuatu yang hingga kini menjadi impianku.

Aku bertekad untuk serius menjalani perkuliahan di kampus UI. Bagaimanapun, kuliah di S2 jelas sangat berbeda dengan S1. Segalanya beda. Inilah waktunya untuk serius dan mendalami rimba teoritis yang begitu pekat.

Beberapa teman wartawan di DPR justru menyarankan agar aku enjoy saja. Katanya, curriculum vitae-ku pasti akan cantik. Itu bisa menjadi nilai tawar bagiku untuk melanjutkan karier ke jenjang yang lebih tinggi. Ah, persetan dengan itu. Aku cuma mau kuliah dan bisa belajar dengan lebih baik daripada sebelumnya.

Kisah tentang Saraswati

ATAS permintaan Dwi, saya akan menulis ulang kisah tentang Saraswati. Belakangan ini aku agak berang karena seorang temanku hendak memberi nama anaknya dengan nama itu. Wah, itu kan nama anakku?

Nanti lanjut yaa

Kisah Yang Terpenggal

ADA begitu banyak kisahku yang terpenggal dan tidak sempat ditulis di blog ini. Entah kenapa, belakangan ini aku kesulitan membuka koneksi internet. Padahal, aku mengalami begitu banyak kejadian selama dua minggu ini. Mulai dari masa krisisku akan keuangan yang teratasi, hingga masa pertama perkuliahan. Terakhir, aku justru memutuskan hengkang dari kantorku karena ada perbedaan hal yang sangat prinsipil.

Tapi biarlah kuurai semuanya satu per satu. Agak sulit untuk menguraikan semuanya di vlog ini. Yah, setidaknya buhul persoalan menjadi terburai. Itu saja.

Masa krisisku berlalu karena pertolongan dewi penolongku yaitu Dwi. Lagi-lagi, ia memberikan pertolongannya.

Di hari ketika aku benar-benar tak punya uang, ia tiba-tiba saja punya uang dan bisa mencari jalan untuk mengirimkannya kepadaku. Ah, aku salut juga dengan upaya kerasnya. Meski bantuannya tak seberapa, namun itu justru sangat membantuku sehingga masa sulitku teratasi.

Minggu lalu, kuliah perdana akhirnya digelar juga. Aku tiba di kampus UI di Depok lebih cvepat dari pada jadwal kuliah umum yaitu pukul 10.00 WIB.

Aku langsung menuju Pusat Antar Universitas (PAU) Fisip di lantai tiga. Di situ, kursi telah diatur rapi sedemikian rupa. Aku duduk dan mulai kenalan dengan dua orang teman. Satu namanya Marco dan satu lagi cewek yang namanya Mitha.

Penampilan Marco terlihat sangat serius. Ia mengenakan kaca mata tebal. Bajunya kemeja yang licin sebagai tanda habis diseterika. Ia selalu membawa tas berwarna hitam sebagaimana layaknya mahasiswa yang serius. Ia mahasiswa program doktor. Gelar masternya didapatkan dari universitas yang paling beken di Belanda yaitu Leiden Unibersity. Saat ini, Marco menjadi dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalsel.

Sedangkan Mitha penampilannya justru beda jauh dengan Marco. Wanita ini terlihat agak menor dengan dandanan yang cukup mencolok. Ia memakai perias wajah. Pakaiannya adalah kemben berwarna putih yang ditutupi dengan jaket dari bahan jeans. Aku sempat memperhatian kalau ia mengenakan rok payung dengan bahan batik yang unik serta memakai sepatu dengan bahan yang sama. Dandanannya mengingatkanku pada trend yang lagi menjamur di kalangan wanita Jakarta.

Rupanya, Mitha lahir di tahun 1980 dan baru saja lulus dari Fakultas Psikologi di satu universitas swasta di Jakarta. Aku merasa nyambung saat ngobrol dengannya. Semoga dia bisa jadi teman baik dan membantuku dalam kuliah kelak.

Sebelum kuliah umum, aku diberitahu kalau kuliah umum akan dibawakan Dr Celia Loew seorang dosen di University of Washington, satu universitas yang cukup berpengaruh di dunia.

Kuliahnya cukup menarik, tentang globalisasi yang kemudian membawa implikasi besar bagi kehidupan manusia. Tak hanya merubah pola dan cara manusia berkomunikasi, tapi juga telah merubah lanskap dunia sosial dan bergeser dari bounded society menjadi the borderless society. Pada titik tertentu, globalisasi telah mengubah bangunan teoritis pengetahuan.

Dari sisi antropologi, terdapat perubahan orientasi pengetahuan sebagai respon terhadap dinamika globalisasi. Jika dulunya, sungguh mudah membedakan barat dan timur, kini justru jadi sukar. Dunia mengalami proses homogenisasi kultural secara perlahan-lahjan sehingga sukar membedakan berbagai kategori.

Yang menarik adalah ternyata globalisasi bukan melulu perkara yang sifatnya homogen. Di banyak tempat. Sebagai sebuahperistiwa kultural, globalisasi justru direspon dengan konteks lokalitas. Semua tempat justru merespon satu fenomena dengan cara yang berbeda-beda. Aspek lokalitas ini menjadi bahsan yang penting dan mendominasi diskusi.

Aku merasa, wacana ini sudah pernah kudengar dan bukan menjadi sesuatu yang asing. Beberapa tahun lalu, aku sudah pernah buat tulisan ttg the end of science sebagai akibat dari pergeseran lanskap dunia sosial. Perubahan ini juga kian kencang ketika hadir yang disebut paradigma baru sains yang sifatnya holistik.

Sains tidak lagi dilihat sebagai perkara yang parsial dan terpisah-piisah ala teori Newtonian. Kini, sains ,ulai dilihat dalam persepektif baru sebagai sesuatu yang integral dan holistik.

Di sela-sela kuliah umum, tiba-tiba Mitha mengajakku untuk masuk kuliah tentang Antropologi Psikologi. Kebetulan, aku juga mengambil mata kuliah itu. Mata kuliah ini divawakan oleh Prof James Danandjaja.

Aku pernah mengikuti kuliah dari James saat di Unhas dulu. Kuliahnya selalu menarik karena banyak mengangkat tema seksualitas dan aspek psikologi.Kuliah itu hanya diikuti oleh lima peserta mata kuliah. Itupun, dua di antaranya adalah program doktoral, sedang lainnya adalah mahasiswa magister sepertiku.

Usai kuliah itu, selanjutnya aku menuju ruangan lain untuk mengikuti kuliah tentang metode penelitian yang dibawakan oleh Dr Iwan Tjitradjaja. Peserta mata kuliah ini cukup banyak sebab semua mahasiswa baru program magister dan doktoral hadir di situ.

Ada sesi perkenalan di mana masing-masing memapoarkan latar belakangnya. Aku melihat kalau umumnya peserta mata kuliah ini bertampang serius. Agak beda dengan aku yang terkesan santai saja.

Saat kuliah, Iwan memberika silabus perkuliahan. Aku tersentak juga karena semua buku panduan justru disajikan dalam bahasa Inggris. Artinya, aku harus terbiasa membaca berbagai teks asing selama kuliah. Kayaknya aku harus banyak membaca biar bisa dikenal baik sama Pak Iwan.

Waktu di Makassar, Kak Yahya beberapa kali bilang kalau Pak Iwan itu sangat cerdas dan punya pengetahuan yang spesifik di bidang antropologi ekologi. Apalagi, ia punya banyak proyek penelitian. Ah, aku tak punya banyak pretensi kecuali kuliah saja dengan baik.

Aku akan melanjutkan kisah tentang keluar dari pekerjaan dalam tulisan lain.

Sebuah Pahatan Ingatan

Bait-bait ini ditulis Dwi untuk mengenang satu episode ketika kami duduk makan es krim sampai puas. Ada dialog dan percakapan sederhana yang menorehkan sesuatu di hati kami.


19.59 .Jarum jam menunjukkan angka itu.waktu yang sedang berotasi di dekatmu.Mungkin. apa yang kamu lakukan saat waktu terus berputar disampingmu.

Adakah sedikit celah dalam volume otakmu.atukah adakah sepersepuluh sel jaringan yang bekerja pada saraf pengingatmu yang mau berbagi sedikit ruang tentang namaku?

Aku tak tahu. dan aku tak ingin tahu.bahkan ketika angin menyampaikan tanya ini ke indramu jangan pernah kau jawab. Aku tak ingin mendengar sekerat jawaban pun tentang ini.

21.00. semenit sudah aku berbagi tanya padamu. Apakah kau ingin tahu tentang yang kurasakan.atau apa yang ada di sedikit ruang dalam benakku. Aku ingin berbagi padamu tentang banyak isi benakku. Dua puluh persen memikirkan tentang kerja liputan yang belum aku selesaikan. Garis mati makin mendekat. Namun aku masih tetap tak bergeming mengerjakannya. Sepuluh persen terbuai oleh indahnya tidur di kasurku. Meski kasur itu tipis dan tak seempuk kasur busa yang sering kamu tiduri. Namun, ia merupakan tiketku untuk sekedar menyapamu di ruang-ruang imaji dalam tidurku.

Masih bersisa delapan puluh persen rongga dalam otakku. Dan semuanya dipenuhi olehmu. Bayangmu terlalu banyak menyita ruang dalam benakku. Mungkin karenamu aku menampik begitu banyak hal yang harus aku ingat.

Apakah aku sudah bercerita tentang insiden siang kemarin. Mungkin aku belum bercerita karena semalam kita tak saling bersua di ujung handphone. Insiden yang membuat menafikkan logika.

Apakah aku harus menyalahkan mata kaki yang tak melihat. Tapi ini buka salah si mata kaki. Bukan salahnya ketika ia tak bisa menandai sepasang sendal yang harus sama bukan sepenuhnya kecerobohannya ketika si alas kaki tak sengaja telah salah berpasangan.

Mungkin titik masalahnya pada otak yang dipenuhi berbagai file tentangmu. Sehingga file tentang sendal berpasangan itu harus terhapus. Mungkin setiap orang telah mengganggapku gila.tapi, aku yakin aku tak gila. Ini hanya karena kau menyita begitu banyak tempat dalam arsip otakku.

Mungkin tak ada salahnya aku menghapus beberapa bagian. Kapasitas otakku sudah tak lagi memungkinkan. Tapi aku tak mau. Ia butuh sedikit di refresh. Atau mungkin di turn off. Atau mungkin di install ulang. Tapi aku takkan mau melakukannya. Aku tak ingin secuil file tentangmu hilang. Takkan mungkin aku menginstall ulang isi otakku. Karena secara otomatis semua arsip tentangmu bakal terdelete dan tak berbekas. Aku takkan mampu lagi melacaknya. Bakhan hingga ke rycicle bin pun tak bersisa.

Bahkan ketika otak ini telah dipenuhi berbagai macam virus aku takkan pernah mnau melakukannya. Mungkin kamu bertanya, mengapa tidak kau simpan saja dalam data D. Sehingga ketika ia terinstall tak ada data yang terhapus.

Tapi aku berpendapat lain. Aku ingin mengingatmu sebagaimana saat aku membuat pahatan ingatan tentangmu. Tanpa berubah dan tanpa diubah.

Ingatkah saat kita duduk bersama di restoran itu. Restoran yang kita datangi hanya karena promo tentang makan eskrim sepuasnya. Segelas eskrim coklat,vanila, durian yang kau pesan.satu untukmu satu untukku. wajah kota dipenuhi berbagai kerlip lampu kendaraan dan penerang gedung. Terhampar di samping kita yang hanya berjarak sebuah dinding kaca.

Alunan lagu melo yang tak kuketahui judulnya terdengar begitu indah. Menemmani kita yang sedang menikmati lamunan kita masing-masing. Tak ada kata antara kita. Namun bisu itu adalah kata terindah yang menemani menyelami dunia kita masing-masing.

Hanya eskrim yang tereduksi secara perlahan karena kita makan dan meleleh.

“pernahkah kau dengar bahwa cinta seperti es krim”tanyaku.

Tapi kau tak menjawabnya. Hanya tersenyum dan kemudian kembali tenggelam dalam buku tebal yang kau baca. Tenggelam dalam benakmu. Saat-saat seperti itu tak pernah membuatku merasa terkucilkan. Aku pun turut tenggelam dalam duniaku di balik buku tebal yang selalu menemaniku. Berbagai macam kesan telah kugoreskan di dalamnya. Dan namamu menyita begitu banyak halamannya.

Gelas eskrim meyita perhatianku.ia terlihat begitu mewah dan anggun. Bentuknya seperi gelas sampanye. Aku menganalogikannya seperti perempuan dengan gaun putih yang begitu anggun. Tampak elegan.

Kau menawariku segalas eskrim lagi. Ya....ini yang terakhir. Karena telah dua porsi yang masuk dalam perutku. Dan porsi itu sudah pantas dengan harga yang harus kita bayar.

“gelasnya kita ambil saja. untuk memorabilia”celutukku.

Memorabilia. Sebuah pahatan ingatan. Kunci pembuka kenangan.”katamu.

Masih ingatkah kau saat itu. Saat dimana kita sedang membuat pahatan ingatan.. Sebuah memorabilia dalam eskrim, gelas mewah, dan percakapan tentang pahatan ingatan.

21.15 waktumu mungkin masih pagi. Apakah aku sudah mengisi rongga kosong benakmu? Atau masih seperti 135 menit yang lalu. Jangan pernah kau jawab. Aku tak pernah butuh jawabmu.

Tapi biarkan aku menebak apa yang sedang kau kerjakan. Mungkin sekarang kamu berada diantara bertumpuk-tumpuk tugas kantor yang masih kau kerjakan. Atau mungkin kau sedang berada di sebuah kafe mewah bersama teman-temanmu. Atau mungkin kau di sebuah restoran bersama seorang gadis. Mungkin. Aku tak pernah tahu. tapi untuk pilihan paling akhir aku yakin tidak. Bukan karena kau adalah sosok yang setia.tapi, aku tahu dana untuk mentraktir seorang gadis tak cukup dalam dompetmu.

Tapi, di sini aku dengan jam dinding yang menunjuk angka 22.15.waktu yang mungkin sudah terbilang mulai larut. Jika di kampung, suara jangkrik sudah terdengar nyaring di belakang rumah.udara desapun mulai dingin. Tapi nyatanya aku di tak di kampung kini. Aku berada dalam kamar kost 2 kali 3 meter. Gerah dan sumpek dengan barang-barang.Ditemani tikus-tikus besar yang berlarian di antara got-got yang hitam pekat. Masih menyalakan winamp komputerku yang aku yakin takkan menganggu karena di luar pun masih ramai.

Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini aku tertarik pada Plato dan kawan-kawan. Mungkin karena kau yang mengajariku. Aku selalu mengingat celotehanmu “aku belajar filsafat hanya untuk sekadar gagah-gagahan”. Indiana jones, tokoh antropologi dalam film-film fiksi yang ingin kau contoh. Tapi aku yakin tak seperti itu alasannya.

Begitu banyak buku yang kau titipkan padaku sebelum kau pergi yang isinya tak jauh dari filsafat dan rekan-rekannya. Yang isinya penuh dengan ilmuwan-ilmuwan sosial dengan berbagai teorinya. buku-buku itu pun berpengaruh banyak.sangat sayang jika ia tinggal bertumpuk berdebu tak terbaca. Masih kuingat kata-katamu “kalau aku niat pergi, nanti akan aku urungkan.karena buku-bukuku kamu yang pegang.”

Setiap aku membaca buku-buku daras yang selalu membuatku harus mengerjitkan alis, aku pun mengingatmu. ketika ada bagian yang aku tak mengerti, aku selalu ingin kamu ada di sini. Di dekatku. Menjelaskan padaku tentang yang takku mengerti. Meski itu sekadar penjelasan tentang kata atau sebuah teori yang berparagraf-paragraf panjangnya.Kadang, aku tahu kau tak ingin menjelaskannya. Tapi masih sempat pun kau jelaskan padaku dengan berbagai contoh yang dapat kujangkau tanpa harus memakai istilah yang ngejelimet.

Namun aku hanya bisa mengingatmu kini. ada spasi di antara kita. Spasi perbedaan sejam antara kau dan aku. 15 derajat telah berrjarak antara aku dan kamu. dan Aku hanya mampu untuk merangkai sebuah pahatan ingatan tentang kita. Mencoba menerka akankah kita membuat pahatan ingatan lagi. Saat kita berada dalam perpustakaan milik kita. dimana kita akan belajar bersama. Kita akan larut dalam dunia kita masing-masing. Tapi kau akan ada saat aku ingin bertanya dan mendengar penjelasan. Aku ingin saat itu tiba dan benar-benar terpahat indah dalam ingatanku....(D)

Kisah tentang Saraswati

ATAS permintaan Dwi, saya akan menulis ulang kisah tentang Saraswati. Belakangan ini aku agak berang karena seorang temanku hendak memberi nama anaknya dengan nama itu. Wah, itu kan nama anakku?

Nanti lanjut yaa