APAKAH anda suka berdebat di media sosial?
Apakah anda suka saling serang dengan berbagai argumen di media ini? Saran
saya, pilih-pilihlah dengan siapa anda hendak berdebat. Berdebatlah hanya
dengan orang pandai. Apapun hasilnya, pasti akan membuat anda lebih pandai.
Pikiran Anda akan lebih waras. Sebaliknya, berdebat dengan orang bodoh tidak akan pernah membuat anda lebih pandai. Malah, debat itu bisa berujung penghinaan pada diri anda.
Pikiran Anda akan lebih waras. Sebaliknya, berdebat dengan orang bodoh tidak akan pernah membuat anda lebih pandai. Malah, debat itu bisa berujung penghinaan pada diri anda.
Ulama besar Imam Syafi'i pernah berkata,
“Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah
dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham
landasan ilmu.”
Rupanya, di abad lampau, ulama ini paham bahwa ada orang yang tak bisa dijadikan partner dalam berdiskusi, sebab landasan ilmunya tak memadai.
Rupanya, di abad lampau, ulama ini paham bahwa ada orang yang tak bisa dijadikan partner dalam berdiskusi, sebab landasan ilmunya tak memadai.
Di medsos seperti facebook, kita sering
melihat banyak adu argumentasi dan perdebatan. Jauh lebih banyak perdebatan
yang tidak akan pernah mencerahkan. Yang banyak adalah saling serang dan saling
caci. Debat itu tidak produktif, sebab masing-masing pihak tidak saling
mendengarkan.
Nampaknya, banyak orang yang mengklaim orang lain sesat pikir, tapi sesungguhnya, dirinya yang sesat pikir. Banyak orang yang justru mengalami kesalahan berpikir dan mengira sesuatu sebagai benar. Padahal logikanya justru keliru.
Nampaknya, banyak orang yang mengklaim orang lain sesat pikir, tapi sesungguhnya, dirinya yang sesat pikir. Banyak orang yang justru mengalami kesalahan berpikir dan mengira sesuatu sebagai benar. Padahal logikanya justru keliru.
Saya teringat kuliah-kuliah logika
beberapa tahun silam. Dalam ilmu logika, terdapat banyak kesalahan berpikir
yang kerap dialami orang-orang. Nah, marilah kita sama-sama mengindentifikasi
beberapa kesalahan logika yang sering sekali kita temukan di media sosial.
Marilah kita buat daftar sederhana. Saya hanya menuliskan ulang apa-apa yang
sudah dibahas para ahli logika.
Pertama, ad hominem, yang
berarti menyerang karakter atau kehidupan personal lawan untuk melumpuhkan
argumennya. Nama panjangnya adalah argumentum ad hominem. Bentuknya
adalah kita berhadapan dengan argumentasi, namun kita justru menyerang si
pemberi argumentasi itu dengan hal-hal lain tentang pribadinya yang tak ada
hubungannya dengan argumentasi itu.
Misalnya, Bob Dylan adalah musisi hebat.
Kita lalu menyerang argumentasi itu dengan pernyataan bahwa “Bob Dylan kan
seorang pemabuk, artinya musiknya tidak bagus.” Nah, jika kita berargumentasi
seperti ini, kita telah mengalami kesalahan berpikir sebab kita menyerang
hal negatif yang tak ada kaitannya dengan apa yang sedang dibahas.
Di satu grup WhatsApp, seseorang mengirim link tulisan profesor bidang ekonomi. Seseorang teman lalu merespon. “Saya gak percaya profesor ini. Saya tidak suka sikapnya yang mendukung pemerintah.” Nah, ini juga salah pikir dalam logika sebab kita tidak mencerna argumentasinya lebih dahulu.
Di satu grup WhatsApp, seseorang mengirim link tulisan profesor bidang ekonomi. Seseorang teman lalu merespon. “Saya gak percaya profesor ini. Saya tidak suka sikapnya yang mendukung pemerintah.” Nah, ini juga salah pikir dalam logika sebab kita tidak mencerna argumentasinya lebih dahulu.
Kedua, Post Hoc Ergo Propter Hoc. Kesalahan
berpikir ini ketika menganggap dua hal memiliki kaitan secara langsung.
Saat X terjadi, Y juga terjadi. Tiba-tiba kita menyimpulkan X adalah
penyebab terjadinya Y. Misalnya seorang politisi tiba-tiba terpilih jadi
pemimpin.
Pada saat terpilih, semua harga daging langsung meroket naik. Orang yang mengaitkan naiknya harga daging karena naiknya politisi itu bisa jadi mengidap salah berpikir.
Pada saat terpilih, semua harga daging langsung meroket naik. Orang yang mengaitkan naiknya harga daging karena naiknya politisi itu bisa jadi mengidap salah berpikir.
Kedua, pars pro toto. Ini
adalah anggapan satu bagian kecil merupakan cerminan keseluruhan. Misalnya,
seseorang dikhianati kekasihnya yang berasal dari Makassar. Ia lalu mengumpat
dan mengatakan, "Semua orang Makassar adalah buaya." Nah, dia
mengalami kekeliruan berpikir sebab pengalaman bertemu satu
orang, tiba-tiba dianggap mewakili keseluruhan orang Makassar.
Dalam diskusi politik, kita sering
menemukan pemikiran seperti ini. Misalnya, seseorang membaca berita tentang ada
warga keturunan yang divonis korupsi. Ia lalu menggeneralisir bahwa semua warga
keturunan seperti itu. Ia lalu membenci setengah mati.
Padahal, faktanya, pelaku korupsi itu berasal dari berbagai etnik dan agama. Malah, ada pula pelaku korupsi yang rekan sekampungnya. Ada yang ketahuan, dan ada yang tidak ketahuan.
Padahal, faktanya, pelaku korupsi itu berasal dari berbagai etnik dan agama. Malah, ada pula pelaku korupsi yang rekan sekampungnya. Ada yang ketahuan, dan ada yang tidak ketahuan.
Ketiga, argumentum ad baculum. Berusaha
memaksa lawan untuk menerima pendapat dengan cara memberikan rasa takut.
Misalnya pernyataan, "Kalau kamu tidak terima kebenaran ini, silakan
keluar dari agama. Saya akan keluarkan fatwa agar anda kafir, lalu anda akan
jadi sasaran kemarahan publik." Nah, ada beberapa hal yang bisa
disoroti dari pernyataan ini; (1) sejak kapan dia seolah jadi juru bicara
satu keyakinan, (2) sejak kapan kebenaran harus dipaksakan dnegan ancaman?
Keempat, anecdotal. Yakni
menggunakan cerita personal untuk membuktikan "fakta" universal,
khususnya untuk melumpuhkan data dan statistik. Ini juga seirng ditemukan.
Misalnya ada survey yang menyebutkan bahwa orang Indonesia rata-rata bahagia,
tiba-tiba kita merespon. “Ah saya justru merasa tidak bahagia. Riset itu malah
ngawur.”
Nah, ini juga termasuk anecdotal atau salah pikir. Artinya, kita menggunakan cerita pribadi untuk menggugurkan satu argumentasi yang sifatnya universal.
Nah, ini juga termasuk anecdotal atau salah pikir. Artinya, kita menggunakan cerita pribadi untuk menggugurkan satu argumentasi yang sifatnya universal.
Contoh lain adalah klaim seseorang
mengenai banyaknya tenaga kerja asal Cina. Bahkan ketika disodorkan fakta, ia
malah tidak percaya. Ia mengaku pernah naik pesawat dan bertemu orang
Cina. Ditambah lagi membaca situs abal-abal, muncullah keyakinan kalau mereka
memang banyak. Saat disodorkan data pun, ia akan mengeluarkan berbagai teori
konspirasi demi menyatakan dirinya benar.
Kelima, black or white.
Kepercayaan bahwa hanya ada dua alternatif kemungkinan. Kalau bukan A yang
benar, maka pastilah B yang benar. Pikir seperti ini banyak muncul seusai
ajang pilpres di Indonesia. Ketika Jokowi berkata A, maka kemungkinannya hanya
dua yakni mendukung pernyataan Jokowi atau menolaknya.
Di kalangan para netizen terbagi dua yakni kubu suporter dan kubu haters. Keduanya bersahut-sahutan. Masing-masing saling caci. Padahal, ada banyak kemungkinan yang bisa dikembangkan, tak harus masuk dalam satu kubu itu.
Di kalangan para netizen terbagi dua yakni kubu suporter dan kubu haters. Keduanya bersahut-sahutan. Masing-masing saling caci. Padahal, ada banyak kemungkinan yang bisa dikembangkan, tak harus masuk dalam satu kubu itu.
Keenam, argumentum ad verecundiam. Pandangan
ini adalah pandangan yang mendewakan pendapat seseorang, dan menganggap pendapat
itu sudah pasti benar. Dalam politik, hal ini sering terjadi. Saat
idolanya, yakni Si A, mengeluarkan fatwa, maka ia lantas beranggapan bahwa itu
sudah pasti benar. Saat ada suara kritis, orang itu akan balik bertanya, "Anda berani mengkritik dia. Apakah anda sehat?"
Dalam logika, seringkali argumentum
ad verecundiam ini dipersamakan dengan “halo effect.” Ini
juga cara berpikir yang sering kita temukan di media sosial. Halo effect
adalah bias subyektif saat pertama bertemu seseorang, yang lalu digunakan untuk
menganggap semua kalimatnya benar.
Istilah “halo effect” boleh jadi dipengaruhi oleh kisah tentang para santo atau manusia suci sebagaimana lukisan dari abad pertengahan yang di kepalanya ada lingkaran (halo). Kesan saat bertemu “manusia halo” seperti ini adalah kita akan menganggap dirinya suci sehingga semua argumennya diterima mentah-mentah.
Istilah “halo effect” boleh jadi dipengaruhi oleh kisah tentang para santo atau manusia suci sebagaimana lukisan dari abad pertengahan yang di kepalanya ada lingkaran (halo). Kesan saat bertemu “manusia halo” seperti ini adalah kita akan menganggap dirinya suci sehingga semua argumennya diterima mentah-mentah.
Misalnya, saat pertama bertemu seseorang,
kita melihat pakaiannya seperti orang suci, kita lalu mengaminkan semua yang
dikatakannya, apapun itu. Atau barangkali saat melihat postingannya yang penuh
kalimat Tuhan, kita lalu selalu mengatakan “Yes” pada apapun yang ditulisnya.
Padahal belum tentu demikian.
Ketujuh, appeal to emotion.
Ini adalah memanipulasi tindakan emosional untuk menyatakan kebenaran. Misalnya,
anda pernah dikasari seorang yang agamanya adalah menyembah pohon. Saat
diskusi dengan penganut agama itu, anda langsung emosional dan menangis
terisak demi meyakinkan betapa jahatnya para penyembah pohon. Perdebatan yang
harusnya jadi ajang positif untuk menumbuhkan pengetahuan, kok malah jadi
baper.
Kedelapan, strawman. Dalam
logika, ini disebut melebih-lebihkan, menyalah-artikan, atau bahkan memalsukan
argumen seseorang demi membuat argumen Anda yang menyerangnya terdengar lebih
masuk akal.
Misalnya pejabat A berargumen bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, nelayan dan petani tidak senang dengan koperasi karena yang mendapatkan modal hanya pengurusnya saja, sehingga hal ini perlu diperbaiki. Mendengar hal tersebut, lawan politik si A menyatakan bahwa si A menolak koperasi. Bahwa si A berkata koperasi tidak diperlukan di desa.
Misalnya pejabat A berargumen bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, nelayan dan petani tidak senang dengan koperasi karena yang mendapatkan modal hanya pengurusnya saja, sehingga hal ini perlu diperbaiki. Mendengar hal tersebut, lawan politik si A menyatakan bahwa si A menolak koperasi. Bahwa si A berkata koperasi tidak diperlukan di desa.
Contoh lain bisa dikemukakan. Seorang
pejabat berkata, “Kita harus fokus memperkuat industri kita.” Seseorang lalu
merespon, “Kalau memperkuat industri, berarti anda mengabaikan pertanian dan
pedesaan. Berarti anda benci dengan sektor pedesaan. Mengapa anda membenci
desa?” Nah, ini dia yang disebut strawman.
Kesembilan, slippery slope.
Mengasumsikan jika situasi P terjadi, maka Q akan juga terjadi, tanpa didukung
dengan bukti atau penalaran yang masuk akal. Karena itu, P tidak boleh terjadi.
Misalnya, seorang pejabat pemerintahan menolak melegalkan pernikahan beda
keyakinan, sebab jika diperbolehkan kelak mereka akan melegalkan pernikahan
sesama jenis di masa depan. Ini juga kekeliruan logika, sebab dua hal itu
adalah hal berbeda.
Kesepuluh, tu quoque. Menghindar
dari kritik sekaligus mendiskreditkan lawan dengan menggunakan kritik yang sama
yang disampaikan pada dirinya. Misalnya seorang ayah mengingatkan anaknya,
"Nak, kamu jangan merokok ya. Merokok itu merugikan kesehatanmu."
Lalu, si anak menjawab, "Ah, Ayah merokok tiap hari masih kelihatan sehat
kok. Berarti merokok itu tidak ada hubungannya dengan kesehatan."
Atau pernyataan lain. Misalnya:
“Berhati-hatilah main proyek. Bisa-bisa kamu akan masuk penjara.” Tiba-tiba ada
yang menyanggah: “Siapa bilang main proyek harus berhati-hati? Buktinya situ
sejak dulu selalu main proyek, Artinya aman dong.” Nah, kita membalas kritikan
dengan cara mendiskreditkan si pengkritik.
Kesebelas, burden of proof.
Menyatakan bahwa orang lainlah yang harus membuktikan suatu klaim, bukan si
pembuat klaim. Misalnya seseorang mengklaim bahwa jumlah pekerja asal Cina di
Indonesia adalah 10 juta orang. Karena tidak ada yang membuktikan informasinya
salah, maka dia terus-terus berargumen seperti itu. Dia lalu menganggap dirinya
benar hanya karena tidak ada yang membantahnya.
Seorang kader partai berhaluan agama di
Yogyakarta sering berpikir seperti ini. Ia melempar berbagai isu-isu tanpa
data dan fakta. Dikarenakan tidak ada yang menanggapinya, ia merasa di atas
angin. Ia pikir dirinya benar. Saat seseorang tersinggung lalu melaporkan
dirinya ke polisi, ia malah ingin minta maaf dan minta kasusnya dianggap
selesai. Aneh.
Dalam logika, burden of proof ini
hampir sama dengan argumentum ad ignorantiam, yakni menganggap
suatu hal sebagai kebenaran, hanya karena orang-orang diam atau tidak ada orang
yang menyanggahnya. Padahal, orang lain memilih diam karena merasa tak ada
gunanya berdebat dengan seseorang. Kata satu ujaran, “Yang waras, ngalah!”
Keduabelas, badwagon.
Keyakinan bahwa jika suatu hal itu populer dan dipercayaii oleh banyak orang,
maka hal itu adalah kebenaran yang valid, tanpa perlu menyelidikinya lebih
lanjut. Misalnya banyak orang yang menganggap bahwa si A itu seorang penista
agama. Karena pandangan itu dianut mayoritas orang, ia pun ikut-ikutan percaya
dengan apa yang disampaikan.
Ia ibarat gerbong (bandwagon) yang ditarik
oleh satu lokomotif. Mungkin ia berpendapat berbeda, cuma karena ia takut untuk
berbeda pandangan dengan publik, ia ikut saja ke mana arus akan menyeretnya. Di
tataran politik kita, banyak lembaga survei yang hendak berperan sebagai
penarik bandwagon opini publik.
Ketigabelas, appeal to authority.
Kepercayaan pada otoritas. Misalnya saat pemerintah menyatakan satu informasi
benar, maka ia lantas dengan mudahnya percaya. Ia lalu mengabaikan berbgai
penalaran lain yang belu tentu sejalan dengan pemikiran pemerintah. Atau kita
ambil contoh lain. Saat ada lembaga menyatakan sesuatu itu haram, maka ia
dengan serta-merta langsung dipercaya, tanpa mengujinya secara kritis.
Keempatbelas, personal incredulity atau
menganggap sesuatu tidak benar hanya karena susah dipahami. Misalnya seorang
politisi mengklaim ia punya ribuan relawan, yang bisa digerakkan karena adanya
kesamaan visi serta pola kerja yang efektif.
Seseorang tiba-tiba saja menolak mentah-mentah kalimat itu, hanya karena dirinya tidak memahami bagaimana konsep partisipasi publik serta strategi membangun tim yang kokoh. Dia tidak paham, malas menalar, lalu menganggap ide itu keliru.
Seseorang tiba-tiba saja menolak mentah-mentah kalimat itu, hanya karena dirinya tidak memahami bagaimana konsep partisipasi publik serta strategi membangun tim yang kokoh. Dia tidak paham, malas menalar, lalu menganggap ide itu keliru.
Kelimabelas, appeal to nature.
Ini adalah kepercayaan bahwa sesuatu itu valid atau benar karena sifatnya yang
natural seperti itu. Misalnya kepercayaan bahwa seorang pemimpin itu harus gagah,
penuh keberanian, serta punya seragam militer. Keberanian seolah identik dengan
seragam.
Ketika seorang pemimpin tampak seperti warga biasa yang sering ditemui di terminal atau pasar-pasar, maka muncullah penolakan. Seolah-olah pemimpin itu harus jagoan, dan bukan kategori yang pantas didapatkan seorang warga biasa.
Ketika seorang pemimpin tampak seperti warga biasa yang sering ditemui di terminal atau pasar-pasar, maka muncullah penolakan. Seolah-olah pemimpin itu harus jagoan, dan bukan kategori yang pantas didapatkan seorang warga biasa.
Keenambelas, genetic. Menilai
satu pernyataan baik atau tidak hanya berdasarkan pada dari mana pernyataan itu
berasal, tanpa disertai argumentasi yang valid. Misalnya hanya karena diberitakan
korupsi, petinggi satu partai lalu menyatakan, kita harus berhati-hati pada
informasi dari media A karena sering mendiskreditkan kita. Harusnya ia akan
mengintropeksi diri lalu menjelaskan duduk perkara, bukannya menyalahkan pihak
lain.
Ketujuhbelas, non causa pro cause.
Ini adalah penarikan kesimpulan yang keliru. Misalnya pernyataan bahwa Sukarno
menjadi presiden pertama Indonesia karena dia orang Jawa. Pernyataan ini dibuat
tanpa memperhatikan berbagai aspek lain. Pastilah akan munculkan pernyataan,
mengapa harus Sukarno? Bukankah ada banyak orang Jawa lainnya?
***
SAYA hanya mencatat tujuhbelas.
Orang-orang yang belajar logika ataupun epistemologi punya
lebih banyak penjelasan tentang mana yang benar dan mana yang keliru. Kita
bisa terus mengembangkan, lalu mencatat berbagai argumen yang kita temukan
dalam berbagai interaksi.
Ada hal-hal yang kita sadari, banyak pula hal yang tidak disadari. Namun dengan cara belajar terus-menerus, kita bisa mengasah keperkaan kita dalam berargumentasi dan menemukan kebenaran.
Ada hal-hal yang kita sadari, banyak pula hal yang tidak disadari. Namun dengan cara belajar terus-menerus, kita bisa mengasah keperkaan kita dalam berargumentasi dan menemukan kebenaran.
Jangan pula terjebak pada sikap nyaman.
Jangan pula berpandangan bahwa ketika orang diam, berarti kita benar. Jangan
pula menganggap hanya karena kita yang paling sering berkomentar, maka kita
berhasil menguasai wacana. Padahal belum tentu.
Boleh jadi orang lain tidak nyaman dengan cara anda berdiskusi atau membangun argumentasi. Boleh jadi orang lain akan memilih diam sebab tidak ingin menghabiskan waktu untuk berdebat dengan anda yang maunya menang sendiri tanpa menyerap kebenaran dari orang lain.
Boleh jadi orang lain tidak nyaman dengan cara anda berdiskusi atau membangun argumentasi. Boleh jadi orang lain akan memilih diam sebab tidak ingin menghabiskan waktu untuk berdebat dengan anda yang maunya menang sendiri tanpa menyerap kebenaran dari orang lain.
Imam Syafi’i menasehatkan “Apabila
orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam,
tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila
kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”
Bogor, 24 Desember 2016